Anda di halaman 1dari 14

Hakikah dan Majaz Dalam Al-Qur’an dan Hadis

Astika Nur Fahriani (21205031064)


Nila Asyrofus Shofara (21205031053)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstrak
Pemahaman yang benar tentang hakikah dan majaz sangatlah penting untuk menghindari
kesalahan dan ketidaktepatan dalam penafsiran Al-Qur‟an, serta pemahaman terhadap
Hadis. Oleh karenanya, menjadi sebuah keniscayaan bagi akademisi ilmu al-Qur‟an untuk
mengkaji dan mempelajarinya. Tulisan ini bertujuan membahas hakikah dan majaz yang
disajikan dengan metode deskriptif-analitik. Penyajian data dilakukan secara deskriptif lalu
dilakukan analisis, kemudian diakhiri dengan penyimpulan. Setelah dilakukan pemaparan
dan analisis tentang persoalan tersebut maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
Hakikah merupakan makna asli. Hakikah terbagi menjadi tiga (hakikah lughawiyah,
„urfiyah, dan syar‟iyyah). Sementara majaz adalah lafaz yang digunakan tidak pada asal
kata. Secara garis besar majaz terbagi menjadi dua (majaz lughowi dan aqli/isnad).
Memahami hakikah dan majaz memiliki urgensi yang sangat signifikan untuk memahami
pesan-pesan dalam al-Qur‟an dan hadis. Adapun keberadaan hakikah dan majaz menuai
kontroversi dikalangan umat Islam. Tetapi, jumhur ulama sepakat dengan penggunaan
hakikah dan majaz yang mempertimbangkan kaidah-kaidah bahasa Arab, logika bahasa
yang tepat („aql) serta tidak bertentangan dengan dalil-dalil agama yang lain (naql).
Kata Kunci: Hakikah, Majaz, Al-Qur‟an, Hadist.
A. Pendahuluan
Al-Qur‟an adalah kitab yang memancar darinya aneka ilmu keislaman, karena
kitab suci itu mendorong untuk melakukan pengamatan dan penelitian. Kitab suci ini
juga dipercaya oleh umat Islam sebagai kitab petunjuk yang hendaknya dipahami.
Dalam konteks itulah lahir aneka disiplin ilmu dan pengetahuan baru yang
sebelumnya belum dikenal atau terungkap.1
Aneka disiplin ilmu keislaman yang muncul dalam perjalanan mempelajari
Al-Qur‟an itu saling kait-berkait, dukung-mendukung, bahkan yang satu memperkaya
yang lain. Diantara ilmu-ilmu yang penulis maksud ialah ilmu bahasa (gramatika dan
susastra), ilmu ushul fiqih, dan teologi. Kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam disiplin
ilmu-ilmu tersebut banyak dimanfaatkan oleh ulama tafsir dalam menetapkan makna
ayat.
Bahasan mengenai makna ayat, ada kaitan yang tidak terpisahkan antara lafaz
dan makna. Bahasan menyangkut hal ini menjadikan lafaz dan makna merupakan

1
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-Ayat Al-Qur‟an, (Bandung: Lentera Hati, 2021),h.5.

1
salah satu bahasan pokok, khususnya dalam studi tentang Al-Qur‟an dan juga Hadis.
Salah satu hal yang berkaitan dengan persoalan lafaz dan maknanya adalah apa yang
diistilahkan oleh sastrawan, pakar ushul fiqih, dan ilmu-ilmu Al-Qur‟an dengan
hakikah dan majaz.
Pemahaman yang benar tentang hakikah dan majaz sangatlah penting untuk
menghindari kesalahan dan ketidaktepatan dalam penafsiran Al-Qur‟an dan
pemahaman terhadap Hadis. Oleh sebab itu pemahaman yang benar akan hakikah dan
majaz haruslah dimiliki oleh setiap mufassir, hal ini pulalah yang menunjukkan
betapa pentingnya masalah ini dikaji dan dipelajari. Sehingga tulisan ini bertujuan
untuk mengungkap definisi hakikah dan majaz, klasifikasi hakikah dan majaz, urgensi
mempelajari hakikah dan majaz, kontroversi dan penyelesainnya, serta serta contoh-
contoh penggunaan hakikah dan majaz.
B. Hakikah
1. Definisi Hakikah
Secara etimologi, hakikah berarti nyata, kenyataan, atau asli. Hakikah berasal
dari kata haqqa yang berarti tetap. Sebagai makna subjek (fa‟il) maka memiliki arti
yang tetap dan sebagai objek (maf‟ul) artinya ditetapkan. 2
Sedangkan secara terminologi, hakikah adalah kata yang digunakan
sebagaimana pertama kali digunakan dalam konteks kebahasaan. Ibnu Jinni
mendefinisikan hakikah yakni sesuatu yang telah tetap dalam penggunaannya. Ibnu
Subki menyatakan bahwa hakikah adalah lafadz yang digunakan untuk apa lafadz itu
ditentukan pada mulanya. Sementara al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikah adalah
setiap lafadz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu.3 Sedangkan Ibnu
Qudamah mendefinisikan bahwa hakikah adalah lafadz yang digunakan untuk
sasarannya semula.
Dapat disimpulkan bahwa hakikah adalah sebuah kata dalam al-Qur‟an yang
digunakan seperti makna awalnya yang telah ditentukan dan memiliki tujuan tertentu.
2. Klasifikasi dan Ketetapan dalam Penggunaan Hakikah
Hakikah terbagi dalam tiga bagian, yaitu:4
a. Hakikat Lughawiyah (pengertian kebahasaan), yaitu makna lafadz yang sejak
semula ditetapkan oleh pengguna bahasa. Makna tersebut langsung dipahami

2
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2008). Hal. 345
3
Miftahul Arufin dan A. Faisal Haq, Ushul Fiqih: Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam (Surabaya:
Citra Media, 1997). Hal. 175
4
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan…,Hal.100-101.

2
maknanya tanpa perlu mencari indikator atau hubungannya dengan yang lain.
Contohnya yaitu lafadz “al-insan” dimaknai sebagai makhluk hidup yang memiliki
nalar.
b. Hakikat „Urfiyah (pengertian sehari-hari), yaitu makna khusus tertentu yang tidak
sepenuhnya sama dengan makna kebahasaan, karena ia menunjuk Sebagian dari
makna kebahasaan, atau memberinya makna yang lebih luas. Contohnya yaitu
seperti kata fiqh yang pada mulanya berarti pemahaman secara umum, lalu dibatasi
dalam pemakaian sehari-hari dengan memaknainya sebagai pengetahuan tentang
hukum Islam, atau kata ulama yang pada mulanya digunakan dalam arti
sekumpulan orang (jamak) yang memiliki pengetahuan dalam bidang apapun, lalu
dipersempit dalam pemakaian sehari-hari dalam arti pakar dalam bidang ilmu
agama. Makna baru ini lahir akibat kebiasaan penggunaannya dalam pengertian
tersebut.
c. Hakikat Syar‟iyyah yaitu makna yang digunakan oleh bahasa syari‟at atau agama
seperti halnya kata Allah, zakah, shaum, shalah ghanimah, dan lain-lain. Syari‟at
tidak jarang mempersempit makna kebahasaan, demikian juga makna sehari-hari
yang digunakan dan dipahami masyarakat.
Dalam konteks ketiga hakikah diatas, ulama menyepakati kaidah yang
menyatakan bahwa “Yang harus didahulukan dalam memahami al-Qur‟an dan
sunnah adalah hakikah syar‟iyah, apabila makna tersebut tidak sesuai, maka dapat
dipahami dengan hakikah „urfiyah, apabila masih tidak sesuai, maka dipahami
dengan hakikah lughowiyah”.
Dalam hakikat ada beberapa ketetapan yang harus dipatuhi, diantaranya yaitu:
a. Harus mengikuti ketetapan makna awal yang telah ditetapkan oleh pakar atau suatu
komunitas dibidangnya. Seperti firman Allah:‫ اركعىا واسجذوا‬perintah dalam firman
ini memerintahkan kita untuk ruku‟ dan sujud seperti yang diperintahkan oleh
syari‟ (Nabi) dan penggunaan kata ‫ االوسبن‬sebagai makhluk hidup yang memiliki
nalar, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para pakar bahasa.
b. Tidak boleh memindah makna asli dari suatu lafadz, seperti mengganti arti pada
kata ayah menjadi kakek, karena kakek adalah makna majaz dari ayah menurut
orang arab.

3
c. Harus mendahulukan arti hakikat daripada arti majaz karena arti hakikat adalah arti
yang tidak membutuhkan suatu petunjuk untuk memahaminya, sedangkan arti
majâz membutuhkan suatu petunjuk untuk memahaminya. 5
3. Urgensi Mempelajari Hakikah
Setelah memahami haqiqah dari berbagai macam pengertian, dan melihat dari
klasifikasinya, haqiqah memiliki signifikansi sebagai berikut.
a. Dengan mempelajari haqiqah, dapat memahami suatu makna kata yang terdapat
didalam al-Quran dengan baik.
b. Kemudian dapat membedakan, antara kata yang harus diartikan sebagaimana
bentuk asalnya, dan mana pula kata yang harus dimaknai setelah mengalami
transformasi.
c. Dapat memahami bahwa kata asal yang mengalami transformasi dengan kata lain,
memiliki kaitan yang erat dan memiliki maksud tertentu.
C. Majaz
1. Definisi Majaz
Majaz secara etimologi berasal dari bahasa arab al-majaz yang merupakan
bentuk mashdar dari kata jaz yang berarti lewat atau keluar.6 Secara terminologis,
majaz adalah suatu lafadz yang maknanya berpindah dari makna aslinya. Menurut al-
Sakkaki, majaz adalah kalimat yang digunakan bukan pada tempat semestinya karena
digunakan untuk yang lainnya dan kalimat tersebut tidak dapat disandarkan kepada
makna aslinya karena terdapat sebuah petunjuk yang menghalangi untuk makna asli
tersebut.
Ada beberapa pendapat ulama mengenai definisi majaz. Al-Sarakhisi
berpendapat bahwa majaz adalah nama untuk setiap lafadz yang dipinjam untuk
digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan. Ibn Qudamah berpendapat bahwa
majaz adalah lafadz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk
yang dibenarkan. Sedangkan Ibnu Subki berpendapat bahwa majaz adalah lafadz yang
digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan. 7
Dapat disimpulkan bahwa majaz adalah setiap lafadz yang digunakan tidak
pada asal kata dari artinya karena adanya hubungan serta qarinah yang melarang

5
Firdaus, “Hakikat Dan Majaz Dalam Al-Qur‟an Dan Sunnah,” Jurnal Kajian Dan Pengembangan
Umat Vol. 1 (2018): No. 1. Hal. 46
6
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan…,h.121.
7
Ahmad Badawi, “Lafadz Ditinjau dari Segi Hakikat dan Majaz”, Jurnal Al-Fikru, Vol. 1 (2019): No.
1, h.51-52.

4
untuk dikehendaki makna yang sebenarnya. Singkatnya, majaz adalah setiap kata
yang maknanya beralih kepada makna lainnya.
2. Klasifikasi dan Ketetapan dalam Penggunaan Majaz
Majaz terbagi menjadi 2 bagian, yaitu: 8
a. Majaz Lughowi
Majaz Lughowi, yakni penggunaan lafadz yang tidak sesuai dengan makna
asalnya karena adanya hubungan dan petunjuk kebahasaan yang melarang untuk
menghendaki makna sebenarnya. Majaz lughowi terbagi dalam 2 bagian, yakni
isti‟arah dan majaz mursal.
Pertama, Isti‟arah, yakni majaz lughowi yang hubungan antara makna hakiki
dan majazi tersebut hubungan langsung. Contohnya ‫طلع البدر ععلینا من ثنیات الوداع‬
pada lafadz “al-badru” makna hakikinya adalah rembulan, sedangkan makna
majazinya adalah Nabi Muhammad saw. Hubungan antara keduanya adalah
bahwa Nabi Muhammad saw menyinari umatnya dan rembulan juga menyinari
bumi. Keduanya memiliki sifat sama-sama menyinari.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa hubungan antara makna hakiki
dan makna majazi pada lafadz “al-badru” adalah hubungan langsung karena
dalam uslub majaz terdapat hubungan langsung antara makna hakiki dan majazi
sehingga dinamakan isti‟arah.
Kedua, majaz mursal, yakni majaz yang hubungan antara makna hakiki dan
majazi berupa hubungan tidak langsung. Contohnya yaitu dalam QS. Al-Baqarah:
43.
ِ ِ َّ ‫الزَكاةَ وارَكعوا مع‬ ِ
‫ي‬
َ ‫الراكع‬ َ َ ُ ْ َ َّ ‫الص ََلةَ َوآتُوا‬
َّ ‫يموا‬
ُ ‫َوأَق‬
Artinya: “Dan dirikanlah sholat serta tunaikan zakat serta rukuklah bersama
orang-orang yang ruku”. (QS. Al-Baqarah: 43)

‫ي‬ ِ ِ َّ ‫ وارَكعوا مع‬disini adalah makna majazi yaitu lafadz


Lafadz َ ‫الراكع‬ ََ ُ َْ ‫وصهىا مع‬

‫( انمصهحيه‬hendaklah kamu sekalian sholat bersama orang-orang yang sholat”.

Dalam lafadz ‫ َو ْارَك ُعوا‬ada hubungan makna hakiki dengan makna majazi, namun
hubungan tidak langsung.

8
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan….h.121-125.

5
b. Majaz „Aqli
Majaz „Aqli atau disebut juga isnad majazi, yakni penisbahan aktivitas (atau
yang serupa dengannya) kepada sesuatu yang bukan aslinya karena adanya
„alaqah dan qarinah yang mencegah terjadinya penyandaran makna ke lafadz
tersebut. Dinamakan aqli karena majaz jenis ini bisa diketahui penunjukan
maknanya dengan menggunakan akal.
Dalam majaz „aqli ditekankan keharusan adanya keterikatan dalam penisbahan
antara kata yang digunakan dan makna yang dimaksudkan. Keterikatan itu
beraneka ragam, diantaranya yaitu:
1. Waktu dan persitiwanya, firman Allah swt yang menunjukkan dahsyatnya hari
kiamat,yaitu dalam QS. Al-Muzammil: 17

‫يَ ْوًما ََْي َع ُل الْ ِولْ َدا َن ِشيبًا‬


Artinya: Hari yang menjadikan anak-anak beruban. (QS. Al-Muzammil: 17)
Disini sebenarnya buka “hari” yang menjadikan mereka demikian, tetapi
peristiwa dahsyat yang terjadi pada hari itu. Disini ada keterkaitan antara
peristiwa dan hari.
2. Sebagian dari sesuatu dengan keseluruhan bagiannya, contohnya disini dalam
Firman Allah swt yang merekam ucapan Nabi Ibrahim as., yaitu QS. Al-An‟am:
79
ِ ِ ِ َّ ‫إِِّن و َّجهت وج ِهي لِلَّ ِذي فَطَر‬
ِ ‫ات و ْاْلَر‬
َ ‫ض َحن ًيفا َوَما أ َََن م َن الْ ُم ْش ِرك‬
‫ي‬ َ ْ َ ‫الس َم َاو‬ َ َ َْ ُ ْ َ ّ
Artinya: “Sesungguhnya aku mengarahkan wajahku dengan lurus kepada Dia
yang menciptakan langit dan bumi dan aku tidak termasuk kelompok yang
mempersekutukan Allah swt”. (QS. Al-An‟am: 79)
Yang beliau maksud dengan “wajah” adalah totalitas diri beliau. Tetapi karena
wajah merupakan bagian dirinya, maka ialah yang mewakili totalitas tersebut,
apalagi jika kita melihat satu sosok tanpa melihat wajahnya, maka kita tidak bisa
mengenalnya, berbeda jika kita melihat wajahnya walaupun tanpa melihat bagian-
bagian tubuh yang lain kita tetap bisa mengenalnya.
3. Keseluruhan dari sesuatu dengan sebagian bagiannya, contohnya dalam firman
Allah swt QS. Al-Baqarah: 19, yaitu:

6
ِ ‫الصو‬
‫اع ِق‬ ِ ِِ ِ ِ ‫السم ِاء فِ ِيه ظُلُمات ور ْع ٌد وب ر ٌق ََيعلُو َن أ‬ ِ ٍ ِ ‫أَو َك‬
َ َّ ‫َصاب َع ُه ْم ِف آ َذاِن ْم م َن‬
َ َ ْ َْ َ َ َ ٌ َ َ َّ ‫صيّب م َن‬
َ ْ
ِ ِ ٌ ‫اَّلل ُُِمي‬ ِ
َ ‫ط ِبلْ َكاف ِر‬
‫ين‬ َُّ ‫َح َذ َر الْ َم ْوت َو‬
Artinya: “Mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga mereka akibat
halilintar”.(QS. Al-Baqarah: 19)

Yang mereka letakkan adalah ujung jari-jari mereka, bukannya semua jari
mereka, karena hal tersebut mustahil sebab lubang telinga jauh lebih kecil daripada
jari-jari.

4. Menggunakan kata sebagian, tetapi yang dimaksud seluruh bagiannya, seperti


firman Allah yang merekam nasihat seorang mukmin dari keluarga Fir‟aun
menyangkut ancaman Nabi Musa kepada mereka, yakni pada QS. Ghafir: 28.

‫ض الَّ ِذي يَعِ ُد ُك ْم‬ ِ ِ ‫ك‬


َ ُ َ‫َوإِ ْن ي‬
ُ ‫صادقًا يُصْب ُك ْم بَ ْع‬
Artinya: “Kalau Musa benar maka Sebagian dari apa yang diancamkannya
kepada kamu dapat menimpa kamu”. (QS. Ghafir: 28)
Yang dimaksud Sebagian adalah seluruhnya.
5. Menggunakan Kata Seluruh Bagiannya, tetapi yang dimaksud Sebagian. Seperti
dalam QS. Al-Hajj: 27

‫ي ِم ْن ُك ِّل فَ ٍّج َع ِم ٍيق‬ ِ ِ ‫وك ِرج ًاًل وعلَى ُك ِل‬ ِ ‫َوأَ ِذّ ْن ِِف الن‬
َ ّ َ َ َ َ ُ‫َّاس ِِب ْْلَ ِّج ََيْت‬
َ ‫ضام ٍر ََيْت‬
Artinya: “Kumandangkanlah (ajakan) berhaji kepada manusia, niscaya mereka
berjalan kaki dan menunggang unta yang kurus (karena jauhnya perjalanan)
berdatangan dari seluruh penjuru yang jauh”. (QS. Al-Hajj: 27)
Kenyataannya menunjukkan bahwa yang melaksanakan haji bukan yang
dating dari seluruh penjuru tetapi Sebagian dari penjuru dunia. Ini serupa dengan
firman Allah yang menguraikan sujudnya malaikat kepada Adam. Allah berfirman
dalam QS. Shad: 73

ْ ‫فَ َس َج َد الْ َم ََلئِ َكةُ ُكلُّ ُه ْم أ‬


‫َْجَ ُعو َن‬
Artinya: “Maka sujudlah malaikat semua mereka bersama-sama”.
Yang sujud sebenarnya bukan semua malaikat, tetapi hanya yang diperintah.

7
6. Menyebut “sebab” sedang yang dimaksud adalah akibatnya. Seperti firman Allah
swt.

َّ ‫َما َكانُوا يَ ْستَ ِط ُيعو َن‬


‫الس ْم َع‬
Artinya: “Mereka tidak dapat mendengar”.(QS. Hud: 20)
Maksudnya, tidak memperkenankan, karena tujuan mendengar tuntunan adalah
memperkenankannya atau sebaliknya, menyebut akibat/dampaknya, tetapi yang
dimaksud sebabnya. Seperti firman Allah

‫الس َم ِاء ِرْزقًا‬


َّ ‫َويُنَ ِّزُل لَ ُك ْم ِم َن‬
Artinya: “Allah menurunkan buat kamu rezeki”. (QS. Ghafir: 13)
7. Menamai sesuatu dengan namanya yang lalu, seperti menamai seorang yang telah
dewasa sebagai anak yatim (QS. An-Nisa: 2) atau menamai sesuatu dengan nama
yang bakal menjadi namanya seperti QS. Yusuf: 36
ِ ‫إِِّن أَرِاّن أ َْع‬
‫ص ُر َخًَْرا‬ َ ّ
Artinya: “Sungguh aku bermimpi melihat diriku memeras khamr”.

Maksudnya adalah anggur. Karena anggur setelah diperas akan dinamai khamr.

Dalam majaz ada beberapa ketetapan yang harus dipatuhi, diantaranya yaitu:

a. Adanya makna lain yang dipinjam untuk mengganti makna hakikat, dan menjadi
suatu ketetapan arti.

b. Makna majaz bisa dialihkan kepada makna lain. Seperti kata khimar yang berarti
bodoh bisa dialihkan kepada orang yang bersuara buruk.

c. Menurut kesepakatan ulama‟ majaz lebih baik dari pada musytarak (suatu kata
yang memiliki beberapa arti yang berbeda), dan lebih baik dari pada memindah
satu arti menjadi arti lain, serta menurut Hanafiyah lebih baik dari pada
membuang atau menyimpan suatu arti.9

3. Urgensi Mempelajari Majaz

Diantara faedah-faedah penggunaan majaz adalah sebagai berikut.

9
Firdaus. Hal. 46

8
a. Al-iijaz yakni memperingkas suatu kalimat atau ungkapan.
b. Memperluas lafadz, dimana seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka
setiap makna hanya memiliki satu komposisi.
c. Menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada
akal fikiran.
D. Kontroversi Hakikat dan Majaz dalam al-Qur’an dan Hadis
Dalam penerapannya sebagai sebuah metode, teori atau pendekatan untuk
memahami ayat al-Qur‟an dan hadis Nabi maka makna majaz tidak secara otomatis
bisa diterima oleh masyarakat muslim secara keseluruhan. Ada kelompok yang bisa
menerima dan ada kelompok yang menolak.
Kelompok yang menerima beranggapan bahwa ada realitas yang
mengharuskan teks keagamaan itu dimaknai secara majaz, jika tidak dimaknai secara
majaz maka menyalahi logika yang benar, menyalahi dalil agama dan menyalahi
maqashid al-syari‟ah. Yusuf al-Qardhawi misalnya, al-Qardhawi berpendapat, semua
alur pemaknaan ayat dan hadis hakikatnya menolak makna hakiki (letterlek) jika
dengan makna hakiki menjadikan sempit ruang agama itu sendiri, sehingga agama
tidak bisa diterima secara sukarela, akal sehat menolaknya, tidak realistis dan tidak
dibenarkan ilmu pengetahuan.
Ulama dan pemikir modern berpandangan bahwa pemaknaan majaz tetap
dibutuhkan untuk memaknai teks-teks keagamaan yang mungkin bisa dilakukan
secara majaz dengan tidak berlebihan, yang menyebabkan keluar dari aturan dan
kaidah yang benar. Artinya, dalam memaknai sebuah teks, mereka tetap
mempertimbangkan kaidah-kaidah bahasa Arab yang benar, logika bahasa yang tepat
(„aql) serta tidak bertentangan dengan dalil-dalil agama yang lain (naql). Oleh karena
itu pemaknaan secara majaz tidak bisa diabaikan karena menjadi kebutuhan mereka.
Dilain pihak terdapat kelompok yang menolak majaz. Alasan mereka, bahwa
majaz adalah bagian dari kebohongan dan atau gurauan. Seperti ulama yang
beranggapan bahwa dalil-dalil agama (al-Qur‟an dan hadis) harus dimaknai dengan
makna asal, makna tekstual, bukan dengan makna majaz. Maksud yang sesungguhnya
dari makna tersebut menurut mereka harus dikembalikan kepada Allah sendiri, karena
Allah-lah yang memiliki hak prerogatif makna. Allah yang menentukan “dengan lafaz
apa dan maksud apa” tentang sesuatu yang dikehendakinya. Itu semua terserah Allah

9
sendiri.10 Sikap kelompok yang menolak makna majaz sebagai alat memahami teks
keagamaan pada dasarnya bisa dimaklumi. Hal itu karena mereka ingin
menghindarkan dari pemahaman teks yang jauh dari makna yang tidak dikehendaki
oleh dalil agama.
Akan tetapi dimasa sekarang perlu dipertimbangkan juga bila makna majaz
ditutup dan hanya menggunakan makna tekstual. Sebab keadaan ini hanya akan
menyulitkan ulama modern dan kalangan terpelajar dalam memahami al-Qur‟an dan
hadis Nabi, bahkan menyulitkan pemahaman terhadap Islam itu sendiri. Ulama
modern dan kalangan terpelajar beranggapan bahwa menutup makna majaz dapat
menimbulkan keraguan atas kebenaran Islam jika dalil-dalil agama hanya dimaknai
secara zahir. Selanjutnya mereka beranggapan bahwa memahami dalil-dalil agama
dengan pemaknaan majaz tentu lebih mendekatkan rasionalitas mereka. Pemaknaan
seperti ini memiliki kesesuaian dengan ilmu pengetahuan dan tidak menyalahi logika
bahasa serta tidak bertentangan dengan kaidah agama itu sendiri. Oleh karenanya,
agar terhindar dari pemahaman yang tidak tepat, maka pemaknaan secara majaz
seharusnya tidak menyalahi dan tidak bertentangan dengan dalil agama yang lain.
Disamping itu, syarat-syarat kebahasaan juga harus dipenuhi. Jika tidak maka
pemaknaan tersebut tidak akan memberikan pencerahan bagi umat yang ingin
mengkajinya secara benar tetapi justru bisa berbalik akan memberikan pemahaman
yang salah dan bahkan menyesatkan umat.
Memang, dalam persoalan penetapan majaz dan hakikat bisa jadi ulama
berbeda pendapat tentang hakikat mana yang dimaksud oleh ayat, bahkan berbeda
dalam menetapkan mana makna hakiki dan mana pula yang syar‟i. Kata nikah
misalnya. Ini dapat mengakibatkan perbedaan hukum karena ulama berbeda pendapat
hakikat makna nikah, apakah „aqd (akad) atau hubungan seks. Akan tetapi semua itu
dapat diusahakan titik terangnya melalui pendekatan munasabah, asbabun nuzul dan
perangkat lainnya.
E. Contoh Penggunaan Hakikah dan Majaz
a. Hakikah dan Majaz Dalam Al-Qur‟an

‫ف َمب تَ َزكَ ا َ ْس َوا ُج ُك ْم ا ِْن نَّ ْم َي ُك ْه نَّ ُه َّه َونَذ‬ ْ ِ‫َونَ ُك ْم و‬


ُ ‫ص‬

10
Khotimah Suryani, Kontroversi Makna Majaz Dalam Memahami Hadis Nabi,h.180.

10
Artinya: Buat kamu (wahai para suami) setengah dari apa yang ditinggalkan
oleh istri-istri kamu (yang telah wafat) jika mereka tidak memiliki anak. (QS. An-
Nisa‟/4:12)
Makna “setengah” di sini jelas dan pasti, yakni 50 %. Bentuk kata nisfu dalam
ayat di atas merupakan hakikat lughawiyah (pengertian kebahasaan), yang sejak
semula ditetapkan oleh pengguna bahasa, sehingga dapat dipahami tanpa perlu
dialihkan dengan makna majaz.

ُ ‫ب هللاُ نَ ُك ْم َو ُكهُ ْى َوا ْش َزبُ ْىا َحتّى يَتَبَيَّهَ نَ ُك ُم ْان َخ ْي‬


‫ط‬ َ َ‫فَب ْنئهَ بَب ِش ُز ْو ه َُّه َوا ْبتَغُ ْى َمب َكت‬...
...‫ط ِمهَ ان َخ ِط ْاألَس َْى ِد ِمهَ ْانفَ ْج ِز‬ ُ ‫األ َ ْب َي‬
Artinya:…Maka sekarang campurilah mereka, dan carilah apa yang telah
ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan)
antara benang putih dan benang hitam yaitu fajar. (QS. Al-Baqarah/2: 187)
Imam al-Bukhari telah meriwayatkan hadis yang menceritakan sabab nuzul
ayat tersebut melalui sahabat Adi ibn Hatim. Ketika ayat itu turun, Adi ibn Hatim

ِ َ‫َط ْاألَس َْى ِد ِمهَ ْانف‬


memahami makna (‫جْز‬ ُ َ‫ ) ْان َخ ْيطُ األ َ ْبي‬dengan makna tekstual
ِ ‫ط ِمهَ انخ‬
yaitu ikat kepala (dalam tradisi pakaian orang Arab disebut iqal). Ikat kepala yang
satu berwarna putih dan yang lainnya berwarna hitam. Pada suatu malam, kedua ikat
kepala tersebut ia letakkan di bawah bantal. Kedua ikat kepala itu ia lihat dan ia
perhatikan cukup lama. Jika ikat kepala yang putih itu terlihat maka itulah yang akan
ia tangkap. Namun sampai pagi hari ikat kepala yang berwarna putih ternyata tidak
tampak. Lalu ia datang kepada Rasulullah mempertanyakan persoalan ini. Kemudian
Rasul menjelaskan persoalan ini kepadanya dengan ungkapan: “Sesungguhnya
bantalmu malam itu cukup lebar, dan yang dimaksud ( ‫األَس َْى ِد‬
ْ ‫َط‬ ُ َ‫ْان َخ ْيطُ األ َ ْبي‬
ِ ‫ط ِمهَ انخ‬
‫ ) ِمهَ ْانفَجْز‬adalah putihnya (terangnya) siang hari dan hitamnya (gelapnya) malam
hari”.
Jadi Adi ibn Hatim awalnya memahami kata ( َ‫األَس َْى ِد مِه‬
ْ ‫َط‬ ُ ‫ْان َخ ْيطُ األ َ ْب َي‬
ِ ‫ط ِمهَ انخ‬
‫ ) ْانفَجْ ز‬dengan makna tekstual, makna hakiki, tidak majaz, namun pemaknaan seperti
itu dianggap tidak tepat oleh Rasulullah, karena seharusnya kalimat tersebut
dipahami dengan majaz. Ibnu Katsir sendiri berpendapat bahwa makna yang
dimaksud dalam ungkapan tersebut adalah putihnya (cahaya) siang hari dan hitamnya

11
(gelapnya) malam hari. Kedua hal itu berada di belahan dunia timur dan barat yaitu
fajar pagi. 11
b. Hakikat dan Majaz Dalam Hadis

َ ‫صب ًعب ِم ْه تَ ْم ٍز أَ ْو‬


َ ‫صب ًعب ِم ْه‬
‫ش ِعي ٍْز‬ َ ‫ط ِز‬ ْ ‫سهَّ َم سَ َكبةَ ْان ِف‬
َ ‫عهَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صهَى هللا‬ َ ِ‫س ْى ُل هللا‬ ُ ‫ض َر‬ َ ‫فَ َز‬
َّ ‫َعهَى ْانعَ ْب ِذ َو ْان ُح ِ ّز َوانذَّ َك ِز َو ْاأل ُ ْوثَى َوان‬
. َ‫ص ِغي ِْز َو ْان َكبِي ِْز ِمهَ ْان ُم ْس ِه ِميْه‬
Artinya: Rasul saw mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha‟ kurma atau satu sha‟
gandum atas seorang hamba sahaya atau merdeka, lelaki atau perempuan, kecil atau
besar.
Makna hadis di atas sangat jelas, yakni zakat fitrah adalah wajib. Kata zakat
merupakan hakikah Syar‟iyyah yaitu makna yang digunakan oleh bahasa syari‟at atau
agama yang menunjukkan aktivitas mengeluarkan sejumlah harta sesuai aturan
agama.

‫ َع ْه أ ِبي‬,ِ‫ َع ِه األع َْزاج‬,ِ‫انشوَبد‬ ّ ِ ‫ َع ْه أَ ِبي‬,‫ َحذَّثَ ِىى َمب ِنك‬:َ‫َحذَّثَىَب إ ْس َمب ِع ْي ُم قَم‬
‫ َيأْ ُك ُم ْان ُم ْس ِه ُم فِي ِم ًعى‬:‫سهَّ َم‬
َ ‫صهَّى هللاُ َع َه ْي ِه ِو‬ ِ ‫س ْى ُل‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫ َقب َل َر‬:َ‫ي هللاُ َع ْىهُ َقبل‬ َ ‫ظ‬ ِ ‫ه َُزي َْزةَ َر‬
َ ‫ َو ْان َكبفِ ُز َيأْ ُك ُم فِ ْي‬,ٍ‫احذ‬
ٍ‫س ْب َع ِت أَ ْم َعبء‬ ِ ‫َو‬
Artinya: Ismail memberitahu kami, ia berkata, Malik memberitahuku, dari Abi
Zinadi, dari A‟roji, dari Abu Hurairah ra. dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Orang Muslim makan dalam satu usus dan orang kafir makan dalam tujuh usus.” 12
Yang dimaksud dari hadis di atas bukan makna zahirnya, akan tetapi ia adalah
perumpamaan orang mukmin dalam sikap zuhudnya terhadap dunia dan ketamakan
orang kafir terhadap dunia. Karena orang mukmin sedikit mengambil kepentingan
dunia, maka dia makan dalam satu usus. Adapun orang kafir karena ambisi dan
keinginan mendapatkan yang banyak, maka dia makan dalam tujuh usus. Maksudnya,
bukan usus atau makan dalam arti yang sebenarnya, tetapi yang dimaksud adalah
sedikit dan memperbanyak keduniaan. Seakan-akan Nabi mengumpamakan perbuatan
mengumpulkan dunia dengan “makan‟ dan sebab-sebabnya dengan “usus‟.13

11
Abu al-Fida‟ Ismail ibn Umar ibn Katsir al-Qurasyi al-Bashri, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhim, Juz 1
(Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1419 H.),h.375.
12
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Qahirah: Darul Hadis, 2010)
h.716.
13
Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Sahih Bukhari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 26,
h.666.

12
Penjelasan hadis di atas menurut penulis terdapat sebuah majaz isti‟arah yakni
adanya hubungan antara makna asli dengan makna far‟i yang bersifat keserupaan.
Bahwa, yang dimaksud satu usus adalah makan sedikit dan yang dimaksud dengan
tujuh usus ialah makan banyak.
F. Kesimpulan
Hakikah adalah lafadz yang digunakan pada asal peletakannya atau makna dari setiap
kata asli. Hakikah terdiri dari hakikah lughowiyah, hakikah „urfiyah, dan hakikah syar‟iyah.
Sedangkan majaz adalah setiap lafadz yang digunakan tidak pada asal kata dari artinya
karena adanya hubungan serta qarinah yang melarang untuk dikehendaki makna yang
sebenarnya. Majaz terdiri dari majaz lughowi dan majaz „aqli.

Pemahaman akan hakikah dan majaz adalah salah satu metode yang digunakan para
mujtahid untuk menggali penggunaan lafadz atas suatu makna yang bisa menghadirkan suatu
pengertian di dalam memahami teks dengan melibatkan dalil aqli atau dalil naqli atau
kebiasaan dari penggunaan bahasa karena tanpa pemahaman mendalam terhadap kajian ini
bisa menyebabkan seseorang tergelincir dalam pemahaman yang berbahaya. Maka dari itu
dengan memahami hakikah dan majaz serta mematuhi berbagai ketentuan yang ada di
dalamnya, kita bisa mengupayakan untuk terbebas dari pemahaman yang keliru.

13
Daftar Pustaka

Badawi, Ahmad, “Lafadz Ditinjau dari Segi Hakikat dan Majaz”, Jurnal Al-Fikru,
Vol. 1, 2019.

Bin Ismail al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad, Shahih Bukhari, Qahirah: Darul
Hadis, 2010.

Firdaus, “Hakikat Dan Majaz Dalam Al-Qur‟an Dan Sunnah,” Jurnal Kajian Dan
Pengembangan Umat Vol. 1 (2018): No. 1.

Hajar al-Asqalani, Ibnu, Fath al-Bâri Syarah Sahih Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), jilid 2.

Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur‟an, Bandung: Lentera Hati, 2021.

Umar ibn Katsir al-Qurasyi al-Bashri, Abu al-Fida‟ Ismail ibn, Tafsir al-Qur‟an al-
„Adhim, Juz 1, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1419 H.

14

Anda mungkin juga menyukai