Anda di halaman 1dari 8

DEFINISI, OBJEK DAN METODE ILMU JARH WA TA’DIL

Ikmal Toha Kamaluzaman*, Nunun Zainun2 dan Nama Daud Rasyid3


1 Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung; ikmaltoha@gmail.com
2 Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung;
2 Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung;

Abstrak: Artikel ini membahas tentang dasar-dasar ilmu al-jarḥ wa al-ta’dīl sebagai sebuah cabang
keilmuan yang memiliki peran penting dalam ilmu hadis. Dalam artikel ini terdapat tiga bahasan
penting yang akan menjadi pokok pembahasan yaitu, terkait dengan definisi, objek, serta metode
dalam ilmu al-jarḥ wa al-ta’dīl. Ilmu al-jarh wa al-ta’dil merupakan pengetahuan yang membahas
tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya maupun kebersihannya dengan
menggunakan lafad-lafad tertentu sehingga diterima atau ditolak riwayatnya. Objek material kajian
ilmu Jarh Wa Al-Ta’dil ialah para perawi yang terlibat dalam periwayatan hadits. Adapun Objek
formalnya yaitu sejarah hidup perawi secara spesifik, yakni bagaimana kualitas intelektual maupun
kualitas moral perawi (dhabit atau tidak, jujur atau tidak, tsiqqah atau tidak). Adapun metode untuk
mengetahui keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan bisy-syuhrah ataupun dengan pujian dari
seorang yang adil (tazkiyah), sehingga dapat ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil
yang semula rawi yang di-ta’dil-kan belum terkenal sebagai rawi yang adil.

Kata Kunci: Jarh, Ta’dil, Syuhroh, Tazkiyah, Hadits

1. Pendahuluan
Kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran sudah tidak diperselisihkan lagi
oleh para ulama. Namun demikian, menentukan keshahihan suatu hadits merupakan kajian yang tidak
sederhana. Berbagai aspek perlu dikaji guna memastikan kabar yang berkaitan dengan Rasulullah
SAW terjaga otentisitasnya terlebih jarak waktu kehidupan beliau dengan masa tadwin hadits sangat
panjang.
Para ulama mengembangkan ilmu hadits untuk meneliti keshahihannya dengan membagi
menjadi dua bagian, Ilmu riwayah dan ilmu diroyah. Yang pertama objek kajiannya ialah bagaimana
cara menerima, menyampaikan hadits kepada orang lain dan memindahkan dalam suatu diwan hadis.
Adapun objek yang kedua ialah meneliti hal ihwal sifat perawi yang berkenaan dengan adil, dhabith
atau fasiq yang dapat berpengaruh terhadap shahih tidaknya suatu hadits.
Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan keshahihan suatu hadis, maka ilmu
hadis diroyah, membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu
adalah melalui ilmu al-Jarh Wa al-Ta'dil. Secara sederhana, imu al-Jarhu Wa Al-Ta’dil adalah
seperangkat keilmuan yang berfungsi untuk meneliti periwayat hadits.
Melihat begitu pentingnya ilmu tersebut karena berkaitan dengan sumber syariat islam dan
dasarnya tercantum dengan jelas dalam al-qur’an, yaitu:
َ‫علَى َما فَعَ ْلت ُ ْم نَدِمِ ين‬ ۟ ‫صبِ ُح‬
َ ‫وا‬ ْ ُ ‫ُوا قَ ْو ٌۢما بِ َج َهلَ ٍة فَت‬ ِ ُ ‫يََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا إِن َجا َٰٓ َء ُك ْم فَاس ٌِۢق بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُ َٰٓو ۟ا أَن ت‬
۟ ‫صيب‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS Al-Hujurot:6)
Yang berkaitan dengan ta’dil, firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Fath ayat 18:
َ َ‫س ِك ْينَة‬
“‫علَ ْي ِه ْم َواَثَابَ ُه ْم فَتْحا قَ ِريْبا‬ َّ ‫ع ِن ْال ُمؤْ مِ نِيْنَ اِ ْذ يُبَايِعُ ْونَكَ تَحْ تَ ال‬
َّ ‫ش َج َرةِ فَعَل َِم َما فِ ْي قُلُ ْوبِ ِه ْم فَا َ ْنزَ َل ال‬ َ ُ‫ّٰللا‬
‫ي ه‬ ِ ‫۞ لَقَ ْد َر‬
َ ‫ض‬

DOI : 10.15575/diroyah.xxxxx https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Diroyah/


Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis x, x (xxxxxxx): x-xx 2 dari 8

Artinya :
“Sungguh, Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu
(Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu Dia memberikan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS Al Fath : 18)
Jarh dan ta’dil dalam ilmu hadis menjadi berkembang di kalangan sahabat, tabi’in, dan para ulama
setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah SAW:

‫سيكون في أخر أمتي أناس يحدثونكم ما لم تسمعوا أنتم وال أباؤكم فإياكم وإياهم‬
Artinya: “Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadis
kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya.
Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka”. (HR. Muslim)
Dari Yahya bin Sa’id Al-Qaththan berkata:
‫سألت سفيان الثوري وشعبة ومالكا وابن عيينة عن الرجل ال يكون ثبتا في الحديث فيأتيني الرجل فيسألني عنه قالوا أخبر عنه‬
‫أنه ليس بثبت‬
Artinya:
“Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah
tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadis. Lalu seseorang datang kepdaku dan bertanya tentang
dia, mereka berkata, “Kabarkanlah tentang dirinya bahwa hadisnya tidaklah kuat (dalam periwayatan
hadis)”. (HR. Muslim)
Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata, “Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan dari
orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah ia riwayatkan dari orang-
orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia
riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka. (- Baqiyyah bin Al-Walid
banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa) Diketahuinya hadis-hadis yang shahih dan yang lemah
hanyalah dengan penelitian para ulama yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah SWT
kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi.
Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak: “(Bagaimana dengan) hadis-hadis yang dipalsukan ini?. Dia
berkata, “Para ulama yang berpengalaman yang akan mengahadapinya”.
Maka penyampaian hadis yang periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk
agama. Oleh karenanya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan
keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada
hadis, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (jarh wa ta’dil) akan menyebabkan
kedustaan kepada Rasullullah SAW.
2. Hasil Penelitian
A. Definisi Al-Jarhu Wa Al-Ta’dil
Kata al-jarh dijelaskan dalam Lisān al-‘Arab:
‫مصدر من جرح وجيرحه إذا أحدث يف بدنه جرحا سيالن الدم منه يقال جرح احلاكم وغري الشاهد إذا عري منه على ما يسقط عدالته من كذب وغريه‬
Artinya:
“Jarh adalah bentuk mashdar dari lafal “jaraha” yaitu suatu ungkapan untuk badan yang
terluka, sehingga mengalirkan darah. Umpamanya, seorang Hakim telah men-jarh saksi menunjukkan
aibnya, yaitu ketika saksi itu tercela sehingga jatuhlah keadilannya, baik karena dusta atau selainnya”.1
Dilihat dari segi bahasa, kata al-jarḥ adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang terdiri
dari huruf ‫ج‬,‫ ر‬dan ‫ ح‬yang berarti memberi luka atau melukai bagian tubuh dengan pedang. Menurut
sebagian ahli bahasa apabila ‫ ج‬dibaca ḍammah, berarti melukai badan dengan besi atau sejenisnya,

1
Muḥammad bin Mukrim bin ‘Alī Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Ibn Manz}ūr al-Anṡārī, Lisān al-
‘Arab, (Beirut: Dār Ṣādr, 1414 H), cet. 3, Juz. 2, h. 422.

IkmalTohaKamaluzaman/ Definisi,Objek,Metode Jarh wa Ta’dil


Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis x, x (xxxxxxx): x-xx 3 dari 8

sedangkan apabila ‫ ج‬dibaca fatḥah berarti melukai dengan menggunakan lisan, dengan kata lain hal ini
bersifat abstrak2.
Adapun menurut istilah al-jarhu adalah
‫الطعن فى راوي الحديث بما يسلب أو يخل بعدالته أو ضبطه‬
Artinya :
“Kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau
kedhabitan perawi”3

‫ذكر ما يعاب به الراوي‬


Artinya :
“Menyebutkan sesuatu yang mengakibatkan tercacatlah si perawi (menampakkan keaiban
yang menolah riwayatnya).”4
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis,
seperti: pelupa, pembohong dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan
bahwa periwayat tersebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini di tolak, dan hadisnya
di nilai lemah (dha’if).5
Penggunaan kata al-jarh dan al-tajrīh dalam ilmu hadits ada yang disamakan dan ada yang
dibedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-jarh berkonotasi tidak mencari-cari cela ulama,
yang biasanya telah tampak pada diri ulama. Sedang al-tajrīh berkonotasi ada upaya aktif untuk
mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela ulama. Menurut istilah ilmu hadis, kata al-jarḥ berarti
menyifati seorang perawi dengan sifat yang membuat yang diriwayatkannya menjadi tidak kuat atau
menjadi lemah atau bahkan menjadikan riwayatnya tertolak.6
Al-‘Adl menurut kitab Manhaj Dzawin Nazhar, adalah:
‫ واملراد ابلتقوى اجتناب األعمال السيئة من شرك أو فسق أو بدعة‬،‫من له ملكة حتمله على مالزمة التقوى واملروءة‬
Artinya :
“Orang yang memiliki ketetapan dalam taqwa dan muru’ah. Taqwa berarti menjauhi menjauhi semua
perbuatan yang buruk, baik berupa kemusyrikan, kefasikan maupun bid’ah.”.7
Al-‘adl menurut Bahasa adalah, ‫ التسوية‬atau ‫ المستقيم‬yang berarti menyamakan, kelurusan. dalam
Lisān al-‘Arab, Al-adl adalah:
‫ وهو ضد اجلور‬,‫ ما قام ىف النفوس أنه مستقيم‬:‫العدل‬
”Adil adalah apa yang tertancap dalam jiwa sebagai hal yang lurus. Dan adil lawan kata dari al-jur.”
‫وصف الراوي بصفات توجب عدالته التي هي مدار القبول لروايته‬
Artinya :
“Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut ‘adil, yang menjadi sumbu (puncak)
penerimaan riwayatnya”8
Lawan dari kata al-jarh adalah at-ta’dil. Kata at-ta’dil adalah bentuk masdar dari
kata ‫تَ ْعديْل‬-‫يُعَ ِّد ُل‬-‫َّل‬
َ ‫ عَد‬yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh
seseorang. Sedangkan menurut istilah adalah
‫تزكية الراوي واحلكم عليه أبنه عدل أو ضابط‬

2
Abdul Gaffar Bedong, dan Muhammad Ismail Maggading, al-Jarḥ wa al-Ta‘dīl Konstruksi
Aplikatif Terhadap Penilaian Hadis, h. 14
3
Ibid
4
Teungku M. Hasbi As-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang : Pustaka Rizki Putra,
2009), h. 279
5
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 50
6
Lihat ‘Abd al-‘Azīz bin Muḥammad bin Ibrāhīm ‘Abd al-Laṭīf, Ḍawābiṭ al-Jarḥ wa al-Ta‘dīl,
h. 10;
7
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritk Hadis, h. 54-55
8
Teungku M. Hasbi As-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang : Pustaka Rizki Putra,
2009), h. 279

IkmalTohaKamaluzaman/ Definisi,Objek,Metode Jarh wa Ta’dil


Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis x, x (xxxxxxx): x-xx 4 dari 8

“Pembersihan atau pensucian perawi dan menetapkan bahwa dia adil dan dhabit”
Artinya, membersihkan dan mensucikan perawi dan menetapkan bahwa ia adil
dan dhabit.. Orang yang ‘adl adalah orang yang kesaksiannya
diterima.9
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti: kuat
hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya.10 Orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut
‘adil, sehingga, hadis yang dibawanya dapat diterima sebagai dalil agama. Hadisnya dinilai shahih,
Sesuai dengan fungsinya sebagai sumber ajaran Islam, maka yang diambil adalah hadis shahih. 11
Lebih jelasnya, ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib
atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh wa alTa;dil".
Dr. Ajjaj Khatib mendefinisikannya sebagai berikut:
.‫هو العلم الذي يبحث يف أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها‬
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak
periwayatannya".12
Adapun Shobihi solih mendefinisikan al-jarh wa al Ta'dil dengan:
‫علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد ىف شأهنم مما يشنيهم أو يزكيهم أبلفاظ خمصوصة‬
"Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang
dapat mencacatkan atau mebersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu".13
Nabi sendiri juga memberikan kritik dan pujian terhadap para shahabatnya, dan inilah bentuk
paling sederhana dari Jarh wa Ta’dil. Tentang jarh , Nabi Saw. bersabda:
‫بئس أخو العشيرة‬
“Betapa buruk saudaranya al-‘Asyirah”14
Sedangkan tentang ta’dil Nabi Saw. pernah bersabda:
‫نعم عبد هللا خالد بن الوليد سيف من سيوف هللا‬
“Hamba Allah yang paling baik adalah Khalid bin Walid, dialah salah satu dari pedang-pedang Allah.15
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah
ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang
khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka. Ilmu al-jarh wa al-ta’dil merupakan
pengetahuan yang membahas tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya maupun
kebersihannya dengan menggunakan lafad-lafad tertentu sehingga diterima atau ditolak riwayatnya.

B. Objek pembahasan Ilmu Al-jarhu wa Al-Ta’dil


Muhammad ‘Ajjal al-Khathib, seorang tokoh hadis kontemporer, dalam bukunya yang cukup
terkenal, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, membagi Ilmu Rijalul Hadits menjadi dua
bagian besar yaitu Ilmu Tarikh al-Ruwah dan Ilmu Jarh wa Ta’dil.
Kedua ilmu ini memang memiliki obyek material kajian yang sama, namun obyek formalnya
berbeda. Obyek material keduanya adalah orang orang yang dulu terlibat dalam periwayatan hadis
pada abad ke-1 hingga abad ke-4 Hijriyah, jadi mereka sudah wafat ratusan tahun yang lalu. Namun
obyek fomal keduanya berbeda. Jika Ilmu Tarikh al-Ruwah mengupas seluk-beluk sejarah hidup
perawi secara global, mulai dari tahun lahir, orang tua, riwayat belajar, kapan wafat, dan lain-lain.
Maka Ilmu Jarh wa Ta’dil mengupas seluk-beluk sejarah hidup perawi secara spesifik, yakni
bagaimana kualitas intelektual maupun kualitas moral perawi (dhabit atau tidak, jujur atau tidak),

9
Ibn Manzur, LisĀn al-‘Arab, al-juz’u al-hadiyatah ‘asyar, h. 430
10
Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar mushthalahul hadits, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1974), h. 307

11
Muh. Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, h. 120-121
12
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 70
13
Shobihi solih, Ulumul hadits wa musthahatuhu ,(Darul ilmi lil malayin, Beirut: 1984) h. 109
14
Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, jld. V (Dar Ibnu Katsir, Beirut: 1987), h. 2244
15
Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, jld. V ( Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut:), h. 688

IkmalTohaKamaluzaman/ Definisi,Objek,Metode Jarh wa Ta’dil


Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis x, x (xxxxxxx): x-xx 5 dari 8

tsiqqah atau tidak). Singkatnya, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membicarakan kebaikan
maupun keburukan orang-orang yang namanya tercantum dalam sanad sebuah hadis, sebagaimana
dituangkan dalam gambar skema di bawah ini:

Gambar 1.1
llmu al-jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
perawi itu bisa dierima atau harus ditolak. Apabila seorang rawi “di-jarh” oleh para ahli hadis sebagai
rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa
diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi. Oleh karenanya tujuan atau manfaat dalam
mempelajari ilmu al-jarh wa al-ta’dil dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Untuk menghukumi atau mengetahui status perawi hadis
2. Untuk mengetahui kedudukan hadis atau martabat hadis, karena tidak mungkin mengetahui
status suatu hadis tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa al-ta’dil
3. Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-nya serta
perkara yang berkaitan dengannya.

C. Metode Ilmu Al-jarhu wa Al-Ta’dil


Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan. Pertama, dengan
kepopuleran d kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah).
Seperti terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri,
Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Sy Ahmad bin Hanbal. Oleh karena itu, mereka sudah terkenal sebagai
orang adil di kalangan para ilmu hadis maka tidak perlu diperbincangkan lagi.
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), ditetapkan sebagai rawi yang adil
oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh:
1. Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-
kankarena jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis. Pendapat ini
menurut kebanyakan muhadditsin. Berlainan dengan pendapat para fuqaha yang
mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
2. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, dan
orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat men-
ta’dil-kannya.

Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu sebagai
berikut:
1. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam ke’aibannya. Seorang rawi yang
sudah dikenal sebagai orang yang fasiq atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu

IkmalTohaKamaluzaman/ Definisi,Objek,Metode Jarh wa Ta’dil


Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis x, x (xxxxxxx): x-xx 6 dari 8

lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan


kecacatannya.
2. Berdasarkan pen-tarjih-an dari seseorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya
dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegangi oleh muhadditsin, sedangkan menurut
para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditarjih dua orang laki-laki yang adil. 16
Kaidah tarjih dan ta’dil ada dua macam, pertama naqd kharij yaitu kritik eksternal yakni
tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi. Kedua, naqd dakhili yaitu kritik
internal tentang makna hadis dan syarat keshahihannya.17
Ada beberapa cara ulama dalam menjelaskan perilaku para perawi.18 Di antaranya:
1. Jujur dan tuntas dalam menyampaikan penilaian
Para ulama akan menyebutkan sifat positif maupun negatif perawi. Sebagai contoh
ucapan Muhammad ibn Sirin: “ Sesungguhnya engkau berbuat zalim kepada saudaramu, jika
engkau hanya menyebutkan kejelekan-kejelekannya tanpa menyebutkan kebaikan-
kebaikannya”. Artinya dalam dalam menyampaikan penilaian terhadap rawi, seorang kritikus
harus bersikap objektif sebagaimana mestinya, yang nanti bisa berakibat terhadap kualitas
periwayatan seorang rawi tersebut dan penilaian kritikus itu sendiri.
2. Kecermatan dalam meneliti dan menilai
Dengan mencermati pernyataan-pernyataan ulama tentang jarh wa ta’dil bisa kita
temukan kecermatan mereka dalam meneliti dan kedalaman ilmu mereka tentang perilaku
perawi yang mereka kritik. Sering kali mereka mampu memberikan informasi mengenai
kekacauan daya ingatannya, sebab kelemahan dan kemampuan akan membedakan antara
perawi yang lemah disebabkan kurang memperhatikan agama, dan perawi yang lemah
disebabkan tidak memiliki kekuatan dan keteguhan hafalan pada dirinya.19
3. Memenuhi etika jarh
Ulama jarh wa ta’dil dalam memnyampaikan penilaian tidak akan keluar dari etika
penilaian ilmiah. Ungkapan paling keras yang mereka sampaikan adalah “Fulan tukang palsu,
Fulan pendusta” atau ungkapan lain yang mereka sampaikan bagi orang-orang yang
memalsukan hadith. Dan ungkapan-ungkapan itu tidak keluar dari kenyataan yang ada.
Sebagian ada yang menghindari ungkapan-ungkapan seperti diatas dan menggunakan
ungkapan lain yang mengindikasikan. Misalnya ungkapan lam yakun mustaqim al-lisan (tidak
lurus lidahnya) atau yang semakna.
4. Global dalam menilai keadilan dan rinci dalam menilai kecacatan
Dari ungkapan imam hadits, ta’dil dapat dipahami bahwa mereka tidak menyebutkan
sebab-sebab keadilan mereka terhadap para perawi, karena sebab-sebab ta’dil sangat banyak,
sehingga sulit bagi seseorang menyebut seluruhnya. Hal tersebut berbeda dengan jarh, pada
umumnya mereka menjelaskan sebab-sebabnya, seperti sering lupa, sering salah, kacau
hafalannya, dll. Ketika dalam jarh sudah cukup dengan menyebut satu sebabnya, maka pelaku
atau pengkritik tidak boleh menyebutkan lebih dari itu. Dalam hal ini, Imam Al-Sakhawi
mengatakan: “Tidak diperbolehkan mencacat dengan dua sebab bila sudah cukup dengan satu
sebab, karena penilaian negatif hanya diperbolehkan jika dalam keadaan terpaksa”. Oleh sebab
itu, gunakan seperlunya saja.20

Ulama hadits juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi kritikus perawi hadits (al-jarih
wa almu’addil). Ini berarti hanya kritikus yang benar-benar memenuhi syarat-syarat saja dapat
dipertimbangkan kritikannya untuk menetapkan kualitas perawi hadits. Tegasnya, tidak setiap
pendapat atau kritik tentang kualitas perawi hadith harus diterima.

16
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 159-160
17
Endang Soetari, Ilmu Hadits:Kajian Riwayah Dan Dirayah, (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008), h. 197
18
Abu Azam Al-Hadi, Studi Hadith (Jember: Pena Salsabila, 2015), h. 226.
19
Al-Baghdadi, Al-Kifayah., 138
20
Muhammad ibn Abdirrahman al-Sakhawi, Fath alMughis, 325

IkmalTohaKamaluzaman/ Definisi,Objek,Metode Jarh wa Ta’dil


Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis x, x (xxxxxxx): x-xx 7 dari 8

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang kritikus perawi hadith (al-jarih wa almu’addil)
cukup banyak. Syarat-syarat tersebut bisa dipilah menjadi dua macam, yaitu
a) Yang berkaitan dengan sifat pribadi:
1. Bersifat adil, dalam pengertian ilmu hadits, dan sifat adilnya itu tetap terpelihara ketika
melakukan penilaian terhadap perawi hadits,
2. Tidak bersikap fanatik terhadap aliran yang dianutnya, dan
3. Tidak bersikap bermusuhan dengan perawi yang berbeda aliran dengannya.
b) Yang berkaitan dengan penguasaan pengetahuan, yaitu memiliki pengetahuan yang luas dan
mendalam khususnya yang berkaitan dengan:
1. Ajaran Islam.
2. Bahasa Arab.
3. Hadith dan ilmu hadith,
4. Pribadi perawi yang dikritiknya.
5. Sebab-sebab keutamaan dan ketercelaan perawi.21
3. Kesimpulan
Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan
kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan
memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka. Ilmu al-jarh
wa al-ta’dil merupakan pengetahuan yang membahas tentang keadaan periwayat hadis, baik
mengenai catatannya maupun kebersihannya dengan menggunakan lafad-lafad tertentu sehingga
diterima atau ditolak riwayatnya.
Objek material kajian ilmu Jarh Wa Al-Ta’dil ialah para perawi yang terlibat dalam periwayatan
hadits. Adapun Objek formalnya yaitu sejarah hidup perawi secara spesifik, yakni bagaimana
kualitas intelektual maupun kualitas moral perawi (dhabit atau tidak, jujur atau tidak, tsiqqah
atau tidak).
Metode untuk mengetahui keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua
ketetapan. Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai
orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli
ilmu Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Sy Ahmad bin Hanbal. Oleh
karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang adil di kalangan para ilmu hadis maka tidak
perlu diperbincangkan lagi.Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), ditetapkan
sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan belum terkenal
sebagai rawi yang adil.

Referensi
Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Abdul Lathif. (2004). Dhawabit al Jarhi Wa alTa’dil. Makkatul
Mukarromah : Maktabah al- Ubaiykan

Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari. (1992). Shahih al Bukhari Juz V. Beirut : Dar al Kitab al
‘Ilmiyyah
Abdul Gaffar Bedong, dan Muhammad Ismail Maggading. (2021). al-jarḥ wa al-ta’dīl Konstruksi Aplikatif
Terhadap Penilaian Hadis. Cet. I; Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani
Abdurrahman, M. dan Elan Sumarna. (2011). Metode Kritik Hadis. Cet. Ke I.: Bandung; PT Remaja
Rosdakarya

Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa Saurah al-Matauf. (2003). Sunan Turmudzi, Beirut: Dar el- Fikr

Agus Solahudin, Agus Suyadi.2009. Ulumul Hadis, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, Cet. I

21
Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fi al-‘Ilm arRiwayah (India: t.p, 1935 ), h. 267

IkmalTohaKamaluzaman/ Definisi,Objek,Metode Jarh wa Ta’dil


Diroyah: Jurnal Studi Ilmu Hadis x, x (xxxxxxx): x-xx 8 dari 8

Al Baghdadiy.(1938). Al-Kifayah Fi Ilmi al Riwayah. Heiderabad : Da’iratul Ma’arif al-Utsmaniyah

Al-Anṡārī, Muḥammad bin Mukrim bin ‘Alī Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Ibn Manẓūr.(1993) Lisān al- ‘Arab, Juz
2. Cet. III; Beirut: Dār Ṣādr

As-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. (2009). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang : Pustaka Rizki Putra

Endang Soetari. (2005). Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung : Mimbar Pustaka

Fatchur Rahman. (1974). Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung : PT Alma’arif

Hadi, Abu Azam. (2015). Studi Hadith. Jember: Pena Salsabila

Ibnu Manzur. (2016). Lisan al-Arab Jilid 14, Beirut : Daru Sadir

Khaeruman, Badri.(2010). Ulum al-Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia

Khon, Abdul Majid. (2012). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah

Mudasir. (2008). Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia

Muhammad ibn Abdurrahman al-Sakhawi. Fat Al Mugish. Beirut: dar al_kutub al-`Ilmiyyah, t.th

Sohari Sahrani. (2015). Ulmul Hadith. Bogor: Ghalia Indonesai

Solih, Shobihi. (1984). Ulumul hadits wa musthahatuhu ,Beirut : Darul ilmi lil malayin

Zuhri, Muhammad. (2003). Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana

© 2020 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms
and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).

IkmalTohaKamaluzaman/ Definisi,Objek,Metode Jarh wa Ta’dil

Anda mungkin juga menyukai