Oleh:
A. Latar Belakang
18
gilirannya penguasaan pasar yang terjadi timbul secara kompetitif. Di
samping itu dalam rangka menyosong era perdagangan bebas, kita juga
dituntut untuk menyiapkan dan mengharmonisasikan rambu-rambu hukum
yang mengatur hubungan ekonomi dan bisnis antar bangsa. Dengan
demikian dunia internasional juga mempunyai andil dalam mewujudkan
lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
18
sangat kritis. Timbul konglomerat pelaku usaha yang dikuasai oleh keluarga
atau partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan
pelaku usaha kecil dan menengah melalui praktek usaha yang kasar serta
berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-
undang serta pasar keuangan.
Dengan latar belakang demikian, maka disadari bahwa pembubaran
ekonomi yang dikuasai Negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup
untuk membangun suatu perekonomian yang bersaing. Disadari juga hal-hal
yang merupakan dasar pembentukan setiap perundang-undangan
antimonopoli, yaitu justru pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau lambat
melumpuhkan dan menghindarkan dari tekanan persaingan usaha dengan
melakukan perjanjian atau penggabungan perusahaan yang menghambat
persaingan serta penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk
merugikan pelaku usaha yang lebih kecil.
Disadari adanya keperluan bahwa Negara menjamin keutuhan proses
persaingan usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha terhadap gangguan
dari pelaku usaha dengan menyusun undang-undang, yang melarang pelaku
usaha mengganti hambatan perdagangan oleh Negara yang baru saja
ditiadakan dengan hambatan persaingan swasta.
Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa
keprihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar
yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam
perekonomian nasional Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha
mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka
dapat mengatur pasokan atau supply barang dan jasa serta menetapkan
harga-harga secara sepihak yang tentu saja menguntungkan mereka.
Koneksi yang dibangun dengan birokrasi Negara membuka kesempatan luas
untuk menjadikan mereka sebagai pemburu rente. Apa yang mereka lakukan
sebenarnya hanyalah mencari peluang untuk menjadi penerima rente (rent
18
seeking) dari pemerintah yang diberikan dalam bentuk lisensi, konsesi, dan
hak-hak istimewa lainnya. Kegiatan pemburuan rente tersebut, oleh pakar
ekonomi William J. Baumol dan Alan S. Blinder dikatakan sebagai salah satu
sumber utama penyebab inefisiensi dalam perekonomian dan berakibat
pada ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang
persaingan usaha, setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. RUU tersebut akhirnya
disetujui dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam
hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Rahardi Ramelan. Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, akhirnya
Undang-undang tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan diundangkan pada
tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan.
Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut
hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No.
X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia
memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar.
18
1999 saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan. Kelahiran Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ditunjang pula dengan tuntutan
masyarakat akan reformasi total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara, termasuk penghapusan kegiatan monopoli di segala sektor.
Adapun falsafah yang melatarbelakangi kelahiran undang-undang tersebut
ada tiga hal, yaitu:
18
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku
usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan
harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap
pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. Adapun beberapa
tujuan diadakannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain:
18
D. Perjanjian, Kegiatan, dan Posisi Dominan yang Dilarang dalam Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia
1) Perjanjian yang dilarang
Menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No. 5 Tahun 1999,
perjanjian didefinisikan sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku
usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang-
undang No. 5 Tahun 1999, dapat diketahui bahwa Undang-Undang No. 5
tahun 1999 merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis
maupun tidak tertulis, kedua-duanya diakui atau digunakan sebagai alat
bukti dalam kasus persaingan usaha.
Sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya dianggap tidak
begitu kuat sebagai alat bukti di pengadilan, karena hukum acara perdata
yang berlaku pada saat ini lebih menekankan dan mengganggap bukti
tertulis dan otentik sebagai alat bukti yang kuat.
Pengakuan dan masuknya perjanjian yang tidak tertulis sebagai
bukti adanya kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam
Hukum Persaingan Usaha adalah sangat tepat dan telah sesuai dengan
rezim Hukum Persaingan Usaha yang berlaku di berbagai negara. Pada
umumnya para pelaku usaha tidak akan begitu ceroboh untuk
memformalkan kesepakatan diantara mereka dalam suatu bentuk
tertulis, yang akan memudahkan terbuktinya kesalahan mereka. Oleh
karenanya perjanjian tertulis diantara para pelaku usaha yang
bersekongkol atau yang bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha
akan jarang ditemukan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur beberapa
perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
18
1. Oligopoli,
2. Penetapan harga
3. Pembagian wilayah,
4. Pemboikotan,
18
5. Kartel,
6. Trust,
7. Oligopsoni,
18
2) Kegiatan yang dilarang
Kegiatan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang berkaitan dengan proses dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Adapun jenis-jenis kegiatan yang dilarang menurut Undang-
Undang Antimonopoli adalah sebagai berikut:
18
3) Posisi Dominan
a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%
(lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar atau jenis barang atau
jasa tertentu; atau
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
18
E. Lembaga KPPU
18
7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
Presiden dan DPR.
Dalam menjalankan tugas tugasnya tersebut, Pasal 36 Undang-Undang
No. 5 tahun 1999 memberi wewenang kepada KPPU untuk:
1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan komisi sebagai hasil penelitiannya.
4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada
atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan Undang-Undang No. 5
tahun 1999.
8. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli atau setiap orang yang dimaksud dalam nomor 5 dan 6
tersebut di atas yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.
9. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
18
10. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat
bukti lain untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan.
11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat.
12. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
13. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
Jadi, KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan
dan akhirnya memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 atau tidak. Pelaku usaha yang merasa
keberatan terhadap Putusan KPPU tersebut diberikan kesempatan selama
14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut untuk
mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.
KPPU merupakan lembaga administratif. Sebagai lembaga semacam
ini, KPPU bertindak demi kepentingan umum. KPPU berbeda dengan
pengadilan perdata yang menangani hak-hak subyektif perorangan. Oleh
karena itu, KPPU harus mementingkan kepentingan umum dari pada
kepentingan perorangan dalam menangani dugaan pelanggaran hukum
antimonopoli.
Hal ini sesuai dengan tujuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang
tercantum dalam Pasal 3 huruf a Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yakni
untuk “menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat”.
18