Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kafir

Secara bahasa kafir terambil dari akar kata ‫كفرا‬-‫يكفر‬-‫ كفر‬yang


mengandung arti: menutupi. Malam disebut “kafir” karena ia menutupi
siang atau menutupi benda-benda dengan kegelapannya. Awan juga
disebut “kafir” karena ia menutupi matahari. Demikian pula petani yang
terkadang juga disebut “kafir” karena ia menutupi benih dengan tanah.1
Sedangkan secara istilah para ulama memiliki beberapa
pandangan.
Ibn Taimiyah menjelaskan, kafir adalah tidak beriman kepada
Allah S.W.T dan para Rasul-Nya, baik disertai pendustaan atau tidak, atau
karena berpaling dari mengikuti Rasulullah s.a.w karena dengki (hasad)
atau sombong, atau karena mengikuti hawa nafsu yang memalingkan
pemiliknya dari mengikuti risalah.2
Menurut Ibn Hazm, kafir dalam perkara agama adalah mengingkari
salah satu di antara perkara yang diwajibkan oleh Allah s.w.t untuk
diimani setelah ditegakkan hujjah kepadanya, yaitu dengan sampainya
kebenaran kepada yang bersangkutan, baik pengingkarannya dengan hati
saja, dengan lisan saja, atau dengan kedua-duanya.3
Sederhananya adalah jika iman diartikan “pembenaran” (al-tashdiq )
terhadap Rasulullah SAW. berikut ajaran-ajaran yang dibawanya, maka
kafir diartikan dengan “pendustaan” (al- takdhib) terhadap ajaran-ajaran
beliau. Inilah batasan yang paling umum dan sering terpakai dalam buku-

1
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), 7.
2
Taqy ad-Din ahmad Ibn ‘Abd Halim Ibn Taimiyah, majmu’ fatawa, (Madinah: Mujamma’
al-Malik Fadh li Tiba’ah al-Mushaf asy-Syarif, 2003), XXI: 335
3
Abu Muhammad ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Sa’id Ibn Hazm, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Baerut:
Mansyurat Dar al-Afaq al-Jadidah), I: 49-50.
buku akidah.2 Jadi, orang kafir ialah orang yang mengingkari ajaran Islam
yang seharusnya dia imani.

B. Macam-macam Kafir
Di bawah ini terdapat 4 (empat) kelompok orang kafir yang masing-
masing dari sifatnya memiliki kekhasan, yang perlu dicatat bahwa tidak
semua orang kafir boleh ditumpahkan darahnya (dibunuh).
1. Kafir Dzimmi
Secara etimologi, dzimmi adalah orang kafir yang menjadi
warga Negara Islam.4 Sedangkan secara terminology, dzimmi adalah
sekelompok orang kafir yang hidup (bertempat tinggal) di wilayah yang
berada dibawah kekuasaan muslim.5
2. Kafir Muahad
Kafir muâhad adalah orang kafir yang mengadakan perjanjian
dengan orang Islam, baik perjanjian itu berisi memohon jaminan keamanan
dari orang Islam ataupun perjanjian dengan cara gencatan sejata yang
ditetapkan oleh penguasa Islam, maupun berdasarkan kontrak fidyah.6
3. Kafir Musta’man
Yaitu orang kafir harbi yang memasuki Negara Islam (dar al-Islam)
dengan aman, tanpa berhasrat tinggal dan menetap selama-lamanya di
Negara Islam, tetapi berniat untuk tinggal beberapa waktu dan tidak boleh
lebih dari satu tahun. Jika melewati batas itu dan bermaksud tinggal
selamanya, maka statusnya berubah menjadi dzimmi. Dia menjadi dzimmi
selama berada di dalam Negara Islam dan dimasukkan ke dalam golongan
musta’man dalam hal memperoleh keamanan.7

4
H. Mahmud Yunus, Kamus Yunus, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), 135.
5
Jonathan Z. Smith, The Happercollins Dictionary of Religion (New York: American Academy,
1995), 317.
6
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), IV: 48.
7
Ibid
4. Kafir Harbi
Yaitu orang kafir yang berada dalam peperangan dan permusuhan
terhadap kaum muslimin, nonmuslim yang menolak dan menetang dakwah
Islam, menyatakan permusuhan terhadap kau muslimin.8 Kafir inilah yang
boleh diperangi.
C. Hukum Mengkafirkan Orang Lain (Takfir)
Kata takfi>r berarti tindakan mengkafirkan orang Islam. Istilah
takfi>riyah sudah muncul sejak awal Islam khususnya pada zaman
Rasulullah saw, dan berkembang hingga saat ini. Penyakit takfi>riyah
adalah fenomena yang berpotensi melahirkan banyak dampak destruktif
baik dalam kehidupan sosial, politik, dan akhlak. Penyakit ini dapat
mematikan karakter, saling curiga, melemahkan kekuatan umat Islam, dan
merusak Ukhuwah Islamiyah.9
Dalam menyikapi fenomena takfi>r atau pengkafiran, para pakar
Islam menemukan syarat-syarat mengenai seseorang bisa dikatakan
sebagai kafir. Syarat-syarat tersebut adalah salah satu syarat terpenting,
tetapi tidak banyak yang mengetahuinya. Syarat-syarat ini haruslah
diperhatikan sebelum memberikan klaim kafir terhadap
seseorang. 10Adapun syarat-syarat tersebut antara lain :
1. Telah Mengetahui Agama
Agar seseorang bisa dikatakan sebagai kafir lantaran
melakukan perbuatan atau mengucapkan suatu perkataan atau
mempercayai suatu keyakinan, haruslah dipastikan apakah orang
tersebut mengetahui bahwa hal-hal yang telah dilakukan tersebut
bertentangan dengan kebenaran yang mengakibatkan kekafiran dan
harusnya dijalani atau tidak. Jika orang tersebut tidak mengetahui
dan tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kejahatan, maka
orang tersebut tidaklah patut dijatuhi klaim kafir.

8
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad ( Mizan: Khazanah Ilmu-ilmu Islam, 2009), 751.
9
Muchtar Adam “Bahaya Takfiri; Mengkafirkan Orang Lain”, 3.
10
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Khawarij dan Syi’ah, (Ummul Qura), 127
2. Melakukan Dengan Sengaja

Setelah syarat yang pertama tadi telah dipastikan ada dalam


diri orang tersebut. Selanjutnya kita akan mengamati secara cermat
apakah dalam melakukan tindakan-tindakan yang membuat orang
tersebut dapat vonis kafir dia lakukan secara sengaja melakukan
tindakan yang mengakibatkan kekafiran dan menentang kebenaran
setelah dijelaskan padanya ataukah dia keliru dalam berijtihad karena
terhalang oleh perkara- perkara yang samar, maka dia tidak bisa
dikatakan sebagai kafir. Karena vonis kafir haruslah ada unsur
kesengajaan dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut.
3. Atas Kehendak dan Upaya Sendiri
Kali ini kita juga akan mengamati orang yang bersangkutan
tentang hal-hal yang telah disebutkan dalam syarat-syarat sebelumnya,
apakah dia mengusung pendapat sesat itu atas pilihan dan daya
upayanya sendiri ataukah hanya di paksa oleh pihak-pihak tertentu.
Dalam mengkafirkan seseorang, syarat ini juga harus terpenuhi.

Ketiga syarat tersebut harus ada dalam diri seseorang yang


mendapatkan vonis kafir. Jika salah satu dari ketiga syarat tersebut tidak
ada, maka vonis kafir tersebut dianggap batal dan bahkan kekafiran tersebut
kembali kepada orang yang menuduh kafir, sebagaimana diriwayatkan dari
sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ إِ ْن لَ ْم‬،‫علَ ْي ِه‬ ْ ‫ إِ اال‬،‫ َوالَ يَ ْر ِمي ِه بِالكُ ْف ِر‬،‫وق‬


َ ْ‫ارتَدات‬ ِ ‫س‬ُ ُ‫الَ يَ ْر ِمي َر ُج ٌل َر ُج اًل بِالف‬
َ‫احبُهُ َكذَ ِلك‬
ِ ‫ص‬َ ‫يَك ُْن‬

“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik


dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu
akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak
sebagaimana yang dia tuduhkan”(H.R. Bukhari).11

D. Definisi Bid’ah
Secara bahasa, kata bid’ah berasal dari bahasa arab............yang
bermakna ansya’a (membuat) dan bada’a (memulai). Ibnu Manzhur
menjelaskan bahwa orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) secara bahasa
bermakna bahwa orang tersebut melakukan atau membuat sesuatu yang
tidak ada contoh atau perbuatan yang sama dan semisal sebelum perbuatan
(bid’ah) itu dilakukan. Dan di antara nama Allah swt di dalam al-Qur’an
adalah al-Badi’ yang bermakna Allah membuat sesuatu yang baru, tidak
ada sesuatu tersebut sebelumnya.
Bid’ah dalam makna bahasa ini, disepakati para ulama dapat disifati
secara makna positif (baik/hasanah) dan makna negatif (tercela/sayyiah).
Dalam arti, bid’ah secara bahasa dapat dibedakan menjadi bid’ah hasanah
dan bid’ah sayyiah. Atau dalam istilah lain, para ulama sepakat bahwa
bid’ah secara haqiqoh lughowiyyah, bisa disifati dengan hasanah dan
sayyiah.12
Sedangkan, jika istilah bid’ah digunakan dalam persoalan agama,
atau disebut pula dengan bid’ah secara definisi syariah (haqiqoh
syar’iyyah), pada dasarnya para ulama sepakat bahwa secara haqiqoh
syar’iyyah, istilah bid’ah disifati secara mutlak dengan sifat sayyiah
(tercela).13

11
(HR. Bukhari no. 6045)
12
Muhammad al-Khidhr, Mausu’ah al-A’mal al-Kamilah, (Syiria: Dar an-Nawadir, 2010), I:
131.
13
Isnan Ansory, Bid’ah apakah hukum syaria’ah, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), 10.
E. Klasifikasi Bid’ah
1. Bid’ah Hasanah – Sayyiah
Mayoritas ulama, khususnya dari kalangan para ulama empat
madzhab membagi bid’ah secara syar’i menjadi dua macam, yaitu bid’ah
hasanah dan bid’ah sayyiah.14
Bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak
bertentangan dengan syari’at. Sebagaimana dikatakan oleh Imam asy-
Syafi’i yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani melalui
sanadnya dari Harmalah bin Yahya: Bid’ah terbagi dua: bid’ah mahmudah
dan bid’ah madzmumah. Di mana bid’ah yang sejalan dengan sunnah,
maka termasuk bid’ah mahmudah. Dan jika menyelisihi sunnah, maka
termasuk bid’ah madzmumah. Dan beliau mendasarkannya kepada
perkataan Umar bin Khatthab tentang qiyam Ramadhan (shalat tarawih),
“Sebaik-baik bid’ah, amalan ini.15

Hanya saja, bagi para ulama yang membagi bid’ah menjadi dua,
menjelaskan bahwa istilah “bid’ah” jika dimutlakkan secara haqiqi, maka
maknanya adalah bid’ah dholalah. Sedangkan jika suatu perkara
hendak dikatagorikan bid’ah hasanah (secara majaz), maka harus diberi
sifat “hasanah” atau “mustahabbah”, atas bid’ah tersebut.
2. Setiap Bid’ah Tercela
Sebagian ulama khususnya dari sebagian kalangan mutaqoddimun al-
Malikiyyah dan sebagian al- Hanabilah berpendapat bahwa setiap bid’ah
adalah tercela. Dan mereka menolak konsep pembagian bid’ah menjadi dua:
hasanah dan sayyiah. Di mana, menurut mereka, bahwa setiap pernyataan
salaf yang mengesankan adanya bid’ah yang tidak tercela, dimaksudkan
dalam makna bid’ah secara bahasa. Sedangkan, jika bid’ah dipahami secara
syariah, maka semuanya tercela dan tidak ada bid’ah yang hasanah.16

14
Ibnu Taimiyyah al-Harrani, Majmu’ al-Fatawa, (Madinah : Majma’ al-Malik Fahd, 1995), 10.
15
Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hilyah al-Awlliya’ wa Thabaqat al- Ashfiya’, (Mesir: as-Sa’adah,
1974), 9.
16
Isnan Ansory, Bid’ah apakah hukum syaria’ah, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), 17.
F. Bid’ah Hasanah Pada Masa Rosululloh

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwasanya Bid’ah


ada dua macam: bid’ah terpuji (hasanah) dan bid’ah tercela
(sayyiah). Bid’ah bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang
tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad
SAW tidak pernah melakukan, tapi bukan berarti tidak boleh
dilakukan.

Sementara bid’ah sayyiah adalah setiap perbuatan baru yang


bertentangan dengan syariat Islam. Sebagian orang menolak
pembagian bid’ah ini karena mereka memahami bahwa setiap
bid’ah adalah sesat. Dengan logika demikian, setiap hal yang tidak
dilakukan Rasulullah terutama yang berkaitan dengan urusan
ibadah, dianggap salah dan bid’ah.

Namun, kalau melihat sejarah Rasulullah dan sahabatnya,


ada beberapa fakta yang menunjukkan bahwa Rasulullah pun dalam
beberapa hal mengamini “bid’ah” yang dilakukan oleh sahabat,
termasuk dalam ibadah sekali pun. Misalnya, Shahih Al-Bukhari
menyebutkan

: ‫ كنا يو ًما نصلي وراء النبي صلى هللا‬:‫عن رفاعة بن رافع رضي هللا عنه قال‬
:ُ‫ قَا َل َر ُج ٌل َو َرا َءه‬،»ُ‫س ِم َع هللاُ ِل َم ْن َح ِمدَه‬
َ « :‫عليه وآله وسلم فلما رفع رأسه من الركعة قال‬
،‫ أَنَا‬:َ‫ « َم ِن ال ُمتَك َِل ُم» قَال‬:َ‫ قَال‬،‫ف‬ َ ‫ص َر‬َ ‫ فَلَ َّما ا ْن‬،‫ار ًكا فِي ِه‬ َ ‫يرا‬
َ َ‫ط ِيبًا ُمب‬ ً ‫َربَّنَا َولَكَ ال َح ْمد ُ َح ْمدًا َك ِث‬
‫ض َعةً َوثَالَثِينَ َملَ ًكا َي ْبتَد ُِرونَ َها أَيُّ ُه ْم َي ْكتُبُ َها أ َ َّو ُل‬
ْ ‫«رأَيْتُ ِب‬
َ :َ‫قَال‬

Artinya, “Rifa’ah bin Rafi’ berkata, ‘Kami pernah shalat


bersama Rasulullah, saat bangun dari ruku’ ia membaca,
‘Sami’allahu liman hamidah.” Tiba-tiba ada seorang sahabat yang
membaca, ‘Rabbana wa lalakal hamd hamdan katsiran tayyiban
mubarakan fihi (wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku
memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh
dengan berkah). Setelah selesai shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa yang
mengucapkan kalimat itu?’ Sahabat itu berkata, ‘Saya Rasulullah.’
Kemudian Rasulullah berkata, ‘Saya melihat sekitar tiga puluhan
malaikat berloma-lomba untuk siapa pertama kali yang mencatat
(pahalanya),’” (HR Al-Bukhari).

Hadits ini menjelaskan bahwa lafal yang dibaca sahabat


dalam shalat tersebut tampaknya belum pernah dijelaskan Nabi
Muhammad SAW. Ketika ada sahabat yang membaca doa tersebut
Rasulullah tidak marah dan malah memuji sehingga kita pun boleh
mengamalkannya. Sebab itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
mengatakan:

‫واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصالة غير مأثور إذا كان غير مخالف‬
‫للمأثور‬

Artinya, “Hadits di atas dijadikan dalil sebagai kebolehan


membuat dzikir baru dalam shalat yang tidak ma’tsur selama tidak
bertentangan dengan ma’tsur.”

Dengan demikian, melakukan bid’ah dalam ibadah juga


dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Tentu
maksud bid’ah di sini adalah bid’ah hasanah, bukan bid’ah sayyi’ah
atau dhalalah. Hal ini sudah dilakukan pula oleh sahabat Rasulullah
di hadapan beliau SAW.

G. Bid’ah Hasanah Pada Masa Sahabat


Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke
dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan
cakupan sabda Rasulullah SAW: ‫سنَةً فَلَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ ُر َم ْن‬ َ ‫سنَّةً َح‬
ُ ‫س َّن فِى اْ ِال ْسالَ ِم‬
َ ‫َم ْن‬
َ ‫ص ِم ْن أ ُ ُج ْو ِر ِه ْم‬
‫ش ْيئًا‬ َ ُ‫ َع ِم َل بِ َها ِم ْن َغي ِْر اَ ْن يَ ْنق‬Siapa yang memberikan contoh
perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang
turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit
pun. (HR Muslim) Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki
landasan hukum dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:
1. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika
mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih
berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu
berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik
bid'ah adalah ini".
2. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq
atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.
H. Bid’ah Hasanah Pada Masa Tabi’in

Bid’ah hasana pada generasi tabi’in antara lain :

1. Pemberian Titik dalam Penulisan Mushaf


Mulai masa Rasulullah saw sampai pada masa shahabat dan
bahkan sampai al-Qur’an dihimpun dalam satu mushaf pada masa
Sayidina Utsman, penulisan mushaf al-Qur’an tanpa pemberian titik
terhadap huruf-hurufnya semisal ba’, ta’ dan sebagainya. Pemberian
titik pada mushaf al-Qur’an baru dimulai oleh seorang ulama tabiin,
Yahya bin Ya’mur (w 100 H/19 M). Al-Imam Ibnu Abi Dawud al-
Sijistani meriwayatkan, “Harun bin Musa berkata, “Orang pertama
kali memberi titik pada mushaf al-Qur’an adalah Yahya bin Ya’mur”.
(al-Mashahif, 158).
Setelah Yahya bin Ya’mur memberi titik pada Mushaf, para
ulama tidak ada yang mentangnya, meskipun Nabi saw belum pernah
memerintahkan pemberian titik pada Mushaf.
2. Bid’ah Hasanah Imam Ahmad bin Hanbal
Salah satu ulama mujtahid yang mengakui bid’ah hasanah
adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Adalah mendoakan gurunya dalam
shalat, bid’ah hasanah yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Hafiz al-Baihaqi meriwayatkan, “Al-Imam Ahmad bin Hanbal
berkata, “Saya mendoakan Imam as-Syafi’i dalam shalat saya selama
empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua
orang tuaku dan Muhammad bin Idris as-Syafi’i.” (Manaqib al-Imam
as-Syafi’i, 2/254).
Tentu, apa yang dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal itu
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, para shahabat dan tabiin.
Akan tetapi, Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat
puluh tahun.
I. Bid’ah Ulama Ahli Hadits
Ada beberapa contoh bid’ah yang dilakukan oleh para ulama’ ahli
hadits seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhari yang salat setiap kali
akan menulis hadits dalam kitabnya dan tentunya hal tersebut tidak
ada perintah dari nabi.

‫ حول البخارى تراجم جامعه بين قبر‬:‫ سمعت عدة من المشايخ يقولون‬:‫ قال‬،‫وروينا عن عبد القدوس بن همام‬
101 / 1( – ‫ وكان يصلى لكل ترجمة ركعتين (تهذيب األسماء‬،‫)النبى – صلى هللا عليه وسلم – ومنبره‬

“Kami meriwayatkan dari Abdul Quddus bin Hammam, bahwa ia mendengar dari para guru yang berkata
seputar al-Bukhari ketika menulis bab-bab salam kitab Sahihnya diantara makam Nabi dan mimbarnya, dan
al-Bukhari salat 2 rakaat dalam tiap-tiap bab” (Tahdzib al-Asma’, an-Nawawi, 1/101).

3. Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/12886/praktik-bid039ah-
hasanah-para-sahabat-setelah-rasulullah-wafat
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/12886/praktik-bid039ah-
hasanah-para-sahabat-setelah-rasulullah-wafat
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/12886/praktik-bid039ah-
hasanah-para-sahabat-setelah-rasulullah-wafat
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/94518/nabi-
muhammad-saw-dan-bidah-sahabatnya-dalam-shahih-bukhari
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Anda mungkin juga menyukai