Anda di halaman 1dari 10

“ HUKUM ISLAM PADA MASA SAHABAT”

Dosen pengampu : Drs. Imam Supriyadi, M.Pd

Disusun oleh kelompok 3:


1. Amalia Masitha
2. Chaerul Umam
3. Arifin
4. Siti Nur Aini
5. Siti Rifa Nur Kholilah

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKHDUM IBRAHIM TUBAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
rahmatdan karunia_Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Dalam karya tulis ini saya akan membahas mengenai “Hukum Islam Pada Masa Sahabat”. Dan
tak lupa sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW,
beserta segenap keluarga dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Teriring ucapan terimakasih kepada Drs. Imam Supriyadi, M.Pd selaku pembimbing
kami dan juga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar
pada makalah ini. Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang bersifat membangun. Karena kritik dari pembaca sangat saya harapkan untuk
menyempurnakan makalah selanjutnya.

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada masa rasulullah masih hidup, yang bertindak sebagai pemutus perkara dan pelerai
pertikaian dalam masyarakat adalah beliau sendiri. Beliau sebagai referensi tertinggi untuk
meminta fatwa dan keputusan. Keputusan beliau itu didasarkan atas wahyu atau sunnah,
termasuk musyawarah dengan para sahabat. Sehingga pada masa nabi, setiap persoalan dapat
dengan mudah dikembalikan kepada rasulullah.

Dengan wafatnya nabi muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2
bulan 22 hari yang beliau terima dari malaikat jibril baik sewaktu beliau masih berada di
makkah maupun setelah hijrah ke madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir
dengan meninggalnya rasulullah itu. Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan tuhan tidak
mungkin diganti, tapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara
harus dilanjutkan oleh orang lain. Maka dengan demikian timbullah permasalahan tentang
bagaimana cara pemutus dan pelerai perkara dilaksanakan, dan siapakan yang mempunyai
wewenang untuk memutuskan perkara tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Siapa saja ulama sahabat dan apakah pemikirannya?

2. Apa saja sumber-sumber hukum islam?

3. Apa saja awal pengembangan hukum islam?

C. TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui sahabat dan pemikiran hukum islam.

2. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum islam.

3. Untuk mengetahui awal pengembangan hukum islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PARA ULAMA SAHABAT DAN PEMIKIRANNYA


 Para sahabat, termasuk sahabat Abu Bakar tidak menerima hadist yang tidak disaksikan
lebih dari satu orang.
 Para sahabat tidak membukukan hadist sehingga terbagilah hadist-hadist berdasarkan
perawi-perawinya.
 Para sahabat tidak membukukan hasil ijtihad mereka. Sehingga sulit sekali bagi generasi
seterusnya kesulitan untuk mengetahui pendapat mereka.

a. Pengaruh pengambilan hukum masa khulafaur rasyidin terhadap perkembangan tasyri’


islam
Fatwa-fatwa yang diungkapkan para sahabat pada zaman khulafaur rasyidin mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan hukum islam. Banyak para ulama dan imam madzhab
merujuk pada pendapat para sahabat besar.
Sahabat melakukan penelaahan terhadap Alquran dan Sunah dalam menyelesaikan suatu
kasus. Apabila tidak didapatkan dalam Alquran dan Sunnah, mereka melakukan ijtihad.
Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena
adanya peristiwa yang terjadi. Dengan dimuainya ijtihad oleh para sahabat, permasalahan-
permasalahan kontemporer umat islam dapat terselesaikan dengan bijak dan benar. Hal ini
kemudian mendorong para ulama sesudah masa sahabat besar untuk mengembangkan lagi
ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum islam,
bahkan masalah yang belum dihadapi.
Sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan kasus yang
dihadapi. Thuruq al-Istinbath tersebut digunakan dalam rangka menyelesaikan kasus
yang dihadapi. Sehingga generasi sahabat kecil dan tabiin mengikuti jejak shahabat besar
dalam menyelesaikan suatu perkara.

b. Terjadinya perbedaan pendapat


Sebab-sebab Ikhtilaf pada Zaman Sahabat disebabkan oleh tiga hal:
1. Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Alquran.
Dalam alquran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytira’). Umpamanya
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228
Artinya :

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.
tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi
para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al-Baqarah: 228)

Hukum yang ditentukan Alquran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa


mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab pada satu kasus. Misalnya pada
alquran terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (iddah) bagi wanita yang dicerai karena
suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari.

2. Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Sunnah

tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap sunnah. Di antara
mereka ada yang penguasaan sunnahnya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi
karena perbedaan mereka dalam menyertai nabi.Adayang intensif dan ada yang tidak, ada
yang paling awal masuk islam dan ada pula yang paling akhir.

Kadang-kadang riwayat telah sampai pada seorang sahabat tetapi tidak atau belum
sampai pada sahabat lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’y karena
ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah berpendapat bahwa
orang yang masih junub pada waktu shubuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan, (man
ashabaha junub (an) fa la shaum lah). kemudian pendapat ini didengar oleh aisyah yang
berpendapat sebaliknya. Aisyah menjadikan peristiwa dengan nabi sebagai alas an. Maka
Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.

3. Perbedaan pendapat dalam menggunakan wahyu

Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan


ra’yu diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan Ali tentang permepuan yang menikah
dalam waktu iddahnya. Menurut Umar, apabila seorang wanita menikah dalam masa
iddahnya, tetapi ia belum dukhul, maka pasangan itu wajib dipisah. Dan perempuan itu wajib
menyelesaikan waktu tunggunya. Apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan
menyelesaikan dua waktu tunggu. Waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu
dari suami berikutnya. Sedangkan menurut ali, perempuan itu hanya diwajibkan
menyelesaikan waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan
Umar berpegang pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak lagi melakukan pelanggaran.
B. SUMBER HUKUM ISLAM YANG DIPAKAI PADA MASA
KHULAFAURRASYIDIN
Adapun Sumber-Sumbernya Adalah Sebagai Berikut:
a. Alqura’an
b. Sunnah Nabi
c. Ijtihad Sahabat (Ijma’ dan qiyas)

1. Alquran dan Sunnah


Sepeninggal nabi, terjadi banyak permasalahan yang muncul dan harus dipecahkan.
Padahal, para sahabat tidak bisa lagi menanyakan penyelesaian masalah pada nabi karena
nabi telah wafat. Sehingga, mereka sendirilah yang harus memutuskan penyelesaian masalah
tersebut. Keharusan untuk menyelesaiakan permasalahan yang terjadi ini mendorong umat
islam untuk menyelidiki Alquran dan Sunnah. Dalam berfatwa, para sahabat selalu
berpegang pada :
 Alquran, karena dialah asas dan tiang agama. Mereka selalu memahaminya dengan jelas
dan terang karena Alquran diturunkan dengan lidah (bahasa) mereka serta keistimewaan
mereka mengetahui sebab-sebab turunnya dan ketika itu belum seorangpun selain Arab
telah masuk di kalangan mereka.
 Sunnah rasulullah. Para sahabat telah sepakat untuk mengikuti sunnah nabi kapan saja
mereka mendapatkannya dan percara pada perawi yang benar periwayatannya.
Hal ini didasarkan pada hadist

‫تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب هللا‬

‫و سنة نبيه‬

Artinya :
Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya
tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.“

2. Ijtihad Sahabat
Namun ternyata ada masalah yang tidak ditemukan penyelesaiannya dalam Alquran dan
Sunnah. Hal ini disebabkan karena pada masa nabi, wilayah kekuasaan islam hanya
sebatas semenanjung arabia. Tapi pada masa khulafaur rasyidin, kekuasaan islam mulai
meluas dan membentang keluar dari jazirah arab, meliputi: Mesir, Syiria, Persia dan Irak.
Luasnya wilayah tersebut menyebabkan kaum Muslimin menghadapi banyak kejadian dan
persoalan yang belum pernah dialami pada masa nabi. Hal ini mendorong umat muslim untuk
berijitihad, yakni mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa
yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan sunnah nabinya. Ijtihad para sahabat
dalam arti luas adalah bahwa mereka melihat dilalah (indikasi), menganalogi, menganggap
hal-hal lain dan lain sebagainya. Ijtihad ada dua:
1. Mengambil hukum dari dzahir-dzahir nash apabila hukum itu diperoleh dari nash-
nash itu.
2. Mengambil hukum dari ma’qul nash karena nash itu mengandung illat yang
menerangkannya, atau illat itu dapat diketahui dan tempat kejadiannya yang di
dalamnya mengandung illat, sedang nash tidak memuat hukum itu.
Sebab-sebab adanya ijtihad :
Sebelum adanya ijtihad dan qiyas itu perlu dijelaskan terlebih dahulu yaitu tentang
pemahaman dalil-dalil. Dalil-dalil itu terbagi menjadi dua macam:
1. Dalil yang bersifat Qath’i ( pasti dan jelas)
2. Dalil yang bersifat dhanni (perkiraan dan dugaan berat)
Kalau pada dalil yang bersifat Qath’i, itu sudah pasti jelas maksud dan hukumnya.
Sedangkan pada dalil yang bersifat dhanni ini masih bisa menimbulkan berbagai macam
penafsiran-penafsiran, disebabkan karena pada dalil-dalil yang bersifat dhanni ini terdapat
ketidakjelasan tentang maksud dan hukumnya. Dalil yang bersifat dzonni inilah para ulama
membuat istilah ijtihad dan qiyas, dengan tujuan untuk menafsirkan maksud dan hukum
yang terdapat pada dalil-dalil dzanni tersebut.

3. Ijma’
Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan
ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hokum suatu masalah. Hasil
musyawaroh sahabat ini disebut ijma’. Kemudian rasulullah telah menyediakan metode-
metode buat ijtihad bagi mereka, melatih dan meridhoi mereka serta menetapkan pahala
ijtihadnya baik salah maupun benar. Tentang ijtihad itu boleh dipakai berdasarkan dalil
bahwa seorang hakim ketika ia berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum kemudian benar
hasilnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Adapun ketika salah ia mendapatkan satu pahala.
Sebagaimana diriwayatkan Al-Baghawi yang diterima dari maimun bin Mahram,
yaitu suatu gambaran cara-cara mereka melakukan istinbath hukum, ia berkata : apabila suatu
perselihan di ajukan kepada abu bakar, maka ia lihat kitab Allah. Apabila di temukan di sana
hukum yang dapat memutuskan masalah yang terjadi di antar mereka, maka ia putuskan
dengan hukum tersebut. Bila tidak ditemukan dalm kitab Allah, ia ketahui dari sunnah rasul
tantang masalah itu, maka ia putuskan dengan sunnah tersebut. Bila tidak di temukan jaga ia
keluar dan bertanya pada kaum muslimin: suatu masalah di ajukan padaku…lalu apakah
kalian mengetahui bahwa nabi pernah memutuskan suatu hukum dalam masalah ini?
Terkadang semua golongan berkumpul dan menuturkan suatu kepusan dari rasulullah.Bila
tidak di temukan jaga dari sunnah rasul, maka ia kumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan
orang-orang terpilih untuk bermusyawarah, apabila di peroleh kesepakatan hukumnya, maka
ia putuskan masalah tersebut dengan hasil kesepakatan itu.

Langkah-langkah yang ditempuh Abu Bakar dalam mengambil keputusan adalah sebagai
berikut:
 Mencari ketentuan hukum dalam Alquran. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan
ketetapan yang ada dalam Alquran.
 Apabila tidak menemukannya dalam Alquran, ia mencari ketentuan hukum dalam
Sunnah. Bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada pada sunnah.
 Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah
rasulullah telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia
memutuskan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah
memenuhi beberapa syarat.
 Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar
sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada
kesepakatan diantara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.

4. Ro’yu
Untuk menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu para sahabat terlebih dahulu
menunjuk kepada Alquran dan Al-hadist. Namun bila para sahabat tidak menemukan
ketetapan hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah para sahabat
menggunakan akal pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran islam. Sebagai contoh dapat
diungkapkan siapa yang menjadi khalifah sesudah Nabi Muhammad meninggal dunia.
Permasalahan ini diselesaikan berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagi pengganti nabi
menjadi Imam shalat ketika nabi tidak dapat menjadi imam karena sakit. Tentang qiyas boleh
di pakai selama tidak menyalahi dalil yang shohih. Hanya saja mereka menyebut kata ra’yu
(pendapat) terhadap sesuatu yang dipertimbangkan oleh hati setelah berpikir, mengamati, dan
mencari untuk mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang terlihat. Sebagaimana
didefinisikan oleh Ibnu Qayyim. Dengan demikian, menurut mereka ra’yu tidak sebatas
qiyas(analogi) saja, sebagaimana dikenal sekarang, tetapi meliputi analogi, ihtisan, Baraah,
Ashliyah, Saddu Dzara’i dan Maslahah al-Mursalah

C. IJMA’ DAN QIYAS AWAL PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM

Hukum islam yang ada sekarang terutama hukum-hukum fiqh yang ada sekarang
pada umumnya merupakan hasil ijtihad ulama terdahulu yaitu hasil ijtihad para ulama masa
kejayaan dan keemasan hukum islam dengan tokoh-tokoh utamanya imaam-imam mazhab
yang empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Hukum fiqh yang di amalkan
umat islam atau yang menjadi rujukan masyarakat sekarang ini pada umumnya merupakan
hukum fiqh mazhab-mazhab imam hanafi, imam maliki, imam syafi’i dan imam ahmad. Di
indonesia, MUI dan 2 organisasi masa islam terbesar muhamdiah dan NU, dan menetapkan
suatu hukum tidak dapat melepaskan diri atau masih terkait dengan fiqh yang 4 mazhab.

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa hukum yang termasuk dalam 4
mazhab fiqh masih di gunakan dan masih menjadi rujukan dalam menetapkan suatu hukum.
Sejarah telah membuktikan bahwa islam pernah mengalami masa-masa keemasan di mana
banyak lahir cendekiawan-cendekiawan muslim yang kayra-karya banyak menjadirujukan
dan landasan teruma di bidang hukum. Sebgaimna di katakan yusuf Qardhawi, itu di
akbitkan oleh bnyakny akitab-kitab figih dan ushul figih yang memuat berbagai masalah
figiah dan kaidah merumuskan hukumnya yang di tuliskan oleh ulama muztahid di zaman
berkembangannya kegiatan ijtiha. Para ulama yang datang sesudah mereka merasa puas
dengan hasil ijtihad ulama pendahulu mereka.

Dari kutipan- kutipan di atas jelaslah bahwa umat islam selalu berubah ada
berkembang sessuai perkembangan zaman.

. Pada relevansi antara konsep ijma Imam syafi’i dengan perkembangan hukum islam
dimana kita ketahui bersama dapat berubah mengikuti perubahna masyarakat yang semakin
kristis dalam memahami dan menafsirkan ketentuan hukum, sehingga perlu adanya
pemahaman baru sehinnga mampu menjawab permasalahan dan perkrmabagan baru yang di
timbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern, baik penetapan hukum
terhadap masalah baru atau menganti ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan
keadaan dan kemaslahan umat saat ini. Untuk mengantisipasi perubahan- perubahan yang
terjadi, islam dengan prinsipprinsip dan nilai- nilai dasarnya selalu dapat di tafsirkan dan di
kemabangkan agar sesalu dapat menjawab permasalahan guna menjamin kemaslahatan hidup
manusia di setiap waktu.

Perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan


tehnologi moderen mendapat perhatian yang serius dalam islam. Dalam hukum islam itu,
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan perkembangan
masyarakat maka ketentuan-ketentuan hukum yang ada perku kiranya kita lihat apakah
relevan dan dapat di terimah. Dari pendapat Imam Syafi’i tersebut secara umum mengenai
ijma terlihat bahwa beliau sangat responsif terhadap permasalahan khususnya dalam
pandangan atau pendapat secara kolektif terutama pendapat masyarakat. Lebih jauh lagi
Syafi’i mengemukakan keberatannya tentang ijma yang di tetapkan secara diam-diam atau
ijma sukuti. Dari perselisihan Syafi’i mengenai ijma jelaslah bahwa ijma cendekiawan
tidaklah sah akan tetapi konsep ijma imam Syafi’i sebenarnya bersesuaian dengan konsep
mazhabmazhab awal yang mengakui kesepakatan ulama karena merekalah yan memiliki
keahlian dan pengetahuan tentang itu untuk kemudian di ikuti oleh umat.

Dengan demikian dari uraian-uraian di atas kontruksi pemikiran imam syafi’i sangat
relevan dengan kondisi sekarang ini, yang mana permbaharuan dan perkembangan pemikiran
tentang hukum islam yang tidak statis dan kaku. Ini kita bisa lihat dengan pendapat imam
syafi’i berkaitan dengan zaman dan tempat, ketika ia berada di Madinah dan di Mesir beliau
mengubah pandanganya sesuai dengan kondisi dan tempat atau lebih di kenal dengan qaul
qaadim dan qaul jadid. Peranan beliu sangatlah besar dalam menetapkan dasar-dasar hukum
islam. Pemikirannya ynag sangat kontroversial beliu sangat berharga dalam bemberikan
kontribusi dalam hukum islam terutama dalam akar yurisprudensi islam, di mana kekuatan
intelektualnya sangat tegas sehingga beliu di kenal dengan bapak yurisprudensi.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah nabi wafat, pengambilan keputusan dilaksanakan oleh sahabat, utamanya


khulafaur rsyidin juga dengan sahabat-sahabat besar yang lain seperti Zaid bin Tsabit, Ibnu
Masud dll. Pada masa khulafaur Rasyidin, terjadi berbagai permasalahan yang belum pernah
terjadi pada masa Rasulullah. Sehingga, timbullah penafsiran nash-nash ayat dan terbukalah
pintu istinbath terhadap masalah-masalah yang tidak ada nash yang jelas. Ketika
mengambilan keputusan, khulafaur rasyidin dan para shahabat tetap berpegang pada Alquran
dan Sunnah namun jika penyelesainya tidak ditemukan dalam alquran dan sunna maka
shahabat melakukan ijtihad berupa ijma’ dan qiyash. Hal ini dilakukan bila tidak ada
penyelesaian tertulis dalam Alquran dan Sunnah.

Pengambilan keputusan pada masa khulafaur Rasyidin ini menjadi rujukan bagi ulama’-
ulama’ mutaakhirin dan menjadi dasar pijakan bagi generasi setelahnya dalam mengambil
keputusan untuk menyelesaikan masalah syari’at. Akan tetapi fatwa-fatwa yang muncul pada
zaman khulafaurrasyidin tersebut amat terbatas. Dikarenakan sahabat lebih memilih untuk
tidak membicarakan pengambilan keputusan jika tidak ada terjadi masalah. Para sahabat
juga tidak membukukan fatwa mereka sehingga menyulitkan generasi setelahnya untuk
mendapatkan pendapat para sahabat.

DAFTAR REFERENSI

Departemen Agama RI. 2007. Al-Quran dan Terjemahnya. Cet VII,Bandung: Diponegoro.

Ash Shiddeay,Hasbi. 1994. Pengantar Hukum Islam. Cet IX,Yogyakarta: Bulan Bintang.

Bik,Hudhori. 1980. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Terjemah Muhammad Zuhri. Cet


IV,Semarang:Darul Hidayah.
Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Cet II, Bandung: Malja.

Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Cet.II, Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Ramulya, Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika.

Wahab, Abdul hallaf. 2005. Sejarah Hukum Islam. Cet I, Bandung: Maljah

Zainuddin, Ali. 2006. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Cet.I, Jakarta:
Sinar Grafika.

Zuhri, Muhammad. 1980. Tarikh Tasyri’ Al-Islam. Cet II, Semarang: Darul Ikhya.

Anda mungkin juga menyukai