Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENEGAKAN HUKUM

DISUSUN OLEH :

1. Annisa Dean Nur Zhafirah NIM: 06051381924043

2. Sri Wahyu Ningsih NIM : 06051381924058

3. Muhammad Ishaq NIM : 06051381924036

Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pembimbing : Drs. Emil Faishal, M.Si

Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sriwijaya

2019
DAFTAR ISI

1. Kata Pengantar

2. Daftar isi

3. BAB I Pendahuluan
A. Latar belakang masalah
B. Rumusan masalah
C. Tujuan

4. BAB II Pembahasan

A. Pengertian Penegakan Hukum


B. Pengertian Aparatur Penegak Hukum
C. Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum
D. Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia
E. Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum

5. BAB III

A. Kesimpulan

6. Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya
keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan
kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan
mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan
yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati
peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa
dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang
hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang
dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya
berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi
semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang
dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri
dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana
itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau
perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.

Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang
carut marut, mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai tindak pidana di
televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang menggambarkannya, mulai
dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga maling uang rakyat. Sebenarnya
permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu
sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi
kekuasaan, maupun perlindungan hukum.

Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara
menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial
masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun
tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh
tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan
bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia,
hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah
fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya wibawa hukum di mata publik.
Dengan landasan pemikiran ini, penulis akan mencoba memaparkan mengenai
kebijakan, problematika, dampak dan pemecahan penegakan hukum di Indonesia. Selain itu
penulis juga akan memaparkan ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di
Indonesia.

Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoneseia dalam kurun waktu


beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi
yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah “kebabalasan”
bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak
terkelola dengan baik ditambah dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang
sangat otoriter berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan
beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan. Terjadi pula
pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok etnis lain.
Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama” berbagai
media di tanah air.

Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan


dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar
etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial
lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi
manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara
atau sebaliknya) maupun horisontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk
dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima tujuh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan
penghormatan, perlindungan atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan.

Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan,
penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis
tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin
berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan
aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru
mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan
pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM
berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat dari segala
tuntutan hukum.

Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar
1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan
seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan
pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah penegakan hukum itu?
2. Apakah itu aparatur penegak hukum?
3. Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum?
4. Apakah Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?
5. Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum?

C. TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuiah Sistem Hukum Indonesia


2. Untuk menambah pengetahuan tentang Penegakan Hukum
3. Untuk mengetahui berbagai permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau


berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang
luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti
yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan
semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan
normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri
pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan
sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan
untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam
arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan
nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule
of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh
hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just
law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan
sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat
kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoma
n perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita
tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan
membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi
subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja,
misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja
dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait
dengan tema penegakan hukum itu.

PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF

Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan
mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya
bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum
materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian
penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan
pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti
luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa
Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan
hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang
sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of
Justice’.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus


ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara
tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara
perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan
dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran
materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan
pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari
dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban
demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata.
Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu
sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi
dari mata uang yang sama.
B. APARATUR PENEGAK HUKUM

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak


hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak
hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi,
penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan
aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu:
(i) institusi penegak hukum beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
(ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya,
(iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun
yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya
maupun hukum acaranya.
Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu
secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal
dapat diwujudkan secara nyata.

Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih
menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan
tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan
jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya
penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena
itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu :
(i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’),
(ii) sosialisasi,penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and
promulgation of law,
(iii) penegakan hukum (the enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of


law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang
bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan
sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan
terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu
mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum
itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana
sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah
dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan
keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis)
hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas
terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada,
bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak
diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang
bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan
pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan
hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara
sistematis dan bersengaja.

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM

Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang mempengaruhi


penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan
hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.

Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam
mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
a. Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu
prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau
dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang
dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of
innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak
(biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena
hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian
yang tidak seimbang.
b. Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda
dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu
perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
c. Sikap Arrogence power
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi
orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang
bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,
terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan
yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.

2. Faktor Objektif
a. Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa
kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda
cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal
dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
b. Profesionalisme
Profesionalisme meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) danskills (keahlian,
keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang
mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering
dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang
menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan
menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

D. PERMASALAHAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan
substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh
beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan
tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik
polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang
bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan
dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak
disadari telah berlangsung dari hari ke hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan
hukum yang terjadi pada saat berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang
memberlakukan aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri.
Bahkan polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI atau Polri yang
melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang
polisi yang bertugas memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih
tinggi. Secara tidak disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam
tapi sayangnya banyak masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat
tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa
lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.

Penegakan hukum di Indonesia harus terus diupayakan dengan mulai memperbaiki


kinerja dan moral aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada
dalam wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa adanya perbaikan tersebut segala bentuk KKN
akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Selain itu materi
hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki, peran DPR sebagai lembaga legislatif
untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undangan yang lebih
sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih tegas lagi. Peningkatan kesadaran hukum
masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara konsisten.
Dalam rangka pembentukan hukum nasional, perlu dibentuk konsepsi sistem
hukum Indonesia, yang penulis sebut dengan Indonesia Juripridence maka nilai-nilai
Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga dibutuhkan standar hukum
yang bersifat united legal frame work dan united legal opinion diantara aparat
penegak hukum sehingga perlu dibentuk Undang-Undang sinergitas terpadu
dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas baik, aturan
hukum yang responsif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan selanjutnya
diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh aparat penegak hukum.

E. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN HUKUM

Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat
untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku
hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang
baik pula. Selama struktur masyarakat tidak terkandung kearah susunan masyarakat yang
baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah kepada perilaku
hukum yang baik.
Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku
manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang
dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata
lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang.
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka
pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Bahwa pemberdayaan
masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat
terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi
kaedah hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola
perilaku hukum masyarakat itu sendiri;

2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi


oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai
terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi
struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan,
pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial;

3) Bahwa pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya


dipengaruhi oleh faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti
sikap penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai
pemegang peran;

4) Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib
hukum terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu
diperhatikan segi substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini
DAFTAR PUSTAKA

 Ir iani, Dewi. Pengenalan Ilmu Hukum. Ponorogo: STAIN Ponorogo, th.

 Mahfiana, Layyin. Ilmu Hukum. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press,


2005.

 Raharjo, Sadjibto. Masalah Penegakan Hukum. Bandung: Sinar Baru, tt.

 Sunarso, Siswanto. 2005. Penegakan Hukum Psikotropika, Kajian


Sosiologi Hukum. Jakarta:

 https://raypratama.blogspot.com/2012/02/faktor-faktor-yang-
mempengaruhi.html

 http://digilib.unila.ac.id/2827/12/BAB%20II.pdf

 Penegakan Hukum di Indonesia Sangat Memprihatinkan.


(http://news.okezone.com/read/2013/04/10/339/789007/ penegakan-
hukum-di-indonesia-sangat-memprihatinkan)

Anda mungkin juga menyukai