Anda di halaman 1dari 63

Modul 9

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

ANITA AFRIANA, S.H.,M.H.

P E N D A H U L U A N---------------------------------------------------------------------------------

Pembangunan bidang ekonomi diorientasikan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat.


Untuk mencapai tujuan tersebut, demokrasi dalam bidang ekonomi memberi kesempatan
yang sama bagi setiap pelaku usaha untuk berpartisipasi aktif di dalam proses produksi dan
pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, efisien sehingga dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
Pada prinsipnya dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh keuntungan (profit) yang
sebesar besarnya merupakan perilaku yang wajar, sepanjang perilaku itu tidak menimbulkan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, setiap menjalankan
kegiatan usaha harus sesuai dan sejalan dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga dapat berperan
sebagai instrumen penting dalam mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat. Demikian
pula dengan persaingan yang sehat dan wajar tidak menimbulkan adanya pemusatan
kekuataan ekonomi pada pelaku usaha usaha tertentu, dengan tetap menghormati berbagai
perjanjian-perjanjian internasional yang berhubungan dengan perdagangan internasional
seperti kesepakatan World Trade Organization (WTO) yang memang telah diratifikasi
menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 1994.
Dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh keuntungan (profit) yang sebesar-
besarnya merupakan perilaku yang wajar, sepanjang perilaku tersebut tidak menimbulkan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dengan menerapkan persaingan usaha
yang sehat (fair competition) akan memberikan akibat positif bagi para pelaku usaha, sebab
dapat menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas,
inovasi, dan kualitas produk yang dihasilkan.
Selain menguntungkan bagi pelaku usaha, konsumen memperoleh manfaat dari
persaingan usaha yang sehat. Sebaliknya apabila terjadi persaingan usaha yang tidak sehat
antara para pelaku usaha akan berakibat negatif tidak saja bagi pelaku usaha tapi juga
konsumen dan berpengaruh negatif bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, bagi suatu
perusahaan sangat penting untuk menerapkan usaha yang didasarkan pada prinsip persaingan
usaha yang sehat.
Beranjak dari apa yang diuraikan di atas, sesungguhnya kehadiran Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Antimonopoli) merupakan
instrumen penting dalam mendorong terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat. Apalagi
undang-undang ini dapat dikatakan bersifat lengkap dalam arti menyediakan peraturan dan
petunjuk pelaksanaannya berkaitan dengan masalah masalah yang bersifat substansial
maupun prosedural. Undang-undang Antimonopoli ini memiliki beberapa ciri umum, seperti
pencantuman praktik-praktik yang diizinkan, baik berdasarkan rule of reason maupun perse
ilegal. Seiring dengan terus berkembangnya praktik perdagangan internasional, Undang-
undang Antimonopoli dapat terus dikembangkan agar sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan zaman, tetapi dengan tidak menyimpang dari sprit dan semangat ketentuan
Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menghendaki terciptanya
demokrasi dibidang ekonomi.
Dewasa ini sudah lebih dari 80 negara di dunia yang telah memiliki Undang-undang
Persaingan Usaha dan Anti Monopoli. Langkah negara-negara tersebut sesungguhnya
mengarah pada satu tujuan, yaitu meletakkan dasar bagi suatu aturan hukum untuk
melakukan regulasi guna menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Persaingan yang
sehat (fair competition) merupakan salah satu syarat bagi negara-negara dalam mengenai
perekonomian yang berorientasi pasar.
Materi yang dipelajari dan dibahas pada modul ini yaitu tentang prinsip – prinsip dan
kebijakan dalam persaingan usaha yang sehat, jenis jenis persaingan usaha, dan penyelesaian
sengketa yang dilakukan melalui KPPU. Dengan mempelajari materi ini, terlihat keterkaitan
antara konsep yang dibahas sebelumnya dengan bagaimana permasalahan yang muncul
kemudian menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dapat terselesaikan.
Dengan demikian, setelah mengikuti kegiatan belajar tersebut, mahasiswa mampu
secara umum menjelaskan dalam menjalankan kegiatan usaha, maka perusahaan didasarkan
pada konteks persaingan usaha yang sehat. Sedangkan secara khusus melalui kegiatan belajar
yang dilakukan bertujuan agar anda mampu menjelaskan:
1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha
2. Beberapa aspek tentang persaingan (competition)
3. Perjanjian, Kegiatan, dan Posisi Dominan yang dilarang dalam Hukum Persaingan
usaha di Indonesia
4. Prinsip Kebijakan Persaingan Usaha yang Bermanfaat Bagi UKM.
5. Peran KPPU.

Selamat belajar, semoga anda berhasil!


KEGIATAN BELAJAR I

Pengantar Hukum Persaingan Usaha

A. Pengertian Pengertian Dalam Hukum Persaingan Usaha

Sebelum diuraikan pengertian istilah yang berkaitan dengan persaingan usaha,


berikut sekilas digambarkan latar belakang lahirnya pengaturan persaingan usaha
tidak sehat dalam bentuk undang-undang.
Latar belakang langsung dari penyusunan undang-undang antimonopoli adalah
perjanjian yang dilakukan antara Dana Moneter Internasional (IMF) dengan
pemerintah Republik Indonesia, pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian
tersebut, IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik
Indonesia sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasai krisis ekonomi,
akan tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum
ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya undang-undang antimonopoli.
Akan tetapi perjanjian dengan IMF tersebut bukan merupakan satu-satunya alasan
penyusunan undang-undang tersebut. Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di
Indonesia mengenai perlunya perundang-undangan antimonopoli. Reformasi sistem
ekonomi yang luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun
1980, dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap sangat
kritis. Timbul konglomerat pelaku usaha yang dikuasai oleh keluarga atau partai
tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan pelaku usaha kecil dan
menengah malalui praktek usaha yang kasar serta berusaha untuk mempengaruhi
semaksimal mungkin penyusunan undang-undang serta pasar keuangan.
Dengan latar belakang demikian, maka disadari bahwa pembubaran ekonomi
yang dikuasai negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup untuk membangun
suatu perekonomian yang bersaing. Disadari juga hal-hal yang merupakan dasar
pembentukan setiap perundang-undangan antimonopoli, yaitu justru pelaku usaha itu
sendiri yang cepat atau lambat melumpuhkan dan menghindarkan dari tekanan
persaingan usaha dengan melakukan perjanjian atau penggabungan perusahaan yang
menghambat persaingan serta penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk
merugikan pelaku usaha yang lebih kecil.
Disadari adanya keperluan bahwa Negara menjamin keutuhan proses
persaingan usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha terhadap gangguan dari pelaku
usaha dengan menyusun undang-undang, yang melarang pelaku usaha mengganti
hambatan perdagangan oleh Negara yang baru saja ditiadakan dengan hambatan
persaingan swasta. Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa
keprihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut
konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional
Indonesia.
Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan
ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur pasokan atau supply barang
dan jasa serta menetapkan harga-harga secara sepihak yang tentu saja menguntungkan
mereka. Koneksi yang dibangun dengan birokrasi negara membuka kesempatan luas
untuk menjadikan mereka sebagai pemburu rente. Apa yang mereka lakukan
sebenarnya hanyalah mencari peluang untuk menjadi penerima rente (rent seeking)
dari pemerintah yang diberikan dalam bentuk lisensi, konsesi, dan hak-hak istimewa
lainnya.
Sesungguhnya banyak istilah yang digunakan untuk bidang hukum ini selain
hukum persaingan usaha (competition law), yaitu hukum antimonopoli (antimonopoly
law) dan hukum antitrust (antitrust law). Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum
persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
persaingan usaha. Menurut beberapa ahli, hukum persaingan usaha (competition law)
adalah instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus
dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek “ persaingan”, hukum
persaingan juga mengatur persaingan sedemikian rupa sehingga tidak menjadi sarana
monopoli. (Hermansyah, 2008: 1)
Menurut Arie Siswanto, dalam bukunya yang berjudul “Hukum Persaingan
Usaha”, yang dimaksud dengan Hukum Persaingan Usaha (competition law) adalah
instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus
dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek “persaingan”, juga
menjadi perhatian dari hukum persaingan adalah bagaimana mengatur persaingan
sedemikian rupa sehingga tidak menjadi sarana untuk mendapatkan monopoli.
Sedangkan dalam Kamus Lengkap Ekonomi yang ditulis oleh Christoper Pass dan
Bryan Lowes, yang dimaksud dengan Competition Laws (Hukum Persaingan) adalah
bagian dari perundang-undangan yang mengatur tentang monopoli, penggabungan
dan pengambilalihan, perjanjian perdagangan yang membatasi dan praktik anti
monopoli.
Monopoli dapat terjadi dalam setiap sistem ekonomi, yaitu sistem ekonomi
kapitalisme dan liberalisme, sosialisme komunis maupun sistem ekonomi Pancasila.
Dengan sistem ekonomi Pancasila, dicoba menghilangkan ciri ciri negatif yang
terkandung dalam sistem liberalisme dan sosialisme. Ciri ciri negatif seperti free fight
liberalism yang membenarkan eksploitasi terhadap manusia, etatisme dimana negara
beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan menimumkan
potensi dan daya kreasi unit ekonomi diluar sektor negara, dan pemusatan ekonomi
pada salah satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. (Arie,
Siswanto, 2004:1)
Masalah persaingan usaha sesungguhnya merupakan urusan antara pelaku dunia
usaha, dimana negara tidak ikut campur. Namun demikian, mengingat bahwa dalam
dunia usaha perlu diciptakan level playing field yang sama antar pelaku usaha, maka
pada akhirnya negara sangat diperlukan untuk ikut campur. Keterlibatan negara
dibidang hukum termasuk masalah yang bersifat perdata dilakukan sepanjang ada
pihak yang lemah yang perlu dilindungi agar terhindar dari tindakan eksploitasi oleh
pihak yang kuat.( Dhaniswara K. Harjono, 2006:103)
Tahun 1999, lahirlah Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada hakikatnya, keberadaan
hukum persaingan usaha adalah mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan
usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar tertentu yang dapat mendorong pelaku
usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan pesainganya.
Berkaitan dengan hal itu, maka keberadaan Undang-Undang Antimonopoli
berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum mempunyai peranan yang sangat
penting dan strategis dalam mewujudkan iklim usaha yang sehat di Indonesia. Selain
menguntungkan bagi para pelaku usaha, konsumen memperoleh manfaat dari
persaingan usaha yang sehat yaitu adanya penurunan harga, banyak pilihan, dan
peningkatan kualitas produk. Sebaliknya apabila terjadi persaingan usaha yang tidak
sehat antara para pelaku usaha dan konsumen akan menimbulkan akibat buruk dan
pengaruh negatif bagi perekonomian nasional.
Beranjak dari apa yang telah dikemukakan di atas, jelas bahwa hukum
mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi, terutama berkaitan
dengan terciptanya efisiensi ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. UU
Antimonopoli merupakan instrumen penting dalam mendorong terciptanya efisensi
ekonomi, dan menciptakan iklim kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku
usaha. Dalam UU Antimonopoli telah dirumuskan secara tegas dan jelas mengenai
beberapa pengertian antara lain: monopoli, praktik monopoli, pemusatan kekuataan
ekonomi, dan persaingan usaha tidak sehat.

1. Monopoli

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, monopoli adalah situasi


pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar lokal ataupun nasional)
sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok,
sehingga harganya dapat dikendalikan. Sedangkan menurut Black’s Law
Dictionary monopoli adalah “ A privilage or peculiar advanted vested in one or
more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry
on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the
sale of the whole supply of a particular commodity. A form of market structure in
which one or only a few firms dominate the total sales of a product or service”
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Pasal 1 angka 1 UU Antimonopoli,
dikemukakan bahwa monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha.
Eksistensi monopoli dalam suatu kegiatan ekonomi dapat terjadi dalam
beberapa jenis, ada yang merugikan ada yang menguntungkan warga
masyarakatnya. Oleh karena itu pengertian masing-masing monopoli perlu
dijelaskan untuk membedakan mana monopoli yang dilarang karena merugikan
masyarakat dan mana yang ikut memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan
masyarakat. Adapun jenis-jenis monopoli adalah sebagai berikut: (Johnny, Ibrahim,
2007:140-144)
a. Monopoli yang terjadi karena memang dikehendaki oleh undang-undang
(monopoly of law).
Pasal 33 UUD 1945 menghendaki adanya monopoli negara untuk
menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Selain itu, undang-undang juga memberikan hak istimewa dan perlindungan
hukum dalam jangka waktu tertentu terhadap pelaku usaha yang memenuhi
syarat tertentu atas hasil riset dan inovasi yang dilakukan sebagai hasil
pengembangan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia. Pemberian
hak-hak ekslusif atas penemuan baru , baik yang berasal dari hak atas
kekayaan intelektual pada dasarnya adalah merupakan bentuk lain monopoli
yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang.

b. Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh
iklim dan lingkungan usaha yang sehat (Monopoly by Nature)
Monopoli bukanlah suatu perbuatan jahat atau terlarang apabila
kedudukan tersebut diperoleh dengan mempertahankan posisi tersebut melalui
kemampuan prediksi dan naluri bisnis yang profesional. Kemampuan sumber
daya manusia yang profesional, kerja keras, dan strategi bisnis yang tepat
dalam mempertahankan posisinya akan membuat perusahaan memiliki kinerja
yang unggul, sehingga tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu
kombinasi antara kualitas dan harga barang, jasa, dan pelayanan sebagaimana
yang dikehendaki konsumen. Dalam hal ini perusahaan dapat menyediakan
keluaran (output) yang lebih efisien daripada apa yang dihasilkan perusahaan-
perusahaan lain.
Pelaku usaha atau perusahaan yang memiliki kinerja unggul seperti itu
sering memiliki rahasia dagang yang meskipun tidak memperoleh hak ekslusif
dan pengakuan dari negara, namun dengan teknologi rahasianya tersebut,
perusahaan mampu menempatkan posisinya sebagai perusahaan monopoli.
Perusahaan seperti ini jelas memiliki kontribusi terhadap efisiensi ekonomi
dan kesejahteraan konsumen. Adanya Undang-Undang Antimonopoli
hanyalah untuk memastikan bahwa kekuataan yang dimiliki perusahaan
seperti itu tidak disalahgunakan untuk mematikan persaingan usaha.
c. Monopoli yang diperoleh melalui Lisensi dengan menggunakan
mekanisme kekuasaan (Monopoly by License)
Monopoli seperti ini dapat terjadi oleh karena adanya kolusi antara para
pelaku usaha dengan birokrat pemerintah. Kehadirannya menimbulkan distorsi
ekonomi karena menggangu bekerjanya mekanisme pasar yang efisien.
Umumnya monopoly by licence berkaitan erat dengan para pemburu rente
ekonomi yang mengganggu keseimbangan pasar untuk kepentingan mereka.
Berbagai kelompok usaha yang dekat dengan pusat kekuasaan dalam
pemerintahan pada umumnya memiliki kecendrungan melakukan perbuatan-
perbuatan tercela seperti itu, meskipun tidak semuanya memiliki rent seeking
behavior

d. Monopoli karena terbentuknya struktur pasar

Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar dalam


waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin
atau sebaliknya, dengan menggunakan modal yang sangat besar untuk
memperoleh posisi dominan guna menggusur para pesaing yang ada. Unsur-
unsur yang mempengatuhi perilaku para pelaku usaha tersebut manifestasinya
dalam praktik bisnis sehari-hari adalah sedapat-dapatnya menghindari
munculnya pesaing baru, karena munculnya pesaing atau rivalitas dalam
berusaha akan menurunkan tingkat keuntungan.

2. Praktik Monopoli

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Antimonopoli dirumuskan bahwa yang


dimaksud dengan praktik monopoli adalah pemusatan kekuataan ekonomi oleh
satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

3. Pemusatan Kekuatan Ekonomi


Pemusatan Kekuataan Ekonomi dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Antimonopoli adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh
satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau
jasa.

4. Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Antimonopoli menyatakan bahwa


persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.

1. Jelaskan mengapa pelaku usaha dalam menjalankan usahanya perlu


menjaga iklim persaingan usaha yang sehat?
2. Bagaimanakah tanggapan anda dengan adanya monopoli yang dikehendaki
oleh undang-undang?
3. Bagaiamana keterkaitan antara persaingan usaha yang sehat dan manfaat
kemudian yangdapat diperoleh oleh konsumen?

B. Beberapa Aspek Tentang Persaingan (competition)

1. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Antimonopoli

Pada hakikatnya, orang menjalankan kegiatan usaha adalah untuk


memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup, baik primer, sekunder, dan kebutuhan tersier. Atas dasar untuk memenuhi
kebutuhan hidup itulah yang mendorong banyak orang menjalankan kegiatan
usaha baik kegiatan usaha yang sejenis maupun kegiatan usaha yang berbeda.
Keadaan yang demikian itulah sesungguhnya yang menimbulkan atau melahirkan
persaingan usaha diantara para pelaku usaha. Oleh karena itu, persaingan dalam
dunia usaha merupakan hal yang biasa terjadi. Bahkan dapat dikatakan persaingan
dalam dunia usaha itu merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak
bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Walaupun diakui bahwa adakalanya
persaingan usaha itu sehat, dan dapat juga tidak sehat.
Persaingan usaha yang sehat akan memberikan akibat positif bagi para
pelaku usaha, sebab dapat menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk
meningkatkan efisiensi, produktivitas, inovasi, dan kualitas produk yang
dihasilkannya. Selain menguntungkan bagi para pelaku usaha, konsumen
memperoleh manfaat dari persaingan tersebut yaitu adanya penurunan harga,
banyak pilihan, dan peningkatan kualitas produk. Sebaliknya apabila terjadi
persaingan usaha yang tidak sehat antara para pelaku usaha tentu berakibat negatif
tidak saja bagi pelaku usaha dan konsumen, tetapi juga memberikan pengaruh
negatif bagi perekonomian nasional.
Persaingan dalam dunia usaha antara pelaku usaha akan mendorong pelaku
usaha untuk berkonsentrasi pada rangkaian proses atau kegiatan penciptaan
produk atau jasa terkait dengan kompetensi usahanya (core business). Dengan
adanya konsentrasi pada core business nya, pelaku usaha sebagai produsen akan
dapat menghasilkan sejumlah produk dan jasa yang memiliki kualitas yang
memiliki daya saing di pasaran dalam negeri maupun internasional. (Johnny,
Ibrahim, 2007:1).
Tuntutan agar Indonesia mempunyai Undang-Undang Antimonopoli untuk
pertama kalinya muncul pada tahun 1990 sebagai perdebatan tindakan kebijakan
antimonopoli di Indonesia, tetapi tuntutan itu tampaknya sulit untuk diwujudkan
karena tidak didukung oleh political will dari pemerintah. Akibatnya tidaklah
mengherankan apabila iklim persaingan usaha yang ada pada masa orde baru itu
bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dbidang ekonomi, bahkan sekaligus
dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penghambat terwujudnya demokrasi
dalam bidang ekonomi. Dengan demikian jelas bahwa dalam pelaksanaan
demokrasi ekonomi tidak boleh dan harus ditiadakan terjadinya penumpukan aset
dan pemusatan kekuataan ekonomi pada seorang, sekelompok orang, atau
perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan.
Fenonema di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan
yang terkait antara pengambilan keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara
langsung maupun tidak langsung, sehingga makin memperburuk keadaan, serta
kecendrungan menununjukkan corak yang monopolistik. Para pelaku usaha yang
dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemmudahan-kemudahan yang
berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya
konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha yang tidak didukung oleh semangat
kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan
ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. Keadaan itu juga
mendorong sektor swasta menyadari perlunya Undang-Undang Antimonopoli agar
adanya perlakuan yang sama dan adil di antara pelaku usaha lebih dari itu,
masyarakat pada umunya juga menyadari pentingnya keberadaan Undang-undang
Antimonopoli untuk mengatur perilaku usaha yang mengandung tindakan kolusi,
nepotisme, dan kebijakan pemerintah yang tidak transparan.
Dengan memperhatikan situasi dan kondisi tersebut, menuntut kita untuk
mencermati dan menata kembali kegiatan ushaa di Indonesia, agar dunia usaha
dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar, sehingga tercipta iklim
persaingan usaha yang sehat, terhindarnya pemusatan kekuataan ekonomi pada
perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan
dengan cita-cita keadilan sosial.
Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa demokrasi ekonomi dibidang
ekonomi harus diimplementasikan secara konsisten dalam kegiatan usaha, karena
memang mempunyai arti yang penting dan strategis implementasinya demokrasi
dibidang ekonomi itu karena demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki
adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi
dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha
yang sehat, efektif dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
dan bekerjanya pasar yang wajar. Jadi, demokrasi dibidang ekonomi itu
menghendaki terciptanya iklim usaha yang sehat, kondusif, dan kompetitif yang
memungkinkan setiap orang yang berusaha di Indonesia berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusataan
kekuataan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Antimonopoli, ditegaskan sebagai berikut:
“ Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum’. Asas demokrasi ekonomi merupakan
penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi
yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.
Oleh karena itu, penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat sebagai sarana
penciptaan demokrasi dibidang ekonomi itu perlu terus diupayakan secara
terencana dan terus menerus, dan diikuti oleh penyusunan kebijakan persaingan
usaha serta upaya pencegahan dan penindakan terhadap para pelaku usaha yang
melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Untuk mencegah
dan menindak pelaku usaha yang nelakukan persaingan usaha tidak sehat itu
diperlukan adanya aturan hukum. Tanpa adanya aturan hukum, persaingan usaha
yang sehat tidak mungkin dapat diwujudkan. Oleh karena itu, untuk menjamin
adanya persaingan usaha yang sehat dibuatlah Undang-Undang Antimonopoli yang
mengatur berbagai mekanisme persaingan usaha dan menjamin terwujudnya
persaingan usaha yang sehat dan adil.
Dewasa ini sudah lebih dari 80 negara di dunia telah memiliki UU
Antimonopoli, yang pada prinsipnya mengarah pada satu tujuan yang sama yaitu
meletakkan dasar bagi suatu aturan hukum untuk melakukan regulasi yang berguna
untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat, karena melalui persaingan
usaha yang sehat merupakan salah satu syarat bagi negara-negara yang mengelola
perekonomian yang berorientasi pasar.
Dalam konsiderans UU Antimonopoli, huruf b dinyatakan bahwa demokrasi
dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap
warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang
dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjaanya ekonomi pasar yang wajar.
Telah dikemukakan, bahwa salah satu sarana untuk mewujudkan demokrasi
dibidang ekonomi adalah melalui pengaturan terhadap persaingan usaha. Aturan
hukum tersebut diharapkan dapat menjadi sarana pencapaian demokrasi ekonomi,
yang memberikan peluang yang sama bagi semua pelaku usaha untuk ikut serta
dalam proses produksi barang dan jasa dalam suatu iklim usaha yang sehat,
kondusif, dan kompetitif sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang
wajar. Aturan hukum ini dapat dikatakan sebagai rule of the game dalam upaya
menciptakan iklim usaha yang sehat, kondusif, dan kompetitif di Indonesia.
Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa
diundangkannya Undang-Undang Antimonopoli merupakan landasan yang kuat
untuk menciptakan perekonomian yang efisien dan bebas dari segala bentuk
distorsi. Apalagi, saat krisis ekonomi sekarang merupakan momentum untuk
merestrukturisasi perekonomian dari sistem ekonomi dengan struktur pasar
monopoli-oligopoli dan protektif menuju sistem ekonomi yang ramah pasar
(market friendly).
Adanya jaminan kepastian hukum berdasarkan Undang-Undang
Antimonopoli tersebut, diharapkan dapat mencegah praktik-praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, sehingga tercipta efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha yang meningkatkan efisiensi nasional sebagai salah satu upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lebih dari itu, dengan terciptanya persaingan
usaha yang sehat akan memberikan daya tarik kepada para penanam modal, baik
dalam negeri maupun asing untuk menanamkan modalnya, dan dengan adanya
penanaman modal yang masuk ke Indonesia tentu dapat membuka peluang kerja
baru dan berpotensi mengurangi jumlah pengangguran yang pada kenyataannya
terus meningkat.

2. Tujuan diadakannya Undang-Undang Anti Monopoli

Undang-undang antimonopoli dapat dan harus membantu dalam mewujudkan


struktur ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam
penjelasan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa ”Ekonomi diatur
oleh kerjasama berdasarkan prinsip gotong royong”, termuat pikiran demokrasi
ekonomi, yang dimaksudkan ke dalam Pasal 2 Undang – Undang Antimonopoli.
Demokrasi ciri khasnya diwujudkan oleh semua anggota masyarakat untuk
kepentingan seluruh masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan seluruh
rakyat.Pikiran pokok tersebut termuat dalam Pasal 2, yang dikaitkan dengan Huruf
a dan Huruf b dari pembukaannya, yang berbicara tentang pembangunan ekonomi
menuju kesejahteraan rakyat sesuai dengan UUD dan demokrasi ekonomi.
Disetujui secara umum bahwa negara harus menciptakan peraturan persaingan
usaha untuk dapat mencapai tujuan demokrasi ekonomi. Oleh karena terdapat tiga
sistem yang bertentangan dengan tujuan tersebut, yaitu :
1. liberalisme perjuangan bebas”, yang pada masa lalu telah melemahkan
kedudukan Indonesia dalam ekonomi internasional;
2. sistem penganggaran belanja yang menghambat kemajuan dan
perkembangan ekonomi
3. sistem pengkonsentrasian kekuatan ekonomi, oleh karena segala monopoli
akan merugikan rakyat.
Hanya perundang-undangan antimonopoli yang dapat mencegah timbulnya
ketiga sistem tersebut, karena melindungi proses persaingan usaha, menjamin tata
persaingan usaha dan mencegah terjadinya dominasi pasar. Hal tersebut dijabarkan
melalui asas. Asas dari Undang-Undang Antimonopoli sebagaimana diatur pada
Pasal 2 bahwa:
“Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum”.
Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945
dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat
ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945. Demokrasi ekonomi pada
dasarnya dapat dipahami dari sistem ekonominya sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar.
Adapun tujuan dari Undang-Undang Antimonopoli sebagaimana diatur pada
Pasal 3 adalah untuk :
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku
usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy
objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negara-negara yang
memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan umum (public interest)
dan efisiensi ekonomi (economic efficiency) . Ternyata dua unsur penting tersebut
(Pasal 3 (a) juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya Undang-Undang
Antimonopoli.
Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama
Undang – Undang Antimonopoli. Bahwa peraturan mengenai persaingan akan
membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang
bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem
perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian
pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b Undang –
Undang Antimonopoli dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian
kesejahteraan nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang
menuju pada sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b Undang
– Undang Antimonopoli.
Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap
pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya
penyalahgunaan wewenang disektor ekonomi. Selaku asas dan tujuan, Pasal 2 dan
3 tidak memiliki relevansi langsung terhadap pelaku usaha, karena kedua pasal
tersebut tidak menjatuhkan tuntutan konkrit terhadap perilaku pelaku usaha.
Walaupun demikian, kedua pasal tersebut harus digunakan dalam interpretasi dan
penerapan setiap ketentuan dalam Undang – Undang Antimonopoli.
Peraturan persaingan usaha agar diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga
tujuan-tujuan yang termuat dalam Pasal 2 dan 3 tersebut dapat dilaksanakan
seefisien mungkin. Misalnya, sehubungan dengan penerimaan dan jangkauan dari
rule of reason dalam rangka ketentuan tentang perjanjian-perjanjian yang dilarang
(Pasal 4-16), harus diperhatikan bahwa Pasal 2 dan 3 tidak menetapkan tujuan-
tujuan yang dilaksanakan dalam bidang sumber daya manusia,kebijakan struktural
dan perindustrian.
Pada hakikatnya, keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan
secara optimal tercipatnya persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan
efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan
efisien agar mampu bersaing dengan para pesaingnya.
Berkaitan dengan hal itu, maka keberadaan Undang-Undang Antimonopoli
yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memerhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum tersebut mempunyai peranan
yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang
sehat di Indonesia.
Bertolak dari uraian di atas, jelas bahwa adanya hubungan antara demokrasi
ekonomi dan penciptaan iklim berusaha yang sehat. Demokrasi ekonomi
menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk
berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barng dan/atau jasa, dalam
iklim yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi
pasar yang wajar. Lebih dari itu, demokrasi ekonomi menghendaki bahwa setiap
orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat
dan wajar, sehingga tidak menimbukan adanya pemusatan kekuataan ekonomi
pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepatan yang telah
dilaksanakan oleh negara terhadap perjanjian perjanjian internasional.
Dengan menyimak secara seksama tujuan dari Undang-Undang
Antimonopoli yang teruraai di atas, dapat mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan
dari Undang-Undang Antimonopoli adalah untuk menciptakan efisiensi pada
ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan
bebas, dan memberikan sanksi terhadap para pelanggarnya. Tidak berlebihan bila
dikatakan bahwa tujuan pokok Undang-Undang Antimonopoli adalah efisiensi.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Sutan Remy Sjahdeini, bahwa terdapat 2
(dua) efisiensi yang ingin dicapai oleh undang-undang antimonopoli yaitu
efficiency dan allocative efficiency. Yang dimaksudkan dengan productive
efficiency ialah efisiensi bagi perusahaan dalam menghasilkan barang-barang dan
jasa-jasa.
Perusahaan dikatakan efisien apabila dalam menghasilkan barang-barang
dan jasa-jasa perusahaan tersebut dilakukan dengan biaya yang serendah-
rendahnya karena dapat menggunakan sumber daya yang sekecil mungkin.
Sedangkan yang dimaksud dengan allocative efficiency adalah efisiensi bagi
masyarakat konsumen. Dikatakan masyarakat konsumen efisiensi apabila para
produsen dapat membuat barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen dan
menjualnya pada harga yang para konsumen itu bersedia untuk membayar harga
barang yang dibutuhkan.
Berkaitan dengan pengaturan tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikemukakan
bahwa pada prinsipnya tujuan dari Undang-Undang Antimonopoli itu adalah untuk
menciptakan efisiensi dan keadilan terutama di suatu pasar tertentu dengan cara
menghilangkan distorsi pasar, antara lain: mencegah penguasaan pangsa pasar
yang besar oleh seorang atau beberapa orang pelaku pasar, mencegah timbulnya
hambatan terhadap peluang pelaku pasar pendatang baru, dan menghambat atau
mencegah perkembangan pelaku pasar yang menjadi pesaingnya.
Beranjak dari uraian di atas jelaskan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh
Undang-Undang Antimonopoli yang tercantum dalam Pasal 3 di atas adalah
efisiensi, baik berupa efisiensi ekonomi nasional maupun efisiensi kegiatan usaha.
Sedangkan apabila tujuan Undang-Undang Antimonopoli itu kita sederhanakan,
maka dapat disederhanakan menjadi 3 (tiga) tujuan, yaitu: pertama adalah memberi
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara atau pelaku usaha untuk
menjalankan kegiatan usaha, kedua adalah menciptakan iklim usaha yang sehat,
kondusif, dan kompetitif, dan ketiga adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat (
kepentingan umum).
Jadi, jelaslah bahwa eksistensi dan orientasi dari Undang-Undang
Antimonopoli adalah untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dengan cara
mencegah monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, serta untuk
menciptakan ekonomi pasar yang efektif dan efisien demi peningkatan
kesehjahteraan rakyat. Dengan perkataan lain, eksistensi Undang-Undang
Antimonopoli adalah untuk memastikan bahwa sistem ekonomi yang berdasarkan
persaingan usaha dapat memotivasi para pelaku usaha untuk menghasilkan produk
barang dan/ atau jasa yang berkualitas dan harga yang terjangkau oleh konsumen
dengan memanfaatkan sumber-sumber produksi yang seminimal mungkin.
Akhirnya apapun namanya, persaingan usaha memberikan suatu kebebasan bagi
setiap pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk atau
meningkatkan kualitas pelayanan jasanya. Iklim persaingan usaha yang sehat
mendorong pelaku usaha mendorong pelaku usaha melakukan inovasi supaya dapat
bersaing dan bertahan pada pasar yang bersangkutan. Lebih dari itu, persaingan
usaha yang sehat pada akhirnya menguntungkan konsumen, dalam arti konsumen
memperoleh banyak pilihan atas barang dan jasa yang berkualitas dengan harga
yang terjangkau tadi.

3. Sistem Eknomi Pasar dan Persaingan Usaha


Setelah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, terjadi pergeseran
paradigma kebijan ekonomi nasional, yaitu pergeseran dari kebijakan ekonomi
yang mengedepankan pendekatan sentralistis dengan peran pemerintah yang sangat
dominan sebagai motor pembangunan ekonomi menjadi kebijakan pembangunan
dengan sistem ekonomi pasar yang wajar, dengan peran pelaku usaha dalam
sistem perekonomian nasional lebih besar. Oleh karena itu, peran pemerintah
tadinya sebagai pelaku ekonomi sekaligus sebagai regulator atau pengawas,
menjadi hanya berperan sebagai regulator atau pengawas. (Hermansyah, 2008:16)
Pembagian peran yang jelas antara pelaku usaha sebagai pelaku ekonomi dan
pemerintah sebagai regulator atau pengawas diharapkan dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi. Pemerintah sebagai regulator atau pengawas diamanatkan
untuk mampu mengembangkan iklim usaha yang mendorong persaingan usaha
yang sehat, sehingga dapat mendorong lahirnya para pelaku usaha yang berdaya
saing tinggi disemua sektor ekonomi.
Diberlakukannya Undang-Undang Antimonopoli dan dibentuknya Komisi
Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga publik, penegak undang-undang dan
wasit independen untuk masalah yang berkaitan dengan praktik persaingan usaha
merupakan salah satu tonggak penting dalam sistem perekonomian di Indonesia,
yang menjadi salah satu instrumen penting untuk memberlakukan sistem ekonomi
pasar sebagaimana dikemukakan Cheryl W. Gray.
Sistem ekonomi pasar berarti memberi kesempatan berusaha bagi setiap
pelaku usaha baik pelaku usaha dalam negeri maupun asing, dan proteksi proteksi
dari pemerintah tidak dikenal lagi, bahkan peran pemerintah sebagai pelaku usaha
perlahan dihilangkan, misalnya dengan melakukan privatisasi badan usaha milik
negara. Tentu saja dengan menerapkan sistem ekonomi pasar tersebut, Indonesia
menjadi terbuka bagi setiap pelaku usaha, dan terciptanya kondisi yang demikian
itu merupakan salah satu parameter bahwa tujuan memberi kesempatan berusaha
bagi setiap pelaku usaha terpenuhi. Dalam kaitan dengan hal ini, maka pemerintah
diposisikan semata mata sebagai regulator dan fasilitator. Oleh karenanya,
pemerintah berkewajiban mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan
kebijakan persaingan usaha untuk mendukung dan terselenggaranya persaingan
yang sehat pada pasar yang bersangkutan. Ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi
pasar terdapat persaingan bebas diantara pelaku usaha. Pelaku usaha bebas
melakukan kegiatan usahanya dalam mendukung pembangunan ekonomi, tanpa
adanya campur tangan dari pemerintah.
Persaingan usaha yang sehat merupakan salah satu kunci sukses bagi sistem
ekonomi pasar yang wajar. Dalam imlementasinya hal tersebut diwujudkan dalam
2 (dua) hal, yaitu: pertama, melalui penegakan hukum persaingan, dan kedua,
melalui kebijakan persaingan yang kondusif terhadap perkembangan sektor
ekonomi. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak boleh mendistorsi
pasar secara negatif, terutama yang dapat mengakibatkan berbagai praktik usaha
yang tidak sehat, karena mendorong terciptanya iklim persaingan usaha yang tidak
kondusif. Kedua hal sebagaimana telah diuraikan ini harus bersinergi untuk
menciptakan sebuah iklim persaingan usaha yang sehat dalam sistem ekonomi
Indonesia.
Berkaitan dengan pengaturan tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, dapat dikemukakan bahwa pada prinsipnya tujuan
dari UU Antimonopoli adalah menciptakan efisiensi dan keadilan terutama di pasar
tertentu dengan cara menghilangkan distorsi pasar, antara lain: mencegah
penguasaan pangsa pasar, mencegah timbulnya hambatan terhadap peluang pelaku
pasar pendatang baru, dan menghambat atau mencegah perkembangan pelaku
pasar yang menjadi pesaingnya.
Perlu diingat bahwa persaingan bebas dalam ekonomi pasar yang
dikembangkan di Indonesia bukanlah dalam arti bebas sebebas bebasnya seperti
dalam pengertian laissez fair (teori klasik laissez fair dari Adam Smith yang
menyatakan bahwa pasar seharusnya dibiarkan bebas tanpa intervensi dari
pemerintah), melainkan bebas terikat dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang dalam hal ini antara lain adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berkaitan
dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa tugas sistem hukum adalah mengontrol
jalannya perekonomian, yaitu dengan mendayagunakan hukum secara efektif agar
dapat mengoperasikan sistem pasar, persaingan bebas, dan sebagainya.
Iklim persaingan usaha yang sehat akan menjamin tercapainya efisiensi dan
efektivitas sistem perekonomian. Melalui persaingan usaha yang sehat pula, akan
terjamin adanya kesempatan berusaha yang sama antara pelaku usaha besar,
menengah, dan kecil. Selain itu, persaingan usaha yang sehat pula, akan
meningkatkan daya saing industri dalam negeri sehingga mampu bersaing di pasar
dalam negeri maupun pasar internasional. Dengan demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa penegakan hukum persaingan dan implementasi kebijakan
persaingan yang efektif akan menjadi pengawal bagi terimplementasinya sistem
ekonomi pasar yang wajar, yang akan bermuara pada kesejahteraan rakyat
Indonesia.

4. Pengecualian Berlakunya UU Antimonopoli

Pasal 50 UU Antimonopoli memberikan pengecualian-pengecualian berlakunya


semua ketentuan dalam undang-undang. Diantara pengecualian-pengecualian tersebut
terdapat beberapa jenis perjanjian, yaitu:
a. perjanjian untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
berlaku,
b. perjanjian yang berkaitan dengan HaKI, serta perjanjian yang berkaitan
dengan waralaba,
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang
tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan,
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan
untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan,
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan dan perbaikan standar
hidup masyarakat,
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi,
g. perjanjian ekspor yang tidak menggangu kebutuhan dan.atau pasokan
pasar dalam negeri,
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil, atau
i. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk
melayani anggotanya.
Sangat disayangkan karena penjelasan undang-undang sangat tidak memadai dan
tidak memberikan elaborasi dan tuntutan berbagai seluk beluk perjanjian yang
dikecualikan tersebut, hanya disebutkan “cukup jelas”tersebut justru membuka
peluang bagi para pelaku usaha untuk memanfaatkannya sehingga ketidakjelasan
tersebut dikhawatirkan akan disalagunakan, kecuali KPPU mengantisipasinya lebih
dini.
Pengalaman pada zaman orde baru membuktikan bahwa perjanjian untuk
melaksanakan peretauran perundang-undangan dapat disalahgunakan oleh pemerintah
atau pelaku usaha untuk mengadakan kolusi dengan pemerintah dengan cara membuat
peraturan yang sangat menguntungkan beberapa beberapa pelaku usaha
tertentu,sepertu peraturan untuk memproteksi kelompok usaha tertentu, atau
mendirikan kartel baru. Atas dasar kepentingan ekonomi nasional, peraturan peraturan
tersebut dapat dimungkinkan, namun akuntabilitas dan transpransi peraturan tersebut
kiranya harus dirumuskan secara jelas dan tegas dalam pearturan perundang-
undangan.
Undang-undang ini juga tidak memberikan batasan hak atas kekayaan intelektual
yang dikecualikan dan justru memberikan pengecualian yang mutlak atas berlakunya
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini. Kecendrungan dewasa ini memandang
HaKI dengan pembatasan-pembatasan tertentu dalam konteksnya dengan persaingan
usaha. Jika perjanjian tie-in sebagai bentuk perjanjian tertutup vide Pasal 15 (2)
Undang-undang Antimonopoli dan jika pemilik paten mensayaratkan pelaku usaha
terkait untuk membeli produknya yang tidak/belum dipatenkan, maka pihak
pemegang paten akan mempunyai kekuataan untuk mengatur pasar (market power)
dan ini akan menghambat terjadinya persaingan.
Pengecualian terhadap monopoli oleh BUMN atau lembaga yang ditunjuk oleh
pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 51 perlu dipersoalkan sehubungan dengan
aspek keadilan suatu aturan hukum. Seharusnya BUMN yang tidak perlu
dikecualiakan dari ketentuan dalam Pasal 51 adalah BUMN yang sebagian sahamnya
telah dimiliki oleh investor asing atau semua BUMN yang telah memenuhi kriteria
sehat sekali dan sehat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri
Keuangan RI No. 826/KMK.013/1992 tentang Perubahan Keputusan Menteri
Keuangan RI No. 740/KMK.00/1989 tanggal 28 Juni 1989 tentang Peningkatan
Efisiensi dan Produktivitas BUMN.
Sementara yang dimaksud dengan pelaku usaha yang tergolong dalam usaha
kecil dalam Pasal 50 huruf h adalah pelaku usaha sebagaimana dimaksud Undang-
Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.
Mengenai apa yang dimaksud dengan usaha kecil ini tidak dirumuskan secara
jelas dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil, tetapi hanya
ditentukan kriteria bahwa suatu kegiatan usaha itu disebut sebagai usaha kecil apabila
memenuhi kriteria sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5. Adapun kriteria-kriteria
usaha kecil yang ditentukan dalam Pasal 5 tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,
(2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah),
(3) Milik warga negara Indonesia,
(4) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan usaha menengah dan usaha besar, dan
(5) Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum,
atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pengecualian terhadap kegiatan usaha
koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 50 huruf i di atas bahwa yang dimaksud dengan melayani
anggotanya adalah memberi pelayanan hanya kepada anggotanya dan bukan kepada
masyarakat umum untuk pengadaan kebutuhan pokok, kebutuhan sarana produksi
termasuk kredit dan bahan baku, serta pelayanan untuk memasarkan dan
mendistribusikan hasil produksi anggotanya yang tidak mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.

1. Cobalah bersama teman teman anda membuat analisis mengenai hubungan


antara demokrasi ekonomi dan sistem hukum persaingan yang sehat!
2. Apakah anda setuju, apabila perjanjian yang terkait dengan HaKI dan
monopoli oleh BUMN dikecualikan dari UU Antimonopoli? Apa alasannya,
jelaskan!
c. Perjanjian, Kegiatan, dan Posisi Dominan yang dilarang dalam Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia.

Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-


perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang
adil terhadap pihak yang ekonomi atau sosialnya lebih lemah dengan dalih
pemeliharaan persaingan yang sehat. Terjadinya hal yang demikian itu antara lain
disebabkan kurangnya pemahaman kalangan pelaku usaha terhadap Undang-Undang
Antimonopoli.
Telah dikemukakan bahwa persaingan usaha memang dapat membantu
meningkatkan kualitas suatu produk barang dan /atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku
usaha, dengan harga yang terjangkau oleh konsumen, sehingga tidaklah berlebihan
bila dikatakan bahwa adanya persaingan usaha yang sehat itu dianggap sebagai
katalisator menuju perkembangan industri, usaha, dan ekonomi pada umumnya.
Untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat, Undang- Undang
Antimonopoli mengatur secara jelas dan terstruktur mengenai perjanjian yang
dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan. Disadari oleh pembentuk
undang-undang bahwa ketiga hal ini memang secara substansi berpotensi atau
membuka peluang besar untuk terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat, apalagi sebagian besar transaksi bisnis didasarkan pada perjanjian antara
pelaku usaha.

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik praktik bisnis itu adanya
berbagai macam persaingan misalnya: ada persaingan yang sehat dan adil (fair
competition), ada persaingan yang tidak sehat (unfair competition), bahkan ada
persaingan yang destruktif seperti predatory price. Tentu saja, perilaku anti
persaingan seperti persaingan usaha yang tidak sehat dan destruktif itu tidak
dikehendaki, karena mengakibatkan in-efisiensi perekonomian berupa hilangnya
kesejahteraan, bahkan mengakibatkan keadilan ekonomi dalam masyarakatpun
terganggu dan timbulnya akibat-akibat ekonomi dan sosial yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, ketertiban, maupun kepentingan umum.
1. Perjanjian yang Dilarang

Sebelum diperkenalkannya istilah perjanjian yang ada dalam Undang-


Undang Antimonopoli istilah perjanjian secara umum telah lama dikenal oleh
masyarakat. Wirjono menafsirkan perjanjian sebagai perhubungan hukum
mengenai harta benda antara dua pihak dalam hal mana suatu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu
hal, sedang pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan dari perjanjian itu.
Sedangkan Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa, dimana
seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu.( Wirjono, Prodikoro, 1989:9)
Selanjutnya Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan
atau perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Selain dari perjanjian,
dikenal pula istilah perikatan. Namun, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tidak merumuskan apa itu suatu perikatan. Oleh karenanya doktrin berusaha
merumuskan apa yang dimaksud dengan perikatan yaitu suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menutut sesuatu hal (prestasi) dari pihak lain yang berkewajiban memenuhi
tuntutan tersebut.
Dari defenisi tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan salah
satu sumber dari perikatan. Pasal 1233 KUH Perdata dikatakan bahwa suatu
perikatan ada yang lahir karena perjanjian dan ada yang dilahirkan karena undang-
undang. Suatu prestasi dalam suatu perikatan menurut Pasal 1234 KUH Perdata
dapat berupa 3 macam. Pertama kewajiban untuk memberikan sesuatu. Kedua,
kewajiban untuk berbuat sesuatu, dan ketiga kewajiban untuk tidak berbuat
sesuatu.
Dalam sistem hukum perjanjian, maka dianut sistem terbuka, artinya para
pihak mempunyai kebebasan yang sebesar-besarnya untuk mengadakan perjanjian
yang berisi dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum
dan kesusilaan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang pada
intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya Pasal 1320
KUH Perdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi
4 syarat. Pertama, sepakat mereka untuk mengikatkan diri. Kedua, kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian. Ketiga, suatu hal tertentu, dan keempat, suatu
sebab (causa) yang halal.
Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dalam KUH Perdata ini merupakan
asas-asas dan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk semua perjanjian
secara umum. Disamping itu suatu Undang-Undang khusus dapat saja mengatur
secara khusus yang hanya berlaku untuk ketentuan-ketentuan dalam undang
undang yang khusus tersebut. Hal ini dapat ditemui dalam Undang –Undang
Antimonopoli yang mengatur secara khusus apa yang dimaksud dengan perjanjian
dalam UU ini.
Secara umum, perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa dimana dua orang
atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Menurut Pasal 1 ayat
(7) Undang-Undang Antimonopoli, perjanjian didefinisikan sebagai: “Suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau
lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.
Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang-Undang
Antimonopoli, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Antimonopoli
merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis,
kedua duanya diakui atau digunakan sebagai alat bukti dalam kasus persaingan
usaha.
Sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya dianggap tidak begitu kuat
sebagai alat bukti di pengadilan, karena hukum acara perdata yang berlaku pada
saat ini lebih menekankan dan mengganggap bukti tertulis dan otentik sebagai alat
bukti yang kuat. Pengakuan dan masuknya perjanjian yang tidak tertulis sebagai
bukti adanya kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam Hukum
persaingan usaha adalah sangat tepat dan telah sesuai dengan rezim Hukum
persaingan usaha yang berlaku di berbagai negara.
Pada umumnya para pelaku usaha tidak akan begitu ceroboh untuk
memformalkan kesepakatan diantara mereka dalam suatu bentuk tertulis, yang
akan memudahkan terbuktinya kesalahan mereka. Oleh karenanya perjanjian
tertulis diantara para pelaku usaha yang bersekongkol atau yang bertentangan
dengan Hukum Persaingan Usaha akan jarang ditemukan. Undang – Undang
Antimonopoli mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku
usaha, yaitu

Jenis-Jenis Perjanjian yang Dilarang


a. Oligopoli
Menurut Black’s Law Dictionary, oligopoli adalah: “economic condition
where only a few companies sell substansially similar or standardized
products”

Menurut Pasal 4 ayat (1) dan (2) Oligopoli adalah:


(1) “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
untuksecara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) “Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama


melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga)
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu”.

b. Penetapan Harga
Menurut Black’s Law Dictionary, penetapan harga adalah: “ a combination
formed for the purpose of and with the effect of raising, depressing, fixing,
pegging, or stabilizing the price of a commodity”

Perjanjian penetapan harga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Antimonopoli.
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan
yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

Ketentuan Pasal Pasal 5 ayat (1) dan (2) di atas adalah perjanjian penetapan
harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan. Penetapan harga ini dapat dilakukan sesama pelaku usaha yang
menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang sama dengan menetapkan
harga yang harus dibayar oleh konsumen.

c. Pembagian Wilayah
Pembagian wilayah adalah perjanjian yang bertujuan membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 9 UU Antimonopoli.

Perjanjian pembagian wilayah dapat bersifat vertikal maupun horizontal.


Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi
persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar.

d. Pemboikotan
Perjanjian pemboikotan yang dilarang dalam UU Antimonopoli dibagi dalam
2 (dua) macam yaitu perjanjian yang bertujuan menghalangi pelaku usaha lain
untuk melakukan usaha yang sama, baik tujuan pasar dalam negeri maupun
luar negeri, dan perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa
dari pelaku usaha lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan
(2).

Pasal 10 ayat (1)


“Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama,
baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri”
Pasal 10 ayat (2)
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain
sehingga perbuatan tersebut:
a. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain;
b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang
dan/atau jasa dari pasar bersangkutan, dan

c. Kartel
Kartel adalah perjanjian yang mengandung maksud untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau
jasa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Undang - Undang Antimonopoli

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya,


yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan
atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

e. Trust
Trust adalah perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga
dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau
perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa. Pasal 12 Undang-Undang Antimonopoli,
berbunyi:

“ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya,
yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat”.
.
f. Oligopsoni
Adalah perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas
barang dan/atau jasa dalam pasar yang bersangkutan sebagaimana yang
ditentukan dalam pasal 13 Undang-Undang Antimonopoli.

g. Integrasi Vertikal
Dari sudut pandang perusahaan, integrasi vertikal memberi manfaat karena
memungkinkan perusahaan bersangkutan untuk mengurangi biaya produksi
dan distribusinya dengan cara mengintegrasikan kegiatan kegiatan yang
berurutan atau karena integrasi menjamin penyediaan saluran-saluran integrasi
yang dapat mempertahankan daya saing. Apabila suatu perusahaan telah
menguasai satu atau lebih tahapan vertikal, maka integrasi vertikal dapat
membawa dampak anti persaingan. Sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal
14 Undang-Undang Antimonopoli.

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.

h. Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3)
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa
tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu
harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa
pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha
pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

i. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri


Perjanjian dengan pihak luar negeri adalah perjanjian yang memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha yang tidak sehat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 Undang-
Undang Antimonopoli.

2. Kegiatan yang Dilarang


Dalam Undang - Undang Antimonopoli tidak ditentukan suatu rumusan mengenai
apa yang dimaksud “kegiatan” sebagaimana “perjanjian” . Oleh karena itu, dengan
berdasarkan pengertian “perjanjian” yang dirumuskan dalam Undang-undang
Antimonopoli tersebut dapat dirumuskan bahwa “kegiatan” adalah suatu aktivitas
yang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku usaha yang berkaitan dengan proses
dalam menjalankan kegiatan usahanya. Undang - Undang Antimonopoli mengatur
kegiatan-kegiatan yang dilarang yaitu:

a. Monopoli
Sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 bahwa monopoli adalah
penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha.
Lebih lanjut kegiatan monopoli diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang
- Undang Antimonopoli yang menyatakan bahwa:

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.

b. Monopsoni
Pada prinsipnya, monopsoni adalah menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar yang
bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Antimonopoli.
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu.
c. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19, 20, dan 21 Undang-Undang
Antimonopoli.

Pasal 19:

“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 di atas, jelas bahwa menolak atau


menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang
tidak wajar atau dengan alasan non ekonomi, misalnya karena perbedaan suku,
ras, status sosial, dan lain-lain.

Pasal 20:

“ Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan
cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan
maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat”

Pasal 21:
“ Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat”

e. Persekongkolan
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 persekongkolan atau konspirasi adalah
bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
lainnya dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan
pelaku usaha yang bersekongkol, merupakan kegiatan yang dilarang
sebagaimana diatur dalam Pasal 22, 23, dan 24 Undang - Undang
Antimonopoli.

Dari ketentuan Pasal 22, 23, dan 24, dapat dikatakan bahwa kegiatan
persekongkolan yang dilarang itu dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu:
(1) Persekongkolan yang berkaitan dengan tender, mencakup pegaturan atau
penentuan pemenang tender yang tidak wajar.
(2) Persekongkolan yang berkaitan dengan informasi atau rahasia perusahaan,
yaitu persengkokolan untuk mendapatkan informasi yang dikategorikan
sebagai rahasia perusahaan dari pelaku usaha pesaing dengan cara ilegal
(3) Persengkolan yang berkaitan dengan upaya menghambat produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pelaku usaha pesaingnya
dengan cara curang dan ilegal.

3. Posisi Dominan

Posisi dominan dapat dikatakan salah satu kunci pokok (pusat) dari
persaingan usaha. Mengapa? Karena hampir pada setiap kasus hukum
persaingan usaha, menjadi perhatian pertama lembaga persaingan usaha, dalam
hal ini di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah
terhadap posisi dominan suatu perusahaan pada pasar yang bersangkutan. Siapa
yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan? Atau kalau
suatu kasus dilaporkan ke KPPU apakah terlapor mempunyai posisi dominan?
Kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan ya, bagaimana
pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya, maka
yang akan dilakukan adalah tinggal membuktikan, apakah pelaku usaha tersebut
benar-benar melakukan penyalahgunaan posisi dominannya dan bagaimana
pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya.
Kalau pelaku usaha (terlapor) tidak mempunyai posisi dominan, bagaimana
terlapor dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat di pasar yang
bersangkutan? Dan hal yang perlu dicari tahu dan dibuktikan adalah apakah
pasar yang bersangkutan terdistorsi atau tidak. Bentuk pasar terdistorsi misalnya
pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke pasar yang bersangkutan, karena adanya
hambatan-hambatan pasar (entry barrier) atau apakah terlapor mempunyai
hubungan terafiliasi dengan pelaku usaha lain sehingga dapat melakukan
hambatan-hambatan persaingan usaha? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan
dielabolarasi dalam bab ini, ditinjau dari aspek Undang – Undang Antimonopoli
sehingga mempermudah pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan posisi
dominan dan penyalahgunaannya.
Posisi dominan atau menjadi lebih unggul di pasar bersangkutan adalah
menjadi salah satu tujuan pelaku usaha. Oleh karena itu, setiap pelaku usaha
berusaha menjadi yang lebih unggul (market leader) pada pasar yang
bersangkutan. Penguasaan posisi dominan di dalam hukum persaingan usaha
(HPU) tidak dilarang, sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi
dominannya atau menjadi pelaku usaha yang lebih unggul (market leader) pada
pasar yang bersangkutan atas kemampuannya sendiri dengan cara yang fair.
Konsep HPU adalah menjaga persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar
yang bersangkutan dan mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan (menjadi unggul) melalui persaingan usaha yang
sehat dan efektif. Undang – Undang Antimonopoli tidak melarang pelaku usaha
menjadi perusahaan besar. Undang – Undang Antimonopoli justru mendorong
pelaku usaha untuk dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan. Persaingan
inilah yang memacu pelaku usaha untuk melakukan efisiensi dan inovasi-
inovasi untuk menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan harga yang
kompetitif dibandingkan dengan kualitas produk dan harga jual dari pesaingnya.
Persainganlah yang mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang
dominan.
Dalam perspektif ekonomi, posisi dominan adalah posisi yang ditempati
oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. Dengan pangsa pasar
yang besar tersebut perusahaan memiliki market power. Dengan market power
tersebut, perusahaan dominan dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat
dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya. Dalam Undang – Undang
Antimonopoli, posisi dominan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau suatu pelaku usaha
mempunyai posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar yang
bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada
pasokan atau penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu.
Ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang – Undang Antimonopoli tersebut
menetapkan syarat atau parameter posisi dominan. Dari ketentuan Pasal 1 angka
4 tersebut dapat disimpulkan terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku
usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan, yaitu pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai
posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar
yang bersangkutan dalam kaitan:
a) pangsa pasarnya;
b) kemampuan keuangan;
c) kemampuan akses pada pasokan atau penjualan; dan
d) kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu.
Syarat yang ditetapkan oleh Pasal 1 angka 4 Undang – Undang
Antimonopoli yang penting adalah bahwa pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya dalam kaitan pangsa
pasar, kemampuan keuangan, kemampuan akses pasa pasokan atau penjualan,
dan kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu. Oleh karena itu menurut hukum hanya satu pesaing (yang mempunyai
posisi dominan) yang dapat menguasai posisi dominan di pasar bersangkutan.
Namun Undang – Undang Antimonopoli tidak menjelaskan, apakah syarat-
syarat tersebut harus dipenuhi oleh suatu pelaku usaha secara kumulatif atau
tidak. Artinya, apakah jika salah satu syarat tersebut dimiliki oleh pelaku usaha
dapat dinyatakan bahwa pelaku usaha tersebut sudah mempunyai posisi
dominan? Akan tetapi salah satu ciri-ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan adalah, jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan persaingan usaha
tidak sehat pada pasar yang bersangkutan secara mandiri/individu tanpa
memperhitungkan pesaing-pesaingnya. Kedudukan seperti ini kepemilikan
pasang pasarnya, atau karena kepemilikan pangsa pasar ditambah dengan
kemampuan pengetahuan tehnologinya, bahan baku atau modal, sehingga
pelaku usaha tersebut mempunyai kekuasaan untuk menentukan harga atau
mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian penting dari produk-
produk yang diminta.
Secara yuridis, posisi dominan diartikan sebagai keadaan dimana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dengan
kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi
tertinggi diantara pesaingnya di pasar yang bersangkut dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu. Undang-Undang Antimonopoli membedakan 4 macam posisi dominan,
yaitu:
1. Posisi Dominan yang bersifat umum
Pasal 25 ayat (1) dan (2)
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa
yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1)
apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%
(lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.

2. Posisi Dominan karena jabatan rangkap


Pasal 26 :
“ Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari
suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi
direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan
tersebut:
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa t
ertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat”

3. Posisi Dominan karena pemilikan saham mayoritas


Bahwa selain rangkap jabatan direksi dan komisaris perusahaan, kepemilikan
saham seseorang di perusahaan juga membuka peluang terjadinya posisi
dominan yang menyebabkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 25
ayat (1).
“ Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang
bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan”

4. Posisi Dominan karena penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan


Dalam Undang - Undang Antimonopoli ditentukan bahwa penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan suatu badan usaha dilarang apabila
perbuatan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana yang diatur dalam Pasal
28 ayat (1), (2) dan Pasal 29 ayat (1), (2).

1. Apakah menurut anda terdapat persamaan dan hubungan yang signifikan


antara kartel dan penetapan harga ( fixing price) ?
2. Menurut anda, praktik pengadaan barang dan jasa dalam tender seperti
apakah yang kemudian dapat dikualifikasikan sebagai kegiatan
persekongkolan?
3. Terkait dengan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan usaha,
ketentuan manakah yang harus diperhatikan selain UU No. 5 Tahun
1999? Jelaskan mengapa demikian!

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi di atas, kerjakan latihan


berikut.
Coba carilah kasus real yang menarik untuk dikaji, yang anda anggap bersama
kelompok saudara merupakan salah satu hal yang mengakibatkan praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat!

Petunjuk Jawaban Latihan


Untuk mampu menganalisis kasus dengan baik, pahami unsur unsur dari jenis jenis
perjanjian yg dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan.

D. Perlindungan Terhadap Pelaku Usaha Kecil dalam Hukum Persaingan Usaha


Indonesia.

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi


dengan berbagai prinsipnya yang menentukan bahwa masyarakat harus memegang
peranan aktif dalam kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, dalam sistem yang
berdasarkan demokrasi ekonomi, usaha swasta memegang peranan yang penting
sebagai wahana partisipasi masyarakat di dalam pembangunan, selain badan usaha
milik negara dan koperasi.
Pemerintah berkewajiban memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap
pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia
usaha. Baik pemerintah melalui penetapan peraturan perundang-undangan maupun
dunia usaha sendiri melalui pengembangan etika yang sehat dan berkewajiban
melindungi masyarakat terhadap perilaku usaha yang merugikan kepentingan umum.
Persaingan antar para pelaku usaha adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
kegiatan usaha. Dalam demokrasi ekonomi, iklim persaingan yang sehat mutlak perlu
diciptakan dan tetap terpelihara, sedangkan suasana persaingan yang tidak sehat harus
dihindarkan. Salah satu jenis pelaku usaha adalah pelaku usaha kecil yang juga
menjalankan kegiatan usaha. Pelaku usaha kecil mendapatkan perlindungan hukum
dalam menjalankan usahanya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun
1995 Tentang Usaha Kecil (selanjutnya disebut UU Usaha Kecil) . Pasal 8 UU Usaha
Kecil menyatakan bahwa:

“ Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek persaingan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dengan menetapkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk:
a. Meningkatkan kerja sama sesama usaha kecil dalam bentuk koperasi,
asosiasi, dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar
usaha kecil.
b. Mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan
yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli, monopsoni, yang
merugikan usaha kecil.
c. Mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang
perseorangan atau kelompok tertentu yang merugikan usaha kecil.
Ketentuan Pasal 8 di atas mengandung arti bahwa iklim usaha yang hendak
diciptakan oleh UU Usaha Kecil adalah iklim usaha yang memungkinkan
perkembangan usaha kecil dengan menghindari terjadinya praktik usaha yang tidak
wajar seperti monopoli, oligopoli, monopsoni, dan penguasaan pasar dan lain lain
yang dapat mengakibatkan iklim usaha yang tidak sehat, tidak adil, serta dapat
mematikan kegiatan usaha kecil.
Hakekat UU Usaha Kecil dalam rangka memberi peluang usaha bagi usaha kecil
semakin kuat dengan berlakunya Undang - Undang Antimonopoli. Kedua undang-
undang ini memiliki hubungan yang erat satu sama lain dalam upaya menciptakan
persaingan usaha yang sehat dan memberikan perlindungan bagi pelaku usaha kecil.
Ketentuan Undang - Undanf Antimonopoli yang berkaitan dengan perlindungan
hukum terhadap pelaku usaha kecil yaitu melalui Pasal 3 huruf b yang menyatakan
bahwa:
“mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil”

Lebih lanjut, mengenai perlindungan terhadap pelaku usaha kecil ini diatur pula
dengan tegas dalam ketentuan Pasal 50 huruf h Undang-Undang Antimonopoli yang
menyatakan bahwa:

“ yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah: hanya pelaku


usaha yang tergolong dalam usaha kecil”

Pengecualian yang diberikan Undang-Undang Antimonopoli terhadap pelaku


usaha kecil disebabkan karena sangat sulit bagi mereka bersaing dengan pelaku uaha
besar dan menengah. Bentuk perlindungan yang diberikan undang-undang ini adalah
wujud dari pelaksanaan demokrasi ekonomi yang antara lain didasarkan pada prinsip
keadilan. Misalnya pelaku usaha yang besar tidak dihalangi dalam upaya memperoleh
kemajuan dan perkembangan, tetapi ia juga berkewajiban membantu perkembangan
pelaku usaha yang kecil. Pelaku usaha yang lemah perlu dibantu dan diberi dorongan
agar maju lebih cepat. Dengan demikian, tentu semua pelaku usaha dapat tumbuh dan
berkembang bersama.
Dengan adanya ketentuan tersebut dapat mendorong terciptanya kesempatan
berusaha bagi setiap warga negara dalam suasana persaingan yang sehat dan wajar
sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuataan ekonomi pada pelaku
usaha tertentu saja. Perlindungan hukum tentu saja dapat memberikan peluang bagi
pelaku usaha kecil untuk dapat memajukan dan mengembangkan kegiatan usaha yang
dilakukannya.
Perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Antimonopoli bagi pelaku
usaha kecil adalah wujud dari pelaksanaan demokrasi ekonomi yang antara lain
mengandung prinsip keadilan, kebersamaan, dan berkeadilan. Keadaan ini tentu dapat
mendorong terciptanya kesempatan brusaha bagi setiap warga negara dalam suasana
persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusataan
kekuataan ekonomi pada pelaku usaha tertentu saja. Perlindungan hukum ini tentu
saja dapat memberi peluang bagi pelaku usaha kecil untuk dapat memajukan dan
mengembangkan kegiatan usaha yang dilakukannya.
Tidak dapat disangkal, bahwa setiap pelaku usaha memiliki peranan dan
fungsinya masing-masing dan ikut menentukan jalannya perekonomian nasional.
Terlebih lagi dalam sistem ekonomi yang berdasarkan pada demokrasi ekonomi yang
dikembangkan di Indonesia, hubungan antar pelaku usaha yang satu dengan lainnya
harus bersifat tidak semata-mata didasari oleh pertimbangan ekonomi semata, tetapi
perlu membangun hubungan yang saling menunjang berdasarkan atas asas semangat
kebersamaan, kekeluargaan, dan keasilan. Misalnya, pelaku usaha besar tidak
dihalangi dalam upayanya memperoleh kemajuan dan perkembangan, tetapi
berkewajiban membantu perkembangan pelaku usaha yang lebih kecil. Pelaku usaha
yang lemah perlu dibantu dan diberi dorongan agar dapat maju lebih cepat. Dengan
demikian, tentu semua pelaku usaha dapat tumbuh dan berkembang bersama.

1. Secara filosofis, mengapa pelaku usaha kecil perlu dikecualikan dari UU


Antimonopoli sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50?
2. Apakah menurut anda, UU Antimonopoli dan UU Usaha Kecil sudah cukup
harmonis untuk melindungi usaha usaha kecil dalam konteks persaingan usaha
yang sehat di Indonesia? Lengkapi dengan dasar hukumnya!

E. Penegakan Hukum Persaingan Usaha oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha

1. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Untuk mengawasi pelaksanaan suatu aturan hukum, diperlukan adanya


lembaga yang memperoleh kewenangan dari negara. Efektivitas implementasi itu
diyakini mampu meningkatkan keberhasilan suatu lembaga persaingan dalam
penegakan hukm persaingan usaha itu sendiri. Negara yang memiliki hukum
persaingan usaha berada dalam kondisi aktual yang berbeda dalam sistem
penegakan hukum persaingan dan kewenangan lembaga persaingan usahanya.
Di Indonesia, esensi keberadaan Undang- Undang Antimonopoli pasti
memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya Undang-
Undang Antimonopoli sebagai landasan kebijakan persaingan diikuti dengan
berdirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha guna memastikan dan melakukan
pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan dalam Undang-Undang
Antimonopoli tersebut.
Dengan kewenangan itu diharapkan lembaga pengawas tersebut dapat
menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik baiknya serta mampu bertindak
secara independen ( Munir, Fuadi, 1999:37)
Sejalan dengan hal itu, dalam rangka menegakkan peraturan perundang –
undangan dalam bidang persaingan usaha, maka diperlukan lembaga yang
bertanggung jawab sebagai pengawas pelaku usaha apabila terjadi praktik praktik
yang melanggar ketentuan dalam undang – undang. Melalui Keputusan Presiden
Nomor 75 Tahun 1999 dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
yang diberi mandat oleh UU No. 5 Tahun 1999.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( selanjutnya akan disebut KPPU)
sebagai lembaga negara komplementer (state auxiliary) memiliki tugas yang
kompleks dalam mengawasi praktik persaingan usaha tidak sehat oleh para
pelaku usaha. Hal ini disebabkan karena semakin massive nya aktivitas bisnis
dalam berbagai bidang dengan modifikasi strategis dalam memenangkan
persaingan antar kompetitor. KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat
independen, dimana dalam menangani, memutuskan atau melakukan
penyelidikan suatu perkara tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun, baik
pemerintah maupun pihak lain yang memiliki conflict of interest, walaupun dalam
pelaksanaan wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden. KPPU
juga adalah lembaga quasi judicial yang mempunyai wewenang eksekutorial
terkait kasus-kasus persaingan usaha.
Dunia usaha adalah dunia persaingan, dengan demikian bagaimana agar
persaingan tersebut ditempuh dengan cara cara yang sehat, disinilah KPPU
memainkan perannya sebagai pengawas agar tidak terjadi praktik yang tidak
sehat. Peningkatan dan perkembangan aktivitas pelaku usaha di Indonesia yang
didominasi oleh segelintir konglomerat ketika rezim Soeharto berkuasa telah
menimbulkan sosial, ekonomi gap antara pengusaha kecil, menengah, dan sektor
sektor informal dengan konglomerat. Dengan monopoli dan praktik praktik
kolusif telah memposisikan Indonesia pada pertumbuhan ekonomi semu.
Sejak diberlakukan Undang – Undang Antimonopoli, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha memiliki sejumlah kewenangan sebagaimana lembaga yudisial.
Kewenangan tersebut meliputi investigative authority, enforcement authority, dan
litigating authority (Abdul Hakim Garuda Nusantara, Benny K Harman, 1999:9)
Pemahaman terhadap rumusan Pasal 36 Undang-Undang Antimonopoli yang
menyangkut kewenangan sebagai penyidik dan penyelidik yang dilakukan oleh
KPPU merupakan wilayah hukum pidana, dijadikan alasan yang dapat menjadi
dasar bagi KPPU dalam mencari / menemukan kebenaran materil, yaitu apakah
pelaku usaha melakukan pelanggaran Undang-Undang Antimonopoli atau tidak.
Sebagai contoh dalam kasus yang tengah ramai diperbincangkan saat ini yaitu
divestasi yang menggempur perusahaan perusahaan infrastruktur antara lain di
sektor telekomunikasi contohnya prihal privatisasi PT. Satelindo Tbk. Terhadap
kasus ini, KPPU tengah melakukan penyidikan untuk membuktikan apakah
kepemilikan saham Tamasex di PT. Indosat dan Telkomsel adalah suatu
pelanggaran terhadap Undang – Undang Antimonopoli atau tidak.
Apabila dibandingkan dengan komisi-komisi sejenis dengan dari negara-
negara lain seperti the Federal Trade Commission di Amerika Serikat, Fair
Trade Commission (FTC) di Jepang, Badan Anti Monopoli (Bunderkartellant) di
Jerman, posisi legalitas formal KPPU pada prinsipnya sama dengan ketiga negara
tersebut, walaupun pada kenyataannya komisi sejenis di negara-negara tersebut
jauh lebih efektif dibanding KPPU.
Sesuai dengan ketentuan Undang – Undang Antimonopoli, KPPU adalah
suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah
serta pihak lain. Komisi bertanggung jawab kepada presiden. Anggota komisi ini
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dari orang-orang yang memilik pengalaman dalam bidang usaha atau
mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi.
Pembentukan KPPU serta organisasinya ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Oleh sebab itu, tidak diragukan lagi secara formal komisi ini memiliki posisi yang
independen dan cukup untuk bebas melaksanakan kewenangan-kewenangan yang
diberikan kepadanya.
Pengawasan pelaksanaan yang dilakukan oleh KPPU dimaksudkan untuk
mewujudkan perekonomian Indonesia yang efisien melalui penciptaan iklim
usaha yang kondusif, yang menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha
yang sama bagi semua pelaku usaha dan berupaya mencegah praktik monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Tugas dan fungsi lain yang terpenting dari KPPU dalam Undang – Undang
Antimonopoli adalah dalam hal menjatuhkan putusan. Setelah melakukan
penyidikan dan penyelidikan sehingga terbukti adanya pelanggaran terhadap
Undang – Undang Antimonopoli, KPPU akan menjatuhkan putusan yang disertai
pemberian sanksi untuk pelanggar. Putusan yang dijatuhkan KPPU bersifat final
and binding, namun apabila pihak pelanggar merasa keberatan dengan putusan
tersebut, dapat mengajukan upaya hukum berupa keberatan sehingga putusan
akan dibatalkan di Pengadilan Negeri atau dilanjutkan oleh yang dikalahkan ke
Mahkamah Agung.

2 Tugas dan Fungsi KPPU.

KPPU adalah lembaga publik, penegak dan pengawas pelaksanaan


Undang – Undang Antimonopoli, serta wasit independen dalam rangka
menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan larangan monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Perlu ditekankan bahwa melalui wewenang
pengawasan yang dimilikinya, KPPU diharapkan dapat menjaga dan mendorong
agar sistem ekonomi pasar lebh efisiensi produksi, konsumsi, dan alokasi,
sehingga pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Menurut konsiderans Keputusan Presiden RI Nomor 75 Tahun 1999, KPPU
dibentuk oleh pemerintah dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 34 ayat (1) UU No. 5/1999 yang menyatakan bahwa :
“ Pembentukan komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya
ditetapkan dengan Keputusan Presiden”
Lembaga KPPU mempunyai dua tugas yaitu menyusun peraturan
pelaksana, memeriksa dan menyelidiki serta mengadili pihak – pihak yang
melanggar undang – undang tersebut serta memberikan saran dan pertimbangan
terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Komisi yang diresmikan pada tanggal 7 Juni 2000
ini, bertanggung jawab kepada presiden dan melaporkan hasil kerjanya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
KPPU memiliki yurisdiksi yang luas dan mempunyai empat fungsi utama,
yaitu :
1. Fungsi hukum sebagai satu – satunya institusi yang mengawasi
implementasi perundangan.
2. Fungsi administratif yang bertanggung jawab mengadopsi dan
mengimplementasikan peraturan perundangan.
3. Fungsi penengah dimana KPPU menerima keluhan dari pihak swasta,
melakukan investigasi independen, tanya jawab dengan semua pihak
yang terlimbat, dan mengambil keputusan.
4. Fungsi penyidik dan penyelidik.

Dalam rangka menjalankan fungsinya mengawasi pelaksanaan Undang-undng


anti monopoli, KPPU bertugas:
1. melakukan penelitian terhadap perjanjian yang apat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat
2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat
3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat
4. mengambil tindakan sesuai dengan wewenangnya
5. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah
dan Hambatan'yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Undang-Undang Antimonopoli menjelaskan bahwa wewenang KPPU adalah
sebagai berikut:

a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan
oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi
sebagai hasil penelitiannya;
d.menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau
tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang ini;
f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
g.meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h.meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini;
i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat;
k.memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1999.
Dalam menjalankan tugasnya, KPPU diberi wewenang menerima laporan
dari masyarakat, melakukan penelitian, melakukan penyelidikan dan atau
pemeriksaan serta menyimpulkan ada tidaknya praktek monopoli dan atau usaha
persaingan tidak sehat, KPPU bahkan dapat memutuskan ada tidaknya kerugian
dari dari pelaku usaha lain atau masyarakat serta menjadapat meminta bantuan
penyidik untuk menghadirkan pihak-pihak yang dipanggil tetapi tidak bersedia
datang.
Dalam menjalankan kewenangannya KPPU dapat melaksanakan
persidangan, memanggil para pihak, memeriksa saksi-saksi dan bukti, meminta
keterangan. Investigasi merupakan hal yang sangat menentukan, hasil dari
investigasi inilah yang akan dipergunakan guna menetapkan terjadi atau tidaknya
pelanggaran hukum persaingan usaha, pelaksanaan investigasi oleh KPPU harus
dilakukan secara cermat dan akurat. Investigasi biasanya dilakukan untuk
memperoleh keterangan mengenai dua hal, yaitu conduct dan effect. Conduct
umumnya dilakukan sebagai suatu corporate action dan bukan perilaku personal,
sedangkan effect adalah dampak yang diakibatkan oleh conduct tersebut pada
pasar bersangkutan.
Oleh karena itu, observasi dalam investigasi perkara persaingan usaha lebih
diarahkan pada document study dan market observation. Melalui document study
dapat diketahui kronologis suatu corporate action, tujuan yang hendak
dicapainya, resources yang digunakannya, dan berbagai konsiderannya. Melalui
market observation dapat diidentifikasi pergerakan harga barang dan atau jasa,
trend penjualan atau pembelian dari suatu pelaku usaha dalam kurun waktu
tertentu, sehingga dapat diidentifikasi kausalitas antara effect yang terjadi di pasar
dengan conduct oleh suatu pelaku usaha.
Interview merupakan teknik utama yang selama ini dilaksanakan dalam
investigasi perkara persaingan usaha. Melalui interview dapat diperoleh seluruh
keterangan-keterangan yang diperlukan, cross-check terhadap akurasi suatu
dokumen, dan penggambaran kondisi-kondisi pre-conduct yang mungkin tidak
terekam melalui dokumen-dokumen resmi perusahaan. Dengan demikian, teknik
investigasi yang utama di KPPU adalah:
1. Interview 
2. Document study dan 
3. Market observation.
Melalui tiga teknik tersebut keterangan-keterangan yang diperlukan dapat
dikumpulkan untuk selanjutnya dijadikan bahan untuk menetapkan apakah telah
terjadi atau tidak terjadinya suatu pelanggaran hukum persaingan usaha.
Putusan dalam kaitan dengan perkara yang menjadi kewenangannya
dapat berupa pembatalan terhadap perjanjian yang dinyatakan melanggar
ketentuan Undang – Undang Antimonopoli, perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan integrasi vertkal, perintah menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak
sehat dan atau merugikan masyarakat, perintah menyalahgunakan posisi
dominant, pembatalan penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham, pembayaran ganti rugi dan pengenaan denda kepada
pihak yang dintakan bersalah.
Dapat disimpulkan dari uraian di atas, bahwa rumusan kewenangan KPPU
cakupannya sangat luas karena ada unsur wewenang administratif (Pasal 47), ada
unsur quasi legislative power vide Pasal 35 (f) dan unsur quasi yudicial power
vide Pasal 36 (1). Di kemudian hari, tiga kekuasaan yang berada dalam tangan
satu lembaga akan banyak menimbulkan persoalan baik dari segi keseimbangan (
check and balance) maupun dari segi praktik pelaksanannya) pemahaman
terhadap rumusan kewenangan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36
menyangkut pemeriksaan dan penyidikan tersebut pada dasarnya KPPU ingin
mencari/menemukan kebenaran materril, yaitu apakah pelaku usaha melakukan
pelanggaran terhadap Undang -Undang Antimonopoli atau tidak. Pelaksanaan
Pasal 36 butir (c) akan mempertanyakan ketentuan dalam Pasal 1 butir (4)
KUHAP yang menegaskan bahwa hanya aparat kepolisian yang diberi wewenang
melakukan fungsi penyidikan.

3. Pendekatan dalam Hukum Persaingan Usaha

Dalam hukum persaingan usaha dikenal beberapa pendekatan dalam


penerapannya, yaitu pendekatan perse ilegal dan pendekatan rule of reason.
a. Pendekatan Perse Ilegal
Perse Ilegal adalah suatu perbuatan yang secara inheren bersifat dilarang
atau ilegal. Terhadap suatu perbuatan atau tindakan atau praktik yang bersifat
dilarang atau ilegal tanpa perlu pembuktian terhadap dampak dari perbuatan
tersebut.
Mengenai apa yang dimaksud dengan Perse Ilegal itu dapat juga
diartikan sebagai suatu terminologi yang menyatakan bahwa suatu tindakan
dinyatakan melanggar hukum dan dilarang secara mutlak, serta tidak
diperlukan pembuktian apakah tindakan tersebut memiliki dampak negatif
terhadap persaingan usaha.
Perbuatan-perbuatan seperti perjanjian penetapan harga, perjanjian
pemboikotan, dan perjanjian pembagian wilayah adalah contoh-contoh jenis
perbuatan yang diklasifikasikan sebagai Perse Ilegal.

b. Pendekatan Rule of Reason

Rule of Reason adalah suatu doktrin yang dibangun berdasarkan


penafsiran atas ketentuan Sherman Antitrust oleh Mahkamah Agung Amerika
Serikat yang diterapkan dalam kasus Standard Oil Co. Of New Jersey vs.
United State pada tahun 1911. Pendekatan rule of reason, yaitu penerapan
hukum dengan mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya suatu tindakan
atas suatu perbuatan pelaku usaha. Untuk menerapkan prinsip ini tidak hanya
diperlukan ilmu hukum, tetapi penguasaan terhadap ilmu ekonomi. Dengan
perkataan lain, melalui pendekatan rule of reason, apabila suatu perbuatan
dituduh melanggar hukum persaingan, maka pencari fakta harus
mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan tersebut menghambat
persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap proses persaingan dan
apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai pertimbangan lainnya.
Pertimbangan atau argumentasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah
aspek ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan terhadap golongan ekonomi
tertentu, dan fairness.
Untuk menerapkan prinsip rule of reason yang diperlukan tidak hanya
pengetahuan ilmu hukum, tetapi penguasaan ilmu ekonomi, karena dalam
banyak kasus bukan tidak mungkin perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
usaha itu secara ekonomi dapat dibenarkan.
c. Pendekatan lain

Selain pendekatan sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam hukum


persaingan usaha pada umumnya terdapat 2 pendekatan lain, yaitu pendekatan
de minimis rule, yaitu merupakan pengecualian melakukan kartel bagi pelaku
usaha sepanjang tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat (unfair
competition). Pendekatan ini dilakukan misalnya di Eropa, yang penerapannya
diizinkan jika pangsa pasar marginalnya kurang dari 5 (lima) persen.
Pendekatan lain adalah pendekatan teori teleologisch, yaitu teori yang
menerapkan ketentuan UU Antimonopoli sesuai dengan tujuan undang-undang
yang bersangkutan. Teori ini dikenal di Jerman.

4. Penegakan Hukum Persaingan Usaha oleh KPPU di Indonesia

Upaya KPPU dalam menegakkan Undang - Undang Antimonopoli dalam


rangka menjamin kesempatan beusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha
melalui upaya pencegahan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat dengan menerapkan prinsip rule of reason dan prinsip per se ilegal
tidaklah mudah, karena banyak hambatan dan tantangannya. Kendala intern
yang dihadapi KPPU antara lain adalah masih belum dapat mandirinya
lembaga tersebut secara finansial, karena sampai saat ini anggaran operasional
KPPU masih merupakan bagian dari anggaran pemerintah, sehingga
menimbulkan pertanyaan sejauhmana KPPU dapat menjaga indepedensinya,
sedangkan kendala ekstern adalah tantangan KPPU dalam melaksanakan
pengawasan dibidang hukum persaingan.
Meskipun menghadapi kendala dengan terbatasnya anggaran, namun
KPPU dianggap sebagai lembaga pengawas persaingan usaha yang terbaik
dikawasan ASEAN yang berhasil mengembangkan iklim persaingan usaha
yang sehat di Indonesia. Adanya ketidakpuasaan atas keputusan KPPU dari
pihak-pihak yang berperkara adalah contoh tantangan yang harus dihadapi dan
tidak mungkin dihindari. Contoh lain adalah sulitnya melakukan penyelidikan
terhadap para pelaku usaha, terutama pelaku usaha yang dekat dengan elit
kekuasaan, termasuk badan usaha milik negara. Oleh karena itu, KPPU
sebagai komisi yang mempunyai kompetensi mengawasi dan mengeliminasi
pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat harus selalu
meningkatkan profesionalisme dan komitmen dalam penegakan UU
Antimonopoli tersebut.
Sebagaimana diketahui, Undang –Undang Antimonopoli tidak mengatur
secara jelas hukum acara bagi KPPU dalam menjalankan tugas yang
diamanatkan baginya untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan
terhadap pelaku usaha dan para saksi, berkaitan dengan pelanggaran Undang –
Undang Antimonopoli. Tugas KPPU antara lain menangani dugaan
pelanggaraan Undang –Undang Anti monopoli berdasarkan laporan
masyarakat yang dirugikan atau mengetahui adanya pelanggaran UU tersebut
seperti yang diatur dalam Pasal 38.
1. Setiap orang yang mengetahui bahwa telah terjadi atau patut
diduga telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini
dapat melaporkan secara tertulis kepada komisi dengan
keterangan jelas tentang terjadinya pelanggaran dengan
menyertakan identitas pelapor;
2. Pihak yang dirugikan akibat pelanggaran terhadap undang-
undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada komisi
dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang terjadinya
pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan dengan
menyertakan identitas pelapor;
3. Identitas pelapor sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini
wajib dirahasikan oleh komisi;
4. Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini diatur lebih lanjut oleh
komisi.

Selain menangani laporan dugaan pelanggaran terhadap Undang –Undang


Antimonopoli yang dilakukan oleh pelaku usaha, KPPU juga dapat melakukan
pemeriksaan berdasarkan inisiatifnya sendiri sebagaimana yang diamanatkan
dalam Pasal 40.
1. Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila
ada dugaan terjadi pelanggaraan undang-undang ini walaupun tanpa
adanya laporan
2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39.

Berdasarkan inisiatifnya, sampai akhir tahun 2002 (tiga tahun sejak


Undang-Undang Antimonopoli disahkan, namun satu tahun setengah sejak
undang-undang tersebut berlaku secara efektif), KPPU telah memperoleh 4
(empat) kasus. Khusus tahun 2002 saja ada tiga kasus yang terdiri atas dua
kasus dugaan persekongkolan tender dan satu kasus dugaan kartel (Buku
Pedoman KPPU,2002:10) Inisiatif yang dilakukan KPPU antara lain dalam
penentukan harga BBM (solar) dimana penentuan harga BBM yang dilakukan
oleh pemerintah bervariasi dan bersifat diskriminasi dan diduga
menguntungkan pelaku usaha tertentu.
Dalam kasus ini KPPU mengirimkan surat pada Menteri ESDM agar
menghapus penentuan tarif secara variatif dianggap diskriminatif. Dalam kasus
penentuan tarif penerbangan oleh Indonesia Aircraft Association (INACA)
dimana penerapan tarif yang seragam oleh INACA pada para anggotanya yang
disandarkan pada SK. Menhub No. 25 Tahun 1997, KPPU telah menyarankan
agar Menhub mencabut SK tersebut. Oleh karena adanya kesediaan Menhub
untuk mencabut SK tersebut, maka kasus tersebut akhirnya dinyatakan selesai.
Sementara itu, dalam kasus kartel industry Day Old Chick (DOC) yang
diduga adanya kartel pada DOC yang dilakukan oleh 5 industri besar dibidang
ini, majelis komisi pada tanggal 27 Agustus 2002 mengambil keputusan bahwa
para pelaku usaha yang pada awalnya terindikasi melakukan kartel dinyatakan
tidak sah dan menyakinkan telah melanggar Undang -Undang Antimonopoli.

4. Sanksi - sanksi Terhadap Pelaku Usaha atas Pelanggaran Terhadap


Undang-Undang Antimonopoli
Sanksi sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang Antimonopoli telah ditentukan sedemikian rupa
dalam undang-undang tersebut, yaitu sanksi administrasi, pidana pokok, dan
pidana tambahan. Sanksi-sanksi itu dikenakan terhadap pelaku usaha yang
secara hukum terbukti telah melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Mengenai sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-Undang Antimonompoli di atas diuraikan secara
sistematis sebagai berikut:

a. Sanksi Administrasi
Sebagaimana telah diuraikan bahwa sanksi administratif adalah salah
satu bentuk sanksi yang dikenakan bagi pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-Undang Antimonopoli. Mengenai sanksi administratif
ini diatur dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Antimonopoli.

b. Pidana Pokok
Selain sanksi administratif seperti yang telah dikemukakan di atas,
maka sanksi lain yang dikenakan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-Undang Antimonopoli adalah pidana pokok. Mengenai
sanksi pidana pokok ini ditentukan dalam Pasal 48 ayat (1), (2), (3).

c. Sanksi Pidana Tambahan

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang Antimonopoli


tidak saja dikenai sanksi administratif atau sanksi pidana pokok, tetapi juga
dapat dikenakan saksi tambahan. Mengenai sanksi tambahan ini diatur
dalam ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Antimonopoli, yang
selengkapnya berbunyi:

“ Dengan menunjuk Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,


terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan
pidana tambahan berupa:
a) Pencabutan izin usaha,
b) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan
direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama lamanya 5 (lima) tahun, atau
c) Penghentian kegiatan usaha atau tindakan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

5. Hukum Acara Berdasarkan Undang - Undang Antimonopoli dan


Keputusan KPPU No. 05/KPPU/Kep/IX/2000

Berdasarkan aturan-aturan dalam Undang-Undang Antimonopoli dan


Keputusan KPPU No. 05/KPPU/Kep/IX/2000 Tentang Tata Cara
Penyampaian Laporan dan Dugaan Pelanggaran Terhadap Undang-Undang
Antimonopoli, proses penanganan perkara di KPPU dilakukan melalui
beberapa tahapan yang diurutkan sebagai berikut:
1. Tahap klarifikasi kejelasan dan atau kelengkapan laporan yang
disampaikan oleh publik (vide Pasal 3 dan Pasal 4 SK No.
05/KPPU/Kep/IX/2000)
2. Tahap pemeriksaan pendahuluan selama-lamanya 30 (tiga puluh)
hari yang dilakukan oleh tim peeriksa pendahuluan (vide Pasal 39
ayat (1) UU Antimonopoli dan Pasal 1 ayat (9) SK No.
05/KPPU/Kep/IX/2000
3. Tahap pemeriksaan lanjutan selama lamanya 90 (sembilan puluh)
hari yang dilakukan oleh Majelis KPPU (vide Pasal 43 ayat (1) dan
(2) UU Antimonopoli dan Pasal 1 ayat (10) SK No.
05/KPPU/Kep/XI/2000
4. Tahap pembuatan putusan selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari
yang dilakukan oleh majelis KPPU (vide Pasal 43 ayat (3) Undang
-Undang Antimonopoli.
5. Pembacaan putusan oleh majelis KPPU (vide Pasal 43 ayat (3)
Undang-Undang Antimonopoli.

Berdasarkan prosedur, tidak semua perkara yang ditangani KPPU


sampai pada putusan, karena dapat saja perkara tersebut berhenti pada tahap
klarifikasi, karena ketidakjelasan dan ketidaklengkapan laporan serta tidak
ditemukan bukti-bukti awal yang cukup untuk memulai pemeriksaan.
Adapun skema pengaturan dan jangka waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan satu perkara sampai mempunyai kekuataan hukum yang tetap
(inkracht) digambarkan sebagai berikut:

Bagan I
Skema Tahapan Waktu Penyelesaian Perkara
(Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, 1999: 61)

Pasal Tahapan Keterkaitan Waktu


A 39 (1) Pemeriksaan Pendahuluan A 30
B 43 (1) Pemeriksaan Lanjutan A + 30 60
C 43 (2) Putusan waktu pemeriksaan B + 60 30
lanjutan
D 43 (3) Putusan ada tidaknya C + 30 30
pelanggaran
E 43 (4) Penyampaian Putusan D + 30 -
F 44 (1) Pelaksanaan Putusan E 30
Tingkat KPPU subtotal
180 hari
G 44 (20) Pengajuan Keberatan ke PN E 14
H 45 (1) Pemeriksaan keberataan G + 14 14
I 45 (2) Putusan atas keberatan H + 14 30
Tingkat PN subtotal
58 hari
J 45 (3) Kasasi keMahkamah Agung I + 30 14
K 45 (4) Keputusan kasasi oleh MA K + 14 30
Tingkat kasasi subtotal
44 hari
TOTAL WAKTU/HARI
282

Pengaturan waktu yang ketat (time frame) dalam rangka untuk menciptakan
kepastian hukum seperti itu, memang diperlukan oleh para pelaku usaha mengingat setiap
saat merupakan kesempatan yang potensial untuk memperoleh kentungan dalam
menjalankan usahanya sebagaimana direfleksikan dalam ungkapan time is money.
Sebaliknya, hal itu juga terjadi bagi para pelaku usaha, setiap saat berpotensi mengandung
risiko rugi.
Aturan yang menetapkan time frame yang ketat juga dapat dilihat pada UU No. 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menyangkut
pengaturan waktu tersebut, hal yang perlu dikemukakan adalah bagaimana pelaksanaannya
dalam praktik hukum. Misalnya dalam kasus kepailitan antara Bank Niaga lawan Dharmala
Agrifood, majelis hakim Peninjauan Kembali (PK) berpendapat bahwa terlewatnya waktu
yang telah ditetapkan dalam UU No. 4 tahun 1998 ( yang telah diganti dengan UU No. 37
Tahun 2004 yang juga mengatur time frame dalam proses berperkara).
Untuk mencegah agar tertib waktu yang ditetapkan oleh undang-undang dipatuhi oleh
para pihak, termasuk oleh penegak hukum sendiri, maka KPPU perlu mengatur sanksi agar
tertib waktu tersebut tidak dilanggar begitu saja. Tegasnya, suatu aturan hukum jika
dilanggar tentu harus memiliki konsekuensi hukum. Potensi pelanggaran terhadap
pengaturan waktu yang dimaksud secara tersirat muncul dalam Pasal 4 ayat (4) Perma No. 1
tahun 2003 dikaitkan dengan Pasal 45 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999.

6. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Pengajuan
Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU (Perma No. 01 Tahun 2003)
Meskipun eksistensi dan kewenangan KPPU diatur dalam undang-undang,
namun bukan perkara mudah baginya untuk mnenegakkan amanat Undang -Undang
Antimonopoli, apalagi dalam proses beracara yang berkaitan dengan hukum acara.
Untuk menghindari ketidakpastian dalam beracara dan penegakan hukum
Undang -Undang Antimonopoli, Mahkamah Agung mengeluaran Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum
Keberatan terhadap putusan KPPU. Berdasarkan Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 2003
ditegaskan bahwa putusan KPPU tidak termasuk dalam pengertian putusan pejabat
tata usaha negara.
Masalah status KPPU dalam perkara keberatan, hukum acara pembuktian,
pemeriksaan perkara, dan konsolidasi pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri
dijawab dalam Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2003. Pasal tersebut menyatakan bahwa
keberatan terhadap putusan KPPU hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri
dan jika diajukan keberatan, maka KPPU merupakan “pihak”. Konsekuensi
kedudukan KPPU sebagai “pihak” adalah KPPU dapat diperiksa dan dihukum. Akan
tetapi, Perma No. 1 Tahun 2003 ternyata hanya membatasi makna KPPU sebagai
“pihak” dengan meletakkan kewajiban untuk menyerahkan keputusan dan berkas
pemeriksaan, serta dapat melakukan pemeriksaan tambahan apabila diminta oleh
Pengadilan Negeri. Dengan demikian, Perma No. 1 Tahun 2003 melakukan
penyempitan makna bahwa status KPPU sebagai “pihak” tidak sama dengan makna
hukum “pihak” dalam perkara lain di luar hukum persaingan usaha.
Terhadap upaya konsolidasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Perma
No. 1 Tahun 2003 dinyatakan bahwa dalam hal keberatan diajukan lebih dari satu
pelaku usaha, untuk putusan yang sama tetapi berbeda tempat kedudukan hukumnya,
KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung untuk
menunjuk salah satu Pengadilan Negeri untuk memeriksa keberatan tersebut.
Demikian pula kewenangan yang diberikan KPPU untuk mengajukan
permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung untuk menunjuk salah satu Pengadilan
Negeri guna memeriksa keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha, juga tidak selaras
dengan asas actor sequitor forum rei . Sebagaimana diatur dalam Pasal 118 ayat (1)
HIR dan Pasal 142 ayat (1) Rbg, dimana domisili hukum tergugat (terlapor dalam
hukum persaingan usaha) merupakan unsur yang menentukan Pengadilan Negeri yang
berwenang untuk memeriksan dan mengadili suatu perkara perdata. Pasal 8 Perma
No. 1 Tahun 2003 menjawab penyimpangan ini dengan menentukan bahwa hukum
acara perdata yang berlaku diterapkan terhadap Pengadilan Negeri, kecuali ditentukan
lain dalam Perma ini.
Pengaturan dalam Pasal 5 Perma No. 1 Tahun 2003 juga menegaskan bahwa
dalam hal pelaku usaha mengajukan keberatan, KPPU wajib menyerahkan putusan
dan berkas perkaranya kepada Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara keberatan,
sementara pemeriksaan keberatan oleh Pengadilan Negeri hanya pada putusan dan
berkas perkara.
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 Tahun 2003 dalam beberapa hal mampu melengkapi kekurangan dalam
hukum acara bagi penerapan Undang - Undang Antimonopoli, namun juga
menimbulkan problem hukum baru dalam hukum acara, yaitu:
1. Upaya KPPU untuk memperoleh bukti materiil dalam menegakkan hukum
terhadap pelanggaran Undang - Undang Antimonopoli awalnya menempuh
prosedur pembuktian pidana, namun dalam pelaksanaannya persidangan
terhadap para terlapor harus berubah menjadi perkara perdata di pengadilan.
2. Apabila keberatan Terlapor diproses menurut hukum acara perdata, berarti
harus menggunakan aturan dalam HIR. Sesuai aturan Pasal 393 ayat (1) HIR
ditentukan bahwa “waktu mengadili perkara dihadapan pengadilan negeri,
maka tidak dapat diperhatikan acara yang lebih atau lain daripada yang
ditentukan dalam reglement ini. Oleh karena Peraturan Mahkamah Agung
kedudukannya lebih rendah dari HIR, maka hukum acara yang diatur HIR
yang harus dipatuhi, bukan Peraturan Mahkamah Agung.
3. Dalam menangani perkara keberatan terlapor, jika terlapor mengajukan bukti
tambahan terhadap keberatannya, pemeriksaan tambahan bukan dilakukan
hakim, tetapi dilakukan oleh KPPU. Hasil pemeriksaan tambahan yang
dilakukan oleh KPPU terhadap keberatan terlapor termasuk saksi ahli,
selanjutnya diserahkan kepada hakim.

Tanpa ingin mengurangi penghargaan terhadap upaya KPPU dan hasil-hasil yang
telah dicapai dalam menegakkan amanat Undang - Undang Antimonopoli dalam
waktu yang relatif singkat, namun masih terdapat begitu banyak kekurangan dalam
hukum acara, yang harus dibenahi demi menciptakan iklim usaha yang sehat dan jujur
serta upaya menciptakan lembaga hukum yang berwibawa, adil, dan terpercaya.

LATIHAN

1. Bedakan ciri antara pendekatan rules of reason dan per se ilegal dalam
penegakan hukum persaingan usaha, lengkapi pula dengan contohnya masing –
masing!
2. Sebut dan jelaskan sanksi – sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha
bila terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU Antimonopoli!
3. Menurut pemahaman dan pengamatan anda, apakah sejauh ini KPPU telah
berperan dengan baik untuk menegakkan hukum persaingan usaha melalui
putusan putusan perkara persaingan tidak sehat di Indonesia?
4. Bagaimanakah menurut pendapat anda bahwa KPPU dalam praktiknya bertindak
baik sebagai investigative authority, enforcement authority, maupun litigating
authority apabila ditinjau dari kedudukannya yang bukan sebagai lembaga
peradilan?
5. Bagaimanana kedudukan KPPU apabila ada upaya keberatan atas putusan KPPU
yang diajukan oleh pelaku usaha ke Pengadilan Negeri menurut Perma No. 1
Tahun 2003?
6. Menurut anda melalui Perma No. 1 Tahun 2003 telah cukup memberikan
kepastian hukum terkait proses beracara persaingan usaha?
Petujuk Jawaban Latihan
Cobalah untuk memahami kembali uraian teori yang telah disampaikan kembali
dalam modul ini, lalu lengkapi dengan literatur lainnya dan peraturan perundang-
undangan terkait agar anda dapat memberikan analisis yang lebih komprehensif.

RANGKUMAN

Dalam menjalankan usaha, pelaku usaha sering kali menisyakan kemunculan


persaingan diantara para pelaku usahanya. Persaingan usaha yang sehat akan
memberikan dampak positif bagi pelaku usaha dan konsumen, untuk itu UU
Antimonopoli disusun berdasarkan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan
menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang
sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang
termasuk dalam hal memberikan perlindungan dan kesempatan berusaha bagi pelaku
usaha kecil. Tanpa campur tangan pemerintah melalui perangkat hukum, pelaku usaha
kecil akan tersingkirkan oleh pelaku usaha besar yang bermodal cukup,
berpengalaman, yang akan cepat berkembang dan menguasai pasar.
Perkembangan dunia usaha menunjukkan bahwa banyak ditemukan perjanjian-
perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur unsur yang kurang
adil terhadap pihak yang ekonomi dan sosialnya lemah dengan dalih pemeliharaan
persaingan yang sehat. Selain itu adanya posisi dominan yang bertentangan dengan
prinsip persaingan usaha yang sehat. Pengaturan ini dilakukan dengan sangat ketat
untuk mencegah pelaku usaha melakukan persaingan usaha tidak sehat yang
dipandang akan merugikan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, dengan kata lain
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat menimbulkan
gangguan terhadap bekerjanya mekanisme pasar secara wajar sehingga menghambat
perdagangan. Oleh karenanya, diperlukan pengaturan hukum dalam bentuk larangan-
larangan, untuk itu dalam UU Antimonopoli disusun secara terstruktur dan sistematis
jenis jenis perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, serta posisi dominan yang
dianggap merupakan tindakan curang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak
sehat yang akan dinilai berdasarkan pendekatan rules of reason maupun perse ilegal.
Sejalan dengan hal itu, dalam rangka menegakkan peraturan perundang –
undangan dalam bidang persaingan usaha, maka diperlukan lembaga yang
bertanggung jawab sebagai pengawas pelaku usaha apabila terjadi praktik praktik
yang melanggar ketentuan dalam undang – undang. Melalui Keputusan Presiden
Nomor 75 Tahun 1999 dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang diberi
mandat oleh UU No. 5 Tahun 1999. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
( selanjutnya akan disebut KPPU) sebagai lembaga negara komplementer (state
auxiliary) memiliki tugas yang kompleks dalam mengawasi praktik persaingan usaha
tidak sehat oleh para pelaku usaha.
TES FORMATIF 1

1) Pengertian dari Pemusatan Kekuataan Ekonomi adalah...


A. Penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih
pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa.
B. Dikuasainya produksi dan pemasaran secara menyeluruh dan dominan
b. Penguasaan suatu pasar bersangkutan oleh satu pelaku usaha sehingga dapat
menentukan harga barang dan/atau jasa.
c. Penguasaan yang diam diam dan terselubung atas suatu pasar bersangkutan
oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang
dan/atau jasa.

3) UU No. 5 Tahun 1999 disusun berdasarkan


A. Demokrasi Pancasila
B. Kekeluargaan
C. Demokrasi Ekonomi
D. Kapitalis

4) Dalam Hukum Persaingan Usaha dikenal macam macam persekongkolan tender,


yaitu:
A. Vertikal dan horizontal
B. Horizontal dan umum
C. Vertikal
D. Sejenis dan produksi

5) Berikut adalah hal hal yang dapat dinilai melalui pendekatan Perse Ilegal akan
dampaknya terhadap persaingan usaha, kecuali:
A.Perjanjian Penetapan Harga
B. Monopsoni
C. Perjanjian Pemboikotan
D. Perjanjian Pembagian Wilayah

6) KPPU memiliki yurisdiksi yang luas dan mempunyai empat fungsi utama, berikut
yang bukan merupakan fungsi KPPU adalah:
A. Fungsi Hukum, admistratif
B. Fungsi Penengah, Pemutus
C. Fungsi Penyidik dan penyelidik
D. Fungsi Pelapor

K U N C I J AWABAN TES FORMATIF


1) A. Penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku
usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa.
2) C. Demokrasi Ekonomi
3) A. Vertikal dan horizontal
4) B. Monopsoni
5) D. Fungsi Pelapor
DAFTAR PUSTAKA

Nusantara, Abdul Hakim Garuda dan Harman, Benny K, (1999) Analisa dan Perbandingan
Undang – Undang Antimonopoli, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Suherman, Ade Maman, Kinerja KPPU Sebagai Watchdog Pelaku Usaha di Indonesia,
http://www.hukumonline.com/artikel.details.

Yani, Ahmad & Widjaja, Gunawan, (1999), Antimonopoli, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Buku Pedoman KPPU tahun 2002

Harjono, Dhaniswara K., (2006), Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Hermansyah (2008), Pokok Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Kencana Prenada
Media Group, Indonesia

Ibrahim, Johnny, (2007) Hukum Persaingan Usaha – Filosofis, Teori, dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia-Penerbit Bayu Media, Malang.

Fuadi, Munir (1999), Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Syamsul Maarif, Diskusi Meja Bundar, “ Membahas Undang – Undang Persaingan Usaha di
Indonesia : Berbagai Tantangan’, Pusat Studi APEC.

Subekti, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985.

Prodikoro, Wirjono, Azas – Azas Hukum Perjanjian, PT. Eresco, Bandung, 1989.

Anda mungkin juga menyukai