Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HUKUM PIDANA

Disusun oleh :

Marcelia Wijaya 03051190001

Kimberly 03051190032

Marco 03051190040

Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Pelita Harapan Medan Campus

Tahun Akademik 2019/2020

i
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Pidana yang berjudul
“ Strafbaar Feit atau Tindak Pidana “ tepat pada waktunya.
Makalah ini kami buat guna melengkapi nilai dan materi yang telah ditentukan pada
semester satu ini . Tugas ini, merupakan Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum tentang
penyusunan Makalah mengenai Hukum Pidana. Makalah yang ditulis penulis ini berbicara
mengenai Tindakan Pidana ( Strafbaar Feit ) . Penulis menuliskannya dengan mengambil dari
beberapa sumber baik dari buku maupun dari internet dan membuat gagasan dari beberapa
sumber yang ada tersebut .
Penulis berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian makalah ini .Hingga tersusun makalah yang sampai di hadapan pembaca pada
saat ini . Penulis juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih banyak
kekurangan. Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau
kritik yang membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik .

Medan, 22 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………………………………………….. i

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………………. iii

BAB 1 : PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………………. 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………………………….. 1

1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………………… 1

1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………………………….. 1

BAB 2 : PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………………… 2

2.1 Pengertian Hukum Pidana …………………………………………………………………………. 2

2.2 Pembagian Hukum Pidana …………………………………………………………………………. 3

2.3 Sifat Hukum Pidana ……………………………………………………………………………………. 6

2.4 Sumber-sumber Hukum Pidana …………………………………………………………………. 8

2.5 Sistim Hukuman Hukum Pidana …………………………………………………………………. 13

BAB 3 : PENUTUP ……………………………………………………………………………………………….. 15

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………………………………………… 15

3.2 Saran ……………………………………………………………………………………………………………….. 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan
hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.
Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat social juga tidak terlepas dengan
adanya hukum yang mengatur . Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana .
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar
dalam ilmu hukum pidana, Perbuatan pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan
saja dan dimana saja . Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus
maupun skalanya , seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah sering juga
perkembangan sector perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi
penduduk maka pembenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas
tidak dapat dihindari . Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai
kepentingan baik individu maupun kelompok
Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi batasan sebagai
berikut ; “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang; tindak pidana”. Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu
hukum pidana,latar belakang orang melakukan tindak pidana/delik dapat dipengaruhi
dari dalam diri pelaku yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang
disebut determinisme.

1.2 Rumusan Masalah


- Apakah pengertian Hukum Pidana ?
- Apa saja pembagian Hukum Pidana ?
- Bagaimana sifat hukum pidana ?
- Apa saja sumber-sumber Hukum Pidana ?
- Bagaimana Sistim Hukuman Hukum Pidana ?

1.3 Tujuan Penulisan


Pembuatan makalah ini bertujuan agar pembaca mengetahui tentang hukum pidana.
Selain itu agar pembaca dapat membedakan antara pelanggaran dan kejahatan ,
sehingga dapat diterapkan di masyarakat .

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HUKUM PIDANA

Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan
salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum
ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman
tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang
berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan
tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya
dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana.
Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-
Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana adalah hukum
yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi
yang melanggarnya. Perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah:
• Pembunuhan
• Pencurian
• Penipuan
• Perampokan
• Penganiayaan
• Pemerkosaan
• Korupsi
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-
nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum
yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-Undang,
hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan
pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
• Menentukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.

2
• Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara
kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Undang-
undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.

2.2 PEMBAGIAN HUKUM PIDANA


Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut :
1. Hukum pidana dalam arti objek tif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil
Menurut van Hattum:
a. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan
tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang
dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan ter-hadap
tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagai-mana yang dapat dijatuhkan
terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
b. Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang
bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan
secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum
acara pidana.
3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan (niet gecodificeerd) :
a. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
b. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana
yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31

3
c. Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7
Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang
Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-
nyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 ten-tang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya
mengandung sanksi berupa pidana.
4. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus
(bijzonder deel)
a. Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang
diatur di dalam Buku I KUHP yang menga-tur tentang Ketentuan Umum;
b. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-
kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang
tidak terkodifikasi.
5. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus bijzonder
strafrecht) van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana
umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan
bagi setiap orang (umum), sedang-kan hukum pidana khusus adalah hukum pidana
yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang ter-tentu
saja misalnya bagi anggota Angkatan Besenjata, ataupun merupakan hukum pidana
yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.

6. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis Hukum adat yang beraneka
ragam di Indonesia masih diakui ber-laku sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada
hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini
resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di
Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan
yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan pasal-
pasal dari KUHP.

4
Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951,
ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat, walaupun dalam arti
yang terbatas. Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni
1971, Nomor: 14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan di luar kawin.
Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970
di kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan
persetubuhan di luar kawin dengan E yang akhirnya menyebabkan E tersebut hamil
dan melahirkan anak. Tertuduh telah dinyatakan bersalah mela-kukan delik
kesusilaan berdasarkan pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo.
Pasal 284 KUHP.

Dengan demikian sistem hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum


pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak
mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai
akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang
berupa hukum adat.

7. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana lokal (plaatselijk
strafrecht)
Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum
pidana nasional. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh
Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat
melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan
hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang
berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum
pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal
dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun
Pemerintahan Kota.

5
Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam
peraturan daerah itu secara mutlak harus dilaku-kan oleh pengadilan. Dalam melakukan
penahanan, pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-alat
kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.

2.3 SIFAT HUKUM PIDANA


Hukum pidana mempunyai dua unsur pokok yang berupa norma dan sanksi,
dengan fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang di dalam
pergaulan hidup bermasyarakat dan untuk menjamin ke-tertiban hukum, maka
hubungan hukum yang ada dititikberatkan kepada kepentingan umum.
Pompe menyatakan bahwa yang dititikberatkan oleh hukum pidana dalam
pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah kepentingan umum, kepentingan
masyarakat. Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan
menimbulkan pula dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu hubungan koordinasi
antara yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan itu bersifat
subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk
memperhatikan kepentingan rakyat.
Hazewinkel-Suringa tegas mengatakan bahwa hukum pidana itu termasuk hukum publik.
Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum.
Adalah tugas hukum pidana untuk memungkinkan manusia hidup bersama. Di situ
terjadi hubungan antara pelanggar hukum publik hukum pidana dalam hal dapatnya
dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan pada umumnya tetap ada walaupun dilakukan
dengan persetujuan orang yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya tidak
tergantung kepada mereka yang dirugikan oleh perbuatan yang dapat dipidana itu.
Tetapi ini tidak berarti bahwa hukum pidana tidak memperhatikan kepentingan orang
pribadi. Orang pribadi itu dapat menjadi pihak penuntut perdata dalam perkara pidana
khususnya dalam hal ganti kerugian.

6
Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat dike-tahui berdasarkan:
1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya itu telah mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari korbannya;
2. Penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan kepada keinginan dari
orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang
lain.
3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan
perampasan barang menjadi menjadi penghasilan negara.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum
publik. Hal ini didasarkan kepada hubungan hukum yang diatur di dalam hukum pidana
titik beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-
kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal
penerapan hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seo-rang
individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan diserah-kan kepada
pemerintah sebagai wakil dari kepentinan umum. Misalnya dalam hal terjadinya tindak
pidana penipuan, penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak orang
yang ditipu, melainkan kewe-nangan instansi Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya
saja sebagai kekecualian, ada beberapa tindak pidana yang hanya dapat diajukan ke
pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu kepen-tingannya, misalnya
tindak pidana penghinaan dan perzinahan. Namun ada beberapa sarjana yang tidak
sependapat bahwa hukum pidana bersifat hukum publik, seperti Van Kan, Paul Scholten,
Logeman, Lemaire dan Utrecht. Para ahli ini berpendapat, bahwa hukum pada pokoknya
tidak mengadakan kaedah-kaidah (norma) baru, melain-kan norma hukum pidana itu
telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan juga sudah ada sanksinya. Hanya
pada suatu tingkatan ter-tentu, sanksi tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga
dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat yang disebut sebagai sanksi
(hukuman) pidana. Alasan lainnya yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat
mereka ialah, bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menun-tut suatu tindak pidana
tertentu karena dipersyaratkan harus ada "penga-duan" dari pihak yang dirugikan atau
yang terkena tindak pidana, hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat
hukum publik.
7
2.4 SUMBER HUKUM PIDANA
Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata dan untuk keperluan itu,
para ahli hukum pidana telah memikirkan agar hukum pidana dapat “pasti” dan “adil”
sehingga timbullah bentuk-bentuk hukum pidana yang dirumuskan dalam undang-
undang dan atau kitab undang-undang (kodifikasi). Namun hal ini tidak berarti hukum
pidana yang ada di setiap negara di dunia, berbentuk undang-undang dan kodi-fikasi.
Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon hampir seluruhnya tidak
mengenal hukum pidana dalam bentuk kodifikasi dan hanya sebagian kecil negara-
negara itu yang mempunyai kodifikasi hukum pidana.
Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan menemukan
hukum. Tempat untuk menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti
formil. Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis
Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama aslinya adalah
Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch indie (W.v.S), sebuah Titah Raja
(Koninklijk Besluit) tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1
Januari 1918. KUHP atau W.v.S.v.N.I. ini merupakan copie (turunan) dari Wetboek
van Strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku
pada tahun 1886 tidak seratus persen sama, melainkan diadakan penyimpangan-
penyimpangan menurut kebutuhan dan keadaan tanah jajahan Hindia Belanda dulu,
akan tetapi asas-asas dan dasar filsafatnya tetap sama.
KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal
17-8-1945 mendapat perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-
undang No. 1 Tahun 1942 (Undang-undang Pemerintah RI, Yogyakarta), Pasal 1
berbunyi: “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI tertanggal 10
Oktober 1945 No. 2 menetapkan, bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang
berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret
1942”.
Ini berarti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP kita adalah Bahasa Belanda.

8
Sementara itu Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1945 kembali lagi ke
Indonesia, setelah mengungsi selama zaman pen-dudukan Jepang (1942-1945) juga
mengadakan perubahan-peru-bahan terhadap W.v.S. v.N.I. (KUHP), misalnya dengan
Staat-blad 1945 No. 135 tentang ketentuan-ketentuan sementara yang luar biasa
mengenai hukum pidana Pasal 570.

Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua pemerintahan yang


saling bermusuhan itu tidak sama, sehingga hal ini seolah-olah atau pada hakekatnya
telah menimbulkan dua buah KUHP yang masing-masing mempunyai ruang
berlakunya sendiri-sendiri. Jadi boleh dikatakan ada dualisme dalam KUHP
(peraturan hukum pidana). Guna melenyapkan keadaan yang ganjil ini, maka
dikeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 (L.N. 1958 No. 127) yang antara lain menyatakan
bahwa UU R.I. No. 1 Tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Dengan demikian perubahan-perubahan yang diadakan oleh Pemerintah Belanda
sesudah tanggal 8 Maret 1942 dianggap tidak ada.

KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk semua
golongan penduduk, dengan demikian di dalam lapangan hukum pidana telah ada
unifikasi. Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan
pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-peraturan pidana yang tidak
dikodifikasikan, yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana
lainnya.

2. Hukum pidana adat


Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang
tidak tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat yang masih
hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum
pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N.
1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat
(meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum

9
pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana tertulis
tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan
asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.

3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan)


M.v.T. adalah penjelasan atas rencana undang-undang pidana, yang diserahkan
oleh Menteri Kehakiman Belanda bersamadengan Rencana Undang-undang itu
kepada Parlemen Belanda. RUU ini pada tahun 1881 disahkan menjadi UU dan pada
tanggal 1 September 1886 mulai berlaku. M.v.T. masih disebut-sebut dalam
pembicaraan KUHP karena KUHP ini adalah sebutan lain dari W.v.S. untuk Hindia
Belanda. W.v.S. Hindia Belanda (W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari
1918 itu adalah copy dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh karena itu M.v.T. dari
W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat digunakan pula untuk memperoleh penjelasan dari
pasal-pasal yang tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku.

Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu


perbuatan, Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang
utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas
dalam pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1ayat (1) Konsep.
Namun berbeda dengan asas legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama
ini, Konsep memperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa
ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi berlakunya "hukum yang
hidup" di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber hukum tertulis
(UU) sebagai kriteria/patokan formal yang utama, Konsep juga masih memberi
tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai
dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang
hidup di dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tidak ada bandingnya
(persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam undang-undang.

10
Diakuinya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau
yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat adalah untuk lebih memenuhi
rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di
beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang
tidak ter-tulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersang-kutan,
yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipi-dana. Dalam hal ini
hakim dapat menetapkan sanksi yang berupa “Pemenuhan Kewajiban Adat”
setempat yang harus dilaksanakan oleh pembuat tindak pidana. Hal ini berarti
bahwa standar, nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap
dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat ter-
tentu. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menja-min
pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.

Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa menurut Konsep KUHP Baru


sumber hukum pidana itu adalah sumber hukum tertulis (undang-undang) dan
sumber hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat. Penjelasan Pasal 1 ayat (3)
Konsep KUHP Baru menyebut-kan, untuk memberikan dasar hukum yang mantap
mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan
secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini. Ketentuan ini meru-
pakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi
rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.

Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa embrio atau cikal-bakal dari pokok
pemikiran tetap diakuinya eksistensi/berlakunya hukum tidak tertulis yang hidup di
dalam masyarakat sebagai salah satu sumber hukum pidana itu sebenarnya sudah
cukup lama dan tersebar di beberapa produk legislatif, antara lain dapat dilihat
sebagai berikut:

11
1) Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang No. 1 Drt. 1951
" ... bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan
penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang
terhukum…..… Bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut
pikiran hakim melampaui hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di
atas,maka…..... terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun
penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang…..... tidak selaras lagi
dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas."
2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 16 ayat (1)
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;
Pasal 25 ayat (1)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan per-undang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili;
Pasal. 28 ayat (1)
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Selanjutnya disebutkan, bahwa dengan bertolak dari kebijakan perundang-undangan


nasional seperti dikemukakan di atas (Undang-undang No. 1 /Drt/ 1951 dan Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman), dapat dikatakan bahwa perluasan asas legalitas secara
materiil di dalam konsep sebenarnya bukanlah hal baru, tetapi hanya melanjutkan dan

12
mengimplementasikan kebijakan/ide yang sudah ada. Bahkan kebijakan/ ide perumusan
asas legalitas secara material pernah pula dirumuskan sebagai "kebijakan konstitusional"
di dalam Pasal 14 ayat (2) UUDS'50 yang berbunyi: "Tiada seorang jua pun boleh
dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena aturan hukum yang
sudah ada dan berlaku terhadapnya."

Dalam pasal tersebut digunakan istilah "aturan hukum" (RECHT) yang tentunya lebih
luas pengertiannya dari sekadar aturan "undang-undang" (WET), karena dapat
berbentuk "hukum tertulis" maupun "hukum tidak tertulis".

2.5 SISTEM HUKUMAN HUKUM PIDANA


Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 menyatakan bahwa hukuman
yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen)
1) Hukuman Mati
Tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan
bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman
mati ini kadang masih diberlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih
banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
2) Hukuman Penjara
Hukuman penjara sendiri dibedakan ke dalam hukuman penjara seumur hidup
dan penjara sementara.Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan
maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa
hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar
penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.
3) Hukuman Kurungan
hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena
kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran.Biasanya terhukum dapat memilih

13
antara hukuman kurungan atau hukuman denda.Bedanya hukuman kurungan
dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat
ditahan di luar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada
hukuman penjara dapat dipenjarakan di mana saja, pekerjaan paksa yang
dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan
pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan
mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman
penjara tidak demikian.
1. Hukuman Denda
Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan
kurungan.Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.
2. HukumanTutupan
Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang
yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh
KUHP.

b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)


Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus
disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain:
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan
salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum
ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman
tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang
berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan
tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.

3.2 SARAN

Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
disertai dengan sanksi.Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsure atau syarat
yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat
dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada
sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.

15
DAFTAR PUSTAKA

J.M. van Bemmelen.1979. Hukum Pidana 1, Bandung: Binacipta

P.A.F. Lamintang. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru

Hamzah, andi,1984. bunga rampai hukum pidana dan acara pidana.Jakarta: Ghalia Indonesia

Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Petranse, Syarifudin H.Ap dan Sabuan Ansori. 2000. Hukum Acara Pidana. Indralaya:
Universitas Sriwijaya.

16

Anda mungkin juga menyukai