Anda di halaman 1dari 34

1

MAKALAH
Teori dan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Kajian UU dan Hukum Islam

DI SUSUN OLEH :

Nur Aina Fadla

Rozatul Fadilla Azza

Milda Yatul Jamilah

Nia Cahyu

Maula Latifa

Fakultas Syari’ah dan Hukum


Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah
2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

Pasar merupakan tempat bertemunya antara pedagang dan penjual.


Dalamkehidupan nyata, sukar ditemui pasar yang didasarkan pada mekanisme persaingan
yang sempurna, namun persaingan dianggap sebagai suatu hal yang esensial dalam
ekonomi pasar. Oleh karena dalam keadaan nyata yang kerap terjadi adalah persaingan
tidak sempurna. Persaingan yang tidak sempurna terdiri dari persaingan monopolistik dan
oligopoli.

Persaingan memberikan keuntungan kepada para pelaku usaha maupun kepada


konsumen. Dengan adanya persaingan maka pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk
terus memperbaiki produk ataupun jasa yang dihasilkan sehingga pelaku usaha terus
menerus melakukaninovasi dan berupaya keras memberi produk atau jasa yang
terbaikbagi konsumen. Persaingan akan berdampak pada efisiensinya pelakuusaha dalam
menghasilkan produk atau jasa. Disisi lain dengan adanyapersaingan maka konsumen
sangat diuntungkan karena merekamempunyai pilihan dalam membeli produk atau jasa
tertentu denganharga yang murah dan kualitas baik. Pertumbuhan dunia usaha di
Indonesia patut dibanggakan. Di berbagai sektor usaha telah menunjukkan perkembangan
yang cukup pesat, baik sektor industri maupun jasa, sehingga pada gilirannya muncul
persaingan yang seharusnya dipandang sebagai hal positif, dimana dengan adanya
persaingan itu sendiri para pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus memperbaiki
produk ataupun jasa yang dihasilkan sehingga pelaku usaha terus menerus melakukan
inovasi dan berupaya keras memberi produk atau jasa yang terbaik untuk para konsumen.
Menurut hasil penelitian bahwa persaingan usaha menurut hukum ekonomi Islam
merupakan kompetisi yang diperbolehkan, asalkan persaingan usaha itu dilaksanakan
secara sehat, akan tetapi apabila persaingan usaha yang dilaksanakan itu bersifat
monopolistik dalam rangka mengambil keuntungan, maka ekonomi Islam melarangnya.
Hal ini disebabkan karena ekonomi Islam memberikan garisan bahwa persaingan usaha
harus dilakukan secara sehat (fair play) dengan prinsip kejujuran (honesty), keterbukaan
(transparancy), dan keadilan (justice). Sedangkan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun
1999, persaingan usahamerupakan persaingan yang diperbolehkan, akan tetapi apabila
persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha, maka menurut ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999, persaingan usaha tersebut dilarang.

Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dan


dibuat oleh lembaga yang telah ditetapkan. Peraturan tersebut sebagai pedoman bagi
segenap masyarakat dan komponen bangsa. Dan digunakan dalam kehidupa
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peraturan tersebut memilki urutan dan
hirarki yang telah disepakati. Sehingga setiap peraturan yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya1.Mengenai tata urutan peraturan
perundang-undangan secara resmi diatur pertama kali dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan
Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia.2

Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya merupakan proses


penyelenggaraan Negara/pemerintah dalam rangka tercapainya tata tertib dalam
bernegara. Peraturan Perundang-undangan merupakan alat atau sarana untuk tercapinya
cita-cita dan tujuan Negara yaitu Kesejahteraan Masyarakat (Welfare state). Untuk
mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara Republik Indonesia harus didasarkan pada
Pertama, Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945, yang merupakan dasar hukum
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, Filsafat
Bangsa/Dasar Negara yaitu Pancasila yang merupakan Landasan Idiil dan Sumber dari

1
1Yulia Wiliawati, Tesis: “Sejarah Perkembangan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan yang Berlaku di Indonesia” (Banten: Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa, 2020), 2
2
Ibid., 3
segala sumber hukum. Dan terakhir Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan
Landasan Konstitusional bagi setiap peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.Mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan diatur dalam
UU No. 10 Tahun 2004 dan sekaligus merupakan koreksi terhadap pengaturan hirarki
peraturan perundang-undangan yang selama ini pernah berlaku yaitu TAP MPR No. XX
Tahun 1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000. Tata perundang-undangan tersbut
yaitu urutannya yang pertama TAP MPR No.XX Tahun 1966: UUD R1 1945, TAP MPR,
UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan-peraturan pelaksanaan
lainnya, antara lain: Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri. Yang kedua ada TAP MPR
TAP MPR No. III Tahun 2000 yaitu meliputi UUD RI 1945, TAP MPR RI, UU, Perpu,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah. Ketiga, Undang-Undang
No. 10 Tahun 2004 yang urutannya yaitu UUD RI 1945, UU/Perpu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, meliputi: pertama, Perda Provinsi
dibuat DPRD Provinsi dengan Gubernur, kedua, Perda Kabupaten/Kota dibuat oleh
DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota dan Peraturan Desa/Peraturan yang
setingkat dibuat oleh BPD atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama
lainnya. Keempat, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 urutannya yaitu UUD RI 1945,
TAP MPR, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah.
Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 ini, maka TAP MPR Nomor XX Tahun
1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000 dicabut dan tidak berlaku lagi, karena tidak
sesuai dengan prinsip demokrasi dan prinsip-prinsip negara hukum.3Sebagaimana
tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis
yang perekonomiannya berdasarkan asas kekeluargaan dengan asas demokrasi ekonomi.4
Berkaitan dengan hal tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang bertujuan untuk
menciptakan lingkungan usaha yang kondusif.

3
Hasanuddin Hasim, “Hierarki Peraturan Perundang-Perundangan Negara
Republik Indonesia sebagai Suatu Sistem”, Jurnal Umpar, Vol.1 No.2, 2017, 125,
http://jurnal.umpar.ac.id
4
Mohammad Mahfud Mahmodin, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Studi
Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan), (Jakarta, Rineka
Cipta, 2003), 18
Gunanya yaitu untuk menjamin pemerataan kesempatan berusaha bagi usaha
besar dan menengah serta pelaku usaha kecil.5Artinya keberadaan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan jaminan
perlindungan yang sama. Ditujukan bagi setiap pelaku usaha yang melakukan usaha
dengan mencegah timbulnya perbuatan melawan hukum. Monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat lainnya dalam rangka menciptakan lingkungan usaha yang kondusif,
sehingga setiap pelaku usaha dapat bersaing secara sehat dan adil.6UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat dibentuk
dengan tujuan menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, wujudkan iklim usaha yang
kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menengah dan pelaku usaha kecil, Mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, terciptanya efektifitas dan efisiensi
dalam kegiatan usaha. Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas maka Komisi Pengawas
Persaingan Usaha selain aktif melaksanakan tugasnya dalam bidang penegakan hukum
persaingan, juga aktif dalam hal pencegahan terjadinya pelanggaran persaingan usaha
tidak sehat. Salah satu upaya yang dilakukan KPPU di bidang pencegahan ialah dengan
berusaha meningkatkan kepatuhan pelaku usaha terhadap hukum persaingan usaha
melalui keikutsertaan pelaku usaha dalam program kepatuhan persaingan usaha KPPU.

Untuk tujuan program kepatuhan tersebut, KPPU membuat Pedoman Program


Kepatuhan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.Persaingan usaha yang sehat
diharapkan dapat muncul dari kesadaran dari para pelaku usaha itu sendiri dalam

5
Zulherman Idris dan Desi Apriani, “Tinjauan Terhadap Hukum Persaingan
Usaha Indonesia Dari Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen”, Jurnal
Panorama Hukum, Vol.4 No. 1, Juni 2019,20,http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=1112015&val=11146
&title=TINJAUAN%20TERHADAP%20HUKUM%20PERSAINGAN%20USA
HA%20INDONESIA%20DARI%20PERSPEKTIF%20HUKUM%20PERLIND
UNGAN%20KONSUMEN
6
Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha “Studi Konsep Pembuktian terhadap
Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha”, (Malang: Setara Press,
2013), 15-16
melakukan persaingan usaha. Kondisi tersebut tidak akan terwujud jika tidak ada campur
tangan pihak lain. Maka diperlukan suatu lembaga khusus untuk mencegah dan
menekan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Persaingan usaha
yang sehat dalam mekanisme pasar ini dapat terwujud dengan adanya campur tangan dari
KPPU tadi sebagai lembaga yang khusus menangani hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Definisi

Secara etimologi, monopoli ialah menghimpun serta menahan. Sedangkan secara


terminologi, penafsiran monopoli ada beberapa mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi
merupakan pembelian bahan makanan secara besar- besaran, setelah itu ditimbun
sehingga harganya naik. Sedangkan menurut mazhab Hambali, monopoli ialah membeli
bahan makanan untuk diperdagangkan serta ditimbun supaya langka dan harganya
meningkat dan akan mendapat keuntungan yang besar. Bagi mazhab Hambali, monopoli
ialah membeli bahan makanan untuk diperdagangkan serta ditimbun supaya biar sangat
jarang serta biayanya bertambah, agar memperoleh keuntungan yang besar. Sebaliknya
bagi Qaradhawi, yang diartikan dengan monopoli ialah menahan barang agar tidak
tersebar di pasar supaya harganya menjadi tinggi. Sedangkan dalam undang-undang
larangan monopoli di jelaskan, monopoli ialah pengusaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha.

Dalam pandangan Qaradhawi, praktik monopoli bersumber dari egoisme serta


kekerasan hati terhadap manusia. Pelaku monopoli menambah kekayaan dengan
mempersempit kehidupan orang lain. Dari beberapa pandangan diatas,baik
secara umum dapat dipahami, monopoli dalam pandangan Islam yaitu menimbun barang
atau bahan pokok atau komoditi apapun yang dihajatkan masyarakat agar menjadikan
harganya melambung naik karena ada motif ekonomi untuk mencari keuntungan setinggi
mungkin.7 Menurut Arie Siswanto, yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha
(competition law) adalah instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana

7
14Didik Kusno Aji, “Konsep Monopoli dalam Tinjauan Ekonomi Islam”, Jurnal
STAIN Jurai Siwo Metro, 2013, hal 51, http://download.garuda.ristekdikti.go.i
persaingan itu harus dilakukan8Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999 menjelaskan apa yang
dimaksud dengan persaingaan tidak sehat, persaingan tidak sehat adalah persaingan yang
dilakukan secara tidak jujur yang dilakukan oleh para pengusaha bidang apapun itu.
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa
adanya larangan untuk para pengusaha melakukan sebuah perjanjian dengan pesaingnya
untuk melakukan penetapan harga karena itu sama dengan melakukan suatu praktik
monopoli dan masuk ke indikasi bahwa perusahaan tersebut melakukan persaingan yang
tidak sehat dalam berbisnis.9Persaingan akan mendorong setiap perusahaan untuk
melakukan kegiatan usahanya se-efisien mungkin agar dapat menjual barang-barang dan
atau jasa-jasanya dengan harga yang serendah-rendahnya. Apabila setiap perusahaan
berlomba untuk menjadi se-efisien mungkin agar memungkinkan mereka dapat
menjual barang-barang dan atau jasa dengan semurah-murahnya dalam rangka bersaing
dengan perusahaan perusahaan lain yang menjadi pesaingnya. Dengan demikian akan
memungkinkan setiap konsumen akan membeli barang yang paling murah yang
ditawarkan di pasar bersangkutan. dengan terciptanya efisiensi bagi setiap perusahaan,
pada gilirannya efisiensi tersebut akan menciptakan pula efisiensi bagi masyarakat
konsumen.10

Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan


rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi dalam bidang
ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk
berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim
usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus
berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan
adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas

8
15Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), 1
9
Rimarsha Agotta dan Putu Ade Harriestha Martana, Perang Tarif Penyedia
Layanan Ojek dalam Jaringan Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia”, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 9 No. 1, 2020, 97
10
Made sarjana, “Analisis Pendekatan Ekonomi Dalam Hukum Persaingan
Usaha”,JurnalTrunojoyo,Vol.8 No.2, 2013,12,
https://journal.trunojoyo.ac.id/rechtidee/article/view/694
dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap
perjanjian-perjanjian internasional. Untuk mewujudkan sebagaimana tersebut, atas usul
inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat perlu disusun Undang-undang Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
- Dasar hukum undang-undang ini adalah : Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27
ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
- Undang-Undang ini antara lain mengatur mengenai perjanjian yang dilarang; kegiatan
yang dilarang; posisi dominan; Komisi Pengawas Persaingan Usaha; dan penegakan
hukum

Berkaitan dengan keberadaan Undang–Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan


Praktek MonopliDan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau Undang-Undang Antimonopoli
yang berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum mempunyai peranan yang sangat
penting dalam mengwujudkan iklim usaha yang sehat di Indonesia.

Pasal 18 ayat (1)


‘’Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokanatau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan tidak sehat.’’

Pasal 18 ayat (2)


“Pelaku usaha patut di duga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal sebagai mana dimaksudkan ayat (1) apabila
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.’’
Mengenai pengertian penguasaan pasar memang tidak dijelaskan dalam
Undang- Undang No. 5 Tahun 1999. Namun demikian, penguasaan pasar ini
adalah kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat sebagai mana ditentukan
dalam pasal 19, pasal 20, dan pasal 21 Undang-Undang Antimonopoli
tersebut.Adapun ketentuan pasal-pasal itu berbunyi sebagai berikut Pasal 19 :
“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. Menolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatanusaha yang
sama pada pasal yang bersangkutan.
b. Menghalangi konsumen pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya.
c. Membatasi peredaran penjualan barang dan jasa pada pasar yang bersangkutan.
d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.Berdasarkan ketentuan
pasal 19 itu jelas bahwa menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh
dilakukan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non ekonomi, misalnya
karena perbedaan suku,ras, status sosial, dan lain-lain. Selain berupa kegiatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan pasal 19 tersebut, kegiatan lain yang di
kategorikan juga sebagai penguasaan pasar adalah kegiatan yangdi tentukan dalam Pasal
20Undang-Undang Antimonopoli yang menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha di larang melakukan pemasokan barang dan jasa dengan melakukan jual
rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud menyingkirkan atau
mematikan usaha pesaingnya dipasar yang bersangkutan, sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat”Mengenai kegiatan penguasaan pasar ini di atur
dalam pasal 21Undang-Undang Antimonopoli. Pasal ini menyatakan sebagai berikut:
“Pelaku Usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi atau
biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Ketentuan pasal 21 diatas menegaskan bahwa kecurangan dalam menetapkan biaya


produksi dan biaya lainnya adalah pelenggaraan terhadap Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku untukmemperoleh biaya faktorfaktor produksi yang lebih rendah dari yang
seharusnya.Persekongkolan menurut ketentuan pasal 1 angka 8 persekongkolan atau
konspirasi usahaadalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha lainnya
dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan yang
dilarangsebagaimana diatur dalam pasal 22, pasal 23, dan pasal 24 Undang-Undang
Antimonopoli selengkapnya pasal-pasal tersebut berbunyi sebagai
berikut:Pasal 22 :
“Pelaku Usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan
menentukan pemegang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23
“Pelaku Usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan
informasi kegiatan usaha pesaingnya yang dapat diklafisikasikan sebagai
rahasia Perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
Pasal 24
“Pelaku Usaha dilarang bersengkongkol dengan pihak lain untuk menghambat
produksi dan pemasaran barang dan jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud agar barang dan jasa yang ditawarkan untuk dipasokan di pasar
bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketetapan
waktu yang di persyaratkan.Dari ketiga pasal diatas, dapat di katakan bahwa kegiatan
persekongkolan yang dilarang itu dapat dibagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:

1. Persekongkolan yang berkaitan dengan tender, mencakup dengan pengaturan atau


penentuan pemegang tender yang tidak wajar.
2. Persekongkolan yang berkaitan dengan informasi atau rahasia perusahaan,yaitu
persekongkolan untuk mendapatkan informasi yang di kategorikan sebagai rahasia
perusahaan dari pelaku usaha pesaing dengan cara illegal.
3. Persekongkolan yang berkaitan dengan upaya menghambat produksi dan
pemasaran barang dan jasa pelaku usaha pesaingnya dengan cara curang dan ilegal.

Dalam Hukum Nasional masalah Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di
atur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun1999 dasar pertimbangan lahirnya Undang-
Undang ini adalah:
a. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus terarahkan kepada terwjudnya
kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar1945

b. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama
bagi setiap warga negara untuk berpatisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran
barang atau jasa dalam iklim usaha, yang sehatefektif dan efisien sehingga dapt
mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.

c. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar sehingga tidak menimbulkan adanyapemusatan
kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu degan tidak terlepas dari kesepakatan yang
telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap Perjanjian Internasional.
d. Bahwa untuk mewujudkan sebagaimana yang dimakasud dalam huruf a dan
b atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat

B. Jenis-jenis Praktek Usaha Curang Menurut UU Nomor 5 Tahun 1999

Di bawah ini merupakan beberapa jenis-jenis praktek usahacurang yang di larang


oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah:

a. Oligopoli dalam produksi dan atau distribusiMaksud praktik bisnis ini adalah pelaku
usaha yang berjumlah dua atau lebih di bidang yang sama membuat perjanjian untuk
bersam-sama melakukan pengusaan produksi dan atau pemasaran barang yang
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli serta persaingan usaha yang tidak sehat.

b. Kartel harga (Pince Fixing Contract)Maksud praktik bisnis yang dilarang ini adalah
pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha jika pelaku usaha membuat suatu
hal lain sebagai persaingan untuk mendapatkan suatu barang dan jasa. Hal ini terjadi
bilamana peran produsen produk sejenis atau yang identik saling sepakat untuk
menentukan atau menetapkan harga jual produknya, larangan ini diatur dalam Pasal 5
UndangUndang Nomor 5 tahun 1999.11

c. Kartel harga berupa menetapkan harga di bawah pasarPraktek bisnis yang dilarang ini
terjadi bila pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingannya
untuk menetapkan harga dibawah pasar,sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha
tidak sehat. Larangan seperti ini perlu sebab praktek semacam ini sangat potensial
menghancurkan pelaku usaha pesaing lainnya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.12

d. Tie-ins di kaitkan dengan hargaPerjanjian yang dilarang ini maksudnya jika


penjual/produsen mewajibkan pembeli untuk membeli produk lain darinya atau tidak
membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha pesaingnya apabila pembeli itu
ingin memperoleh potongan harga (diskon) atas produk dari pihak penjual tersebut.

e. MonopoliKegiatan monopoli dilarang menurut Pasal 17 UndangUndang Nomor 5


tahun 1999, maksudnya pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan
pemasaran barang atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Dan pelaku usaha dapat duduga atau dianggap
melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau jasa apabila:
1) Barang atau jasa belum ada subsitusinya.
2) Pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam persaingan usaha barang dan atau jasa
yang sama.
3) Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa
pasar satu jenis barangatau jasa tertentu.13

f. MonopsoniMaksud kegiatan yang terlarang ini menurut Pasal 18 Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1999 adalah pelaku usaha dilarang menguasai pembelian dan atau

11
L.B Kagramanto, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
222
12
Ibid., 224
13
Kagramanto, Hukum Jaminan ..., 225
pasokan suatu produk dan kegiatan ini dianggap atau patut diduga melakukan monopsoni
jika pelaku usaha menguasi lebih dari 50% mangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu14

g. Penguasaan pasar/menghalangi akses pasarPenguasaan pasar dilarang menurut Pasal


18 UndangUndang Nomor 5 tahun 1999, dan penguasaan pasar ini terjadi kalau pelaku
usaha melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha
lain yang dapat mengakibatkan praktek atau persaingan usaha tidak sehat, dan hal ini
terjadi kalau:
1) Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha
yang sama pada pasar yang bersangkutan atau
2) Menghalangi konsumen atau pelaku usaha persaingannya
3) Membatasi peredaran atau penjualn barang atau jasa.
4) Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

h. Persekongkolan dalam proses tenderHal ini dilarang menurut Pasal 22 Undang-


Undang Nomor 5 tahun 1999. Yang menentukan adalah pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

i. Persekongkolan untuk sabotas Persekongkolan ini bertujuan untuk sabotase dan


dilarang menurut Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, maksudnya pelaku
usaha berkonspirasi dengan pihak lain dengan maksud menghambat produksi dan atau
distribusibarang dan jasa yang ditawarkan atau dipasok dipasar bersangkutan menjadi
kurang baik dari kualitas maupun ketetapan waktu yang dipersyaratkan. Jadi, tujuannya
adalah untuk sabotase.15

14
Kagramanto, Hukum Jaminan ..., 226
15
Betriks Eva Kalangi, “Prosedur Penanganan Perkara Monopoli dan
Persaingan Curang Serta Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Lex
Crimen, Vol.6 No.1, 2017
C. Monopoli Serta Persaingan Usaha Tidak Sehat Menurut Hukum Islam

Ketentuan dalam al-Qur’an secara langsung tidak menyebutkan mengenai al ihtikar


(Monopolistic rent). Tapi, ada ayat yang menyebutkan mengenai praktek penimbunan
emas dan perak. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Imran
ayat 108. Meskipun tidak ditemukan secara jelas dalam alQur’an tentang Monopoli,
tetapi ayat tersebut memiliki hubungan erat dengan riba. Dan tentunya riba sangatlah
dilarang.
Karena dalam riba ada unsur zulmun (menganiaya) orang lain diakibatkan karena ketidak
mampuan peminjam untuk membayar hutang tepat waktu sehingga harga menjadi naik
melebihi pokok pinjamannya. Dan hal ini tentu saja memberatkan yang mengakibatkan si
peminjam teraniaya dan terpaksa membayar tambahan modal tersebut.16Sementarihtikar
walaupun secara implisit juga mengandung zulmun (menzhalimi) dan masyarakat
akan merasakan akibat fatalnya. Karena al-ihtikar memiliki tujuan untuk mencari
keuntungan yang lebih banyak. Caranya yaitu dengan menimbun barang sehingga dapat
mengakibatkan kelangkaan. Selain mengakibatkan kelangkaan, menimbun barang juga
akan mengakibatkan harga barang tersebut menjadi naik bahkan harganya sangat
melambung tinggi.17

Islam secara tegas melarang praktik monopoli. Praktik monopoli akan menyebabkan
rusaknya sistem pasar dan efisiensi dalam perekonomian, yang berarti melanggar sistem
perekonomian. Norma larangan praktik monopoli telah secara tegas disampaikan
Rasulullah SAW “Barangsiapa melakukan monopoli, maka dia adalah pendosa”.
Berdasarkan hadis ini Yusuf Qardawi berpendapat bahwa tindakan monopoli adalah
haram dan merupakan penopang kapitalisme.18 Larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat dalam Islam dilihat dari dua aspek antara lain larangan
praktik monopoli dari sudut perilaku (akhlak, behavioral) dan struktur pasar (structure
16
Maya Meilia dan Darania Anisa, “Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia
Menurut Hukum Ekonomi Islam dan Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal Ekonomi Islam,
Vol 7 No. 1, 2019, 25
17
Ibid,26
18
Meirina Dewi Pratiwi dan Erniwati,”Persaingan Usaha dalam Hukum Islam”,
2019, http://ejournal.iba.ac.id
market). Konsep mekanisme pasar dalam Islam bisa dirujuk pada hadits Rasulullah SAW
sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-
harga barang di kota Madinah. Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa
Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep mekanisme pasar dari
pada Adam Smith. Dalam hadits Muhammad SAW dijelaskan bahwa: Harga barang
dagangan pernah melambung tinggi di Madinah pada zaman Nabi Saw, lalu orang-orang
pun berkata: “Wahai Rasulullah, harga barang melambung, maka tetapkanlah standar
harga untuk kami. Maka Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah lah
al-Musa’ir (Yang Maha Menetapkan harga), al-Qabidh, alBasith, dan ar-Raziq. Dan
sungguh aku benar-benar berharap berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada
seorangpun dari kalian menuntutku dengan kezhaliman dalam masalah darah (nyawa)
dan harta”. (HR. Al-Khomsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Inilah teori ekonomi Islam mengenai harga.

Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan
bahwa ketentuan harga itu diserahkan pada mekanisme pasar yang alamiah impersonal.
Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa di pasar tidak boleh ditetapkan.
Karena Allah-lah yang menentukannya.19Secara perilaku atau behavioral Islam sangat
menekankan setiap aktivitas kehidupan termasuk dalam melakukan usaha adalah bagian
ibadah. Secara garis besar Islam tidak menafikan adanya persaingan usaha dalam bisnis
dalam rangka mencapai suatu keadaan yang “fair” bagi konsumen dalam memperoleh
layanan dan harga yang terbaik dan kompetitip, tetapi Islam juga memberikan rambu-
rambu bagi para pelaku bisnis dalam mengarungi persaingan usaha, yaitu bertransaksi
secara ribawi, penipuan, mengkonsumsi hak milik orang lain dengan cara yang
bathil, penimbunan, monopoli, penentuan harga yang fix, proteksionisme, monopoli,
melakukan hal yang melambungkan harga, tindakan yang menimbulkan kerusakan,
pemaksaan.Ada cara bersaing sehat secara islami. Caranya sebagai berikut:
a. Tidak menghalalkan segala cara.
b. Berupaya menghasilkan produk berkualitas dan pelayanan
terbaik sesuai syariah.

19
Anisa, “Persaingan Usaha ..., 37
c. Memperhatikan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan
akad-akad bisnis.

D. Tinjauan Teoritis Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat

Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyatakan bahwa :
“Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.”

Dalam isi pasal diatas definisi monopoli adalah suatu penguasaan atas sebuah usaha atau
bisnis tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Hal ini tentu dapat
memperkuat posisi pelaku usaha dan melemahkan posisi pesaingnya, maka semakin lama pelaku
usaha yang melakukan penguasaan akan semakin menguasai pasaran. Monopoli ini dapat
dilakukan oleh satu pelaku usaha maupun satu kelompok pelaku usaha.

Pengertian praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
terdapat pada Pasal 1 angka 2 dan angka 6, untuk pengertian dan unsur dari praktik monopoli ada
pada Pasal 1 angka 2 yang menyatakan:
“Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan
umum.”

Dari pengertian tersebut terdapat unsur-unsur yang sangat penting untuk memahami arti
dari praktik monopoli, yaitu :
1. Pemusatan kekuatan ekonomi;
2. Satu atau lebih pelaku usaha;
3. Mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu;
4. Menimbulkan persaingan usaha tidak sehat;
5. Merugikan kepentingan umum.

Jadi apabila satu atau lebih pelaku usaha yang melakukan pemusatan kekuatan ekonomi
hingga mampu menguasai produksi dan pemasaran atas barang atau jasa yang menjadi objek
usahanya, kemudian dari perbuatan tersebut menyebabkan atau menimbulkan iklim persaingan
usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum, maka pelaku usaha tersebut menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah melakukan praktik monopoli.
Kemudian untuk pengertian persaingan usaha tidak sehat terdapat pada Pasal 1 angka 6,
yang menyatakan :
“Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara para pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan
cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha"

Dari pengertian tersebut terdapat unsur-unsur yang terkandung didalamnya, yaitu :


1. Persaingan antara para pelaku usaha;
2. Menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa;
3. Dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Pengertian persaingan usaha tidak sehat yang telah dipaparkan di atas menyatakan pelaku
usaha yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat haruslah memenuhi semua unsur yang
ada di atas. Hal ini diperlukan untuk menganalisis dan pembuktian, serta menentukan apakah
perbuatan pelaku usaha menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Unsur-unsur yang perlu
dibuktikan antara lain, bahwa pelaku usaha tersebut menjalankan usahanya secara tidak jujur
atau melawan hukum, dan/ atau menghambat persaingan usaha di dalam suatu pasar tertentu,
barang atau jasa yang dibutuhkan oleh konsumen tidak ada substitutnya, atau sekalipun ada
substitut namun tidak berarti. Dengan demikian tidak terjadi efisiensi bagi konsumen, sebab
konsumen tidak mendapatkan barang yang berkualitas dan harga yang wajar. Persaingan usaha
tidak sehat yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 lebih menekankan pada
dampak, sehingga membutuhkan pembuktian yang kuat.

Setelah membahas pengertian praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta
unsur-unsurnya yang ditarik dari pengertian tersebut, maka peneliti akan membahas pendekatan
yang ada atau terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu pendekatan
Rule of Reason dan pendekatan Perse Illegal. Kedua pendekatan ini melekat atau ada di dalam
pasal-pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Pendekatan tersebut berfungsi untuk membedakan perbuatan atau struktur pasar


bagaimanakah yang boleh dilakukan oleh pelaku usaha. Alasan (Rule of Reason) diperbolehkan
didasarkan pada analisis ekonomi dan hukum dengan menganalisis terpenuhinya unsur-unsur
persaingan usaha tidak sehat dan praktik monopoli sebagaimana ditentukan dalam ketentuan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pendekatan Perse-illegal memandang bahwa perbuatan
tersebut tidak perlu analisis, sebab akibatnya berpengaruh buruk terhadap persaingan dan tidak
perlu ada analisis, dan perbuatan atau pelanggaran benar-benar tidak boleh dilakukan oleh pelaku
usaha (Perse Illegal).

Rule Of Reason adalah pendekatan guna menilai atau membuktikan perbuatan pelaku
usaha, atau kelompok pelaku usaha telah melakukan praktik monopoli, dan persaingan usaha
tidak sehat, serta merugikan kepentingan umum atau tidak, dengan menilai dampak dari kegiatan
atau perbuatan pelaku usaha dan kelompok pelaku usaha tersebut. Apabila dampak tersebut
dinilai tidak menimbulkan kerugian pada kepentingan umum dan tidak menyebabkan persaingan
usaha tidak sehat, maka perbuatan atau kegiatan pelaku usaha tersebut tidak melanggar ketentuan
dari Undang Undang Nomor 5 tahun 1999.

Pendekatan Rule Of Reason yang pertama diterapkan dalam Standard Oil Co. Of N.J. v.
United States sebagai interpretasi terhadap the Sherman Act pada tahun 1911.
20
Interpretasi tersebut menghasilkan suatu premis, bahwa pertimbangan hukum yang utama
dalam menerapkan pendekatan tersebut adalah maksimalisasi kesejahteraan atau pemuasan
kebutuhan konsumen. Dalam hal ini, hakim Peckham, Taft, dan White menunjukkan perhatian
mereka, bahwa hukum tidak bertujuan untuk menghancurkan suatu bentuk kombinasi
perusahaan yang efisien, namun menekan kombinasi penjualan yang bermaksud mengeliminasi
persaingan. Adanya unsur pemuasan kebutuhan konsumen sebagai pertimbangan utama dari
hukum, mengharuskan pengadilan untuk menerapkannya sebagai kriteria pokok, yakni apakah
suatu perjanjian akan berdampak pada terwujudnya efisiensi, dan kemudian dapat meningkatkan
produk, atau sebaliknya, akan berdampak pada pemusatan produksi.

Dalam perkara ini hakim menyatakan, bahwa alasan utama diterapkannya the sherman
Act adalah adanya akumulasi kekayaan yang amat besar di dalam perusahaan secara bersama
maupun secara individual, mengakibatkan adanya kekuatan yang besar dari pengembangan yang
luas, sehingga dapat mengakibatkan tekanan terhadap individu-individu perusahaan lainnya dan
merugikan masyarakat secara umum. Undang undang tersebut bermaksud, pertama, untuk
menerapkan common law di negara-negara federal, yang menjamin bahwa masing-masing
individu berhak melakukan perdagangan yang tidak dihambat dengan cara tidak wajar
(unreasonably). Kedua adalah, bahwa masyarakat harus mendapat perlindungan dari praktek-
praktek peningkatan harga serta bentuk-bentuk praktek penyimpangan lainnya.21Keputusan
tersebut, ditetapkan oleh Hakim White yang bertindak sebagai Hakim Ketua, yang dulunya
menolak penggunaan perse illegal dalam Trans-Missouri. Keputusan Standard Oil dengan jelas
memberikan kontribusi bagi pengembangan the Sherman Act, khususnya dalam hal peranan
pengadilan dan letak diskresi guna menginterpretasikan Undangundang, yakni dengan cara
menerapkan suatu pendekatan yang dikenal sebagai the rule of reason.22

20
Standard Oil Co. Of N.J. v. United States, 221 U.S. 1, 31 S. Ct. 502, 55 L. Ed. 619
(1991).
21
Jerrold G. van Cise, “Antitrust Past-Present-Future”, dalam Theodore P.
Kovaleff, “The Antitrust Impulse : an Economic, Historical, and Legal Analysis”, vol. I,
(M.E. Sharpe, Inc), hlm. 26.
22
A. M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Perse Illegal atau Rule Of Reason, Jakarta Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2003, hlm. 95
Perse Illegal adalah pendekatan yang tidak memerlukan penilaian atau pembuktian lagi
guna menentukan perbuatan atau kegiatan pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha melanggar
atau tidak ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pendekatan perse
illegal harus memenuhi dua syarat, yakni petama, harus ditujukan lebih kepada “perilaku bisnis”
dari pada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan
lebih lanjut, misalnya, mengenai akibat dan hal-hal yang melingkupinya. Hal ini adalah adil, jika
perbuatan ilegal tersebut merupakan “tindakan sengaja” oleh perusahaan, yang seharusnya dapat
dihindari. Kedua, adanya identifikasi secara cepat atau mudah mengenai jenis praktek atau
batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari pelaku usaha
baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah. Meskipun
demikian diakui, bahwa terdapat perilaku yang terletak dalam batas-batas yang tidak jelas antara
perilaku terlarang dan perilaku yang sah.
Pembenaran substantif dari perse illegal harus didasarkan pada fakta atau asumsi, bahwa
perilaku tersebut dilarang karena dapat mengakibatkan kerugian. Hal tersebut dapat dijadikan
pengadilan sebagai alasan pembenar. Oleh karena itu, terdapat dua hal penting yang harus
diperhatikan, pertama, adanya dampak merugikan yang signifikan dari praktek tersebut. Kedua,
kerugian tersebut harus tergantung pada praktek yang dilarang. Perse Illegal dapat diterapkan
bila memenuhi salah satu syarat berikut ini:

1. The condemned practice is always harmful, whatever the circumstances of its use. In our
context, this means that the practice can serve only to lessen competition, that it always does
lessen competition, and that it has no other justifications. (Praktik yang dilarang selalu
merugikan, apapun kondisinya. Dalam konteks ini, ini berarti praktik hanya dilakukan untuk
mengurangi persaingan, bahwa hal tersebut selalu mengurangi persaingan, dan tidak memiliki
alasan lain).

2. The practice is sometimes harmful and sometimes neutral, but never contributes positively to
the working of the market. A practice may be harmful when it achieves its intended effects and
neutral if it fails; in either event it has no beneficial effects and neutral if it fails; in either event it
has no beneficial effects which cannot be achieved without the practice. (Praktik ini terkadang
merugikan dan terkadang netral, namun tidak pernah memberi kontribusi positif bagi kinerja
pasar. Praktik ini mungkin merugikan apabila mencapai efek atau tujuan yang diinginkan dan
netral apabila gagal; diantara kedua peristiwa itu tidak menguntungkan dan netral apabila gagal;
diantara kedua peristiwa itu tidak menguntungkan yang tidak dapat diraih tanpa praktik.)

3. The practice is sometimes harmful, sometimes neutral, and sometimes beneficial, but the
aggregate of harm in situations in which it makes a beneficial contribution to the working of the
market. Or alternatively, there are both harmful and beneficial aspects of the practice in a
particular situation and these vary from situation to situation; but in the aggregate of all
situations, harm for outweigh benefit. The difference between aggregate harm and aggregate
benefit must be great that the cost of distinguishing harmful and beneficial situations by an
examination of the relevant circumstances is not worth icurring. (praktik ini terkadang
merugikan, terkadang netral, dan terkadang menguntungkan, tapi akumulasi dari kerugian dalam
situasi dimana hal tersebut memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi mekanisme/kerja pasar,
atau jika tidak, ada aspek merugikan dan menguntungkan dalam praktik di situasi yang berbeda
dari satu situasi ke situasi lain; tetapi dalam keseluruhan situasi, telah banyak merugikan
daripada keuntungan. Perbedaan dari keseluruhan kerugian dan keuntungan harus lebih besar
daripada biaya atau ongkos. Perbedaan keadaan merugikan dan menguntungkan dengan cara
menguji ketentuan relevansi yang tidak bernilai.)

Pada umumnya, syarat yang pertama jarang ditemukan. Biasanya yang terjadi adalah
syarat kedua dan ketiga, khususnya yang terakhir ini praktis dan relevan. Pengujian terhadap ada
tidaknya persaingan melalui pendekatan perse illegal memberikan kepastian. Adanya larangan
yang tegas, dapat memberikan kepastian bagi perusahaan untuk mengetahui keabsahan suatu
perbuatan. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengatur dan menjalankan usaha tanpa
khawatir adanya gugatan hukum di kemudian hari, yang menimbulkan kerugian berlipat ganda.
Dengan perkataan lain, bahwa pendekatan perse illegal dapat memperingatkan perusahaan sejak
awal mengenai perbuatan apa saja yang dilarang dan menjauhkan mereka untuk mencoba
melakukannya. Perbedaan sederhana dari kedua pendekatan di atas adalah pada isi pasal yang
menggunakan salah satu pendekatan tersebut, apabila dalam pasal tersebut terdapat klausula atau
kalimat yang menyatakan “dapat mengakibatkan” atau semacamnya, maka pasal tersebut
menggunakan pendekatan Rule Of Reason, sementara apabila dalam pasal tersebut terdapat
klausula atau kalimat yang menyatakan “pelaku usaha dilarang” tanpa diakhiri dengan kalimat
“dapat mengakibatkan”, maka pasal tersebut menggunakan pendekatan Perse Illegal.

Setelah membahas pengertian dan juga pendekatan yang digunakan dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka selanjutnya akan dibahas pasal yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang membahas atau mengatur mengenai praktik
monopoli pengadaan beras, antara lain Pasal 17, yang menyatakan bahwa:

“(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.”

“(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila :

a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau

b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan
atau jasa yang sama; atau

c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”
Dari isi pasal diatas jelas menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, kemudian pada ayat (2) dinyatakan
acuan atau indikator penentuan pelaku usaha seperti apa yang termasuk pelaku usaha yang
melakukan praktik monopoli, kemudian dalam penjelasan Pasal 17 ayat (2) tersebut disebutkan
atau dijelaskan bahwa yang dimaksud pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang memiliki daya
saing atau kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan. Signifikan disini
dimaksudkan atau lebih mudahnya diartikan sebagai pesaing yang berarti atau berpengaruh atau
yang sebanding dengan pelaku usaha yang telah ada di pasar bersangkutan, sehingga akan ada
pembanding dan juga akan ada pilihan bagi masyarakat sebagai konsumen yang pada akhirnya
bertujuan agar tidak terjadi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

E. Tinjauan Umum Tentang Beras dan Kebutuhan Pangan Menurut Undang-Undang


Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Pengadaan beras dan pemenuhannya kebutuhan pangan merupakan kewajiban bagi


negara untuk mewujudkannya sesuai dengan apa yang termuat pada konsideran huruf b Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyatakan bahwa :

“bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan


konsumsi Pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional
maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan
budaya lokal”

Definisi pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012tentang Pangan terdapat


pada Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa :

“Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati

produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.”

Definisi ketahanan pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang


Pangan terdapat pada Pasal 1 angka 2 yang menyatakan bahwa :

“Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.”

Dari definisi pangan diatas, dapat diketahui bahwa pangan bukan hanya segala sesuatu
yang dihasilkan dari seluruh sumber hayati, tetapi juga meliputi bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau
pembuatan makanan atau minuman.Dari definisi ketahanan pangan diatas, mewujudkan
ketahanan pangan dapat diartikan lebih lanjut sebagai berikut:23

1. Terpenuhinya pangan yang cukup diartikan ketersediaan pangan yang berasal dari tanaman,
ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan
mineral yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.

2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis,
kimia, dan benda/zat lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan
manusia serta aman dari kaidah agama.

3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan harus tersedia
setiap saat dan merata di seluruh tanah air.

4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh oleh
seetiap rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Pangan pokok ialah pangan yang muncul dalam menu sehari – hari, mengambil porsi
terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber energi terbesar. Sedangakan pangan pokok
utama ialah pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagaian besar penduduk serta dalam situasi
normal tidak dapat diganti oleh komoditas lain.24

Dari penjelasan kedua pengertian diatas, maka dapat diketahui bahwa gabah, beras, dan
nasi termasuk kedalam pangan pokok dan pangan pokok utama, hal itu dikarenakan gabah dan
beras merupakan bahan baku dari nasi, gabah yang diolah menjadi beras melalui penggilingan,
dan setelahmenjadi beras akan dimasak menjadi nasi yang siap dikonsumsi oleh sebagian besar
penduduk Indonesia yang tidak dapat diganti oleh komoditas atau jenis pangan pokok lainnya
dalam situasi normal, maka berdasarkan hal tersebut kebutuhan akan gabah, beras, dan nasi
sebagai pangan pokok utama sangat tinggi. Oleh karena kebutuhan akan pangan beras ini sangat
tinggi, maka diperlukan perencanaan pangan. Perencaan pangan ini diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang menyatakan bahwa :

“perencanaan pangan dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke arah


kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.”

23
Achmad Suryana, “Kapita Selekta, Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan",
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2003, hlm.103
24
Khumaidi, “Gizi Masyarakat”, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1994, hlm. 4
Perencanaan ini harus terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional dan
pembangunan daerah, dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan
melibatkan peran masyarakat dan juga pelaku usaha di bidang pangan yang akan disusun di
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Selain melaksanakan perencanaan pangan,
pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertanggung jawab atas ketersediaan dan pengembangan
produksi pangan di daerahnya untuk pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat secara
berkelanjutan. Hal ini diatur dalam Pasal 12 ayat (1) sampai ayat (4) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan, yang menyatakan bahwa :

“Ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas Ketersediaan Pangan.

Ayat (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas Ketersediaan Pangan di
daerah dan pengembangan Produksi Pangan Lokal di daerah.

Ayat (3) Dalam mewujudkan Ketersediaan Pangan melalui pengembangan Pangan Lokal,
Pemerintah Daerah menetapkan jenis Pangan lokalnya.

Ayat (4) Penyediaan Pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi Pangan bagi
masyarakat, rumah tangga dan perseorangan secara berkelanjutan".

Setelah melakukan perencanaan dan penyediaan pangan, pemerintah dan/atau pemerintah


daerah pun berkewajiban untuk melindungi dan memberdayakan semua pihak yang terlibat pada
rangkaian produksi pangan sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan yang menyatakan :

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan Petani,


Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan sebagai produsen Pangan.”Pemerintah
pusat dan/atau pemerintah daerah melakukan stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok yang
dilakukan sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan, yang menyatakan :

“Stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dilakukan
melalui:
a. Penetapan harga pada tingkat produsen sebagai pedoman pembelian Pemerintah;
b. Penetapan harga pada tingkat konsumen bagi penjualan pemerintah;
c. Pengelolaan dan pemeliharaan cadangan pangan Pemerintah;
d. Pengaturan dan pengelolaan pasokan pangan;
e. Penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada kepentingan nasional;
f. Pengaturan kelancaran distribusi antar wilayah;
g. Pengaturan ekspor dan impor pangan.”

Pada pasal ini jelas menyatakan bahwa, pemerintah berhak untuk melakukan pengaturan
dan penetapan harga pada tingkat produsen maupun konsumen, dan juga mengenai kelancaran
distribusi antar wilayah, maka dengan dilaksanakannya perencanaan, penyediaan, dan stabilisasi
pasokan dan harga pangan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat dan menciptakan ketahanan pangan nasional, terutama pada beras yang
menjadi pangan pokok utama yang dikonsumsi sebagian besar penduduk Indonesia.

Selain perlu inisiatif dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah untuk melakukan
perencanaan sampai stabilisasi, pelaku usaha di bidang pangan dan masyarakat pun perlu
mendukung dan menaati pengaturan yang diterapkan oleh pemerintah di bidang pangan selama
itu demi kepentingan nasional.

F. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang No.5 Tahun 1999

Pada hakikatnya orang menjalankan kegiatan usaha adalah untuk memperoleh keuntungan
dan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan primer, skunder,
maupun kebutuhan tersier. Atas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup itulah yang mendorong
banyak orang menjalankan kegiatan usaha baik kegiatan usaha sejenis maupun kegiatan usaha
yang berbeda. Keadaan yang demikian itulah sesungguhnya yang menimbulkan atau melahirkan
persaingan usaha diantara pelaku usaha. Oleh karena itulah, persaingan dalam dunia usaha
merupakan hal yang biasa terjadi. Bahkan dapat dikatakan persaingan dalam dunia usaha itu
merupakan persyaratan mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar. Walaupun diakui bahwa
adakalanya persaingan usaha itu sehat dan dapat juga yang tidak sehat.

Usaha yang sehat akan menimbulkan akibat yang positif bagi para pelaku usaha, sebab
dapat menimbulkan efisiensi, produkivitas dan produk 34 yang dihasilkannya, selain
menguntungkan bagi para pelaku usaha tentu saja konsumen menperoleh manfaat dari
persaingan usaha yang sehat itu, yaitu adanya penurunan harga, banyak pilihan dan peningkatan
kualitas produk, sebaliknya apabila terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antara pelaku usaha
tentu berakibat negatif tidak saja bagi pelaku usaha dan konsumen, tetapi juga memberikan
pengaruh negatif bagi Perekonomian Nasional.25

Persaingan dalam dunia usaha antara pelaku usaha akan mendorong pelaku usaha untuk
berkonsentrasi pada rangkaian proses atau kegiatan penciptaan produk atau jasa terkait dengan
kompetensi usahanya. Dengan adanya konsentrasi pada pelaku usaha sebagai produsen akan
dapat menghasilkan sejumlah produk dan jasa yang memiliki kualitas yang memiliki daya saing
di pasaran dalam negeri maupun internasional. Masalah persaingan usaha di Indonesia pada
Masa Orde Baru belum lah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah walaupun banyaknya
tuntutan agar Indonesia memiliki Undang-Undang Antimonopoli untuk pertama kalinya muncul
pada tahun 1990 sebagai bagian perdebatan tindakan kebijakan antimonopoli di Indonesia tetapi
tuntutan itu tampaknya sulit untuk diwujutkan karena tidak di dukung oleh pemerintah.
Akibatnya persaingan usaha yang ada pada masa Orde Baru itu bertentangan dengan nilai-nilai
25
Gunawan Wijaya. Mergen Persepektif Monopoli .Jakarta 14240.hlm 01
demokrasi di bidang ekonomi, bahkan sekaligus dapat di katakan sebagai salah satu faktor
menghambat terwujutnya demokrasi dalam bidang ekonomi, adanya jaminan kepastian hukum
berdasarkan Undang-Undang Antimonopoli tersebut dapat mencegah praktek- 35 praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sehingga tercipta efektivitaskegiatan usaha sebagai
salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

G. ASAS DAN TUJUAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT

Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi

ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan umum dan pelaku

usaha. Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sbb:

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional

sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha

yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama

3. bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil. Mencegah praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.

4. Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

H. PERJANJIAN YANG DILARANG DALAM MONOPOLI DAN PERSAINGAN


TIDAK SEHAT
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5 tahun 1999lebih
menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalamundang-
undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu ataulebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha laindengan nama apapun,
baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini namun masihmenimbulkan kerancuan.
Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebutsebagai perjanjian. Perjanjian yang
lebih sering disebut sebagai tacit agreement inisudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli
di beberapa negara, namun dalampelaksanaannya di UU No.5 Tahun 1999 masih
belum dapat menerima adanya”perjanjian dalam anggapan” tersebut.26

26
Elyta R. Ginting, Hukum Anti Monopoli Indonesia (Analisis & Perbandingan UU No. 5 Tahun 1999), (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001) hal.23
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan
hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan
conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian”
kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori
kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang
dilarang dalam UU No.5 Tahun 1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai
berikut, :
1. Oligopoli
Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang berjumlah
sedikit sehingga dapat mempengaruhi pasar, maka:
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha dengan secara
bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa.
b. Pelaku usaha patut diduga melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran
barang atau jasa bila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usahamenguasai
>75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
pelaksanaannya di UU No.5 Tahun 1999 masih belum dapat menerima adanya
”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan
hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan
conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian”
kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori
kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Anti Monopoli .

2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara
lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga
yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan
atau jasa yang sama.
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga di bawah harga
pasar.
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima
barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasayang
diterimanya dengan harga lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan.

3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bertujuan membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa.

4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik
untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga
perbuatan tersebut berakibat:
a. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain,
b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjaul atau membeli setiap barang dan
atau jasa dari pasar bersangkutan.

5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang atau jasa.

6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar
dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap perusahaan atau
peseroan anggotanya yang bertujuan mengontrol produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa.

7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam suatu pasar komoditas,
diantaranya:.
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan menguasai pembelian atau penerimaan pasokan secara bersama-sama
agar dapat mengendalikan harga barang atau jasa dalam pasar yang bersangkutan.
b. Pelaku usaha dapat diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
8. Integrasi vertical
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak
langsung.

9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak
dan atau tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia
membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha
yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain:
a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok,
b. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

10. Perjanjian dengan pihak luar negeri


Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat

I. Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Monopoli

Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang


dikecualikan, yaitu:27
1. Pasal 50
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti
lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,
rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba.
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang
tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan.

27
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2007) hal 180
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan
untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan.
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan
standar hidup masyarakat luas
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil.
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya.

Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan
Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh
Pemerintah.

J. Komisi Pengawas
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di
Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.28

Undang-undang No 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa tugas dan wewenang Komisi


Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai berikut:
1. Tugas
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat
c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat
28
http://kumpulan-jurnal-dunia-q.andrafarm.com/id1/2906-2783/Komisi-Pengawas-Persaingan-
Usaha_23999_malang_kumpulan-jurnal-dunia-q-andrafarm.html di unduh pada hari Selasa, 19 Desember 2017
pada pukul 19.30
d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenangnyaMemberikan saran dan
pertimbangan terhadap komisi kebijakan pemerintahan yang berkaitan dengan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Menyusun pedoman dan
atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini
e. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Wewenang
a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat
c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat
atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil
penelitiannya
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak
adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang ini
f. .Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap
mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan komisi.
h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini
i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku
usaha lain atau masyarakat.

Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan


praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

k. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang


melanggar ketentuan undang-undang ini.29
29
http://www.kppu.go.id/id/tentang-kppu/tugas-dan-wewenang/ di unduh pada hari Selasa, 19 Desember 2017
pada pukul 20.10
K. Sanksi

Pasal 36 Undang- Undang No 5 Tahun 1999 mengatur tentang kewenangan KPPU mulai dari
menerima laporan dari masyarakat atau pelaku usaha tentang dugaan pelanggaran undang-
undang hingga menjatuhkan sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan undang-
undang.30

Secara rinci mengenai kewenangan KPPU diatur di dalam Pasal 36 Undang-Undang No 5


Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

1. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan


penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini.
2. menerima laporan dari masyarakat dan atau pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
3. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tidakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha yang tidak sehat.
4. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat yang
dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku usaha atau yang ditemukan oleh
KPPU sebagai hasil dari penelitiannya.
5. Menyimpulkan hasil penyelidikan ada atau tidaknya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha yang tidak sehat.
6. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran tehadap
ketentuan undang-undang ini.
7. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
8. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan, pelaku usaha, saksi, saksi ahli,
9. mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat dokumen atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.
10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku
usaha lain atau masyarakat
11. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat;31
30
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002) hal. 94

31
I Ketut Karmi Nurjaya, Peranan KPPU dalam Menegakkan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDHvol92009/VOL9J2009%20I%20KETUT%20KARMI
%20NURJAYA.pdf
12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan Undang-undang No.5 Tahun 1999
terebut, dan sesuai dengan ketentuan pasal 35 huruf f, KPPU diberikan wewenang untuk
menyusun Pedoman ataupun publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang No. 5 Tahun
1999. Atas dasar ketentuan ini KPPU diberi wewenang pula untuk membuat dan menentukan
hukum acara dalam proses penanganan perkara pelanggaran terhadap Undang-Undang Anti
monopoli tersebut. KPPU kemudian menerbitkan Keputusan KPPU No. 05/Kep/IX/2000,
Tentang Tatacara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran terhadap Undang
undang No. 5 Tahun 1999.

Kemudian pada tanggal 18 April Tahun 2006 KPPU menetapkan Peraturan Komisi
Pengawas Persangan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Berdasarkan pasal 74 dari peraturan ini keputusan
Komisi Nomor 05/KPPU/ Kep/IX/2000 dinyatakan tidak berlaku sejak anggal 18 Nopember
2006. Baik Keputusan KPPU No. 5 Tahun 2000 maupun Peraturan KPPU No.1 Tahun 2006
sebagai penggantinya adalah merupakan hukum acara dan juga pedoman bagi KPPU untuk
melaksanakan fungsi penyelidikan dan pemeriksaan sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan
pasal 36 Undang-Undang Antimopoli.Sebagai badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan
Undang-Undang Antimonopoli, KPPU berwenang mengadakan pemeriksaan dan penyelidikan
kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
yang tidak sehat.

Anda mungkin juga menyukai