AKIDAH AKHLAK
Tentang:
Disusun oleh:
Kelompok 09
PENDAHULUAN
Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan
sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia.
Dengan tidak adanya pengetahuan tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini,
maka kita harus berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh, dan berusaha keras
untuk menggapai cita-cita tertinggi yang diinginkan setiap muslim yaitu melihat
Rabbul’alamin dan menjadi penghuni surga.
صبِ ِحين
ْ طوعٌ ُّم ٓ َ ض ْينَا ٓ إِلَ ْي ِه ٰذَ ِل َك ْٱْل َ ْم َر أ َ ان دَابِ َر ٰ َٓهؤ
ُ َُّل ِء َم ْق َ ََوق
Artinya: “Dan telah kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu
bahwa mereka akan ditumpas habis diwaktu subuh.” (QS. Al-Hijr:
66)
1
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Kitab Tauhid, Aqwam, Jakarta, 2013, hlm. 285
Maksud dari qadar disini adalah perwujudan terhadap ketetapan terhadap
segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya yang telah ditetapkan sejak
zaman azali sesuai dengan kehendak Allah Swt. Hubungan antara qadha’ dan
qadar sangat kuat, qadha’ merupakan rencana, ketetapan atau hukum Allah SWT
yang ditetapkan sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah pelaksanaan dari
hukum atau ketetapan Allah SWT. Jadi, qadha’ dan qadar dapat diibaratkan
seperti rencana dan pelaksanaan. Maka dari itu qadha’ dan qadar disatukan
menjadi istilah yang disebut takdir. Ketentuan takdir segala sesuatu sebelum
terjadi dan penulisannya di Lauh Mahfuzh.
Hukum yang Allah berlakukan bagi alam dan dijadikan berjalan sesuai dengan
konsekwensinya merupakan sunnatullah yang Dia hubungkan dengan sebab
akibat semenjak Dia menghendakinya hingga selamanya. Jadi, segala yang terjadi
dialam ini sesuai dengan takdir terdahulu yang telah Allah atur dan tentukan.
Adapun yang tidak terjadi, berarti tidak ditakdirkan dan diputuskan.2
2
Ibit., hlm. 286
Berdasarkan ketentuannya takdir dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a. Takdir Muallaq
Takdir muallaq adalah takdir yang masih dapat berubah melalui upaya,
ikhtiar, dan doa sesuai denhga kemampuannya masing-masing. Manusia
diwajibkan mempergunakan tenaga, akal dan pikirannya untuk berusaha
mencapai kehendak dan keinginan disertai dengan segala syarat-syarat dan
perhitungan sebab-akibat. Seperti; kekayaan, kepandaian, dan kesehatan.
b. Takdir Mubram
Takdir mubram adalah takdir yang terjadi pada manusia yang terjadi
pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan dan tidak dapat ditawar-tawar
lagi oleh manusia. Seperti; kematian, jodoh, jenis kelamin bayi yang lahir,
dan kedatangan hari kiamat. Allah Swt Berfirman dalam (Q.S. Yunus/10:
49.)3
ّللاُ ۗ ِل ُك ِل أ ُ ام ٍة أ َ َج ٌل ۚ ِإذَا َجا َء أ َ َجلُ ُه ْم َ ض ًّرا َو ََّل نَ ْفعًا ِإ اَّل َما
شا َء ا َ قُ ْل ََّل أَ ْم ِلكُ ِلنَ ْفسِي
َعةً ۖ َو ََّل يَ ْست َ ْق ِد ُمون َ َفَ ََل يَ ْستَأ ْ ِخ ُرون
َ سا
Artinya: Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan
dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa
yang dikehendaki Allah". Tiap-tiap umat mempunyai ajal.
Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula)
mendahulukan(nya).(QS. Yunus/10: 49)
B. Iman Kepada Qadha’, Qadar, dan Takdir
Iman kepada qadha’ dan qadar merupakan rukun iman yang keenam,
sebagaimana jawaban Rasulullah Saw saat Jibril bertanya kepada beliau tentang
iman. Beliau bersabda, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, para Rasul-Nya, beriman kepada hari akhir, serta takdir-Nya; yang
baik maupun yang buruk.”4
3
Diakses dari http://web.ipb.ac.id/~kajianislam/pdf/TAQDIR.pdf pada tanggal 29 Oktober 2018
pukul 09:26
4
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, loc.cit. hlm. 286
Iman kepada qadha’ dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati
bahwa Allah Swt telah menentukan segala sesuatu bagi makhluk-Nya. Menurut
Yasin, iman kepada qadha’ dan qadar adalah “mengimani adanya ilmu Allah Swt
yang qadim dan mengimani adanya kehendak Allah Swt yang berlaku serta
kekuasaan-Nya yang menyeluruh”. Setiap muslim wajib mengimani qadha’ dan
qadar Allah Swt, yang baik ataupun yang buruk. Firman Allah Swt:
َ ب ۚ ِإ ان ٰذَ ِل َك
علَى ا
ِّللا ٍ ض ۗ ِإ ان ٰذَ ِل َك فِي ِكتَا
ِ اء َو ْاْل َ ْر أَلَ ْم ت َ ْعلَ ْم أ َ ان ا
ّللاَ َي ْعلَ ُم َما ِفي ال ا
ِ س َم
ِير
ٌ يَس
5
Marzuki dan Yusuf A. Hasan, Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti, Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, Balitbang, Kemendikbut, Jakarta, 2015, hlm. 23
Berkaitan dengan makna beriman kepada qadha dan qadar, dapat diketahui
bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah Swt sejak sebelum ia dilahirkan.
Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia
hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap
berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan
sendirinya.6
Makna iman kepada takdir ialah percaya penuh bahwa segala kejadian yang
baik dan yang buruk adalah sesuai dengan qadha dan qadar Allah Swt. Segala
yang ditakdirkan oleh Allah pasti mengandung paling tidak sebuah hikmah yang
hanya diketahui oleh-Nya. Allah tidak akan menciptakan keburukan murni yang
tidak membuahkan satu kemaslahatan. Keburukan yang murni tidak dinisbatkan
kepada-Nya. Akan tetapi, ia termasuk dalam makhluk Allah secara umum.
َ ۚ سيِئ َ ٍة فَ ِم ْن نَ ْفس
ِك َ َ ّللاِ َو َما أ
َ صابَ َك ِم ْن َ َ َما أ
َ صابَ َك ِم ْن َح
سنَ ٍة فَ ِمنَ ا
Artinya: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja
bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.”
(QS. An-Nisa: 79)
6
Ibit., hlm. 27
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan dengan kebijakan-Nya Dia menyesatkan siapa
yang dikehendaki-Nya. Dia tidak ditanyai mengenai apa diperbuat-Nya sedang
mereka pasti akan ditanyai.7
ُ أ ُ ِج
َ َيب دَع َْوة َ الدااعِ ِإذَا د
عان
7
Shalih bin Fauzan Al Fauzan, op.cit. hlm. 289
8
Marzuki dan Yusuf A. Hasan, op.cit. hlm. 28
Arinya: “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia
berdoa kepada-Ku,..”(Q.S. Al-Baqarah/2:186)
Jika sudah dikhtiarkan dan berdoa namun kegagalan yang diperoleh, maka
dalam hubungannya dengan takdir inilah letak “rahasia ilahi”. Meskipun begitu,
Allah Swt tidak menyia-nyiakan semua amal yang sudah dilakukan, walaupun
gagal.
Berdasarkan penjelasan diatas, jelaslah kenapa Allah Swt mewajibkan manusia
berikhtiar dan berdoa. Walaupun sudah ditentukan qada dan qadarnya, dipundak
manusia lah kunci keberhasilan dan keberuntungan hidupnya. Disamping itu,
bagitu banyak anugerah yang telah Allah Swt berikan kepada manusia berupa:
naluri, panca indera, akal, kalbu, dan aturan agama, sehingga lengkaplah sudah
bekal yang dimiliki manusia menuju kebahagiaan hidup yang diinginkan.9
D. Tawakal (Berserah Diri)
Setelah meyakini dan mengimani qadha’, qadar, dan takdir, kemudian
dibarengi dengan ikhtiar dan doa, maka tibalah manusia mengambil sikap
tawakal.
Secara etimologis kata tawakal diambil dari bahasa Arab At-tawakkul dari akar
kata wakala yang berarti menyerahkan atau mewakilkan. Kata tawakal dapat
dijumpai juga dalam berbagai kamus dengan variasai sebagai berikut: dalam
Kamus al-munawwir, disebut ( تو كَل على هللاbertawakal, pasrah kepada Allah).
Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, Tawakkal berarti berserah (kepada
kehendak Tuhan), dengan segenap hati percaya kepada Tuhan terhadap
penderitaan, percobaan dan lain-lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
tawakkal adalah pasrah diri kepada kehendak Allah dan percaya sepenuh hati
kepada Allah. Sedangkan dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia, tawakal
berarti jika segala usaha sudah dilakukan maka harus orang menyerahkan diri
kepada Allah yang Maha Kuasa.
Secara terminologis berbagai definisi tawakal dikemukakan oleh para ulama.
Definisi tersebut antara lain:
1. Amin Syukur dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Studi Islam” dengan
singkatan menyatakan, tawakal artinya memasrahkan diri kepada Allah.
9
Ibit., hlm. 29
Dalam buku lainnya yang berjudul “Tasawuf Bagi Orang Awam”
merumuskan “tawakal” adalah membebaskan hati dari ketergantungan
kepada selain yang Allah SWT, dan menyerahkan segala keputusan hanya
kepada-Nya. Allah berfirman dalam (QS. Hud/11:123) yaitu:
Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa tawakal adalah
penyerahan segala perkara, ikhtiar, dan usaha yang dilakukan kepada Allah SWT
serta berserah sepenuhnya kepada-Nya untuk mendapatkan kemaslahatan atau
menolak kemudlaratan.
Dasar pengertian tawakal diambil dari peristiwa yang terjadi pada zaman
Rasulullah saw: Pada suatu hari datang seorang sahabat ke kediaman Rasulullah
dengan mengendarai unta. Sesampainya di depan rumah beliau, (ada peristiwa
ganjil menurut pandangan Rasulullah), sehingga beliau berkata: “Kenapa unta
kalian tidak di tambatkan?” Ia menjawab: “Tidak ya Rasulallah, karena saya
10
Diakses dari http://eprints.stainkudus.ac.id/10/02/5/FILE%205%20BAB%20II.pdf, pada tanggal
26 Oktober 2018 pukul 11.28
telah bertawakal.” Kemudia Rasulallah berakata: “Tambatkan dulu unta kalian
baru bertawakal!”
الر ِحيم
يز اِ علَى ْالعَ ِز
َ َوتَ َو اك ْل
11
Marzuki dan Yusuf A. Hasan, loc.cit. hlm. 29
manusia hanya bertindak seperti robot atau wayang yang bertindak sesuai dengan
takdir Allah SWT. yang harus diterima dengan ikhlas. Maka dari itu perlu untuk
manusia dilandasi ilmu dan iman. Apabila masalah takdir hanya ditinjau dari satu
sisi makna akan memunculkan masalah dimana letak keadilan Allah SWT.
Masalah ini yang menjadi polemik kaum mutakallimin yaitu kaum jabariyah,
murji’ah, mu’tazilah, dan asy’ariyah. Begitu sulit membahas masalah keadilan
jika berdasarkan sudut pandang manusia karena manusia lebih bersifat subjektif
dalam pemikirannya.
Maka dari itu, sudah sunnatullah jika setiap kejadian yang terjadi mengandung
hikmah serta tujuan, dan pasti ada sebab dan akibat yang ditimbulkannya.
Misalnya, seseorang yang ingin kaya maka harus bekerja, jika ingin pintar maka
harus belajar, dan sebagainya. Mustahil jika seseorang bisa pintar tanpa belajar
dan mustahil jika cita-cita akan tercapai jika orang yang bersangkutan hanya
duduk melamun diatas kursi saja. Setelah seseorang itu berikhtiar hendaklah
mereka tawakkal yaitu berserah diri kepada Allah SWT. atas seluruh usaha yang
dilakukan secara maksimal tersebut. Maksudnya, menyerahkan seluruh yang
terjadi pada diri kita kepada Allah SWT. dengan tetap berusaha semaksimal
mungkin.12
F. Pengaruh Keimanan terhadap Takdir dalam Kehidupan Manusia
Pengaruh keimanan terhadap takdir dalam kehidupan manusia dengan beriman
kepada takdir dengan benar, seseorang akan giat berusaha dan berjuang. Sebab
tanpa adanya usaha dan perjuangan sesuai tujuan yang kita inginkan tidak akan
tercapai. Selain itu kita juga harus berpijak dengan Sunnatullah. Dengan
memahami takdir dalam bentuk yang tepat manusia akan terhindar dari
kejerumusan berupa bencana ataupun kesengsaraan. Maka dari itu, seseorang
harus beribadah, berusaha, serta berjuang dengan bertumpu pada Sunnah yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT. agar cita-cita kita dapat tercapai sesuai dengan
rencana kita tanpa keluar dari ajaran agama.13
12
Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 198-199
13
Ibit., hlm. 199-200
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Qadha’ merupakan rencana, ketetapan atau hukum Allah SWT yang ditetapkan
sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah pelaksanaan dari hukum atau ketetapan
Allah SWT. Jadi, qada dan qadar dapat diibaratkan seperti rencana dan
pelaksanaan. Maka dari itu qada dan qadar disatukan menjadi istilah yang disebut
takdir. Takdir merupakan ketentuan atau ketetapan Allah SWT yang telah
ditetapkan sejak zaman azali.
Sebagai penutup, kami katakan bahwa seorang mukmin harus ridha kepada
Allah SWT sebagai Tuhannya, dan termasuk kesempurnaan ridha-Nya yaitu
mengimani adanya qadha dan qadar serta meyakini bahwa dalam masalah ini
tidak ada perbedaan antara amal yang dikerjakan manusia, rizki yang dia
usahakan dan ajal yang dia khawatirkan. Kesemuanya adalah sama, sudah tertulis
dan ditentukan. Dan setiap manusia dimudahkan menurut takdir yang ditentukan
baginya. Manusia juga harus hidup dengan ikhtiar untuk memahami qada dan
qadar. Dalam kehidupan kita sehari-hari takdir Allah SWT berkaitan erat dengan
usaha yang dilakukan oleh manusia. Usaha manusia harus maksimal serta optimal
dan diiringi dengan doa serta tawakal.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.stainkudus.ac.id/10/02/5/FILE%205%20BAB%20II.pdf, diakses
pada tanggal 26 Oktober 2018 pukul 11.28.
http://web.ipb.ac.id/~kajianislam/pdf/TAQDIR.pdf, diakses pada tanggal 29
Oktober 2018 pukul 09:26.
Marzuki dan Yusuf A. Hasan. 2015. Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti.
Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbut.