Anda di halaman 1dari 5

JARIMAH RIDDAH (MURTAD)

BAB I
Pengertian dan Unsur-unsur Riddah
1. Pengertian
Riddah dalam arti bahasa kembali dari sesuatu dari sesuatu yang lain. Menurut syara adalah
keluar dari Islam. Sementara jarimah adalah segala bentuk larangan syara yang diancam
dengan hukuman, baik berupa jarimah hudud, jarimah qishash atau jarimah tazir. Jarimah
riddah adalah meninggalkan pembenaran syariat Islam yang dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu: melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan; mengucapkan; dan
berkeyakinan[1].
Dasar hukum tentang riddah ini terdapat di dalam al-Quran dan Hadits. Salah-satunya yang
terdapat dalam al-Quran adalah:
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran,
Maka mereka Itulah yang siasia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah: 217)
Rasulullah SAW. bersabda: barangsiapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah ia (HR.
Bukhari dari ibn Abas).
1. Unsur-unsur Riddah
Unsur-unsur riddah adalah:
a) Keluar dari Islam.
b) Ada itikad tidak baik.
Yang dimaksud dengan keluar dari Islam disebutkan oleh para ulama ada tiga macam:
1. Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan.
Yang dimaksud murtad dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan yang haram dengan
menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya
sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan di sengaja maupun dengan menyepelekan.
Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan Al-Quran dan berzina dengan
menganggap zina itu bukan suatu perbuatan yang haram.
1. Murtad dengan ucapan.
Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukan kekafiran, seperti menyatakan
bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang.
1. Murtad dengan itikad.
Adapun murtad dengan itikad adalah itikad yang tidak sesuai dengan itikad (aqidah) Islam,
seperti beritikad kekalnya alam, Allah itu sama dengan makhluk. Sesungguhnya itikad itu
tidak menyebabkan seorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau
perbuatan, berdasarkan hadits Rasulullah SAW: Sesunggunhnya Allah memaafkan bagi
umatku bayangan-bayangan yang menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama belum
diamalkan atau dibicarakan. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Jadi, berdasarkan hadits diatas apapun itikad seseorang muslim yang bertentangan dengan
ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluarnya dari Islam sebelum ia mengucapkan
atau mengamalkannya.
Adapun hukumannya nanti terserah kepada Allah. Diantara contohnya adalah sihir. Para
ulama sepakat terhadap keharaman sihir dan mempelajarinya.[2]Imam Syafii menambahkan
syarat pada pidana riddah bahwa pelakunya itu harus berniat untuk melakukan kekufuran.
Sesuai dengan hadits: Sesungguhnya sahnya segala amal itu tergantung kepada niatnya.
(HR Bukhari dan Muslim dari Umar ibn Khathab).
Ketiga cara di atas akan dijelaskan dengan beberapa kaidah di bawah ini:
Kaidah Pertama, tentang meninggalkan kewajiban.
Setiap orang yang menolak melakukan perbuatan yang diwajibkan Islam kepadanya disertai
dengan keyakinan halal meninggalkannya maka dia telah keluar dari Islam[3].
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya oleh syariat Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu bukan wajib, maka ia dapat
dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar dari Islam atau telah berbuat jarimah riddah.
Misalnya, seseorang tidak mau melaksanakan shalat wajib dengan alasan bahwa shalat
tersebut tidak wajib.
Kaidah ini menjadi sarana untuk membedakan antara jarimah riddah dengan jarimah lainnya.
Sebab, pada perbuatan yang tampak lahirnya sama tetapi bisa jadi hukumnya berbeda. Orang
yang tidak melaksanakan shalat wajib karena malas tidak dapat dikualifikasikan telah keluar
dari Islam, melainkan telah fasiq atau ashy (pelaku maksiat). Perbuatan ini termasuk jarimah
tazir.[4]
Hal ini didasarkan atas kebijakan Abu Bakar al-Shiddiq yang telah memerangi kaum yang
menolak membayar zakat. Sebagian penduduk menolak kewajiban menyerahkan zakat
dengan alasan bahwa kewajiban itu hanya berlaku kepada Rasulullah SAW saja. Abu Bakar
mengangggap bahwa orang-orang yang menolak kewajiban menyerahkan zakat itu harus
diperangi (dibunuh) karena telah keluar dari Islam.[5]
Kaidah Kedua, tentang melakukan perbuatan yang diharamkan.
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang diharamkan (Islam) disertai dengan keyakinan
halal melakukannya, maka dia telah keluar dari Islam[6].
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-larangan syariat Islam
disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, maka ia telah keluar dari Islam.
Misalnya, seorang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu tidak haram maka ia telah keluar
dari Islam. Apabila ia melakukannya karena melanggar keharaman diserta keyakinan bahwa
perbuatan tersebut dilarang, ia tidak keluar dari Islam melainkan telah berbuat maksiat atau
melakukan jarimah zina.
Penghalalan yang diharamkan, jika disertai alasan yang kuat (tawil) dan ketidaktahuan
hukum yang sebenarnya, belum dapat dikualifikasikan telah keluar dari Islam.
Kaidah Ketiga, tentang keyakinan yang keluar dari Islam.
Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukan telah keluar dari
Islam[7].
Diantara contoh-contoh keyakinan yang bertentangan dengan Islam adalah keyakinan bahwa
Al-Quran itu bukan dari Allah melainkan kata-kata Nabi Muhammad; Nabi Muhammad
adalah pendusta; ada lagi Nabi yang terakhir setelah kenabian Muhammad; dan Ali bin Abi
Thalib adalah Tuhan. Akan tetapi keyakinan-keyakinan tersebut belum dapat dikualifikasikan
jarimah riddah yang dikenai had jika belum dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Sebab
Allah memaafkan umat-Nya dari apa yang dibisikan hatinya selama belum diungkapakan
atau dikerjakan.[8]

BAB II
Hukuman Jarimah Riddah
Perbuatan riddah diancam dengan tiga macam hukuman: (a) hukuman pokok, (b) hukuman
pengganti, (c) hukuman tambahan. Hukuman pokok jarimah riddah adalah hukuman mati,
sesuai dengan Hadits Barang siapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah ia (HR.
Bukhari dari ibn Abbas).
Sebelum dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk
bertobat. Waktu yang disediakan baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari 3 malam menurut
Imam Malik. Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas waktu untuk bertobat itu harus
diserahkan kepada Ulul Amri, dan batas itu selambat-lambatnya 3 hari 3 malam. Tobatnya
orang yang murtad cukup dengan mengucapkan dua kalimah syahadah. Selain itu, ia pun
mengakui bahwa apa yang dilakuakannya ketika murtad bertentangan dengan agama
Islam.[9]
Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman
pengganti itu berupa tazir.
Hukuman tambahan adalah merampas hartanya dan hilang hak terpidana untuk bertasharuf
(mengelola) hartanya. Menurut Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bahwa bila
orang murtad itu meninggal, maka hartanya menjadi menjadi harta musyi, yaitu tidak dapat
diwariskan, baik kepada orang muslim ataupun maupun kepada non-muslim.
Menurut ulama lain, harta itu dikuasai oleh pemerintah dan menjadi harta fay. Menurut
mazhab Hanafi, bila harta tersebut didapatkan pada waktu ia muslim, maka diwariskan
kepada ahli warisnya yang muslim dan harta yang didapatkan ketika ia murtad, maka
hartanya menjadi milik pemerintah.
Faktor penyebab perbedaan mereka adalah perbedaan penafsirkan mereka terhadap hadits:
Orang kafir tidak dapat mewaris harta pusaka orang muslim dan orang muslim tidak dapat
mewaris harta pusaka orang kafir. (H.R. Muslim dari Usamah ibn Zayd). Alasan Imam
Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad karena sehubungan dengan ketidakbolehan harta
orang muslim diwariskan kepada ahli warisnya yang non-muslim (kafir), begitu pula
sebaliknya. Sedangkan alasan Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya karena sehubungan
dengan kebolehan harta orang murtad diwariskan kepada ahli warisnya yang muslim karena
harta orang murtad itu disamakan dengan harta orang meninggal.
Berkenaan dengan hukuman tambahan, berupa hilangnya hak pengelola harta, para ulama
berbeda pendapat. Menurut pendapat yang rajih dalam mazhab Hanafi, Syafii dan Hambali
bahwa orang murtad terhadap hartanya, baik yang didapat sebelum atau sesudah murtad,
tidak mempunyai akibat hukum. Artinya, bila ia menjual atau membeli harta dengan harta
miliknya, maka jual belinya tidak sah.
Apabila ia kembali kepada agama islam, maka hak tasharufnya menjadi menjadi sah,
sedangkan apabila ia mati dalam keadaan murtad maka hak tasharufnya menjadi batal.
Menurut Abu Yusuf Muhammad, tasharuf orang yang murtad tetap sah. Syaikh Mahmud
Syaltut menyatakan bahwa orang murtad itu sanksinya diserahkan kepada Allah, tidak ada
sanksi duniawi atasnya. Alasannya karena firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 217 di
atas hanya menunjukan kesiasiaan amal kebajikan orang murtad dan sanksi akhirat yaitu
kekal dalam neraka, adapun hadits ibn Abbas di atas ternyata mengundang banyak masalah
dikalangan ulama yang berkisar pada masalah yang sama atau bedanya hukuman bagi laki-
laki dan perempuan, perlu dan tidak perlunya orang murtad diberi kesempatan untuk bertobat
serta batas kesempatan tersebut. Alasan lain adalah bahwa kekafiran itu sendiri tidak
menyebabkan bolehnya seseorang dihukum mati, sebab yang membolehkannya hukuman
bagi orang kafir itu adalah karena memerangi dan memusuhi orang Islam.
Adapun kekufuran semata jelas sekali dalam al-Quran, yang dalam beberapa kenyataan
ditemukan larangan adanya paksaan dalam agama. Salah satunya surat al-Baqarah ayat 256
dan surat Yunus ayat 99: tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Q.S. al-
Baqarah: 256)
Dan dalam surat Yunus ayat 99: Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka mejadi orang yang beriman semuanya(Q.S. Yunus: 99). Jadi menurut pendapat ini
hukuman bagi orang murtad itu diserahkan kepada Allah kelak.[10]

DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, H. A. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Bandung: PT.
Raja Grapindo Persada, 1997.
Mubarak, Jail dan Enceng Arif Faizal. Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana
Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
[1] Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana
Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 160
[2] Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),
Jakarta : PT. Raja Grapindo
Persada, 1997, hal. 116
[3] Op. Cit., Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal
[4] Ibid., Hal. 161
[5] Ibid.
[6] Ibid. Hal. 162
[7] Ibid. Hal. 163
[8] Ibid.
[9] Op. Cit. Prof. Dr. H. A. Djazuli. Hal 117
[10] Ibid. Hal. 120

Anda mungkin juga menyukai