Anda di halaman 1dari 16

Pendidikan Kewarganegaraan

(MGU1003)

Oleh :
Rahmad Maulana
NPM.2006020142
Dosen Pengampuh:
Dr.Hj.Sulastini, Msi
Asisten Dosen:
1. Anovan Ashari, S.IP., MAP
2. Adhi Surya, ST, MT
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MAB
2021
BAB X
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Di Indonesia


Abstrak

Esensi dalam penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri mempunyai
berbagai macam makna, tergantung dari perspektifnya. Di negara mana pun sering timbul
berbagai masalah, terkait penegakan keadilan di ranah hukum. Konsep keadilan yang sudah
mapan di suatu negara belum tentu baik apabila diterapkan untuk negara lain. Meskipun
demikian, dimungkinkan adanya saling pengaruh mempengaruhi atau bersifat integrasi antara
pemikiran satu dengan yang lainnya mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai
sifat universal. Pada tataran filosofis, tentu masing-masing negara mempunyai akar
pemikiran tersendiri, tergantung dari norma dasar negara dan kehidupan sosial-budaya
bangsanya. Untuk mengurai lebih lanjut mengenai makna keadilan dari sudut pandang
filsafat, sarana yang tepat digunakan adalah hermeneutik. Penelusuran keadilan dalam
perspektif hermeneutik dalam rangka penegakan hukum seyogyanya dibingkai juga dengan
perspektif ilmu hukum, agar diperoleh titik temu dan lebih mudah dalam
pengimplementasiannya.
Negara Indonesia saat ini sedang dilanda berbagai masalah hukum, ekonomi, sosial,
politik, dan sebagainya. Bukan hanya ilmuwan berbagai perguruan tinggi saja yang gelisah
menghadapi multiproblem ini, bahkan sebagian aparatur pemerintahan baik yang berada di
lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan rakyat pun turut gelisah dengan keadaan tersebut.
Sering diadakan diskusi, penelitian, dan penelaahan mengenai masalah tersebut, dari
sudut pandang keilmuan yang berbeda, tetapi tidak menghasilkan solusi apa pun. Setelah
diselidiki secara seksama dalam perspektif global ternyata permasalahan itu tidak terjadi di
Indonesia saja, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat pun menghadapi masalah
multidimensi yang ditandai dengan adanya tsunami ekonomi yang menghancurkan pondasi
sistem moneter di negara itu tahun 2008 hingga saat ini (termasuk juga beberapa negara di
Eropa).
Fenomena ini, ada kesamaan dengan apa yang dinyatakan oleh Fritjof Capra yaitu di
awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, akan ada krisis global yang serius, yaitu
suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek
kehidupan. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan
spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat
manusia (Fritjof Capra, 1982:1).
Berbagai krisis multidimensi di berbagai negara, dari kacamata ilmu hukum, tentu ada
suatu sistem yang salah, salah satunya masalah sistem hukum yang ada, yaitu tidak
terimplementasikannya nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terdapat unsur moralitas dan
ini berlaku secara universal. Misalnya terjadinya krisis di Amerika Serikat, salah satunya
terkait akibat dari tidak diterapkannya pelaksanaan nilai keadilan dan moralitas terhadap
penyelesaian masalah di Timur Tengah dan beberapa negara Afrika (dana pemerintah habis
hanya untuk berperang, bahkan konsep berperangnya pun jauh dari prinsip equity, humanity
dan ethics). Begitu pun permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia, sudah mencapai
titik nadir. Hal ini ditandai dengan sudah tidak percayanya rakyat terhadap realisasi hukum
positif di Indonesia, terutama dalam penegakan hukum positif itu sendiri.
Khusus untuk Indonesia, penegakan hukum positif dapat berwibawa dihadapan rakyat
dan kalangan internasional apabila keadilan dapat berfungsi dan selalu hidup di dalam raga
hukum. Tanpa menegakkan keadilan dalam hukum, akan menimbulkan penyimpangan dan
penyalahgunaan siapa pun yang memegang kekuasaan atau kewenangan, yang nantinya
berdampak buruk bagi tatanan sosial di masyarakat, sehingga muncul krisis sosial secara
regional bahkan dapat berimplikasi secara internasional. Dalam peta pemikiran mengenai
keadilan dan hukum, seyogyanya kita belajar dari para filusuf (mengambil yang baik dan
meninggalkan yang buruk), dengan menelusuri sejarah perkembangannya yang dimulai dari
zaman peradaban Yunani, dilanjutkan zaman Romawi, pada abad pertengahan aufklarung
dan zaman modern yang dijuluki era informasi teknologi, hingga pada saat ini yang mulai
muncul paham postmodern.
Pemegang kedaulatan tertinggi di Indonesia adalah rakyat, yang menunjukkan Indonesia
adalah negara demokrasi. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2)
yang berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar”. (Sodikin, 2014: 106). Bagi suatu negara demokrasi, pastilah menjadikan
pula ‘hukum’ sebagai salah satu asasnya yang lain. Ada dua bukti otentik dan konstitusional
bahwa Indonesia berasas negara hukum. Pertama, disebutkannya secara eksplisit di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar
atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan (machstaat)”. Kedua, negara
Indonesia sudah memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai negara hukum.
Menurut A. Muhammad Asrun dalam tulisannya menyatakan bahwa, dalam dua konsep
tersebut yakni negara hukum dan demokrasi diintrodusir adanya perlindungan hak warga
negara, karena perlindungan hak asasi adalah salah satu elemen dalam cita negara hukum dan
perlindungan hak warga negara merupakan manifestasi kedaulatan rakyat yang merupakan
unsur penting dalam konsep demokrasi. (Asrun, 2016: 138).
Konsep negara hukum Penegakan Hukum Berkeadilan Sebagai Perwujudan
Demokrasi Indonesia Desi Indriyani* ISSN: 2338 4638 Volume 2 Nomor 6d (2018)
dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar
tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas rakyatnya. Dengan
diberlakukannya hukum yang adil diharapkan semua orang dalam negara tersebut
tunduk pada hukum, sehingga setiap orang mempunyai kedudukan sama di mata
hukum yang tidak memihak hanya pada sebagian kelompok dan membatasi
kewenangan pemerintah berdasarkan prinsip distribusi kekuasaan, agar
pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan melindungi hak-hak rakyat
sesuai kemampuan dan peranannya secara demokratis (Yunus: 2017: 55).
Namun masalahnya sekarang ialah dalam praktek di lapangan masih banyak
terjadi pelanggaranpelanggaran terhadap hukum tersebut. Hukum yang semula
diharapkan menjadi tiang penyangga dan alat untuk membangun kehidupan yang
berkeadilan dan berkepastian dalam masyarakat yang tertib, ternyata dilanda krisis
yang tak kalah hebatnya. Korupsi, konflik daerah, dan tindakan kekerasan kini
marak terjadi di Indonesia. Setelah memasuki masa reformasi yang hendak
menjadikan pembangunan hukum sebagai salah satu agendanya, Indonesia terjebak
ke dalam ironi. Pertama, Indonesia diketahui secara internasional sebagai salah satu
negara paling korup di dunia, namun sangat jarang koruptor yang dapat dijerat
dengan hukum. Kedua, secara konstitusional Indonesia telah menetapkan dirinya
sebagai negara hukum, tetapi dalam kenyataannya hukum tidak dapat ditegakkan
dengan baik. Itu semua memberi kesimpulan bahwa peran hukum dalam reformasi
masih sangat lemah dan tidak menunjukkan kinerja yang efektif.
Penegakan hukum di Indonesia masih belum berjalan dengan baik dan begitu
memprihatinkan. Permasalahan penegakan hukum (law enforcement) selalu bertendensi
pada ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau das sollen,
dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan das sein. Lemahnya penegakan hukum di
Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum
tuntas, salah satunya adalah praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya para pelaku
utamanya sangat sedikit yang terambah hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding
terbaik dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil. Dilihat dari kajian filsafat,
refleksi filsafat hukum dilakukan untuk dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang
ada dalam penerapan hukum dalam menilik orientasi nilai keadilan yang menyangkut
pandangan hidup manusia. Sebab hukum harus selalu dikembalikan kepada tujuan awalnya
untuk menciptakan keadilan. Penelitian ini membahas konsepsi Sidharta tentang bangunan
dan sistem hukum dalam mengkaji masalah penegakan hukum di Indonesia. Metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian deskriptif, yang bertujuan
untuk mengkaji penegakan hukum di Indonesia ditinjau dari kajian filsafat hukum dan
penegakan hukum dilihat dari konsep Sidharta dalam menciptakan hukum yang
berkeadilan.
Dalam memandang atau berpendapat tentang hukum (baik sebagai ilmu maupun sebagai
praktek), kita melihat pada citra yang ada dan dibangun oleh hukum (baik sebagai lembaga
maupun pranata). Realitas yang ada tentang hukum mempresentasikan produk atau jasa
dilakukan oleh lembaga penegak hukum selama ini, dan citra lebih memproyeksikan value
dari prestasi atau kegagalan tersebut. Sayang sekali kondisi hukum Indonesia dicitrakan
dengan isilah kebusukan hukum. Citra yang demikian tersebut tidak salah karena kondisi
hukum kita memang dalam keadaaan kritis dan parah.
Jika kita amati, penegakan hukum di Indonesia masih belum berjalan dengan baik dan
begitu memprihatinkan. Permasalahan penegakan hukum (law enforcement) selalu
bertendensi pada ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau das
sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan das sein.4 Lemahnya penegakan
hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang
belum tuntas, salah satunya adalah praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya para
pelaku utamanya sangat sedikit yang terambah hukum.
Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan
rakyat kecil. Realitas penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati
rakyat kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat, khususnya pada aparat
penegak hukum itu sendiri. Aparat penegak hukum rentan akan praktik suap, membuat
hukum di negeri ini nyatanya dapat diperjualbelikan, seperti kasus BLBI yang sampai
sekarang belum jelas titik pangkalnya, kasus E-KTP yang melibatkan banyak pihak di dewan
legislasi, dan beberapa kasus besar lainnya yang mangkrak. Melihat kondisi tersebut
nampaknya kita harus bercermin kembali pada tujuan akhir hukum itu sendiri yakni untuk
menciptakan keadilan.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa berhukum memang dimulai dari teks
(undang-undang), tetapi sebaiknya kita tidak berhenti sampai disitu. Teks hukum yang
bersifat umum itu memerlukan akurasi atau penajaman yang kreatif saat diterapkan pada
kejadian nyata di masyarakat. Pada akhirnya apakah negara hukum dapat memberikan
manfaat bagi kemanusiaan, tidak bertumpu pada bunyi pasal-pasal undang-undang,
melainkan pada perilaku penegak hukum yang dapat bertindak beyond the call of duty.
Meminjam kata-kata Ronald Dworkin, kita perlu taking rights seriously dan melakukan
moral reading of the law. Berhukum dengan teks baru merupakan awal perjalanan panjang
untuk mewujudkan tujuan agar hukum dapat mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi
kemanusiaan.
Dalam menjelaskan penegakan hukum di Indonesia itu sendiri yang sarat
akan penyimpangan dalam berhukum, Sidharta menjelaskan hal ini melalui apa
yang disebut sebagai jurang hukum. Jurang hukum menjadi sangat terbuka
karena pembentuk undang-undang memang tidak pernah mampu
memperkirakan secara lengkap varian-varian peristiwa konkret yang akan terjadi
di kemudian hari. Apabila ketentuan itu tidak secara tepat dapat menjawab
kebutuhan guna menyelesaikan peristiwa konkret, maka ketentuan normatif ini
dapat diperluas atau dipersempit area pemaknaannya.8 Komunitas penstudi
hukum menyebut proses ini sebagai penemuan hukum sebagai upaya mengisi
celah jurang hukum itu sendiri.
Thomas Hobbes (1588–1679 M) dalam bukunya Leviathan pernah mengatakan
“Homo homini lupus”, artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Manusia
memiliki keinginan dan nafsu yang berbeda-beda antara manusia yang satu dan yang
lainnya. Nafsu yang dimiliki manusia ada yang baik, ada nafsu yang tidak baik. Inilah salah
satu argumen mengapa aturan hukum diperlukan. Kondisi yang kedua tampaknya bukan hal
yang tidak mungkin bila semua masyarakat tidak memerlukan aturan hukum. Namun,
Cicero (106 – 43 SM) pernah menyatakan “Ubi societas ibi ius”, artinya di mana ada
masyarakat, di sana ada hukum. Dengan kata lain, sampai saat ini hukum masih diperlukan
bahkan kedudukannya semakin penting.
Upaya penegakan hukum di suatu negara, sangat erat kaitannya dengan tujuan negara.
Anda disarankan untuk mengkaji teori tujuan negara dalam buku “Ilmu Negara Umum”.
Menurut Kranenburg dan Tk.B. Sabaroedin (1975) kehidupan manusia tidak cukup hidup
dengan aman, teratur dan tertib, manusia perlu sejahtera. Apabila tujuan negara hanya
menjaga ketertiban maka tujuan negara itu terlalu sempit. Tujuan negara yang lebih luas
adalah agar setiap manusia terjamin kesejahteraannya di samping keamanannya. Dengan
kata lain, negara yang memiliki kewenangan mengatur masyarakat, perlu ikut
menyejahterakan masyarakat. Teori Kranenburg tentang negara hukum ini dikenal luas
dengan nama teori negara kesejahteraan.
Teori negara hukum dari Kranenburg ini banyak dianut oleh negara-negara
modern. Bagaimana dengan Indonesia? Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) adalah negara hukum. Artinya negara yang bukan didasarkan pada
kekuasaan belaka melainkan negara yang berdasarkan atas hukum, artinya semua
persoalan kemasyarakatan, kewarganegaraan, pemerintahan atau kenegaraan
harus didasarkan atas hukum.
Daftar Pustaka
Jurnal Penelitian:
PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT
HERMENEUTIKA HUKUM: SUATU ALTERNATIF SOLUSI TERHADAP
PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Penegakan Hukum Berkeadilan Sebagai Perwujudan Demokrasi Indonesia

Buku Referensi:
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA: Eksplorasi Konsep Keadilan Berdimensi Ketuhanan

BAB VII BAGAIMANA DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL, SOSIAL-POLITIK, KULTURAL, SERTA


KONTEKS KONTEMPORER PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN?

Website Link
https://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201209442514478516/2.pdf

file:///C:/Users/LENOVO/Downloads/8554-23417-1-PB.pdf

https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/9722/39.%
20Ucuk%20Agiyanto.pdf?sequence=1&isAllowed=y

file:///C:/Users/LENOVO/Downloads/7_Buku_PKWN_VII.pdf
Profil Mahasiswa

Nama : Rahmad Maulana


Tempat, Tanggal lahir : Purwosari 1, 21 Juni 2001
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat Asal : Jl.Purwosari 1 Rt.10 Rw.02 No.03 Kec.Tamban Kab.
Batola
Alamat Tinggal : Jl.Purwosari 1 Rt.10 Rw.02 No.03 Kec.Tamban Kab.
Batola
Program Studi : (S-1) Teknik Sipil
NPM : 206020142
No HP : 08884511971
E-mail : 2006020142rahmadmaulana@gmail.com
Moto hidup : Terus berkarya dan ciptakan hal baru yang berguna.
PENDIDIKAN
TK : Puji Rahayu
SD : SDN Sidorejo (2008-2014)
SMP/MTs : MtsN 6 Barito Kuala (2014-2017)
SMA : SMAN 1 Tamban (2017-2020)
UNIVERSITAS : UNISKA MAB BANJARMASIN (2020-SEKARANG)

Anda mungkin juga menyukai