Anda di halaman 1dari 16

1

Larangan Pembagian Wilayah Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999


tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Muhammad Eko Purwanto 1

Pendahuluan

Salah satu cita-cita reformasi tahun 1998 adalah penegakan hukum di


segala bidang, mulai bidang politik, sosial, pemberantasan KKN, ekonomi,
dan budaya. Karena itu, guna menjamin terciptanya persaingan usaha yang
sehat di Indonesia, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dimana, Undang-Undang ini bertujuan terciptanya iklim berbisnis yang
sehat dan jujur sehingga dapat terus menerus mendorong daya saing yang
kuat diantara sesama pelaku usaha.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek


Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur mengenai beberapa
kegiatan yang dilarang antara lain kegiatan monopoli, monopsoni,
penguasaan pangsa pasar, dan persekongkolan. Pengertian dari
persekongkolan adalah “konspirasi usaha”. Konspirasi usaha yaitu suatu
bentuk kerja sama dagang di antara pelaku usaha dengan maksud untuk
menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang
bersekongkol.

Kemajuan paling signifikan dalam penegakan hukum ekonomi adalah


dengan kemauan pemerintah mengatur pelaku usaha di bidang industri dan
perdagangan dengan maksud memberikan kesempatan dan peluang
bersaing secara sehat di antara pelaku usaha dengan diundangkannya
Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Tidak Sehat. Tujuan dari dibentuknya Undang Undang ini antara
lain2 :

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi


nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan

1 Alumni Program S2 Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Islam


AsSyafi’iyyah (UIA) Jakarta (NIM : 2220150017), dan Dosen Prodi Manajemen STIE BII
(NIDN : 0410126601).
2 Pasal 3 Undang Undang No 5 Tahun 1999
2

berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah,
dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Suatu lingkungan yang kompetitif adalah syarat mutlak bagi


negaranegara berkembang, seperti di Indonesia, untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang efisien.3 Dalam pasar-pasar yang kompetitif,
perusahaanperusahaan akan saling bersaing untuk menarik lebih banyak
konsumen dengan menjual produk mereka dengan harga yang serendah
mungkin, meningkatkan mutu produk mereka, dan memperbaiki pelayanan
kepada para konsumen. Dengan demikian, maka suatu lingkungan yang
kompetitif sangat menguntungkan para konsumen. Untuk berhasil dalam
suatu pasar yang kompetitif, maka perusahaan-perusahaan harus berupaya
untuk mengembangkan proses produksi baru yang lebih efisien serta
mengembangkan produk baru dengan disain baru yang inovatif.

Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya


untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar adalah salah satu cara
yang dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka.
Melalui pembagian wilayah ini, maka para pelaku usaha dapat menguasai
wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus
menghadapi persaingan.

Dengan demikian pelaku usaha akan mudah menaikkan harga


ataupun menurunkan produksinya atau barang yang dijual untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada prinsipnya
perjanjian diantara pelaku usaha untuk membagi wilayah pemasaran
pemasaran diantara mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadap
konsumen, dimana konsumen tidak mempunyai pilihan yang cukup baik
dari segibarang maupun harga. Undang-undang No.5 Tahun 1999 melarang
perbuatan tersebut dalam Pasal 9 berbunyi :

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya


yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar
terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”

3 Thee Kian Wie; Hukum Persaingan: Aspek-aspek Ekonomi yang Per!u Diperhatikan dalam
Implementasi UU No. 5/1999, 1999, Artikel dalam Jurnal Hukun Bisnis Vokune 7, YPHB,
hlm. 60.
3

Uraian singkat tersebut memberi dorongan kepada penlis untuk


menyusun makalah ini dengan judul, Larangan Kegiatan Pembagian
Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

B. Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, dapat ditarik


rumusan masalahnya, sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan Pembagian Wilayah menurut UU No. 5 Tahun
1999 ?
2. Bagaimana analisis kasus tentang Pembagian Wilayah yang terjadi di
Indonesia ?

C. Tujuan

Sedangkan tujuan penyusunan makalah ini, adalah :


1. Untuk memahami pengaturan Pembagian Wilayah menurut UU No. 5
Tahun 1999.
2. Untuk mengetahui analisis kasus tentang Pembagian Wilayah yang
terjadi di Indonesia.

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis melalui makalah ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya
matakuliah Hukum Persaingan Usaha.
b. Menambah pemahaman peneliti dan sebagai bahan pustaka
Matakuliah Hukum Persaingan Usaha di Program Magister
Hukum, Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyyah (UIA).

2. Manfaat Praktis
a. Menambah wawasan mahasiswa dalam bidang memahami
Hukum Persaingan Usaha, khususnya Pembagian Wilayah
dalam perspektif UU No. 5 Tahun 1999, tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
b. Sebagai informasi dan sekaligus menjadi salah satu bahan
pengetahuan untuk melakukan analisis tentang praktekpraktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di
Indonesia.
4

c. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum,


dalam upaya mengkritisi teori-teori hukum, khususnya Hukum
Persaingan Usaha.
Pembahasan Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Dalam perkembangan sistem ekonomi Indonesia, hukum persaingan usaha


menjadi salah satu instrumen hukum ekonomi. Hal ini ditunjukan melalui
terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU No.
5 Tahun 1999) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai
hukum persaingan usaha diatur dalam beberapa peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebelumnya, diantaranya diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Kitab UndangUndang
Hukum Pidana, dan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas.4

Adapun tujuan lain dari UU No. 5 Tahun 1999 sebagai bagian dalam
penegakan hukum persaingan usaha, sebagaimana diatur pada Pasal 3
adalah :
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional;
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan
kecil;
c. Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha, sebagai salah
satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Prinsip dalam hukum persaingan usaha yang diberlakukan terutama


sekali adalah apa yang disebut dengan effects doctrine (prinsip efek). Menurut
prinsip ini, otoritas yang membidangi kebijakan persaingan bisa melakukan
tindakan menentang segala macam bentuk pembatasan persaingan yang
berdampak pada persaingan disetiap pasar dalam negeri, tanpa
memperhatikan di negara mana praktek-praktek yang merugikan persaingan
itu terjadi. Tentunya Undang-Undang ini terbentuk dengan tujuan utama
yaitu mengawasi persaingan usaha agar persaingan tersebut menjadi sehat.

Selanjutnya, menurut Arie Siwanto bahwa persaingan usaha yang

4 Munir Fuady, 2003, Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan Sehat, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 42.
5

sehat adalah :5

a. Persaingan yang pelaku usahanya tidak terpusat pada tangan tertentu


dan tersentralisasi pada beberapa pihak saja, akan tetapi berjalan sesuai
mekanisme pasar yang sehat, yaitu dalam dunia ekonomi semua pelaku
usaha mempunyai hak kewajiban yang sama.
b. Persaingan yang sehat adalah dimana bila ada perikatan berbentuk
perjanjian tidak merugikan secara sepihak kepada pihak lain yang tidak
terlibat dalam perjanjian tersebut;
c. Persaingan yang sehat yaitu dalam kegiatannya tidak adanya
penguasaan terhadap produksi barang dan jasa, baik dari produksi
sampai pada pemasarannya.

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999, persaingan usaha


tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha.6

B. Pengertian Pembagian Wilayah

Dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan


bahwa :

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya


yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar
terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Perjanjian ini dilarang karena dengan adanya pembagian wilayah


maka dapat mentiadakan persaingan usaha antar pelaku usaha.

“Para pesaing dapat bersepakat untuk tidak memproduksi produk-produk


tertentu atau meninggalkan wilayah-wilayah tertentu yang lain untuk
mencapai economies of scale dan spesialis. Dengan kata lain efisiensi yang

5 Arie Siswanto, 2002, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia, Jakarta, Indonesia, hlm.17.
6 Mustafa Kamal Rokan, 2012, Hukum Persaingan Usaha Teori Praktiknya di Indonesia, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 18.
6

lebih besar akan tercapai. Namun, efisiensi ini baru bisa tercapai dengan
adanya perjanjian antar pesaing.”7

Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya


untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar merupakan salah satu
strategi yang dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan di antara
mereka, sehingga pelaku usaha dapat menguasai wilayah pemasaran atau
alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa harus melalui persaingan.

Menurut Stephen F. Ross dalam bukunya Principles of Antitrust Law


menyatakan bahwa hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha
dengan cara melakukan pembagian wilayah bisa membuat pelaku usaha
untuk melakukan tindakan pengurangan produksi ke tingkat yang tidak
efesien, kemudian mereka juga dapat melakukan eksploitasi terhadap
konsumen dengan menaikan harga produk, dan menggunakan kekuatan
yang dimiliki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap konsumen yang
sudah teralokasi sebelumnya.8

Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif bila


konsumen mempunyai kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar
yang satu ke pasar yang lain untuk membeli kebutuhannya. Misalkan
pemilik Departemen store Matahari dan Ramayana bersepakat untuk
melakukan pembagian pasar di antara mereka, Departemen store Ramayana
hanya beroperasi dan menjalankan usahanya di wilayah Depok saja,
sedangkan Departemen store Matahari akan beroperasi melayani wilayah
Ibu kota Jakarta, andaikan konsumen di wilayah Depok ketika berbelanja di
Ramayana merasa tidak puas, kemudian konsumen masih memiliki
kemampuan untuk berbelanja di Departemen store Matahari Jakarta,
meskipun lebih jauh dari tempat tinggalnya.

Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya bisa terjadi


melalui bentuk pelaku usaha diwajibkan untuk memasok hanya dengan
kuantitas atau kualitas barang atau jasa tertentu, tidak mengiklankan
produknya secara gencar, atau tidak melakukan ekspansi usaha yang
berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.

Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat


pelaku usaha yang terlibat di dalam praktek ini akan mengalami kesulitan
dalam mengembangkan aktifitas usahanya. Tetapi hal ini dikompensasi
7 Rachmadi Usman,2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, hlm 53
8 Stephen F. Rose, 1993, Principles of Antitrust Law. Westbury New York: The Foundation
Press, Inc.,. Hlm. 147
7

dengan cara melakukan eksploitasi secara besar-besaran terhadap konsumen.


Tetapi di dalam ketentuan persaingan usaha di Amerika Serikat disebutkan
bahwa sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha yang bersaing untuk
melakukan perjanjian pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya
merugikan konsumen tetapi juga sesungguhnya dapat merugikan bagi
pelaku usaha itu sendiri dimana mereka akan dibatasi dalam
mengembangkan usaha mereka dan hilangnya kesempatan mereka untuk
meningkatkan kekuatan pasar yang dimilikinya.9

Berbeda dengan pengaturan di banyak negara, dimana kegiatan


perjanjian pembagian wilayah dikatagorikan sebagai tindakan yang pasti
menghambat persaingan usaha dirumuskan secara per see. Seperti Hukum
Persaingan Usaha di Amerika Serikat menyebutkan bahwa:

“suatu jenis perjanjian yang selalu atau hampir memiliki kecenderungan


untuk menaikan harga atau menurunkan jumlah produksi merupakan per see
illegal (secara mutlak dilarang) seperti perjanjian diantara pelaku usaha yang
bertujuan untuk saling membagi atau mengalokasi pasar melalui alokasi
pembali, pemasok, daerah atau sektor perdagangan.”10

Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif apabila


konsumen mempunyai kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar
yang satu ke pasar yang lain untuk membeli kebutuhannya. Permasalahan
baru timbul apabila biaya yang diperlukan untuk pindah pasar tersebut
cukup mahal, juga bisa terjadi masalah apabila barang yang dibutuhkan
terbatas dan tidak ada substitusinya.

Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya bisa terjadi


dalam bentuk suatu pelaku usaha diwajibkan untuk memasok hanya dengan
kuantitas atau kualitas barang atau jasa tertentu, tidak mengiklankan
produknya secara gencar, atau tidak melakukan ekspansi usaha yang
berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.

Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat


pelaku usaha yang terlibat di dalam praktek ini akan berkembang dengan
pesat pada wilayah tersebut, namun dia akan mengalami kesulitan dalam
mengembangkan aktifitas usahanya secara lebih besar, karena wilayahnya
terbatas. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi
secara besar-besaran terhadap konsumen. Namun dalam kenyataannya,
sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha yang bersaing untuk
9 FTC/DOJ, Collaboration Guidelines, Sections 1.2, 2.2, 3.1, 3.3, 3.31, 3.31(a)
10 FTC/DOJ, Collaboration Guidelines Section 3.2; cf. also UNTACD, Objective and
Provisions, p.11.
8

melakukan perjanjian pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya


merugikan konsumen tetapi juga sesungguhnya dapat merugikan bagi
pelaku usaha itu sendiri dimana mereka akan dibatasi dalam
mengembangkan usaha mereka dan hilangnya kesempatan mereka untuk
meningkatkan kekuatan pasar yang dimilikinya.

Adapun yang menjadi tujuan dari perjanjian pembagian wilayah


adalah untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar atas barang
atau jasa atau yang dikenal dengan istilah “location clause” yaitu suatu
klausula yang mengatur lokasi dimana suatu pelaku usaha diberikan
kewenangan untuk menjual barang atau jasa.

Tujuan lebih lanjutnya adalah untuk mengontrol kepadatan distribusi


dan mencegah terjadinya kelebihan barang pada lokasi tertentu.135
Perjanjian pembagian wilayah ini dilarang karena menyebabkan pelaku
usaha yang terlibat dalam perjanjian menjadi memonopoli pada wilayah
dimana dia dialokasikan.11

Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian pembagian wilayah


oleh Undang-undang No.5/1999 khususnya Pasal 9 dirumuskan secara rule
of reason, sehingga perlu dibuktikan apakah perbuatan tersebut
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat, atau apakah pelaku mempunyai alasan-alasan yang dapat
diterima secara akal sehat.

C. Pendekatan Per Se Ilegal dan Rule Of Reason

Rumusan pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 secara material


menentukan pendekatan dalam penentuan pelanggarannya sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan terciptanya monopoli.
Adanya proses pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun
1999 yang diperiksa oleh KPPU, maka KPPU harus mengkaji rumusan pasal
terkait dengan berbagai bentuk larangan terhadap kegiatan usaha atau
perjanjian yang dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha.
Untuk membuktikan dugaan pelanggaran tersebut, KPPU menggunakan
dua pendekatan yaitu :12

1. Pendekatan Per se illegal

11 Veronica G. Kayne, et. al., 2007, Vertical Restraints: Resale Price Maintenance
Territorial and Customer Restraint, Practising Law Institute, hlm. 9. 12 Op.Cit., Munir Fuady,
hlm. 85
9

Larangan dalam pendekatan yang bersifat per se illegal adalah larangan


yang memang secara ilmiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak
kegiatan tersebut pada persaingan, karena pada dasarnya memang
menimbulkan persaingan tidak sehat. Kegiatan yang dapat disebut Per se
adalah suatu praktik bisnis yang dilakukan oleh pelaku usaha secara tegas
dan mutlak dilarang, sehingga tidak tersedia ruang untuk melakukan
pembenaran atas praktik tersebut.

Penyelesaian perkara yang dugaan pelanggarannya bersifat per se


illegal, KPPU dibolehkan untuk tidak melakukan pembuktian lebih lanjut.
Hal ini dikarenakan, jika dugaan pelanggaran tersebut bersifat per se illegal,
maka sudah dapat diperkirakan pelaku usaha tersebut nantinya akan
terbukti melanggar.

Larangan yang bersifat per see illegal adalah larangan yang bersifat
jelas, tegas, dan mutlak dalam rangka memberi kepastian bagi para pelaku
usaha. Larangan ini bersifat tegas dan mutlak disebabkan perilaku yang
sangat mungkin merusak persaingan, sehingga perlu lagi melakukan
pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya, pendekatan per see illegal
melihat perilaku usaha atau tindakan yang dilakukan bertentangan dengan
hukum.

Pendekatan per see Illegal harus memenuhi dua syarat. Pertama, harus
ditujukan lebih dahulu kepada perilaku bisnis daripada situasi pasar, karena
keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih
lanjut. Misalnya, mengenai akibat dan hal-hal melingkupinya. Kedua, adanya
identifikasi secara cepat dan mudah mengenai praktik atau batasan perilaku
yang terlarang. Dengan kata lain, penilaian atas tindakan dari perilaku baik
di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan
mudah. Meskipun demikian, diakui terdapat perilaku yang terlarang dan
perilaku yang sah.

Sebab, penerapan per see illegal yang berlebihan dapat menjangkau


perbuatan yang sebenarnya tidak merugikan bahkan mendorong persaingan.
Mengenai jenis perjanjian atau tindakan yang dikategorikan sebagai per see
tidaklah selalu sama di setiap tempat atau industri. Perbedaan ini disebabkan
perbedaan dalam menimbang takaran kepatutan dan keadilan.

Selain itu, perbedaan penetapan ini juga melihat tingkat efisiensi dan
manfaat bagi masyarakat. Pendekatan ini mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Ada tiga kelebihannya, yaitu pertama, terjadinya kepastian
10

terhadap suatu persoalan hukum antimonopoli yang muncul. Ketika terjadi


penetapan harga (price pixing), boycott, horizontal market division, dan tying
arrangement dilakukan pelaku usaha maka hakim dapat menggunakan
pendekatan ini secara langsung. Kedua, jika suatu perjanjian atau perbuatan
yang dilakukan yang hampir pasti merusak dan merugikan persaingan maka
untuk apalagi bersusah payah melakukan pembuktian, tidak hanya
memakan waktu, namun juga biaya yang mahal. Ketiga, pendekatan per see
illegal lebih memudahkan hakim memutuskan perkara persaingan usaha.

Penerapan pendekatan per see illegal secara berlebihan dapat


menjangkau perbuatan yang mungkin tidak merugikan. Terkadang
pendekatan ini tidak selalu akurat menghasilkan pandangan apakah suatu
tindakan pelaku usaha benar-benar tidak effisien dan merugikan konsumen.
Sementara itu, pendekatan secara rule of reason adalah kebalikan per see illegal.
Dalam pendekatan ini hukuman terhadap perbuatan yang dituduhkan
melanggar industri persaingan harus mempertimbangkan situasi dan kondisi
kasus.

2. Pendekatan Rule of Reason

Larangan dalam pendekatan yang bersifat rule of reason adalah suatu


larangan yang baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat
menimbulkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat rule
of reason dapat diartikan bahwa dalam melakukan praktik bisnisnya, pelaku
usaha tidak secara otomatis atau semena-mena dilarang. Pelanggaran
terhadap pasal ini membutuhkan pembuktian lebih lanjut.

Teori rule of reason mengharuskan pembuktian, mengevaluasi


mengenai akibat perjanjian, kegiatan atau posisi dominan tertentu guna
menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau
mendukung persaingan. Dalam melakukan pembuktian harus melihat
seberapa jauh tindakan yang merupakan antipersaingan tersebut berakibat
kepada pengekangan persaingan di pasar.

Dalam teori rule of reason sebuah tindakan tidak secara otomatis


dilarang, meskipun perbuatan yang ditudahkan tersebut kenyataannya
terbukti telah dilakukan. Dengan demikian, pendekatan ini memungkinkan
pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap undang-undang dan
interpretasi pasar.12

12 A.M. Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam Hukum
Persaingan,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24, No. 2, 2005, hlm. 9-10.
11

Alasan yang sah untuk melarang suatu perjanjian atau kegiatan


berbeda-beda antara satu industi dengan industri lainnya, tergantung dari
tujuan industri persaingan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, rule of reason dapat dilihat dari kalimat “mengakibatkan atau dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat atau
juga dengan patut diduga.” Kalimat ini menyiratkan bahwa perlu penelitian
yang mendalam tentang suatu perjanjian atau kegiatan apakah berdampak
terjadinya praktik monopoli.

D. Perjanjian Yang Dilarang

Sebelum diperkenalkannya istilah perjanjian yang ada dalam UU No.


5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, maka istilah perjanjian secara umum telah lama dikenal oleh
masyarakat. Prof. Wirjono menafsirkan perjanjian sebagai perhubungan
hokum mengenai harta benda antara dua pihak dalam hal mana suatu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk
tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lainnya berhak menuntut
pelaksanaan dari perjanjian itu.13 Sedangkan Prof. Subekti menyatakan
bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa, dimana seseorang berjanji kepada
orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.14

Selanjutnya Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu


persetujuan atau perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selain
dari perjanjian, dikenal pula istilah perikatan. Namun, Kitab UndangUndang
Hukum Perdata tidak merumuskan apa itu suatu perikatan. Oleh karenanya
doktrin berusaha merumuskan apa yang dimaksud dengan perikatan yaitu
suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menutut sesuatu hal (prestasi) dari pihak lain
yang berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. 16

Dari defenisi tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan


salah satu sumber dari perikatan. Pasal 1233 KUH Perdata dikatakan bahwa
suatu perikatan ada yang lahir karena perjanjian dan ada yang dilahirkan
karena undang-undang.
Suatu prestasi dalam suatu perikatan menurut Pasal 1234 KUH
Perdata dapat berupa 3 macam. Pertama kewajiban untuk memberikan
13 Wirjono Prodjodikoro, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, PT. Eresto, Bandung, hlm. 9.
14 R. Subekti, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta,
16
hlm 1. Ibid., hlm 1.
12

sesuatu. Kedua, kewajiban untuk berbuat sesuatu, dan ketiga kewajiban


untuk tidak berbuat sesuatu.

Dalam sistem hukum perjanjian, maka dianut sistem terbuka, artinya


para pihak mempunyai kebebasan yang sebesar-besarnya untuk
mengadakan perjanjian yang berisi dan berbentuk apa saja, asalkan tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini dapat kita lihat dalam
Pasal 1338 KUH Perdata yang pada intinya menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya.

Selanjutnya Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa untuk


sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 syarat. Pertama, sepakat mereka
untuk mengikatkan diri. Kedua, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Ketiga, suatu hal tertentu, dan keempat, suatu sebab (causa) yang halal.

Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dalam KUH Perdata ini


merupakan asas-asas dan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk
semua perjanjian secara umum. Disamping itu suatu Undang-Undang
khusus dapat saja mengatur secara khusus yang hanya berlaku untuk
ketentuan-ketentuan dalam undangundang yang khusus tersebut. Hal ini
dapat ditemui dalam UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur secara khusus
apa yang dimaksud dengan perjanjian dalam UU ini.

Menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No.5 Tahun 1999, perjanjian


didefinisikan sebagai:

“Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis
maupun tidak tertulis.”

Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh


Undangundang No.5 Tahun 1999, dapat diketahui bahwa Undang-Undang
No. 5 tahun 1999 merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis
maupun tidak tertulis, keduaduanya diakui atau digunakan sebagai alat
bukti dalam kasus persaingan usaha.

Sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya dianggap tidak begitu


kuat sebagai alat bukti di pengadilan, karena hukum acara perdata yang
berlaku pada saat ini lebih menekankan dan mengganggap bukti tertulis dan
otentik sebagai alat bukti yang kuat.
Pengakuan dan masuknya perjanjian yang tidak tertulis sebagai bukti
adanya kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam Hukum
13

Persaingan Usaha adalah sangat tepat dan telah sesuai dengan rezim Hukum
Persaingan Usaha yang berlaku di berbagai negara. Pada umumnya para
pelaku usaha tidak akan begitu ceroboh untuk memformalkan kesepakatan
diantara mereka dalam suatu bentuk tertulis, yang akan memudahkan
terbuktinya kesalahan mereka. Oleh karenanya perjanjian tertulis diantara
para pelaku usaha yang bersekongkol atau yang bertentangan dengan
Hukum Persaingan Usaha akan jarang ditemukan.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur beberapa perjanjian


yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:

1. Oligopoli
2. Penetapan harga
a. Penetapan harga (Pasal 5 UU No.5/1999);
b. Diskriminasi harga (Pasal 6 UU No.5/1999);
c. Jual Rugi (Pasal 7 UU No.5/1999);
d. Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8 UU No.5/1999);
3. Pembagian wilayah (Pasal 9 UU No.5/1999);
4. Pemboikotan (Pasal 10 UU No.5/1999);
5. Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999);
6. Trust (Pasal 12 UU No.5/1999);
7. Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ;
8. Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);
9. Perjanjian Tertutup
a. exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU
No.5/1999);
b. tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999);
c. vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/1999);
10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri.

Paparan Kasus dan Analisis

Untuk lebih jelasnya, maka akan diuraikan bagaimana penerapan


Pasal 9 ini dalam praktek persaingan usaha di Indonesia. Dalam Putusan
KPPU No. 53/KPPU-L/2008 mengenai Pemagian Wilayah DPP AKLI Pusat.
KPPU memutuskan bahwa bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III,
Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 9 Undangundang Nomor 5 Tahun 1999.

Adapun para Terlapor dalam kasus ini adalah Terlapor I adalah


Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia
(DPP AKLI), Terlapor II Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik
14

dan Mekanikal Indonesia (DPD AKLI) Sulawesi Selatan, Terlapor III Dewan
Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC
AKLI) Palopo, Terlapor IV Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor
Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Utara, Terlapor V
Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal
Indonesia (DPC AKLI) Luwu Timur, Terlapor VI Dewan Pengurus Cabang
Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Tana
Toraja.

Bahwa Terlapor I adalah asosiasi perusahaan yang bergerak di bidang


pekerjaan elektrikal dan mekanikal yang bertujuan membina anggota
anggotanya untuk dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam proses
pembangunan Indonesia di bidang ketenagalistrikan. Terlapor I memiliki 32
(tiga puluh dua) Dewan Pengurus Daerah (DPD), 121 (seratus dua puluh
satu) Dewan Pengurus Cabang (DPC), dan 4806 (empat ribu delapan ratus
enam) badan usaha instalatir.

Terlapor II adalah pengurus daerah Terlapor I di Propinsi Sulawesi


Selatan, Terlapor II membawahi 9 (sembilan) DPC dan memiliki anggota
sebanyak 173 (seratus tujuh puluh tiga) badan usaha instalatir. Terlapor III
adalah pengurus cabang Terlapor I di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dan
memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor IV
adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi
Selatan, memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir.
Terlapor V adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Timur,
Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 10 (sepuluh) anggota badan
instalatir.

KPPU berpendapat berdasarkan bukti-bukti bahwa Terlapor I melalui


Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPC-DPC
lain di wilayah Sulawesi Selatan, membagi wilayah kerja PJT berdasarkan
wilayah cabang PT. PLN (Persero) di Sulawesi Selatan. Namun khusus di
wilayah PT. PLN (Persero) Cabang Palopo, Terlapor II membagi lagi wilayah
kerja PJT ( Penanggung Jawab Teknik) menjadi 4 (empat) wilayah
berdasarkan tempat kedudukan DPC berada, yaitu: Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, dan Terlapor VI. Pembagian wilayah PJT dalam SP-PJT oleh
Terlapor I dapat dikategorikan sebagai perjanjian dilaksanakan oleh Terlapor
II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI.

Adapun yang menjadi alasan dari Terlapor I membagi wilayah kerja


PJT melalui SP-PJT adalah untuk keselamatan dan keamanan instalasi, serta
memberdayakan potensi sumber daya PJT setempat.
15

Pembagian wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I di


daerah Sulawesi Selatan melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, dan DPCDPC lainnya di Sulawesi Selatan ini,
menimbulkan dampak badan usaha instalatir tidak dapat menggunakan
PJTnya di wilayah lain dan harus menggunakan jasa PJT setempat yang
menjadi pegawai di badan usaha instalatir.

Putusan ini menunjukkan kepada kita bahwa suatu assosiasi


perusahaan dapat digunakan untuk melakukan aktivitas ataupun
perjanjianperjanjian yang anti persaingan. Dengan adanya pembagian
wilayah tersebut, maka kiranya jelas hal tersebut akan menyebabkan
terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Pada sisi lain tidak ditemukan
adanya alasan-alasan yang dapat membenarkan perbuatan tersebut.

Kesimpulan

Perjanjian price fixing bukan satu-satunya cara mengontrol harga.


Cara lain yang walaupun tidak secara langsung dapat mengontrolnya, yakni
perjanjian di antara pelaku usaha untuk tidak saling berkompetisi satu sama
lain. Caranya, mereka membagi wilayah pemasaran barang atau jasa mereka.
Ada banyak perjanjian pembagian wilayah ini, pertama, pelaku usaha dapat
membagi pasar secara geografis; kedua, membagi jenis atau kelas pelanggan
atau konsumen dan ketiga, mereka bisa membagi pasar berdasarkan jenis
produk yang Dikeluarkan.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha


untuk mengadakan perjanjian pembagian wilayah (market allocation), baik
yang bersifat vertikal atau horizontal. Dalam Pasal9 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa, sehingga
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan /atau persaingan usaha
tidak sehat.

Berdasarkan Pasal 9 ini, perjanjian pembagian wilayah yang terkena


larangan adalah jika isi perjanjian pembagian wilayah yang dimaksud
bertujuan membagi wilayah pemasaran ata alokasi pasar terhadap suatu
produk barang dan/atau jasa, di mana perjanjian itu dapat menimbulkan
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian ini
dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan
dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar.
16

Wilayah pemasaran di sini dapat berarti wilayah negara Republik


Indonesia atau bagian wilayah negara Republik Indonesia, misalnya
provinsi, kabupaten/kota, atau wilayah regional yang lain. Membagi
wilayah. Pemasaran atau alokasi pasar itu berarti membagi wilayah untuk
memperoleh atau memasok barang, jasa atau barang, dan jasa tertentu.
Perjanjian seperti ini dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat.

Dari ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat


disimpulkan bahwa perjanjian pembagian wilayah tidak termasuk per se
illegal; oleh karena itu perjanjian yang demikian hanya dilarang apabila dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat.

DAFTAR PUSTAKA
A.M. Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se
Illegal dalam Hukum Persaingan,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24,
No. 2, 2005.
Arie Siswanto, 2002, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia, Jakarta, Indonesia.
Munir Fuady, 2003, Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan
Sehat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Mustafa Kamal Rokan, 2012, Hukum Persaingan Usaha Teori Praktiknya di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Rachmadi Usman,2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
R. Subekti, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.
Stephen F. Rose, 1993, Principles of Antitrust Law. Westbury New York: The
Foundation Press, Inc..
Thee Kian Wie; Hukum Persaingan: Aspek-aspek Ekonomi yang Per!u
Diperhatikan dalam Implementasi UU No. 5/1999, 1999, Artikel
dalam Jurnal Hukun Bisnis Vokune 7, YPHB.
Veronica G. Kayne, et. al., 2007, Vertical Restraints: Resale Price
Maintenance Territorial and Customer Restraint, Practising Law
Institute.
Wirjono Prodjodikoro, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, PT. Eresto,
Bandung.

Perundang-undangan :
1. Undang Undang No 5 Tahun 1999.
2. Hukum Persaingan Usaha, Antara Teks & Konteks, 2009, KPPU.

Anda mungkin juga menyukai