Anda di halaman 1dari 4

Syubhat Dalam Fiqh Jinayah

Disusun oleh Perdinansyah Siregar

pnansyahsiregar@gmail.com

I. PENDAHULUAN

Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan Rasulullah.
Sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda
Rasulullah, “siapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan
agama dan kehormatannya”. Syubhat dalam perspektif Fiqh Jinayah ialah ketidakjelasan status
hukum suatu perkara, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya. Syubhat berbeda dengan perkara
yang sudah jelas pengharamannya, atau dengan halal, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat
muncul karena ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Kondisi tersebut akan terus meragukan
dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap, hingga datangnya
penjelasan dari ulama. Kondisi seperti ini umumnya dialami kebanyakan oleh kelompok awam.
Makalah dihadirkan untuk membahas lebih rinci bagaimana bentuk Syubhat dalam Fiqh
Jinayah.

II. PEMBAHASAN

II.1 Defenisi Syubhat

Syubhat dalam bahasa Arab adalah Al Mitsl (serupa, mirip) dan iltibas (samar, kabur,
tidak jelas, gelap, sangsi). Maka, sesuatu yang dinilai syubhat belum memiliki hukum yang
sama dengan haram atau sama dengan halal. Sebab mirip halal bukanlah halal, dan mirip haram
bukanlah haram. Maka, tidak ada kepastian hukum halal atau haramnya, masih samar dan
gelapSyubhat berarti samar atau kurang jelas. Maksudnya ialah setiap perkara/persoalan yang
tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Adapun yang syubhat yaitu setiap
hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau perselisihkan, maka menjauhi perbuatan
semacam itu termasuk sifat wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat
yang diisyaratkan Rasulullah.1 Sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram
hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “siapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu,

1
ZAMAKHSYARI ZAMAKHSYARI BIN HASBALLAH THAIB, MAKALAH SEMINAR NASIONAL HALAL, HARAM DAN
SYUBHAT (Universitas Dharmawangsa, 2018), 6.
berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Siapa yang tidak menyelamatkan
agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Nabi
bersabda : “Dari Al-Husain bin Ali r.a ia berkata : Saya selalu ingat pada sabda Rasulullah Saw,
yaitu: ‫“ دع ما يريبك إَل ماال يريبك‬Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu dan kerjakanlah
sesuatu yang tidak meragukanmu. (HR. Tirmizy).

Adapun syubhat dalam perspektif Fiqh Jinayah ialah ketidakjelasan status hukum suatu
perkara, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya. Syubhat berbeda dengan perkara yang sudah
jelas pengharamannya, atau dengan halal, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat muncul karena
ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Kondisi tersebut akan terus meragukan dan tidak akan
pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap, hingga datangnya penjelasan dari
ulama. Kondisi seperti ini umumnya dialami kebanyakan oleh kelompok awam.2

Menurut Abdul qadis audal syubhat adalah sesuatu yang ketentuan hukumannya tidak
diketahui secara pasti, apakah dihalalkan ataukah diharamkan. Dalam pengertian yang lebih
luas, syubhat adalah sesuatu yang tidak jelas apakah benar atau tidak, atau masih mengandung
kemungkinan benar atau salah. didalamnya terdapat dua macam keyakinan yang berlawanan
yang timbul dari dua faktor yang menyebabkan adanya dua keyakinan tersebut.3

II.2 Bentuk-Bentuk Syubhat

Ada tiga bentuk syubhat, yaitu: pertama,Syubhat Objektif, yaitu yang timbul dari objek
jarimah “Syubhat fil mahali” karena adanya sesuatu hukum Syari’at seperti pencurian terhadap
harta anak sendiri. Pencurian itu sendiri dilarang oleh nash al-Qur’an dalam surat al-Maidah
ayat 38. Dalam nash Hadits menyebut bahwa Engkau dan hartamu menjadi milik ayahmu”
Nash hadits menjadi Syubhat bagi pelaksana nash pertama, yaitu al-Qur’an yang melarang
mencuri. Kedua, Syubhat Subjektif, yaitu syubhat yang bersumber pada dugaan si pembuat, di
mana ia dengan itikad yang baik melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang atau tidak mengira
bahwa perbuatannya itu dilarang. Ketiga, Syubhat Yuridis yakni syubhat yang timbul dari
perbedaan pendapat para Fuqaha tentang hukum sesuatu perbuatan.4

Adapun Mazhab Hanafi membagi syubhat menjadi dua macam. Pertama, suybhat fil
fi’I, disebut juga syubhat isytibah dan syubhat musyabahah. Yaitu syubhat bagi orang yang

2
Amri Wahyudi Meri filadamayanti, “Fiqih Jinayah Syubhat,” 2015,
https://amriwahyudi.blogspot.com/2015/05/makalah-tentang-syubhat-fiqh-jinayah.html.
3
Meri filadamayanti.
4
“Eksistensi Taubat Dan Syubhat Dalam Pelaksanaan Hudud (Studi Terhadap Pandangan Imam Abu Hanifah),”
INTIZAR 21 (2015): 128–29.
tidak jelas tentang kehalalan dan keharaman pembuatan. Mengenai perbuatannya itu
sebenarnya tidak terdapat dalil sam’i (nass) yang menunjukkan kehalalannya. Tetapi ia mengira
hal yang bukan dalil sebagai dalil (yang menunjukkan kehalalannya). Misalnya, hubungan
seksual dengan bekas istri yang sedang menjalani idah dari talak tiga atau khulu’. Dalam hal
ini, akibat pernikahan yang berkenan dengan kehalalan hubungan seksual sebenarnya sudah
tiada, karena telah dibatalkan oleh talak, tetapi akibat yang berkenan dengan kewajiban suami
untuk memberi nafkah dan keharaman (bekas) isteri untuk melakukan pernikahan masih tetap
ada. 31 Hubungan seksual dalam keadaan seperti tersebut adalah haram dan termasuk
perzinaan yang harus dijatuhi had, kecuali jika pelakunya mengaku tidak jelas kedudukan
hukum hubungan itu dan menyangkanya halal, dengan alasan bahwa akibat pernikahan yaitu
yang berkenan dengan kewajiban memberi nafkah dan keharaman (bekas) isteri untuk menikah
lagi masih ada, sehingga hal ini menimbulkan dugaan kuat baginya bahwa akibat pernikahan
yang berkenan dengan kehalalan hubungan seksual pun masih tetap ada. Dugaan ini, sekalipun
pada hakikatnya, tidak layak untuk dijadikan dalil, namun karena diduganya sebagai dalil,
maka hal itu dapat menggugurkan had.5

II.3 Hal-Hal Yang Dapat Mempengaruhi Hukuman

Apabila hukuman had tidak dapat diterapkan karena adanya syubhat, maka ada dua
kemungkinan, yaitu pembebasan hukuman sepenuhnya dari pelaku atau penggantian had
tersebut dengan ta’zir. Ada 3 hal yang dapat mempengaruhi hukuman antara lain: Pertama,
syubhat dalam hukum suatu perbuatan, misalnya orang yang menikah tanpa wali atau tanpa
saksi, atau melakukan nikah mut’ah. Ia tidak dikenakan hukuman ta’zir atas tuduhan
melakukan zinasebab perkawinan tersebut masih diperselisihka oleh para ahli hukum tentang
halal dan haramnya. Oleh karena dipandang tidak ada ketegasan hukum, orang tersebut
dibebaskan dari tuduhan zina sekalipun dpat dipermasalahkan status pernikahannya. Dalam
arti lain nas yang melarang zina tidak menjangkau dari perbuatan tersebut. Kedua, syubhat
pada pembuktian terjadinya hukum. Misanya, persaksian yang diberikan oleh dua orang bahwa
seseorang telah meminum khamar, jika kedua orang tersebut menarik kembali persaksiannya
sedangkan bukti lain tidak ada, orang tersebut dibebaskan sama sekali dari tuduhan terhadap
dirinya. Ketiga, keadaan syubhat yang dapat membebaskannya seseorang dari tuduhan

5
“Eksistensi Taubat Dan Syubhat Dalam Pelaksanaan Hudud (Studi Terhadap Pandangan Imam Abu Hanifah),”
129–30.
hukuman had yang dijatuhkan kepadanya. Namun itu bukan berarti ia bebas dari segala hukum.
Meskipun ia bebas dari hukuman had, ia dapat dihukum dengan hukuman ta’zir.6

II. KESIMPULAN

Syubhat dalam perspektif Fiqh Jinayah ialah ketidakjelasan status hukum suatu perkara, atau
ketidakjelasan sifat atau faktanya. Ada tiga bentuk syubhat, yaitu: pertama,Syubhat Objektif,
yaitu yang timbul dari objek jarimah “Syubhat fil mahali” karena adanya sesuatu hukum
Syari’at. Kedua, Syubhat Subjektif, yaitu syubhat yang bersumber pada dugaan si pembuat, di
mana ia dengan itikad yang baik melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang atau tidak mengira
bahwa perbuatannya itu dilarang. Ketiga, Syubhat Yuridis yakni syubhat yang timbul dari
perbedaan pendapat para Fuqaha tentang hukum sesuatu perbuatan.

Ada 3 hal yang dapat mempengaruhi hukuman antara lain: Pertama, syubhat dalam hukum
suatu perbuatan. Kedua, syubhat pada pembuktian terjadinya hukum. Ketiga, keadaan syubhat
yang dapat membebaskannya seseorang dari tuduhan hukuman had yang dijatuhkan
kepadanya. Namun itu bukan berarti ia bebas dari segala hukum. Meskipun ia bebas dari
hukuman had, ia dapat dihukum dengan hukuman ta’zir.

6
Meri filadamayanti, “Fiqih Jinayah Syubhat.”

Anda mungkin juga menyukai