P E N D A H U L U A N---------------------------------------------------------------------------------
1. Monopoli
b. Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh
iklim dan lingkungan usaha yang sehat (Monopoly by Nature)
Monopoli bukanlah suatu perbuatan jahat atau terlarang apabila
kedudukan tersebut diperoleh dengan mempertahankan posisi tersebut melalui
kemampuan prediksi dan naluri bisnis yang profesional. Kemampuan sumber
daya manusia yang profesional, kerja keras, dan strategi bisnis yang tepat
dalam mempertahankan posisinya akan membuat perusahaan memiliki kinerja
yang unggul, sehingga tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu
kombinasi antara kualitas dan harga barang, jasa, dan pelayanan sebagaimana
yang dikehendaki konsumen. Dalam hal ini perusahaan dapat menyediakan
keluaran (output) yang lebih efisien daripada apa yang dihasilkan perusahaan-
perusahaan lain.
Pelaku usaha atau perusahaan yang memiliki kinerja unggul seperti itu
sering memiliki rahasia dagang yang meskipun tidak memperoleh hak ekslusif
dan pengakuan dari negara, namun dengan teknologi rahasianya tersebut,
perusahaan mampu menempatkan posisinya sebagai perusahaan monopoli.
Perusahaan seperti ini jelas memiliki kontribusi terhadap efisiensi ekonomi
dan kesejahteraan konsumen. Adanya Undang-Undang Antimonopoli
hanyalah untuk memastikan bahwa kekuataan yang dimiliki perusahaan
seperti itu tidak disalahgunakan untuk mematikan persaingan usaha.
c. Monopoli yang diperoleh melalui Lisensi dengan menggunakan
mekanisme kekuasaan (Monopoly by License)
Monopoli seperti ini dapat terjadi oleh karena adanya kolusi antara para
pelaku usaha dengan birokrat pemerintah. Kehadirannya menimbulkan distorsi
ekonomi karena menggangu bekerjanya mekanisme pasar yang efisien.
Umumnya monopoly by licence berkaitan erat dengan para pemburu rente
ekonomi yang mengganggu keseimbangan pasar untuk kepentingan mereka.
Berbagai kelompok usaha yang dekat dengan pusat kekuasaan dalam
pemerintahan pada umumnya memiliki kecendrungan melakukan perbuatan-
perbuatan tercela seperti itu, meskipun tidak semuanya memiliki rent seeking
behavior
2. Praktik Monopoli
Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy
objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negara-negara yang
memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan umum (public interest)
dan efisiensi ekonomi (economic efficiency) . Ternyata dua unsur penting tersebut
(Pasal 3 (a) juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya Undang-Undang
Antimonopoli.
Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama
Undang – Undang Antimonopoli. Bahwa peraturan mengenai persaingan akan
membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang
bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem
perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian
pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b Undang –
Undang Antimonopoli dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian
kesejahteraan nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang
menuju pada sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b Undang
– Undang Antimonopoli.
Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap
pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya
penyalahgunaan wewenang disektor ekonomi. Selaku asas dan tujuan, Pasal 2 dan
3 tidak memiliki relevansi langsung terhadap pelaku usaha, karena kedua pasal
tersebut tidak menjatuhkan tuntutan konkrit terhadap perilaku pelaku usaha.
Walaupun demikian, kedua pasal tersebut harus digunakan dalam interpretasi dan
penerapan setiap ketentuan dalam Undang – Undang Antimonopoli.
Peraturan persaingan usaha agar diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga
tujuan-tujuan yang termuat dalam Pasal 2 dan 3 tersebut dapat dilaksanakan
seefisien mungkin. Misalnya, sehubungan dengan penerimaan dan jangkauan dari
rule of reason dalam rangka ketentuan tentang perjanjian-perjanjian yang dilarang
(Pasal 4-16), harus diperhatikan bahwa Pasal 2 dan 3 tidak menetapkan tujuan-
tujuan yang dilaksanakan dalam bidang sumber daya manusia,kebijakan struktural
dan perindustrian.
Pada hakikatnya, keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan
secara optimal tercipatnya persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan
efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan
efisien agar mampu bersaing dengan para pesaingnya.
Berkaitan dengan hal itu, maka keberadaan Undang-Undang Antimonopoli
yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memerhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum tersebut mempunyai peranan
yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang
sehat di Indonesia.
Bertolak dari uraian di atas, jelas bahwa adanya hubungan antara demokrasi
ekonomi dan penciptaan iklim berusaha yang sehat. Demokrasi ekonomi
menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk
berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barng dan/atau jasa, dalam
iklim yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi
pasar yang wajar. Lebih dari itu, demokrasi ekonomi menghendaki bahwa setiap
orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat
dan wajar, sehingga tidak menimbukan adanya pemusatan kekuataan ekonomi
pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepatan yang telah
dilaksanakan oleh negara terhadap perjanjian perjanjian internasional.
Dengan menyimak secara seksama tujuan dari Undang-Undang
Antimonopoli yang teruraai di atas, dapat mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan
dari Undang-Undang Antimonopoli adalah untuk menciptakan efisiensi pada
ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan
bebas, dan memberikan sanksi terhadap para pelanggarnya. Tidak berlebihan bila
dikatakan bahwa tujuan pokok Undang-Undang Antimonopoli adalah efisiensi.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Sutan Remy Sjahdeini, bahwa terdapat 2
(dua) efisiensi yang ingin dicapai oleh undang-undang antimonopoli yaitu
efficiency dan allocative efficiency. Yang dimaksudkan dengan productive
efficiency ialah efisiensi bagi perusahaan dalam menghasilkan barang-barang dan
jasa-jasa.
Perusahaan dikatakan efisien apabila dalam menghasilkan barang-barang
dan jasa-jasa perusahaan tersebut dilakukan dengan biaya yang serendah-
rendahnya karena dapat menggunakan sumber daya yang sekecil mungkin.
Sedangkan yang dimaksud dengan allocative efficiency adalah efisiensi bagi
masyarakat konsumen. Dikatakan masyarakat konsumen efisiensi apabila para
produsen dapat membuat barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen dan
menjualnya pada harga yang para konsumen itu bersedia untuk membayar harga
barang yang dibutuhkan.
Berkaitan dengan pengaturan tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikemukakan
bahwa pada prinsipnya tujuan dari Undang-Undang Antimonopoli itu adalah untuk
menciptakan efisiensi dan keadilan terutama di suatu pasar tertentu dengan cara
menghilangkan distorsi pasar, antara lain: mencegah penguasaan pangsa pasar
yang besar oleh seorang atau beberapa orang pelaku pasar, mencegah timbulnya
hambatan terhadap peluang pelaku pasar pendatang baru, dan menghambat atau
mencegah perkembangan pelaku pasar yang menjadi pesaingnya.
Beranjak dari uraian di atas jelaskan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh
Undang-Undang Antimonopoli yang tercantum dalam Pasal 3 di atas adalah
efisiensi, baik berupa efisiensi ekonomi nasional maupun efisiensi kegiatan usaha.
Sedangkan apabila tujuan Undang-Undang Antimonopoli itu kita sederhanakan,
maka dapat disederhanakan menjadi 3 (tiga) tujuan, yaitu: pertama adalah memberi
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara atau pelaku usaha untuk
menjalankan kegiatan usaha, kedua adalah menciptakan iklim usaha yang sehat,
kondusif, dan kompetitif, dan ketiga adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat (
kepentingan umum).
Jadi, jelaslah bahwa eksistensi dan orientasi dari Undang-Undang
Antimonopoli adalah untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dengan cara
mencegah monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, serta untuk
menciptakan ekonomi pasar yang efektif dan efisien demi peningkatan
kesehjahteraan rakyat. Dengan perkataan lain, eksistensi Undang-Undang
Antimonopoli adalah untuk memastikan bahwa sistem ekonomi yang berdasarkan
persaingan usaha dapat memotivasi para pelaku usaha untuk menghasilkan produk
barang dan/ atau jasa yang berkualitas dan harga yang terjangkau oleh konsumen
dengan memanfaatkan sumber-sumber produksi yang seminimal mungkin.
Akhirnya apapun namanya, persaingan usaha memberikan suatu kebebasan bagi
setiap pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk atau
meningkatkan kualitas pelayanan jasanya. Iklim persaingan usaha yang sehat
mendorong pelaku usaha mendorong pelaku usaha melakukan inovasi supaya dapat
bersaing dan bertahan pada pasar yang bersangkutan. Lebih dari itu, persaingan
usaha yang sehat pada akhirnya menguntungkan konsumen, dalam arti konsumen
memperoleh banyak pilihan atas barang dan jasa yang berkualitas dengan harga
yang terjangkau tadi.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik praktik bisnis itu adanya
berbagai macam persaingan misalnya: ada persaingan yang sehat dan adil (fair
competition), ada persaingan yang tidak sehat (unfair competition), bahkan ada
persaingan yang destruktif seperti predatory price. Tentu saja, perilaku anti
persaingan seperti persaingan usaha yang tidak sehat dan destruktif itu tidak
dikehendaki, karena mengakibatkan in-efisiensi perekonomian berupa hilangnya
kesejahteraan, bahkan mengakibatkan keadilan ekonomi dalam masyarakatpun
terganggu dan timbulnya akibat-akibat ekonomi dan sosial yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, ketertiban, maupun kepentingan umum.
1. Perjanjian yang Dilarang
b. Penetapan Harga
Menurut Black’s Law Dictionary, penetapan harga adalah: “ a combination
formed for the purpose of and with the effect of raising, depressing, fixing,
pegging, or stabilizing the price of a commodity”
Perjanjian penetapan harga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Antimonopoli.
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan
yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Ketentuan Pasal Pasal 5 ayat (1) dan (2) di atas adalah perjanjian penetapan
harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan. Penetapan harga ini dapat dilakukan sesama pelaku usaha yang
menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang sama dengan menetapkan
harga yang harus dibayar oleh konsumen.
c. Pembagian Wilayah
Pembagian wilayah adalah perjanjian yang bertujuan membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 9 UU Antimonopoli.
d. Pemboikotan
Perjanjian pemboikotan yang dilarang dalam UU Antimonopoli dibagi dalam
2 (dua) macam yaitu perjanjian yang bertujuan menghalangi pelaku usaha lain
untuk melakukan usaha yang sama, baik tujuan pasar dalam negeri maupun
luar negeri, dan perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa
dari pelaku usaha lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan
(2).
c. Kartel
Kartel adalah perjanjian yang mengandung maksud untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau
jasa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Undang - Undang Antimonopoli
e. Trust
Trust adalah perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga
dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau
perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa. Pasal 12 Undang-Undang Antimonopoli,
berbunyi:
“ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya,
yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat”.
.
f. Oligopsoni
Adalah perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas
barang dan/atau jasa dalam pasar yang bersangkutan sebagaimana yang
ditentukan dalam pasal 13 Undang-Undang Antimonopoli.
g. Integrasi Vertikal
Dari sudut pandang perusahaan, integrasi vertikal memberi manfaat karena
memungkinkan perusahaan bersangkutan untuk mengurangi biaya produksi
dan distribusinya dengan cara mengintegrasikan kegiatan kegiatan yang
berurutan atau karena integrasi menjamin penyediaan saluran-saluran integrasi
yang dapat mempertahankan daya saing. Apabila suatu perusahaan telah
menguasai satu atau lebih tahapan vertikal, maka integrasi vertikal dapat
membawa dampak anti persaingan. Sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal
14 Undang-Undang Antimonopoli.
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.
h. Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3)
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa
tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu
harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa
pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha
pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
a. Monopoli
Sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 bahwa monopoli adalah
penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha.
Lebih lanjut kegiatan monopoli diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang
- Undang Antimonopoli yang menyatakan bahwa:
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
b. Monopsoni
Pada prinsipnya, monopsoni adalah menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar yang
bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Antimonopoli.
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu.
c. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19, 20, dan 21 Undang-Undang
Antimonopoli.
Pasal 19:
“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Pasal 20:
“ Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan
cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan
maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat”
Pasal 21:
“ Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat”
e. Persekongkolan
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 persekongkolan atau konspirasi adalah
bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
lainnya dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan
pelaku usaha yang bersekongkol, merupakan kegiatan yang dilarang
sebagaimana diatur dalam Pasal 22, 23, dan 24 Undang - Undang
Antimonopoli.
Dari ketentuan Pasal 22, 23, dan 24, dapat dikatakan bahwa kegiatan
persekongkolan yang dilarang itu dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu:
(1) Persekongkolan yang berkaitan dengan tender, mencakup pegaturan atau
penentuan pemenang tender yang tidak wajar.
(2) Persekongkolan yang berkaitan dengan informasi atau rahasia perusahaan,
yaitu persengkokolan untuk mendapatkan informasi yang dikategorikan
sebagai rahasia perusahaan dari pelaku usaha pesaing dengan cara ilegal
(3) Persengkolan yang berkaitan dengan upaya menghambat produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pelaku usaha pesaingnya
dengan cara curang dan ilegal.
3. Posisi Dominan
Posisi dominan dapat dikatakan salah satu kunci pokok (pusat) dari
persaingan usaha. Mengapa? Karena hampir pada setiap kasus hukum
persaingan usaha, menjadi perhatian pertama lembaga persaingan usaha, dalam
hal ini di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah
terhadap posisi dominan suatu perusahaan pada pasar yang bersangkutan. Siapa
yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan? Atau kalau
suatu kasus dilaporkan ke KPPU apakah terlapor mempunyai posisi dominan?
Kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan ya, bagaimana
pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya, maka
yang akan dilakukan adalah tinggal membuktikan, apakah pelaku usaha tersebut
benar-benar melakukan penyalahgunaan posisi dominannya dan bagaimana
pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya.
Kalau pelaku usaha (terlapor) tidak mempunyai posisi dominan, bagaimana
terlapor dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat di pasar yang
bersangkutan? Dan hal yang perlu dicari tahu dan dibuktikan adalah apakah
pasar yang bersangkutan terdistorsi atau tidak. Bentuk pasar terdistorsi misalnya
pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke pasar yang bersangkutan, karena adanya
hambatan-hambatan pasar (entry barrier) atau apakah terlapor mempunyai
hubungan terafiliasi dengan pelaku usaha lain sehingga dapat melakukan
hambatan-hambatan persaingan usaha? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan
dielabolarasi dalam bab ini, ditinjau dari aspek Undang – Undang Antimonopoli
sehingga mempermudah pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan posisi
dominan dan penyalahgunaannya.
Posisi dominan atau menjadi lebih unggul di pasar bersangkutan adalah
menjadi salah satu tujuan pelaku usaha. Oleh karena itu, setiap pelaku usaha
berusaha menjadi yang lebih unggul (market leader) pada pasar yang
bersangkutan. Penguasaan posisi dominan di dalam hukum persaingan usaha
(HPU) tidak dilarang, sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi
dominannya atau menjadi pelaku usaha yang lebih unggul (market leader) pada
pasar yang bersangkutan atas kemampuannya sendiri dengan cara yang fair.
Konsep HPU adalah menjaga persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar
yang bersangkutan dan mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan (menjadi unggul) melalui persaingan usaha yang
sehat dan efektif. Undang – Undang Antimonopoli tidak melarang pelaku usaha
menjadi perusahaan besar. Undang – Undang Antimonopoli justru mendorong
pelaku usaha untuk dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan. Persaingan
inilah yang memacu pelaku usaha untuk melakukan efisiensi dan inovasi-
inovasi untuk menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan harga yang
kompetitif dibandingkan dengan kualitas produk dan harga jual dari pesaingnya.
Persainganlah yang mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang
dominan.
Dalam perspektif ekonomi, posisi dominan adalah posisi yang ditempati
oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. Dengan pangsa pasar
yang besar tersebut perusahaan memiliki market power. Dengan market power
tersebut, perusahaan dominan dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat
dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya. Dalam Undang – Undang
Antimonopoli, posisi dominan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau suatu pelaku usaha
mempunyai posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar yang
bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada
pasokan atau penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu.
Ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang – Undang Antimonopoli tersebut
menetapkan syarat atau parameter posisi dominan. Dari ketentuan Pasal 1 angka
4 tersebut dapat disimpulkan terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku
usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan, yaitu pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai
posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar
yang bersangkutan dalam kaitan:
a) pangsa pasarnya;
b) kemampuan keuangan;
c) kemampuan akses pada pasokan atau penjualan; dan
d) kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu.
Syarat yang ditetapkan oleh Pasal 1 angka 4 Undang – Undang
Antimonopoli yang penting adalah bahwa pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya dalam kaitan pangsa
pasar, kemampuan keuangan, kemampuan akses pasa pasokan atau penjualan,
dan kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu. Oleh karena itu menurut hukum hanya satu pesaing (yang mempunyai
posisi dominan) yang dapat menguasai posisi dominan di pasar bersangkutan.
Namun Undang – Undang Antimonopoli tidak menjelaskan, apakah syarat-
syarat tersebut harus dipenuhi oleh suatu pelaku usaha secara kumulatif atau
tidak. Artinya, apakah jika salah satu syarat tersebut dimiliki oleh pelaku usaha
dapat dinyatakan bahwa pelaku usaha tersebut sudah mempunyai posisi
dominan? Akan tetapi salah satu ciri-ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan adalah, jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan persaingan usaha
tidak sehat pada pasar yang bersangkutan secara mandiri/individu tanpa
memperhitungkan pesaing-pesaingnya. Kedudukan seperti ini kepemilikan
pasang pasarnya, atau karena kepemilikan pangsa pasar ditambah dengan
kemampuan pengetahuan tehnologinya, bahan baku atau modal, sehingga
pelaku usaha tersebut mempunyai kekuasaan untuk menentukan harga atau
mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian penting dari produk-
produk yang diminta.
Secara yuridis, posisi dominan diartikan sebagai keadaan dimana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan dengan
kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi
tertinggi diantara pesaingnya di pasar yang bersangkut dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu. Undang-Undang Antimonopoli membedakan 4 macam posisi dominan,
yaitu:
1. Posisi Dominan yang bersifat umum
Pasal 25 ayat (1) dan (2)
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa
yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1)
apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%
(lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
LATIHAN
Lebih lanjut, mengenai perlindungan terhadap pelaku usaha kecil ini diatur pula
dengan tegas dalam ketentuan Pasal 50 huruf h Undang-Undang Antimonopoli yang
menyatakan bahwa:
a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan
oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi
sebagai hasil penelitiannya;
d.menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau
tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang ini;
f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
g.meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h.meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini;
i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat;
k.memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1999.
Dalam menjalankan tugasnya, KPPU diberi wewenang menerima laporan
dari masyarakat, melakukan penelitian, melakukan penyelidikan dan atau
pemeriksaan serta menyimpulkan ada tidaknya praktek monopoli dan atau usaha
persaingan tidak sehat, KPPU bahkan dapat memutuskan ada tidaknya kerugian
dari dari pelaku usaha lain atau masyarakat serta menjadapat meminta bantuan
penyidik untuk menghadirkan pihak-pihak yang dipanggil tetapi tidak bersedia
datang.
Dalam menjalankan kewenangannya KPPU dapat melaksanakan
persidangan, memanggil para pihak, memeriksa saksi-saksi dan bukti, meminta
keterangan. Investigasi merupakan hal yang sangat menentukan, hasil dari
investigasi inilah yang akan dipergunakan guna menetapkan terjadi atau tidaknya
pelanggaran hukum persaingan usaha, pelaksanaan investigasi oleh KPPU harus
dilakukan secara cermat dan akurat. Investigasi biasanya dilakukan untuk
memperoleh keterangan mengenai dua hal, yaitu conduct dan effect. Conduct
umumnya dilakukan sebagai suatu corporate action dan bukan perilaku personal,
sedangkan effect adalah dampak yang diakibatkan oleh conduct tersebut pada
pasar bersangkutan.
Oleh karena itu, observasi dalam investigasi perkara persaingan usaha lebih
diarahkan pada document study dan market observation. Melalui document study
dapat diketahui kronologis suatu corporate action, tujuan yang hendak
dicapainya, resources yang digunakannya, dan berbagai konsiderannya. Melalui
market observation dapat diidentifikasi pergerakan harga barang dan atau jasa,
trend penjualan atau pembelian dari suatu pelaku usaha dalam kurun waktu
tertentu, sehingga dapat diidentifikasi kausalitas antara effect yang terjadi di pasar
dengan conduct oleh suatu pelaku usaha.
Interview merupakan teknik utama yang selama ini dilaksanakan dalam
investigasi perkara persaingan usaha. Melalui interview dapat diperoleh seluruh
keterangan-keterangan yang diperlukan, cross-check terhadap akurasi suatu
dokumen, dan penggambaran kondisi-kondisi pre-conduct yang mungkin tidak
terekam melalui dokumen-dokumen resmi perusahaan. Dengan demikian, teknik
investigasi yang utama di KPPU adalah:
1. Interview
2. Document study dan
3. Market observation.
Melalui tiga teknik tersebut keterangan-keterangan yang diperlukan dapat
dikumpulkan untuk selanjutnya dijadikan bahan untuk menetapkan apakah telah
terjadi atau tidak terjadinya suatu pelanggaran hukum persaingan usaha.
Putusan dalam kaitan dengan perkara yang menjadi kewenangannya
dapat berupa pembatalan terhadap perjanjian yang dinyatakan melanggar
ketentuan Undang – Undang Antimonopoli, perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan integrasi vertkal, perintah menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak
sehat dan atau merugikan masyarakat, perintah menyalahgunakan posisi
dominant, pembatalan penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham, pembayaran ganti rugi dan pengenaan denda kepada
pihak yang dintakan bersalah.
Dapat disimpulkan dari uraian di atas, bahwa rumusan kewenangan KPPU
cakupannya sangat luas karena ada unsur wewenang administratif (Pasal 47), ada
unsur quasi legislative power vide Pasal 35 (f) dan unsur quasi yudicial power
vide Pasal 36 (1). Di kemudian hari, tiga kekuasaan yang berada dalam tangan
satu lembaga akan banyak menimbulkan persoalan baik dari segi keseimbangan (
check and balance) maupun dari segi praktik pelaksanannya) pemahaman
terhadap rumusan kewenangan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36
menyangkut pemeriksaan dan penyidikan tersebut pada dasarnya KPPU ingin
mencari/menemukan kebenaran materril, yaitu apakah pelaku usaha melakukan
pelanggaran terhadap Undang -Undang Antimonopoli atau tidak. Pelaksanaan
Pasal 36 butir (c) akan mempertanyakan ketentuan dalam Pasal 1 butir (4)
KUHAP yang menegaskan bahwa hanya aparat kepolisian yang diberi wewenang
melakukan fungsi penyidikan.
a. Sanksi Administrasi
Sebagaimana telah diuraikan bahwa sanksi administratif adalah salah
satu bentuk sanksi yang dikenakan bagi pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-Undang Antimonopoli. Mengenai sanksi administratif
ini diatur dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Antimonopoli.
b. Pidana Pokok
Selain sanksi administratif seperti yang telah dikemukakan di atas,
maka sanksi lain yang dikenakan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-Undang Antimonopoli adalah pidana pokok. Mengenai
sanksi pidana pokok ini ditentukan dalam Pasal 48 ayat (1), (2), (3).
Bagan I
Skema Tahapan Waktu Penyelesaian Perkara
(Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, 1999: 61)
Pengaturan waktu yang ketat (time frame) dalam rangka untuk menciptakan
kepastian hukum seperti itu, memang diperlukan oleh para pelaku usaha mengingat setiap
saat merupakan kesempatan yang potensial untuk memperoleh kentungan dalam
menjalankan usahanya sebagaimana direfleksikan dalam ungkapan time is money.
Sebaliknya, hal itu juga terjadi bagi para pelaku usaha, setiap saat berpotensi mengandung
risiko rugi.
Aturan yang menetapkan time frame yang ketat juga dapat dilihat pada UU No. 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menyangkut
pengaturan waktu tersebut, hal yang perlu dikemukakan adalah bagaimana pelaksanaannya
dalam praktik hukum. Misalnya dalam kasus kepailitan antara Bank Niaga lawan Dharmala
Agrifood, majelis hakim Peninjauan Kembali (PK) berpendapat bahwa terlewatnya waktu
yang telah ditetapkan dalam UU No. 4 tahun 1998 ( yang telah diganti dengan UU No. 37
Tahun 2004 yang juga mengatur time frame dalam proses berperkara).
Untuk mencegah agar tertib waktu yang ditetapkan oleh undang-undang dipatuhi oleh
para pihak, termasuk oleh penegak hukum sendiri, maka KPPU perlu mengatur sanksi agar
tertib waktu tersebut tidak dilanggar begitu saja. Tegasnya, suatu aturan hukum jika
dilanggar tentu harus memiliki konsekuensi hukum. Potensi pelanggaran terhadap
pengaturan waktu yang dimaksud secara tersirat muncul dalam Pasal 4 ayat (4) Perma No. 1
tahun 2003 dikaitkan dengan Pasal 45 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999.
6. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Pengajuan
Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU (Perma No. 01 Tahun 2003)
Meskipun eksistensi dan kewenangan KPPU diatur dalam undang-undang,
namun bukan perkara mudah baginya untuk mnenegakkan amanat Undang -Undang
Antimonopoli, apalagi dalam proses beracara yang berkaitan dengan hukum acara.
Untuk menghindari ketidakpastian dalam beracara dan penegakan hukum
Undang -Undang Antimonopoli, Mahkamah Agung mengeluaran Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum
Keberatan terhadap putusan KPPU. Berdasarkan Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 2003
ditegaskan bahwa putusan KPPU tidak termasuk dalam pengertian putusan pejabat
tata usaha negara.
Masalah status KPPU dalam perkara keberatan, hukum acara pembuktian,
pemeriksaan perkara, dan konsolidasi pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri
dijawab dalam Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2003. Pasal tersebut menyatakan bahwa
keberatan terhadap putusan KPPU hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri
dan jika diajukan keberatan, maka KPPU merupakan “pihak”. Konsekuensi
kedudukan KPPU sebagai “pihak” adalah KPPU dapat diperiksa dan dihukum. Akan
tetapi, Perma No. 1 Tahun 2003 ternyata hanya membatasi makna KPPU sebagai
“pihak” dengan meletakkan kewajiban untuk menyerahkan keputusan dan berkas
pemeriksaan, serta dapat melakukan pemeriksaan tambahan apabila diminta oleh
Pengadilan Negeri. Dengan demikian, Perma No. 1 Tahun 2003 melakukan
penyempitan makna bahwa status KPPU sebagai “pihak” tidak sama dengan makna
hukum “pihak” dalam perkara lain di luar hukum persaingan usaha.
Terhadap upaya konsolidasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Perma
No. 1 Tahun 2003 dinyatakan bahwa dalam hal keberatan diajukan lebih dari satu
pelaku usaha, untuk putusan yang sama tetapi berbeda tempat kedudukan hukumnya,
KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung untuk
menunjuk salah satu Pengadilan Negeri untuk memeriksa keberatan tersebut.
Demikian pula kewenangan yang diberikan KPPU untuk mengajukan
permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung untuk menunjuk salah satu Pengadilan
Negeri guna memeriksa keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha, juga tidak selaras
dengan asas actor sequitor forum rei . Sebagaimana diatur dalam Pasal 118 ayat (1)
HIR dan Pasal 142 ayat (1) Rbg, dimana domisili hukum tergugat (terlapor dalam
hukum persaingan usaha) merupakan unsur yang menentukan Pengadilan Negeri yang
berwenang untuk memeriksan dan mengadili suatu perkara perdata. Pasal 8 Perma
No. 1 Tahun 2003 menjawab penyimpangan ini dengan menentukan bahwa hukum
acara perdata yang berlaku diterapkan terhadap Pengadilan Negeri, kecuali ditentukan
lain dalam Perma ini.
Pengaturan dalam Pasal 5 Perma No. 1 Tahun 2003 juga menegaskan bahwa
dalam hal pelaku usaha mengajukan keberatan, KPPU wajib menyerahkan putusan
dan berkas perkaranya kepada Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara keberatan,
sementara pemeriksaan keberatan oleh Pengadilan Negeri hanya pada putusan dan
berkas perkara.
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 Tahun 2003 dalam beberapa hal mampu melengkapi kekurangan dalam
hukum acara bagi penerapan Undang - Undang Antimonopoli, namun juga
menimbulkan problem hukum baru dalam hukum acara, yaitu:
1. Upaya KPPU untuk memperoleh bukti materiil dalam menegakkan hukum
terhadap pelanggaran Undang - Undang Antimonopoli awalnya menempuh
prosedur pembuktian pidana, namun dalam pelaksanaannya persidangan
terhadap para terlapor harus berubah menjadi perkara perdata di pengadilan.
2. Apabila keberatan Terlapor diproses menurut hukum acara perdata, berarti
harus menggunakan aturan dalam HIR. Sesuai aturan Pasal 393 ayat (1) HIR
ditentukan bahwa “waktu mengadili perkara dihadapan pengadilan negeri,
maka tidak dapat diperhatikan acara yang lebih atau lain daripada yang
ditentukan dalam reglement ini. Oleh karena Peraturan Mahkamah Agung
kedudukannya lebih rendah dari HIR, maka hukum acara yang diatur HIR
yang harus dipatuhi, bukan Peraturan Mahkamah Agung.
3. Dalam menangani perkara keberatan terlapor, jika terlapor mengajukan bukti
tambahan terhadap keberatannya, pemeriksaan tambahan bukan dilakukan
hakim, tetapi dilakukan oleh KPPU. Hasil pemeriksaan tambahan yang
dilakukan oleh KPPU terhadap keberatan terlapor termasuk saksi ahli,
selanjutnya diserahkan kepada hakim.
Tanpa ingin mengurangi penghargaan terhadap upaya KPPU dan hasil-hasil yang
telah dicapai dalam menegakkan amanat Undang - Undang Antimonopoli dalam
waktu yang relatif singkat, namun masih terdapat begitu banyak kekurangan dalam
hukum acara, yang harus dibenahi demi menciptakan iklim usaha yang sehat dan jujur
serta upaya menciptakan lembaga hukum yang berwibawa, adil, dan terpercaya.
LATIHAN
1. Bedakan ciri antara pendekatan rules of reason dan per se ilegal dalam
penegakan hukum persaingan usaha, lengkapi pula dengan contohnya masing –
masing!
2. Sebut dan jelaskan sanksi – sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha
bila terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU Antimonopoli!
3. Menurut pemahaman dan pengamatan anda, apakah sejauh ini KPPU telah
berperan dengan baik untuk menegakkan hukum persaingan usaha melalui
putusan putusan perkara persaingan tidak sehat di Indonesia?
4. Bagaimanakah menurut pendapat anda bahwa KPPU dalam praktiknya bertindak
baik sebagai investigative authority, enforcement authority, maupun litigating
authority apabila ditinjau dari kedudukannya yang bukan sebagai lembaga
peradilan?
5. Bagaimanana kedudukan KPPU apabila ada upaya keberatan atas putusan KPPU
yang diajukan oleh pelaku usaha ke Pengadilan Negeri menurut Perma No. 1
Tahun 2003?
6. Menurut anda melalui Perma No. 1 Tahun 2003 telah cukup memberikan
kepastian hukum terkait proses beracara persaingan usaha?
Petujuk Jawaban Latihan
Cobalah untuk memahami kembali uraian teori yang telah disampaikan kembali
dalam modul ini, lalu lengkapi dengan literatur lainnya dan peraturan perundang-
undangan terkait agar anda dapat memberikan analisis yang lebih komprehensif.
RANGKUMAN
5) Berikut adalah hal hal yang dapat dinilai melalui pendekatan Perse Ilegal akan
dampaknya terhadap persaingan usaha, kecuali:
A.Perjanjian Penetapan Harga
B. Monopsoni
C. Perjanjian Pemboikotan
D. Perjanjian Pembagian Wilayah
6) KPPU memiliki yurisdiksi yang luas dan mempunyai empat fungsi utama, berikut
yang bukan merupakan fungsi KPPU adalah:
A. Fungsi Hukum, admistratif
B. Fungsi Penengah, Pemutus
C. Fungsi Penyidik dan penyelidik
D. Fungsi Pelapor
Nusantara, Abdul Hakim Garuda dan Harman, Benny K, (1999) Analisa dan Perbandingan
Undang – Undang Antimonopoli, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Suherman, Ade Maman, Kinerja KPPU Sebagai Watchdog Pelaku Usaha di Indonesia,
http://www.hukumonline.com/artikel.details.
Yani, Ahmad & Widjaja, Gunawan, (1999), Antimonopoli, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Harjono, Dhaniswara K., (2006), Pemahaman Hukum Bisnis Bagi Pengusaha, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Hermansyah (2008), Pokok Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Kencana Prenada
Media Group, Indonesia
Ibrahim, Johnny, (2007) Hukum Persaingan Usaha – Filosofis, Teori, dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia-Penerbit Bayu Media, Malang.
Fuadi, Munir (1999), Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Syamsul Maarif, Diskusi Meja Bundar, “ Membahas Undang – Undang Persaingan Usaha di
Indonesia : Berbagai Tantangan’, Pusat Studi APEC.
Prodikoro, Wirjono, Azas – Azas Hukum Perjanjian, PT. Eresco, Bandung, 1989.