Anda di halaman 1dari 61

Analisis Kasus Mengenai

Penetapan Harga Terhadap


Putusan Perkara Inisiatif
No.02/KPPU-I/2003
Nama Kelompok:
Nadia Margaretha Limbong 010001800365
Nadya Angelina 010001800368
Nyoman Lanang Arda Primananda 010001800398
Paskah Aprilia S 010001800402
Stella Trixie Jane 010001800480
BAB I
PENDAHULUAN
Negara Indonesia sebagai negara berkembang dalam
pembangunannya membutuhkan usaha atau bisnis sebagai tombak
untuk tercapainya kesejahteraan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu
Pemerintah mendukung, mendorong dan mengembangkan kegiatan
pembangunan ekonomi, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah
dan pihak swasta. Demikian pula kegiatan ekonomi yang
dilaksanakan masyarakat, oleh Pemerintah terus didorong dan
difasilitasi berupa penyediaan sarana dan prasarana. Kebijakan
Pemerintah dalam bentuk penyediaan modal bagi kegiatan ekonomi
merupakan salah satu upaya nyata dalam meningkatkan dan
melibatkan masyarakat dalam pembangunan ekonomi

1.1 Latar Belakang


Dalam perkembangan kegiatan usaha, pelaku usaha yang
terlibat di dalamnya berusaha sekuat mungkin untuk
memperoleh keuntungan sebesar- besarnya demi
mencapai kemajuan dan kesuksesan dalam usaha yang
dikembangkannya sendiri. Akibatnya, persaingan dalam
hal mencari keuntungan dagang memang sudah biasa
ditemukan sehari-hari. Hanya saja yang menjadi masalah
dalam sebuah persaingan ada yang disebut persaingan
sehat maupun persaingan yang tidak sehat.
Disini jelas yang menjadi masalah adalah persaingan yang
tidak sehat dimana dalam persaingan ini dilakukan dengan
cara yang curang (unfair), dengan tujuan untuk
menghalangi pelaku usaha lain untuk bersaing (barrier to
entry) atau mematikan usaha persainganya. Untuk
mencegah adanya persaingan yang tidak sehat tersebut,
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Lapangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU
No. 5 Tahun 1999).
UU No.5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menegakkan aturan
hukum dan memberikan pertimbangan yang sama bagi setiap
pelaku usaha dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha
yang sehat. UU No. 5 Tahun 1999 secara jelas menentukan tujuan
pembentukannya sebagai berikut
• Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
• Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah,
dan pelaku usaha kecil;
• Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
• Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Tujuan di atas pada dasarnya menyatakan bahwa Undang-undang
Antimonopoli adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi
pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang
sehat dan bebas dan memberikan sanksi terhadap para
pelanggarnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Sultan Remy Sjahdeini, SH. bahwa terdapat dua
efisiensi yang ingin dicapai oleh Undang-undang Antimonopoli
yaitu efisiensi bagi para produsendan bagi masyarakat.
Yang dimaksud dengan efesiensi bagi produsen adalah efisiensi
bagi perusahaan dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-
jasa. Perusahaan dikatakan efisiensi apabila dalam menghasilkan
barang-barang dan jasa-jasa tersebut dilakukan dengan biaya
yang serendah- rendahnya karena dapat menggunakan sumber
daya yang sekecil mungkin.Sedangkan yang dimaksud dengan
efesiensi bagi masyarakt konsumen adalah dikatakan masyarakat
konsumen efisien apabila para produsen dapat membuat barang-
barang yang dibutuhkan oleh konsumen dan menjualnya pada
harga yang para konsumen itu bersedia untuk membayar harga
barang yang dibutuhkan.
Dalam UU No. 5 Tahun 2009 terdapat beberapa jenis perjanjian
yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku
usaha lain, sebagaimana diatur dalam pasal empat sampai dengan
pasal enam belas. Perjanjian-perjanjian tersebut dianggap sebagai
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Salah satu perjanjian yang dilarang adalah perjanjian penetapan
harga. Larangan terhadap perjanjian penetapan harga
terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.”
Salah satu contoh pelanggaran Pasal 5 ayat (1)
UU No. 5 Tahun 2009 terdapat dalam Putusan
Perkara Inisiatif Nomor : 02/KPPU-I/2003. Para
pihak dalam perkara ini,sebagai berikut 
• PT. Perusahaan Pelayaran Nusantara Panurjwan, berkedudukan di
Jakarta yang beralamat kantor di Jalan Yos Sudarso Nomor Blok B
/ 15, Tanjung Priok, Jakarta - 14320, selanjutnya disebut sebagai
Terlapor I;
• PT. Pelayaran Tempuran Emas, Tbk., berkedudukan di Jakarta
yang beralamat kantor di Jalan Tembang 51, Tanjung Priok, Jakarta
- 14310, selanjutnya disebut sebagai Terlapor II;
• PT. Tanto Intim Line, berkedudukan di Surabaya yang beralamat
kantor di Jalan Raya Perak Barat 41 - 43, Surabaya - 60177,
selanjutnya disebut sebagai Terlapor III;
• PT. Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa,
berkedudukan di Jakarta yang beralamat kantor di Jalan Mangga
Dua Raya Ruko Bahan Bangunan Blok H-2 Nomor 21 Mangga
Besar, Jakarta Pusat, selanjutnya disebut sebagai Terlapor IV.
Bahwa dalam perkara ini, telah terjadi kesepakatan penetapan tarif
uang tambang Jakarta-Pontianak-Jakarta yang ditandatangani oleh
para pelaku usaha pelayaran angkutan petikemas yang beroperasi di
trayek bersangkutan, yaitu Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan
Terlapor IV. Disamping para pelaku usaha tersebut juga ikut
menandatangani kesepakatan tersebut adalah Ketua Bidang
Kontainer Dewan Pimpinan Pusat (DPP) INSA sebagai pihak
Pengawas dan Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Direktorat
Perhubungan Laut Departemen Perhubungan sebagai
Fasilitator/Regulator. Kesepakatan tersebut diduga akibat dari
terjadinya perang tarif pada trayek Jakarta-Pontianak hingga
mencapai Rp 800.000,00 per twentieth equivalent units (Teus),
dimana pada tingkat harga tersebut secara ekonomi tidak lagi dapat
menutupi kegiatan operasionalnya.
Guna mengatasi hal ini, maka INSA sebagai persatuan perusahaan
pelayaran niaga nasional kemudian berinsiatif untuk mengadakan
pertemuan dengan 4 (empat) perusahaan pelayaran yang
beroperasi pada trayek bersangkutan untuk melakukan
penyesuaian atas tarif yang lama dan transparan dalam hal cost of
production, business structure dan lain-lain yang kemudian
dituangkan dalam bentuk kesepakatan bersama tarif uang tambang
petikemas Jakarta–Pontianak–Jakarta yang mengikat pada tanggal
26 Juni 2002. Sehingga untuk tarif uang tambang petikemas dari
Jakarta ke Pontianak menjadi sebesar Rp 1.600.000,00 per Teus
dengan term of shipment Container Yard to Free Out atau CY to
FO dan dari Pontianak ke Jakarta menjadi sebesar Rp
1.500.000,00 per Teus dengan term of shipment Container Yard to
Container Yard atau CY to CY.
Di dalam kesepakatan dimaksud juga diatur mengenai ketentuan-
ketentuan sanksi yang akan diberikan apabila terbukti melanggar
kesepakatan, salah satu diantaranya adalah dengan tidak
diberikannya pelayanan operasional di pelabuhan. Kesepakatan ini
dibuat untuk waktu 3 (tiga) bulan dan setelah itu akan diadakan
evaluasi untuk kemudian dapat diperpanjang kembali.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penulisan hukum ini
penulis mengambil judul “Analisis Kasus Mengenai Penetapan
Harga terhadap Putusan Perkara Inisiatif No. 02/KPPU-I/2003”
Bab II
Analisis
Penetapan harga menurut Pasal 5 ayat 1 UU No. 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah
pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

Unsur-unsur penetapan harga:


- Adanya Unsur Pelaku Usaha, pelaku usaha dalam kasus ini adalah:
 PT Perusahaan Pelayaran Nusantara Panurjwan sebagai terlapor I
 PT Pelayaran Tempuran Emas sebagai terlapor II
 PT Tanto Intim Line sebagai Terlapor III
 PT Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa sebagai terlapor IV

2.1 Penetapan Harga


Adanya Unsur Perjanjian Para pelaku usaha dalam putusan
kasus ini, telah melakukan perjanjian yang dapat dilihat
dari:
Telah terjadi kesepakatan penetapan tarif uang
tambang JakartaPontianak-Jakarta yang
ditandatangani oleh para pelaku usaha pelayaran
angkutan petikemas yang beroperasi di trayek
bersangkutan, yaitu Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III
dan Terlapor IV.
Kesepakatan tersebut dibuat sebagai upaya dari Terlapor I dan
Terlapor II untuk mempertahankan tarif sehingga Terlapor I dan
Terlapor II dapat mempertahankan tingkat keuntungannya. Selain
itu, tujuan lain dari kesepakatan ini adalah sebagai upaya untuk
mencegah adanya penurunan pangsa pasar bagi Terlapor I dan
Terlapor II akibat adanya pemberlakuan tarif oleh Terlapor III
yang memiliki tariff yang lebih rendah dari tarif Terlapor I dan
Terlapor II. Kesepakatan ini juga melibatkan intervensi
Pemertintah dan DPP INSA ( Indonesian National Shipowners'
Association )
 Adanya Unsur Pelaku Usaha Pesaing
Para pelaku usaha, yaitu Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV
menjalankan usaha yang sejenis. Sehingga, para pelaku usaha

 Adanya Perbuatan Menetapkan Harga


Terdapat kesepakatan penetapan tarif uang tambang Jakarta- Pontianak-
Jakarta yang ditandatangani oleh para pelaku usaha pelayaran angkutan
petikemas yang beroperasi di trayek bersangkutan, yaitu Terlapor I, Terlapor
II, Terlapor III dan Terlapor IV

 Adanya Barang dan atau Jasa


Para pelaku usaha menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi
berupa menyediakan jasa kepada para pemilik barang yang hendak
mengirimkan barangnya dengan petikemas melalui laut dengan
menggunakan kapal dari Jakarta ke Pontianak dan atau dari Pontianak ke
Jakarta
 •Adanya Konsumen atau Pelanggan
Pada Pasal 1 angka 15 UU No. 5 tahun 1999, Konsumen adalah setiap pemakai dan
atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun
untuk kepentingan pihak lain. Pada kasus ini, konsumennya adalah para pemilik
barang yang hendak mengirimkan barangnya dengan petikemas melalui laut dengan
menggunakan kapal dari Jakarta ke Pontianak dan atau dari Pontianak ke Jakarta.

 Adanya Pasar Bersangkutan


Menurut Pasal 1 angka 10 UU No. 1 tahun 1999, Pasar bersangkutan
adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh
pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari
barang dan atau jasa tersebut.

Pasar Bersangkutan dapat menjelaskan posisi antara pelaku usaha dan pesaingnya.
Pasar bersangkutan dibagi menjadi 2, yaitu pasar produk dan pasar geografis. Pasar
produk pada kasus ini adalah penyediaan jasa kepada para pemilik barang yang
hendak mengirimkan barangnya dengan petikemas melalui laut dengan menggunakan
kapal. Sedangkan pasar geografisnya adalah pelayanan jasa yang terbatas hanya pada
trayek Jakarta-Pontianak-Jakarta.
2.2 Perjanjian
Menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 5 tahun 1999, Perjanjian adalah suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu
atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis.

Unsur-Unsur perjanjian :
oPerbuatan satu atau lebuh pelaku usaha
oMengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain
oDengan nama apapun
oBaik tetulis maupun tidak tertulis

Sifat perjanjian ada 2, yaitu :


oPerjanjian Penetapan Harga ( Pasal 5 sampai 8 UU No. 5 tahun 1999 )
oPerjanjian Non Harga ( Pasal 9, 10, 11, 11, 13, 14, 15, 16 UU No. 5 tahun
1999 )
Kasus dalam putusan perkara ini, termasuk kedalam
Perjanjian Penetapan Harga atau price fixing. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk memaksimalisasi
joint profit dari perusahaan-perusahaan yang
tergabung dalam kesepakatan harga. Pembuktian
atas price fixing dapat diketahui melalui adanya
kemiripan harga dalam waktu tertentu atau harga
yang parallel. Sehingga, harga yang dibayar oleh
konsumen bukan lagi harga akibat persaingan
melalui proses antara permintaan dan penawaran,
melainkan ditetapkan oleh pelaku usaha yang
membuat perjanjian.
Perjanjian terbagi kedalam 2 jenis, yaitu:
oPerjanjian Vertikal – dilakukan antar pelaku usaha yang
berada di level yang berbeda.
oPerjanjian Hotizontal – dilakukan oleh pelaku usaha pada level
yang sama.

Pada kasus ini, jenis perjanjiannya adalah Perjanjian Horizontal,


karena para pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian ini sama-
sama merupakan pemberi jasa dalam bidang pelayanan angkutan
petikemas melalui laut.
Bentuk Perjanjian terbagi menjadi 2, yaitu tertulis dan tidak tertulis.
Pada kasus ini bentuk perjanjiannya adalah tertulis karena para pihak
menandatangani kesepakatan penetapan tarif jasa pelayanan angkutan
petikemas tersebut.
2.3 Proses Terbentuknya
penetapan Harga
oPelaku dan para anggota :
Pelaku usaha pelayaran angkutan petikemas yang beroperasi di
trayek bersangkutan, yaitu :
-PT. Perusahaan Pelayaran Nusantara Panurjwan sebagai Terlapor I
-PT. Pelayaran Tempuran Emas, Tbk. Sebagai Terlapor II
-PT. Tanto Intim Line sebagai Terlapor III
-PT. Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa Terlapor IV.

oObyek yang diperjanjikan :


Objek yang diperjanjikan dalam perjanjian sebagaimana yang telah
disepakati dan ditandatangani oleh para pelaku usaha, yaitu
Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV adalah
penetapan tarif uang tambang Jakarta-Pontianak-Jakarta dalam
pelayaran angkutan petikemas yang beroperasi di trayek
bersangkutan.
oTujuan dan Manfaat:
Kesepakatan bersama tarif uang tambang sebagaimana dimaksud merupakan
upaya dari Terlapor I dan Terlapor II untuk mempertahankan tariff pada
tingkat dimana Terlapor I dan Terlapor II dapat menikmati margin
keuntungan seperti ketika struktur pasarnya masih duopolistik atau keadaan
pasar yang ditandai dengan adanya penawaran oleh hanya dua produsen.

Kesepakatan bersama tarif uang tambang sebagaimana dimaksud juga


merupakan upaya guna mencegah terjadinya penurunan pangsa pasar yang
lebih signifikan dari terlapor I dan Terlapor II akibat pemberlakuan tarif
Terlapor III yang lebih rendah daripada tarif Terlapor I dan Terlapor II.
Keterlibatan Terlapor IV dan Terlapor III dalam menandatangani
kesepakatan tariff uang tambang sebagaimana dimaksud lebih dikarenakan
adanya ketakutan akan mendapatkan perlakuan-perlakuan diskriminatif dari
Pemerintah dalam hal ini adalah Direktur Lalu-Lintas Angkata Laut
DIrektorar Jendral Perhubungan Laut Departemen Perhubungan dan DPP
INSA.
Pada kasus ini, urutan atau kronologis yang terjadi adalah :

-Pada akhir bulan April 2002 Terlapor III memasuki pasar


bersangkutan dimana telah beroperasi Terlapor I, Terlapor II
dan Terlapor IV.
-Terlapor I melakukan pembicaraan dengan Terlapor III yang
menghasilkan kesepakatan bahwa Terlapor I akan menarik satu
armadanya sehingga tinggal 2 armada yang akan dioperasikan
pada pasar bersangkutan dan Terlapor III akan mengoprasikan
1 (satu) armada kapalnya pada pasar bersangkutan.
-Pada tanggal 17 Mei 2002, Terlapor I menduga bahwa
Terlapor III telah menerapkan tarif uang tambang yang jauh di
bawah dari tarif uang tambang yang berlaku di pasar.
-Pada tanggal 23 Mei 2002 dilakukan rapat tim penetapan tarif uang
tambang di kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) INSA Jaya yang
dihadiri oleh Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV dan
berhasil disepakati tariff uang tambang dari Jakarta ke Pontianak sebesar
Rp.1.750.000,00 (satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) per Teus
dan dari Pontianak ke Jakarta Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu
rupiah) per Teus.
-Kemudian dibuatkan surat edaran kepada semua pelanggan masing-
masing pada tanggal 28 Mei 2002. Tetapi hal ini tidak dapat dilakukan
karena Terlapor III tidak bersedia menandatangani surat edaran
dimaksud.
-Pada tanggal 3 Juni 2002 dilakukan rapat di kantor DPC INSA Jaya
tanpa kehadiran Terlapor III dan dihadiri oleh Terlapor I, terlapor II, dan
Terlapor IV. Sebagai tindak lanjut dari hasil rapat pada tanggal 3 Juni
2002 tersebut, maka pada tanggal 6 Juni 2002 dilakukan rapat di kantor
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang dihadiri oleh Terlapor I,
terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV dan pengurus DPP INSA
-Rapat pada tanggal 6 Juni 2002 kemudian berhasil
menyepakati tarif uang tambang yang akan diberlakukan
sebagai berikut: tarif uang tambang dari Jakarta ke Pontianak
ditetapkan sebesar Rp. 1.500.00,00 (satu juta lima ratus ribu
rupiah) per Teus yang akan efektif berlaku mulai tanggal 6
Juni 2002 sampai dengan tanggal 6 Juli 2002. Selanjutnya
mulai tanggal 6 Juli 2002 sampai dengan 3 (tiga) bulan ke
depan untuk tarif uang tambang dari Jakarta ke Pontianak
ditetapkan sebesar Rp. 1.600.000,00 (satu juta enam ratus ribu
rupiah) per Teus dan untuk tarif uang tambang dari Pontianak
ke Jakarta ditetapkan sebesar Rp 1.500.000,00 (satu juta enam
ratus ribu rupiah) per Teus
-Penandatanganan kesepakatan tarif uang tambang yang
semula akan dilakukan pada tanggal 27 Juni 2002 ternyata
kemudian dilakukan pada tanggal 26 Juni 2002 di kantor
DPP INSA. Kesepakatan Bersama Tarif Uang Tambang
Petikemas Jakarta-Pontianak-Jakarta dengan No:
01/SKB/PNP-TE-WBK-TIL/06/2002 kemudian
ditandatangani oleh Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, dan
Terlapor IV sebagai para pihak dan Saksi II yaitu Ketua
Bidang Kontainer DPP INSA sebagai pihak pengawas dan
Saksi I yaitu Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut -
Jimmy AB Nikijuluw sebagai pihak fasilitator/regulator.
2.4 Pendekatan Hukum
Pendekatan hukum dibagi menjadi 2, yaitu Rule of Reason yang
merupakan pendekatan hukum yang melarang secara Relatif suatu
perjanjian atau kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5 tahun 1999 dan
Per Se Illegal. Per se Illegal – Pendekatan hukum yang melarang secara
mutlak suatu perjanjian atau kegiatan yang dilarang UU NO. 5 tahun
1999. Pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan
usaha untuk menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu
sebagai illegal, tanpa perlu adanya pembuktian lebih lanjut atas dampak
yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut
• Apabila ditinjau dari definisi Penetapan Harga pada Pasal 5
ayat 1 UU No. 5 tahun 1999 ini, maka ketentuan dalam pasal
ini dapat ditafsirkan secara per se illegal. Artinya apabila
telah terbukti adanya perjanjian mengenai harga atas suatu
barang atau jasa, maka perbuatan tersebut secara otomatis
telah bertentangan dengan ketentuan dalam pasal dimaksud,
tanpa perlu melihat alasan-alasan dari pelaku usaha
melakukan perbuatan tersebut.
• Pembuktian Per se illegal :
-Dugaan pelanggaran pasal uu
-Keterangan saksi
-Keterangan ahli
-Surat dan/atau dokumen
-Keterangan pelaku usaha
2.5 Proses Pembuktian
Prosedur beracara di KPPU diatur dalam Keputusan KPPU No.
05/KPPU/Kep/IX/2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan
Penanganan Dugaan Pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999.
Prosedur pembuktian di KPPU melewati beberapa tahapan, sebagai
berikut:
1. Tahap pengumpulan indikasi
2. Tahap pemeriksaan pendahuluan
3. Tahap pemeriksaan lanjutan
4. Tahap penjatuhan putusan
5. Tahap eksekusi putusan
Untuk membuktikan adanya pelanggaran terhadap pasal 5 UU
No. 5 Tahun 1999 maka diperlukannya pembuktia atas ada
atau tidaknya perjanjian diantara pelaku usaha yang bersaing
di pasar bersangkutan dalam menetapkan harga atas barang
dan atau jasa. bukti bahwa penetapan harga secara bersama-
sama disepakati dan para pelaku usaha mematuhi (conformed)
kesepakatan tersebut. Bukti yang diperlukan dapat berupa8:
o Bukti langsung (hard evidence)
o Bukti tidak langsung (circumstantial evidence).
Bukti langsung atau Hard evidence adalah bukti yang dapat
diamati (observable elements) dan menunjukkan adanya suatu
perjanjian penetapan harga atas barang dan atau jasa oleh
pelaku usaha yang bersaing. Sementara, Bukti Tidak Langsung
(Circumstantial evidence) adalah suatu bentuk bukti yang
tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan
penetapan harga. Bukti tidak langsung dapat digunakan
sebagai pembuktian terhadap terjadinya suatu keadaan/kondisi
yang dapat dijadikan dugaan atas pemberlakuan suatu
perjanjian yang tidak tertulis.
Prosedur pembuktian Putusan KPPU No.02/KPPU-I/2003 tentang Kargo
Jakarta-Pontianak9 :
1.Menimbang hasil laporan monitoring dugaan kartel harga yang dilakukan
pelaku usaha angkutan laut khusus barang (kargo) untuk trayek Jakarta-
Pontianak-Jakarta.
2.Kemudian Komisi melakukan Pemeriksaan Pendahuluan berdasarkan Surat
Penetapan Komisi Nomor: 04/PEN/KPPU/V/2003 tertanggal 19 Mei 2003
tentang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Inisiatif Nomor 02/KPPU-I/2003
tentang dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan
oleh Pelaku Usaha Angkutan Laut Khusus Barang
3.(Kargo) Trayek Jakarta–Pontianak terhitung mulai tanggal 19 Mei 2003
sampai dengan tanggal 30 Juni 2003.
4.Komisi berdasarkan Surat Keputusan Nomor 36/KEP/KPPU/V/2003 tanggal
19 Mei 2003 membentuk Tim Pemeriksa dan memutuskan.
5.Direktur Eksekutif mengeluarkan Surat Tugas Nomor 05/SET/DE/ST/V/2003
tanggal 19 Mei 2003 menugaskan Investigator dan Notulensi untuk membantu
tugas Tim Pemeriksa .
6. Melaksanakan Pemeriksa Pendahuluan, Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan
dari Terlapor I , Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV.
7. Rekomendasi Tim Pemeriksa setelah Terhadap rekomendasi Tim Pemeriksa, maka
Komisi berdasarkan Surat Penetapan Nomor 09/PEN/KPPU/VII/2003 tanggal 3 Juli
2003 yang menetapkan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara inisiatif Nomor
02/KPPU- I/2003 dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja.
8. Komisi berdasarkan Surat Keputusan Nomor 50/KEP/KPPU/VII/2003 tanggal 3
Juli 2003 membentuk Majelis Komisi.
9. Direktur Eksekutif dengan Surat Tugas Nomor 09/SET/DE/ST/VII/2003 tanggal 3
Juli 2003 menugaskan Investigator dan Panitera untuk membantu tugas Majelis
Komisi.
10. Menimbang bahwa dalam Pemeriksaan Lanjutan, Majelis Komisi telah mendengar
keterangan dari para Terlapor dan Saksi.
11. Pemeriksaan Lanjutan, Majelis telah menerima surat secara tertulis dari DPP INSA
tertanggal 7 Juli 2003.
12. Pemeriksaan Lanjutan, Majelis telah menerima surat secara tertulis dari Terlapor II
tertanggal 10 Oktober 2003
13. Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan telah didapatkan, diteliti dan
atau dinilai sejumlah 149 surat dan atau dokumen
14. Majelis Komisi mempunyai bukti yang cukup untuk memutuskan perkara ini
2.6 Pasar Bersangkutan
Menurut Pasal 1 angka 10 UU No. 1 tahun 1999, Pasar bersangkutan
adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah
pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang
sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.

Pasar Bersangkutan dapat menjelaskan posisi antara pelaku usaha


dan pesaingnya. Pasar bersangkutan dibagi menjadi 2, yaitu pasar
produk dan pasar geografis. Pasar produk pada kasus ini adalah
penyediaan jasa kepada para pemilik barang yang hendak
mengirimkan barangnya dengan petikemas melalui laut dengan
menggunakan kapal. Sedangkan pasar geografisnya adalah pelayanan
jasa yang terbatas hanya pada trayek Jakarta-Pontianak-Jakarta.
2.7 Pelanggaran pasal dan cara mementukan dampaknya
Pelaku usaha melakukan Kesepakatan penetapan bersama antar
pelaku usaha yang bersaing pada pasar bersangkutan yang sama
merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 5 UU No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak
Sehat.
Hal ini dibuktikan dengan adanya penetapan tarif yang pada
pokoknya adalah :
•Tarif minimal uang tambang (floor price) peti kemas untuk jenis
petikemas 20 feet antar pulau yang ditetapkan dan disepakati bersama
untuk trayek Jakarta-Pontianak dengan term of shipment CY-FO
adalah Rp 1.600.000,00 (satu juta enam ratus ribu rupiah) dan
Pontianak-Jakarta dengan term of shipment CY-CY adalah Rp
1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah.
•Tarif minimal uang tambang yang telah ditetapkan dan
disepakati tersebut diberlakukan mulai tanggal 6 Juli 2002 dan
berlaku untuk periode 3 (tiga) bulan dan selambat-lambatnya 2
(dua) minggu sebelum berakhir masa berlakunya kesepakatan
para pihak bersama- sama pihak pengawas dan pihak
fasilitator/regulator akan melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan kesepakatan ini serta menetapkan kesepakatan
minimal uang tambang untuk periode berikutnya.
Cara menentukan dampak atas pelanggaran Pasal 5 UU No. 5 tahun
1999, sebagai berikut10 :
•Melakukan analisis rasionalitas penetapan harga
Hal ini dilakukan untuk membuktikan apakah perlaku dari pada
perilaku usaha tersebut berindak secara rasional dalam melakukan
penetapan harga dengan motif menguntungkan bersama dan ada atau
tidaknya alasan yang kuat bahwa tindakan kesepakatan penetapan harga
tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan perusahaan jika ia
bertindak sendiri. Sebagai contoh sebuah perusaaha tersebut tetap
memperoleh keuntungan yang sama atau bahkan lebih tinggi dari
kesepakatan tersebut walaupun tidak ikut dalam kesepakatan harga
tersebut.
•Analisis struktur pasar
Analisis mengenai struktur pasar dilaukan dengan tujuan untuk
menggambarkan apakah kondisi pasar lebih menguntungkan untuk
melakukan perjanjian penetapan harga atau lebih menguntungkan
apabila bersaing.
•Analisis data kerja
Analisis data kerja digunakan untuk Membuktikan apakah
kinerja di pasar merupakan dugaan atas perjanjian penetapan
harga.

•Analisis Penggunaan Fasilitas Kolusi


Analisis ini digunakan dengan tujuan untuk melihat apakah
strukturpasa tersebut mendukung adanya suatu kolusi dan
membandingkan kondisi yang terjadi akibat adanya suatu
perjanjian kolusi dengan kondisi yang muncul dari
persaingan.
2.8 Penetapan Sanksi
Penetapan KPPU:

1.Menyatakan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan


Terlapor IV secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar
Pasal 5 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999
2.Menetapkan pembatalan perjanjian yang dituangkan
dalam bentuk Kesepakatan Bersama Tarif Uang Tambang
Peti Kemas Jakarta – Pontianak – Jakarta Nomor
01/SKB/PNP-TEWBK-TIL/06/2002 yang ditandatangani
pada tanggal 26 Juni 2002 oleh Terlapor I, Terlapor II,
Terlapor III, dan Terlapor IV sebagai para pihak.
Sudah sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1999, Dengan
Demikian, KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi
administratif terhadap pelaku usaha yang terbukti telah
melanggar ketentuan Pasal 5 UU No. 5 tahun 1999,
sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU no. 5 tahun
1999. Selain itu pelanggaran terhadap Pasal 5 juga dapat
dijatuhi sanksi pidana pokok dan pidana tambahan
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49
UU No. 5 tahun 1999
Komisi memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No. 5 tahun 1999. Sanksi
administratif tersebut dapat berupa11 :

a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai


dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat
dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
dan atau
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 48 ayat (2) UU No. 5
tahun 1999, Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan
Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-
rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-
tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima)
bulan. Dan terdapat juga pidana tambahan yang diatur dalam Pasal
49 UU No. 5 tahun 1999, yaitu :
a. Pencabutan izin usaha, atau
b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan
direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun, atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian pada pihak lain.
BAB III PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Penetapan harga menurut Pasal 5 ayat 1 UU No. 5 tahun 1999
adalah pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Dilihat dari
pengertian tersebut dapat dilihat bahwa unsur dari Penetapan
harga adalah adanya unsur pelaku usaha, adanya unsur
perjanjian, adanya unsur pelaku usaha pesaing, adanya
perbuatan menetapkan harga, adanya barang dan atau jasa,
adanya konsumen atau pelanggan, dan adanya pasar
bersangkutan. Putusan Perkara Inisiatif No. 02/KPPU-I/2003
yang dibahas dalam penelitian hukum ini termasuk ke dalam
Perjanjian Penetapan Harga atau price fixing yang bentuknya
adalah perjanjian tertulis dengan jenis perjanjian horizontal.
Pelaku usaha yang terlibat dalam Putusan Perkara Inisiatif
No. 02/KPPU- I/2003 adalah PT. Perusahaan Pelayaran
Nusantara Panurjwan (Terlapor I), PT. Pelayaran Tempuran
Emas, Tbk. (Terlapor II), PT. Tanto Intim Line (Terlapor
III) dan PT. Perusahaan Pelayaran Wahana
Barunakhatulistiwa (Terlapor IV). Objek yang diperjanjikan
dalam kesepakatan penetapan harga ini adalah tarif uang
tambang petikemas Jakarta–Pontianak–Jakarta.
Kesepakatan bersama tarif uang tambang sebagaimana
dimaksud merupakan upaya guna mencegah terjadinya
penurunan pangsa pasar yang lebih signifikan dari terlapor I
dan Terlapor II akibat pemberlakuan tarif Terlapor III yang
lebih rendah daripada tarif Terlapor I dan Terlapor II.
Pendekatan hukum yang diterapkan dalam perkara ini adalah
pendekatan per se illegal. Prosedur pembuktian dalam kasus
ini melewati beberapa tahapan, yaitu tahap pengumpulan
indikasi, tahap pemeriksaan pendahuluan, tahap pemeriksaan
lanjutan, tahap penjatuhan putusan, dan tahap eksekusi
putusan. Pasar bersangkutan di dalam perkara ini dapat
dipenuhi oleh dua faktor definisi suatu pasar bersangkutan
yaitu definisi jenis produk dan definisi geografis.
Definisi jenis produk yaitu berupa penyediaan jasa
kepada para pemilik barang yang hendak
mengirimkan barangnya dengan petikemas melalui
laut dengan menggunakan kapal sedangkan definisi
geografis yaitu pelayanan jasa dimaksud terbatas
untuk trayek Jakarta-Pontianak-Jakarta. Putusan
Perkara Inisiatif No. 02/KPPU-I/2003 merupakan
bentuk pelanggaran terhadap Pasal 5 UU No. 5
Tahun 1999. Cara menentukan dampak atas
pelanggaran Pasal 5 UU No. 5 tahun 1999 adalah
melakukan analisis rasionalitas penetapan harga,
analisis struktur pasar, analisis data kerja dan analisis
penggunaan fasilitas kolusi.
Penetapan KPPU Menyatakan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III
dan Terlapor IV secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar
Pasal 5 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999 dan Menetapkan pembatalan
perjanjian yang dituangkan dalam bentuk Kesepakatan Bersama
Tarif Uang Tambang Peti Kemas Jakarta – Pontianak – Jakarta
Nomor 01/SKB/PNP-TEWBK-TIL/06/2002 yang ditandatangani
pada tanggal 26 Juni 2002 oleh Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III,
dan Terlapor IV sebagai para pihak sudah sesuai dengan Pasal 47
ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999.

-0-0-0-
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
• Galuh Puspaningrum, Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang dalam Hukum Persaingan
di Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013)
• Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2009)
• Draft Pedoman Pasal 5 tentang Penetapan Harga UU No. 5 tahun 1999
• Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 4 tahun 2000 tentang Pedoman Pasal
5 UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan usaha tidak
sehat
• UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat
• https://www.kppu.go.id/docs/Pedoman/draf%20pedoman%20pasal%205.010611.pdf
• https://www.kppu.go.id/docs/Perkom/2011/Nomor%204%202011%20Pedoman%20Ps
%205%20(Penetapan%20Harga).pdf
• https://business-law.binus.ac.id/2013/01/20/prosedur-beracara-di-kppu-komisi-
pengawas-persaingan-usaha/
• http://e-journal.uajy.ac.id/12083/3/MIH024212.pdf
• https://www.ojk.go.id/id/ojk-pedia/default.aspx

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai