DISUSUN OLEH :
Universitas Sriwijaya
2019
DAFTAR ISI
1. Kata Pengantar
2. Daftar isi
3. BAB I Pendahuluan
A. Latar belakang masalah
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
4. BAB II Pembahasan
5. BAB III
A. Kesimpulan
6. Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya
keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan
kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan
mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan
yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati
peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa
dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang
hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang
dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya
berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi
semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang
dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri
dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana
itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau
perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang
carut marut, mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai tindak pidana di
televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang menggambarkannya, mulai
dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga maling uang rakyat. Sebenarnya
permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu
sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi
kekuasaan, maupun perlindungan hukum.
Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara
menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial
masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun
tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh
tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan
bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia,
hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah
fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya wibawa hukum di mata publik.
Dengan landasan pemikiran ini, penulis akan mencoba memaparkan mengenai
kebijakan, problematika, dampak dan pemecahan penegakan hukum di Indonesia. Selain itu
penulis juga akan memaparkan ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di
Indonesia.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan,
penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis
tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin
berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan
aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru
mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan
pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM
berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat dari segala
tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar
1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan
seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan
pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah penegakan hukum itu?
2. Apakah itu aparatur penegak hukum?
3. Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum?
4. Apakah Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?
5. Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum?
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PENEGAKAN HUKUM
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam
arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan
nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule
of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh
hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just
law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan
sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat
kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoma
n perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita
tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan
membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi
subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja,
misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja
dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait
dengan tema penegakan hukum itu.
Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan
mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya
bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum
materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian
penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan
pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti
luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa
Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan
hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang
sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of
Justice’.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu:
(i) institusi penegak hukum beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
(ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya,
(iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun
yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya
maupun hukum acaranya.
Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu
secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal
dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih
menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan
tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan
jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya
penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena
itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu :
(i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’),
(ii) sosialisasi,penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and
promulgation of law,
(iii) penegakan hukum (the enforcement of law).
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam
mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
a. Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu
prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau
dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang
dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of
innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak
(biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena
hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian
yang tidak seimbang.
b. Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda
dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu
perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
c. Sikap Arrogence power
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi
orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang
bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,
terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan
yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
2. Faktor Objektif
a. Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa
kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda
cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal
dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
b. Profesionalisme
Profesionalisme meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) danskills (keahlian,
keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang
mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering
dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang
menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan
menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan
substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh
beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan
tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik
polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang
bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan
dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak
disadari telah berlangsung dari hari ke hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan
hukum yang terjadi pada saat berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang
memberlakukan aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri.
Bahkan polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI atau Polri yang
melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang
polisi yang bertugas memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih
tinggi. Secara tidak disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam
tapi sayangnya banyak masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat
tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa
lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.
Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat
untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku
hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang
baik pula. Selama struktur masyarakat tidak terkandung kearah susunan masyarakat yang
baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah kepada perilaku
hukum yang baik.
Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku
manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang
dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata
lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka
pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Bahwa pemberdayaan
masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat
terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi
kaedah hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola
perilaku hukum masyarakat itu sendiri;
4) Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib
hukum terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu
diperhatikan segi substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini
DAFTAR PUSTAKA
https://raypratama.blogspot.com/2012/02/faktor-faktor-yang-
mempengaruhi.html
http://digilib.unila.ac.id/2827/12/BAB%20II.pdf