Anda di halaman 1dari 8

TUGAS SESI 5

NAMA : PUSPA WIJAYANTI


NIM : 857151723
KELAS:
Mata Kuliah : Pembelajaran PKn di SD
Tutor : Kartika Dwi Ningsih,S.Pd,M.Si (Han)
1. Buatlah peta konsep keterkaitan materi modul 5 dan 6!
2. Jelaskan dengan menggunakan teori dalam analisis anda, apakah negara
Indonesia sudah dapat dikatakan sebagai negara yang demokrasi?
3. Jelaskan dengan menggunakan teori dalam analisis anda, mengapa beberapa
kasus pelanggaran HAM di Indonesia sulit untuk diselesaikan?
4. Di desa Sukaraja akan dilaksanakan musyawarah perencanaan pembangunan
(musrenbang) dan bapak Anton ingin turut berpartisipasi di dalamnya. Di lain pihak para
pemangku kepentingan menganggap bahwa sebagai warga masyarakat biasa bapak
Anton tidak perlu mengikuti musrenbang tersebut. Bagaimana analisis anda tentang
situasi ini?(Jelaskan dengan menggunakan teori dalam analisis anda)!
Catatan
1. Gunakan dan cantumkan sumber referensi lain yang digunakan untuk analisis
2. Dilarang copy paste antara mahasiswa satu dengan lainnya. Apabila ditemukan
tulisan yang menunjukan kegiatan plagiat maka pemberi dan penjiplak jawaban akan
diberikan nilai 0 dan tidak mendapatkan nilai tugas
3. Pengetikan jawaban tugas dengan ukuran huruf 12 dan jenis huruf Arial spasi
1,5
4. Tugas dikumpulkan dalam format pdf paling lambat pada hari Sabtu tanggal 14
Mei 2022 diupload di lms masing-masing atau email kartikadwiningsih@gmail.com

Selamat mengerjakan dan tetap jaga kesehatan


Jawaban:
1. Kaitan modul 5 dan modul 6
Bahwa pada modul 5 kita mempelajari tentang HAM (Hak azasi Manusia) yang melekat
sekali dengan Penegakan Hukum (Modul 6)
Pada modul 5 mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan menjelaskan konsep dan
kemajuan HAM dalam konteks demokrasi Indonesia. Mahasiswa akan mengerti
pengertin HAM dalam UUD 1945 dan kasus-kasus yang berkaitan dengan HAM.
Dari ciri-ciri pelaksanaan HAM menurut Lukman Soetrisno (Paul S. Baut, 1988:227) 1
ada tiga ciri, suatu pembangunan telah melaksanakan HAM yaitu :
1. Dalam bidang politik, adanya kemauan pemerintah dan masyarakatuntuk
mengakui pluralism pendapat dan kepentingan dalam masyarakat.
2. Bidang sosial, ditandai berupa adanya perlakuan yang sama dalam hukum
antara wong cilik dan priyayi, dan adanya rasa toleransi oleh masyarakat terhadap
perbedaan atau latar belakang agama dan ras warga negara Indonesia.
3. Bidang ekonomi, yaitu denga tidak adanya monopoli dan system ekonomi yang
berlaku.
Pada Modul 6 kita memahami konsep penting tentang Penegakan Hukum di Indonesia.
Tentu saja hal ini berkaitan dengan HAM yang kita bahas di modul 5. Dengan
mengenali norma-norma hukum, apparat penegak hukum, serta penegakan hukum di
masyarakat, itu merupakan salah satu bagian penting yang harus dipahami dan
diterapkan oleh setiap individu dalam proses sosialisanya.
Warga negara yang baik adalah warga yang mampu menjunjung tinggi dan menta’atai
norma yang berlaku di masyarakat.
Dengan adanya kesadaran HAM dan Penegakan Hukum, akan terbentuk kehidupan
yang terartur. Kaidah dan norma yang disepkati akan menjadi patokan-patokan dalam
bertingkah laku. Di dalam kehidupan pergaulan manusia sehari-hari, terdapat berbagai
macam kaidah dan norma yang mengatur peri kehidupannya yang meliputi norma
agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma adat, dan norma hukum.
Sepengetahuan saya, secara sosiologis, dalam masyarakat berlaku norma-norma
secara bertingkat. Norma adat berlaku didaerah masing-masing, norma agama
biasanya berlaku secara individu _sesuai agama dan tingkah laku tertentu_, norma
kesopanan hukum yang ringan berlaku dalam kehidupan sehari, dan norma hukum
yang memiliki kedudukan paling tinggi dalam kehidupan bernegara.

1
Paul, S. Baut, dalam Pembelajaran PKN di SD, Winataputra,dkk, UT
2. Apakah negara Indonesia sudah dapat dikatakan sebagai negara yang
demokrasi?
Seperti yang kita ketahui demokrasi berasal dari kata “democracy” yang diserap dari
dua kata Bahasa Yunani “demos’ dan “kratos” atau “kratein”. Demos berarti rakyat,
kratoos atau kratein berarti kekuasaan, jadi demokrasi berarti rakyat yang berkuasa
atau “government or rule by people” (Budiardjo, 1992:50)2.
Dapat dijelaskan bahwa negara demokrasi ditandai dengan:
a. adanya partisipasi masyarakat
b. menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul
c. kemerdekaan berbicara, beragama, dan berpendapat
d. penegakan hukum “rule of law”
e. penghargaan terhadap kaum minoritas
f. saling memberi perlakuan yang sama diantara masyarakat/ individu.
Kita juga familiar dengan istilah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,
seperti perkataan Abraham Lincoln “democrazy is the government from the people, by
the people, and for the people”.
Ellya Rosyana3 dalam abstraknya menuliskan “Demokrasi bukanlah hanya sebatas hak
sipil dan politik rakyat, namun dalam perkembangannya demokrasi juga terkait erat
dengan sejauh mana terjaminnya hak-hak ekonomi dan sosial budaya dari rakyatnya.
Dengan demikian hak asasi manusia akan terwujud dan terjamin oleh negara yang
demokratis dan demikian sebaliknya, demokrasi akan terwujud apabila negara mampu
menjamin tegaknya hak asasi manusia.”
Pengertian demokrasi tersebut menunjukkan bahwa rakyat memegang
kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta mengontrol terhadap pelaksanaan
kebijakan baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau wakilnya melalui
lembaga perwakilan. Karena itu negara yang menganut sistem demokrasi

2
Budiardjo,1992 dalam Pembelajaran PKN di SD, Winataputra,dkk, UT

3
Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Ellya Rosiana, https://media.neliti.com/media/publications/140388-
ID-negara-demokrasi-dan-hak-asasi-manusia.pdf
diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayorits dan juga tidak
mengesampingkan rakyat minoritas.
Kesimpulannya, negara Indonesia secara normative adalah negara demokrasi.
Namun, masih perlu ditingkatkan dalam pelaksanaannya. Menurut pendapat saya,
harus adanya pemerintah dan penegak hukum yang memiliki komitmen dan konsisten,
bukan semangat di awal memegang pemerintahan atau jabatan saja.
Selain itu perlunya masyarakat yang selalu mendorong upaya pemerintah dan penegak
hukum.

3. Jelaskan dengan menggunakan teori dalam analisis anda, mengapa beberapa


kasus pelanggaran HAM di Indonesia sulit untuk diselesaikan?

Beberpa kasus HAM di Indonesia belum terselesaiakan. Beberapa contoh kasus


sebagai berikut:
Kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti Peristiwa 1965, Tanjung Priok
1984, Talangsari 1989, Trisakti 1998, Semanggi I dan Semanggi II serta beberapa
kasus pelanggaran HAM berat lainnya sampai saat ini masih menjadi utang pemerintah
kepada masyarakat Indonesia.
Hingga saat ini, belum ada langkah konkret yang dilakukan untuk menyelesaikan
kasus-kasus tersebut secara adil dan tuntas. Korban dari pelanggaran-pelanggaran
HAM tersebut belum mendapatkan perlindungan dan keadilan yang layak.
Menurut sejumlah pakar hukum dan HAM, ada beberapa alasan mengapa kasus
pelanggaran HAM di Indonesia sulit diselesaikan dan para korban sulit mendapatkan
keadilan.
Kuatnya impunitas hukum
Menurut Moh. Fadhil, Dosen Hukum Pidana dari Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Pontianak, Indonesia pernah memiliki satu regulasi penting, yakni Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR),
yang bertujuan untuk mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM dan memenuhi
hak-hak korban, sehingga penderitaan korban dapat terobati.
Namun, pada 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut UU KKR tersebut
karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memberikan kepastian
hukum. Walaupun kini RUU KKR tengah digodok kembali di parlemen atas usulan
Komnas HAM, putusan MK kala itu dinilai telah meruntuhkan harapan untuk
pengungkapan kebenaran.
Dilema pada perangkat hukum tersebut, menurut Fadhil, menggambarkan adanya
belenggu impunitas hukum, karena rezim reformasi sekarang masih terkontaminasi
oleh para pelaku pelanggaran HAM berat di masa orde baru.
Eddy O.S. Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, dalam bukunya yang berjudul “Pengadilan atas Beberapa Kejahatan
Serius terhadap HAM” menyebutkan bahwa langgengnya impunitas disebabkan
kuatnya arus politik yang mempengaruhi aspek penegakan hukum, sedangkan ranah
politik sendiri masih dikuasai oleh para pelaku.
Pengaruh tersebut mengontaminasi berbagai macam proses penegakan hukum
secara in abstracto yakni proses formulasi kebijakan penegakan hukum. Inilah salah
satu yang menjadi tembok penghalang pengungkapan kebenaran dan keadilan
terhadap korban pelanggaran HAM berat di masa lalu yang turut memperkokoh
benteng impunitas terhadap para pelaku.
Untuk menerobos impunitas tersebut, menurut Fadhil, peran masyarakat sipil
perlu diperkuat untuk mendorong dan mengawasi pembahasan RUU KKR yang tengah
berjalan di parlemen.
Kemudian, demi memutus rantai impunitas dari dalam kelembagaan, pemerintah
bersama otoritas terkait, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perlu menerapkan
mekanisme seleksi rekam jejak yang ketat terhadap pejabat-pejabat yang akan mengisi
jabatan di badan dan lembaga negara.
Lemahnya implementasi hukum
Menurut Ogiandhafiz Juanda, Dosen Hukum Internasional dan Keadilan Global
dari Universitas Nasional, implementas aturan yang ada saat ini tidak cukup memadai
untuk dapat memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM berat secara komprehensif.
Padahal, Indonesia sudah memiliki UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan
HAM yang mengatur ketentuan pemberian kompensasi atau restitusi, serta jaminan
perlindungan lainnya.
Ketentuan lebih lengkap tentang pemberian kompensasi dan restitusi tersebut juga
diatur dalam pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Pasal
7 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Sayangnya, pemenuhan kompensasi dan restitusi tersebut belum diberlakukan secara
efektif dan efisien. Hal ini karena, menurut UU Pengadilan HAM, kompensasi dan
restitusi akan diberikan melalui putusan pengadilan.
Ogiandhafiz menyebutkan Peristiwa 1965 sebagai contoh, yang korban atau
keluarganya sudah menanti lebih dari 50 tahun namun tidak juga mendapatkan
kepastian hukum. Para korban masih harus menunggu keputusan pengadilan terlebih
dahulu untuk bisa mendapatkan haknya.
Tidak berjalannya proses peradilan inilah yang pada akhirnya menghambat
proses pemulihan bagi para korban pelanggaran HAM berat.
Menurut Ogiandhafiz, pemerintah harus segera menunjukkan komitmen terhadap
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dengan upaya dan langkah yang lebih
konkrit, mulai dari proses penuntutan hingga pemulihan hak-hak korban.
Never to forgive, never to forget
Menurut Nunik Nurhayati, Dosen Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah
Surakarta, penyelesaian pelanggaran HAM melalui skema KKR pada dasarnya
mengedepankan jalur non-yudisial atau tanpa persidangan.
Nunik menjabarkan ada tiga model penyelesaian pelanggaran HAM.
Pertama, “to forget and to forgive” (melupakan dan memaafkan), yaitu meniadakan
proses pengadilan dan melupakan masa lalu. Melupakan dan memaafkan tanpa proses
hukum mungkin pilihan yang diinginkan para pelaku. Model ini tidak hanya kontradiktif
dengan harapan korban, tapi juga akan melanggengkan impunitas dan tidak
memberikan efek jera.
Kedua, “never to forget, never to forgive”, (tidak melupakan dan tidak memaafkan).
Artinya, peristiwa masa lalu akan diproses secara hukum. Para pelaku akan diadili dan
apabila terbukti bersalah maka dijatuhi hukuman.
Ketiga, “never to forget, but to forgive” (tidak melupakan, tetapi kemudian memaafkan).
Artinya, kasus diungkap dulu, sampaikan kebenaran, kemudian pelaku diampuni. Model
ini bersandar pada proses kompromi.
Menurut Nunik, pemerintah seharusnya mengambil model kedua untuk mengadili kasus
pelanggaran HAM masa lalu karena bagaimanapun juga Indonesia adalah negara
hukum. Peradilan HAM merupakan sesuatu yang multlak harus ada sebagai betuk
keadilan yang nyata.
Sementara itu, jalur non-yudisial sebenarnya lebih mengarah ke model pertama.
Hal inilah yang ditolak oleh banyak pihak terutama para korban dan keluarganya.
Walaupun pemerintah menghendaki jalur non-yudisial, yakni melalui KKR, pemerintah
harus tetap terikat pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara universal, yakni
kewajiban negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM dengan pemenuhan terhadap
hak untuk tahu (the right to know), sebagai landasan dalam pemberian pemulihan
korban (the right to reparation), dan penegakan pertanggungjawaban melalui
penuntutan hukum, guna mencegah berulangnya pelanggaran HAM.
(sumber:https://theconversation.com/pakar-menjawab-mengapa-pelanggaran-ham-
berat-masa-lalu-di-indonesia-sulit-diselesaikan-179930)
Menurut pendapat saya, memang sangat penting adanya komitmen dari
pemerintah dan penegak hukum dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,
kalaupun ada faktor kepentingan politk, maka dicari penyelesaian terbaik dengan
mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat sesuai dengan cita-cita dalam
UUD 1945. Dan dalam Pembukaan UUD 1945. Juga sesuai dengan kandunga
Pancasila sila ke-5 menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

4. Analisis tentang anggota masyarakat biasa yang ingin mengikuti


Musrenbang

Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disingkat


Musrenbang. Musrenbang Desa adalah forum rembug warga desa yang dilakukan
untuk membicarakan masalah dan potensi desa agar teridentifikasi dengan baik untuk
memberikan arah yang jelas atas tindakan yang layak menurut skala prioritas dan
dilaksanakan dalam mengatasi masalah atau memaksimalkan potensi yang dimiliki
sebagai dasar program kerja pemerintah desa melaksanakan penganggaran dan
kegiatan tahunan desa.
Untuk Musrenbang, setahu saya, ada pihak-pihak terkait yang wajib ikut dan anggota
masyarakat biasa sudah memiliki perwakilan. Jadi tidak sembarang orang boleh ikut.

Anda mungkin juga menyukai