Anda di halaman 1dari 14

HUKUM WARIS ACEH

Makalah yang disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah


Hukum Waris

Oleh

Anfasa Derawan 010001800411


Crisdayanti Sutanto 010001800124
Dhimas Prima 010001800140
Nadia Margaretha 010001800424
Paskah Aprilia S 010001800402

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah tentang ” Hukum Waris Aceh ” ini
disusun dengan tujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah Hukum Waris, kami selaku penulis
dapat lebih memahami sistem kewarisan masyarakat adat Aceh.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam proses
penyusunan makalah ini, khusunya kepada dosen mata kuliah Hukum Waris yang bersedia
membimbing dan mengarahkan kami dalam penyusunan makalah ini.

Semoga penyusunan makalah ini dapat memberikan inspirasi bagi penulis yang lain.

Jakarta, 20 September 2019

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ..............................................................................................2

DAFTAR ISI .............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang ................................................................................4


II. Rumusan Masalah ...........................................................................5
III. Tujuan Penelitian ............................................................................5
IV. Manfaat Penelitian ..........................................................................5
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Struktur Kemasyarakatan di Aceh....................................................6

2.2. Sistem Perkawinan Masyarakat Adat di Aceh.................................9

2.3. Jenis Perkawinan di Aceh................................................................10

2.4. Sistem Kewarisan Masyarakat Adat Aceh.......................................11

BAB III PENUTUP

3.1. Simpulan..........................................................................................13

3.2. Saran................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka
pembangunan hukum nasional yang menuju kearah peraturan perundang-undangan.
Unsur-unsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu
dimasukkan ke dalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan
dasar keadilan dan perasaan hukum masyarakat Indonesia. Hukum waris adat adalah
untuk membedakan dengan istilah hukum waris barat, hukum waris Islam, hukum waris
Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Batak, hukum waris Minangkabau,
hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris adat atau juga akan disebut
hukum adat waris bagi kami tidak keberatan.
Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang
berbeda dari hukum Islam maupun hukum Barat.Bangsa Indonesia yang murni dalam
berfikir berasas kekeluargaan, yaitu kepentingan hidup yang rukun damai lebih
diutamakan dari pada sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri.

Aceh merupakan salah satu provinsi yang bersifat istimewa dan diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Aceh memberlakukan hukum islamdan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari
karena adat merupakan salah satu bagian terpenting yang tidak bisa dipisahkan dalam
kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat Aceh adat istiadat merupakan suatu
hal yang tidak dapat dipisahkan serta agama, sehingga ada pepatah Aceh mengatakan
bahwa “Adat ngeun hukum hanjeut cree, lagee dzat ngon sifeut ( adat / kebiasaan dengan
hukum / nash-qath’iy tidak boleh berpisah bagaikan zat dan sifat )” 1 . Agama Islam
menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh, sehingga hampir dipastikan tidak bisa
membedakan antara adat dan agama karena telah menyatu keduanya, masyarakat Aceh
sangat menjunjung tinggi kedudukan agama dalam kehidupan sehari-harinya. Dan ini

1 Chaerol Rizal, Hermanu Joebagio, Susanto, “ Konstruksi Makna Tradisi Peusijuekdalam Budaya Aceh ” , dalam
Jurnal Antropologi tentang isu-isu social budaya, Volume 20, No.2, Desember 2018, hlm. 150.

4
berlaku pada setiap aktifitas masyarakat Aceh termasuk pada sistem kewarisan
masyarakat Aceh.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana struktur kemasyarakatan di masyarakat adat Aceh ?
2. Bagaimana system perkawinan di masyarakat adat Aceh ?
3. Apa jenis perkawinan di masyarakat adat Aceh ?
4. Bagaimana system kewarisan di masyarakat adat Aceh?

III. TUJUAN PENELITIAN


1. Untuk mengetahui struktur masyarakat di masyarakat adat Aceh ?
2. Untuk mengetahui system perkawinan di masyarakat adat Aceh ?
3. Untuk mengetahui jenis perkawinan di masyarakat adat Aceh ?
4. Untuk mengetahuin system kewarisan di masyarakat adat Aceh ?

IV. MANFAAT PENILITIAN


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
1. Dapat digunakan sebagai referensi bagi setiap orang atau setiap instansi untuk
menambah pengetahuan tentang masyarakat adat di Aceh
2. Dapat dijadikan referensi dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan
bidang Hukum Waris (Hukum Kewarisan) yang lebih konprehensif.

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 STRUKTUR KEMASYARAKATAN DI ACEH

Aceh telah memiliki tata pemerintahannya tersendiri, mulai dari pemerintahan pada
tingkat terendah yaitu Gampong. Lembaga yang terdapat di dalam Gampong terdiri dari:
Majelis Adat Aceh, Imueum Mukim yang merupakan Kepala Pemerintahan Mukim. Imeum
chik, Imam Masjid pada tingkat mukim, yaitu orang yang memimpin kegiatan-kegiatan
masyarakat di wilayah mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan
Syari’at Islam.Kemudian juga di dalam gampong juga memerintah seorang Keuchik, yang
merupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan
pemerintahan gampong. Tuha Lapan, sebagai lembaga adat pada tingkat mukim dan
gampong yang berfungsi membantu Imeum Mukim dan Keuchik. ImeumMeunasah,
memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan dengan bidang
Agama Islam, pelaksanaan dan penegakan Syari’at Islam.
Selain lembaga-lembaga adat lain yang hidup didalam masyarakat Aceh yang diakui
keberadaannya, dipelihara dan diberdayakan. Semua lembaga adat ini mempunyai struktur
dan perannya masing- masing di dalam masyarakat.Kemudian terdapat sebuah lembaga
bernama Tuha peut yang merupakan lembaga kelengkapan gampong dan mukim, berfungsi
memberikan nasehat-nasehat kepada Keuchik dan Imum mukim dalam bidang
pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan segala
sengketa ditingkat gampong dan mukim. Untuk mendukung peran ini, lembaga-lembaga
adat tersebut diberikan kewenangan untuk menyelesaikan konflik yang timbul ditengah
masyarakat.

Akan tetapi dengan dalih dan faktor apa kemudian seperempat abad terakhir hilang
seolah ditelan masa.Ciri khas kedaerahan Aceh ini bisa dilihat dari nilai maupun norma yang
telah diimplementasikan dalam bentuk lembaga adat dan sosial sebagai bagian dari interaksi
masyarakat Aceh. Manifestasi dari identitas khas Aceh ini bisa dilihat dari keberadaan
kelembagaan yang asli yaitu gampong. Gampong merupakan sebutan untuk desa atau unit
pemerintahan terendah dalam struktur pemerintahan yang ada di Provinsi Aceh. Aceh
memiliki konsep kekuasaan yang dibangun dari dua pilar, yakni agama dan adat. konsep

6
kekuasaan ini diwujudkan melalui lembaga-lembaga kekuasaan dan sosial dari tingkat pusat
(kesultanan) hingga ke tingkat gampong sebagai unit pemerintahan terkecil.

Tempat kediaman disebut mukim, atau daerah yang dahulu dipimpin oleh uleebalang.
mukim ini merupakan satu kesatuan dari beberapa gampong (kampung) dan juga mennasah
(lembaga agama). Setiap gampong dipimpin oleh seorang keucik dan imeum sebagai imam
atau teuku meunasah. Kepengurusan dari suatu gampong dilaksanakan oleh keucik dan teuku
meunasah yang didampingi oleh ureng tuha (majelis tua kampung). Untuk mengatur
kehidupan warga diterapkan hukum adat dan hukum islam.2
1. Gampong.
Istilah ini sering juga disebut dengan meunasah, dipimpin oleh seorang keuchik (kepala
desa) dan seorang imam rawatib dengan dibantu oleh sebuah staf yang diberi nama tuha
peut. Pemerintahan gampong ini mendapatkan otonomi yang luas.
2. Mukim.
Federasi dari beberapa gampong, paling kurang terdiri atas delapan gampong. Mukim
dipimpin oleh seorang imuem mukim dan seorang kadhi mukim serta dibantu oleh
beberapa orang waki. Dalam setiap mukim didirikan sebuah masjid Jumat.
3. Nanggroe.
Disebut juga uleebalang terdiri atas 3 mukim, 4 mukim, 5 mukim, 7 mukim, 8 mukim, atau
9 mukim. Nanggroe dipimpin oleh seorang uleebalang dan dibantu oleh seorang kadhi
nanggroe. Nanggroe merupakan daerah otonomi dengan batas-batas tertentu.
4. Sagoe.
Yaitu federasi dari beberapa nanggroe. Sagoe ini terdiri atas tiga jenis yaitu,
a. Sagoe Teungoh Lheeploh, terdiri atas 25 mukim, yang dipimpin oleh seorang panglima
sagoe yang bergelar Kadhi Malikul Alam Sri Setia Ulama, dan dibantu oleh seorang kadhi
sagoe yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil.

2
Harr, Ter, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat; Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht, terj. Soebakti (Jakarta:
Balai Pustaka, 2013)

7
b. Sagoe Duaplooh Nam, terdiri atas 26 mukim, yang dipimpin oleh seorang panglima
sagoe, yang bergelar Sri Imam Muda dan dibantu oleh seorang kadhi sagoe yang bergelar
Kadhi Rabbul Jalil.
c. Sagoe Duaplooh dua, terdiri atas 22 mukim yang dipimpin oleh seorang Panglima
Polem Sri Muda Perkasa dan dibantu oleh seorang kadhi yang bergelar Kadhi Rabbul
Jalil.
Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat hukum yang anggota-anggotanya
terikat pada suatu wilayah atau daerah tempat tinggal yang sama atau kediaman tertentu.
Pertalian ikatan diantara anggotanya karena dilahirkan, tumbuh dan berkembang hingga
dewasa di tempat yang sama. Masyarakat hukum disebut perserikatan desa, gabungan
dari beberapa desa atau marga yang terletak berdampingan, dimana masing- masing
berdiri sendiri. Beberapa desa ini bergabung untuk melakukan kerja sama untuk
kepentingan bersama.3
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat Aceh mempunyai struktur kemasyarakatan
Teritorial.
Masyarakat Aceh yang menganut sistem kekerabatan parental atau bilateral bentuk
kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh adalah keluarga inti, karena
umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya saja. Kelompok
kerabat yang paling menonjol adalah keluarga luas, yaitu pengelompokan keluarga di
lingkungan pihak perempuan. Karena setelah kawin anak akan tinggal beberapa bulan
dirumah orang tuanya, tapi biasanya segera akan membentuk rumah tangga sendiri dekat
lingkungan pihak istri.4

3 Marhaeni Ria Simbo, “ Asas-asas Hukum Adat ” , diakses dari http://repository.ut.ac.id/4065/1/HKUM4204-


M1.pdf, pada tanggal 21 September 2019 pukul 11.00.
4 Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia ( Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015 ).

8
2.2 SISTEM PERKAWINAN MASYARKAT ADAT DI ACEH
Masyarakat adat Indonesia mengenal pula sistem perkawinan eleutherogami yaitu sistem
perkawinan yang tidak mengenal larangan- larangan atau keharusan-keharusan seperti
halnya pada sistem endogami dan sistem exogami. Dari masa ke masa hubungan antara satu
daerah dengan daerah lainya semakin lancar, hal ini salah satunya karena sarana dan
prasarana komunikasi seperti bidang transportasi telah semakin memadai. Adanya hubungan
yang cukup lancar antara masyarakat semakin mempererat tali kekeluargaan yang lambat
laun tidak membeda-bedakan sistem kekerabatan. Sistem perkawinan eleutherogami yang
paling banyak dilakukan adalah didaerah : Aceh, Sumatera Timur, Bangka, Kalimantan,
Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Lombok, Bali, seluruh Jawa dan Madura. 5

Setelah perkawinan diAceh si suami menjadi anggota keluarga istrinya dan sebaliknya si
istri juga menjadi anggota keluarga suaminya.Dengan demikian dalam susunan
kekeluargaan parental ini, sebagai akibat perkawinan ini adalah, bahwa suami dan istri
masing- masing menjadi mempunyai dua kekeluargaan, yaitu kerabat suami di satu pihak dan
pihak istri di pihak lain, begitu juga untuk anak-anak keturunanya. Dalam susunan
kekeluargaan parental terdapat juga kebiasan pemberian-pemberian oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan .Tetapi pemberian-pemberian disini tidak mempunyai arti seperti
jujur, mungkin dahulu dasarnya seperti jujur tetapi lebih banyak mempunyai arti sebagai
hadiah perkawinan. Pemberian-pemberian ini disebut Aceh (jinamee). 6

Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem eleutherogami ini hanyalah yang bertalian
dengan ikatan kekeluargaan karena hubungan nasab ataupun hubungan periparan. Pada
kenyataannya sistem eleutherogami inilah yang mempunyai kecocokan dengan
perkembangan hokum positif Indonesia mengenai perkawinan yaitu dalam Undang-undang
No. 1 Tahun 1974. Untuk lebih jelasnya mengenai larangan mengadakan perkawinan yang
berkaitan dengan apa yang dikenal dalam sistem eleutherogami telah diatur dalam pasal 8. 7

5 Nana Cu ‘ ana, Tesis Pascasarjana: “ Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Adat Pada Suku Dayak Di Desa
Kumpang Kecamatan Toho Kabupaten Pontianak “ ( Semarang: Universitas Diponegoro, 2006), 34.
6 Nisha Ardhayani, “ Hukum Perkawinan Adat ” , diakses dari

https://www.academia.edu/15510484/Hukum_Perkawinan_Adat, pada tanggal 21 September 2019 pukul 11.30.


7 Nana Cu ‘ ana, Tesis Pascasarjana: “ Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Adat Pada Suku Dayak Di Desa

Kumpang Kecamatan Toho Kabupaten Pontianak “ ( Semarang: Universitas Diponegoro, 2006), 29.

9
2.3 JENIS PERKAWINAN DI ACEH

Bagi masyarakat Aceh, perkawinan adalah suatu keharusan yang ditetapkan oleh
agama Islam. Karena itu setiap orang pria maupun wanita yang telah dewasa diwajibkan
mencari dan mendapatkan jodohnya.Dalam mencari dan menetapkan jodoh membutuhkan
syarat-syarat, antara lain :Mencari jodoh itu adalah pihak orang tua masing-masing,
Pemilihan jodoh berdasarkan keturunan dan fungsi sosial dari keluarga si gadis dan pria
(sedapat mungkin seimbang segalanya). Setelah utusan pihak si pria (seulangke) diterima,
selanjutnya diadakan pertunangan dengan pemberian tanda ikatan atau yang disebut
kongnarit, yang biasanya berupa emas dan diberikan kepada pihak wanita.Menjelang
pernikahan, akan ditetapkan besarnya mas kawin (jeunamee) oleh orang tua si gadis, yaitu
berkisar antara 50-100 gram emas. Dalam adat istiadat masyarakat Aceh, hanya dikenal
mahar berupa emas dan uang. Setelah penentuan selesai, selang beberapa bulan baru
diadakan pernikahan resmi secara besar-besaran.Setelah kawin, suami harus tinggal di
rumah isteri (matrilokal) sampai keduanya dibuatkan rumah dan diberi tanah garapan oleh
orang tua si gadis. Pemberian ini di sebut “peunulang”. Dalam masyarakat Aceh, perceraian
jarang sekali terjadi, tetapi kawin poligini (seorang suami memiliki beberapa isteri
sekaligus) biasa terjadi.8

Mahar di aceh berbeda. Dibagian Barat Aceh mahar berupa emas yang diberikan sesuai
kesepakatan, biasanya berjumlah antara belasan sampai puluhan mayam. Sedangkan
didaerah Timur, mahar yang diajukan dibawah belasan tapi menggunakan uang tambahan
yaitu disebut "peng angoh" (uang hangus), hal ini dilakukan untuk membantu pihak
perempuan untuk menyelenggarkan pesta dan membeli isi kamar. Mahar biasanya
ditetapkan oleh pihak perempuan dan biasanya kakak beradik memiliki mahar yang terus
naik atau minimal sama. Namun semua hal tentang mahar ini dapat berubah-ubah sesuai
kesepakatan kedua belah pihak.9

8 Fakhrunnisa Altas, “ Tari Ratoeh Duek Perspektif Nilai Estetika Islam ” , dalam Jurna Prodi Pendidikan Tari
Universitas Negeri Medan, 2017, hlm. 3.
9 Tidak dicantumkan, “Upacara Adat Perkawinan Aceh ” , diakses dari

https://www.acehprov.go.id/jelajah/read/2014/01/22/68/upacara-adat-perkawinan-aceh.html, pada tanggal 21


September 2019 pukul 11.50.

10
2.4 SISTEM KEWARISAN MASYARAKAT ADAT ACEH

Sistem kewarisan dalam masyarakat Aceh, terkenal menganut sistem kekerabatan


parental/bilateral- individual.. Agama Islam menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh,
sehingga hampir dipastikan tidak bisa membedakan antara adat dan agama karena telah
menyatu keduanya, masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi kedudukan agama dalam
kehidupan sehari-harinya. Dan ini berlaku pada setiap aktifitas masyarakat Aceh termasuk
pada sistem kewarisan masyarakat Aceh.

Namun dikenal oleh orang banyak bahwa aceh menganut sistem kekerabatan
parental/bilateral bahkan daerah dataran rendahnya hampir mengarah ke matrilineal. Dalam
hal pembagian harta warisan baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak menerima
harta warisan, dan pada kenyataannya pula banyak masyarakat Aceh yang sebenarnya tidak
mengenal yang namanya sistem kekerabatan, yang jelas dalam kehidupan masyarakat Aceh
apa yang sesuai dalam perintah alqur’an dan agama maka seperti itulah yang diterapkan.
Adapun harta yang mejadi harta warisan dalam masyarakat aceh pada kebiasaanya seperti:
tanah, sawah, rumah, kebun, perhiasan, pohon-pohon kelapa, tambak dan lain sebagainya.
Pada umumnya seperti alat-alat perabotan rumah tangga yaitu koleksi gelas-gelas, piring-
pring dan sebagainya diberikan kepada anak perempuan, begitu juga halnya perhiasan
diberikan kepada anak perempuan. Karena kebiasaan masyarakata aceh suka mengoleksi
yang berbahan kuningan atau bahkan emas, sampai bros dan uang logam dari emas pun
dikoleksi, secara tidak langsung dan sudah menjadi kebiasaan tanpa di musyawarah pun,
barang-barang tersebut sudah diketahui akan diberikan kesiapa, yaitu untuk anak perempuan.
Dan rumah pun adakalanya seperti itu, banyak dalam parkteknya dimasyarakat Aceh rumah
pun terkadang diberikan untuk adiknya yang perempuan. Kalaupun harta yang ditinggalkan
hanyalah sebuah rumah maka rumah tersebut setidaknya dibeli oleh yang termasuk ahli waris
juga sehingga harta warisan tersebut tidak jatuh ketangan orang lain, kemudian uang
pembelian tersebut barulah dibagi, bisa jadi dua banding satu atau bisa juga bagi sama rata
antara anak laik-laki maupun anak perempuan.10

10 Yahya Mansur, Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan ( Jakarta: PT. Pustaka Grafika Kita, 1988 ).

11
Maka dari itu masyarakat adat Aceh memiliki system kewarisan Individu, Sistem
pewarisan individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap waris
mendapatkan pembagain untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut
bagiannya masing- masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-
masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan,
dinikmati ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun
orang lain.11

11 Adityo Ariwibowo, “Sistem Pewarisan Masyarakat Adat di Indonesia” , diakses dari


https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/03/18/sistem-pewarisan-masyarakat-adat-di-indonesia/, pada
tanggal 21 September 2019 pukul 12.20.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat Aceh mempunyai struktur


kemasyarakatan Teritorial, karena masyarakat nya tinggal di Gampong yang merupakan
gabungan dari beberapa desa. Masyarakat Aceh sendiri menganut sistem kekerabatan
parental atau bilateral bentuk kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh
adalah keluarga inti. Dapat disimpulkan juga bahwa perkawinan di Aceh menggunakan
jenis perkawinan Jujur karena dalam prosesi pernikahan adat aceh, terdapat yang
namanya "turun caram", atau pemberian mahar dari pihak pria, ke pihak wanita dakam
bentuk emas yang biasa disebut dengan " jeunamee ". Dan masyarakat adat Aceh
memiliki system kewarisan Individu disebabkan dalam hal pembagian harta warisan baik
laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak menerima harta warisan

3.2 SARAN

Dalam penyusunannya Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,kamiselalu
mengharapkan kritik dan saran yang besifat membangun dari pembaca umumnya,mahasiswa
dan Dosen Pengampu mata kuliah ini pada khusunya,supaya kelak dapat lebih baik dalam
penyusunannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Chaerol Rizal, Hermanu Joebagio, Susanto, “ Konstruksi Makna Tradisi Peusijuekdalam Budaya
Aceh ” , dalam Jurnal Antropologi tentang isu-isu social budaya, Volume 20, No.2, Desember
2018, hlm. 150.

Harr, Ter, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat; Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht, terj.
Soebakti (Jakarta: Balai Pustaka, 2013)

Marhaeni Ria Simbo, “ Asas-asas Hukum Adat ” , diakses dari


http://repository.ut.ac.id/4065/1/HKUM4204-M1.pdf, pada tanggal 21 September 2019 pukul
11.00.

Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia ( Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2015 ).

Nana Cu ‘ ana, Tesis Pascasarjana: “ Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Adat Pada Suku
Dayak Di Desa Kumpang Kecamatan Toho Kabupaten Pontianak “ ( Semarang: Universitas
Diponegoro, 2006).

Nisha Ardhayani, “ Hukum Perkawinan Adat ” , diakses dari


https://www.academia.edu/15510484/Hukum_Perkawinan_Adat, pada tanggal 21 September
2019 pukul 11.30.

Fakhrunnisa Altas, “ Tari Ratoeh Duek Perspektif Nilai Estetika Islam ” , dalam Jurna Prodi
Pendidikan Tari Universitas Negeri Medan, 2017, hlm. 3.

Tidak dicantumkan, “Upacara Adat Perkawinan Aceh” , diakses dari


https://www.acehprov.go.id/jelajah/read/2014/01/22/68/upacara-adat-perkawinan-aceh.html,
pada tanggal 21 September 2019 pukul 11.50.

Yahya Mansur, Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan ( Jakarta: PT. Pustaka Grafika Kita,
1988 ).

Adityo Ariwibowo, “Sistem Pewarisan Masyarakat Adat di Indonesia” , diakses dari


https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/03/18/sistem-pewarisan- masyarakat-adat-di-
indonesia/, pada tanggal 21 September 2019 pukul 12.20.

14

Anda mungkin juga menyukai