Anda di halaman 1dari 132

IMPLEMENTASI INDIRECT EVIDENCE (BUKTI TIDAK LANGSUNG)

SEBAGAI ALAT BUKTI KPPU TERHADAP PEMBUKTIAN


TERJADINYA KARTEL

Oleh
CITRA RATU KUSUMA HAKIM

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar


SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan


Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan1 yang dimilki setiap individu dalam

rangka bertindak untuk melakukan transaksi perdagangan dipasar. Persaingan usaha

diyakini sebagai mekanisme untuk dapat mewujudkan efisiensi dan kesejahteraan

masyarakat. Bila persaingan dipelihara secara konsisten, akan tercipta kemanfaatan

bagi masyarakat konsumen, yaitu berupa pilihan produk yang bervariatif dengan

harga pasar serta dengan kualitas tinggi. Sebaliknya, bila persaingan dibelenggu oleh

peraturan-peraturan, atau dihambat oleh perilaku-perilaku usaha tidak sehat dari

perilaku pasar, maka akan muncul dampak kerugian pada konsumen.2

Negara Indonesia sendiri, pernah mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan

pada tahun 1997 dan mengalami puncak krisis pada tahun 1998 yang pada akibatnya

memicu reformasi dan restrukturisasi pada berbagai bidang, yang salah satunya

1
Seperti yang tertuang dalam asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2
bahwa: “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum”. Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang
lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas
Pasal 33 UUD 1945.
2
Irna Nurhayati. Kajian Hukum Persaingan Usaha : Kartel Antara Teori dan Praktik. (Jakarta:
Jurnal Hukum Bisnis Vol.30-No.2-Tahun 2011). Hlm.6.

Citra Ratu Kusuma Hakim


2

adalah kebijakan dalam kompetisi atau persaingan usaha yang ada di Indonesia.3

Jangka waktu yang dibutuhkan untuk merestrukturisasi peraturan mengenai

persaingan usaha ini memakan waktu yang cukup lama, yang pada akhirnya

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengatur tentang

larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (selanjutnya disebut UU

No. 5 Tahun 1999).4 Undang-undang ini memberikan substansi tentang larangan

praktek monopoli, persaingan usaha tidak sehat diantara para pelaku usaha,

menjabarkan perbuatan apa saja yang dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang

dapat merusak persaingan usaha melalui monopoli, monopsoni, kartel, oligopoli,

oligopsoni, dan persekongkolan. UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur mengenai

3
Aturan hukum mengenai persaingan usaha atau aturan sejenis sebenarnya telah ada pada masa
itu, dimulai dari Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah mengamanatkan bahwa dalam demokrasi ekonomi harus
dihindarkan monopoli yang merugikan masyarakat. Kemudian pada UU No.5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian, pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Pemerintah wajib mengatur, membentuk, dan
mengembangkan industri demi penciptaan persaingan yang sehat dan pencegahan persaingan
curang”. Pada penjelasan : Pemerintah mencegah investasi yang menimbulkan kondisi persaingan
yang curang dan tidak jujur di bidang industri. Dan tertuang juga di KUHP Pasal 382, yang
berbunyi:“barang siapa mendapatkan, melangsungkan, atau memperluas hasil perdagangan atau
perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak
umum atau seorang tertentu, diancam karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama
empat bulan atau pidana denda bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-
konkuren atau konkuren orang lain”.
4
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 pada tanggal 5 Maret 1999.
Andi Fahmi Lubis, et.all, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. (Jakarta: Creative
Media, 2009), Hlm. 14. Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaingan usaha,
setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. RUU tersebut akhirnya disetujui dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999,
dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan.
Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 33 pada tanggal 5 Maret 1999, akhirnya Undang-undang tentang larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan
diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan. Berlakunya UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai
tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No.
X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi
yang berorientasi pasar.

Citra Ratu Kusuma Hakim


3

komisi independen yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau

yang selanjutnya disingkat KPPU yang mengatur mengenai sanksi dan prosedur

penegakan hukum persaingan usaha.5

Dapat dipahami bahwa dalam pasar bebas, harus dicegah penguasaan pasar oleh satu,

dua atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli/oligopoli). Dalam Pasar hanya

dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha, maka akan terbuka peluang untuk menghindari

atau mematikan bekerjanya mekanisme pasar, sehingga harga-harga yang ditetapkan

secara sepihak dan merugikan konsumen.6 Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit

membuat berbagai perjanjian atau kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran,

mengatur harga, kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang ditawarkan guna

memperoleh keuntungan setinggi-tingginya dalam waktu yang singkat atau yang

lebih sering disebut dengan kartel.7

Dengan melakukan praktik kartel merupakan salah satu kentungan dan ancaman bagi

para pelaku usaha yang lain. Kartel merupakan jenis perjanjian yang dilakukan oleh

para pelaku usaha yang anti terhadap persaingan. Para pelaku usaha ini melakukan

5
Andi Fahmi Lubis, et.all, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. (Jakarta:
Creative Media, 2009), Hlm.311. Untuk mengawasi pelaksanaan UU No 5 Tahun 1999 (UU
Antimonopoli) dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 UU No. 5 Tahun
1999 yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi
ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No 75
Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.
6
Johnny Ibrahim, Hukum dan Persaingan Usaha; Teori dan Implikasi Penerapannya di
Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), Hlm 3.
7
UU No. 5 Tahun 1999 mengkategorikan kartel sebagai salah satu bentuk perjanjian yang
dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Dimana kartel diatur dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun
1999 berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu
barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.”

Citra Ratu Kusuma Hakim


4

perjanjian untuk mempengaruhi harga melalui pengaturan proses produksi maupun

pengaturan wilayah pemasaran produk, sebagai akibat daripada perjanjian tersebut

dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dapat

merugikan konsumen selaku pemakai barang dan jasa juga kepada pemerintah dan

terlebih bagi pelaku usaha lainnya yang tidak termasuk dalam cartellist. Padahal

kegiatan kartel merupakan sebuah perjanjian yang jelas-jelas dilarang dalam UU No.

5 Tahun 1999, dan tindakan para pelaku usaha yang melakukan praktik kartel tersebut

adalah merupakan tindakan yang melanggar etika dalam kegiatan hukum bisnis.

Umumnya, kartel dilakukan oleh asosiasi dagang bersama dengan anggotanya.

Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Komisi No. 04 Tahun 2010 tentang

Pedoman pelaksana Pasal 11 tentang Kartel (selanjutnya disebut Perkom No. 4 Tahun

2010), pengertian kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk

mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan

harga suatu barang dan/atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat

keuntungan wajar. Kartel termasuk pelanggaran berat dari hukum persaingan usaha.

Karena dampaknya terhadap penurunan kesejahteraan social (social welfare)

dianggap cukup nyata. Oleh karena itu, dapat dipahami jika KPPU gelisah untuk

melakukan investigasi. Di Amerika serikat, kartel termasuk dalam ketentuan per se

illegal.8 Beda halnya di Indonesia, dengan adanya frasa “yang dapat mengakibatkan

8
Andi Fahmi Lubis, et.all, Op.Cit, Hlm.55. Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang
ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal
dapatanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga
penjualan kembali. Penerapan pendekatan per se illegal dapatanya dipergunakan dalam pasal-pasal

Citra Ratu Kusuma Hakim


5

terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat” maka ketentuan

kartel dalam UU No. 5 Tahun 1999 termasuk dalam rule of reason.9

Proses pembuktian adanya dugaan praktik perjanjian kartel diantara para pelaku

usaha menjadi suatu masalah bagi KPPU dalam menyelesaikan perkara persaingan

usaha tidak sehat. Dalam hal pembuktian kartel, kebanyakan otoritas persaingan

usaha di berbagai negara sangat hati-hati dalam pembuktian kartel. Sebagai contoh,

berbagai keadaan yang sering ditengarai sebagai indikator adanya kartel sebenarnya

perbedaannya sangat tipis dengan situasi dimana persaingan secara sehat

berlangsung. Misalnya, tentang indikasi harga yang paralel (price parallelism) sering

dianggap sebagai tindakan yang dilakukan secara bersama-sama secara kolusif untuk

menentukan harga (price fixing) oleh para anggota kartel. Dalam praktiknya, terlalu

banyak faktor yang menyebabkan terjadinya parallelism harga, yang terjadi justru

karena pasarnya bersaing secara kompetitif.

yang menyatakan istilah “dilarang”. Lebih lanjut lihat Mustafaa Kamal Rokan, S.H.I.,M.H., Hukum
Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.60. Larangan-larangan yang
bersifat per se illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas, dan mutlak dalam rangka member
kepastian bagi para pelaku usaha.Pendekatan per se illegal harus memenuhi dua syarat. Pertama, harus
ditujukan lebih kepada “perilaku bisnis” daipada situasi pasar. Kedua, adanya identifikasi secara tepat
dan mudah mengenai praktik atau batasan perilaku yang terlarang.
9
Ibid. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga
otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau
mendukung persaingan. Penerapan pendekatan rule of reason terdapat pencantuman kata-kata “yang
dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga”. Lebih lanjut lihat Mustafaa Kamal Rokan, S.H.I.,M.H.,
Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.66. Teori rule of reason
mengharuskan pembuktian, mengevaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan, atau posisi dominan
tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung
persingan. Dalam substansi UU No. 5 Tahun 1999 umumnya mayoritas menggunakan pendekatan rule
of reason.

Citra Ratu Kusuma Hakim


6

Pada dasarnya harga yang sama atau satu jenis produk bukan merupakan suatu hal

yang salah, hal tersebut menjadi salah apabila harga yang sama tersebut dibentuk

bersama berdasarkan kesepakatan, dan untuk menyimpulkan adanya kesepakatan

tersebut maka perlu adanya dukungan suatu bukti. Dengan kata lain, parallel price

atau uniform price atau persamaan harga tidak serta-merta membuktikan adanya

kesepakatan kartel diantara pelaku usaha pesaing. Indikasi-indikasi ekonomi seperti

itulah yang sering disebut sebagai indirect evidence atau bukti tidak langsung.10

Jika melihat Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/200911 berkaitan dengan dugaan Kartel

Industri Minyak Goreng Sawit dan Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/201012 berkaitan

dengan dugaan penetapan harga dan kartel Industri Semen, maka kasus ini diputus

berdasar atas indirect evidence. Hal tersebut menunjukkan bahwa indirect evidence

memiliki fungsi dalam proses pembuktian hukum persaingan usaha, walaupun UU

No. 5 Tahun 1999 tidak menyebutkan hal ini secara eksplisit. Indirect evidence

10
Peraturan Komisi No. 04 Tahun 2010 tentang Pedoman pelaksana Pasal 11 tentang Kartel
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, Hlm.11. Indirect evidence, yang antara lain
dilakukan melalui penggunaan berbagai hasil analisis ekonomi yang dapat membuktikan adanya
korelasi antar satu fakta ekonomi dengan fakta ekonomi lainnya, sehingga akhirnya menjadi sebuah
bukti kartel yang utuh dengan identifikasi sejumlah kerugian bagi masyarakat di dalamnya.
11
KPPU yang memeriksa dugaan terhadap pelanggaran Pasal Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berkaitan
dengan Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia, yang dilakukan oleh: PT Multimas Nabati Asahan,
PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Agrindo Indah
Persada, PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Megasurya Mas, PT Agro Makmur Raya, PT
Mikie Oleo Nabati Industri, PT Indo Karya Internusa, PT Permata Hijau Sawit, PT Nagamas Palmoil
Lestari, PT Nubika Jaya, PT Smart Tbk, PT Salim Ivomas Pratama, PT Bina Karya Prima, PT Tunas
Baru Lampung, PT Berlian Eka Sakti Tangguh, PT Pacific Palmindo Industri, dan PT Asian Agro
Agung Jaya.
12
KPPU yang memeriksa dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berkaitan dengan Penetapan
Harga dan Kartel Dalam Industri Semen yang dilakukan oleh: PT Indocement Tunggal Prakarsa, PT
Holcim Indonesia, PT Semen Baturaja (Persero), PT Semen Gresik (Persero) Tbk, PT Semen Andalas
Indonesia, PT Semen Tonasa, PT Semen Padang, dan PT Semen Bosowa Maros.

Citra Ratu Kusuma Hakim


7

(khususnya analisa ekonomi) digunakan oleh KPPU sebagai alat bantu untuk

menghasilkan rasio dibalik sebuah keputusan yang tepat. Bahkan Perkom No. 4

Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa indikator-indikator ekonomi hanyalah

petunjuk awal yang mendorong terjadinya kartel. Untuk itu, diperlukan pembuktian

lebih lanjut dalam bentuk bukti langsung yang menunjukkan benar-benar telah terjadi

kesepakatan kartel.

Perdebatan-perdebatan pun timbul, mengenai dasar KPPU menggunakan indirect

evidence sebagai alat bukti. Berdasarkan permasalahan tersebut, Penulis akan

mengkaji dan membahas mengenai permasalahan ini dalam penelitian yang berjudul

“Implementasi Indirect Evidence (Alat Bukti Tidak Langsung) sebagai Alat Bukti

KPPU terhadap Pembuktian Terjadinya Kartel”.

B. Rumusan Masalah dan Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana implementasi indirect evidence (alat bukti tidak

langsung) sebagai alat bukti KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel ?

Untuk itu pokok bahasan dalam penelitian ini adalah:

1. Kedudukan indirect evidence dalam pembuktian kartel.

2. Proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence atas terjadinya kartel.

3. Akibat hukum dari alat bukti indirect evidence atas terjadinya kartel.

Citra Ratu Kusuma Hakim


8

Lingkup penelitian ini meliputi lingkup pembahasan dan lingkup bidang ilmu.

Lingkup pembahasan adalah bagaimana implementasi indirect evidence (alat bukti

tidak langsung) sebagai alat bukti KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel.

Sedangkan lingkup bidang ilmu adalah Hukum Keperdataan (ekonomi) khususnya

Hukum Persaingan Usaha.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi lengkap, rinci, jelas, dan

sistematis mengenai:

1. Kedudukan indirect evidence dalam pembuktian kartel.

2. Proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence atas terjadinya kartel.

3. Akibat hukum dari pembuktian indirect evidence atas terjadinya kartel.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini adalah sebagai dasar pemikiran dalam upaya

perkembangan secara teoritis disiplin ilmu, khususnya hukum ekonomi dan

untuk memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum yang berkenaan

dengan persaingan usaha.

Citra Ratu Kusuma Hakim


9

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini berguna untuk:

a. Sebagai upaya pengembangan wawasan keilmuan dan pengetahuan Peneliti

dibidang ilmu hukum khususnya hukum persaingan usaha.

b. Sebagai bahan literatur bagi mahasiswa selanjutnya yang akan melakukan

penelitian mengenai hukum persaingan usaha.

c. Sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

Citra Ratu Kusuma Hakim


10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Persaingan Usaha

1. Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Hukum Persaingan Usaha terdiri dari kata hukum dan persaingan usaha. Bila

dikehendaki persaingan usaha dapat dipecah lagi menjadi kata persaingan dan

usaha. Hukum merupakan pengatur dan petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat

(levensvoorschriten) sehingga hukum selalu sesuai dengan situasi dan kondisi

masyarakat itu sendiri.13 Menurut Borst hukum ialah keseluruhan peraturan bagi

kelakuan atau perbuatan manusia didalam masyarakat, yang pelaksanaannya dapat

dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan.14 Utrecht dan Van

Apeldoorn beranggapan bahwa untuk memberikan suatu definisi yang tepat

tentang hukum adalah tidak mungkin. Hukum mengatur hubungan didalam

masyarakat antara orang dengan orang atau antara anggota masyarakat yang lain.

Bentuk hubungannya dapat lebih terinci lagi dalam bermacam-macam bentuk

seperti perkawinan, tempat kediaman, perjanjian-perjanjian, dan lain sebagainya.15

Persaingan merupakan suatu perjuangan yang dilakukan oleh seseorang atau

kelompok orang tertentu (kelompok sosial), agar memperoleh kemenangan atau

13
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. VIII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hlm.23.
14
Ibid, Hlm. 27.
15
Ibid, Hlm. 24.

Citra Ratu Kusuma Hakim


11

hasil secara kompetitif, tanpa menimbulkan ancaman atau benturan fisik dipihak

lawannya,16 memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh

perseorangan (perusahaan, negara) pada bidang perdagangan, produksi, maupun

persenjataan.17 Usaha dalam kehidupan sehari-hari dapat diartikan sebagai upaya

manusia untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan tertentu, usaha atau

dapat juga disebut suatu perusahaan adalah suatu bentuk usaha yang melakukan

kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan,

baik yang diselenggarakan oleh perorangan maupun badan usaha yang berbentuk

badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum, yang didirikan dan

berkedudukan di suatu daerah dalam suatu negara.18

Persaingan usaha adalah kondisi dimana terdapat dua pihak (pelaku usaha) atau

lebih berusaha untuk saling mengungguli dalam mencapai tujuan yang sama

dalam suatu usaha tertentu.19 Pengertian dari hukum persaingan usaha adalah

hukum yang mengatur tentang interaksi atau hubungan perusahaan atau pelaku

usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi

atas motif-motif ekonomi.20 Pengertian persaingan usaha secara yuridis selalu

dikaitkan dengan persaingan dalam ekonomi yang berbasis pada pasar, dimana

pelaku usaha baik perusahaan maupun penjual secara bebas berupaya untuk

16
http://www.pengertiandefinisi.com/2011/10/pengertian-persaingan.html, Diunduh 27
November 2012.
17
http://www.artikata.com/arti-376318-persaingan.html, Diunduh 27 November 2012.
18
http://carapedia.com/pengertian_definisi_usaha_info2644.html, Diunduh 27 November
2012.
19
Rilda Murniati, Penyelesaian Perkara Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha oleh
KPPU, Dalam buku Hukum Bangun Teori dan Telaah dalam Implementasi, (Bandar Lampung:
Universitas Lampung, 2009), Hlm. 444.
20
Andi Fahmi Lubis, et.all, Loc.Cit, Hlm. 21.

Citra Ratu Kusuma Hakim


12

mendapatkan konsumen guna mencapai tujuan usaha atau perusahaan tertentu

yang didirikannya.21

Dilihat dari segi ekonomi, pengertian persaingan atau competition adalah:22

a. Merupakan suatu bentuk struktur pasar, dimana jumlah perusahaan yang

menyediakan barang di pasar menjadi indikator dalam menilai bentuk pasar

seperti persaingan sempurna (perfect competition), Oligopoli (adanya

beberapa pesaing besar).

b. Suatu proses dimana perusahaan saling berlomba dan berusaha untuk merebut

konsumen atau pelanggan untuk dapat menyerap produk barang dan jasa yang

mereka hasilkan, dengan cara:

(1) Menekan harga (price competition);

(2) Persaingan bukan terhadap harga (non price competition) melalui

deferensial produk, pengembangan HAKI, promosi/iklan, pelayanan purna

jual;

(3) Berusaha untuk lebih efesien (low cost production).

2. Dasar Hukum Persaingan Usaha

Kegiatan perekonomian nasional dalam pengaturannya diatur dalam Pasal 33

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dimana ekonomi diatur oleh kerjasama

berdasarkan prinsip gotong royong. Secara tidak langsung dalam Pasal 33 UUD

21
Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Laras, 2007), Hlm.
57.
22
Ibid.

Citra Ratu Kusuma Hakim


13

1945 termuat pemikiran demokrasi ekonomi,23 dimana demokrasi memiliki ciri

khas yang proses perwujudannya diwujudkan oleh semua anggota masyarakat

untuk kepentingan seluruh masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan

seluruh rakyat.

Pemikiran demokrasi ekonomi perlu diwujudkan dalam menciptakan kegiatan

ekonomi yang sehat, maka perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan

aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha

didalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Ketentuan

larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia terdapat

dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 No. 33 pada tanggal 5 Maret 1999 dan berlaku secara efektif 1 (satu)

tahun sejak diundangkan.24

Sebelum UU No. 5 Tahun 1999 berlaku secara efektif dan menjadi dasar hukum

persaingan usaha, telah ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai persaingan usaha. Pengaturannya terdapat dalam sejumlah

peraturan perundang-undangan yang tersebar secara terpisah (sporadis) satu sama

lain.25 Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai

antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah sebagai berikut:26

23
Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: Jala Permata Aksara,
2009), Hlm. 6.
24
Ningrum Natasya Sirait, et.all, Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, (Jakarta: PT
Gramedia, 2010), Hlm 1.
25
Binoto Nadapdap. Op.Cit. Hlm. 7.
26
Ibid

Citra Ratu Kusuma Hakim


14

a. Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b. Pasal 1365 KUHPerdata

c. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria

d. Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo Undang-Undang No. 12 Tahun 1970 jo

Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri

e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

f. Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 14 Tahun 1997

tentang Merek

g. Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

h. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

i. Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

j. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan

dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas

k. Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum

Keberadaan UU No. 5 Tahun 1999 sebagai dasar hukum persaingan usaha juga

dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksana dan peraturan terkait lainnya baik

yang dikeluarkan oleh KPPU dalam bentuk Peraturan Komisi (Perkom), Pedoman

KPPU, Surat Keputusan (SK) dan Surat Edaran (SE), maupun yang dikeluarkan

oleh Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma).27

27
Ningrum Natasya Sirait, et. All. Op.Cit.

Citra Ratu Kusuma Hakim


15

3. Ruang Lingkup Hukum Persaingan Usaha

Penerapan hukum persaingan usaha bertujuan untuk menghindari timbulnya

persaingan usaha tidak sehat. Pasal 1 angka (6) UU No. 5 Tahun 1999

menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku

usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa

yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

persaingan usaha. Pengertian persaingan usaha tidak sehat ini dapat dilakukan

dalam bentuk perjanjian dan kegiatan sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun

1999 .

a. Perjanjian yang Dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999

Perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

lebih. Handri Raharjo bersandarkan pada Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan

perjanjian sebagai suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari

kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara

mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek

hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain

berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang

telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.28

Wirjono menafsirkan perjanjian sebagai perhubungan hukum mengenai harta

benda antara dua pihak dalam hal mana suatu pihak berjanji atau dianggap

28
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),
Hlm. 42.

Citra Ratu Kusuma Hakim


16

berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,

sedang pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan dari perjanjian itu.29

Sedangkan Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa, dimana

seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.30

Pasal 7 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 mengatur secara khusus mengenai apa

yang dimaksud dengan perjanjian. Perjanjian dalam Pasal ini didefinisikan

sebagai: suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri

terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis

maupun tidak tertulis. Perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam UU

No. 5 Tahun 1999 yang terjadi atau mengakibatkan praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat, antara lain meliputi:

(1) Perjanjian Oligopoli

Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha melakukan perjanjian

oligopoli yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai

produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat

mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

(2) Perjanjian Penetapan Harga

UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk melakukan perjanjian

dengan pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa

yang harus dibayar konsumen atau pelanggannya. UU No. 5 Tahun 1999

membagi perjanjian penetapan harga kedalam beberapa jenis yaitu:

29
Andi Fahmi Lubis, et.all. Op.Cit, Hlm. 85.
30
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT intermasa, 2002), Hlm. 1.

Citra Ratu Kusuma Hakim


17

a. Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)


Pasal 5 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 merumuskan bahwa pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk

menetapkan harga atau suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh

konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

b. Perjanjian Diskriminasi Harga (Price Discrimination Agreement)


Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 melarang setiap perjanjian diskriminasi

harga, dimana bunyi Pasal tersebut antara lain: “Pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus

membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh

pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.”

c. Harga Pemangsa atau Jual rugi (Predatory Pricing)


Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh

pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga dibawah biaya produksi

(average cost atau marginal cost). Tujuan utama dari predatory pricing

untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah

pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar

yang sama.

d. Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance) – (Vertical


Price Fixing)
Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “Pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan

bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok

kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih

Citra Ratu Kusuma Hakim


18

rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

e. Perjanjian Pembagian Wilayah (Market Division)


Prinsipnya perjanjian antara pelaku usaha untuk membagi wilayah

pemasaran diantara mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadap

konsumen, dimana konsumen tidak mempunyai pilihan yang cukup baik

dari segi barang maupun harga. UU No. 5 Tahun 1999 melarang perbuatan

tersebut dalam Pasal 9 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk

membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan/atau

jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat.

(3) Pemboikotan

Pasal 10 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat

menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk

tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Dan dalam Pasal 10 Ayat

(2) menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa

dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: (a). Merugikan atau dapat

diduga akan merugikan pelaku usaha lain atau; (b). Membatasi pelaku usaha

lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar

bersangkutan.

Citra Ratu Kusuma Hakim


19

(4) Kartel

Perjanjian Kartel adalah Pengaturan produksi dan atau pemasaran suatu barang

dan atau jasa untuk mempengaruhi harga. Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999

menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku

usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara

mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

(5) Trust

Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa perjanjian dua pelaku

usaha atau lebih untuk membentuk gabungan perusahaan dengan tetap

mempertahankan kelangsungan perusahaan masing-masing dengan tujuan

untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran sehingga dapat mengakibatkan

praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

(6) Oligopsoni

Pasal 13 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa perjanjian dua

pelaku usaha atau lebih untuk menguasai pasokan agar dapat mengendalikan

harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat.

(7) Integrasi Vertikal

Perjanjian Integrasi Vertikal adalah perjanjian dua pelaku usaha atau lebih

untuk menguasai rangkaian produksi berkelanjutan yang dapat mengakibatkan

persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat.

Citra Ratu Kusuma Hakim


20

(8) Perjanjian Tertutup

Perjanjian Tertutup adalah perjanjian dua pelaku usaha atau lebih yang berisi

syarat bahwa penerima pasokan hanya akan memasok atau tidak akan

memasok produk tersebut kepada pelaku usaha lain; harus bersedia membeli

produk lainnya dari pemasok; atau mengenai harga atau potongan harga yang

akan diterima bila bersedia membeli produk lain atau tidak membeli produk

yang sama dari pelaku usaha lain.

(9) Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri

UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Perjanjian dengan pihak luar

negeri adalah perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat.

b. Kegiatan yang Dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999

Kegiatan yang dilarang adalah tindakan atau perbuatan atau perbuatan hukum

sepihak yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa

adanya keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha atau

kelompok usaha lainnya.31 Beberapa kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5

Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

(1) Monopoli

UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 17 menyebutkan bahwa:

a. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau

pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.


31
Yani Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), Hlm. 31.

Citra Ratu Kusuma Hakim


21

b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas

produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud

dalam Ayat (1) apabila.

i. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;dan

ii. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam

persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama;

iii. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai

lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar atau jenis barang

atau jasa tertentu.

(2) Monopsoni

Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang

menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan

atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut

diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli

tunggal sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau

satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar atau satu

jenis barang atau jasa tertentu.

(3) Penguasaan Pasar

Penguasaan Pasar adalah dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan,

sendiri atau bersama yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat berupa: menghalangi pelaku usaha lain untuk

melakukan usaha yang sama; atau menghalangi konsumen untuk bertransaksi

dengan pelaku usaha tertentu; atau membatasi peredaran dan penjualan

Citra Ratu Kusuma Hakim


22

produk; atau melakukan diskriminasi (Pasal 19); melakukan jual rugi untuk

menyingkirkan pesaing (Pasal 20); dengan curang menetapkan biaya produksi

dan biaya lainnya (Pasal 21).

(4) Persekongkolan

Kegiatan persekongkolan adalah persekongkolan dengan pihak lain untuk

mengatur dan menentukan tender kolusif (Pasal 22), bersekongkol

mendapatkan rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23), bersekongkol untuk

menghambat produksi dan atau pemasaran pesaing (Pasal 24),

c. Posisi Dominan

Pasal 1 Angka 4 UU No. 5 Tahun 1999 , posisi dominan adalah keadaan dimana

pelaku usaha tidak mempunyai pesaing di pasar bersangkutan dalam kaitan

dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi

diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan

keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan

untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Pasal 25 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa pelaku usaha

memiliki potensi dominan apabila memenuhi kriteria dibawah ini:

1. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih

pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu.

2. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau

lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu.

Citra Ratu Kusuma Hakim


23

Posisi dominan dapat timbul melalui hal-hal berikut ini:32

1. Jabatan rangkap pada lebih dari satu perusahaan dalam pasar bersangkutan

yang sama atau memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan jenis usaha

atau secara bersama-sama menguasai pangsa pasar produk tertentu.

2. Pemilik saham mayoritas pada perusahaan sejenis dengan bidang usaha yang

sama dan pasar yang sama.

3. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.

B. Kartel sebagai Perjanjian yang Dilarang

1. Pengertian Kartel

Istilah kartel terdapat dalam beberapa bahasa seperti cartel dalam bahasa Inggris

dan kartel dalam bahasa Belanda. Cartel disebut juga syndicate yaitu suatu

kesepakatan antara beberapa perusahaan produsen dan lain-lain yang sejenis untuk

mengatur dan mengendalikan berbagai hal, seperti harga, wilayah pemasaran dan

sebagainya, dengan tujuan menekan persaingan dan atau persaingan usaha pada

pasar yang bersangkutan dan meraih keuntungan.33 Kartel adalah bentuk

kerjasama sejumlah pelaku usaha untuk dapat mengendalikan jumlah produksi

dan harga suatu barang atau jasa sebagai upaya mendapatkan keuntungan di atas

tingkat keuntungan yang wajar. Kartel menggunakan berbagai cara untuk

mengkoordinasikan kegiatan antar pelaku usaha.34

32
Pasal 26 dan 27 UU No. 5 Tahun 1999
33
Hasim Purba, Tinjauan Yuridis Terhadap Holding Company, Cartel, Trust dan Concern.
tersedia di http://library.usu.ac.id/download/fh/perda-hasim1.pdf diunduh 16 Juli 2012.
34
Riris Munadiya, Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam Penanganan Kasus
Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha KPPU, Edisi 5 - Tahun 2011, Hlm. 163.

Citra Ratu Kusuma Hakim


24

Menurut Winardi, kartel itu merupakan gabungan atau persetujuan (conventie)

antara pengusaha-pengusaha yang secara yuridis dan ekonomis berdiri sendiri.

Untuk mencapai sasaran peniadaan sebagian atau seluruh persaingan antar

pengusaha, untuk dapat menguasai pasar, hal mana biasanya tujuan pembentukan

kartel, diperlukan syarat bahwa kartel mencakup bagian terbesar dari badan-badan

usaha yang ada, dengan ketentuan bahwa mereka menggarap pasaran yang

bersangkutan.35

Kartel kadangkala didefinisikan secara sempit, namun di sisi lain juga diartikan

secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang

seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk

“menetapkan harga” guna meraih keuntungan monopolis.36 Sedangkan dalam

pengertian luas, kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi

pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga. Jenis kartel yang paling

umum terjadi di kalangan penjual adalah perjanjian penetapan harga,

persekongkolan penawaran tender (bid rigging), perjanjian pembagian wilayah

(pasar) atau pelanggan, dan perjanjian pembatasan output. Sedangkan yang paling

sering terjadi di kalangan pembeli adalah perjanjian penetapan harga, perjanjian

alokasi dan bid rigging.37

Dalam Black’s Law Dictionary, Kartel diartikan “A combination of producer of

any product joined together to control its productions its productions , sale and

35
Winardi, Istilah Ekonomi Dalam Tiga Bahasa, Inggris, Belanda, Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 1996) Hlm. 47.
36
Herbert Hovenkamp, Antitrust (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1993), Hlm 71.
37
R. Shyam Khemani, A Framework for The Design and Implementation of Competition
Law and Policy, (Washington, D.C.-Parish: The World Bank-OECD, 1999). Hlm 21.

Citra Ratu Kusuma Hakim


25

price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular

industry or commodity”.38

Richard Postner mengartikan Kartel: “A contract among competing seller to fix

the price of product they sell (or what is the small thing, to limit their out put) is

likely any other contract in the sense that the parties would not sign it unless the

expected it to make them all better off”.39

Berdasarkan Pasal 11 yang dapat dikatakan sebagai kartel, yaitu:

a. Perjanjian dengan pelaku usaha saingannya.

b. Bermaksud mempengaruhi harga.

c. Dengan mengatur produksi dan atau pemasaran.

d. Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat.

Dalam Pasal 11 dapat dikonstruksikan bahwa kartel adalah perjanjian horizontal

untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu

barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

atau persaingan usaha tidak sehat.40

38
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, (St. Paul Minn West Publishing Co.,
1999), Hlm. 215. Terjemahan bebas: “kombinasi dari produsen produk apapun bergabung bersama
untuk mengontrol produksinya, penjualan dan harga, sehingga memperoleh monopoli dan
membatasi persaingan dalam industry atau komoditas tertentu”.
39
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Fourth Edition, (Boston: Little Brown
and Company), Hlm. 285. Terjemahan bebas: “kontrak antara penjual bersaing untuk memperbaiki
hrgaa (atau apa adalah hal kecil, untuk membatasi mereka menempatkan keluar) kemungkinan
kontrak lainnya dalam arti bahwa para pihak tidak akan menandatanganinya kecuali diharapkan
untuk membuat mereka semua lebih baik”.
40
Arief Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), Hlm.85

Citra Ratu Kusuma Hakim


26

Perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 11 tersebut tidak hanya mencakup

perjanjian yang tertulis saja tetapi juga perjanjian yang tidak tertulis sebagaimana

telah dijelaskan dalam ilmu hukum kontrak. Adanya kesepakatan para pihak yang

dipatuhi dan dijalankan merupakan sebuah perjanjian. Hal yang sama dapat dilihat

pada Pasal 1313 KUHPerdata, yang menerangkan perjanjian sebagai “suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang atau lebih”.41

Kamus Hukum Ekonomi ELIPS mengartikan kartel (cartel) sebagai

“persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk sejenis

dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk

memperoleh posisi monopoli”. Dengan demikian, kartel merupakan salah satu

bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku usaha (produsen) bersatu untuk

mengontrol produksi, menentukan harga, dan/atau wilayah pemasaran atas suatu

barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka tidak ada lagi persaingan.42

Para pengusaha sejenis dapat mengadakan kesepakatan untuk menyatukan

perilakunya sedemikian rupa, sehingga mereka terhadap konsumen berhadapan

sebagai satu kesatuan, yang dampaknya adalah seperti memegang monopoli. Hal

yang demikian disebut kartel ofensif. Pengaturan persaingan juga dapat diadakan

untuk menghindarkan diri dari cara-cara bersaing yang sudah menjurus pada

penghancuran diri sendiri, karena sudah menjurus pada perang harga dengan

harga yang lebih rendah daripada harga pokoknya. Persaingan sudah terjerumus

41
R.Subekti, R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 2008), Hlm.338.
42
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004), Hlm. 55.

Citra Ratu Kusuma Hakim


27

pada cut throat competition. Dalam keadaan yang demikian, semua perusahaan

akan merugi, dan akhirnya bangkrut. Kalau pengaturan persaingan di antara

perusahaan sejenis dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari keadaan yang

demikian, namanya adalah kartel defensif. Kalau kartelnya defensif, pemerintah

justru memberikan kekuatan hukum kepada kartel defensif tersebut, sehingga

yang tidak ikut di dalam kesepakatan dipaksa oleh kekuatan undang-undang untuk

ikut mematuhi kesepakatan mereka.43

Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa karakteristik:44

a. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha.

b. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat. Para senior

eksekutif inilah biasanya yang menghadiri pertemuan-pertemuan dan

membuat keputusan.

c. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan mereka.

d. Melakukan price fixing atau penetapan harga agar penetapan harga berjalan

efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau

alokasi produksi. Biasanya kartel akan menetapkan pengurangan produksi.

e. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian. Apabila

tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan terhadap

penyelewengan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada

anggota kartel lainnya.

43
A.M. Tri Anggraini, Mekanisme Mendeteksi Dan Mengungkap Kartel Dalam Hukum
Persaingan, http://sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/mekanisme-mendeteksi-dan-
mengungkap-kartel-dalam-hukum-persaingan/. Diunduh 28 Oktober 2012.
44
Draft Pedoman Kartel, tersedia di http://www.kppu.go.id/docs/Pedoman/draft-pedoman-
kartel.pdf, Diunduh 4 November 2012.

Citra Ratu Kusuma Hakim


28

f. Adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel. Bahkan jika

memungkinkan dapat menyelenggarakan audit dengan menggunakan data

laporan produksi dan penjualan pada periode tertentu. Auditor akan membuat

laporan produksi dan penjualan setiap anggota kartel dan kemudian

membagikan hasil audit tersebut kepada seluruh anggota kartel.

g. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya lebih

besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau

mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan usahanya. Sistem

kompensasi ini tentu saja akan berhasil apabila para pelaku usaha akan

mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan apabila mereka

melakukan persaingan. Hal ini akan membuat kepatuhan anggota kepada

keputusan-keputusan kartel akan lebih terjamin.

Jenis perjanjian horisontal yang dianggap paling merugikan atau bahkan dapat

berakibat mematikan persaingan adalah kartel. Terdapat banyak bentuk kartel

yang memungkinkan usaha yang bersaing membatasi persaingan melalui kontrak

diantaranya yaitu:45 kartel harga pokok (prijskartel), kartel harga, kartel

kontingentering, kartel kuota, kartel standart atau kartel tipe, kartel kondisi, kartel

syarat, kartel laba atau pool, kartel rayon, dan sindikat penjualan atau kantor

sentral penjualan.

45
A.M. Tri Anggraini, Mekanisme Mendeteksi Dan Mengungkap Kartel Dalam Hukum
Persaingan, Op.Cit.

Citra Ratu Kusuma Hakim


29

2. Penjabaran Unsur pada Pasal Kartel

Pedoman tentang Kartel mencoba memberikan petunjuk pelaksanaan

membuktikan dan menentukan unsur-unsur adanya kartel.46 Pasal 11 UU No. 5

Tahun 1999 mengharuskan KPPU membuktikan beberapa unsur seperti Pelaku

Usaha, perjanjian, pelaku usaha pesaing, bermaksud mempengaruhi harga,

mengatur produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli, dan dapat mengakibatkan persaingan

usaha tidak sehat.

Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 berbunyi:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha


saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak
sehat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tersebut, maka terdapat

beberapa unsur yang harus dilakukan deteksi atas kartel, yakni sebagai berikut:47

a. Unsur Pelaku Usaha

Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 adalah setiap orang perorangan atau

badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Dalam

46
Penjabaran unsur Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999, Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun
2010 tentang Kartel berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
47
Draft Pedoman Kartel, Loc.Cit., Hlm. 16-17.

Citra Ratu Kusuma Hakim


30

kartel, pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian ini harus lebih dari dua

pelaku usaha. Agar kartel sukses, kartel membutuhkan keterlibatan sebagian

besar pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan.

b. Unsur Perjanjian

Perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 adalah suatu perbuatan satu atau lebih

pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain

dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

c. Unsur Pelaku Usaha Pesaingnya

Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada di dalam satu

pasar bersangkutan. Definisi pasar bersangkutan, dapat dilihat dalam

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, tanggal

1 Juli 2009 mengenai Pedoman Pasal 1 angka 10 tentang Pasar Bersangkutan.

d. Unsur Bermaksud Mempengaruhi Harga

Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 11 bahwa suatu kartel dimaksudkan

untuk mempengaruhi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut anggota kartel

setuju mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

e. Unsur Mengatur Produksi dan atau Pemasaran

Mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi

kartel secara keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini dapat lebih

besar atau lebih kecil dari kapasitas produksi perusahaan atau permintaan

akan barang atau jasa yang bersangkutan. Sedangkan mengatur pemasaran

berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah dimana para

anggota menjual produksinya.

Citra Ratu Kusuma Hakim


31

f. Unsur Barang

Barang menurut Pasal 1 angka 16 adalah setiap benda baik berwujud maupun

tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat

diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen

atau pelaku usaha.

g. Unsur Jasa

Jasa menurut Pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk

pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk

dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

h. Unsur Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli

Praktek monopoli menurut Pasal 1 angka 2 adalah pemusatan kekuatan

ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya

produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga

menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan kartel, maka produksi

dan pemasaran atas barang dan atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel.

Karena tujuan akhir dari kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan yang

besar bagi anggota kartel, maka hal ini akan menyebabkan kerugian bagi

kepentingan umum.

i. Unsur Dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat

Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah

persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau

pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur. Kartel

adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para pelaku usaha. Oleh karena itu

segala manfaat kartel hanya ditujukan untuk kepentingan para anggotanya

Citra Ratu Kusuma Hakim


32

saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini dilakukan secara tidak sehat dan

tidak jujur. Dalam hal ini misalnya dengan mengurangi produksi atau

melawan hukum atau menghambat persaingan usaha, misalnya dengan

penetapan harga atau pembagian wilayah.

3. Pendekatan Rule of Reason dalam Kartel di Indonesia

Dalam menetapkan apakah suatu perbuatan menghambat persaingan atau tidak,

pendekatan per se illegal maupun rule of reason telah lama diterapkan.48 Hampir

semua negara menghukum praktek kartel secara per se illegal,49 bahkan anggota

kartel pada umumnya menghadapi tanggung jawab atas potensi kriminal. Namun

ketentuan dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 menetapkan, bahwa pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian dengan para pesaingnya untuk mempengaruhi harga

“hanya jika” perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli

dan/atau persaingan tidak sehat. Ketentuan ini mengarahkan pihak komisi (KPPU)

untuk menggunakan pendekatan rule of reason dalam menganalisis kartel.50

48
Penerapan Pendekatan Pendahuluan pdf, tersedia di
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/127898penerapan-pendekatan-pendahuluan-pdf, diunduh 3
November 2012.
49
Kartel dianggap sebagai per se illegal di negara-negara barat. Sebab pada kenyataan
bahwa price fixing dan perbuatan-perbuatan kartel mempunyai dampak negatif terhadap harga
dan output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Adapun kartel jarang sekali
menghasilkan efisiensi karena yang dihasilkan sangat kecil dibandingkan dengan dampak negatif
tindakan-tindakannya.
50
A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Perse Illegal dan Rule of reason, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), Hlm.
210. Dalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan oleh
seorang pelaku usaha akan dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan
adanya unsur yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda
terhadap larangan yang bersifat rule of reason, pertama adalah bentuk aturan yang menyebutkan
adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi
bagi terjadinya praktik monopoli dan atau praktik persaingan usaha yang tidak sehat. Ciri kedua
adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap”.

Citra Ratu Kusuma Hakim


33

Lebih lanjut dijelaskan bahwa secara internasional, penerapan aturan rule of

reason adalah penting dalam analisa persaingan, karena setiap aksi yang

dilakukan korporasi belum sepenuhnya berdampak pada persaingan di pasar.

Akibatnya penerapannya perlu dilihat kasus per kasus dan didampingi dengan

pedoman untuk setiap jenis pendekatan.51

Larangan yang berkaitan dengan kartel ini hanya berlaku apabila perjanjian kartel

tersebut dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha

tidak sehat. Berarti, pendekatan yang digunakan dalam kartel adalah rule of

reason. Keunggulan dari rule of reason adalah dapat dengan akurat dari sudut

efisiensi menetapkan apakah suatu tindakan pelaku usaha menghambat

persaingan. Sedangkan kekurangannya, penilaian yang akurat tersebut dapat

menimbulkan perbedaan hasil analisa yang mendatangkan ketidakpastian.

Kesulitan penerapan rule of reason antara lain penyelidikan akan memakan waktu

yang lama dan memerlukan pengetahuan ekonomi.52

Hasilnya, penggunaan pendekatan kasus per kasus tersebut akan membutuhkan

analisa kasus yang kompleks, biaya yang besar, dan membutuhkan sumber daya

yang sangat kompeten, serta cukup rawan dengan korupsi. Cara mengatasinya,

perlu dilakukan suatu penyesuaian fokus lembaga persaingan yang beranggaran

rendah kepada penggunaan pendekatan per se illegal dan rule of reason yang

berlaku secara umum (bukan kasus per kasus).53

51
Deswin Nur, Bentuk Lembaga yang Efektif dalam Perspektif Internasional. Jurnal
Persaingan Usaha KPPU, Edisi 5 - Tahun 2011, tersedia di http://www.kppu.go.id/junal/jurnal-
persaingan-usaha.pdf, Hlm 220.
52
A.M. Tri Anggraini, Op.Cit., Hlm. 20.
53
Deswin Nur, Op.Cit., Hlm. 221.

Citra Ratu Kusuma Hakim


34

Secara khusus untuk aturan kartel, dapat diberikan definisi pelanggaran yang jelas

atau aturan kartel yang umum tetapi dengan pengecualian yang jelas. Aturan

merger dapat dilakukan dengan menetapkan aturan pangsa pasar yang tinggi dan

dapat dilakukan dengan pengecualian apabila memberikan dampak yang positif,

ataupun tanpa pengecualian sedikitpun.54 Sedangkan dengan rule of reason,

beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru dianggap salah jika telah terbukti

adanya akibat dari tindakan tersebut yang merugikan pelaku usaha lain atau

perekonomian nasional secara umum.

Pendekatan rule of reason mungkin saja dibenarkan adanya suatu tindakan usaha

yang meskipun anti-persaingan (misalnya tindakan merger yang menghasilkan

dominasi satu pelaku usaha) tetapi menghasilkan suatu efisiensi yang

menguntungkan konsumen atau perekonomian nasional pada umumnya. Atau

sebaliknya suatu tindakan usaha dianggap salah karena meskipun ditujukan untuk

efisiensi tetapi ternyata dalam prakteknya mengarah kepada penyalahgunaan

posisi dominan yang merugikan pelaku usaha, konsumen, dan perekonomian

nasional umumnya, seperti pada tindakan integrasi vertikal yang disertai dengan

tindakan restriktif (menghasilkan barriers to entry). Oleh karenanya, penekanan

pada rule of reson adalah unsur material dari perbuatannya. Dan pada rule of

reason, tindakan restriktif tidak rasionil yang menjadi sasaran pengendaliannya

dan penentuan salah tidaknya digantungkan kepada akibat tindakan usaha

(persaingan) terkait terhadap pelaku usaha lain, konsumen dan atau perekonomian

54
Ibid.

Citra Ratu Kusuma Hakim


35

nasional pada umumnya. Maka dari itu untuk tindakan-tindakan tersebut dalam

substansi pengaturannya dibutuhkan klausula kausalitas seperti di atas.55

Untuk negara berkembang seperti Indonesia dimana kondisi sumber daya manusia

pelaksana hukumnya (termasuk otoritas pengawas persaingan usahanya) masih

kurang baik, direkomendasikan untuk lebih banyak menggunakan pendekatan

“per se” ketimbang “rule of reason”. Hal ini karena pendekatan per se lebih

sederhana dalam proses pembuktiannya ketimbang rule of reason. Namun begitu

tindakan-tindakan yang terkait dengan masalah struktur perusahaan seperti

merger, konsolidasi, dan akuisisi serta integrasi vertikal yang memang memiliki

unsur tujuan efisiensi tetap diperlukan pendekatan rule of reason ketimbang per

se.56

Kartel di berbagai negara dianggap sebagai tindakan yang hanya akan merugikan

konsumen, karenanya penegakan hukumnya dengan menerapkan prinsip per se

illegal. Sedangkan Pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999, mengadopsi prinsip rule of

reason. Perumusan kartel sebagai suatu yang diperiksa menurut prinsip rule of

reason sudah sesuai dengan perkembangan penegakan hukum persaingan yang

cenderung untuk melihat dan memeriksa alasan-alasan dari pelaku usaha

melakukan suatu perbuatan yang dianggap melanggar Hukum Persaingan Usaha.

Dengan demikian KPPU harus dapat membuktikan bahwa alasan-alasan dari

pelaku usaha tersebut tidak dapat diterima (unreasonable).57

55
Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana, Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam
Sistem Hukum Nasional, tersedia di http://www.kppu.go.id/docs/Makalah/persaingan_usaha.pdf,
diunduh 3 November 2012, Hlm. 3
56
Ibid, Hlm. 4.
57
Draft Pedoman Kartel, Op.Cit., Hlm. 10.

Citra Ratu Kusuma Hakim


36

Alasan-alasan dari pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang menghambat

perdagangan dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat diterima (reasonable)

atau tidak dapat diterima (unreasobale restraint) apabila:58

a. Kegiatan para pelaku usaha menunjukkan tanda-tanda adanya pengurangan

produksi atau naiknya harga. Apabila terdapat tanda-tanda tersebut, maka

perlu diperiksa lebih lanjut;

b. Apakah kegiatan para pelaku usaha bersifat naked (langsung) atau ancillary

(tambahan). Kalau kegiatan tersebut bersifat naked, maka merupakan

perbuatan yang melawan hukum. Sedangkan kalau ancillary, maka

diperkenankan.

c. Para pelaku usaha mempunyai market power. Apabila para pelaku usaha

mempunyai market power, maka terdapat kemungkinan mereka

menyalahgunakan kekuatan tersebut.

d. Apakah terdapat hambatan masuk ke pasar yang tinggi. Walaupun para pelaku

usaha mempunyai market power, akan tetapi kalau tidak ada hambatan masuk

ke pasar yang berarti, maka akan mudah bagi pelaku usaha baru untuk masuk

ke pasar.

e. Perbuatan para pelaku usaha apakah menciptakan efisiensi yang substansial

dan menciptakan peningkatan kualitas produk atau servis atau adanya

innovasi. Apabila alasan-alasan ini tidak terbukti, maka perbuatan tersebut

adalah ilegal.

f. Perbuatan-perbuatan para pelaku usaha tersebut memang diperlukan untuk

mencapai efisiensi dan inovasi. Artinya harus dibuktikan apakah perbuatan

58
Ibid, Hlm. 10-11

Citra Ratu Kusuma Hakim


37

para pelaku usaha tersebut adalah alternatif terbaik untuk mencapai tujuan

tersebut.

g. Perlu dilakukan adanya “balancing test” artinya perlu diukur keuntungan-

keuntungan yang diperoleh dari perbuatan para pelaku usaha dibandingkan

dengan akibat-akibat negatifnya. Apabila keuntungan yang diperoleh lebih

besar dari kerugiannya, maka perbuatan tersebut dibenarkan.

Jadi dalam memeriksa suatu perkara secara rule of reason, maka perlu ditempuh

langkah-langkah tersebut sebelum menyatakan suatu perbuatan tersebut sebagai

sesuatu yang dapat diterima (reasonable restraint) atau tidak dapat diterima

(unreasonable restraint).59

Dilihat dari perumusan Pasal 11 yang menganut rule of reason, maka ditafsirkan

bahwa dalam melakukan pemeriksaan dan pembuktian adanya pelanggaran

terhadap ketentuan ini, harus diperiksa alasan-alasan pelaku usaha dan telebih

dahulu dibuktikan telah terjadi praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat. Dengan kata lain, dalam memeriksa dugaan adanya kartel akan dilihat

alasan-alasan dari para pelaku usaha yang melakukan perbuatan kartel tersebut

dan akibat dari perjanjian tersebut terhadap persaingan usaha. Dengan demikian,

maka sangat diperlukan adanya pengkajian yang mendalam mengenai alasan

kesepakatan para pelaku usaha dimaksud dibandingkan dengan kerugian ataupun

hal-hal negatif kartel baik bagi persaingan usaha.60

59
Ibid, Hlm. 10-12.
60
Ibid, Hlm. 15.

Citra Ratu Kusuma Hakim


38

C. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

UU No. 5 Tahun 1999 dalam pengaturannya diawasi oleh suatu komisi pengawas.

Dasar hukum pembentukan komisi pengawas adalah Pasal 30 Ayat (1) yang

menyatakan: “Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi

Pengawas Persaingan Usaha”.61 Selain itu pembentukan ini didasarkan pada Pasal

34 UU No. 5 Tahun 1999 yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan

organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui Keputusan Presiden.

Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Keppres No 75

Tahun 1999 tertanggal 8 Juli 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan

Usaha atau KPPU.62

1. Kedudukan KPPU

UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa komisi adalah lembaga independen, hal

ini berarti komisi pengawas bebas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah.63

Presiden Republik Indonesia secara eksplisit menegaskan kembali hal ini dalam

Pasal 1 Ayat (2) Keputusan Presiden tertanggal 8 Juli 1999 tersebut. Hal ini

merupakan penegasan secara formal kewajiban pemerintah untuk tidak

mempengaruhi komisi dalam menerapkan undang-undang. Penekanan ini

menunjukkan pentingnya arti kebebasan komisi, dan kebebasan tersebut juga

diakui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah.64

61
Mustafaa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), Hlm.265.
62
Andi Fahmi Lubis, et.all, Op.Cit., Hlm. 311.
63
Suyud Margono, Hukum Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta:
PT Sinar Grafika, 2009), Hlm. 140.
64
Ibid, Hlm. 140.

Citra Ratu Kusuma Hakim


39

KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda selain

menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan

dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif, meskipun KPPU

mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya Hukum Persaingan Usaha,

namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan

demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun

perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administratif karena

kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif, sehingga

sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif.65

Ada dua alasan dari pembentukkan lembaga KPPU ini, yakni: Pertama, alasan

filosofis yang dijadikan dasar pembentukkannya, yaitu dalam mengawasi

pelaksanaan suatu aturan hukum diperlukan suatu lembaga yang mendapat

kewenangan dari negara (pemerintah dan rakyat). Dengan kewenangan yang

berasal dari negara, diharapkan lembaga pengawas ini dapat menjalankan tugas

dan fungsinya dengan sebaik-baiknya, serta sedapat mungkin mampu bertindak

independen. Adapun alasan yang kedua adalah alasan sosiologis, yakni alasan

sosiologis dijadikan dasar pembentukan KPPU adalah menurunnya citra

pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, serta beban perkara

pengadilan yang sudah menumpuk.66

65
Ibid.
66
Ibid, Hlm. 127.

Citra Ratu Kusuma Hakim


40

Sebagai suatu lembaga independen,67 dapat dikatakan bahwa kewenangan yang

dimiliki Komisi sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki oleh

lembaga peradilan. Kewenangan tersebut meliputi penyidikan, penuntutan,

konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.68 Dalam konteks

ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary

organ)69 yang mempunyai wewenang berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 untuk

melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Secara sederhana state auxiliary

organ adalah lembaga negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan

lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (Eksekutif,

Legislatif, dan Yudikatif)70 yang sering juga disebut dengan lembaga independen

semu negara (quasi). Peran sebuah lembaga independen semu negara (quasi)

menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi

dari otoriterisme ke demokrasi.71

Status KPPU diatur dalam Pasal 30 Ayat (3) yang menyatakan: “Komisi

bertanggung jawab kepada Presiden”. Komisi diwajibkan memberi laporan

kepada presiden, komisi tetap bebas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah,

sehingga kewajiban untuk memberikan laporan adalah semata-mata merupakan

pelaksanaan prinsip administrasi yang baik. Kewajiban tersebut yang termuat

dalam Pasal 35 huruf g adalah sesuai dengan Pasal 30 Ayat (3).72 Hal ini

67
Diatur dalam Pasal 30 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Komisi adalah suatu lembaga
independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain”.
68
Suyud Margono, Loc.Cit. Hlm. 127
69
Ibid. Lihat juga Budi L. Kagramanto, “Implementasi UU No 5 Tahun 1999 Oleh KPPU”,
Jurnal Ilmu Hukum Yustisia 2007, Hlm.2.
70
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Konpress, 2006) Hlm.24
71
http://www.reformasihukum.org. Diunduh 2 Juli 2012
72
Suyud Margono, Op.Cit., Hlm. 141.

Citra Ratu Kusuma Hakim


41

disebabkan karena Komisi melaksanakan sebagian tugas-tugas pemerintah,

dimana kekuasaan tertinggi pemerintahan berada dibawah presiden. 73 Jadi, sudah

sewajarnya jika KPPU bertanggungjawab kepada Presiden.74

2. Wewenang dan Tugas KPPU

Dalam kedudukannya sebagai pengawas, UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 36 dan

Pasal 47 telah memberikan kewenangan khusus kepada KPPU. Secara garis besar,

kewenangan KPPU dapat dibagi dua, yaitu wewenang aktif dan wewenang

pasif.75 Wewenang aktif adalah wewenang yang diberikan kepada KPPU melalui

penelitian. KPPU berwenang melakukan penelitian terhadap pasar, kegiatan, dan

posisi dominan. KPPU juga berwenang melakukan penyelidikan, menyimpulkan

hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan, memanggil pelaku usaha, memanggil

dan menghadirkan saksi-saksi, meminta bantuan penyelidik, meminta keterangan

dari instansi pemerintah, mendapatkan dan meneliti dokumen dan alat bukti lain,

memutus dan menetapkan, serta menjatuhkan sanksi administatif.76 Adapun

wewenang pasif adalah menerima laporan dari masyarakat dari atau pelaku usaha

tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak

sehat.77

73
Lihat Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan memerintah menurut Undang-undang Dasar”.
74
Mustafaa Kamal Rokan, Op.Cit., Hlm.266.
75
Ibid.
76
Ibid, Hlm. 267.
77
Ibid.

Citra Ratu Kusuma Hakim


42

Wewenang78 KPPU sesuai Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999 dapat diuraikan

sebagai berikut:

a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan

terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan

pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh

masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan komisi sebagai hasil

penelitiannya.

d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak

adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.

f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang

dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.

g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli

atau setiap orang yang dimaksud dalam nomor 5 dan 6 tersebut di atas yang

tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.

78
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Hlm.1273. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak;
2. Kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada
pihak lain; 3. Fungsi yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan.

Citra Ratu Kusuma Hakim


43

h. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan

penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar

ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.

i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain

untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan.

j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku

usaha lain atau masyarakat.

k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga

melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang

melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.

Atas kewenangan tersebut, maka KPPU memiliki beberapa tugas79 sesuai Pasal 35

UU No. 5 Tahun 1999 yaitu sebagai berikut:

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Seperti: oligopoly,

diskriminasi harga, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel,

trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjan tertutup, dan perjanjian dengan

pihak luar negeri.80

b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan

79
Ibid, Hlm.1215. Tugas adalah yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk
dilakukan, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang yang dibebankan; 2. Suruhan
(perintah) untuk melakukan sesuatu; 3. Fungsi jabatan; 4. Fungsi yang tidak boleh tidak
dikerjakan.
80
Pasal 4-16 UU No. 5 Tahun 1999

Citra Ratu Kusuma Hakim


44

usaha tidak sehat. Seperti: monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan

persekongkolan.81

c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi

dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat, yang dapat timbul melalui posisi dominan,

jabatan rangkap, pemilikan saham, penggabungan, peleburan serta

pengambilalihan.82

d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur

dalam Pasal 36.

e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang

berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU No. 5

Tahun 1999 .

g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden

dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Putusan Komisi Pengawas mempunyai kekuatan eksekutorial, yakni keputusan

yang sederajat dengan putusan hakim. Oleh karena itu, putusan KPPU dapat

langsung dimintakan penetapan eksekusi (fiat excecutie) pada Pengadilan Negeri

yang berwenang tanpa harus beracara sekali lagi di pengadilan tersebut.83

KPPU merupakan lembaga administratif. Sebagai lembaga semacam ini, KPPU

bertindak demi kepentingan umum. KPPU berbeda dengan pengadilan perdata

81
Pasal 17-24 UU No. 5 Tahun 1999
82
Pasal 25-28 UU No. 5 Tahun 1999
83
Mustafaa Kamal Rokan, Op.Cit., Hlm. 270.

Citra Ratu Kusuma Hakim


45

yang menangani hak-hak subyektif perorangan. Oleh karena itu, KPPU harus

mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan perorangan dalam

menangani dugaan pelanggaran hukum antimonopoli.84 Hal ini sesuai dengan

tujuan UU No.5 Tahun 1999 yang tercantum dalam Pasal 3 huruf a UU No. 5

Tahun 1999 yakni untuk “menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi

ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat”.85

D. Hukum Acara Persaingan di KPPU

UU No. 5 Tahun 1999 tidak mengatur mengenai hukum acara yang akan

digunakan sebagai acuan untuk beracara di KPPU. UU No. 5 Tahun 1999 tidak

mengatur mengenai prosedur tata cara bertindak bagi KPPU dalam melakukan

penyelidikan dan pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan para saksi, berkaitan

dengan dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999.86 Pengaturan

mengenai hukum acara untuk penanganan perkara, Undang-undang

memerintahkan supaya hal tersebut diatur lebih lanjut oleh KPPU. Tata cara

penyampaian laporan diatur lebih lanjut oleh Komisi.87

84
Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (Katalis Publishing Media Services, 2002) Hlm.389.
85
Andi Fahmi Lubis, et.all, Loc.Cit., Hlm. 316.
86
Johny Ibrahim, Loc.Cit., Hlm. 269.
87
Lihat Pasal 38 Ayat (4) Undang-undang No. 5 Tahun 1999.

Citra Ratu Kusuma Hakim


46

Adapun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum untuk

beracara di KPPU adalah:

a. Pasal 34-46 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

b. Peraturan Perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan UU No. 5

Tahun 1999.

c. Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan

Usaha.

d. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU.

e. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan.

f. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2006 tentang Tata

Cara Penanganan Perkara di KPPU.

g. Herziene Indonesisch Reglement (HIR)/ Hukum Acara Perdata, S. 1848 No.

16, S. 1941 No. 44.

h. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP).

KUHAP dirujuk dalam hal ini karena fungsi penyelidikan dan pemeriksaan tidak

dikenal dalam Hukum Acara Perdata. Selain itu juga karena yang ingin dicari oleh

KPPU adalah kebenaran materiil, sedangkan yang akan dicari dalam Hukum

Perdata adalah kebenaran formil. Dalam mencari kebenaran materiil, diperlukan

keyakinan KPPU bahwa pelaku usaha melakukan atau tidak melakukan perbuatan

Citra Ratu Kusuma Hakim


47

yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak

sehat.88

Selanjutnya, Hukum Acara di KPPU ditetapkan oleh KPPU dan sejak berdiri di

tahun 2000, hukum acara tersebut telah mengalami satu kali perubahan dari SK

No. 05/KPPU/KEP/IX/2000 tentang tata Cara Penyampaian Laporan dan

Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap UU No 5 Tahun 1999 (SK 05)

menjadi Peraturan Komisi No 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan

Perkara di KPPU (Perkom No. 1 Tahun 2006) yang mulai efektif berlaku 18

Oktober 2006.89 Penegakan hukum yang excellent pada tahun 2010 didukung

dengan implementasi awal Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata

Cara Penanganan Perkara di KPPU (Perkom No. 1 Tahun 2010). Peraturan yang

menyempurnakan Perkom 1 Tahun 2006 ini efektif dilaksanakan pada tanggal 5

April 2010. Kehadiran Perkom No. 1 Tahun 2010 menguatkan prinsip good

governance dalam penanganan perkara, terutama pada aspek transparansi dan

pembagian kewenangan.90

88
Destivanov Wibowo dan Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005) Hlm.365.
89
Andi Fahmi Lubis, et.all, Op.Cit., Hlm. 324.
90
Laporan KPPU Tahun 2010, tersedia di http://www.kppu.go.id/docs/Laporan/draft-
laporan-2010.pdf, Diunduh 4 Desember 2012.

Citra Ratu Kusuma Hakim


48

1. Tata Cara Penanganan Perkara oleh KPPU

Berikut adalah skema Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU:91

Gambar 1.1 Skema Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU

Tahapan penyelesaian perkara dalam praktik penyelesaian perkara oleh KPPU

adalah sebagai berikut:92

a. Penelitian dan Klarifikasi Laporan

Penelitian dan klarifikasi93 dilakukan oleh Komisi melalui sekretariat KPPU.

Untuk mendapatkan kejelasan dan kelengkapan tentang dugaan pelanggaran,

Sekretariat Komisi melakukan penelitian terhadap laporan dan atau meminta

klarifikasi kepada pelapor dan atau pihak lain. Penelitian dan klarifikasi

91
Tersedia di http://www.kppu.go.id
92
Rilda Murniati, Loc.Cit., Hlm. 448.
93
Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani monitoring
Pelaku Usaha untuk mendapatkan bukti awal dalam perkara inisiatif. Klarifikasi adalah kegiatan
yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani laporan untuk mendapat bukti awal dalam perkara
laporan. Pasal 1 Ayat (3) dan (4) Perkom No. 1 Tahun 2010.

Citra Ratu Kusuma Hakim


49

laporan dilakukan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kerja dan dapat

diperpanjang paling lama 30(tiga puluh) hari kerja. Hasil penelitian dan

klarifikasi dituangkan dalam Resume Laporan94 Dugaan Pelanggaran.

b. Pemberkasan

Sekretaris Komisi melakukan pemberkasan95 terhadap resume laporan atau

resume monitoring dilakukan untuk menilai layak atau tidaknya dilakukan

gelar laporan. Untuk melakukan penelitian Sekretariat Komisi meneliti

kembali kejelasan dan kelengkapan resume laporan atau resume monitoring.

Hasil pemberkasan dituangkan dalam bentuk laporan dugaan pelanggaran.

Sekretariat Komisi menyampaikan berkas laporan dugaan pelanggaran kepada

komisi untuk dilakukan gelar laporan. Pemberkasan terhadap resume laporan

dan resume monitoring dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

c. Gelar Laporan

Gelar laporan96 dilakukan oleh Sekretariat Komisi dalam rapat gelar laporan

yang dihadiri oleh Pimpinan Komisi dan sejumlah Anggota Komisi yang

memenuhi kuorum. Rapat gelar dilaporkan dilakukan untuk memaparkan

laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor dalam suatu gelar

laporan dan berdasarkan pemaparan tersebut komisi menilai layak atau

tidaknya dilakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap laporan dugaan

pelanggaran. Gelar laporan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari

94
Resume Laporan adalah laporan Sekretariat Komisi mengenai adanya dugaan
pelanggaran berdasarkan hasil penelitian dan klarifikasi. Pasal 1 Ayat (20) Perkom No. 1 Tahun
2006.
95
Pemberkasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang
menangani Pemberkasan dan penanganan perkara untuk meneliti kembali Laporan Hasil
Penyelidikan guna menyusun Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran untuk dilakukan Gelar
Laporan. Pasal 1 Ayat (7) Perkom No. 1 Tahun 2010.
96
Gelar Laporan adalah penjelasan mengenai Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran
yang disampaikan oleh unit kerja yang menangani Pemberkasan dan penanganan perkara dalam
Rapat Komisi. Pasal 1 Ayat (20) Perkom No. 1 Tahun 2010.

Citra Ratu Kusuma Hakim


50

setelah pemberkasan untuk ditentukan layak tidaknya ke dalam proses

pemeriksaan pendahuluan.97

d. Pemeriksaan Pendahuluan

Pemeriksaan Pendahuluan98 dilakukan oleh tim pemeriksa pendahuluan

sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) tiga orang anggota Komisi. Dalam

melakukan pemeriksaan pemeriksaan pendahuluan tim pemeriksa dibantu oleh

Sekretariat Komisi. Tujuan dari pemeriksaan pendahuluan adalah untuk

mendapatkan pengakuan terlapor dan atau bukti awal yang cukup tentang

terjadinya pelanggaran.99 Jangka waktu pemeriksaan pendahuluan dilakukan

selama tiga puluh hari sejak tanggal surat penetapan dimulainya pemeriksaan

pendahuluan sebagai mana diatur dalam Pasal 39 Ayat (1) UU No. 5 Tahun

1999 .

e. Pemeriksaan Lanjutan

Pemeriksaan Lanjutan100 dilakukan oleh tim pemeriksa lanjutan, dibantu oleh

Sekretariat Komisi. Tujuan dari pemeriksaan lanjutan adalah untuk

mendapatkan bukti yang cukup tentang adanya pelanggaran. Bukti dianggap

cukup apabila ditemukan setidak-tidaknya dua alat bukti yang saling

mendukung. Bentuk alat bukti dapat langsung (direct) maupun tidak langsung

(indirect).101 Jangka waktu pemeriksaan lanjutan adalah 60 hari sejak

97
Rilda Murniati, Op.Cit, Hlm. 457.
98
Pemeriksaan Pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis
Komisi terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu
dilakukan Pemeriksaan Lanjutan. Pasal 1 Ayat (8) Perkom No. 1 Tahun 2010.
99
Binoto Nadapdap, Loc.Cit. Hlm. 42.
100
Pemeriksaan Lanjutan adalah serangkaian pemeriksaan dan/atau penyelidikan yang
dilakukan oleh Tim Pemeriksa lanjutan terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan
dan atau tidak adanya bukti pelanggaran. Pasal 1 Ayat (8) Perkom No. 1 Tahun 2010.
101
Binoto Nadapdap. Loc.Cit. Hlm. 46.

Citra Ratu Kusuma Hakim


51

berakhirnya pemeriksaan pendahuluan, dan dapat diperpanjang paling lama 30

hari sebagai mana diatur dalam Pasal 43 UU No. 5 Tahun 1999 .

f. Sidang Majelis Komisi

Sidang Majelis Komisi102 dilakukan segera setelah tim pemeriksa lanjutan

menyampaikan hasil pemeriksaannya. Untuk menyelesaikan suatu perkara,

Komisi melakukan sidang majelis.103 Majelis komisi sekurang-kurangnya

terdiri dari 3 (tiga) anggota Komisi, yang dipimpin seorang Ketua merangkap

anggota dan 2 (dua) orang anggota Majelis. Keanggotaan Majelis terdapat

sekurang-kurangnya 1 (satu) anggota Komisi yang menangani perkara dalam

pemeriksaan lanjutan.104

g. Putusan

Berdasarkan Pasal 54 Perkom No. 1 Tahun 2006, Majelis Komisi memutuskan

telah terjadi atau tidak terjadi berdarkan penilaian hasil pemeriksaan lanjutan

dan atau dokumen atau alat bukti lain yang disertakan di dalamnya termasuk

pendapat atau pembelaan terlapor. Putusan Komisi dibacakan selambat

lambatnya 30 hari terhitung sejak berakhirnya jangka waktu pemeriksaan

lanjutan.105

2. Prinsip Pembuktian pada Hukum Acara Persaingan

Pada hukum persaingan usaha sudah jelas bahwa salah satu tugas Majelis Komisi

adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar dari

102
Sidang Majelis Komisi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh majelis komisi
untuk menilai ada tau tidak adanya bukti pelanggaran guna menyimpulkan dan memutuskan telah
terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif
sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Pasal 1 Ayat (21) Perkom No 1 Tahun 2010.
103
Pasal 7 Ayat (1) Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999.
104
Rilda Murniati, Op.Cit, Hlm. 466.
105
Ibid, Hlm 469.

Citra Ratu Kusuma Hakim


52

laporan dugaan mengenai pelanggaran, benar-benar melanggar atau tidak

melanggar ketentuan dari UU No. 5 Tahun 1999 .106 Adanya hubungan hukum

inilah yang harus dibuktikan apabila Pelapor menginginkan laporannya

dikabulkan oleh Komisi. Apabila pelapor tidak berhasil membuktikkan dalil-

dalilnya yang menjadi dasar laporannya, hal itu bermakna bahwa laporannya akan

ditolak atau tidak jadi dilanjutkan pemeriksaannya. Sedangkan apabila berhasil

membuktikan, maka laporan tersebut akan dikabulkan oleh Majelis Komisi.107

Dalam pembuktian di KPPU, yang berkepentingan bukan hanya pelapor semata.

Majelis Komisi akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara

yang diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak pelapor atau

sebaliknya pihak pelaku usaha terlapor. Dengan perkataan lain, Majelis Komisi

sendiri yang akan menentukan pihak mana yang akan memikul beban

pembuktian.108 Di dalam menjatuhkan beban pembuktian, Majelis Komisi harus

bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan

keadaan konkret harus dioerhatikan secara seksama oleh Majelis Komisi.109 Selain

untuk hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal, masih

terdapat satu hal lagi yang tidak perlu atau tidak harus dibuktikan, ialah berupa

hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai. Hal

tersebut terakhir ini dalam hukum disebut fakta notoir (notoire feiten) yaitu hal

106
Menurut Pasal 36 huruf (d) UU No. 5 Tahun 1999 salah satu wewenang KPPU adalah
menyimpulkan hasil penyelidikan atau pemeriksaan tentang ada atau tidaknya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
107
Binoto Nadapdap, Loc.Cit, Hlm. 57.
108
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, (Bandung: CV Mandar Maju, 2005), Cet. X., Hlm. 58-59.
109
Hal ini sesuai dengan asas dalam hukum yang mengatakan bahwa pihak yang mengadili
perkara harus mendengarkan kedua belah pihak yang berperkara secara seimbang. Audi et alteram
partem.

Citra Ratu Kusuma Hakim


53

yang sudah merupakan pengetahuan umum. Fakta notoir110 merupakan hal atau

keadaan yang sudah diketahui dengan sendirinya oleh Majelis Komisi.111

Tugas Majelis Komisi atau Tim Pemeriksa adalah menyelidiki apakah hubungan

hukum yang menjadi perkara benar-benar ada atau tidak. Hubungan hukum inilah

yang harus terbukti dimuka Komisi dan tugas pelapor dan terlapor adalah

memberikan bahan-bahan bukti yang diperlukan oleh Majelis Komisi untuk

menetapkan terbukti tidaknya laporan dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5

Tahun 1999.112 Membuktikan adalah membenarkan hubungan hukum, yaitu

apabila Komisi menyatakan terlapor terbukti melakukan pelanggaran terhadap

Pasal tertentu dari UU No. 5 Tahun 1999 . Menerima dan membenarkan laporan

terlapor, hal ini mengandung arti Majelis Komisi sampai pada kesimpulan bahwa

laporan pelapor tentang dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999

adalah benar terjadi. Karena itu, membuktikan dalam arti yang luas adalah

memperkuat kesimpulan Majelis Komisi dengan syarat-syarat bukti yang sah.113

Dalam arti yang terbatas pembuktian hanya diperlukan apabila laporan pelapor itu

dibantah oleh pelaku usaha terlapor. Karena itu apa yang tidak dibantah oleh

pelaku usaha terlapor, maka tidak perlu dibuktikan. Pasal 163 HIR menentukan

bahwa, barang siapa mengaku mempunyai hak atau mengajukan suatu peristiwa

untuk menguatkan pengakuan haknya (laporannya), atau untuk membantah

110
Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan
bahwa harga tanah di Jakarta lebih mahal dari di desa.
111
Binoto Nadapdap, Op.Cit., Hlm. 58.
112
Ibid.
113
Ibid, bandingkan dengan R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,
(Jakarta, Pradnya Paramita, 2000), Cet. XIV. Hlm.62-63.

Citra Ratu Kusuma Hakim


54

haknya orang lain (laporan pihak lain), maka orang itu harus membuktikan benar

adanya hak atau peristiwa itu.114

Komisi akan menentukan, apa yang harus dibuktikan dan pihak mana yang harus

memberikan bukti. Artinya, Komisi akan menentukan pihak mana (pelapor atau

terlapor) akan memikul resiko, tentang beban pembuktian.

3. Alat-alat Bukti pada Hukum Acara Persaingan Usaha

Untuk menentukan terbukti tidaknya pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999

berdasarkan laporan atau hasil monitoring, alat-alat bukti (bewijsmiddel)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 yang dipergunakan

Tim Pemeriksa atau Majelis Komisi adalah:115

a. Keterangan saksi

Dalam laporan KPPU, pelapor berusaha untuk mendapatkan saksi-saksi116

yang dapat menbenarkan atau menguatkan dalil-dalil laporan yang

diajukannya di KPPU. Sebaliknya, pelaku usaha terlapor akan berusaha

sedapat mungkin mendapatkan mendapatkan saksi-saksi mendukung

sanggahannya atas laporan dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun

1999 . Pelaku usaha terlapor akan berupaya semampu mungkin untuk

mematahkan ketidakbenaran dari laporan pelapor.

114
Binoto Nadapdap, Op.Cit., Hlm. 59.
115
Lihat Juga Pasal 64 Ayat (1) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara oleh KPPU.
116
Pasal 1 Ayat (14) Perkom No. 1 Tahun 2010 menerangkan saksi adalah setiap orang atau
pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan
Pemeriksaan.

Citra Ratu Kusuma Hakim


55

b. Keterangan ahli

Ahli menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang mahir,

paham sekali disuatu ilmu; mahir benar.117 Saksi ahli adalah seseorang yang

memiliki keahlian khusus yang memberikan keterangan kepada Majelis

Komisi.118 Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang

yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat

teranng suatu perkar guna kepentingan pemeriksaan,119 dalam hal ini

keterangan ahli dinyatakan di sidang KPPU.

c. Surat dan atau dokumen

Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda

bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahan isi hati atau menyampaikan

buah pikiran seseoang dan dipergunakan sebagai pembuktian.120 Menurut UU

No. 8 Tahun 1997 dokumen adalah data, catatan dan atau keterangan yang

dibuat dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan

kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam

dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca dan didengar.

d. Petunjuk

Petunjuk dalam perkara di KPPU dapat diartikan sebagai perbuatan, kejadian

atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain,

maupun dengan laporan dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 ,

117
Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit.,Hlm. 47.
118
Pasal 1 Ayat (16) menjelaskan Keterangan Ahli adalah keterangan orang yang diberikan
di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya.
119
Lihat Pasal 1 Ayat (28) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 KUHAP.
120
Binoto Nadapdap, Op.Cit., Hlm. 65.

Citra Ratu Kusuma Hakim


56

menandakan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999

dan siapa pelakunya.121

e. Keterangan Pelaku usaha122

Keterangan Pelaku usaha atau terlapor adalah apa yang terlapor nyatakan

didepan Majelis Komisi tentang perjanjian, perbuatan ia lakukan sendiri atau

alami sendiri.123

Azas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus

dipenuhi untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha atau dengan kata lain, azas

pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau

tidaknya alat bukti membuktikan salah satu atau tidaknya pelaku usaha.124 Pada

Pasal 64 Ayat (2) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 yang menjelaskan bahwa

Majelis Komisi menentukan sah atau tidak sahnya suatu alat bukti dan

menentukan nilai pembuktian berdasarkan kesesuaian sekurang-kurangnya 2 (dua)

alat bukti yang sah.125

121
Berpijak pada ketentuan Pasal 188 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP. Karena UU
No. 5 Tahun 1999 maupun Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2006 tidak mengatur dan tidak
memberikan penjelasan mengenai apa itu petunjuk dan bagaimana petunjuk tersebut dipergunakan
dalam pembuktian di KPPU.
122
Alat-alat bukti tersebut dalam UU No. 5 Tahun 1999 sama dengan alat-alat bukti yang
terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 184, dengan mengganti
“Keterangan Terdakwa” menjadi “Keterangan Pelaku Usaha”, dan dalam Peraturan KPPU No. 1
Tahun 2006 menjadi “Keterangan Terlapor”. Dengan demikian pelanggaran pidana dalam UU No.
5 Tahun 1999 menganut prinsip yang sama dengan KUHAP.
123
Berpijak pada ketentuan Pasal 189 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP.
124
Erman Rajagukguk, Pembaharuan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jurnal Butir-Butir Hukum
Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi – UI, 2011), Hlm. 55.
125
Berpijak berdasarkan prinsip Pasal 183 KUHAP, yaitu tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada pelaku usaha/ terlapor kecuali dengan sekurang-kurang dua alat bukti yang sah, harus
diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa pelaku usahalah
yang melakukannya.

Citra Ratu Kusuma Hakim


57

4. Indirect Evidence (Bukti Tidak Langsung) sebagai Alat Bukti pada

Hukum Acara Persaingan Usaha

KPPU dalam memutus perkara pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adakalanya

menggunakan hukum yang sudah dipraktikkan di luar negeri. Sebagai contoh, hal

itu diterapkan KPPU dalam menganalisa apakah sekelompok pelaku usaha

melakukan kartel.126 KPPU menggunakan indirect evidence atau bukti tidak

langsung yang diadopsi dari hukum asing127 untuk menganalisa persangkaan

terjadinya kartel oleh pelaku usaha.

Kasus kartel jarang atau tidak memiliki bukti langsung (direct evidence/hard

evidence) karena memang perjanjian kartel pada umumnya tidak dibuat

berdasarkan perjanjian tertulis, maka timbul pemikiran akan adanya indirect

evidence.128 Indirect Evidence adalah bukti tidak langsung atau disebut juga

circumstantial evidence (kesimpulan dari suatu kejadian) atau aanvullend eed

(tambahan) yang terdiri dari:129

a. Catatan tentang banyaknya pecakapan telepon antara para pesaing. Catatan

itu bukan mengenai substansi percakapan, tetapi berapa kali melakukan

percakapan telepon tersebut.

b. Perjalanan menuju tujuan yang sama. Misalnya, untuk menghadiri konferensi

perdagangan.

126
Erman Rajagukguk, Op.Cit.,Hlm. 53.
127
Sebagai contoh penggunaan indirect evidence dalam pembuktian adanya kartel kasus
Steel Cartel (Brazil) dan kasus Sao Paolo Airlines (Brazil).
128
Inggrid Gratsya Zega, Tinjauan Mengenai Indirect Evidence Sebagai Alat Bukti dalam
Kasus Dugaan Kartel Fuel Surcharge Maskapai Penerbangan Indonesia, Tesis, (Jakarta: Fakultas
Hukum - UI, 2012), Hlm. 81.
129
Erman Rajagukguk, Op.Cit.,Hlm. 54.

Citra Ratu Kusuma Hakim


58

c. Partisipasi dalam suatu pertemuan.

d. Hasil atau catatan dari pertemuan yang memperlihatkan harga, pemintaan

atau kapasitas yang dibicarakan antara para pesaing.

e. Bukti dokumen-dokumen internal yang membuktikan pengetahuan atau

saling pengertian antara para pesaing dalam mengatur strategi harga.

Misalnya kekhawatiran yang sama mengenai kenaikan harga dimasa depan

yang dilakukan oleh pesaing.

f. Penafsiran atau interpretasi.

g. Logika.

h. Bukti ekonomi (Economic evidence):

i. Perilaku di pasar dan industri

ii. Harga yang pararel (parallel pricing)

iii. Laba yang tinggi secara tidak normal

iv. “Facilitating Practice” dimana para pesaing mudah mencapai

kesepakatan.

v. Bukti struktural tentang adanya hambatan yang tinggi untuk masuk ke

pasar, standard integrasi vertical yang tinggi atau produksi yang

homogen.

Metode pembuktian kartel dengan menggunakan indirect evidence sudah

disinggung KPPU dalam latar belakang Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010

tentang Pedoman Pasal 11 (Kartel) UU No. 5 Tahun 1999 . Untuk memberikan

aturan hukum lebih lanjut mengenai penggunaan indirect evidence ini, salah satu

upaya KPPU adalah dengan mengeluarkannya Perkom No. 4 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU No. 5 Tahun 1999 . Indirect evidence

Citra Ratu Kusuma Hakim


59

atau circumstantial evidence sendiri menurut Pedoman Pasal 5 UU No. 5 Tahun

1999 adalah suatu bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya

kesepakatan (harga, pasokan, pembagian wilayah). Dimana indirect evidence ini

dapat digunakan sebagai pembuktian terhadap kondisi/keadaan yang dapat

dijadikan dugaan atas pemberlakuan perjanjian lisan. Bentuk indirect evidence

sendiri terdiri atas bukti komunikasi dan bukti ekonomi.130

E. Kerangka Pikir

Untuk memperjelas dari pembahasan penelitian ini, maka penulis membuat

kerangka pikir sebagai berikut:

UU No. 5 Tahun 1999

KPPU

Kartel

Perkom No. 4 Tahun 2010

Tata Cara Penanganan Perkara KPPU

Perkom No. 1 Tahun 2010

Alat Bukti Indirect Evidence

Kedudukan Proses Pembuktian Akibat Hukum

130
Lihat Bab IV Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan
Harga) UU No. 5 Tahun 1999 , Hlm. 17-24.

Citra Ratu Kusuma Hakim


60

Keterangan:

UU No. 5 Tahun 1999 memberi kewenangan kepada KPPU untuk mengawasi,

melakukan penyelidikan atau pemeriksaan dan memutus perkara pelanggaran

hukum persaingan usaha, juga melakukan penilaian terhadap perjanjian yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat. Kartel sebagai salah satu bentuk perjanjian yang dilarang mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha tidak sehat, berdasarkan hal tersebut tersebut jika

pelaku usaha terindikasi melakukan kartel maka yang harus dinilai oleh KPPU

adalah perjanjiannya. Perjanjian inilah yang akan menjadi alat bukti adanya kartel

sesuai dengan Perkom No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11

tentang kartel. Permasalahan yang kemudian timbul yaitu pembuktian dengan

menggunakan perjanjian atau kesepakatan tertulis sangat sulit dilakukan.

Berdasarkan Peraturan Komisi No 1 Tahun 2006 yang kemudian diubah Peraturan

Komisi No 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara KPPU

berkembang alat bukti tidak langsung (indirect evidence). Proses pembuktian

kartel menggunakan indirect evidence yaitu bukti-bukti secara tidak langsung

dimana terdapat hasil-hasil analisis ekonomi yang menggunakan alat-alat ekonomi

yang memang secara ilmiah diakui dan dapat menunjukkan korelasi antara satu

fakta dengan fakta lain bahwa memang telah terjadi pengaturan di dalamnya.

Penelitian ini akan mengkaji dan membahas tentang implementasi indirect

evidence sebagai alat bukti oleh KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel

dengan pokok bahasan yaitu kedudukan indirect evidence dalam pembuktian

kartel, proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence atas terjadinya

kartel, dan akibat hukum dari pembuktian indirect evidence atas terjadinya kartel.

Citra Ratu Kusuma Hakim


61

III. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,

sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mengungkapkan

kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Sistematis artinya

menggunakan sistem tertentu, metodologis artinya menggunakan metode atau cara

tertentu dan konsistensi berarti tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka

tertentu.131 Penelitian sangat diperlukan untuk memperoleh data yang akurat

sehingga dapat menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada

dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif

adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu

aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan

materi, konsistensi, penjelasan umum, dan pasal demi pasal.132 Menurut Soerjono

131
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), Hlm. 2.
132
Ibid, Hlm. 102.

Citra Ratu Kusuma Hakim


62

Soekanto penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder saja.133

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dan menguraikan

pokok bahasan yang telah disusun dalam penelitian ini adalah tipe deskriptif. Tipe

deskriptif bertujuan untuk memperoleh pemaparan (deskripsi) secara lengkap,

rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek yang diteliti pada undang-

undang, atau peraturan daerah atau naskah kontrak atau objek kajian lainnya.134

Untuk itu, pada penelitian ini akan menggambarkan secara lengkap, rinci, jelas,

dan sistematis mengenai implementasi indirect evidence (alat bukti tidak

langsung) sebagai alat bukti KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel yang

didasari pada peraturan perundang-undangan yang terkait.

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam peneilitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif

terapan (applied law research) yaitu penelitian hukum pemberlakuan ketentuan

hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi

di masyarakat baik yang terdapat didalam ketentuan perundang-undangan dan

keputusan pengadilan, serta literatur-literatur sebagai tolak ukur terapan pada

peristiwa hukum. Dengan lebih memfokuskan kepada Hukum Persaingan Usaha

dengan mengacu kepada UU No. 5 Tahun 1999, Perkom No. 4 Tahun 2010, dan

133
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), Hlm.
15.
134
Ibid, hlm 115.

Citra Ratu Kusuma Hakim


63

Perkom No. 1 Tahun 2010. Adapun yang menjadi substansi hukum pada

penelitian ini yaitu kedudukan dan prosedural yang harus ditempuh hingga sampai

kepada akibat hukum dari implementasi indirect evidence (alat bukti tidak

langsung) sebagai alat bukti KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel.

D. Sumber Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang

diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.135

Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam membahas

skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam

penelan ini adalah data sekunder, karena penelitian ini tergolong penelitian hukum

normatif.

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan bahan-bahan

hukum, jenis data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan ini terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mempunyai kekuatan hukum

mengikat,136 berupa data normatif yang bersumber dari perundang-undangan

yang menjadi tolak ukur terapan. Bahan hukum primer meliputi:

a) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat;

b) Perkom No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11

tentang Kartel;

c) Perkom No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara KPPU.

135
Soerjono Soekanto, Op.Cit, Hlm 11.
136
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2007), Hlm. 52.

Citra Ratu Kusuma Hakim


64

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang mempelajari

penjelasan terhadap bahan hukum primer137 yang terdiri dari literatur-literatur,

buku-buku ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan persaingan usaha

dan praktik kartel.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi, penjelasan,

terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus hukum, majalah atau

jurnal, internet, dan informasi lainnya yang mendukung penelitian.

E. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan masalah dan sumber data yang dibutuhkan, maka

pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi

dokumen.

1. Studi pustaka (Library Research)

Kepustakaan sebagai suatu bahan yang berisi informasi yang diperlukan penelitian

perlu mendapatkan seleksi secara ketat dan sistematis, prosedur penyeleksian

didasarkan pada relevansi dan kemutakhiran.138 Studi ini dilakukan dengan

mengadakan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku,

literatur-literatur, dan karya ilmiah lainnya. Teknis yang digunakan adalah

mengumpulkan, mengidentifikasikan, lalu membaca untuk mencari dan

memahami data yang diperlukan kemudian dilakukan pencatatan atau pengutipan

yang berkaitan dengan permasalahan yang dijadikan pokok bahasan.

137
Ibid.
138
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008),
Hlm. 103.

Citra Ratu Kusuma Hakim


65

2. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara

(interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan lisan secara langsung kepada pihak-pihak tekait di Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU), maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan

secara tertulis. Adapun wawancara yang telah dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal : Rabu, 19 Desember 2012


Nama Sumber : Arnold Sihombing
Jabatan : Kepala Bagian Penanganan Pranata Hukum KPPU

F. Lokasi Penelitian

Kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jl. Ir. Juanda No. 36 Jakarta Pusat.

G. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan

sehingga data yang didapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan yang

diteliti yang pada umumnya dilakukan dengan cara:139

1. Pemeriksaan data (editing), yaitu melakukan pemeriksaan data yang

terkumpul apakah sudah cukup lengkap, sudah cukup benar, dan sudah sesuai

dengan permasalahan.

2. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur,

berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

139
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm 126

Citra Ratu Kusuma Hakim


66

3. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka

sistematika bahasan berdasarkan uraian masalah.

H. Analisis Data

Setelah data diolah dan disusun secara sistematis selanjutnya dilakukan analisis

data secara kualitatif, artinya dengan cara menyajikan dan menguraikan data

dalam bentuk kalimat secara lebih rinci dan sistematis. Kemudian dilakukan

interpretasi data dengan menguraikan data yang telah tersusun sehingga

memperoleh gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang dibahas serta

memudahkan melakukan pembahasan dan diambil kesimpulan mengenai

implementasi indirect evidence (alat bukti tidak langsung) sebagai alat bukti

KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel.

Citra Ratu Kusuma Hakim


69

IV. PEMBAHASAN

A. Kedudukan Indirect Evidence dalam Pembuktian Kartel

Indirect evidence khususnya analisis ekonomi dalam kasus persaingan usaha

sangat berpengaruh dalam pembuktian pelanggaran persaingan usaha, terutama

kartel. Pihak yang berperkara sering menyatakan kontra pada pendekatan ekonomi

sebagai indirect evidence karena pendekatan ekonomi merupakan kebalikan dari

teori hukum, yang tergantung pada model dan asumsi, bahkan dapat membuat

hasil yang berbeda. Ketidaksepahaman antar para ekonom yang menyerahkan

analisis yang berbeda bukan merupakan kejadian yang tidak biasa yang merujuk

pada kesimpulan mutlak bahwa bukti ekonomi tidak dapat diandalkan. Selain itu,

hakim dan pengacara memiliki keterbatasan pengetahuan mengenai bukti

ekonomi.141

Di Indonesia indirect evidence masih menimbulkan pro dan kontra terutama

dalam pandangan hukum. Mengingat secara sistem hukum beracara baik dalam

HIR-RBG maupun dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak dikenal dalam alat bukti

yang secara eksplisit berbunyi bukti tidak langsung ataupun bukti ekonomi. Pakar

hukum di Indonesia melihat bahwa pembuktian dengan indirect evidence pada

141
Sukarmi, Pembuktian Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan
Usaha, Edisi 6 – Tahun 2011, Hlm 149.

Citra Ratu Kusuma Hakim


70

kasus kartel tidak dapat secara otomatis dipakai di dalam hukum di Indonesia.

Apalagi bila pelaku usaha tersebut diancam dengan membayar denda. Karena

suatu pelanggaran tindak pidana harus dibuktikan dengan hukum acara pidana

yang lazim.142 Berkaitan dengan pengungkapan sebuah kartel, maka KPPU harus

mampu membuktikan kepada publik, bahwa terdapat alat bukti yang cukup guna

memutuskan adanya pelanggaran terhadap larangan kartel. Pembuktian tersebut

dengan cara mengajukan alat bukti yang kuat untuk pengambilan putusan bahkan

membebankan sanksi administratif sesuai kewenangannya.143

Larangan kartel secara eksplisit merujuk dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999,

yang secara umum diartikan sebagai perjanjian di antara pelaku usaha yang

bertujuan menghambat persaingan dengan cara menaikkan harga dan keuntungan.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika diperlukan deteksi dan pembebanan

sanksi terhadap pelaku kartel, sebab hal ini merupakan salah satu tugas yang

paling penting dari lembaga pengawas persaingan di seluruh dunia. Perjanjian

yang disebutkan dalam undang-undang adalah berupa suatu perbuatan satu atau

lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha

lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.144 Kondisi tersebut

memungkinkan adanya pembuktian tidak langsung (indirect evidence) terhadap

perilaku beberapa pelaku usaha tertentu. Melalui penentuan faktor-faktor internal

maupun eksternal stabillitas suatu kartel, maka kebijakan larangan kartel akan

memicu pembubaran atau paling tidak mencegah pembentukan suatu kartel.

Sementara itu, penentuan ada atau tidaknya kolusi (persekongkolan) dalam suatu
142
Erman Rajagukguk, Sudah Saatnya UU No. 5 Tahun 1999 Diamandemen, tersedia di
http://www.forum-ngo.com, diunduh 21 Desember 2012.
143
Erman Rajagukguk, Butir-butir Hukum Ekonomi, Loc.Cit., Hlm. 55.
144
Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999.

Citra Ratu Kusuma Hakim


71

industri adalah tergantung pada struktur pasar dari industri terkait serta efektivitas

dari penegakan Hukum Persaingan.145

Berdasarkan bentuk perjanjian yang dilakukan, kartel dapat digolongkan menjadi

dua jenis, yaitu:146

1. Kolusi eksplisit, dimana para anggota kartel mengkomunikasikan kesepakatan

mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen

perjanjian, data audit bersama, risalah rapat bersama mengenai kebijakan

penjualan dan sebagainya.

2. Kolusi tersembunyi, dimana para anggota kartel tidak berkomunikasi secara

langsung yang dimediasi dalam bentuk pertemuan rahasia maupun melalui

pertemuan asosiasi. Pengalaman berbagai negara membuktikan bahwa

setidaknya 30% kartel melibatkan asosiasi.

Kedua bentuk kolusi di atas sangat sulit dideteksi oleh lembaga pengawas

persaingan, karena bentuk komunikasi antar pelaku tersebut perlu untuk

didapatkan. Deteksi terhadap kartel merupakan langkah awal dalam proses

penegakan hukum. Dalam hal ini diperlukan penentuan pimpinan (pelaku usaha

utama) atas tindakan kartel, karena tanpa mengetahui adanya pelaku utama, sulit

melakukan investigasi atas suatu kartel. Namun demikian, pendeteksian atas

adanya pelaku utama kartel bukanlah merupakan alat bukti yang cukup untuk

145
Anna Maria Tri Anggraini, Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel
Bedasarkan Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4 – Tahun 2010, Hlm 41.
146
Riris Munadiya, Loc.Cit., Hlm 164.

Citra Ratu Kusuma Hakim


72

menggugat suatu kartel. Guna mendeteksi suatu kartel, paling tidak harus

memenuhi prosedur berikut ini:147

1. Deteksi atas pelaku utama kartel;

2. Mengumpulkan alat bukti tambahan (investigasi atas fakta);

3. Penilaian hukum atas fakta;

4. Keputusan atas lanjut atau tidak lanjutnya penyelidikan atas kartel;

5. Penanganan perkara terhadap kartel.

Bukti langsung merupakan bukti nyata atau berwujud yang menunjukkan telah

terjadi pelanggaran unsur persaingan usaha (hard evidence). Pembuktian langsung

dalam praktek penetapan harga (kartel harga) yang menyebabkan adanya

konspirasi antar pelaku usaha dapat dibuktikan dengan faktor berikut:148

1. Price lists, atau harga yang diterbitkan asosiasi;

2. Notifikasi perubahan harga;

3. Pertemuan atau pembicaraan telepon antar pesaing;

4. Pertukaran informasi harga antar kompetitor;

5. Bukti monitoring competitor atau kebijakan kerjasama antar pelaku yang

dilakukan;

6. Pengakuan dari pihak yang berkonspirasi;

7. Dokumen, email, fax yang mengakomodir pertukaran informasi antar pesaing.

Mekanisme lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha dalam kartel adalah

fasilitasi antar pelaku berupa:149

147
Ibid.
148
Ibid, Hlm. 173.
149
Ibid.

Citra Ratu Kusuma Hakim


73

1. Penggunaan software untuk mengalokasi pasar dan konsumen;

2. Pertukaran informasi harga yang periodik;

3. Seminar untuk para karyawan yang terkait;

4. Dibuatnya steering committees dan audit systems bersama;

5. Adanya punishment terhadap perusahaan yang tidak mau ikut kerjasama; dan

6. Komunikasi melalui badan lain.

Berdasarkan jenis alat bukti tersebut di atas, maka alat bukti yang diperlukan

untuk menangani kartel antara lain:150

1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau pembagian

wilayah pemasaran;

2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list), jumlah produski dan jumlah

penjualan di wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (semesteran

atau tahunan);

3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di beberapa

wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (bulanan atau tahunan);

4. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang diduga

terlibat selama beberapa periode terakhir;

5. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta

perubahannya.

6. Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi, koordinasi

dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel;

150
Perkom No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel
berdasarkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, Hlm 23.

Citra Ratu Kusuma Hakim


74

7. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan

harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat

kartel;

8. Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga

terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan

kesepakatan dalam kartel;

9. Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya faktor

pendorong kartel.

Pencegahan yang paling ampuh atas suatu kartel adalah mendeteksi perilaku

kartel secara efektif serta menjelaskan konsekuensi kepada pihak terkait jika

terdapat tindakan kartel. Karena itu, pertama, harus terdapat ancaman serius dari

lembaga pengawas persaingan bagi perusahaan yang tertangkap melakukan kartel.

Kedua, pelaku-pelaku kartel harus dibebani sanksi. Adanya konsekuensi yang

jelas atas suatu kartel paling tidak bermanfaat atas dua hal, yakni pertama,

mencegah kartel yang terkonstruksi; kedua, memperkuat efektivitas beberapa

metode mendeteksi suatu kartel.151

Dalam mendeteksi kartel diperlukan petunjuk dan informasi atas pelopor dalam

kartel. Namun demikian, tanpa pengetahuan yang cukup tentang elemen-elemen

kunci atas kartel, yakni kemungkinan-kemungkinan cara tentang bagaimana

implementasi tindakan kartel serta dampak negatif kartel terhadap persaingan dan

kesejahteraan konsumen, merupakan langkah yang sangat sulit untuk menemukan

petunjuk atas tindakan kartel. Dalam hal ini, adalah suatu keharusan dalam

151
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit, Hlm. 41

Citra Ratu Kusuma Hakim


75

mendeteksi kartel, bahwa seseorang harus mengetahui tindakan apa yang akan

dicari dan bersikap hati-hati dalam menentukan perilaku mana yang dianggap

ilegal. Sikap dan tindakan inilah yang seharusnya dimiliki dan dilakukan oleh

otoritas persaingan.152

Biasanya tindakan kartel dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia, sehingga

deteksi terhadap kartel bukanlah pekerjaan yang mudah. Kartel menjadi sulit

dideteksi karena pada faktanya perusahaan yang berkolusi berusaha

menyembunyikan perjanjian antar mereka dalam rangka menghindari hukum.

Jarang sekali pelaku usaha yang secara terang-terangan membuat perjanjian antar

mereka, membuat dokumen hukum, mengabadikan pertemuan, serta

mempublikasikan perjanjian, sehingga di mata hukum persaingan dapat dijadikan

bukti langsung perjanjian.153

Sulitnya pembuktian kasus kartel juga dialami berbagai penegak hukum

persaingan di negara lain. Dalam menangani kasus kartel, pelaku usaha

merahasiakan kegiatan mereka dan tidak bekerja sama dengan penyelidik untuk

membuka kasus ini kecuali adanya keuntungan bagi pelaku usaha yang terlibat

seperti dengan adanya liniency program.154 Akan tetapi, dalam kondisi dimana

tidak terdapat leniency program tersebut, pembuktian harus tetap berjalan,

152
Ibid.
153
Ibid, Hlm. 42.
154
Leniency Program dalam deteksi kartel yang dimaksudkan di atas, adalah kekebalan
hukum atau keringanan hukum, dan dapat dilakukan baik oleh perorangan, karyawan perusahaan,
maupun perusahaan yang pertamatama memberikan keterangan atau informasi terkait dengan
praktek kartel. Leniency program yang saat ini banyak diterapkan di negara lain dalam mendeteksi
kartel juga bertujuan untuk mendapatkan informasi awal mengenai keberadaan kartel. Leniency
program dapat memecahkan kerahasiaan di antara pelaku kartel. Program tersebut telah sangat
sukses memberikan pengampunan (amnesty) kepada pelaku kartel yang pertama kali mengakui
tindakannya serta membuka perilaku tersebut kepada penegak hukum.

Citra Ratu Kusuma Hakim


76

sehingga pembuktian tidak langsung menjadi salah satu solusinya. Dalam hal ini,

terdapat beberapa metode pembuktian untuk mendeteksi penemuan atas tindakan

kartel. Namun tampaknya tergantung juga dari pengalaman masing-masing

negara, dimana terdapat tidak hanya satu pendekatan yang dapat digunakan untuk

menangani kartel dengan kondisi yang variatif. Artinya, bahwa otoritas persaingan

dapat menggunakan berbagai cara yang efektif dalam melakukan investigasi untuk

mendeteksi kartel, yang tidak hanya tergantung pada alat bukti secara langsung

saja (direct evidence). Dalam kasus kartel di luar negeri, pembuktian secara

indirect evidence juga sering dilakukan pada kasus kartel sebagai substansi

pelengkap dari adanya bentuk komunikasi kartel.155

Dalam beberapa kasus, pembuktian indirect evidence melalui pendekatan

ekonomi dapat menjadi sumber informasi mengenai adanya kartel. Meskipun

demikian, evaluasi spesifik atas informasi yang dimiliki tersebut perlu dilakukan

agar tidak disalahartikan. Sebagai contoh, kenaikan harga secara simultan yang

terdapat di pasar dapat memiliki penjelasan lain selain perjanjian kartel. Dapat

jadi harga input atau harga dari produk substitusi berubah sehingga semua pelaku

pasar yang mengamati peristiwa tersebut merubah harga mereka bersama-sama.

Untuk itu, penggunaan indirect evidence seperti paralel harga harus

diinterpretasikan dengan hati-hati, dan harus dilengkapi bukti tegas dalam

membuktikan adanya perjanjian kolusi. Ekonomi dapat menjadi sumber informasi

mengenai adanya kartel. Meskipun demikian, evaluasi spesifik atas informasi

yang dimiliki tersebut perlu dilakukan agar tidak disalahartikan. Sebagai contoh,

kenaikan harga secara simultan yang terdapat di pasar dapat memiliki penjelasan

155
Ibid, Hlm. 43.

Citra Ratu Kusuma Hakim


77

lain selain perjanjian kartel. Dapat jadi harga input atau harga dari produk

substitusi berubah sehingga semua pelaku pasar yang mengamati peristiwa

tersebut merubah harga mereka bersama-sama. Untuk itu, penggunaan indirect

evidence seperti paralel harga harus diinterpretasikan dengan hati-hati, dan harus

dilengkapi bukti tegas dalam membuktikan adanya perjanjian kolusi.156

Terdapat berbagai alasan otoritas persaingan dalam menggunakan indirect

evidence. Alasan yang paling penting adalah bahwa kedudukan dan fungsi otoritas

persaingan yang independen, tidak tergantung pada kondisi atau peristiwa

eksternal, melainkan sangat mengatur dan terlibat dalam proses deteksi.157 Bahkan

dalam hal otoritas persaingan kekurangan atau bahkan kehilangan informasi

(inside information), yang berkaitan dengan kartel, maka deteksi atas kartel masih

tetap dapat dilanjutkan. Metode proaktif158 dapat menjadi pelengkap dari metode

reaktif,159 seperti misalnya mendorong para pihak baik secara individual maupun

perusahaan untuk bertindak sebagai whistle blower160 atau bahkan untuk

menerapkan leniency program.161

156
Ibid, Hlm. 165.
157
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit, Hlm. 43
158
Metode Proaktif, yakni metode pendekatan yang diinisiasi oleh otoritas persaingan
untuk mendeteksi kartel. Inisiatif ini dapat dilakukan dalam bentuk penggunaan analisis/studi
tentang ekonomi atau analisis/studi tentang pasar, atau monitoring kegiatan industri/sektor tertentu
dengan menggunakan analisis ekonomi.
159
Metode Reaktif adalah metode yang didasarkan pada beberapa kondisi eksternal yang
terjadi sebelum otoritas persaingan menyadari beberapa kemungkinan atas issue kartel dan
memulai suatu investigasi, misalnya dengan menggunakan informasi orang dalam untuk
mendeteksi kartel.
160
Whistle blower adalah istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota
dari suatu institusi atau organisasi, yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar
ketentuan kepada pihak yang berwenang. Berdasarkan gambar di atas, whistle blower yang
dimaksud berasal dari karyawan pelaku usaha yang ikut melakukan kartel. Whistle blower bersifat
perorangan yang diberi insentif untuk melaporkan adanya praktek kartel sehingga menjadi saksi
dalam perilaku kartel. Melalui kesaksiannya, maka dapat diperoleh dokumen maupun perjanjian
yang mendukung adanya praktek kartel. Hal ini diperlukan sebelum dilakukan penyitaan terhadap
barang bukti dokumen tersebut. Terkait dengan hal tersebut, perlu adanya kekebalan terhadap

Citra Ratu Kusuma Hakim


78

Indirect evidence lebih ditujukan untuk memenuhi standar pembuktian dan

memberikan gambaran penguatan akan praktek kartel itu sendiri. Analisa ekonomi

yang diberlakukan dalam pembuktian tidak langsung lebih menegaskan dampak

(harmfull) terhadap kesejahteraan masyarakat dari praktek kartel itu sendiri.

Mengenai indirect evidence sendiri, Organization for Economic Cooperation

Development (OECD) menjelaskan bahwa penggunaan bukti-bukti tidak langsung

harus dibatasi sedemikian rupa karena bukti-bukti ini kabur dan memiliki multi

tafsir. Bukti-bukti tidak langsung ini dapat digunakan dan seringkali digunakan

bersama-sama dengan bukti langsung.162

Keputusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 berkaitan dengan dugaan Kartel

Industri Minyak Goreng Sawit memberikan pelajaran yang cukup berarti dan

terobosan yang bagus dalam sisi hukum bahwa indirect evidence dapat dijadikan

alat bukti dalam perkara persaingan usaha khususnya kartel. Analisis-analisis

ekonomi menjadi salah satu kunci penting dalam penggunaan bukti tidak langsung

untuk membuktikan adanya perjanjian. Analisis ekonomi berperan sebagai alat

untuk menduga (infere) adanya koordinasi atau kesepakatan diantara pelaku usaha

di pasar. Analisis plus factor perlu dilakukan untuk dapat dijadikan bukti tidak

langsung. Hal tersebut untuk membedakan parallel business conduct dengan

illegal agreement. Beberapa analisis tambahan yang diperlukan adalah seperti

berikut ini, namun tidak terbatas pada: rasionalitas penetapan harga, analisis

saksi yang dapat melindungi kunci utama pembuka praktek kartel tersebut. Insentif yang diberikan
kepada whistle blower tergantung pada yurisdiksi negara yang bersangkutan.
161
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit, Hlm 44.
162
Toha Kurnia, “Tinjauan Kritis Terhadap Kualitas Subtansi (Aspek Material dan Formil)
dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999”, Makalah disampaikan dalam seminar “10 Tahun
Penegakan Hukum Persaingan Usaha dan Wacana Judicial Review Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dsn Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jakarta 8
Desemer 2010, Hlm. 15.

Citra Ratu Kusuma Hakim


79

struktur pasar, kecepatan informasi mengenai penyesuaian harga, standardisasi

harga, kelebihan kapasitas dan sebagainya.163

Penggunaan analisis ekonomi menjadi salah satu kunci penting dalam penggunaan

indirect evidence untuk membuktikan adanya suatu perjanjian. Analisis ekonomi

berperan sebagai alat untuk menduga adanya koordinasi atau kesepakatan diantara

pelaku usaha di pasar. Analisis plus factor yang dikemukakan sebelumnya pada

dasarnya merupakan suatu analisis ekonomi yang diperlukan untuk:164

1. Membuktikan apakah perilaku perusahaan rasional meskipun tanpa adanya

kolusi. Hal ini diperlukan untuk mengesampingkan kemungkinan perilaku

yang konsisten dengan kondisi persaingan.

2. Membuktikan apakah struktur pasar mendukung terjadinya suatu kolusi.

3. Membuktikan apakah karakteristik pasar konsisten sebagai fasilitas kolusi.

4. Membuktikan apakah kinerja di pasar merupakan dugaan atas perjanjian

penetapan harga.

5. Membandingkan kondisi yang terjadi akibat adanya suatu perjanjian kolusi

dengan kondisi yang muncul dari persaingan.

Bukti-bukti ekonomi dalam kacamata hukum dapat dikategorikan atau

dimasukkan dalam alat bukti petunjuk. Dengan demikian tidak ada pelanggaran

yang dilakukan oleh KPPU ketika memasukkan bukti tidak langsung maupun

bukti ekonomi dalam kategori alat bukti untuk membuktikan adanya kartel.

Beberapa alat bukti tidak langsung maupun bukti ekonomi hanya dihitung satu

sebagai petunjuk untuk itu tentunya harus didukung dengan alat bukti lainnya,

163
Sukarmi, Loc.Cit., Hlm. 151.
164
Ibid.

Citra Ratu Kusuma Hakim


80

dibutuhkan minimal dua alat bukti untuk dapat dikatakan perbuatan dianggap

melanggar undang-undang.165

Berdasarkan kasus yang pernah diputus oleh KPPU dan bahkan dikuatkan oleh

pihak pengadilan maka indirect evidence dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam

membuktikan perkara persaingan usaha dalam hal ini adalah kartel. Kedudukan

indirect evidence dalam pembuktian kartel pada Hukum Persaingan Usaha adalah

bukti pendukung untuk memperkuat alat bukti lainnya dan dikategorikan sebagai

alat bukti petunjuk. Indirect evidence ini dapat dijadikan alat bukti dalam

pembuktian adanya kartel sebagai bentuk pelanggaran Hukum Persaingan Usaha

yang harus dilengkapi dengan alat bukti lain, untuk dapat dikategorikan sebagai

alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.

Tentu formulasinya harus dimasukan dalam kerangka alat bukti yang terdapat

dalam Pasal 42 yaitu alat bukti petunjuk.

B. Proses Pembuktian dengan Alat Bukti Indirect Evidence atas Terjadinya


Kartel

Tipe pembuktian indirect evidence terdapat dua macam, yaitu meliputi bukti

komunikasi dan bukti ekonomi (analisis ekonomi). Bukti komunikasi adalah bukti

dimana pelaku kartel bertemu melakukan komunikasi akan tetapi tidak

menjelaskan substansi komunikasi tersebut. Sebagai contoh percakapan telepon

antar pelaku usaha yang dicurigai kartel, atau perjalanan mereka ke suatu tujuan

yang sama. Sedangkan bukti ekonomi dapat dibagi menjadi bukti perilaku dan

165
Ibid, Hlm. 152.

Citra Ratu Kusuma Hakim


81

bukti struktur.166 Seperti disebutkan di atas, bahwa salah satu pembuktian indirect

evidence adalah penggunaan analisis ekonomi untuk mendeteksi kartel.

Penggunaan analisis ekonomi dalam kartel artinya adalah studi atau metodologi

ekonomi guna mendukung identifikasi faktor-faktor yang dapat diindikasikan

sebagai kolusif atau pasar-pasar yang memfasilitasi terbentuknya perilaku yang

kolusif.167

Secara umum analisis ekonomi dapat dibagi menjadi dua metodologi, yakni

pendekatan structural (structural approach) dan pendekatan perilaku (behavioural

approach). Pendekatan struktural meliputi identifikasi pasar dengan karakteristik

yang kondusif untuk melakukan tindakan kolusif. Dalam beberapa studi atau

literatur ekonomi dapat diidentifikasikan beberapa faktor terkait dengan struktur

pasar dan kekuatan pasar yang mendorong atau memfasilitasi terbentuknya

perilaku kartel. Faktor-faktor ini dapat dijadikan sebagai indikasi terbentuknya

suatu kartel. Sebagai contoh misalnya terbentuknya kartel dalam suatu pasar akan

mudah terjadi jika pasar terdiri atas beberapa pelaku usaha, dengan produk yang

homogen, dan permintaan (demand) yang stabil.168

Perkom No. 4 Tahun 2010 menyatakan terdapat beberapa faktor struktural,

yakni:169

1. Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan

Jumlah pelaku usaha di pasar sejenis yang relatif sedikit memudahkan

terbentuknya suatu kartel. Guna mengukur tingkat konsentrasi pasar, dapat

166
Riris Munadiya, Op.Cit., Hlm 174.
167
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit, Hlm 44.
168
Ibid.
169
Perkom No. 4 Tahun 2010, Hlm. 20-21.

Citra Ratu Kusuma Hakim


82

digunakan metode seperti CR4 (concentration ratio atas 4 pelaku terbesar di

pasar bersangkutan) dan HHI (Herfindahl-Hirschman Index), yang merupakan

indikator baik untuk melihat apakah secara struktural, pasar tertentu

mendorong terbentuknya kartel.

2. Ukuran perusahaan

Kartel akan lebih mudah terbentuk jika pelaku utama atau pelopornya adalah

beberapa perusahaan yang memiliki ukuran setara. Dengan demikian

pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat dicapai

dengan lebih mudah, karena kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi

semua perusahaan tersebut tidak berbeda jauh.

3. Homogenitas produk

Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi

konsumen terhadap seluruh produk tidak berbeda jauh. Hal ini menjadikan

persaingan harga sebagai satu-satunya variabel persaingan yang efektif.

Dengan demikian dorongan para pengusaha untuk bersepakat membentuk

kartel akan semakin kuat untuk menghindari perang harga yang

menghancurkan laba mereka. Dalam hal ini, KPPU dapat melakukan survey

kepada pelanggan produk tertentu guna mengetahui tingkat preferensi

pelanggan dan menyimpulkan tingkat homogenitas produk tersebut.

4. Kontrak multipasar

Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya kontrak

multipasar dengan pesaingnya yang juga memiliki sasaran pasar yang luas.

Multipasar dapat diartikan sebagai persaingan di beberapa area pasar atau

beberapa segmen pasar. Kontak yang berkali-kali ini dapat mendorong para

Citra Ratu Kusuma Hakim


83

pengusaha yang seharusnya bersaing untuk melakukan koordinasi atau

kolaborasi, dengan membagi wilayah pasar atau menurunkan harga. Selain itu,

tidak ada insentif bagi para pelaku usaha tersebut untuk tidak ikut dalam kartel

karena adanya kekhawatiran “tindakan balasan” dari anggota kartel di seluruh

area atau segmen pasar sasaran.

5. Persediaan dan kapasitas produksi

Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi kelebihan

penawaran (overstock). Begitu pula kapasitas terpasang yang berada di atas

permintaan menunjukkan kemampuan pasokan berada di atas tingkat

permintaan saat ini. Untuk mencegah persaingan harga yang merugikan, pada

kondisi ini para pelaku usaha akan mudah terperangkap dalam perilaku kartel

harga, yaitu menyepakati harga tertentu atau harga minimum. Selain itu,

kelebihan pasokan ini mencegah anggota kartel untuk menyimpang, mengingat

pasokan yang tersedia cukup banyak untuk menghukum mereka yang

menyimpang dengan membanjiri pasar, sehingga harga akan jatuh dan

pengusaha akan kesulitan memasarkan produknya. Data atas kesediaan dan

kapasitas produksi dapat dijadikan indikator awal untuk mengidentifikasi

kartel.

6. Keterkaitan kepemilikan

Keterkaitan kepemilikan baik minoritas terlebih mayoritas mendorong

pengusaha untuk mengoptimalkan laba melalui keselarasan perilaku di antara

perusahaan yang mereka kendalikan. Pemegang saham dua atau lebih

perusahaan yang seharusnya bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan

silang ini untuk memperkuat kartel dalam rangka mengoptimalkan profit.

Citra Ratu Kusuma Hakim


84

Berbagai pengaturan kartel akan berlangsung lebih mudah dengan adanya

kepemilikan silang ini.

7. Kemudahan masuk pasar

Tingginya hambatan masuk (entry barrier) sebagai hambatan bagi perusahaan

baru untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan suatu kartel. Peluang

pendatang baru untuk mengisi kekosongan pasar akibat harga kartel yang

tinggi agak tertutup. Dengan demikian kartel akan dapat bertahan dari

persaingan pendatang baru.

8. Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan

Permintaan yang teratur dan inelastis dengan pertumbuhan yang stabil akan

memfasilitasi pembentukan kartel. Hal ini terjadi karena adanya kemudahan

bagi para peserta kartel utuk memprediksi dan menghitung tingkat produksi

serta tigkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan mereka. Sebaliknya,

jika permintaan sangat fluktuatif, elastik dan tidak teratur, maka akan

menyulitkan terbentuknya kartel. Para peserta akan berebut order pada saat

permintaan tinggi, dan terpaksa bersaing untuk menurunkan harga mengingat

sifat permintaan yang elastis. KPPU dapat mengukur karakter permintaan ini

baik melalui survei dan penelitian pasar maupun informasi dari para produsen.

9. Kekuataan tawar pembeli (buyer power)

Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan dan akhirnya

membubarkan kartel. Dengan posisi ini, pembeli akan mudah mencari penjual

yang mau memasok dengan harga rendah, yang berarti mendorong penjual

untuk tidak mematuhi harga kesepakatan kartel. Pada akhirnya kartel tidak

akan berjalan secara efektif dan bubar dengan sendirinya.

Citra Ratu Kusuma Hakim


85

Pendeketan lain adalah pendekatan perilaku, yang lebih menekankan pada sebuah

output berupa adanya kemungkinan tindakan koordinatif antar pelaku kartel.

Pendekatan ini berfokus pada dampak terhadap pasar atas koordinasi tersebut.

Hal-hal yang perlu dicurigai antara lain adalah harga, rabat atau diskon yang sama

atau identik di antara pesaing, pergerakan harga yang paralel atau kenaikan harga

yang unjustified atau unexplained, atau pemasok yang berbeda menaikkan harga

dengan margin yang sama dalam waktu yang bersamaan. Namun demikian,

kadangkala peningkatan harga secara paralel merupakan petunjuk adanya pasar

yang bersaing secara ketat (highly competitive).170

Menurut Perkom No. 4 Tahun 2010, faktor perilaku ini antara lain meliputi:171

1. Tranparansi dan pertukaran informasi

Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran

informasi dan transparansi diantara mereka. Peran asosiasi yang kuat seringkali

terlihat sebagai media pertukaran ini. Data produksi dan harga jual yang

dikirimkan ke asosiasi secara periodik dapat digunakan sebagai sarana

pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Terlebih lagi jika

ditemukan terjadinya pertukaran informasi harga dan data produksi tanpa

melalui asosiasi, yang akan terlihat janggal jika sesama pelaku usaha saling

memberikan harga dan data produksi diantara mereka tanpa tujuan tertentu,

sehingga kecurigaan akan eksistensi kartel akan menguat.

2. Peraturan harga dan kontrak

170
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit, Hlm 46.
171
Perkom No. 4 Tahun 2010, Hlm. 22.

Citra Ratu Kusuma Hakim


86

Beberapa perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat dugaan

adanya kartel di suatu industri. Misanya kebijakan harga tunggal (one price

policy), dimana kesamaan harga di berbagai daerah akan menjadi alat

monitoring yang efektif antar anggota kartel terhadap kesepakatan harga kartel.

Begitu pula keharusan memperoleh harga yang sama seperti MFN (Most

Favored Nations) atau Meet the Competition dalam suatu kontrak akan

memudahkan control terhadap anggota kartel yang menyimpang. Oleh karena

itu, walaupun bukan merupakan syarat yang cukup untuk mengidentifikasi

kartel, perilaku pengaturan harga dan kontrak patut dicurigai KPPU sebagai

bagian upaya identifikasi eksistensi kartel.

Dalam indirect evidence dengan penggunaan analisa ekonomi (economic

evidence) dikenal adanya istilah conduct evidence. Berdasarkan observasi tertentu,

suatu perbuatan yang mencurigakan sering memicu investigasi atas adanya

dugaan kartel. Analisis yang cermat atas perbuatan para pelaku usaha sangat

penting untuk mengidentifikasikan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai

suatu tindakan yang bertentangan dengan kepentingan pribadi para pihak, maka

hal tersebut menimbulkan ugaan mengenai adanya suatu perjanjian. Adapun

conduct evidence meliputi: 172

1. Parallel pricing, yaitu perubahan harga yang identik antar para pelaku usaha

pesaing, atau hampir identik. Ini termasuk bentuk lain dari parallel conduct,

seperti pengurangan kapasitas, adopsi persyaratan standar penjualan, dan pola

penawaran mencurigakan, misal rotasi diprediksikan menangkan penawar.

172
OECD, “Prosecuting Cartelswithout Direct Evidence of Agreemen, Policy Brief” Edisi
2006, http://www.oecd.org/dataoecd/11/30/38704302.pdf, diunduh 11 November 2012, Hlm.21

Citra Ratu Kusuma Hakim


87

2. Kinerja industry juga dapat digambarkan sebagai conduct evidence. Hal ini

termasuk:173

a. Tinggi laba yang tidak normal

b. Pangsa pasar yang stabil

c. Sejarah pelanggaran hukum persaingan

3. Bukti yang berhubungan dengan struktur pasar juga dapat digunakan terutama

untuk membuat penemuan perjanjian kartel lebih masuk akal, meskipun faktor

struktur pasar tidak membuktikan adanya kesepakatan tersebut. Bukti ekonomi

yang relevan yang berkaitan dengan struktur pasar meliputi:174

a. Konsentrasi tinggi

b. Konsentrasi rendah disisi berlawanan dari pasar

c. Besarnya hambatan masuk

d. Tingkat integrasi vertikal yang tinggi

e. Produk standar atau homogen.

Jenis bukti ekonomi yang spesifik adalah facilitating practices, yaitu kegiatan

yang memfasilitasi praktek-praktek yang dapat mempermudah para pelaku usaha

pesaing untuk mencapai kesepakatan (perjanjian).175 Penting untuk diketahui

bahwa memfasilitasi praktek tidak selalu melanggar hukum. Facilitating practices

dapat dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan promosi dalam waktu

yang tidak bersamaan serta pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing

melalui asosiasi.176

173
Ibid. Hlm. 22
174
Ibid.
175
Ibid.
176
Ibid.

Citra Ratu Kusuma Hakim


88

Proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence atas terjadinya kartel

berdasarkan kasus yang pernah diputus oleh KPPU dan bahkan dikuatkan oleh

pihak pengadilan berupa bukti komunikasi dan bukti ekonomi (analisis ekonomi).

Sebagai contoh, Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009 tentang industri minyak

goreng yang digunakan KPPU sebagai indirect evidence ialah bukti komunikasi,

bukti ekonomi, dan facilitating practices. Selanjutnya Putusan KPPU No.

01/KPPU-I/2010 tentang industri semen yang digunakan KPPU sebagai indirect

evidence ialah analisis ekonomi terhadap kecenderungan yang terjadi di lapangan,

analisa pasar dan analisa struktur pasar, dan bukti ekonomi.

1. Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009 tentang Industri Minyak Goreng


Sawit

Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009 tentang Industri Minyak Goreng yang

diputuskan pada Selasa, 4 Mei 2010 mengenai dugaan terhadap pelanggaran Pasal

4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 akan diuraikan untuk mengetahui

tentang kasus posisi sebagai berikut:

a. Para Pihak dalam Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009

Adapun Terlapor dalam Perkara No. 24/KPPU-I/2009 meliputi 21 pelaku usaha

yang bergerak dibidang industri minyak goreng. Ke-21 Pelaku usaha tersebut

ditunjukan dalam Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Identitas Terlapor


No Subyek Hukum Alamat Kegiatan Usaha
1 Terlapor PT Multimas B & G Tower, Jl. Kegiatan usaha antara lain
I Nabati Putri Hijau No. 10 produksi dan penjualan
Asahan Medan 20111 minyak goreng curah dan
kemasan dengan merek
Sania dan Fortune

Citra Ratu Kusuma Hakim


89

2 Terlapor PT Sinar B & G Tower, Jl. Kegiatan usaha antara lain


II Alam Permai Putri Hijau No. 10 produksi dan penjualan
Medan 20111 minyak goreng curah dan
kemasan dengan merek
Sania dan Fortune
3 Terlapor PT Wilmar Jl. Datuk Kegiatan usaha antara lain
III Nabati Laksamana Areal produksi dan penjualan
Indonesia Pelabuhan Dumai- minyak goreng curah
Riau
4 Terlapor PT Multi B & G Tower, Jl. Kegiatan usaha antara lain
IV Nabati Putri Hijau No. 10 produksi dan penjualan
Sulawesi Medan 20111 minyak goreng curah dan
kemasan dengan merek
Sania dan Fortune
5 Terlapor PT Agrindo Jl. Panglima Polim Kegiatan usaha antara lain
V Indah 89 KISARAN produksi dan penjualan
Persada 21214 Sumatera minyak goreng curah
Utara
6 Terlapor PT Musim Jl. K.L. Yos Kegiatan usaha antara lain
VI Mas Sudarso Km 7,8 produksi dan penjualan
Kelurahan Tanjung minyak goreng curah
Mulia, Kecamatan
Medan Deli, Kota
Medan, Sumatera
Utara
7 Terlapor PT Intibenua Spring Tower 02- Kegiatan usaha antara lain
VII Perkasatama 21, Jl. K.L. Yos produksi dan penjualan
Sudarso Tanjung minyak goreng curah
Mulia, Medan,
Sumatera Utara
8 Terlapor PT Jl. Tambak Sawah Kegiatan usaha antara lain
VIII Megasurya 32, Waru, Sidoarjo, produksi dan penjualan
Mas Jawa Timur minyak goreng curah
9 Terlapor PT Agro Jl. Soekarno No. 1 Kegiatan usaha antara lain
IX Makmur Samping produksi dan penjualan
Raya Pelabuhan minyak goreng curah
Samudera Bitung –
Sulawesi Utara
95521
10 Terlapor PT Mikie Jl. Raya Narogong Kegiatan usaha antara lain
X Oleo Nabati Km. 9, Bojong produksi dan penjualan
Industri Mente Rawa minyak goreng curah
Lumbu Bekasi – dengan merek Sunco
17133
11 Terlapor PT Indo Spring Tower 03- Kegiatan usaha antara lain
XI Karya 33, Jl. K.L. Yos produksi dan penjualan
Internusa Sudarso Tanjung minyak goreng curah
Mulia, Medan,

Citra Ratu Kusuma Hakim


90

Sumatera Utara
20241
12 Terlapor PT Permata Jl. Iskandar Muda Kegiatan usaha antara lain
XII Hijau Sawit No. 107, Medan produksi dan penjualan
20154 minyak goreng curah
13 Terlapor PT Nagamas Jl. Iskandar Muda Kegiatan usaha antara lain
XIII Palmoil No. 107, Medan produksi dan penjualan
Lestari 20154 minyak goreng curah
14 Terlapor PT Nubika Jl. Iskandar Muda Kegiatan usaha antara lain
XIV Jaya No. 107, Medan produksi dan penjualan
20154 minyak goreng curah
15 Terlapor PT Smart, BII Plaza Tower II, Kegiatan produksi dan
XV Tbk Lt. 20, Jl. M.H. penjualan minyak goreng
Thamrin No. 51 curah dan kemasan
Jakarta 10350 dengan merek Filma,
Kunci Mas
16 Terlapor PT Salim Sudirman Plaza – Merupakan produsen
XVI Ivomas Indofood Tower Lt. minyak goreng curah dan
Pratama 22 Jl. Jend. kemasan dengan merek
Sudirman Kav. 76- Bimoli, Delima dan
78 Jakarta 12910 Mahakam
17 Terlapor PT Bina Focus Bldg. Comp Kegiatan usaha antara lain
XVII Karya Prima Mitra Sunter Blok produksi dan penjualan
B1-B4, Jl. Yos minyak goreng curah dan
Sudarso Kav. 89, kemasan dengan merek
Sunter, Jakarta Tropical
Utara 14350
18 Terlapor PT Tunas Wisma Budi Lt. 9, Bergerak di bidang
XVIII Baru Jl. H. Rasuna Said produksi minyak goreng
Lampung Kav. C-6, Jakarta - curah dan kemasan
Selatan dengan merek Rose Brand
19 Terlapor PT Berlian Jl. K. L. Yos Kegiatan usaha antara lain
XIX Eka Sakti Sudarso No. 15 , produksi dan penjualan
Tangguh Km. 6, Medan minyak goreng curah
20116
20 Terlapor PT Pacific Jl. Pulau Bawean Kegiatan usaha antara lain
XX Palmindo Kawasan Industri produksi dan penjualan
Industri Medan II, Mabar, minyak goreng curah
Medan 20242
21 Terlapor PT Asian Jl. Semarang Blok Kegiatan usaha antara lain
XXI Agro Agung A-6/1, KBN produksi dan penjualan
Jaya Marunda Cilincing, minyak goreng curah dan
Jakarta Utara kemasan dengan merk
14150 Camar dan Harumas

Citra Ratu Kusuma Hakim


91

b. Duduk Perkara dalam Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009

Sekretariat KPPU menemukan dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun

1999 mengenai oligopoly, penetapan harga, serta kartel dibidang industry minyak

goreng. Segera KPPU melakukan monitoring terhadap pelaku usaha, dan

berdasarkan hasil rapat komisi tanggal 15 Sepetember 2009, hasil monitoring

tersebut diputuskan perlu ditindaklanjuti ke tahap pemeriksaan pendahuluan.

Setelah melakukan pemeriksaan pendahuluan, tim pemeriksa menyimpulkan

terdapat bukti awal yang cukup tentang adanya dugaan pelanggaran Pasal 4, Pasal

5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 sehingga Tim Pemeriksa

merekomendasikan untuk dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan.177

Tim pemeriksa telah mendengar keterangan dari para Terlapor dan para Saksi

serta instant pemerintah dalam proses pemeriksaan pendahuluan dan

pemeriksaaan lanjutan. Setelah Majelis Komisi mempelajari laporan hasil

pemeriksaan lanjutan kemudian melakukan penilaian bahwa industri minyak

goreng merupakan industri yang memiliki nilai strategis karena berfungsi sebagai

salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Perkembangan industri minyak

goreng di Indonesia telah menempatkan minyak goreng dengan bahan baku

kelapa sawit sebagai komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat

saat ini. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya ketersediaan bahan baku lain

selain kelapa sawit.

Karakteristik kelapa sawit yang memiliki berbagai macam produk turunan juga

telah perkembangan industri-industri yang terkait dengan kelapa sawit dan

177
Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009 Tentang Minyak Goreng, Hlm. 2

Citra Ratu Kusuma Hakim


92

turunannya termasuk diantaranya adalah industri minyak goreng sawit

(selanjutnya disebut minyak goreng). Namun demikian, struktur pasar industri

minyak goreng yang oligopoli telah mendorong perilaku beberapa pelaku usaha

produsen minyak goreng untuk menentukan harga sehingga pergerakan harganya

tidak responsive dengan pergerakan harga CPO padahal CPO merupakan bahan

baku utama dari minyak goreng. Hal tersebut tercermin dari periode waktu tahun

2007 hingga tahun 2009. Atas dasar hal tersebut, Tim Pemeriksa menduga adanya

indikasi pelanggaran Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.178

Indonesia dikatakan sebagai Negara CPO terbesar di dunia karena budi daya

kelapa sawit di Indonesia didukung dengan karakteristik geografis Indonesia

sangat mendukung budi daya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit sehingga

industri agribisnis tersebut berkembang dengan sangat baik.179 Disamping itu

kelapa sawit dipandang yang sangat potensial karena memiliki banyak produk

turunan dan/atau sampingan selain minyak goreng yang juga mempunyai nilai

komersial.

Penyebaran perkebunan kelapa sawit mengalami perluasan hampir diseluruh

daerah di Indonesia. Perkembangan luas lahan perkebunan kelapa sawit tersebut

sangat terlihat apabila dibandingkan dengan beberapa dasawarsa sebelumnya

dimana pada tahun 1980 sebesar 289.526 Ha, tahun 1990 sebesar 1.126.677 Ha,

tahun 2000 sebesar 4.158.077 Ha dan tahun 2005 sebesar 5.508.219 Ha.180

Selanjutnya berdasarkan keterangan dan informasi selama proses pemeriksaan,

178
Ibid, Hlm.4
179
Ibid, Hlm. 5.
180
Ibid.

Citra Ratu Kusuma Hakim


93

Tim Pemeriksa memperoleh fakta bahwa terdapat beberapa referensi harga CPO

yang digunakan oleh para pelaku usaha sebagai dasar pertimbangan dalam

melakukan transaksi CPO bahkan transaksi minyak goreng di Indonesia.

Referensi harga yang digunakan tersebut adalah:181

(1) harga CPO Rotterdam;

(2) harga CPO Malaysia;

(3) harga tender Kantor Pemasaran Bersama/KPB (sekarang PT Kharisma

Pemasaran Bersama Nusantara);

(4) harga tender PT Astra Agro Lestari, Tbk.

Hubungan terkait yang erat antara industri kelapa sawit dengan minyak goreng

menjadi latar belakang kedua industri tersebut cenderung terintegrasi guna

mencapai efisiensi dan efektifitas terutama dalam hal kepastian/keamanan

pasokan bahan bakunya. Dari sisi peraturan atau regulasi, pemerintah juga

memberikan peluang terciptanya industry terintegrasi dari hulu (perkebunan

kelapa sawit) hingga hilir (produksi minyak goreng).182

Sistem pemasaran dalam minyak goreng dapat dilihat dari jenis minyak goreng

yang dipasarkan dimana untuk minyak goreng kemasan (bermerek), produsen

menunjuk satu perusahaan sebagai distributor untuk melakukan distribusi ke

seluruh wilayah pemasarannya termasuk namun tidak terbatas ke seluruh retail

modern. Pemilihan distributor tersebut dapat dilakukan terhadap perusahaan yang

merupakan afiliasinya maupun perusahaan lain yang sama sekali tidak memiliki

afiliasi. Berdasarkan pemeriksaan diperoleh informasi bahwa kontrol produsen

181
Ibid, Hlm. 7.
182
Ibid, Hlm. 8.

Citra Ratu Kusuma Hakim


94

terhadap harga minyak goreng kemasan (bermerek) hanya sampai distributornya

saja dimana distributor mendapatkan marketing fee berkisar 5%. Sebaliknya hal

tersebut tidak terjadi pada system pemasaran minyak goreng curah, sebagian besar

produsen tidak menunjuk distributor dan melakukan penjualan secara langsung.

Hal tersebut terkait dengan karakteristik produk itu sendiri yang sangat

berfluktuasi harganya dan daya tahan produk yang tidak terlalu lama. Produsen

biasanya hanya melayani pembelian dalam jumlah besar kepada konsumen antara

pembeli besar dengan sistem jual beli putus. Oleh karena itu, produsen tidak

memiliki kontrol harga di tingkat konsumen akhir. Kontrol harga dilakukan

produsen minyak goreng curah hanya pada harga jual langsung pada saat minyak

goreng akan dijual dan dikeluarkan dari gudang produsen.183

Kebijakan pemerintah terkait dengan perdagangan minyak goreng di Indonesia

dilakukan dengan membuat program bernama “MINYAKITA” dilakukan melalui

regulasi pemerintah (Peraturan Menteri Perdagangan No. 02/M-DAG/PER/1/2009

tentang Minyak Goreng Kemasan Sederhana). Program MINYAKITA ini dibuat

oleh pemerintah dengan tujuan menstabilkan harga minyak goreng dan untuk

meningkatkan kualitas konsumsi minyak goreng masyarakat dimana secara

faktual sebagian besar yaitu sekitar 80% masyarakat Indonesia masih

mengkonsumsi minyak goreng curah. Selanjutnya dalam melakukan penjualan

MINYAKITA, ditetapkan 2 (dua) mekanisme penjualan yaitu:184

(1) Penjualan langsung melalui program Kepedulian Sosial Perusahaan (KSP),

dimana mekanisme penjualan dilakukan oleh produsen identik dengan operasi

183
Ibid, Hlm. 29.
184
Ibid, Hlm. 30.

Citra Ratu Kusuma Hakim


95

pasar. Dalam implementasinya penjualan melalui mekanisme ini dilakukan di

bawah koordinasi pemerintah agar sesuai dengan target masyarakat yang

dituju.

(2) Penjualan secara komersial, dimana mekanisme penjualannya dilakukan

melalui distributor atau pengecer besar. Lokasi penjualan harus sesuai dengan

rencana wilayah pemasaran yang telah dilaporkan kepada pemerintah.

Terkait dengan harga, pemerintah mengharapkan agar harga jual MINYAKITA di

tingkat konsumen diharapkan sebesar Rp. 8.500,00 (delapan ribu lima ratus

rupiah) per liter.

c. Pertimbangan Majelis Komisi dalam Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009

Pasar Bersangkutan, UU No. 5 Tahun 1999 mendefinisikan pasar bersangkutan

dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dengan menyatakan: “pasar bersangkutan

adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu

oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi

dari barang dan atau jasa tersebut”.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka Tim Pemeriksa perlu menguraikan hal-hal

sebagai berikut:

(1)Pasar produk, dimana berkaitan dengan pasar produk ini dapat dilihat dari

aspek sebagai berikut:

a. Fungsi atau kegunaan secara umum saat ini masyarakat membagi produk

minyak goreng yang ada di pasar menjadi 2 (dua) macam yaitu minyak

goreng curah dan kemasan (bermerek). Meskipun demikian atas kedua

Citra Ratu Kusuma Hakim


96

produk tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai komponen

pendukung dalam pembuatan makanan.

b. Karakteristik berdasarkan hasil pemeriksaan diperoleh informasi bahwa

terdapat perbedaan karakteristik antara minyak goreng curah dengan

minyak goreng kemasan (bermerek) yang antara lain dapat dilihat dari sisi

bentuk pengemasan dalam memasarkan produk, kualitas, tingkat

kejernihan, serta sistem pemasarannya.

Minyak goreng curah biasanya dipasarkan oleh para produsen secara jual

putus dalam bentuk drum/tangki karena produsen hanya melayani

pembelian dalam jumlah atau volume yang besar. Kualitas minyak curah

ini relatif cukup rendah karena dihasilkan dari CPO dengan komposisi 75%

(tujuh puluh lima persen) sehingga karena memiliki kualitas rendah maka

apabila dilihat dari sisi kejernihan produk maka relatif tidak sejernih

minyak goreng kemasan (bermerek). Selain itu, ketahanan waktu

penyimpanan minyak curah ini tidak terlalu lama yaitu sekitar 1 (satu)

minggu dimana sehingga sebagian besar hanya melayani penjualan di

gudang milik produsen.

Selanjutnya, untuk minyak kemasan atau bermerek biasanya dipasarkan

melalui distributor yang ditunjuk oleh produsen dengan sistem komisi yang

besarannya berkisar 5% (lima persen). Secara umum, produsen

mendistribusikan atau memasarkan dalam bentuk kemasan khusus dengan

kantong plastik 1 liter, 2 liter atau dengan jerigen. Kualitas minyak goreng

kemasan (bermerek) ini lebih tinggi dibandingkan minyak goreng curah

karena dihasilkan dari CPO dengan komposisi 45% (empat puluh lima

Citra Ratu Kusuma Hakim


97

persen) hingga 65% (enam puluh lima persen) setelah melalui beberapa kali

proses penyaringan sehingga menghasilkan minyak goreng yang lebih

jernih dan kadar olein yang tinggi. Oleh karena itu, minyak goreng

kemasan (bermerek) ini memiliki ketahanan waktu simpan yang cukup

lama yaitu sekitar 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan.

c. Harga, salah satu komponen penting dari suatu produk yang akan sangat

mempengaruhi apakah suatu produk merupakan suatu substitusi ataukah

tidak adalah harga. Perbedaan tingkat harga yang ditetapkan oleh produsen

tentu akan mempengaruhi segmentasi konsumen sebagimana yang terjadi

pada minyak goreng sawit. Apabila mencermati perbedaan tingkat harga

yang ditetapkan produsen minyak goreng sawit maka terjadi perbedaan

dimana harga minyak goreng curah ditetapkan dengan harga jual yang lebih

rendah dibandingkan harga minyak goreng kemasan (bermerek). Perbedaan

penetapan harga tersebut dikarenakan oleh perbedaan dalam struktur biaya

produksi dimana minyak goreng kemasan (bermerek) dilakukan proses

lanjutan berupa proses penyaringan berulang sehingga hanya mendapatkan

komposisi sekitar 45% (empat puluh lima persen) hingga 65% (enam puluh

lima persen). Selain itu, berdasarkan keterangan para Terlapor diperoleh

keterangan bahwa perbedaan tingkat harga minyak goreng kemasan

(bermerek) dilakukan dalam rangka menjaga citra produk (brand image).

Selan itu, segmentasi yang dituju untuk masing-masing produk tersebut

memang berbeda dimana minyak goreng curah ditujukan untuk segmen

menengah ke bawah (middle to low) sedangkan minyak goreng kemasan

(bermerek) ditujukan untuk segmen menengah ke atas (middle to up).

Citra Ratu Kusuma Hakim


98

Atas dasar uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa meskipun

memiliki fungsi atau kegunaan yang sama namun minyak goreng curah dan

minyak goreng kemasan (bermerek) memiliki karakteristik dan tingkat

harga yang berbeda sehingga tidak dalam pasar bersangkutan yang sama.

Pasar geografis, dimana pasar geografis ini direlevansikan dengan

jangkauan atau daerah pemasaran minyak goreng baik curah maupun

kemasan (bermerek). Secara umum pemasaran minyak goreng baik curah

maupun kemasan (bermerek) mencakup seluruh wilayah Indonesia tanpa

adanya hambatan regulasi. Selain itu kebijakan harga yang dilakukan para

Terlapor dilakukan secara sentralistik manajemen masing-masing untuk

diimplementasi ke seluruh wilayah pemasarannya.

(2)Tingkat Konsentrasi Pasar Minyak Goreng

Secara umum jumlah pelaku usaha yang ada pada suatu pasar akan

menentukan tingkat konsentrasi pada pasar tersebut. Sedikitnya jumlah pelaku

usaha yang ada dalam suatu pasar akan meningkatkan konsentrasinya pada

pasar tersebut. Meskipun demikian, ketika suatu pasar terdapat banyak pelaku

usaha namun penguasaan pasar hanya dilakukan oleh beberapa pelaku usaha

maka pasar tersebut juga memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi. Atas dasar

tersebut, tingkat konsentrasi pasar minyak goreng curah dan kemasan dapat

dilihat sebagai berikut:

a. Minyak Goreng Curah

Grafik 1. Perkembangan Minyak Goreng Curah185

185
Ibid, Hlm. 36

Citra Ratu Kusuma Hakim


99

Struktur pasar minyak goreng curah di Indonesia sangat terkonsentrasi, hal

ini dapat dilihat pada grafik perkembangan rasio konsentrasi 4 perusahaan

terbesar yang relatif stabil dengan interval 86,46% - 97,57%. Secara umum

Musim Mas Group dan Wilmar Group merupakan perusahaan dengan

pangsa pasar terbesar di pasar minyak goreng curah. Selanjutnya pangsa

pasar minyak goreng curah kedua kelompok usaha tersebut diikuti oleh PT

Smart, Tbk, dan Permata Hijau Group.

b. Minyak Goreng Kemasan186

Grafik 2. Perkembangan Minyak Goreng Kemasan

Struktur pasar minyak goreng kemasan di Indonesia sangat terkonsentrasi.

Perkembangan rasio konsentrasi 4 perusahaan terbesar dari bulan Januari

tahun 2007 sampai dengan bulan Agustus 2009 relatif stabil berada di

interval 94,08% - 98,67%. PT Salim Ivomas, Wilmar Group, PT Smart, Tbk

dan PT Bina Karya Prima merupakan perusahaan dengan pangsa pasar

terbesar di pasar minyak goreng kemasan.

186
Ibid.

Citra Ratu Kusuma Hakim


100

Pada umumnya, perusahaan yang mempunyai pangsa pasar yang besar

mempunyai kekuatan pasar sehingga dapat menentukan tingkat harga yang

terjadi dipasar (price maker). Sedangkan perusahaan dengan pangsa pasar yang

kecil akan mempunyai kecenderungan untuk tidak bersaing secara langsung

dengan mengikuti harga yang ditetapkan oleh perusahaan yang mempunyai

kekuatan pasar (price follower).

(3)Ukuran Perusahaan Produsen Minyak Goreng Sawit

Untuk melihat ukuran perusahaan dalam suatu pasar bersangkutan dapat

dilakukan dengan membandingkan kapasitas produksi masing-masing

perusahaan yang merupakan pesaing. Apabila dilihat kapasitas terpasang para

Terlapor maka dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 2. Ukuran Kapasitas Podusen Minyak Goreng


No. Pelaku Usaha Kapasitas (Ton/Tahun)
1 Wilmar Group 2.819.400
2 Musim Mas Group 2.109.000
3 Permata Hijau Group 932.400
4 Sinar Mas Group/PT Smart, Tbk 713.027
5 Salim Group/PT Salim Ivomas Pratama 654.900
6 PT Bina Karya Prima 370.000
7 Sungai Budi Group/PT Tunas Baru Lampung 355.940
8 BEST Group 314.500
9 PT Pacific Palmindo Industri 310.800
10 PT Asian Agro Agung Jaya 307.396

Secara faktual terdapat perbedaan kapasitas produksi antara perusahaan yang

menjadi market leader dengan perusahaan yang menjadi follower pada masing-

masing segmen produk minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan.

Pada segmen minyak goreng curah, kapasitas produksi rata-rata pertahun

antara Musim Mas Group dan Wilmar Group selaku market leader relatif sama

yang produknya tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan pada

segmen minyak goreng kemasan, kapasitas produksi rata-rata pertahun PT

Citra Ratu Kusuma Hakim


101

Salim Ivomas Pratama, Wilmar Group, PT Smart, Tbk dan PT Bina Karya

Prima selaku market leader relatif sama. Besaran produksi tersebut terpisah

antara perusahaan yang menjadi market leader tidak akan dianalisis sama

dengan perusahaan yang menjadi market follower. Sehingga analisis untuk

perusahaan market leader akan berbeda terhadap perusahaan yang menjadi

market follower. Hal ini didukung dari keterangan perusahaan follower yang

menyatakan bahwa kebijakan harga akan selalu mengikuti kebijakan harga

perusahaan market leader. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan

minyak goreng relatif setara/sama pada di tingkat sesame perusahaan market

leader mempermudah terjadinya kartel antar perusahaan minyak goreng yang

menjadi market leader, yang diikuti oleh perusahaan follower.

(4)Homogenitas Produk

Secara umum produk minyak goreng relatif homogen. Diferensiasi yang

dilakukan hanya terjadi pada produk kemasan dalam bentuk brand (merek).

Hal ini menyebabkan persaingan harga merupakan variabel persaingan yang

paling efektif dalam memperebutkan konsumen. Kenaikan harga pada salah

satu produk yang tidak diikuti oleh produk lainnya akan menyebabkan

terjadinya perpindahan konsumen kepada produk pesaing. Dengan relatif

homogennya suatu produk maka koordinasi diantara perusahaan yang ada di

dalam pasar semakin mudah dilakukan.

(5)Kemudahan Masuk Pasar

Tingkat hambatan masuk didalam pasar minyak goreng kemasan relatif tinggi.

Hal ini dikarenakan untuk dapat bersaing maka perusahaan membutuhkan

modal yang besar agar dapat mencapai skala ekonomi sehingga dapat bersaing

Citra Ratu Kusuma Hakim


102

di dalam pasar. Selain itu di dalam memasarkan minyak goreng kemasan,

perusahaan harus mempunyai jalur distribusi untuk memasarkan produknya

dan membutuhkan biaya promosi yang tinggi agar dapat dikenal oleh

masyarakat. Tingkat hambatan masuk yang tinggi memperkuat keberadaan

kartel karena peluang pendatang baru untuk masuk ke dalam pasar dan merebut

pangsa pasar yang disebabkan penetapan harga yang tinggi.

(6)Karakteristik Permintaan

Permintaan minyak goreng memiliki karakteristik inelastis. Hal ini dapat

dilihat dari jumlah penjualan pada saat terjadi perubahan harga. Ketika terjadi

kenaikan harga, jumlah penjualan minyak goreng tidak mengalami penurunan

yang signifikan, dimana persentase kenaikan harga lebih besar dibandingkan

dengan persentase perubahan penjualan. Permintaan yang berkarakteristik

inelastis akan memudahkan terjadinya kartel, dimana ketika terjadi kenaikan

harga jumlah penjualan hanya mengalami sedikit penurunan sehingga

keuntungan yang akan diperoleh menjadi lebih besar.

(7)Transparansi dan Pertukaran Informasi Harga Minyak Goreng

Sebagaimana telah diuraikan pada fakta hasil pemeriksaan bahwa terdapat

hubungan harga CPO di beberapa institusi (Rotterdam, Malaysia, Tender KPB,

dan Tender PT Astra Agro Lestari) dengan harga minyak goreng yang

ditetapkan oleh para Telapor. Hal tersebut terjadi karena setiap transaksi

minyak goreng yang dilakukan oleh para Terlapor selalu mempertimbangkan

pergerakan harga CPO di beberapa institusi tersebut. Transparansi harga bahan

baku minyak goreng dan didukung oleh transparansi harga jual minyak goreng

terutama minyak goreng curah di pasar sangat memudahkan bagi perusahaan

Citra Ratu Kusuma Hakim


103

market leader untuk melakukan koordinasi harga jual. Pergerakan harga CPO

dan fluktuasi harga minyak goreng yang ada di pasar digunakan oleh para

perusahaan baik yang memiliki posisi market leader maupun follower sebagai

sinyal harga (price signaling).

Khusus untuk minyak goreng kemasan, pola distribusi dari semua minyak

goreng kemasan salah satunya dilakukan melalui retail modern yang tersebar di

seluruh Indonesia. Sehingga perusahaan minyak goreng kemasan melakukan

penyesuaian harga berkala melalui media promosi yang dikeluarkan oleh retail

modern. Media promosi dari retail modern ini diiklankan di media nasional

sehingga memberikan sinyal kepada perusahaan pesaing dalam menyesuaikan

harga. Sedangkan untuk perusahaan follower, akan menyesuaikan harga sesuai

dengan harga yang ditetapkan oleh perusahaan market leader.

(8)Paralel Pricing.

Uji Homogenity of Varians, Uji ini merupakan uji statistik yang dilakukan

untuk mengetahui bagaimana perubahan varians dari harga minyak goreng,

sehingga dapat mengetahui pergerakan harga setiap perusahaan akan sama, dan

uji ini dapat untuk membuktikan price parallelism yang dilakukan oleh

perusahaan minyak goreng.187

a. Uji Homogenity of Varians dari minyak goreng curah

Uji dapat dilihat dari nilai probabilitas, jika nilai probabilitas dibawah 5%,

maka Ho ditolak dan tidak ada price parallelism, dan sebaliknya jika nilai

probabilitas lebih besar dari 5% maka perubahan variasi harga antar

perusahaan sama atau adanya price parallelism. Hal ini menyimpulkan

187
Ibid, Hlm. 39-41.

Citra Ratu Kusuma Hakim


104

bahwa di industri minyak goreng curah terdapat price parallelism antar

sesama pelaku usaha minyak goreng curah. Atau dapat juga disimpulkan

bahwa ada kartel penetapan harga oleh perusahaan minyak goreng curah.

b. Uji Homogenity of Varians dari minyak goreng kemasan

Uji dapat dilihat dari nilai probabilitas, jika nilai probabilitas dibawah 5%,

maka Ho ditolak dan tidak ada price parallelism, dan sebaliknya jika nilai

probabilitas lebih besar dari 5% maka perubahan variasi harga antar

perusahaan sama atau adanya price parallelism. Uji ini menyimpulkan

bahwa di industri minyak goreng kemasan terdapat price parallelim antar

sesama pelaku usaha minyak goreng kemasan.

d. Indirect Evidence dalam Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009

Berkaitan dengan tanggapan atau pembelaan Terlapor yang menyatakan bahwa

price parallelism belum cukup membuktikan tentang adanya penetapan harga atau

kartel harga, maka Majelis Komisi perlu memberikan pertimbangan atau

penjelasan tersendiri mengenai indirect evidence. Dalam pembuktian hukum

persaingan, pembuktian adanya sebuah kartel dapat dilakukan dengan hanya

menggunakan indirect evidence.188

Dalam perkara ini, indirect evidence berupa:189

(1) Bukti komunikasi (communication evidence)

Bukti komunikasi dapat berupa fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi

antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi dari pertemuan dan/atau

188
OECD, Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement, Policy Brief Edisi
Juni 2007.
189
Ibid, Hlm. 57-58.

Citra Ratu Kusuma Hakim


105

komunikasi tersebut. Dalam perkara ini, pertemuan dan/atau komunikasi baik

secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada

tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam dalam

pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga,

kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi.

(2) Bukti ekonomi (economic evidence)

Terdapat 2 (dua) tipe bukti ekonomi yaitu bukti yang terkait dengan struktur

dan perilaku. Dalam perkara ini, industri minyak goreng baik curah dan

kemasan memiliki struktur pasar yang terkonsentrasi pada beberapa pelaku

usaha (oligopoli). Adapun bukti ekonomi yang berupa perilaku tercermin dari

adanya price parallelism.

(3) Facilitating practices yang dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan

promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan-pertemuan atau

komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.

Tidak responsifnya pergerakan harga minyak goreng yang ditetapkan para

Terlapor terhadap penurunan harga CPO tersebut telah mengakibatkan terjadinya

kerugian bagi konsumen untuk memperoleh harga minyak goreng yang lebih

rendah karena kontribusi CPO sebagai bahan baku utama adalah 87% dari total

biaya produksi minyak goreng. Majelis Komisi dapat menghitung kerugian

konsumen dengan cara menghitung selisih rata-rata harga penjualan minyak

goreng dengan rata-rata harga perolehan CPO masing-masing Terlapor.

Selanjutnya Majelis Komisi membandingkan selisih harga rata-rata tersebut pada

periode bulan Januari 2007 hingga bulan Maret 2008 dengan periode bulan April

2008 hingga Desember 2008. Berdasarkan perhitungan tersebut, Majelis Komisi

Citra Ratu Kusuma Hakim


106

memperoleh fakta adanya kerugian konsumen selama periode bulan April 2008

hingga bulan Desember 2008 setidak-tidaknya sebesar Rp. 1.270.263.632.175,00

untuk produk minyak goreng kemasan dan sebesar Rp. 374.298.034.526,00 untuk

produk minyak goreng curah.190

Mengenai indirect evidence, pembuktian adanya kartel termasuk diantaranya

kartel harga dapat menggunakan bukti komunikasi dan bukti ekonomi sebagai

bukti tidak langsung. Berkaitan dengan bukti komunikasi, Majelis Komisi menilai

berdasarkan fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung

maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 29 Februari

2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam dalam pertemuan dan/atau

komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga, kapasitas produksi, dan

struktur biaya produksi. Berkaitan dengan bukti ekonomi, Majelis Komisi menilai

berdasarkan fakta-fakta terkait dengan struktur dan perilaku dimana secara

struktur pasar merupakan oligopoli yang semakin terkonsentrasi dan perilaku para

Terlapor yang dapat dikategorikan sebagai price parallelism dan facilitating

practices yang dilakukan melalui price signaling. Atas dasar indirect evidence

tersebut, Majelis Komisi berpendapat telah terjadi komunikasi dan/atau koordinasi

di antara para Terlapor yang mengakibatkan terjadinya price parallelis. Bahwa

price parallelism tersebut ditetapkan oleh para Terlapor kepada pembeli atau

pelanggan para Terlapor selaku konsumen antara produk minyak goreng. Majelis

Komisi menilai komunikasi dan/atau koordinasi dengan didukung bukti ekonomi

tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang dilakukan oleh antar pelaku

usaha yang bersaing dalam hal ini para Terlapor untuk menetapkan harga minyak

190
Ibid, Hlm. 59

Citra Ratu Kusuma Hakim


107

goreng yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar

bersangkutan yang sama.191

e. Putusan yang Dijatuhkan Majelis Komisi dalam Putusan KPPU No.


24/KPPU-I/2009

Berdasarkan Pasal 58 Perkom No. 1 Tahun 2010, Majelis Komisi memutuskan

telah terjadi atau tidak terjadi berdasarkan Hasil pemeriksaan Lanjutan dan/atau

dokumen atau alat bukti lain yang disertakan didalamnya termasuk pendapat atau

pembelaan terlapor. Putusan Komisi dibacakan dalam suatu sidang Majelis

Komisi yang dinyatakan terbuka untuk umum. Putusan Komisi dibacakan

selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak berakhirnya pemeriksaan lanjutan.

Majelis Komisi menjatuhkan Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009 tentang

Industri Minyak Goreng Sawit ditetapkan melalui musyawarah dalam Sidang

Majelis Komisi pada hari Selasa, tanggal 4 Mei 2010 dan dibacakan di muka

persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum pada hari yang sama oleh

Majelis Komisi yang terdiri dari Ir. Dedie S. Martadisastra, SE.,MM sebagai

Ketua Majelis, Yoyo Arifardhani, S.H., M.M., LL.M dan Didik Akhmadi, Ak,

M.Com, masing-masing sebagai Anggota Majelis, dengan dibantu oleh Nuzul

Qur’aini Mardiya, SH, MH dan Shobi Kurnia, SH masing-masing sebagai

Panitera. Berdasarkan fakta dan bukti yang diperoleh selama Sidang Majelis,

Komisi memutuskan yang akan diuraikan dalam Tabel 3 sebagai berikut:192

Tabel 3. Putusan Majelis Komisi


No. Putusan Terlapor
1 Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar I, II, III, IV, V, VI,
191
Ibid, Hlm. 64.
192
Ibid, Hlm. 67-72.

Citra Ratu Kusuma Hakim


108

Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999 untuk pasar VII, VIII, IX, X, XI,
minyak goreng curah. XV, XIX, dan XXI.
2 Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar I, II, IV, XV, XVI,
Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak dan XVII.
goreng kemasan (bermerek).
3 Tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU No. 5 Tahun XII, XIII, XVIII, dan
1999 dalam pasar minyak goreng curah. XX.
4 Tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU No. 5 Tahun X, XVIII, dan XXI.
1999 dalam pasar minyak goreng kemasan
(bermerek).
5 Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar I, II, III, IV, V, VI,
Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak VII, VIII, IX, X, XI,
goreng curah. XII, XIV, XV,
XVIII, XIX, XX,
dan XXI.
6 Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar I, II, IV, X, XV,
Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak XVI, XVII, XVIII,
goreng kemasan (bermerek). dan XXI.
7 Tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun XIII
1999 untuk pasar minyak goreng curah.
8 Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar I, II, IV, X, XV,
Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 untuk pasar XVI, XVII, XVIII,
minyak goreng kemasan (bermerek); dan XXI.
9 Tidak terbukti melanggar Pasal 11 UU No. 5 I, II, III, IV, V, VI,
Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah VII, VIII, IX, X, XI,
XII, XIII, XIV, XV,
XVIII, XIX, XX,
dan XXI.
10 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. I, IV, V, XV, XVI,
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan XVII.
yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai
Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang
Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah.
11 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. II, VII, X,
20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) yang
harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang
Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah
12 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. VI, VIII dan XI
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) yang
harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang
Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah.
13 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. XVIII, XIX, XX,
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) yang dan XXI.

Citra Ratu Kusuma Hakim


109

harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran


Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang
Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah.
14 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. IX dan XII
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang harus
disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang
Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah.
15 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. XIV
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) yang harus
disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang
Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah.
16 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. III.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang harus
disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang
Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah.

Dalam perkara ini, Majelis Komisi menemukan fakta tidak tersedianya data

produksi dan volume perdagangan minyak goreng sawit di pasar domestik. Oleh

karena itu, Majelis Komisi merekomendasikan kepada Komisi untuk memberikan

saran dan pertimbangan kepada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

dan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia untuk mengupayakan

ketersediaan data tersebut karena sangat bermanfaat guna pengawasan, pembinaan

dan pengembangan industri yang bersangkutan untuk kepentingan ekonomi

nasional.

2. Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010 Tentang Penetapan Harga dan


Kartel Dalam Industri Semen

Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010 tentang penetapan harga dan kartel industri

semen yang diputuskan pada Rabu, 18 Agustus 2010 mengenai dugaan terhadap

Citra Ratu Kusuma Hakim


110

pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 akan diuraikan untuk

mengetahui tentang kasus posisi sebagai berikut:

a. Para Pihak dalam Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010

Adapun Terlapor dalam Perkara No. 01/KPPU-I/2010 meliputi 8 pelaku usaha

yang bergerak dibidang industri semen. Ke-8 Pelaku usaha tersebut ditunjukan

dalam Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Identitas Terlapor


No Subyek Hukum Alamat Kegiatan
1 Terlapor PT. Wisma Menjalankan
I Indocement Indocement usaha dalam bidang industri
Tunggal Jl. Jend. pada umumnya termasuk
Prakarsa, Tbk. Sudirman Kav. termasuk
70-71 tetapi tidak terbatas untuk
Jakarta 12910 mendirikan pabrik semen
dan bahan
bangunan, industri makanan
dan minuman, indutri
tekstil, industri
kimia, industri kertas,
industri telekomunikasi dan
industri
kelistrikan serta industri
hulu dan hilir lainnya
(Pernyataan
Keputusan Rapat Umum
Pemegang saham Tahunan
PT Indocement
Tunggal Prakarsa Tbk
tanggal 10 Juni 2008
Nomor 23).
2 Terlapor PT. Holcim Menara Mengusahakan
II Indonesia, Jamsostek, pabrik semen serta
Tbk. North Building melakukan segala sesuatu
15th floor Jl. yang berguna yang bertalian
Gatot Subroto dengan usaha tersebut
No. 38, Jakarta (Tambahan Berita Negara
R.I. tanggal 12/10 – 1971
No. 82 tambahan Nomor
466/1971).
3 Terlapor PT. Semen Jl. Abikusno Menambang
III Baturaja Cokrosuyoso atau menggali dan/atau

Citra Ratu Kusuma Hakim


111

(Persero) Kertapati mengolah bahan-bahan


PO BOX 1175 mentah tertentu
Palembang menjadi bahan pokok yang
30001 diperlukan guna pembuatan
semen atau
produk lainnya, mengolah
bahan-bahan pokok tersebut
menjadi berbagai macam
semen (portland, semen
putih dan lainnya) serta
mengolah berbagai macam
semen atau produk lainnya
atau lebih lanjut menjadi
barang-barang jadi lebih
bermanfaat (Akta
Pernyataan Keputusan
Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) Luar Biasa
PT Semen Baturaja
(Persero) No. 4 Tanggal 13
Juni 2008).
4 Terlapor PT. Semen Gedung Utama Menggali dan/atau
VI Gresik Semen Gresik mengolah bahan-bahan
(Persero) Tbk. Jl. Veteran mentah tertentu menjadi
Gresik, Jawa bahan-bahan pokok yang
Timur 61122 diperlukan guna pembuatan
semen (input product),
mengolah bahan-bahan
pokok tersebut menjadi
berbagai macam semen
(semen portland, semen
putih dan lain sebagainya)
(main product) serta
mengolah berbagai macam
semen itu lebih lanjut
menjadi barang jadi yang
lebih bermanfaat
(Tambahan
Berita Negara R.I. Tanggal
28/11 – 1969 No. 96
Tambahan Nomor
255/1969)
5 Terlapor PT. Semen Jl. Imam Mengolah bahan-bahan
V Andalas Bonjol No. pokok menjadi berbagai
Indonesia 42A Medan, macam semen (portland,
Sumatera semen putih dan lainnya)
Utara serta mengolah berbagai
macam semen atau produk
lainnya atau lebih lanjut
menjadi barang-barang jadi

Citra Ratu Kusuma Hakim


112

lebih bermanfaat.
6 Terlapor PT. Semen Biringere- Mengolah bahan-bahan
VI Tonasa Pangkep pokok menjadi berbagai
Sulawesi macam semen (portland,
Selatan 90651 semen putih dan lainnya)
serta mengolah berbagai
macam semen atau produk
lainnya atau lebih lanjut
menjadi barang-barang jadi
lebih bermanfaat.
7 Terlapor PT. Semen Indarung Membeli dan menerima
VII Padang Padang 25237 semen dari produsen dalam
Sumatera bentuk bag dan curah untuk
Barat daerah pemasaran tertentu
dengan tidak mengurangi
hak distributor untuk
memasarkan pada daerah
lain akan tetapi dengan
terlebih dahulu
memberitahukan kepada
produsen (perjanjian
distributor
No.122/PJJ/DEPPP/01.08).
8 Terlapor PT. Semen Menara Mengolah bahan-bahan
VIII Bosowa Maros Bosowa, pokok menjadi berbagai
Lantai 19 Jl. macam semen (portland,
Jenderal semen putih dan lainnya)
Sudirman No. serta mengolah berbagai
5 Makassar, macam semen atau produk
Sulawesi lainnya atau lebih lanjut
Selatan menjadi barang-barang jadi
lebih bermanfaat.

b. Duduk Perkara dalam Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010

Pelanggaran atas pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha secara tidak

langsung akibat dari ketatnya persaingan dalam dunia usaha. Setiap pelaku usaha

akan selalu bersaing untuk mendapatkan keuntungan demi mempertahankan

eksistensinya. Cara-cara yang dilakukan kadang melalui tindakan ilegal yang pada

akhirnya merusak iklim persaingan usaha itu sendiri. Industri semen baru-baru ini

tengah mendapat sorotan terkait dugaan tindakan kartel yang melibatkan anggota

Asosiasi Semen Indonesia (ASI). Kartel merupakan salah satu pelanggaran hukum

Citra Ratu Kusuma Hakim


113

persaingan usaha dengan dampak kerugian sangat besar bagi negara serta

berpotensi mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Berdasarkan data dan informasi yang berkembang di masyarakat, Sekretariat

Komisi melakukan monitoring terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan

pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 terkait dengan dugaan kartel dalam

industry semen di Indonesia. Tim Pemeriksa menemukan adanya bukti awal yang

cukup terhadap dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999

yang dilakukan oleh para Terlapor dan merekomendasikan kepada Komisi untuk

melanjutkan pemeriksaan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan.193

Pemahaman kartel yang umum dalam hukum persaingan usaha adalah bentuk

kolusi antar pelaku usaha untuk mengatur produksi dan atau pemasaran suatu

barang yang ditujukan meraih keuntungan diatas wajar. Untuk menganalisa

adanya perilaku kartel KPPU memunculkan pendekatan yang mengadopsi teori

Structure Conduct Performance (SCP). Pendekatan SCP secara umum

menjelaskan bahwa struktur pasar yang terkonsentrasi akan cenderung

mempengaruhi tindakan pelaku usaha didalamnya untuk melakukan kartel

sehingga disebut sebagai faktor pendorong. Kartel dalam UU No. 5 Tahun 1999

tergolong sebagai perjanjian yang dilarang yang menuntut adanya pembuktian

secara langsung terhadap eksistensi perjanjiannya. Untuk sampai pada

putusannya, KPPU pada kasus kartel semen melakukan dua pembuktian yang

dikenal direct evidence dan indirect evidence. Direct evidence adalah bukti

langsung dengan membuktikan eksistensi perjanjian kartel sedangkan indirect

193
Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010 Tentang Penetapan Harga dan Kartel Dalam
Industri Semen, Hlm. 2.

Citra Ratu Kusuma Hakim


114

evidence adalah bukti tidak langsung dengan melihat keadaan pasar industri

semen di berbagai daerah di Indonesia dari berbagai aspek yang berkaitan dengan

pembentukan kartel.

c. Pertimbangan Majelis Komisi dalam Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010

(1) Analisa Pangsa Pasar

Sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009, terjadi peningkatan permintaan

rata-rata sebesar 4,99% (empat koma sembilan puluh sembilan persen).

Peningkatan permintaan nasional tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu

11,41% (sebelas koma empat puluh satu persen) dan peningkatan terendah

terjadi pada tahun 2009 yaitu 0,89% (nol koma delapan puluh sembilan

persen). Kondisi peningkatan permintaan secara nasional ini tidak berjalan

beriringan dengan peningkatan penjualan untuk masing-masing Terlapor. Pada

tahun 2006, Terlapor II dan Terlapor IV mengalami penurunan penjualan.

Pada tahun 2007, Terlapor IV tetap mengalami penurunan. Penurunan

penjualan pada tahun 2007 juga dihadapi oleh Terlapor VIII. Sedangkan

Terlapor II yang pada tahun 2006 mengalami penurunan penjualan, maka pada

tahun 2007 mengalami pertumbuhan penjualan yang cukup tinggi yaitu

sebesar 14,50% (empat belas koma lima puluh persen). Pada tahun 2008,

dimana mencatat pertumbuhan permintaan secara nasional paling tinggi yaitu

sebesar 11,41% (sebelas koma empat puluh satu persen), seluruh Terlapor

mencatat pertumbuhan penjualan. Pertumbuhan penjualan tertinggi dicatat

oleh Terlapor VIII sebesar 36,45% (tiga puluh enam koma empat puluh lima

persen). Pada tahun 2009, pada saat petumbuhan permintaan secara nasional

hanya mencatat sebesar 0,89% (nol koma delapan puluh sembilan persen), 4

Citra Ratu Kusuma Hakim


115

(empat perusahaan) yaitu Terlapor I, Terlapor III, Terlapor V dan Terlapor VII

mengalami penurunan penjualan. Berdasarkan keseluruhan analisa di atas,

pada saat pertumbuhan permintaan nasional di atas 10% (sepuluh persen)

maka seluruh perusahaan mencatat pertumbuhan penjualan yang positif.

Sedangkan pada saat pertumbuhan permintaan nasional di bawah 10%

(sepuluh persen), maka beberapa perusahaan mencatat pertumbuhan negatif

dan sebagian lainnya mencatat pertumbuhan positif.194

(2) Analisa Pasokan

Pasokan semen adalah seluruh semen yang diproduksi oleh seluruh

perusahaan yang terdapat dalam pasar tersebut. Tabel di bawah ini

menunjukkan selisih antara produksi dan penjualan secara nasional.195

Tabel 5. Selisih antara Produksi dan Penjualan secara Nasional.196

Terlapor 2004 2005 2006 2007 2008 2009


I 1,432,094 1,538,761 811,932 746,986 493,543 216,957
II 803,550 456,013 615,099 591,946 760,904
III 2,630 1,399 -4,053 -5,651 8,394 5,492
IV -814,569 38,961 622,244 737,482 524,186 91,052
V - - - - - -
VI -32,584 -45,008 -598,545 -128,520 63,654 -235,629
VII 100,468 -44,440 -929,420 -187,201 -151,316
VIII -49,440 15,550 -9,368 -20,310 -311,174

Dari tabel di atas, terlihat bahwa Terlapor I dan Terlapor II memiliki pasokan

yang cukup untuk mengambil alih pangsa pasar Terlapor lain yang

produksinya lebih kecil dibandingkan dengan penjualannya. Hal ini duga

terdapat upaya pengaturan pasokan di masing-masing wilayah propinsi dan

untuk tetap menjaga pasar yang telah dibangun sebelumnya.

194
Ibid, Hlm. 57
195
Ibid, Hlm. 74
196
Ibid, Hlm 75

Citra Ratu Kusuma Hakim


116

(3) Analisa Harga Pararel

Perhitungan Biaya prodksi per ton di dasarkan pada volume produksi dan

beban pokok pendapatan (cost of goods sold/COGS) kecuali Terlapor IV yang

telah memberikan perhitungan biaya per ton.

Berdasarkan analisa pergerakan harga untuk beberapa propinsi yang menjadi

wilayah pemasaran untuk masing-masing Terlapor dibandingkan dengan biaya

per ton, terlihat bahwa pergerakan harga hampir bersamaan dan paralel serta

dengan selisih harga yang relatif tipis bahkan untuk daerah-daerah diluar

wilayah pabrik/pelabuhan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal harga, tidak

linier dengan biaya per ton sehingga di duga terdapat upaya untuk mengatur

harga sehingga masing-masing perusahaan tetap dapat mempertahankan

pangsa pasar dan kelangsungan usaha pesaingnya.197

(4) Analisa Keuangan

Analisa terhadap kemampuan keuangan perusahaan dimaksudkan untuk

melihat seberapa besar keuntungan (profit) yang diperoleh suatu perusahaan

setiap tahunnya. Penentuan besaran keuntungan (profit) ini untuk melihat

apakah tujuan dari kartel yaitu memaksimalkan keuntungan terjadi dalam

perkara ini.198

(5) Analisa Hukum

Berdasarkan analisa tentang tingkat keuntungan untuk masing-masing

Terlapor dan dengan dikaitkan dengan tujuan dari kartel adalah

memaksimalkan keuntungan, maka dengan memperhatikan perbandingan

biaya per ton, sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 diduga terjadi

197
Ibid, Hlm. 84
198
Ibid, Hlm. 85

Citra Ratu Kusuma Hakim


117

upaya untuk mengatur harga pada level yang cukup tinggi untuk

mempertahankan tingkat keuntungan.

UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian mewajibkan pelaku usaha

melaporkan kegiatan usahanya kepada pemerintah dan bukan kepada Asosiasi.

Permintaan Pemerintah agar ASI membantu melaporkan perkembangan kegiatan

usaha anggotanya setiap bulan tidak menentukan bentuk pelaporan tersebut

sehingga rapat-rapat yang dilaksanakan oleh ASI diduga hanya sebagai fasilitas

untuk mengatur pasokan dan harga.199

d. Indirect Evidence dalam Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010

Dalam perkara ini, indirect evidence berupa:200

(1) Indirect evidence dapat dilakukan analisis ekonomi terhadap kecenderungan

yang terjadi di lapangan. Indirect evidence dapat ditunjukkan dengan harga

dan harga yang dievaluasi dalam trend non-transitory dalam jangka panjang

yang dapat diduga.

(2) Indirect evidence (analisa pasar dan analisa struktur harga). Apabila harga

naik secara serentak belum tentu dapat dikatakan sebagai price fixing, harus

ditentukan terlebih dahulu teritorial market dan product market, apakah ada

substitusinya atau tidak.

(3) Indirect evidence yakni economic evidence. Evidence by conduct ada harga

naik secara tidak normal, parallel price, dan facilitating prices. Struktur

evidence contohnya ada standardize dan homogenize product. Bila sinyal-

sinyal komunikasi tersebut tidak menunjukkan adanya angka tidak dapat


199
Ibid, Hlm. 97.
200
Ibid, Hlm. 54.

Citra Ratu Kusuma Hakim


118

dikatakan tacit, harus mempertimbangkan faktor-faktor terjadinya paralel

price.

Analisis ekonomi digunakan pada dengan wilayah pasar untuk masing-masing

propinsi yang kondisi peningkatan permintaan secara nasional tidak berjalan

beriringan dengan peningkatan penjualan untuk masing-masing Terlapor.

Berdasarkan penafsiran hukum sistematik, Majelis Komisi hanya diperkenankan

untuk menggunakan alat bukti petunjuk atau indirect evidence sepanjang petunjuk

itu diperoleh dari alat bukti lainnya berupa: keterangan saksi; keterangan ahli;

keterangan pelaku usaha; dan bukti surat.

Tim Pemeriksa menduga adanya kartel dan penetapan harga semata-mata dari

fakta adanya kenaikan harga dalam kurun waktu yang berdekatan dan distribusi

pemasaran semen saja, maka dugaan ini hanya didasarkan pada indirect evidence

saja tanpa didukung dengan alat bukti lainnya. Uraian mengenai diperlukannya

setidak-tidaknya 2 (dua) alat bukti dalam pembuktian pelanggaran terhadap UU

No. 5 Tahun 1999. Tim Pemeriksa dan Majelis Komisi ingin menggunakan bukti

petunjuk berupa indirect evidence dengan menafsirkan dari adanya faktor

kenaikan harga dalam kurun waktu yang berdekatan, tetap saja fakta kenaikan

harga tersebut tidak dapat serta merta menjadi indirect evidence .

e. Putusan yang Dijatuhkan Majelis Komisi dalam Putusan KPPU No.


01/KPPU-I/2010

Majelis Komisi menjatuhkan Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010 tentang

Penetapan Harga dan Kartel dalam Industri Semen ditetapkan melalui

musyawarah dalam Sidang Majelis Komisi pada hari Rabu, 18 Agustus 2010 dan

Citra Ratu Kusuma Hakim


119

dibacakan di muka persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum pada hari

dan tanggal yang sama oleh Majelis Komisi yang terdiri dari Benny Pasaribu,

Ph.D sebagai Ketua Majelis Komisi, Dr. A.M. Tri Anggraini, S.H., M.H. dan Ir.

H. Tadjuddin Noersaid masing-masing sebagai Anggota Majelis Komisi, dan

dibantu oleh Rosanna Sarita, S.H. dan Hafis Sutomo, S.E. masing-masing sebagai

Panitera. Berdasarkan fakta dan bukti yang diperoleh selama Sidang Majelis,

Komisi memutuskan yang akan diuraikan dalam Tabel 6 sebagai berikut:201

Tabel 6. Putusan Majelis Komisi


No. Putusan Terlapor
1 Tidak Terbukti Secara Sah dan Meyakinkan I, II, III, IV, V, VI,
Melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999. VII, dan VIII.
2 Tidak Terbukti Secara Sah dan Meyakinkan I, II, III, IV, V, VI,
Melanggar Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. VII, dan VIII.

C. Akibat Hukum dari Pembuktian Indirect Evidence atas Terjadinya


Kartel

Pada dasarnya KPPU diberikan kewenangan (otoritas) yang sangat besar oleh

Pasal 35 dan Pasal 36 untuk mengimplementasikan UU No. 5 Tahun 1999.

Kewenangan yang besar diberikan kepada lembaga ini oleh undang-undang untuk

menafsirkan dan menerapkan serta kemudian meng-enforce dan melakukan

penegakan hukum itu. Terkait dengan kewenangan lembaga ini yang begitu besar,

isu yang muncul sekarang ini adalah penggunaan indirect evidence oleh KPPU

sebagai landasan untuk membuktikan adanya pelanggaran kartel. Pada prakteknya

di berbagai Negara di dunia, ada beberapa pihak yang menyetujui hal ini, namun

201
Ibid, Hlm. 424.

Citra Ratu Kusuma Hakim


120

kebanyakan Negara tidak menyetujui indirect evidence dijadikan satu-satunya alat

bukti dalam pelanggaran kartel.202

Dalam kasus dugaan kartel industri minyak goreng di Indonesia, yang digunakan

KPPU sebagai indirect evidence ialah bukti komunikasi, bukti ekonomi, dan

facilitating practices. Maka KPPU berpandangan bahwa meskipun tidak ada

kesepakatan tertulis diantara Terlapor dalam menetapkan besaran minyak goreng,

namun berdasarkan analisis pergerakan minyak goreng yang ada, baik analisis

grafik, tabel uji korelasi, dan uji varians menunjukkan adanya trend dan variasi

yang mengarahkan pada suatu kesimpulan bahwa telah terjadi kesepakatan

penetapan besaran minyak goreng diantara para Terlapor. Sedangkan dalam kasus

kartel industri semen, yang digunakan KPPU sebagai indirect evidence ialah

analisis ekonomi terhadap kecenderungan yang terjadi di lapangan, analisa pasar

dan analisa struktur pasar, dan bukti ekonomi. Para Terlapor menolak secara tegas

mengenai penggunaan indirect evidence dikarenakan bukti tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai alat bukti karena penggunaan indirect evidence harus diperoleh

dari alat bukti lainnya seperti yang tertuang dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun

1999. Selain itu indirect evidence yang berupa daftar hadir dan keterangan pelaku

usaha hanya menjadi bukti bahwa para Terlapor mengikuti rapat-rapat Presidium

ASI dan Rapat Bidang Ekonomi dan Bisnis, dan bukannya membuktikan adanya

perjanjian untuk menetapkan harga dan/atau membentuk kartel. Sehingga dalam

kasus ini Majelis Komisi menyatakan para Terlapor tidak melanggar UU No. 5

Tahun 1999.

202
Inggrid Gratsya Zega, Loc.Cit., Hlm. 117.

Citra Ratu Kusuma Hakim


121

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan (Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 jo.

Pasal 64 ayat (1) Perkom No. 1 Tahun 2006) secara tegas mempersyaratkan dalam

hal menilai telah terjadi atau tidaknya pelanggaran, maka alat bukti yang

digunakan adalah keterangan saksi, surat dan/atau dokumen, petunjuk, serta

keterangan terlapor. Majelis komisi menentukan sah atau tidaknya suatu alat bukti

dan menentukan nilai pembuktian berdasarkan kesesuaian sekurang-kurangnya

dua alat bukti yang sah (Pasal 64 ayat (2) Perkom No. 1 Tahun 2006). Namun

selanjutnya keluar Perkom No. 1 Tahun 2010 dimana dalam peraturan yang baru

tersebut dinyatakan bahwa pengaturan mengenai minimal dua alat bukti yang sah

suah tidak ada lagi. Hal tersebut memberikan kewenangan dan keleluasaan yang

besar kepada KPPU untuk melakukan suatu pembuktian atas adanya kartel. Selain

itu Majelis Komisi menentukan sah atau tidak suatu alat bukti, yang mana terdapat

dalam Pasal 72 ayat (2) Perkom No. 1 Tahun 2010.203 Dari apa yang terdapat

dalam Perkom tersebut, maka indirect evidence termasuk dalam kategori bukti

petunjuk. Namun didalam Perkom tersebut tidak dijelaskan secara lanjut apa saja

yang termasuk dalam alat bukti petunjuk, hanya saja Pasal 72 ayat (3)

menyebutkan bahwa petunjuk merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang

olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

Pada dasarnya tanggal 7 Juli 2011 telah ditetapkan Peraturan KPPU Nomor 4

Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999

mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang

mengatur mengenai Penetapan Harga (selanjutnya disebut Perkom No. 4 Tahun

2011). Hal yang menarik dari ketentuan ini dapat dilihat dalam Bab IV Perkom

203
Inggrid Gratsya Zega, Op.Cit., Hlm. 117.

Citra Ratu Kusuma Hakim


122

ini, yang mana mengatur tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam

menganalisis adanya kartel berbunyi: “Untuk membuktikan telah terjadinya kartel

dalam suatu industri, KPPU harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat

bukti”. Dengan kata lain, satu bukti saja, dapat dikatakan bahwa industri

melakukan praktek kartel.204 Arnold Sihombing menerangkan bahwa Perkom itu

mengacu pada ketentuan Pasal 3 ayat (2) Perkom No. 4 Tahun 2010 yang

mengatur bahwa Pedoman ini merupakan standar minimal bagi komisi dalam

melaksanakan tugasnya.205

Indirect evidence melalui analisis ekonomi bukan merupakan hal yang mudah

untuk didapat, apalagi dituangkan menjadi putusan hukum. Sehingga jembatan

tersebut memaksa kreatifitas komisioner KPPU untuk mampu menerjemahkan

bukti tersebut menjadi alat bukti yang valid dan dapat diterima. Tetapi kreatifitas

tersebut harus diberikan dasar yang kuat, yang taat azas hukum yang berlaku

ketika menggunakan atau menerapkan metode analisis ekonomi tersebut.

Lembaga seperti OECD sampai mengaturnya dan otoritas lembaga ini juga

member warning atau peringatan bahwa penerapan ini tidaklah mudah.206

Dari apa yang diatur oleh OECD, maka penggunaan indirect evidence dalam

kasus kartel haruslah dapat dilakukan dengan pendekatan metodologis ekonomi.

Dari apa yang dinyatakan dalam OECD diatas, maka dapat disimpulkan:

204
Hukumonline, “Membaca Arah Penegakan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011 tentang
Pedoman Mengenai Larangan Penetapan Harga”, tersedia di
http://hukumonline.com/berita/baca/lt4e410d65c2aab/larangan-penetapan-harga, diunduh tanggal
10 November 2012.
205
Pernyataan Kepala Bagian Penanganan Pranata Hukum KPPU, Arnold Sihombing
dalam Wawancara Langsung di KPPU pada tanggal 19 Desember 2012.
206
OECD, “Prosecuting Cartelswithout Direct Evidence of Agreemen, Policy Brief”,
Loc.Cit.

Citra Ratu Kusuma Hakim


123

a. Boleh menggunakan indirect evidence tapi harus konsisten dan tidak boleh

mengambil secara parsial.

b. Existence of facilitating practices yaitu dimana adana faktor pendukung yang

disebut dengan plus factor dan facilitating devices yaitu institutional

arrangements that enhance incentives to form a cartel or reduce incentives to

cheat on fellow conspirators once a cartel in operation.207 Hal ini merupakan

faktor penentu yang dibutuhkan untuk memperkuat keyakinan akan bukti

ekonomi dan lain-lain. Walaupun adanya kebutuhan akan facilitating

practices, namun hak ini bukanlah suaati kewajiban, hal ini terlihat dalam

where a competition authority has found other indirect evidence pointing to

the existence of a cartel agreement, the existence of facilitating practices can

be an important complement.208

Jika mengacu pada penjelasan mengenai alat bukti petunjuk yang terdapat dalam

system perundang-undangan Indonesia, maka pembuktian oleh KPPU tentang

adanya perjanjian tidak tertulis diantara kasus kartel tetaplah sulit diterima. Jika

mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

207
Hukumonline, “Membaca Arah Penegakan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011 tentang
Pedoman Mengenai Larangan Penetapan Harga”, Lihat juga di Terry Calvani & John Siegfried,
Economic Analysis an Antitrust Law, Edisi kedua, (Kanada: Brown & Company, 1988), Hlm. 139.
Terjemahan bebas: Pengaturan kelembagaan yang meningkatkan insentif untuk membentuk kartel
atau mengurangi unsentif untuk menipu sesame konspirator sekali dalam konspirasi.
208
Ibid, Terjemahan bebas: Dimana otoritas persaingan telah menemukan bukti tidak
langsung lainnya menunjuk ke keberadaan perjanjian kartel, keberadaan memfasilitasi praktek
dapat menjadi pelengkap yang penting.

Citra Ratu Kusuma Hakim


124

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

terdakwalah yang benar-benar melakukannya.209

Kaitannya dengan bukti petunjuk, maka dalam Pasal 188 ayat (1) dinyatakan

bahwa “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan tindak pidana itu sendiri,

menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Alat

bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan

terdakwa (Pasal 188 ayat (2) KUHAP) dan penilaian kekutan pembuktiannya

diserahkan kepada hakim. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa

petunjuk dari berbagai macam alat bukti tidak mungkin dapat diperoleh hakim

tanpa menggunakan suatu pemikiran tentang adanya persesuaian antara kenyataan

yang satu dengan yang lain, atau antara satu kenyataan dengan tindak pidana itu

sendiri. Maka dari alat bukti petunjuk harus mengacu pada persesuaian antara

kejadian, keadaan, perbuatan, maupun dengan tindak pidana itu sendiri.210

Yahya Harahap menyatakan bahwa alat bukti petunjuk merupakan isyarat yang

dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan diamana isyarat itu

mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu

mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dari persesuaian

tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan

terjadinya tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.211

209
Inggrid Gratsya Zega, Op.Cit., Hlm. 120.
210
Yahya Harahap, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), Hlm. 310.
211
Ibid.

Citra Ratu Kusuma Hakim


125

Jika melihat sistem ketatanegaraan, maka Indonesia menganut aliran

rechtsvinding,212 yang berarti hakim memutuskan suatu perkara berpegang pada

undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat. Tindakan

hakim tersebut dilindungi Pasal 20 AB, yang menyatakan bahwa hakim harus

mengadli berdasarkan undang-undang. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 22 AB dan

Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 menyatakan hakim tidak boleh mengadili

perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak

lengkap. Jika hakim menolak mengadili perkara dapat dituntut. Untuk

mengatasinya dalam Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan hakim

sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami

nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Artinya seorang hakim harus

memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (rechtsvinding).213

Memang benar negara-negara anggota OECD dapat menggunakan indirect

evidence sebagai alat bukti, namun hal tersebut tidak secara otomatis berlaku

dalam sistem hukum Indonesia, apalagi jika pelaku usaha tersebut diancam

dengan tindak pidana denda. Bagaimanapun juga suatu pelanggaran tindak pidana

harus dibuktikan menurut Hukum Acara Pidana yang dalam sistem perundang-

undangan Indonesia. Jika mengacu pada Hukum Acara Perdata, maka pembuktian

secara yuridis merupakan persangkaan yang meyakinkan. Persangkaan itu

merupakan alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya dalam hal

membuktikan ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu tertentu dan ditempat

tertentu, maka dapat dilakukan dengan cara membuktikan kehadirannya pada


212
Rechtsvinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum
lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Dan hasil
penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk mengambill keputusan.
213
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1996), Hlm. 47.

Citra Ratu Kusuma Hakim


126

waktu yang sama ditempat lain. Persangkaan kenyataan hanya boleh diperhatikan

dalam hal undang-undang memperbolehkan pembuktian dengan saksi. Erman

Rajagukguk berpendapat bahwa satu pesangkaan saja tidak cukup sebagai alat

bukti. Bila negara lain menganut satu persangkaan saja cukup sebagai alat bukti,

bukan berarti di Indonesia hal tersebut berlaku secara otomatis, kecuali hal

tersebut diatur dalam undang-undang nasional Indonesia.214

Hal ini harus dicermati oleh anggota KPPU dalam menjatuhkan putusannya

terhadap para pelaku usaha yang diduga telah melakukan kegiatan kartel. KPPU

tidak boleh hanya mengacu pada arti petunjuk yang ada pada peraturan komisi

yang mereka buat, hal ini dikarenakan peraturan tersebut hanyalah bersifat

pedoman bukan undang-undang yang mana memberikan KPPU dasar untuk

memutus asesuai dengan apa yang diinginkannya. Berdasarkan UU No. 12 Tahun

2011 (UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi,

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) maka peraturan komisi yang disusun oleh

KPPU tidak termasuk dalam tata urutan perundang-unangan Indonesia. Maka

peraturan komisi yang menjadi dasar KPPU untuk memutus perkara kartel

industri minyak goreng dan perkara kartel industri semen ini tidak dapat

mengesampingkan apa yang diatur oleh undang-undang yang mana memiliki

urutan yang lebih tinggi dari peraturan komisi produk KPPU.

Perbandingan antara Putusan perkara kartel industri minyak goreng dengan

Putusan perkara kartel industri semen, ditunjukkan dalam Tabel 7 berikut:

214
Erman Rajagukguk, Op.Cit., Hlm. 62.

Citra Ratu Kusuma Hakim


127

Tabel 7. Perbandingan Antara Putusan Perkara Kartel Industri Minyak Goreng


dengan Putusan Perkara Kartel Industri Semen
No Kategori Putusan KPPU Putusan KPPU
Nomor 24/KPPU-I/2009 Nomor 01/KPPU-I/2010
1 Kasus Tentang Industri Minyak Dugaan Penetapan Harga Dan
Goreng Sawit Kartel Industri Semen
2 Tanggal Selasa, 4 Mei 2010 Rabu, 18 Agustus 2010
Diputuskan
3 Penggunaan Dalam perkara ini, a. Indirect evidence dapat
Indirect indirect evidence berupa: dilakukan analisis ekonomi
Evidence a. Bukti Komunikasi terhadap kecenderungan yang
(communication terjadi di lapangan. Indirect
evidence) evidence dapat ditunjukkan
Bukti komunikasi dapat dengan harga dan harga yang
berupa fakta adanya dievaluasi dalam trend non-
pertemuan dan/atau transitory dalam jangka
komunikasi antar pesaing panjang yang dapat diduga.
meskipun tidak terdapat b. Indirect evidence (analisa
substansi dari pertemuan pasar dan analisa struktur
dan/atau komunikasi harga). Apabila harga naik
tersebut. Dalam perkara secara serentak belum tentu
ini, pertemuan dan/atau dapat dikatakan sebagai price
komunikasi baik secara fixing, harus ditentukan
langsung maupun tidak terlebih dahulu teritorial
langsung dilakukan oleh market dan product market,
para Terlapor pada tanggal apakah ada substitusinya atau
29 Februari 2008 dan tidak.
tanggal 9 Februari 2009. c. Indirect evidence yakni
Bahkan dalam dalam economic evidence. Evidence
pertemuan dan/atau by conduct ada harga naik
komunikasi tersebut secara tidak normal, parallel
dibahas antara lain price, dan facilitating prices.
mengenai harga, kapasitas Struktur evidence contohnya
produksi, dan struktur ada standardize dan
biaya produksi. homogenize product. Bila
b. Bukti ekonomi sinyal-sinyal komunikasi
(economic evidence) tersebut tidak menunjukkan
Terdapat 2 (dua) tipe bukti adanya angka tidak dapat
ekonomi yaitu bukti yang dikatakan tacit, harus
terkait dengan struktur dan mempertimbangkan faktor-
perilaku. Dalam perkara faktor terjadinya paralel price.
ini, industri minyak Analisis ekonomi digunakan
goreng baik curah dan pada dengan wilayah pasar
kemasan memiliki struktur untuk masing-masing propinsi
pasar yang terkonsentrasi yang Kondisi peningkatan
pada beberapa pelaku permintaan secara nasional tidak
usaha (oligopoli). Adapun berjalan beriringan dengan
bukti ekonomi yang peningkatan penjualan untuk
berupa perilaku tercermin masing-masing Terlapor.
dari adanya price

Citra Ratu Kusuma Hakim


128

parallelism.
c. Facilitating practices
yang dilakukan melalui
price signaling dalam
kegiatan promosi dalam
waktu yang tidak
bersamaan serta
pertemuan-pertemuan
atau komunikasi antar
pesaing melalui asosiasi.

4 Kedudukan a. Butir–butir mengenai a. Berdasarkan hasil pemeriksaan


Indirect indirect evidence, berkas (inzage) yang
Evidence pembuktian adanya dilakukan oleh Para Terlapor
kartel termasuk pada tanggal 29 Juli 2010,
diantaranya kartel harga tidak ada alat bukti apapun
dapat menggunakan baik berupa: keterangan saksi;
bukti komunikasi dan keterangan ahli; surat atau
bukti ekonomi sebagai dokumen; dan keterangan
bukti tidak langsung. pelaku usaha yang
b. Berkaitan dengan bukti membuktikan bahwa Para
komunikasi, Majelis Terlapor lainnya telah
Komisi menilai mengadakan perjanjian untuk
berdasarkan fakta menentukan harga dan/atau
adanya pertemuan membentuk kartel sehingga
dan/atau komunikasi melanggar ketentuan Pasal 5
baik secara langsung ayat (1) maupun Pasal 11 UU
maupun tidak langsung No. 5/1999.
dilakukan oleh para b. Mengenai alat bukti
Terlapor pada tanggal “Petunjuk”, penjelasan Pasal
29 Februari 2008 dan 42 UU No.5/1999 hanya
tanggal 9 Februari 2009. menyatakan “cukup jelas”.
Bahkan dalam dalam Mengingat UU No. 5/1999
pertemuan dan/atau tidak memberikan penjelasan
komunikasi tersebut yang memadai mengenai alat
dibahas antara lain bukti “Petunjuk”, maka makna
mengenai harga, dari alat bukti Petunjuk ini
kapasitas produksi, dan harus dicari lewat penafsiran
struktur biaya produksi. hukum sistematik, yaitu
c. Majelis Komisi menilai dengan melihat pada arti alat
berdasarkan fakta-fakta bukti Petunjuk pada ketentuan
terkait dengan struktur hukum Indonesia lainnya.
dan perilaku Penjelasan mengenai alat bukti
dimanamsecara struktur Petunjuk ini ternyata dapat
pasar merupakan ditemukan pada ketentuan
oligopoli yang semakin Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2)
terkonsentrasimdan Kitab Undang-undang Hukum
perilaku para Terlapor Acara Pidana (KUHAP).
yang dapat c. Berdasarkan penafsiran hukum
dikategorikan sebagai sistematik, Majelis Komisi

Citra Ratu Kusuma Hakim


129

pricemparallelism dan hanya diperkenankan untuk


facilitating practices menggunakan alat bukti
yang dilakukan melalui Petunjuk atau alat bukti tidak
price signaling. langsung (indirect evidence)
d. Atas dasar indirect sepanjang petunjuk itu
evidence tersebut, diperoleh dari alat bukti
Majelis Komisi lainnya berupa: keterangan
berpendapat telah terjadi saksi; keterangan ahli;
komunikasi dan/atau keterangan pelaku usaha; dan
koordinasi di antara para bukti surat.
Terlapor yang d. Mengenai nilai pembuktian
mengakibatkan dari bukti Petunjuk, banyak
terjadinya price ahli hukum yang meragukan
parallelism. price obyektivitas putusan yang
parallelism tersebut didasarkan pada alat bukti
ditetapkan oleh para yang tidak langsung semacam
Terlapor kepada pembeli ini. M. Yahya Harahap, secara
atau pelanggan para tepat menyatakan sebagai
Terlapor selaku berikut:215
konsumen antara produk “Agak sulit menjelaskan
minyak goreng. pengertian alat bukti petunjuk
e. Majelis Komisi menilai secara konkret. Bahkan dalam
komunikasi dan/atau praktek peradilanpun, sering
koordinasi dengan mengalami kesulitan untuk
didukung bukti ekonomi menerapkannya.
tersebut dapat Kekuranghatihatian
dikategorikan sebagai mempergunakannya, putusan
perjanjian yang yang bersangkutan dapat
dilakukan oleh antar mengambang pertimbangannya
pelaku usaha yang dalam suatu keadaan yang
bersaing dalam hal ini samar. Akibatnya putusan itu
para Terlapor untuk lebih dekat kepada sifat
menetapkan harga penerapan hukum secara
minyak goreng yang sewenang-wenang, karena
harus dibayar oleh putusan tersebut didominasi
konsumen atau oleh penilaian subyektif yang
pelanggan pada pasar berlebihan”.
bersangkutan yang e. Apabila Tim Pemeriksa
sama. menduga adanya kartel dan
f. Majelis Komisi menilai penetapan harga semata-mata
komunikasi dan/atau dari fakta adanya kenaikan
koordinasi dengan harga dalam kurun waktu yang
didukung bukti ekonomi berdekatan dan distribusi
tersebut dapat pemasaran semen saja, maka
dikategorikan sebagai dugaan ini hanya didasarkan
perjanjian yang pada indirect evidence saja
dilakukan oleh antar tanpa didukung dengan alat
215
M. Yahya Harahap, dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali” (Jakarta:
Sinar Grafika, 1985), Hlm. 291

Citra Ratu Kusuma Hakim


130

pelaku usaha yang bukti lainnya. Uraian


bersaing dalam hal ini mengenai diperlukannya
para Terlapor untuk setidak-tidaknya 2 (dua) alat
menetapkan harga bukti dalam pembuktian
minyak goreng yang pelanggaran terhadap UU No.
harus dibayar oleh 5/1999.
konsumen atau f. Tim Pemeriksa dan Majelis
pelanggan pada pasar Komisi ingin menggunakan
bersangkutan yang bukti petunjuk berupa indirect
sama. evidence dengan menafsirkan
g. Dengan demikian, unsur dari adanya faktor kenaikan
Perjanjian dengan harga dalam kurun waktu yang
pelaku usaha pesaingnya berdekatan, tetap saja fakta
untuk menetapkan harga kenaikan harga tersebut tidak
atas suatu barang dan dapat serta merta menjadi
atau jasa yang harus indirect evidence. Doktrin atau
dibayar oleh konsumen pendapat para ahli Hukum
atau pelanggan pada Persaingan sebagaimana
pasar bersangkutan yang dinyatakan dalam Policy Brief
sama dan yang OECD jelas menunjukkan
bermaksud untuk bahwa adanya tingkah laku
mempengaruhi harga paralel tidak cukup untuk
dengan mengatur membuktikan adanya
produksi dan atau perjanjian ataupun
pemasaran suatu barang persekongkolan guna
dan atau jasa terpenuhi. menetapkan harga ataupun
membentuk kartel.
g. Tim Pemeriksa nampaknya
hanya menyandarkan diri pada
fakta bahwa adanya kenaikan
harga dalam kurun waktu yang
“berdekatan“ di antara para
pelaku usaha sudah cukup
menjadi bukti adanya kartel
dan penetapan harga.
Sebagaimana telah
berulangkali dijelaskan di atas,
penggunaan indirect evidence
berupa adanya kesamaan fakta
kenaikan harga dalam kurun
waktu yang berdekatan di
antara para pelaku usaha untuk
menyimpulkan adanya
kecenderungan pergerakan
harga semen yang sama, jelas
tidak mencukupi. Indirect
evidence harus selalu
didukung dengan alat bukti
lain atau faktor lain (plus
factor) dan tidak dapat berdiri

Citra Ratu Kusuma Hakim


131

sendiri.
h. KPPU sendiri tidak menganut
paham bahwa indirect
evidence dapat digunakan
sebagai satu-satunya alat bukti
dalam menentukan adanya
suatu pelanggaran UU No. 5
Tahun 1999. Hal ini antara
lain dapat terlihat dalam Pasal
48 Perkom No. 1 Tahun 2006
tentang Tata Cara Penanganan
Perkara yang digunakan dalam
pemeriksaan perkara ini yang
mensyaratkan adanya minimal
2 (dua) alat bukti dalam
pembuktian pelanggaran.
Konsep penggunaan alat bukti
setidak-tidaknya 2 (dua) alat
bukti dalam pembuktian
pelanggaran juga diterapkan
dalam Peraturan Komisi yang
lebih baru yaitu Pasal 39 ayat
(4) Perkom No. 1 Tahun 2010
tentang Tata Cara Penanganan
Perkara. Dengan demikian
jelas bahwa di dalam
pembuktian kartel dan
penetapan harga di dalam
perkara ini, Tim Pemeriksa
dan Majelis Komisi harus
memiliki setidak-tidaknya 2
(dua) alat bukti dalam
pembuktian telah terjadinya
kartel dan penetapan harga,
dan tidak dapat sematamata
mendasarkan diri pada indirect
evidence saja yang berasal dari
penafsiran atas adanya
pertemuan-pertemuan di ASI
sebagaimana telah diuraikan di
atas.
i. Adapun dasar tuduhan KPPU
dimaksud semata-mata
dilakukan dengan menerapkan
“indirect evidence” atau “bukti
tidak langsung” tanpa
didukung oleh alat-alat bukti
lainnya berdasarkan Pasal 42
UU No. 5/1999, dimana alat
bukti pendukung lainnya

Citra Ratu Kusuma Hakim


132

kalaupun ada haruslah


mengenai hal yang secara
substansial sama dengan
masalah yang dicoba untuk
dibuktikan dengan Indirect
Evidence dimaksud. Dengan
kata lain, suatu Indirect
Evidence yang tidak didukung
dengan alat bukti lain yang
secara substansial sama maka
Indirect Evidence dimaksud
haruslah diabaikan atau
dikesampingkan. Tegasnya,
Indirect Evidence dimaksud
tidak dapat digunakan sebagai
alat bukti untuk membuktikan
adanya dugaan kartel
sebagaimana dituduhkan oleh
KPPU. Penggunaan Indirect
Evidence sebagai satu-satunya
alat bukti adalah bertentangan
dengan hukum acara yang
berlaku.
5 Putusan a. Terbukti Secara Sah dan a. Tidak Terbukti Secara Sah dan
Meyakinkan Melanggar Meyakinkan Melanggar Pasal
Pasal 4 UU No. 5 Tahun 5 UU No. 5 Tahun 1999
1999 b. Tidak Terbukti Secara Sah dan
b. Terbukti Secara Sah dan Meyakinkan Melanggar Pasal
Meyakinkan Melanggar 11 UU No. 5 Tahun 1999
Pasal 4 UU No. 5 Tahun
1999
c. Terbukti Secara Sah dan
Meyakinkan Melanggar
Pasal 11 UU No. 5
Tahun 1999

Dapat dilihat dalam perbandingan putusan KPPU tersebut tentang penggunaan

indirect evidence sebagai alat bukti dalam pembuktian terjadinya kartel, bahwa

dalam penggunaan indirect evidence tersebut sifatnya adalah kasuistik

(berdasarkan kasus yang ditangani belum tentu sama dengan kasus yang lainnya).

Dalam Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009 penggunaan indirect evidence dapat

diterima dan membuktikan bahwa memang benar telah terjadi pelanggaran UU

Citra Ratu Kusuma Hakim


133

No. 5 Tahun 1999, sedangkan dalam Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010

penggunaan indirect evidence tidak dapat digunakan dikarenakan kemungkinan

kemiripan data dapat diperoleh karena adanya faktor-faktor lain seperti inflasi

maupun kebijakan pemerintah dan bukan akibat adanya kartel, sehingga tidak

dapat diterima dan membuktikan telah terjadi pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999.

Citra Ratu Kusuma Hakim

Anda mungkin juga menyukai