Abstrak
Muslim communities are a part of global communities that long for the rule of law, or
rechtstaat. The rule of law's underlying principles are viewed differently by political
philosophers and experts. Rule of law is a distinct concept in Islam, the religion with its
doctrinal foundations in law. Rule of law concepts can be found in Islamic rule of law. After
reading a few books, it is established that the following principles underpin Islamic law:
adhesion, faith, equality, respect for human rights, and the independence of judges.
Komunitas Muslim adalah bagian dari komunitas global yang mendambakan supremasi
hukum, atau rechtstaat. Prinsip-prinsip yang mendasari negara hukum dipandang berbeda
oleh para filsuf dan pakar politik. Rule of law adalah konsep yang berbeda dalam Islam,
agama dengan landasan doktrinalnya dalam hukum. Konsep negara hukum dapat ditemukan
dalam negara hukum Islam. Setelah membaca beberapa buku, ditetapkan bahwa prinsip-
prinsip berikut mendasari hukum Islam: adhesi, iman, kesetaraan, penghormatan terhadap
(HAM) hak asasi manusia, dan independensi hakim.
I. Pendahuluan
Pendapat umum berpendapat bahwa pandangan dunia (world view) yang lahir dari ruh
(elan vital) yang disertai oleh ide atau gagasan ajaran agama (al-fikrah al-dniyyah)
merupakan unsur yang paling penting dalam perkembangan suatu peradaban. Pendapat ini
dapat ditemukan dalam kajian teori-teori perkembangan suatu peradaban. Dalam konteks ini,
kemunculan Islam di Jazirah Arab sekitar abad ke-7 Masehi telah menjadi pendorong utama
peradaban baru yang muncul dari wilayah yang telah terendam selama berabad-abad dan
secara geografis dikelilingi oleh daratan kering, kegelapan dan kegilaan.
Ketiadaan lembaga politik yang menyatukan suku-suku yang pernah berselisih satu
sama lain, serta fakta bahwa sebagian besar masyarakat di negaranya buta huruf (ummy)
telah berkontribusi pada fakta bahwa orang-orang yang tinggal di kawasan Jazirah Arab
secara historis telah terabaikan. Apalagi gaya hidup nomaden mereka yang berpindah-pindah
membuat mereka terabaikan.
Islam dimulai sebagai agama dengan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh
sentralnya. Kemudian dengan cepat berkembang menjadi masyarakat madani (civil society)
dengan negara beradab di Madinah, yang merupakan tahapan paling krusial dalam
perkembangan prinsip-prinsip baku dan landasan tegak bagi pembentukan peradaban baru
dengan menyalurkan landasan ideologis-normatif dan berbagai tata cara praktis sebagai
panutan teladan bagi generasi yang akan datang.
Selain itu, negara-negara masyarakat yang didirikan oleh Nabi SAW memberikan
beberapa informasi latar belakang serta landasan awal dari instrumen dan institusi yang
menjadi landasan utama bagi keberadaan negara-negara masyarakat. Oleh karena itu, ternyata
Rasulullah SAW mengamalkan ketiga bentuk lembaga tersebut, jika ilmu ketatanegaraan
modern memandangnya sebagai trias politica yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif ; tiga lembaga kekuasaan negara.
Tulisan ini akan mencoba menelusuri sejarah lembaga yudikatif (peradilan) pada masa
Nabi, salah satu lembaga trias politika, dalam konteks pengenalan di atas. Adalah keliru bagi
Edmund Burke, seorang negarawan dan penulis Inggris, untuk mengakui bahwa "sebenarnya
hukum-hukum Islam diterapkan untuk semua Muslim tanpa ada perbedaan antara raja yang
berkuasa dan hamba yang lemah." Memahami sejarah awal dan konsepsi keadilan pada masa
kenabian akan memudahkan seseorang untuk lebih mengenal semangat keadilan yang dibawa
oleh ajaran Islam itu sendiri dan yang telah dipraktikkan melalui peradaban Islam selama
berabad-abad. Hukum-hukum syariat Islam telah tertata dengan sangat tertib dan kokoh,
hingga kini menjadi hukum paling fundamental dan cemerlang yang pernah ditulis.
II. Pembahasan
Saat itu, orang Arab diibaratkan sebagai inti baku yang tidak mudah dipecah oleh
apapun, sehingga pandangan mereka seperti manusia yang suci. Selain itu, mereka memiliki
kecenderungan yang kuat untuk menjadi manusia yang membanggakan . Hal ini terlihat dari
bagaimana mereka bertindak sebagai orang yang menepati janji, menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur, memiliki harga diri yang tinggi, dan peduli terhadap sesama.
2. Perundang-undangan Zaman Jahiliyyah
Dengan cara yang sama seperti orang-orang bodoh yang akrab dengan hukum yang
menjadi dasar persidangan mereka dalam masyarakat hukum saat ini, Kebutuhan daerah yang
berbeda dan faktor lain mempengaruhi produk dan hukum Qowanin, yang berbeda ialah dari
satu daerah ke daerah lain. Ambil contoh, orang-orang Yaman, yang pada saat itu memiliki
mamlakah—sebuah kerajaan—di sana. Akibatnya, hukum dan peradilan mereka lebih mapan
daripada wilayah Arab lainnya. Sebaliknya, perundang-undangan dan usul taysri' di kota
Makkah dan Yathrib sendiri lebih banyak didasarkan pada pemimpin adat atau pemimpin
kelompok tertentu.
Tentu tidak diharapkan untuk menemukan sistem peradilan atau lembaga hukum
dengan undang-undang yang dikodifikasikan di seluruh dunia Arab karena tidak adanya
sistem peradilan yang dilegitimasi secara umum. Kepastian hukum juga kurang, sehingga
tidak mungkin menyelesaikan sengketa (lil fashli fil khusumat). Dengan nada yang sama,
tidak akan ada bentuk hukuman standar untuk pelanggar peraturan seperti yang kita miliki
saat ini. Meskipun orang-orang Arab mengetahui bahwa undang-undang yang
dikodifikasikan seperti Hukum Statuta Hammurabi dan Buku Statuta Yustinianus (Institute
de Justinien/Mudawwanah Justiniyah) ada di luar masyarakat Arab, faktanya undang-undang
tersebut tidak dapat diterapkan di masyarakat masyarakat Arab. Hal ini disebabkan karena
suatu hukum hanya dapat berlaku pada masyarakat politik yang diatur oleh suatu aturan atau
konsensus dan kekuasaan.
Fakta bahwa masyarakat Arab tidak memiliki sistem hukum yang terkodifikasi tidak
berarti bahwa tidak ada hukum yang berlaku bagi orang yang melanggar aturan, bahwa
hubungan sosial dalam suatu masyarakat diatur oleh hukum, atau bahwa hak hakim dan
terdakwa dibatasi. ditentukan oleh undang-undang. Selain itu, hal ini tidak menunjukkan
bahwa tidak ada ahli tata negara di Jazirah Arab saat itu.
Pada masa itu, hukum masyarakat Arab lebih banyak didasarkan pada urf dan adat
istiadat yang diwariskan secara turun-temurun. Meskipun masyarakat ini tidak memiliki
peradilan dengan karyawan, catatan, dan undang-undang yang dikodifikasikan seperti saat
ini, ia memiliki lembaga peradilan (Mahakim) dan hakim (Hakim). Berbeda dengan apa yang
kita lihat sekarang, keadilan bukanlah pekerjaan resmi orang Arab. Pada saat itu, hakim tidak
memiliki kewenangan yurisdiksi dan tidak memaksa dalam mengambil keputusan.
Komunitas yang kurang informasi mungkin atau mungkin tidak mengajukan kasus mereka
kepada hakim.
Di Jazirah Arab, kota-kota seperti Makkah dan Yatsrib memiliki independensinya
sendiri dalam penerapan hukum. Mereka membuat dan memberlakukan undang-undang
mereka sendiri tanpa mendapat bantuan dari luar daerah. Hukum mudun adalah nama produk
hukum mereka. Sementara itu, produk hukum diciptakan dan diproduksi oleh tokoh-tokoh
kota terkemuka. Mereka cenderung 'urf dan adat untuk menyelesaikan perselisihan.
Sementara itu, persidangan juga berlangsung di lokasi tertentu, seperti Darun Nadwah,
tempat ibadath, atau rumah dari tokoh masyarakat.
Sementara itu, ketika berkonflik dengan kelompok atau bangsa lain, tindakan terbaik
adalah mencari perlindungan di pengadilan yang tidak berafiliasi dengan kelompok mereka
dan telah disetujui oleh para pemimpin kedua belah pihak. Selain itu, ada klausul yang
menyatakan bahwa hakim sidang tidak akan terlibat langsung dalam kasus ini. Apabila kita
hendak menarik kesimpulan dari sumber-sumber hukum yang terdapat pada zaman Jahiliyah
atau sebelum adanya para rasul, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa sumber-
sumber hukum pada zaman Jahiliyah didasarkan pada empat hal, yaitu : Agama (diturunkan
dari nenek moyang), ketetapan para pemimpin, dan terakhir adalah pendapat ulama atau
tokoh terkenal. Karena bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam, beberapa adat
Arab dihapuskan ketika Islam datang.
Amir Bin Jasim Bin Ghanam Anak perempuan sebagai ahli waris
Bin Habib
Amir bin Dharb Al-Udwany - Orang pertama yang mencetuskan penyelesaian
hukum dengan undian memakai tongkat
Diyat dengan 100 ekor unta
- Sofwan bin Umayyah bin - Termasuk orang yang mengharamkan khamr atau
Muhris Al-Kinany minuman keras dengan alasan untuk memulyakan
dan menjaga kesehatan
Abdul Mutholib Termasuk orang yang mengharamkan khamr, Zina
- Memerintahkan meninggalkan kedholiman dan
berbuat curang
- Menganjurkan berakhlak mulia dan memenuhi
janji
Mengharamkan pernikahan dengan mahram
Memotong tangan pencuri
Walid bin Mughirah Memotong tangan pencuri
Qasamah/ Sumpah
- Dzul Majasid Al-Yasykary- Orang pertama yang mencetuskan hak waris anak
perempuan dan memberikan bagian setengah dari
laki-laki.
Sumber: Kitab Al-Mufasshol Fi Tarikhil Arab Qabla Al-Islam
III.Penutup
Kesimpulan
1. Keadilan dikenal sejak lama. Sejak zaman kuno, dan kehidupan sosial tidak dapat
berfungsi tanpa keadilan. Tanpa peradilan, pemerintah tidak akan ada. karena semua
perselisihan warga harus diselesaikan melalui peradilan.
2. Nabi Daus dan Nabi Sulaiman, keduanya disebut sebagai qadhi pada saat itu, mengalami
cobaan pada masa pertama atau pada masa Nabi. Di sisi lain, persidangan pada masa
Jahiliyah masih bersifat kesukuan, artinya aturan hanya berlaku untuk suku itu sendiri.
Untuk suku lain, bagaimanapun, tidak. Last but not least, sebutkan bahwa tidak ada
sistem keadilan di zaman jahiliah, sehingga keadilan masih sangat sedikit.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bouty, Muhammad Said Ramdhan. 1993. Fiqh As-Sirah Muhammad. Beirut: Dar Al-
Fikr.
Ali, Jawwad. 2001. Al-Mufasshol Fi Tarikhil Arab Qabla Al-Islam. Juz 10. Madinah:
Dar As-Saqi.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Peradilan Dan Hukum Acara Islam.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Al-Syarbini, Muhammad ibn Ahmad, al-Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’ Hasyiyah,juz 2,
Bairut; Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1998.
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Terj. Wawan Djunaedi Soffandi, Jakarta :
Darus Sunnah, 2013.
Ash-Shiddieqy Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta: Ma‟arif, t.th. Az-
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jil. 8 terj. Abdul Hayyie Al- Kattani,
Jakarta : Gema Insani, 2011.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 1993 Djalil, Basiq,
Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2017.
Gunawan, Hendra, Sistem Peradilan Islam, Jurnal El-Qanuny Vol. 5 No. 1, 2019.
Kementrian Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya, t.cet; Bandung:
Cordoba, 2019