Oleh
CITRA RATU KUSUMA HAKIM
SKRIPSI
Pada
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan1 yang dimilki setiap individu dalam
bagi masyarakat konsumen, yaitu berupa pilihan produk yang bervariatif dengan
harga pasar serta dengan kualitas tinggi. Sebaliknya, bila persaingan dibelenggu oleh
pada tahun 1997 dan mengalami puncak krisis pada tahun 1998 yang pada akibatnya
memicu reformasi dan restrukturisasi pada berbagai bidang, yang salah satunya
1
Seperti yang tertuang dalam asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2
bahwa: “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum”. Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang
lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas
Pasal 33 UUD 1945.
2
Irna Nurhayati. Kajian Hukum Persaingan Usaha : Kartel Antara Teori dan Praktik. (Jakarta:
Jurnal Hukum Bisnis Vol.30-No.2-Tahun 2011). Hlm.6.
adalah kebijakan dalam kompetisi atau persaingan usaha yang ada di Indonesia.3
persaingan usaha ini memakan waktu yang cukup lama, yang pada akhirnya
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (selanjutnya disebut UU
praktek monopoli, persaingan usaha tidak sehat diantara para pelaku usaha,
menjabarkan perbuatan apa saja yang dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang
3
Aturan hukum mengenai persaingan usaha atau aturan sejenis sebenarnya telah ada pada masa
itu, dimulai dari Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah mengamanatkan bahwa dalam demokrasi ekonomi harus
dihindarkan monopoli yang merugikan masyarakat. Kemudian pada UU No.5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian, pasal 7 ayat (2) yang berbunyi: “Pemerintah wajib mengatur, membentuk, dan
mengembangkan industri demi penciptaan persaingan yang sehat dan pencegahan persaingan
curang”. Pada penjelasan : Pemerintah mencegah investasi yang menimbulkan kondisi persaingan
yang curang dan tidak jujur di bidang industri. Dan tertuang juga di KUHP Pasal 382, yang
berbunyi:“barang siapa mendapatkan, melangsungkan, atau memperluas hasil perdagangan atau
perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak
umum atau seorang tertentu, diancam karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama
empat bulan atau pidana denda bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-
konkuren atau konkuren orang lain”.
4
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 pada tanggal 5 Maret 1999.
Andi Fahmi Lubis, et.all, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. (Jakarta: Creative
Media, 2009), Hlm. 14. Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaingan usaha,
setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. RUU tersebut akhirnya disetujui dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999,
dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan.
Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 33 pada tanggal 5 Maret 1999, akhirnya Undang-undang tentang larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan
diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan. Berlakunya UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai
tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No.
X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi
yang berorientasi pasar.
komisi independen yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau
yang selanjutnya disingkat KPPU yang mengatur mengenai sanksi dan prosedur
Dapat dipahami bahwa dalam pasar bebas, harus dicegah penguasaan pasar oleh satu,
dua atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli/oligopoli). Dalam Pasar hanya
dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha, maka akan terbuka peluang untuk menghindari
secara sepihak dan merugikan konsumen.6 Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit
mengatur harga, kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang ditawarkan guna
Dengan melakukan praktik kartel merupakan salah satu kentungan dan ancaman bagi
para pelaku usaha yang lain. Kartel merupakan jenis perjanjian yang dilakukan oleh
para pelaku usaha yang anti terhadap persaingan. Para pelaku usaha ini melakukan
5
Andi Fahmi Lubis, et.all, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. (Jakarta:
Creative Media, 2009), Hlm.311. Untuk mengawasi pelaksanaan UU No 5 Tahun 1999 (UU
Antimonopoli) dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34 UU No. 5 Tahun
1999 yang menginstruksikan bahwa pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi
ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres No 75
Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.
6
Johnny Ibrahim, Hukum dan Persaingan Usaha; Teori dan Implikasi Penerapannya di
Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), Hlm 3.
7
UU No. 5 Tahun 1999 mengkategorikan kartel sebagai salah satu bentuk perjanjian yang
dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Dimana kartel diatur dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun
1999 berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu
barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.”
dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dapat
merugikan konsumen selaku pemakai barang dan jasa juga kepada pemerintah dan
terlebih bagi pelaku usaha lainnya yang tidak termasuk dalam cartellist. Padahal
kegiatan kartel merupakan sebuah perjanjian yang jelas-jelas dilarang dalam UU No.
5 Tahun 1999, dan tindakan para pelaku usaha yang melakukan praktik kartel tersebut
adalah merupakan tindakan yang melanggar etika dalam kegiatan hukum bisnis.
Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Komisi No. 04 Tahun 2010 tentang
Pedoman pelaksana Pasal 11 tentang Kartel (selanjutnya disebut Perkom No. 4 Tahun
2010), pengertian kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk
harga suatu barang dan/atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat
keuntungan wajar. Kartel termasuk pelanggaran berat dari hukum persaingan usaha.
dianggap cukup nyata. Oleh karena itu, dapat dipahami jika KPPU gelisah untuk
illegal.8 Beda halnya di Indonesia, dengan adanya frasa “yang dapat mengakibatkan
8
Andi Fahmi Lubis, et.all, Op.Cit, Hlm.55. Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang
ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal
dapatanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga
penjualan kembali. Penerapan pendekatan per se illegal dapatanya dipergunakan dalam pasal-pasal
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat” maka ketentuan
Proses pembuktian adanya dugaan praktik perjanjian kartel diantara para pelaku
usaha menjadi suatu masalah bagi KPPU dalam menyelesaikan perkara persaingan
usaha tidak sehat. Dalam hal pembuktian kartel, kebanyakan otoritas persaingan
usaha di berbagai negara sangat hati-hati dalam pembuktian kartel. Sebagai contoh,
berbagai keadaan yang sering ditengarai sebagai indikator adanya kartel sebenarnya
berlangsung. Misalnya, tentang indikasi harga yang paralel (price parallelism) sering
dianggap sebagai tindakan yang dilakukan secara bersama-sama secara kolusif untuk
menentukan harga (price fixing) oleh para anggota kartel. Dalam praktiknya, terlalu
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya parallelism harga, yang terjadi justru
yang menyatakan istilah “dilarang”. Lebih lanjut lihat Mustafaa Kamal Rokan, S.H.I.,M.H., Hukum
Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.60. Larangan-larangan yang
bersifat per se illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas, dan mutlak dalam rangka member
kepastian bagi para pelaku usaha.Pendekatan per se illegal harus memenuhi dua syarat. Pertama, harus
ditujukan lebih kepada “perilaku bisnis” daipada situasi pasar. Kedua, adanya identifikasi secara tepat
dan mudah mengenai praktik atau batasan perilaku yang terlarang.
9
Ibid. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga
otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau
mendukung persaingan. Penerapan pendekatan rule of reason terdapat pencantuman kata-kata “yang
dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga”. Lebih lanjut lihat Mustafaa Kamal Rokan, S.H.I.,M.H.,
Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.66. Teori rule of reason
mengharuskan pembuktian, mengevaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan, atau posisi dominan
tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung
persingan. Dalam substansi UU No. 5 Tahun 1999 umumnya mayoritas menggunakan pendekatan rule
of reason.
Pada dasarnya harga yang sama atau satu jenis produk bukan merupakan suatu hal
yang salah, hal tersebut menjadi salah apabila harga yang sama tersebut dibentuk
tersebut maka perlu adanya dukungan suatu bukti. Dengan kata lain, parallel price
atau uniform price atau persamaan harga tidak serta-merta membuktikan adanya
itulah yang sering disebut sebagai indirect evidence atau bukti tidak langsung.10
Jika melihat Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/200911 berkaitan dengan dugaan Kartel
Industri Minyak Goreng Sawit dan Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/201012 berkaitan
dengan dugaan penetapan harga dan kartel Industri Semen, maka kasus ini diputus
berdasar atas indirect evidence. Hal tersebut menunjukkan bahwa indirect evidence
No. 5 Tahun 1999 tidak menyebutkan hal ini secara eksplisit. Indirect evidence
10
Peraturan Komisi No. 04 Tahun 2010 tentang Pedoman pelaksana Pasal 11 tentang Kartel
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, Hlm.11. Indirect evidence, yang antara lain
dilakukan melalui penggunaan berbagai hasil analisis ekonomi yang dapat membuktikan adanya
korelasi antar satu fakta ekonomi dengan fakta ekonomi lainnya, sehingga akhirnya menjadi sebuah
bukti kartel yang utuh dengan identifikasi sejumlah kerugian bagi masyarakat di dalamnya.
11
KPPU yang memeriksa dugaan terhadap pelanggaran Pasal Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berkaitan
dengan Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia, yang dilakukan oleh: PT Multimas Nabati Asahan,
PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Agrindo Indah
Persada, PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Megasurya Mas, PT Agro Makmur Raya, PT
Mikie Oleo Nabati Industri, PT Indo Karya Internusa, PT Permata Hijau Sawit, PT Nagamas Palmoil
Lestari, PT Nubika Jaya, PT Smart Tbk, PT Salim Ivomas Pratama, PT Bina Karya Prima, PT Tunas
Baru Lampung, PT Berlian Eka Sakti Tangguh, PT Pacific Palmindo Industri, dan PT Asian Agro
Agung Jaya.
12
KPPU yang memeriksa dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berkaitan dengan Penetapan
Harga dan Kartel Dalam Industri Semen yang dilakukan oleh: PT Indocement Tunggal Prakarsa, PT
Holcim Indonesia, PT Semen Baturaja (Persero), PT Semen Gresik (Persero) Tbk, PT Semen Andalas
Indonesia, PT Semen Tonasa, PT Semen Padang, dan PT Semen Bosowa Maros.
(khususnya analisa ekonomi) digunakan oleh KPPU sebagai alat bantu untuk
menghasilkan rasio dibalik sebuah keputusan yang tepat. Bahkan Perkom No. 4
petunjuk awal yang mendorong terjadinya kartel. Untuk itu, diperlukan pembuktian
lebih lanjut dalam bentuk bukti langsung yang menunjukkan benar-benar telah terjadi
kesepakatan kartel.
mengkaji dan membahas mengenai permasalahan ini dalam penelitian yang berjudul
“Implementasi Indirect Evidence (Alat Bukti Tidak Langsung) sebagai Alat Bukti
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana implementasi indirect evidence (alat bukti tidak
2. Proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence atas terjadinya kartel.
3. Akibat hukum dari alat bukti indirect evidence atas terjadinya kartel.
Lingkup penelitian ini meliputi lingkup pembahasan dan lingkup bidang ilmu.
tidak langsung) sebagai alat bukti KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi lengkap, rinci, jelas, dan
sistematis mengenai:
2. Proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence atas terjadinya kartel.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini adalah sebagai dasar pemikiran dalam upaya
2. Kegunaan Praktis
c. Sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Hukum Persaingan Usaha terdiri dari kata hukum dan persaingan usaha. Bila
dikehendaki persaingan usaha dapat dipecah lagi menjadi kata persaingan dan
masyarakat itu sendiri.13 Menurut Borst hukum ialah keseluruhan peraturan bagi
dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan.14 Utrecht dan Van
masyarakat antara orang dengan orang atau antara anggota masyarakat yang lain.
13
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. VIII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hlm.23.
14
Ibid, Hlm. 27.
15
Ibid, Hlm. 24.
hasil secara kompetitif, tanpa menimbulkan ancaman atau benturan fisik dipihak
manusia untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan tertentu, usaha atau
dapat juga disebut suatu perusahaan adalah suatu bentuk usaha yang melakukan
kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan,
baik yang diselenggarakan oleh perorangan maupun badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum, yang didirikan dan
Persaingan usaha adalah kondisi dimana terdapat dua pihak (pelaku usaha) atau
lebih berusaha untuk saling mengungguli dalam mencapai tujuan yang sama
dalam suatu usaha tertentu.19 Pengertian dari hukum persaingan usaha adalah
hukum yang mengatur tentang interaksi atau hubungan perusahaan atau pelaku
dikaitkan dengan persaingan dalam ekonomi yang berbasis pada pasar, dimana
pelaku usaha baik perusahaan maupun penjual secara bebas berupaya untuk
16
http://www.pengertiandefinisi.com/2011/10/pengertian-persaingan.html, Diunduh 27
November 2012.
17
http://www.artikata.com/arti-376318-persaingan.html, Diunduh 27 November 2012.
18
http://carapedia.com/pengertian_definisi_usaha_info2644.html, Diunduh 27 November
2012.
19
Rilda Murniati, Penyelesaian Perkara Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha oleh
KPPU, Dalam buku Hukum Bangun Teori dan Telaah dalam Implementasi, (Bandar Lampung:
Universitas Lampung, 2009), Hlm. 444.
20
Andi Fahmi Lubis, et.all, Loc.Cit, Hlm. 21.
yang didirikannya.21
b. Suatu proses dimana perusahaan saling berlomba dan berusaha untuk merebut
konsumen atau pelanggan untuk dapat menyerap produk barang dan jasa yang
jual;
berdasarkan prinsip gotong royong. Secara tidak langsung dalam Pasal 33 UUD
21
Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, (Sidoarjo: Laras, 2007), Hlm.
57.
22
Ibid.
seluruh rakyat.
ekonomi yang sehat, maka perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan
aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha
larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia terdapat
dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Tahun 1999 No. 33 pada tanggal 5 Maret 1999 dan berlaku secara efektif 1 (satu)
Sebelum UU No. 5 Tahun 1999 berlaku secara efektif dan menjadi dasar hukum
23
Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: Jala Permata Aksara,
2009), Hlm. 6.
24
Ningrum Natasya Sirait, et.all, Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, (Jakarta: PT
Gramedia, 2010), Hlm 1.
25
Binoto Nadapdap. Op.Cit. Hlm. 7.
26
Ibid
Agraria
tentang Merek
Keberadaan UU No. 5 Tahun 1999 sebagai dasar hukum persaingan usaha juga
dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksana dan peraturan terkait lainnya baik
yang dikeluarkan oleh KPPU dalam bentuk Peraturan Komisi (Perkom), Pedoman
KPPU, Surat Keputusan (SK) dan Surat Edaran (SE), maupun yang dikeluarkan
27
Ningrum Natasya Sirait, et. All. Op.Cit.
persaingan usaha tidak sehat. Pasal 1 angka (6) UU No. 5 Tahun 1999
menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha. Pengertian persaingan usaha tidak sehat ini dapat dilakukan
dalam bentuk perjanjian dan kegiatan sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun
1999 .
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
perjanjian sebagai suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari
kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara
hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain
benda antara dua pihak dalam hal mana suatu pihak berjanji atau dianggap
28
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),
Hlm. 42.
berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,
seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk
Pasal 7 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 mengatur secara khusus mengenai apa
sebagai: suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis
No. 5 Tahun 1999 yang terjadi atau mengakibatkan praktik monopoli dan
oligopoli yaitu perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat
dengan pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa
29
Andi Fahmi Lubis, et.all. Op.Cit, Hlm. 85.
30
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT intermasa, 2002), Hlm. 1.
menetapkan harga atau suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh
harga, dimana bunyi Pasal tersebut antara lain: “Pelaku usaha dilarang
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga dibawah biaya produksi
(average cost atau marginal cost). Tujuan utama dari predatory pricing
untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah
pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar
yang sama.
bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok
kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih
dari segi barang maupun harga. UU No. 5 Tahun 1999 melarang perbuatan
(3) Pemboikotan
Pasal 10 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Dan dalam Pasal 10 Ayat
pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa
dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: (a). Merugikan atau dapat
diduga akan merugikan pelaku usaha lain atau; (b). Membatasi pelaku usaha
lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar
bersangkutan.
(4) Kartel
Perjanjian Kartel adalah Pengaturan produksi dan atau pemasaran suatu barang
dan atau jasa untuk mempengaruhi harga. Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999
mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat
(5) Trust
(6) Oligopsoni
Pasal 13 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa perjanjian dua
pelaku usaha atau lebih untuk menguasai pasokan agar dapat mengendalikan
harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
Perjanjian Integrasi Vertikal adalah perjanjian dua pelaku usaha atau lebih
Perjanjian Tertutup adalah perjanjian dua pelaku usaha atau lebih yang berisi
syarat bahwa penerima pasokan hanya akan memasok atau tidak akan
memasok produk tersebut kepada pelaku usaha lain; harus bersedia membeli
produk lainnya dari pemasok; atau mengenai harga atau potongan harga yang
akan diterima bila bersedia membeli produk lain atau tidak membeli produk
negeri adalah perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan
Kegiatan yang dilarang adalah tindakan atau perbuatan atau perbuatan hukum
sepihak yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa
adanya keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha atau
(1) Monopoli
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud
iii. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar atau jenis barang
(2) Monopsoni
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut
tunggal sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar atau satu
persaingan usaha tidak sehat berupa: menghalangi pelaku usaha lain untuk
produk; atau melakukan diskriminasi (Pasal 19); melakukan jual rugi untuk
(4) Persekongkolan
c. Posisi Dominan
Pasal 1 Angka 4 UU No. 5 Tahun 1999 , posisi dominan adalah keadaan dimana
dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi
Pasal 25 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa pelaku usaha
1. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih
2. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau
lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
1. Jabatan rangkap pada lebih dari satu perusahaan dalam pasar bersangkutan
yang sama atau memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan jenis usaha
2. Pemilik saham mayoritas pada perusahaan sejenis dengan bidang usaha yang
1. Pengertian Kartel
Istilah kartel terdapat dalam beberapa bahasa seperti cartel dalam bahasa Inggris
dan kartel dalam bahasa Belanda. Cartel disebut juga syndicate yaitu suatu
kesepakatan antara beberapa perusahaan produsen dan lain-lain yang sejenis untuk
mengatur dan mengendalikan berbagai hal, seperti harga, wilayah pemasaran dan
sebagainya, dengan tujuan menekan persaingan dan atau persaingan usaha pada
dan harga suatu barang atau jasa sebagai upaya mendapatkan keuntungan di atas
32
Pasal 26 dan 27 UU No. 5 Tahun 1999
33
Hasim Purba, Tinjauan Yuridis Terhadap Holding Company, Cartel, Trust dan Concern.
tersedia di http://library.usu.ac.id/download/fh/perda-hasim1.pdf diunduh 16 Juli 2012.
34
Riris Munadiya, Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam Penanganan Kasus
Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha KPPU, Edisi 5 - Tahun 2011, Hlm. 163.
pengusaha, untuk dapat menguasai pasar, hal mana biasanya tujuan pembentukan
kartel, diperlukan syarat bahwa kartel mencakup bagian terbesar dari badan-badan
usaha yang ada, dengan ketentuan bahwa mereka menggarap pasaran yang
bersangkutan.35
Kartel kadangkala didefinisikan secara sempit, namun di sisi lain juga diartikan
secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang
seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk
pengertian luas, kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi
pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga. Jenis kartel yang paling
(pasar) atau pelanggan, dan perjanjian pembatasan output. Sedangkan yang paling
any product joined together to control its productions its productions , sale and
35
Winardi, Istilah Ekonomi Dalam Tiga Bahasa, Inggris, Belanda, Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 1996) Hlm. 47.
36
Herbert Hovenkamp, Antitrust (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1993), Hlm 71.
37
R. Shyam Khemani, A Framework for The Design and Implementation of Competition
Law and Policy, (Washington, D.C.-Parish: The World Bank-OECD, 1999). Hlm 21.
industry or commodity”.38
the price of product they sell (or what is the small thing, to limit their out put) is
likely any other contract in the sense that the parties would not sign it unless the
tidak sehat.
untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
38
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, (St. Paul Minn West Publishing Co.,
1999), Hlm. 215. Terjemahan bebas: “kombinasi dari produsen produk apapun bergabung bersama
untuk mengontrol produksinya, penjualan dan harga, sehingga memperoleh monopoli dan
membatasi persaingan dalam industry atau komoditas tertentu”.
39
Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Fourth Edition, (Boston: Little Brown
and Company), Hlm. 285. Terjemahan bebas: “kontrak antara penjual bersaing untuk memperbaiki
hrgaa (atau apa adalah hal kecil, untuk membatasi mereka menempatkan keluar) kemungkinan
kontrak lainnya dalam arti bahwa para pihak tidak akan menandatanganinya kecuali diharapkan
untuk membuat mereka semua lebih baik”.
40
Arief Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), Hlm.85
perjanjian yang tertulis saja tetapi juga perjanjian yang tidak tertulis sebagaimana
telah dijelaskan dalam ilmu hukum kontrak. Adanya kesepakatan para pihak yang
dipatuhi dan dijalankan merupakan sebuah perjanjian. Hal yang sama dapat dilihat
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk
barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka tidak ada lagi persaingan.42
sebagai satu kesatuan, yang dampaknya adalah seperti memegang monopoli. Hal
yang demikian disebut kartel ofensif. Pengaturan persaingan juga dapat diadakan
untuk menghindarkan diri dari cara-cara bersaing yang sudah menjurus pada
penghancuran diri sendiri, karena sudah menjurus pada perang harga dengan
harga yang lebih rendah daripada harga pokoknya. Persaingan sudah terjerumus
41
R.Subekti, R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 2008), Hlm.338.
42
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004), Hlm. 55.
pada cut throat competition. Dalam keadaan yang demikian, semua perusahaan
yang tidak ikut di dalam kesepakatan dipaksa oleh kekuatan undang-undang untuk
b. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat. Para senior
membuat keputusan.
d. Melakukan price fixing atau penetapan harga agar penetapan harga berjalan
efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau
e. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian. Apabila
tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan terhadap
43
A.M. Tri Anggraini, Mekanisme Mendeteksi Dan Mengungkap Kartel Dalam Hukum
Persaingan, http://sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/mekanisme-mendeteksi-dan-
mengungkap-kartel-dalam-hukum-persaingan/. Diunduh 28 Oktober 2012.
44
Draft Pedoman Kartel, tersedia di http://www.kppu.go.id/docs/Pedoman/draft-pedoman-
kartel.pdf, Diunduh 4 November 2012.
laporan produksi dan penjualan pada periode tertentu. Auditor akan membuat
besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau
kompensasi ini tentu saja akan berhasil apabila para pelaku usaha akan
Jenis perjanjian horisontal yang dianggap paling merugikan atau bahkan dapat
kontingentering, kartel kuota, kartel standart atau kartel tipe, kartel kondisi, kartel
syarat, kartel laba atau pool, kartel rayon, dan sindikat penjualan atau kantor
sentral penjualan.
45
A.M. Tri Anggraini, Mekanisme Mendeteksi Dan Mengungkap Kartel Dalam Hukum
Persaingan, Op.Cit.
beberapa unsur yang harus dilakukan deteksi atas kartel, yakni sebagai berikut:47
Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 adalah setiap orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
46
Penjabaran unsur Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999, Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun
2010 tentang Kartel berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
47
Draft Pedoman Kartel, Loc.Cit., Hlm. 16-17.
kartel, pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian ini harus lebih dari dua
b. Unsur Perjanjian
Perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 adalah suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada di dalam satu
setuju mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
kartel secara keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini dapat lebih
besar atau lebih kecil dari kapasitas produksi perusahaan atau permintaan
berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah dimana para
f. Unsur Barang
Barang menurut Pasal 1 angka 16 adalah setiap benda baik berwujud maupun
g. Unsur Jasa
ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
dan pemasaran atas barang dan atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel.
Karena tujuan akhir dari kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan yang
besar bagi anggota kartel, maka hal ini akan menyebabkan kerugian bagi
kepentingan umum.
persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur. Kartel
adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para pelaku usaha. Oleh karena itu
saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini dilakukan secara tidak sehat dan
tidak jujur. Dalam hal ini misalnya dengan mengurangi produksi atau
pendekatan per se illegal maupun rule of reason telah lama diterapkan.48 Hampir
semua negara menghukum praktek kartel secara per se illegal,49 bahkan anggota
kartel pada umumnya menghadapi tanggung jawab atas potensi kriminal. Namun
ketentuan dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 menetapkan, bahwa pelaku usaha
dan/atau persaingan tidak sehat. Ketentuan ini mengarahkan pihak komisi (KPPU)
48
Penerapan Pendekatan Pendahuluan pdf, tersedia di
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/127898penerapan-pendekatan-pendahuluan-pdf, diunduh 3
November 2012.
49
Kartel dianggap sebagai per se illegal di negara-negara barat. Sebab pada kenyataan
bahwa price fixing dan perbuatan-perbuatan kartel mempunyai dampak negatif terhadap harga
dan output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Adapun kartel jarang sekali
menghasilkan efisiensi karena yang dihasilkan sangat kecil dibandingkan dengan dampak negatif
tindakan-tindakannya.
50
A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Perse Illegal dan Rule of reason, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), Hlm.
210. Dalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan oleh
seorang pelaku usaha akan dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan
adanya unsur yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda
terhadap larangan yang bersifat rule of reason, pertama adalah bentuk aturan yang menyebutkan
adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi
bagi terjadinya praktik monopoli dan atau praktik persaingan usaha yang tidak sehat. Ciri kedua
adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap”.
reason adalah penting dalam analisa persaingan, karena setiap aksi yang
Akibatnya penerapannya perlu dilihat kasus per kasus dan didampingi dengan
Larangan yang berkaitan dengan kartel ini hanya berlaku apabila perjanjian kartel
tidak sehat. Berarti, pendekatan yang digunakan dalam kartel adalah rule of
reason. Keunggulan dari rule of reason adalah dapat dengan akurat dari sudut
Kesulitan penerapan rule of reason antara lain penyelidikan akan memakan waktu
analisa kasus yang kompleks, biaya yang besar, dan membutuhkan sumber daya
yang sangat kompeten, serta cukup rawan dengan korupsi. Cara mengatasinya,
rendah kepada penggunaan pendekatan per se illegal dan rule of reason yang
51
Deswin Nur, Bentuk Lembaga yang Efektif dalam Perspektif Internasional. Jurnal
Persaingan Usaha KPPU, Edisi 5 - Tahun 2011, tersedia di http://www.kppu.go.id/junal/jurnal-
persaingan-usaha.pdf, Hlm 220.
52
A.M. Tri Anggraini, Op.Cit., Hlm. 20.
53
Deswin Nur, Op.Cit., Hlm. 221.
Secara khusus untuk aturan kartel, dapat diberikan definisi pelanggaran yang jelas
atau aturan kartel yang umum tetapi dengan pengecualian yang jelas. Aturan
merger dapat dilakukan dengan menetapkan aturan pangsa pasar yang tinggi dan
beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru dianggap salah jika telah terbukti
adanya akibat dari tindakan tersebut yang merugikan pelaku usaha lain atau
Pendekatan rule of reason mungkin saja dibenarkan adanya suatu tindakan usaha
sebaliknya suatu tindakan usaha dianggap salah karena meskipun ditujukan untuk
nasional umumnya, seperti pada tindakan integrasi vertikal yang disertai dengan
pada rule of reson adalah unsur material dari perbuatannya. Dan pada rule of
(persaingan) terkait terhadap pelaku usaha lain, konsumen dan atau perekonomian
54
Ibid.
nasional pada umumnya. Maka dari itu untuk tindakan-tindakan tersebut dalam
Untuk negara berkembang seperti Indonesia dimana kondisi sumber daya manusia
“per se” ketimbang “rule of reason”. Hal ini karena pendekatan per se lebih
merger, konsolidasi, dan akuisisi serta integrasi vertikal yang memang memiliki
unsur tujuan efisiensi tetap diperlukan pendekatan rule of reason ketimbang per
se.56
Kartel di berbagai negara dianggap sebagai tindakan yang hanya akan merugikan
reason. Perumusan kartel sebagai suatu yang diperiksa menurut prinsip rule of
55
Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana, Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam
Sistem Hukum Nasional, tersedia di http://www.kppu.go.id/docs/Makalah/persaingan_usaha.pdf,
diunduh 3 November 2012, Hlm. 3
56
Ibid, Hlm. 4.
57
Draft Pedoman Kartel, Op.Cit., Hlm. 10.
b. Apakah kegiatan para pelaku usaha bersifat naked (langsung) atau ancillary
diperkenankan.
c. Para pelaku usaha mempunyai market power. Apabila para pelaku usaha
d. Apakah terdapat hambatan masuk ke pasar yang tinggi. Walaupun para pelaku
usaha mempunyai market power, akan tetapi kalau tidak ada hambatan masuk
ke pasar yang berarti, maka akan mudah bagi pelaku usaha baru untuk masuk
ke pasar.
adalah ilegal.
58
Ibid, Hlm. 10-11
para pelaku usaha tersebut adalah alternatif terbaik untuk mencapai tujuan
tersebut.
Jadi dalam memeriksa suatu perkara secara rule of reason, maka perlu ditempuh
sesuatu yang dapat diterima (reasonable restraint) atau tidak dapat diterima
(unreasonable restraint).59
Dilihat dari perumusan Pasal 11 yang menganut rule of reason, maka ditafsirkan
terhadap ketentuan ini, harus diperiksa alasan-alasan pelaku usaha dan telebih
dahulu dibuktikan telah terjadi praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat. Dengan kata lain, dalam memeriksa dugaan adanya kartel akan dilihat
alasan-alasan dari para pelaku usaha yang melakukan perbuatan kartel tersebut
dan akibat dari perjanjian tersebut terhadap persaingan usaha. Dengan demikian,
59
Ibid, Hlm. 10-12.
60
Ibid, Hlm. 15.
UU No. 5 Tahun 1999 dalam pengaturannya diawasi oleh suatu komisi pengawas.
Dasar hukum pembentukan komisi pengawas adalah Pasal 30 Ayat (1) yang
Pengawas Persaingan Usaha”.61 Selain itu pembentukan ini didasarkan pada Pasal
Tahun 1999 tertanggal 8 Juli 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan
1. Kedudukan KPPU
UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa komisi adalah lembaga independen, hal
ini berarti komisi pengawas bebas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah.63
Presiden Republik Indonesia secara eksplisit menegaskan kembali hal ini dalam
Pasal 1 Ayat (2) Keputusan Presiden tertanggal 8 Juli 1999 tersebut. Hal ini
61
Mustafaa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), Hlm.265.
62
Andi Fahmi Lubis, et.all, Op.Cit., Hlm. 311.
63
Suyud Margono, Hukum Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta:
PT Sinar Grafika, 2009), Hlm. 140.
64
Ibid, Hlm. 140.
KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda selain
Ada dua alasan dari pembentukkan lembaga KPPU ini, yakni: Pertama, alasan
berasal dari negara, diharapkan lembaga pengawas ini dapat menjalankan tugas
independen. Adapun alasan yang kedua adalah alasan sosiologis, yakni alasan
pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, serta beban perkara
65
Ibid.
66
Ibid, Hlm. 127.
dimiliki Komisi sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki oleh
organ adalah lembaga negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan
Legislatif, dan Yudikatif)70 yang sering juga disebut dengan lembaga independen
semu negara (quasi). Peran sebuah lembaga independen semu negara (quasi)
menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi
Status KPPU diatur dalam Pasal 30 Ayat (3) yang menyatakan: “Komisi
kepada presiden, komisi tetap bebas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah,
dalam Pasal 35 huruf g adalah sesuai dengan Pasal 30 Ayat (3).72 Hal ini
67
Diatur dalam Pasal 30 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Komisi adalah suatu lembaga
independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain”.
68
Suyud Margono, Loc.Cit. Hlm. 127
69
Ibid. Lihat juga Budi L. Kagramanto, “Implementasi UU No 5 Tahun 1999 Oleh KPPU”,
Jurnal Ilmu Hukum Yustisia 2007, Hlm.2.
70
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Konpress, 2006) Hlm.24
71
http://www.reformasihukum.org. Diunduh 2 Juli 2012
72
Suyud Margono, Op.Cit., Hlm. 141.
Pasal 47 telah memberikan kewenangan khusus kepada KPPU. Secara garis besar,
kewenangan KPPU dapat dibagi dua, yaitu wewenang aktif dan wewenang
pasif.75 Wewenang aktif adalah wewenang yang diberikan kepada KPPU melalui
dari instansi pemerintah, mendapatkan dan meneliti dokumen dan alat bukti lain,
wewenang pasif adalah menerima laporan dari masyarakat dari atau pelaku usaha
sehat.77
73
Lihat Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan memerintah menurut Undang-undang Dasar”.
74
Mustafaa Kamal Rokan, Op.Cit., Hlm.266.
75
Ibid.
76
Ibid, Hlm. 267.
77
Ibid.
sebagai berikut:
a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh
masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan komisi sebagai hasil
penelitiannya.
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli
atau setiap orang yang dimaksud dalam nomor 5 dan 6 tersebut di atas yang
78
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Hlm.1273. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak;
2. Kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada
pihak lain; 3. Fungsi yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan.
i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku
Atas kewenangan tersebut, maka KPPU memiliki beberapa tugas79 sesuai Pasal 35
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Seperti: oligopoly,
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
79
Ibid, Hlm.1215. Tugas adalah yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk
dilakukan, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang yang dibebankan; 2. Suruhan
(perintah) untuk melakukan sesuatu; 3. Fungsi jabatan; 4. Fungsi yang tidak boleh tidak
dikerjakan.
80
Pasal 4-16 UU No. 5 Tahun 1999
persekongkolan.81
persaingan usaha tidak sehat, yang dapat timbul melalui posisi dominan,
pengambilalihan.82
berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Tahun 1999 .
g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden
yang sederajat dengan putusan hakim. Oleh karena itu, putusan KPPU dapat
81
Pasal 17-24 UU No. 5 Tahun 1999
82
Pasal 25-28 UU No. 5 Tahun 1999
83
Mustafaa Kamal Rokan, Op.Cit., Hlm. 270.
yang menangani hak-hak subyektif perorangan. Oleh karena itu, KPPU harus
tujuan UU No.5 Tahun 1999 yang tercantum dalam Pasal 3 huruf a UU No. 5
Tahun 1999 yakni untuk “menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
rakyat”.85
UU No. 5 Tahun 1999 tidak mengatur mengenai hukum acara yang akan
digunakan sebagai acuan untuk beracara di KPPU. UU No. 5 Tahun 1999 tidak
mengatur mengenai prosedur tata cara bertindak bagi KPPU dalam melakukan
penyelidikan dan pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan para saksi, berkaitan
memerintahkan supaya hal tersebut diatur lebih lanjut oleh KPPU. Tata cara
84
Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (Katalis Publishing Media Services, 2002) Hlm.389.
85
Andi Fahmi Lubis, et.all, Loc.Cit., Hlm. 316.
86
Johny Ibrahim, Loc.Cit., Hlm. 269.
87
Lihat Pasal 38 Ayat (4) Undang-undang No. 5 Tahun 1999.
a. Pasal 34-46 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Tahun 1999.
Usaha.
d. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengadilan.
f. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2006 tentang Tata
KUHAP dirujuk dalam hal ini karena fungsi penyelidikan dan pemeriksaan tidak
dikenal dalam Hukum Acara Perdata. Selain itu juga karena yang ingin dicari oleh
KPPU adalah kebenaran materiil, sedangkan yang akan dicari dalam Hukum
keyakinan KPPU bahwa pelaku usaha melakukan atau tidak melakukan perbuatan
sehat.88
Selanjutnya, Hukum Acara di KPPU ditetapkan oleh KPPU dan sejak berdiri di
tahun 2000, hukum acara tersebut telah mengalami satu kali perubahan dari SK
Perkara di KPPU (Perkom No. 1 Tahun 2006) yang mulai efektif berlaku 18
Oktober 2006.89 Penegakan hukum yang excellent pada tahun 2010 didukung
dengan implementasi awal Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara di KPPU (Perkom No. 1 Tahun 2010). Peraturan yang
April 2010. Kehadiran Perkom No. 1 Tahun 2010 menguatkan prinsip good
pembagian kewenangan.90
88
Destivanov Wibowo dan Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005) Hlm.365.
89
Andi Fahmi Lubis, et.all, Op.Cit., Hlm. 324.
90
Laporan KPPU Tahun 2010, tersedia di http://www.kppu.go.id/docs/Laporan/draft-
laporan-2010.pdf, Diunduh 4 Desember 2012.
klarifikasi kepada pelapor dan atau pihak lain. Penelitian dan klarifikasi
91
Tersedia di http://www.kppu.go.id
92
Rilda Murniati, Loc.Cit., Hlm. 448.
93
Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani monitoring
Pelaku Usaha untuk mendapatkan bukti awal dalam perkara inisiatif. Klarifikasi adalah kegiatan
yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani laporan untuk mendapat bukti awal dalam perkara
laporan. Pasal 1 Ayat (3) dan (4) Perkom No. 1 Tahun 2010.
diperpanjang paling lama 30(tiga puluh) hari kerja. Hasil penelitian dan
b. Pemberkasan
dan resume monitoring dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
c. Gelar Laporan
Gelar laporan96 dilakukan oleh Sekretariat Komisi dalam rapat gelar laporan
yang dihadiri oleh Pimpinan Komisi dan sejumlah Anggota Komisi yang
laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor dalam suatu gelar
94
Resume Laporan adalah laporan Sekretariat Komisi mengenai adanya dugaan
pelanggaran berdasarkan hasil penelitian dan klarifikasi. Pasal 1 Ayat (20) Perkom No. 1 Tahun
2006.
95
Pemberkasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang
menangani Pemberkasan dan penanganan perkara untuk meneliti kembali Laporan Hasil
Penyelidikan guna menyusun Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran untuk dilakukan Gelar
Laporan. Pasal 1 Ayat (7) Perkom No. 1 Tahun 2010.
96
Gelar Laporan adalah penjelasan mengenai Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran
yang disampaikan oleh unit kerja yang menangani Pemberkasan dan penanganan perkara dalam
Rapat Komisi. Pasal 1 Ayat (20) Perkom No. 1 Tahun 2010.
pemeriksaan pendahuluan.97
d. Pemeriksaan Pendahuluan
mendapatkan pengakuan terlapor dan atau bukti awal yang cukup tentang
selama tiga puluh hari sejak tanggal surat penetapan dimulainya pemeriksaan
pendahuluan sebagai mana diatur dalam Pasal 39 Ayat (1) UU No. 5 Tahun
1999 .
e. Pemeriksaan Lanjutan
mendukung. Bentuk alat bukti dapat langsung (direct) maupun tidak langsung
97
Rilda Murniati, Op.Cit, Hlm. 457.
98
Pemeriksaan Pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis
Komisi terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu
dilakukan Pemeriksaan Lanjutan. Pasal 1 Ayat (8) Perkom No. 1 Tahun 2010.
99
Binoto Nadapdap, Loc.Cit. Hlm. 42.
100
Pemeriksaan Lanjutan adalah serangkaian pemeriksaan dan/atau penyelidikan yang
dilakukan oleh Tim Pemeriksa lanjutan terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan
dan atau tidak adanya bukti pelanggaran. Pasal 1 Ayat (8) Perkom No. 1 Tahun 2010.
101
Binoto Nadapdap. Loc.Cit. Hlm. 46.
terdiri dari 3 (tiga) anggota Komisi, yang dipimpin seorang Ketua merangkap
pemeriksaan lanjutan.104
g. Putusan
telah terjadi atau tidak terjadi berdarkan penilaian hasil pemeriksaan lanjutan
dan atau dokumen atau alat bukti lain yang disertakan di dalamnya termasuk
lanjutan.105
Pada hukum persaingan usaha sudah jelas bahwa salah satu tugas Majelis Komisi
adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar dari
102
Sidang Majelis Komisi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh majelis komisi
untuk menilai ada tau tidak adanya bukti pelanggaran guna menyimpulkan dan memutuskan telah
terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif
sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Pasal 1 Ayat (21) Perkom No 1 Tahun 2010.
103
Pasal 7 Ayat (1) Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999.
104
Rilda Murniati, Op.Cit, Hlm. 466.
105
Ibid, Hlm 469.
melanggar ketentuan dari UU No. 5 Tahun 1999 .106 Adanya hubungan hukum
dalilnya yang menjadi dasar laporannya, hal itu bermakna bahwa laporannya akan
yang diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak pelapor atau
sebaliknya pihak pelaku usaha terlapor. Dengan perkataan lain, Majelis Komisi
sendiri yang akan menentukan pihak mana yang akan memikul beban
bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan
keadaan konkret harus dioerhatikan secara seksama oleh Majelis Komisi.109 Selain
untuk hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal, masih
terdapat satu hal lagi yang tidak perlu atau tidak harus dibuktikan, ialah berupa
hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai. Hal
tersebut terakhir ini dalam hukum disebut fakta notoir (notoire feiten) yaitu hal
106
Menurut Pasal 36 huruf (d) UU No. 5 Tahun 1999 salah satu wewenang KPPU adalah
menyimpulkan hasil penyelidikan atau pemeriksaan tentang ada atau tidaknya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
107
Binoto Nadapdap, Loc.Cit, Hlm. 57.
108
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, (Bandung: CV Mandar Maju, 2005), Cet. X., Hlm. 58-59.
109
Hal ini sesuai dengan asas dalam hukum yang mengatakan bahwa pihak yang mengadili
perkara harus mendengarkan kedua belah pihak yang berperkara secara seimbang. Audi et alteram
partem.
yang sudah merupakan pengetahuan umum. Fakta notoir110 merupakan hal atau
Tugas Majelis Komisi atau Tim Pemeriksa adalah menyelidiki apakah hubungan
hukum yang menjadi perkara benar-benar ada atau tidak. Hubungan hukum inilah
yang harus terbukti dimuka Komisi dan tugas pelapor dan terlapor adalah
Pasal tertentu dari UU No. 5 Tahun 1999 . Menerima dan membenarkan laporan
terlapor, hal ini mengandung arti Majelis Komisi sampai pada kesimpulan bahwa
adalah benar terjadi. Karena itu, membuktikan dalam arti yang luas adalah
Dalam arti yang terbatas pembuktian hanya diperlukan apabila laporan pelapor itu
dibantah oleh pelaku usaha terlapor. Karena itu apa yang tidak dibantah oleh
pelaku usaha terlapor, maka tidak perlu dibuktikan. Pasal 163 HIR menentukan
bahwa, barang siapa mengaku mempunyai hak atau mengajukan suatu peristiwa
110
Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan
bahwa harga tanah di Jakarta lebih mahal dari di desa.
111
Binoto Nadapdap, Op.Cit., Hlm. 58.
112
Ibid.
113
Ibid, bandingkan dengan R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,
(Jakarta, Pradnya Paramita, 2000), Cet. XIV. Hlm.62-63.
haknya orang lain (laporan pihak lain), maka orang itu harus membuktikan benar
Komisi akan menentukan, apa yang harus dibuktikan dan pihak mana yang harus
memberikan bukti. Artinya, Komisi akan menentukan pihak mana (pelapor atau
a. Keterangan saksi
114
Binoto Nadapdap, Op.Cit., Hlm. 59.
115
Lihat Juga Pasal 64 Ayat (1) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara oleh KPPU.
116
Pasal 1 Ayat (14) Perkom No. 1 Tahun 2010 menerangkan saksi adalah setiap orang atau
pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan
Pemeriksaan.
b. Keterangan ahli
Ahli menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang mahir,
paham sekali disuatu ilmu; mahir benar.117 Saksi ahli adalah seseorang yang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
No. 8 Tahun 1997 dokumen adalah data, catatan dan atau keterangan yang
kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam
dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca dan didengar.
d. Petunjuk
atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain,
117
Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit.,Hlm. 47.
118
Pasal 1 Ayat (16) menjelaskan Keterangan Ahli adalah keterangan orang yang diberikan
di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya.
119
Lihat Pasal 1 Ayat (28) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 KUHAP.
120
Binoto Nadapdap, Op.Cit., Hlm. 65.
Keterangan Pelaku usaha atau terlapor adalah apa yang terlapor nyatakan
alami sendiri.123
Azas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus
dipenuhi untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha atau dengan kata lain, azas
pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam menilai cukup atau
tidaknya alat bukti membuktikan salah satu atau tidaknya pelaku usaha.124 Pada
Pasal 64 Ayat (2) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 yang menjelaskan bahwa
Majelis Komisi menentukan sah atau tidak sahnya suatu alat bukti dan
121
Berpijak pada ketentuan Pasal 188 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP. Karena UU
No. 5 Tahun 1999 maupun Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2006 tidak mengatur dan tidak
memberikan penjelasan mengenai apa itu petunjuk dan bagaimana petunjuk tersebut dipergunakan
dalam pembuktian di KPPU.
122
Alat-alat bukti tersebut dalam UU No. 5 Tahun 1999 sama dengan alat-alat bukti yang
terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 184, dengan mengganti
“Keterangan Terdakwa” menjadi “Keterangan Pelaku Usaha”, dan dalam Peraturan KPPU No. 1
Tahun 2006 menjadi “Keterangan Terlapor”. Dengan demikian pelanggaran pidana dalam UU No.
5 Tahun 1999 menganut prinsip yang sama dengan KUHAP.
123
Berpijak pada ketentuan Pasal 189 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP.
124
Erman Rajagukguk, Pembaharuan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jurnal Butir-Butir Hukum
Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi – UI, 2011), Hlm. 55.
125
Berpijak berdasarkan prinsip Pasal 183 KUHAP, yaitu tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada pelaku usaha/ terlapor kecuali dengan sekurang-kurang dua alat bukti yang sah, harus
diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa pelaku usahalah
yang melakukannya.
menggunakan hukum yang sudah dipraktikkan di luar negeri. Sebagai contoh, hal
Kasus kartel jarang atau tidak memiliki bukti langsung (direct evidence/hard
evidence.128 Indirect Evidence adalah bukti tidak langsung atau disebut juga
perdagangan.
126
Erman Rajagukguk, Op.Cit.,Hlm. 53.
127
Sebagai contoh penggunaan indirect evidence dalam pembuktian adanya kartel kasus
Steel Cartel (Brazil) dan kasus Sao Paolo Airlines (Brazil).
128
Inggrid Gratsya Zega, Tinjauan Mengenai Indirect Evidence Sebagai Alat Bukti dalam
Kasus Dugaan Kartel Fuel Surcharge Maskapai Penerbangan Indonesia, Tesis, (Jakarta: Fakultas
Hukum - UI, 2012), Hlm. 81.
129
Erman Rajagukguk, Op.Cit.,Hlm. 54.
g. Logika.
kesepakatan.
homogen.
disinggung KPPU dalam latar belakang Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2010
aturan hukum lebih lanjut mengenai penggunaan indirect evidence ini, salah satu
upaya KPPU adalah dengan mengeluarkannya Perkom No. 4 Tahun 2011 tentang
1999 adalah suatu bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya
E. Kerangka Pikir
KPPU
Kartel
130
Lihat Bab IV Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan
Harga) UU No. 5 Tahun 1999 , Hlm. 17-24.
Keterangan:
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat. Kartel sebagai salah satu bentuk perjanjian yang dilarang mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat, berdasarkan hal tersebut tersebut jika
pelaku usaha terindikasi melakukan kartel maka yang harus dinilai oleh KPPU
adalah perjanjiannya. Perjanjian inilah yang akan menjadi alat bukti adanya kartel
sesuai dengan Perkom No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11
yang memang secara ilmiah diakui dan dapat menunjukkan korelasi antara satu
fakta dengan fakta lain bahwa memang telah terjadi pengaturan di dalamnya.
evidence sebagai alat bukti oleh KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel
kartel, proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence atas terjadinya
kartel, dan akibat hukum dari pembuktian indirect evidence atas terjadinya kartel.
tertentu dan konsistensi berarti tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka
sehingga dapat menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu
aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan
materi, konsistensi, penjelasan umum, dan pasal demi pasal.132 Menurut Soerjono
131
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), Hlm. 2.
132
Ibid, Hlm. 102.
B. Tipe Penelitian
pokok bahasan yang telah disusun dalam penelitian ini adalah tipe deskriptif. Tipe
rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek yang diteliti pada undang-
undang, atau peraturan daerah atau naskah kontrak atau objek kajian lainnya.134
Untuk itu, pada penelitian ini akan menggambarkan secara lengkap, rinci, jelas,
langsung) sebagai alat bukti KPPU terhadap pembuktian terjadinya kartel yang
C. Pendekatan Masalah
hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi
dengan mengacu kepada UU No. 5 Tahun 1999, Perkom No. 4 Tahun 2010, dan
133
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), Hlm.
15.
134
Ibid, hlm 115.
Perkom No. 1 Tahun 2010. Adapun yang menjadi substansi hukum pada
penelitian ini yaitu kedudukan dan prosedural yang harus ditempuh hingga sampai
kepada akibat hukum dari implementasi indirect evidence (alat bukti tidak
D. Sumber Data
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.135
Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam membahas
skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam
penelan ini adalah data sekunder, karena penelitian ini tergolong penelitian hukum
normatif.
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan bahan-bahan
hukum, jenis data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan ini terdiri dari:
tentang Kartel;
c) Perkom No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara KPPU.
135
Soerjono Soekanto, Op.Cit, Hlm 11.
136
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2007), Hlm. 52.
terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus hukum, majalah atau
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi
dokumen.
Kepustakaan sebagai suatu bahan yang berisi informasi yang diperlukan penelitian
137
Ibid.
138
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008),
Hlm. 103.
F. Lokasi Penelitian
Kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jl. Ir. Juanda No. 36 Jakarta Pusat.
G. Pengolahan Data
terkumpul apakah sudah cukup lengkap, sudah cukup benar, dan sudah sesuai
dengan permasalahan.
139
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm 126
H. Analisis Data
Setelah data diolah dan disusun secara sistematis selanjutnya dilakukan analisis
data secara kualitatif, artinya dengan cara menyajikan dan menguraikan data
dalam bentuk kalimat secara lebih rinci dan sistematis. Kemudian dilakukan
implementasi indirect evidence (alat bukti tidak langsung) sebagai alat bukti
IV. PEMBAHASAN
kartel. Pihak yang berperkara sering menyatakan kontra pada pendekatan ekonomi
teori hukum, yang tergantung pada model dan asumsi, bahkan dapat membuat
analisis yang berbeda bukan merupakan kejadian yang tidak biasa yang merujuk
pada kesimpulan mutlak bahwa bukti ekonomi tidak dapat diandalkan. Selain itu,
ekonomi.141
dalam pandangan hukum. Mengingat secara sistem hukum beracara baik dalam
HIR-RBG maupun dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak dikenal dalam alat bukti
yang secara eksplisit berbunyi bukti tidak langsung ataupun bukti ekonomi. Pakar
141
Sukarmi, Pembuktian Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan
Usaha, Edisi 6 – Tahun 2011, Hlm 149.
kasus kartel tidak dapat secara otomatis dipakai di dalam hukum di Indonesia.
Apalagi bila pelaku usaha tersebut diancam dengan membayar denda. Karena
suatu pelanggaran tindak pidana harus dibuktikan dengan hukum acara pidana
yang lazim.142 Berkaitan dengan pengungkapan sebuah kartel, maka KPPU harus
mampu membuktikan kepada publik, bahwa terdapat alat bukti yang cukup guna
dengan cara mengajukan alat bukti yang kuat untuk pengambilan putusan bahkan
Larangan kartel secara eksplisit merujuk dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999,
yang secara umum diartikan sebagai perjanjian di antara pelaku usaha yang
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika diperlukan deteksi dan pembebanan
sanksi terhadap pelaku kartel, sebab hal ini merupakan salah satu tugas yang
yang disebutkan dalam undang-undang adalah berupa suatu perbuatan satu atau
lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha
lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.144 Kondisi tersebut
maupun eksternal stabillitas suatu kartel, maka kebijakan larangan kartel akan
Sementara itu, penentuan ada atau tidaknya kolusi (persekongkolan) dalam suatu
142
Erman Rajagukguk, Sudah Saatnya UU No. 5 Tahun 1999 Diamandemen, tersedia di
http://www.forum-ngo.com, diunduh 21 Desember 2012.
143
Erman Rajagukguk, Butir-butir Hukum Ekonomi, Loc.Cit., Hlm. 55.
144
Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999.
industri adalah tergantung pada struktur pasar dari industri terkait serta efektivitas
Kedua bentuk kolusi di atas sangat sulit dideteksi oleh lembaga pengawas
penegakan hukum. Dalam hal ini diperlukan penentuan pimpinan (pelaku usaha
utama) atas tindakan kartel, karena tanpa mengetahui adanya pelaku utama, sulit
adanya pelaku utama kartel bukanlah merupakan alat bukti yang cukup untuk
145
Anna Maria Tri Anggraini, Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel
Bedasarkan Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4 – Tahun 2010, Hlm 41.
146
Riris Munadiya, Loc.Cit., Hlm 164.
menggugat suatu kartel. Guna mendeteksi suatu kartel, paling tidak harus
Bukti langsung merupakan bukti nyata atau berwujud yang menunjukkan telah
dilakukan;
Mekanisme lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha dalam kartel adalah
147
Ibid.
148
Ibid, Hlm. 173.
149
Ibid.
5. Adanya punishment terhadap perusahaan yang tidak mau ikut kerjasama; dan
Berdasarkan jenis alat bukti tersebut di atas, maka alat bukti yang diperlukan
wilayah pemasaran;
2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list), jumlah produski dan jumlah
atau tahunan);
perubahannya.
150
Perkom No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel
berdasarkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, Hlm 23.
7. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan
harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat
kartel;
pendorong kartel.
Pencegahan yang paling ampuh atas suatu kartel adalah mendeteksi perilaku
kartel secara efektif serta menjelaskan konsekuensi kepada pihak terkait jika
terdapat tindakan kartel. Karena itu, pertama, harus terdapat ancaman serius dari
jelas atas suatu kartel paling tidak bermanfaat atas dua hal, yakni pertama,
Dalam mendeteksi kartel diperlukan petunjuk dan informasi atas pelopor dalam
implementasi tindakan kartel serta dampak negatif kartel terhadap persaingan dan
petunjuk atas tindakan kartel. Dalam hal ini, adalah suatu keharusan dalam
151
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit, Hlm. 41
mendeteksi kartel, bahwa seseorang harus mengetahui tindakan apa yang akan
dicari dan bersikap hati-hati dalam menentukan perilaku mana yang dianggap
ilegal. Sikap dan tindakan inilah yang seharusnya dimiliki dan dilakukan oleh
otoritas persaingan.152
Biasanya tindakan kartel dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia, sehingga
deteksi terhadap kartel bukanlah pekerjaan yang mudah. Kartel menjadi sulit
Jarang sekali pelaku usaha yang secara terang-terangan membuat perjanjian antar
merahasiakan kegiatan mereka dan tidak bekerja sama dengan penyelidik untuk
membuka kasus ini kecuali adanya keuntungan bagi pelaku usaha yang terlibat
seperti dengan adanya liniency program.154 Akan tetapi, dalam kondisi dimana
152
Ibid.
153
Ibid, Hlm. 42.
154
Leniency Program dalam deteksi kartel yang dimaksudkan di atas, adalah kekebalan
hukum atau keringanan hukum, dan dapat dilakukan baik oleh perorangan, karyawan perusahaan,
maupun perusahaan yang pertamatama memberikan keterangan atau informasi terkait dengan
praktek kartel. Leniency program yang saat ini banyak diterapkan di negara lain dalam mendeteksi
kartel juga bertujuan untuk mendapatkan informasi awal mengenai keberadaan kartel. Leniency
program dapat memecahkan kerahasiaan di antara pelaku kartel. Program tersebut telah sangat
sukses memberikan pengampunan (amnesty) kepada pelaku kartel yang pertama kali mengakui
tindakannya serta membuka perilaku tersebut kepada penegak hukum.
sehingga pembuktian tidak langsung menjadi salah satu solusinya. Dalam hal ini,
negara, dimana terdapat tidak hanya satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
menangani kartel dengan kondisi yang variatif. Artinya, bahwa otoritas persaingan
dapat menggunakan berbagai cara yang efektif dalam melakukan investigasi untuk
mendeteksi kartel, yang tidak hanya tergantung pada alat bukti secara langsung
saja (direct evidence). Dalam kasus kartel di luar negeri, pembuktian secara
indirect evidence juga sering dilakukan pada kasus kartel sebagai substansi
demikian, evaluasi spesifik atas informasi yang dimiliki tersebut perlu dilakukan
agar tidak disalahartikan. Sebagai contoh, kenaikan harga secara simultan yang
terdapat di pasar dapat memiliki penjelasan lain selain perjanjian kartel. Dapat
jadi harga input atau harga dari produk substitusi berubah sehingga semua pelaku
yang dimiliki tersebut perlu dilakukan agar tidak disalahartikan. Sebagai contoh,
kenaikan harga secara simultan yang terdapat di pasar dapat memiliki penjelasan
155
Ibid, Hlm. 43.
lain selain perjanjian kartel. Dapat jadi harga input atau harga dari produk
evidence seperti paralel harga harus diinterpretasikan dengan hati-hati, dan harus
evidence. Alasan yang paling penting adalah bahwa kedudukan dan fungsi otoritas
eksternal, melainkan sangat mengatur dan terlibat dalam proses deteksi.157 Bahkan
(inside information), yang berkaitan dengan kartel, maka deteksi atas kartel masih
tetap dapat dilanjutkan. Metode proaktif158 dapat menjadi pelengkap dari metode
reaktif,159 seperti misalnya mendorong para pihak baik secara individual maupun
156
Ibid, Hlm. 165.
157
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit, Hlm. 43
158
Metode Proaktif, yakni metode pendekatan yang diinisiasi oleh otoritas persaingan
untuk mendeteksi kartel. Inisiatif ini dapat dilakukan dalam bentuk penggunaan analisis/studi
tentang ekonomi atau analisis/studi tentang pasar, atau monitoring kegiatan industri/sektor tertentu
dengan menggunakan analisis ekonomi.
159
Metode Reaktif adalah metode yang didasarkan pada beberapa kondisi eksternal yang
terjadi sebelum otoritas persaingan menyadari beberapa kemungkinan atas issue kartel dan
memulai suatu investigasi, misalnya dengan menggunakan informasi orang dalam untuk
mendeteksi kartel.
160
Whistle blower adalah istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota
dari suatu institusi atau organisasi, yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar
ketentuan kepada pihak yang berwenang. Berdasarkan gambar di atas, whistle blower yang
dimaksud berasal dari karyawan pelaku usaha yang ikut melakukan kartel. Whistle blower bersifat
perorangan yang diberi insentif untuk melaporkan adanya praktek kartel sehingga menjadi saksi
dalam perilaku kartel. Melalui kesaksiannya, maka dapat diperoleh dokumen maupun perjanjian
yang mendukung adanya praktek kartel. Hal ini diperlukan sebelum dilakukan penyitaan terhadap
barang bukti dokumen tersebut. Terkait dengan hal tersebut, perlu adanya kekebalan terhadap
memberikan gambaran penguatan akan praktek kartel itu sendiri. Analisa ekonomi
harus dibatasi sedemikian rupa karena bukti-bukti ini kabur dan memiliki multi
tafsir. Bukti-bukti tidak langsung ini dapat digunakan dan seringkali digunakan
Industri Minyak Goreng Sawit memberikan pelajaran yang cukup berarti dan
terobosan yang bagus dalam sisi hukum bahwa indirect evidence dapat dijadikan
ekonomi menjadi salah satu kunci penting dalam penggunaan bukti tidak langsung
untuk menduga (infere) adanya koordinasi atau kesepakatan diantara pelaku usaha
di pasar. Analisis plus factor perlu dilakukan untuk dapat dijadikan bukti tidak
berikut ini, namun tidak terbatas pada: rasionalitas penetapan harga, analisis
saksi yang dapat melindungi kunci utama pembuka praktek kartel tersebut. Insentif yang diberikan
kepada whistle blower tergantung pada yurisdiksi negara yang bersangkutan.
161
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit, Hlm 44.
162
Toha Kurnia, “Tinjauan Kritis Terhadap Kualitas Subtansi (Aspek Material dan Formil)
dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999”, Makalah disampaikan dalam seminar “10 Tahun
Penegakan Hukum Persaingan Usaha dan Wacana Judicial Review Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dsn Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jakarta 8
Desemer 2010, Hlm. 15.
Penggunaan analisis ekonomi menjadi salah satu kunci penting dalam penggunaan
berperan sebagai alat untuk menduga adanya koordinasi atau kesepakatan diantara
pelaku usaha di pasar. Analisis plus factor yang dikemukakan sebelumnya pada
penetapan harga.
dimasukkan dalam alat bukti petunjuk. Dengan demikian tidak ada pelanggaran
yang dilakukan oleh KPPU ketika memasukkan bukti tidak langsung maupun
bukti ekonomi dalam kategori alat bukti untuk membuktikan adanya kartel.
Beberapa alat bukti tidak langsung maupun bukti ekonomi hanya dihitung satu
sebagai petunjuk untuk itu tentunya harus didukung dengan alat bukti lainnya,
163
Sukarmi, Loc.Cit., Hlm. 151.
164
Ibid.
dibutuhkan minimal dua alat bukti untuk dapat dikatakan perbuatan dianggap
melanggar undang-undang.165
Berdasarkan kasus yang pernah diputus oleh KPPU dan bahkan dikuatkan oleh
pihak pengadilan maka indirect evidence dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam
membuktikan perkara persaingan usaha dalam hal ini adalah kartel. Kedudukan
indirect evidence dalam pembuktian kartel pada Hukum Persaingan Usaha adalah
bukti pendukung untuk memperkuat alat bukti lainnya dan dikategorikan sebagai
alat bukti petunjuk. Indirect evidence ini dapat dijadikan alat bukti dalam
yang harus dilengkapi dengan alat bukti lain, untuk dapat dikategorikan sebagai
alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.
Tentu formulasinya harus dimasukan dalam kerangka alat bukti yang terdapat
Tipe pembuktian indirect evidence terdapat dua macam, yaitu meliputi bukti
komunikasi dan bukti ekonomi (analisis ekonomi). Bukti komunikasi adalah bukti
antar pelaku usaha yang dicurigai kartel, atau perjalanan mereka ke suatu tujuan
yang sama. Sedangkan bukti ekonomi dapat dibagi menjadi bukti perilaku dan
165
Ibid, Hlm. 152.
bukti struktur.166 Seperti disebutkan di atas, bahwa salah satu pembuktian indirect
Penggunaan analisis ekonomi dalam kartel artinya adalah studi atau metodologi
kolusif.167
Secara umum analisis ekonomi dapat dibagi menjadi dua metodologi, yakni
yang kondusif untuk melakukan tindakan kolusif. Dalam beberapa studi atau
suatu kartel. Sebagai contoh misalnya terbentuknya kartel dalam suatu pasar akan
mudah terjadi jika pasar terdiri atas beberapa pelaku usaha, dengan produk yang
yakni:169
166
Riris Munadiya, Op.Cit., Hlm 174.
167
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit, Hlm 44.
168
Ibid.
169
Perkom No. 4 Tahun 2010, Hlm. 20-21.
2. Ukuran perusahaan
Kartel akan lebih mudah terbentuk jika pelaku utama atau pelopornya adalah
pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat dicapai
dengan lebih mudah, karena kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi
3. Homogenitas produk
Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi
konsumen terhadap seluruh produk tidak berbeda jauh. Hal ini menjadikan
menghancurkan laba mereka. Dalam hal ini, KPPU dapat melakukan survey
4. Kontrak multipasar
multipasar dengan pesaingnya yang juga memiliki sasaran pasar yang luas.
beberapa segmen pasar. Kontak yang berkali-kali ini dapat mendorong para
kolaborasi, dengan membagi wilayah pasar atau menurunkan harga. Selain itu,
tidak ada insentif bagi para pelaku usaha tersebut untuk tidak ikut dalam kartel
permintaan saat ini. Untuk mencegah persaingan harga yang merugikan, pada
kondisi ini para pelaku usaha akan mudah terperangkap dalam perilaku kartel
harga, yaitu menyepakati harga tertentu atau harga minimum. Selain itu,
kartel.
6. Keterkaitan kepemilikan
baru untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan suatu kartel. Peluang
pendatang baru untuk mengisi kekosongan pasar akibat harga kartel yang
tinggi agak tertutup. Dengan demikian kartel akan dapat bertahan dari
Permintaan yang teratur dan inelastis dengan pertumbuhan yang stabil akan
bagi para peserta kartel utuk memprediksi dan menghitung tingkat produksi
jika permintaan sangat fluktuatif, elastik dan tidak teratur, maka akan
menyulitkan terbentuknya kartel. Para peserta akan berebut order pada saat
sifat permintaan yang elastis. KPPU dapat mengukur karakter permintaan ini
baik melalui survei dan penelitian pasar maupun informasi dari para produsen.
Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan dan akhirnya
membubarkan kartel. Dengan posisi ini, pembeli akan mudah mencari penjual
yang mau memasok dengan harga rendah, yang berarti mendorong penjual
untuk tidak mematuhi harga kesepakatan kartel. Pada akhirnya kartel tidak
Pendeketan lain adalah pendekatan perilaku, yang lebih menekankan pada sebuah
Pendekatan ini berfokus pada dampak terhadap pasar atas koordinasi tersebut.
Hal-hal yang perlu dicurigai antara lain adalah harga, rabat atau diskon yang sama
atau identik di antara pesaing, pergerakan harga yang paralel atau kenaikan harga
yang unjustified atau unexplained, atau pemasok yang berbeda menaikkan harga
dengan margin yang sama dalam waktu yang bersamaan. Namun demikian,
Menurut Perkom No. 4 Tahun 2010, faktor perilaku ini antara lain meliputi:171
Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran
informasi dan transparansi diantara mereka. Peran asosiasi yang kuat seringkali
terlihat sebagai media pertukaran ini. Data produksi dan harga jual yang
melalui asosiasi, yang akan terlihat janggal jika sesama pelaku usaha saling
memberikan harga dan data produksi diantara mereka tanpa tujuan tertentu,
170
Anna Maria Tri Anggraini, Op.Cit, Hlm 46.
171
Perkom No. 4 Tahun 2010, Hlm. 22.
adanya kartel di suatu industri. Misanya kebijakan harga tunggal (one price
monitoring yang efektif antar anggota kartel terhadap kesepakatan harga kartel.
Begitu pula keharusan memperoleh harga yang sama seperti MFN (Most
Favored Nations) atau Meet the Competition dalam suatu kontrak akan
kartel, perilaku pengaturan harga dan kontrak patut dicurigai KPPU sebagai
dugaan kartel. Analisis yang cermat atas perbuatan para pelaku usaha sangat
suatu tindakan yang bertentangan dengan kepentingan pribadi para pihak, maka
1. Parallel pricing, yaitu perubahan harga yang identik antar para pelaku usaha
pesaing, atau hampir identik. Ini termasuk bentuk lain dari parallel conduct,
172
OECD, “Prosecuting Cartelswithout Direct Evidence of Agreemen, Policy Brief” Edisi
2006, http://www.oecd.org/dataoecd/11/30/38704302.pdf, diunduh 11 November 2012, Hlm.21
2. Kinerja industry juga dapat digambarkan sebagai conduct evidence. Hal ini
termasuk:173
3. Bukti yang berhubungan dengan struktur pasar juga dapat digunakan terutama
untuk membuat penemuan perjanjian kartel lebih masuk akal, meskipun faktor
a. Konsentrasi tinggi
Jenis bukti ekonomi yang spesifik adalah facilitating practices, yaitu kegiatan
dapat dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan promosi dalam waktu
melalui asosiasi.176
173
Ibid. Hlm. 22
174
Ibid.
175
Ibid.
176
Ibid.
Proses pembuktian dengan alat bukti indirect evidence atas terjadinya kartel
berdasarkan kasus yang pernah diputus oleh KPPU dan bahkan dikuatkan oleh
pihak pengadilan berupa bukti komunikasi dan bukti ekonomi (analisis ekonomi).
goreng yang digunakan KPPU sebagai indirect evidence ialah bukti komunikasi,
diputuskan pada Selasa, 4 Mei 2010 mengenai dugaan terhadap pelanggaran Pasal
4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 akan diuraikan untuk mengetahui
yang bergerak dibidang industri minyak goreng. Ke-21 Pelaku usaha tersebut
Sumatera Utara
20241
12 Terlapor PT Permata Jl. Iskandar Muda Kegiatan usaha antara lain
XII Hijau Sawit No. 107, Medan produksi dan penjualan
20154 minyak goreng curah
13 Terlapor PT Nagamas Jl. Iskandar Muda Kegiatan usaha antara lain
XIII Palmoil No. 107, Medan produksi dan penjualan
Lestari 20154 minyak goreng curah
14 Terlapor PT Nubika Jl. Iskandar Muda Kegiatan usaha antara lain
XIV Jaya No. 107, Medan produksi dan penjualan
20154 minyak goreng curah
15 Terlapor PT Smart, BII Plaza Tower II, Kegiatan produksi dan
XV Tbk Lt. 20, Jl. M.H. penjualan minyak goreng
Thamrin No. 51 curah dan kemasan
Jakarta 10350 dengan merek Filma,
Kunci Mas
16 Terlapor PT Salim Sudirman Plaza – Merupakan produsen
XVI Ivomas Indofood Tower Lt. minyak goreng curah dan
Pratama 22 Jl. Jend. kemasan dengan merek
Sudirman Kav. 76- Bimoli, Delima dan
78 Jakarta 12910 Mahakam
17 Terlapor PT Bina Focus Bldg. Comp Kegiatan usaha antara lain
XVII Karya Prima Mitra Sunter Blok produksi dan penjualan
B1-B4, Jl. Yos minyak goreng curah dan
Sudarso Kav. 89, kemasan dengan merek
Sunter, Jakarta Tropical
Utara 14350
18 Terlapor PT Tunas Wisma Budi Lt. 9, Bergerak di bidang
XVIII Baru Jl. H. Rasuna Said produksi minyak goreng
Lampung Kav. C-6, Jakarta - curah dan kemasan
Selatan dengan merek Rose Brand
19 Terlapor PT Berlian Jl. K. L. Yos Kegiatan usaha antara lain
XIX Eka Sakti Sudarso No. 15 , produksi dan penjualan
Tangguh Km. 6, Medan minyak goreng curah
20116
20 Terlapor PT Pacific Jl. Pulau Bawean Kegiatan usaha antara lain
XX Palmindo Kawasan Industri produksi dan penjualan
Industri Medan II, Mabar, minyak goreng curah
Medan 20242
21 Terlapor PT Asian Jl. Semarang Blok Kegiatan usaha antara lain
XXI Agro Agung A-6/1, KBN produksi dan penjualan
Jaya Marunda Cilincing, minyak goreng curah dan
Jakarta Utara kemasan dengan merk
14150 Camar dan Harumas
1999 mengenai oligopoly, penetapan harga, serta kartel dibidang industry minyak
terdapat bukti awal yang cukup tentang adanya dugaan pelanggaran Pasal 4, Pasal
Tim pemeriksa telah mendengar keterangan dari para Terlapor dan para Saksi
goreng merupakan industri yang memiliki nilai strategis karena berfungsi sebagai
kelapa sawit sebagai komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat
saat ini. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya ketersediaan bahan baku lain
Karakteristik kelapa sawit yang memiliki berbagai macam produk turunan juga
177
Putusan KPPU No. 24/KPPU-I/2009 Tentang Minyak Goreng, Hlm. 2
minyak goreng yang oligopoli telah mendorong perilaku beberapa pelaku usaha
tidak responsive dengan pergerakan harga CPO padahal CPO merupakan bahan
baku utama dari minyak goreng. Hal tersebut tercermin dari periode waktu tahun
2007 hingga tahun 2009. Atas dasar hal tersebut, Tim Pemeriksa menduga adanya
Indonesia dikatakan sebagai Negara CPO terbesar di dunia karena budi daya
sangat mendukung budi daya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit sehingga
kelapa sawit dipandang yang sangat potensial karena memiliki banyak produk
turunan dan/atau sampingan selain minyak goreng yang juga mempunyai nilai
komersial.
dimana pada tahun 1980 sebesar 289.526 Ha, tahun 1990 sebesar 1.126.677 Ha,
tahun 2000 sebesar 4.158.077 Ha dan tahun 2005 sebesar 5.508.219 Ha.180
178
Ibid, Hlm.4
179
Ibid, Hlm. 5.
180
Ibid.
Tim Pemeriksa memperoleh fakta bahwa terdapat beberapa referensi harga CPO
yang digunakan oleh para pelaku usaha sebagai dasar pertimbangan dalam
Hubungan terkait yang erat antara industri kelapa sawit dengan minyak goreng
pasokan bahan bakunya. Dari sisi peraturan atau regulasi, pemerintah juga
Sistem pemasaran dalam minyak goreng dapat dilihat dari jenis minyak goreng
merupakan afiliasinya maupun perusahaan lain yang sama sekali tidak memiliki
181
Ibid, Hlm. 7.
182
Ibid, Hlm. 8.
saja dimana distributor mendapatkan marketing fee berkisar 5%. Sebaliknya hal
tersebut tidak terjadi pada system pemasaran minyak goreng curah, sebagian besar
Hal tersebut terkait dengan karakteristik produk itu sendiri yang sangat
berfluktuasi harganya dan daya tahan produk yang tidak terlalu lama. Produsen
biasanya hanya melayani pembelian dalam jumlah besar kepada konsumen antara
pembeli besar dengan sistem jual beli putus. Oleh karena itu, produsen tidak
produsen minyak goreng curah hanya pada harga jual langsung pada saat minyak
oleh pemerintah dengan tujuan menstabilkan harga minyak goreng dan untuk
183
Ibid, Hlm. 29.
184
Ibid, Hlm. 30.
dituju.
melalui distributor atau pengecer besar. Lokasi penjualan harus sesuai dengan
tingkat konsumen diharapkan sebesar Rp. 8.500,00 (delapan ribu lima ratus
adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu
oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
sebagai berikut:
(1)Pasar produk, dimana berkaitan dengan pasar produk ini dapat dilihat dari
a. Fungsi atau kegunaan secara umum saat ini masyarakat membagi produk
minyak goreng yang ada di pasar menjadi 2 (dua) macam yaitu minyak
minyak goreng kemasan (bermerek) yang antara lain dapat dilihat dari sisi
Minyak goreng curah biasanya dipasarkan oleh para produsen secara jual
pembelian dalam jumlah atau volume yang besar. Kualitas minyak curah
ini relatif cukup rendah karena dihasilkan dari CPO dengan komposisi 75%
(tujuh puluh lima persen) sehingga karena memiliki kualitas rendah maka
apabila dilihat dari sisi kejernihan produk maka relatif tidak sejernih
penyimpanan minyak curah ini tidak terlalu lama yaitu sekitar 1 (satu)
melalui distributor yang ditunjuk oleh produsen dengan sistem komisi yang
kantong plastik 1 liter, 2 liter atau dengan jerigen. Kualitas minyak goreng
karena dihasilkan dari CPO dengan komposisi 45% (empat puluh lima
persen) hingga 65% (enam puluh lima persen) setelah melalui beberapa kali
jernih dan kadar olein yang tinggi. Oleh karena itu, minyak goreng
c. Harga, salah satu komponen penting dari suatu produk yang akan sangat
tidak adalah harga. Perbedaan tingkat harga yang ditetapkan oleh produsen
dimana harga minyak goreng curah ditetapkan dengan harga jual yang lebih
komposisi sekitar 45% (empat puluh lima persen) hingga 65% (enam puluh
memiliki fungsi atau kegunaan yang sama namun minyak goreng curah dan
harga yang berbeda sehingga tidak dalam pasar bersangkutan yang sama.
adanya hambatan regulasi. Selain itu kebijakan harga yang dilakukan para
Secara umum jumlah pelaku usaha yang ada pada suatu pasar akan
usaha yang ada dalam suatu pasar akan meningkatkan konsentrasinya pada
pasar tersebut. Meskipun demikian, ketika suatu pasar terdapat banyak pelaku
usaha namun penguasaan pasar hanya dilakukan oleh beberapa pelaku usaha
maka pasar tersebut juga memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi. Atas dasar
tersebut, tingkat konsentrasi pasar minyak goreng curah dan kemasan dapat
185
Ibid, Hlm. 36
terbesar yang relatif stabil dengan interval 86,46% - 97,57%. Secara umum
pasar minyak goreng curah kedua kelompok usaha tersebut diikuti oleh PT
tahun 2007 sampai dengan bulan Agustus 2009 relatif stabil berada di
186
Ibid.
terjadi dipasar (price maker). Sedangkan perusahaan dengan pangsa pasar yang
menjadi market leader dengan perusahaan yang menjadi follower pada masing-
masing segmen produk minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan.
antara Musim Mas Group dan Wilmar Group selaku market leader relatif sama
Salim Ivomas Pratama, Wilmar Group, PT Smart, Tbk dan PT Bina Karya
Prima selaku market leader relatif sama. Besaran produksi tersebut terpisah
antara perusahaan yang menjadi market leader tidak akan dianalisis sama
market follower. Hal ini didukung dari keterangan perusahaan follower yang
(4)Homogenitas Produk
dilakukan hanya terjadi pada produk kemasan dalam bentuk brand (merek).
satu produk yang tidak diikuti oleh produk lainnya akan menyebabkan
Tingkat hambatan masuk didalam pasar minyak goreng kemasan relatif tinggi.
modal yang besar agar dapat mencapai skala ekonomi sehingga dapat bersaing
dan membutuhkan biaya promosi yang tinggi agar dapat dikenal oleh
kartel karena peluang pendatang baru untuk masuk ke dalam pasar dan merebut
(6)Karakteristik Permintaan
dilihat dari jumlah penjualan pada saat terjadi perubahan harga. Ketika terjadi
dan Tender PT Astra Agro Lestari) dengan harga minyak goreng yang
ditetapkan oleh para Telapor. Hal tersebut terjadi karena setiap transaksi
baku minyak goreng dan didukung oleh transparansi harga jual minyak goreng
market leader untuk melakukan koordinasi harga jual. Pergerakan harga CPO
dan fluktuasi harga minyak goreng yang ada di pasar digunakan oleh para
perusahaan baik yang memiliki posisi market leader maupun follower sebagai
Khusus untuk minyak goreng kemasan, pola distribusi dari semua minyak
goreng kemasan salah satunya dilakukan melalui retail modern yang tersebar di
penyesuaian harga berkala melalui media promosi yang dikeluarkan oleh retail
modern. Media promosi dari retail modern ini diiklankan di media nasional
(8)Paralel Pricing.
Uji Homogenity of Varians, Uji ini merupakan uji statistik yang dilakukan
sehingga dapat mengetahui pergerakan harga setiap perusahaan akan sama, dan
uji ini dapat untuk membuktikan price parallelism yang dilakukan oleh
Uji dapat dilihat dari nilai probabilitas, jika nilai probabilitas dibawah 5%,
maka Ho ditolak dan tidak ada price parallelism, dan sebaliknya jika nilai
187
Ibid, Hlm. 39-41.
sesama pelaku usaha minyak goreng curah. Atau dapat juga disimpulkan
bahwa ada kartel penetapan harga oleh perusahaan minyak goreng curah.
Uji dapat dilihat dari nilai probabilitas, jika nilai probabilitas dibawah 5%,
maka Ho ditolak dan tidak ada price parallelism, dan sebaliknya jika nilai
price parallelism belum cukup membuktikan tentang adanya penetapan harga atau
188
OECD, Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement, Policy Brief Edisi
Juni 2007.
189
Ibid, Hlm. 57-58.
secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada
tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam dalam
Terdapat 2 (dua) tipe bukti ekonomi yaitu bukti yang terkait dengan struktur
dan perilaku. Dalam perkara ini, industri minyak goreng baik curah dan
usaha (oligopoli). Adapun bukti ekonomi yang berupa perilaku tercermin dari
(3) Facilitating practices yang dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan
kerugian bagi konsumen untuk memperoleh harga minyak goreng yang lebih
rendah karena kontribusi CPO sebagai bahan baku utama adalah 87% dari total
periode bulan Januari 2007 hingga bulan Maret 2008 dengan periode bulan April
memperoleh fakta adanya kerugian konsumen selama periode bulan April 2008
untuk produk minyak goreng kemasan dan sebesar Rp. 374.298.034.526,00 untuk
kartel harga dapat menggunakan bukti komunikasi dan bukti ekonomi sebagai
bukti tidak langsung. Berkaitan dengan bukti komunikasi, Majelis Komisi menilai
maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 29 Februari
2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam dalam pertemuan dan/atau
komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga, kapasitas produksi, dan
struktur biaya produksi. Berkaitan dengan bukti ekonomi, Majelis Komisi menilai
struktur pasar merupakan oligopoli yang semakin terkonsentrasi dan perilaku para
practices yang dilakukan melalui price signaling. Atas dasar indirect evidence
price parallelism tersebut ditetapkan oleh para Terlapor kepada pembeli atau
pelanggan para Terlapor selaku konsumen antara produk minyak goreng. Majelis
tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang dilakukan oleh antar pelaku
usaha yang bersaing dalam hal ini para Terlapor untuk menetapkan harga minyak
190
Ibid, Hlm. 59
goreng yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
telah terjadi atau tidak terjadi berdasarkan Hasil pemeriksaan Lanjutan dan/atau
dokumen atau alat bukti lain yang disertakan didalamnya termasuk pendapat atau
Majelis Komisi pada hari Selasa, tanggal 4 Mei 2010 dan dibacakan di muka
persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum pada hari yang sama oleh
Majelis Komisi yang terdiri dari Ir. Dedie S. Martadisastra, SE.,MM sebagai
Ketua Majelis, Yoyo Arifardhani, S.H., M.M., LL.M dan Didik Akhmadi, Ak,
Panitera. Berdasarkan fakta dan bukti yang diperoleh selama Sidang Majelis,
Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999 untuk pasar VII, VIII, IX, X, XI,
minyak goreng curah. XV, XIX, dan XXI.
2 Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar I, II, IV, XV, XVI,
Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak dan XVII.
goreng kemasan (bermerek).
3 Tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU No. 5 Tahun XII, XIII, XVIII, dan
1999 dalam pasar minyak goreng curah. XX.
4 Tidak terbukti melanggar Pasal 4 UU No. 5 Tahun X, XVIII, dan XXI.
1999 dalam pasar minyak goreng kemasan
(bermerek).
5 Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar I, II, III, IV, V, VI,
Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak VII, VIII, IX, X, XI,
goreng curah. XII, XIV, XV,
XVIII, XIX, XX,
dan XXI.
6 Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar I, II, IV, X, XV,
Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 untuk pasar minyak XVI, XVII, XVIII,
goreng kemasan (bermerek). dan XXI.
7 Tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun XIII
1999 untuk pasar minyak goreng curah.
8 Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar I, II, IV, X, XV,
Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 untuk pasar XVI, XVII, XVIII,
minyak goreng kemasan (bermerek); dan XXI.
9 Tidak terbukti melanggar Pasal 11 UU No. 5 I, II, III, IV, V, VI,
Tahun 1999 untuk pasar minyak goreng curah VII, VIII, IX, X, XI,
XII, XIII, XIV, XV,
XVIII, XIX, XX,
dan XXI.
10 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. I, IV, V, XV, XVI,
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan XVII.
yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai
Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang
Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah.
11 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. II, VII, X,
20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) yang
harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang
Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah
12 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. VI, VIII dan XI
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) yang
harus disetorkan ke Kas Negara sebagai Setoran
Pendapatan Denda Pelanggaran di bidang
Persaingan Usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui Bank Pemerintah.
13 Menghukum untuk membayar denda sebesar Rp. XVIII, XIX, XX,
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) yang dan XXI.
Dalam perkara ini, Majelis Komisi menemukan fakta tidak tersedianya data
produksi dan volume perdagangan minyak goreng sawit di pasar domestik. Oleh
nasional.
Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010 tentang penetapan harga dan kartel industri
semen yang diputuskan pada Rabu, 18 Agustus 2010 mengenai dugaan terhadap
pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 akan diuraikan untuk
yang bergerak dibidang industri semen. Ke-8 Pelaku usaha tersebut ditunjukan
lebih bermanfaat.
6 Terlapor PT. Semen Biringere- Mengolah bahan-bahan
VI Tonasa Pangkep pokok menjadi berbagai
Sulawesi macam semen (portland,
Selatan 90651 semen putih dan lainnya)
serta mengolah berbagai
macam semen atau produk
lainnya atau lebih lanjut
menjadi barang-barang jadi
lebih bermanfaat.
7 Terlapor PT. Semen Indarung Membeli dan menerima
VII Padang Padang 25237 semen dari produsen dalam
Sumatera bentuk bag dan curah untuk
Barat daerah pemasaran tertentu
dengan tidak mengurangi
hak distributor untuk
memasarkan pada daerah
lain akan tetapi dengan
terlebih dahulu
memberitahukan kepada
produsen (perjanjian
distributor
No.122/PJJ/DEPPP/01.08).
8 Terlapor PT. Semen Menara Mengolah bahan-bahan
VIII Bosowa Maros Bosowa, pokok menjadi berbagai
Lantai 19 Jl. macam semen (portland,
Jenderal semen putih dan lainnya)
Sudirman No. serta mengolah berbagai
5 Makassar, macam semen atau produk
Sulawesi lainnya atau lebih lanjut
Selatan menjadi barang-barang jadi
lebih bermanfaat.
langsung akibat dari ketatnya persaingan dalam dunia usaha. Setiap pelaku usaha
eksistensinya. Cara-cara yang dilakukan kadang melalui tindakan ilegal yang pada
akhirnya merusak iklim persaingan usaha itu sendiri. Industri semen baru-baru ini
tengah mendapat sorotan terkait dugaan tindakan kartel yang melibatkan anggota
Asosiasi Semen Indonesia (ASI). Kartel merupakan salah satu pelanggaran hukum
persaingan usaha dengan dampak kerugian sangat besar bagi negara serta
pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 terkait dengan dugaan kartel dalam
industry semen di Indonesia. Tim Pemeriksa menemukan adanya bukti awal yang
cukup terhadap dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999
yang dilakukan oleh para Terlapor dan merekomendasikan kepada Komisi untuk
Pemahaman kartel yang umum dalam hukum persaingan usaha adalah bentuk
kolusi antar pelaku usaha untuk mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
sehingga disebut sebagai faktor pendorong. Kartel dalam UU No. 5 Tahun 1999
putusannya, KPPU pada kasus kartel semen melakukan dua pembuktian yang
dikenal direct evidence dan indirect evidence. Direct evidence adalah bukti
193
Putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010 Tentang Penetapan Harga dan Kartel Dalam
Industri Semen, Hlm. 2.
evidence adalah bukti tidak langsung dengan melihat keadaan pasar industri
semen di berbagai daerah di Indonesia dari berbagai aspek yang berkaitan dengan
pembentukan kartel.
Sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2009, terjadi peningkatan permintaan
11,41% (sebelas koma empat puluh satu persen) dan peningkatan terendah
terjadi pada tahun 2009 yaitu 0,89% (nol koma delapan puluh sembilan
penjualan pada tahun 2007 juga dihadapi oleh Terlapor VIII. Sedangkan
Terlapor II yang pada tahun 2006 mengalami penurunan penjualan, maka pada
sebesar 14,50% (empat belas koma lima puluh persen). Pada tahun 2008,
sebesar 11,41% (sebelas koma empat puluh satu persen), seluruh Terlapor
oleh Terlapor VIII sebesar 36,45% (tiga puluh enam koma empat puluh lima
persen). Pada tahun 2009, pada saat petumbuhan permintaan secara nasional
hanya mencatat sebesar 0,89% (nol koma delapan puluh sembilan persen), 4
(empat perusahaan) yaitu Terlapor I, Terlapor III, Terlapor V dan Terlapor VII
Dari tabel di atas, terlihat bahwa Terlapor I dan Terlapor II memiliki pasokan
yang cukup untuk mengambil alih pangsa pasar Terlapor lain yang
194
Ibid, Hlm. 57
195
Ibid, Hlm. 74
196
Ibid, Hlm 75
Perhitungan Biaya prodksi per ton di dasarkan pada volume produksi dan
per ton, terlihat bahwa pergerakan harga hampir bersamaan dan paralel serta
dengan selisih harga yang relatif tipis bahkan untuk daerah-daerah diluar
wilayah pabrik/pelabuhan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal harga, tidak
linier dengan biaya per ton sehingga di duga terdapat upaya untuk mengatur
perkara ini.198
biaya per ton, sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 diduga terjadi
197
Ibid, Hlm. 84
198
Ibid, Hlm. 85
upaya untuk mengatur harga pada level yang cukup tinggi untuk
sehingga rapat-rapat yang dilaksanakan oleh ASI diduga hanya sebagai fasilitas
dan harga yang dievaluasi dalam trend non-transitory dalam jangka panjang
(2) Indirect evidence (analisa pasar dan analisa struktur harga). Apabila harga
naik secara serentak belum tentu dapat dikatakan sebagai price fixing, harus
ditentukan terlebih dahulu teritorial market dan product market, apakah ada
(3) Indirect evidence yakni economic evidence. Evidence by conduct ada harga
naik secara tidak normal, parallel price, dan facilitating prices. Struktur
price.
untuk menggunakan alat bukti petunjuk atau indirect evidence sepanjang petunjuk
itu diperoleh dari alat bukti lainnya berupa: keterangan saksi; keterangan ahli;
Tim Pemeriksa menduga adanya kartel dan penetapan harga semata-mata dari
fakta adanya kenaikan harga dalam kurun waktu yang berdekatan dan distribusi
pemasaran semen saja, maka dugaan ini hanya didasarkan pada indirect evidence
saja tanpa didukung dengan alat bukti lainnya. Uraian mengenai diperlukannya
No. 5 Tahun 1999. Tim Pemeriksa dan Majelis Komisi ingin menggunakan bukti
kenaikan harga dalam kurun waktu yang berdekatan, tetap saja fakta kenaikan
musyawarah dalam Sidang Majelis Komisi pada hari Rabu, 18 Agustus 2010 dan
dibacakan di muka persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum pada hari
dan tanggal yang sama oleh Majelis Komisi yang terdiri dari Benny Pasaribu,
Ph.D sebagai Ketua Majelis Komisi, Dr. A.M. Tri Anggraini, S.H., M.H. dan Ir.
dibantu oleh Rosanna Sarita, S.H. dan Hafis Sutomo, S.E. masing-masing sebagai
Panitera. Berdasarkan fakta dan bukti yang diperoleh selama Sidang Majelis,
Pada dasarnya KPPU diberikan kewenangan (otoritas) yang sangat besar oleh
Kewenangan yang besar diberikan kepada lembaga ini oleh undang-undang untuk
penegakan hukum itu. Terkait dengan kewenangan lembaga ini yang begitu besar,
isu yang muncul sekarang ini adalah penggunaan indirect evidence oleh KPPU
di berbagai Negara di dunia, ada beberapa pihak yang menyetujui hal ini, namun
201
Ibid, Hlm. 424.
Dalam kasus dugaan kartel industri minyak goreng di Indonesia, yang digunakan
KPPU sebagai indirect evidence ialah bukti komunikasi, bukti ekonomi, dan
namun berdasarkan analisis pergerakan minyak goreng yang ada, baik analisis
grafik, tabel uji korelasi, dan uji varians menunjukkan adanya trend dan variasi
penetapan besaran minyak goreng diantara para Terlapor. Sedangkan dalam kasus
kartel industri semen, yang digunakan KPPU sebagai indirect evidence ialah
dan analisa struktur pasar, dan bukti ekonomi. Para Terlapor menolak secara tegas
dikatakan sebagai alat bukti karena penggunaan indirect evidence harus diperoleh
dari alat bukti lainnya seperti yang tertuang dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun
1999. Selain itu indirect evidence yang berupa daftar hadir dan keterangan pelaku
usaha hanya menjadi bukti bahwa para Terlapor mengikuti rapat-rapat Presidium
ASI dan Rapat Bidang Ekonomi dan Bisnis, dan bukannya membuktikan adanya
kasus ini Majelis Komisi menyatakan para Terlapor tidak melanggar UU No. 5
Tahun 1999.
202
Inggrid Gratsya Zega, Loc.Cit., Hlm. 117.
Pasal 64 ayat (1) Perkom No. 1 Tahun 2006) secara tegas mempersyaratkan dalam
hal menilai telah terjadi atau tidaknya pelanggaran, maka alat bukti yang
keterangan terlapor. Majelis komisi menentukan sah atau tidaknya suatu alat bukti
dua alat bukti yang sah (Pasal 64 ayat (2) Perkom No. 1 Tahun 2006). Namun
selanjutnya keluar Perkom No. 1 Tahun 2010 dimana dalam peraturan yang baru
tersebut dinyatakan bahwa pengaturan mengenai minimal dua alat bukti yang sah
suah tidak ada lagi. Hal tersebut memberikan kewenangan dan keleluasaan yang
besar kepada KPPU untuk melakukan suatu pembuktian atas adanya kartel. Selain
itu Majelis Komisi menentukan sah atau tidak suatu alat bukti, yang mana terdapat
dalam Pasal 72 ayat (2) Perkom No. 1 Tahun 2010.203 Dari apa yang terdapat
dalam Perkom tersebut, maka indirect evidence termasuk dalam kategori bukti
petunjuk. Namun didalam Perkom tersebut tidak dijelaskan secara lanjut apa saja
yang termasuk dalam alat bukti petunjuk, hanya saja Pasal 72 ayat (3)
Pada dasarnya tanggal 7 Juli 2011 telah ditetapkan Peraturan KPPU Nomor 4
mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang
2011). Hal yang menarik dari ketentuan ini dapat dilihat dalam Bab IV Perkom
203
Inggrid Gratsya Zega, Op.Cit., Hlm. 117.
ini, yang mana mengatur tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
dalam suatu industri, KPPU harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat
bukti”. Dengan kata lain, satu bukti saja, dapat dikatakan bahwa industri
mengacu pada ketentuan Pasal 3 ayat (2) Perkom No. 4 Tahun 2010 yang
mengatur bahwa Pedoman ini merupakan standar minimal bagi komisi dalam
melaksanakan tugasnya.205
Indirect evidence melalui analisis ekonomi bukan merupakan hal yang mudah
bukti tersebut menjadi alat bukti yang valid dan dapat diterima. Tetapi kreatifitas
tersebut harus diberikan dasar yang kuat, yang taat azas hukum yang berlaku
Lembaga seperti OECD sampai mengaturnya dan otoritas lembaga ini juga
Dari apa yang diatur oleh OECD, maka penggunaan indirect evidence dalam
Dari apa yang dinyatakan dalam OECD diatas, maka dapat disimpulkan:
204
Hukumonline, “Membaca Arah Penegakan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011 tentang
Pedoman Mengenai Larangan Penetapan Harga”, tersedia di
http://hukumonline.com/berita/baca/lt4e410d65c2aab/larangan-penetapan-harga, diunduh tanggal
10 November 2012.
205
Pernyataan Kepala Bagian Penanganan Pranata Hukum KPPU, Arnold Sihombing
dalam Wawancara Langsung di KPPU pada tanggal 19 Desember 2012.
206
OECD, “Prosecuting Cartelswithout Direct Evidence of Agreemen, Policy Brief”,
Loc.Cit.
a. Boleh menggunakan indirect evidence tapi harus konsisten dan tidak boleh
practices, namun hak ini bukanlah suaati kewajiban, hal ini terlihat dalam
be an important complement.208
Jika mengacu pada penjelasan mengenai alat bukti petunjuk yang terdapat dalam
adanya perjanjian tidak tertulis diantara kasus kartel tetaplah sulit diterima. Jika
mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
207
Hukumonline, “Membaca Arah Penegakan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011 tentang
Pedoman Mengenai Larangan Penetapan Harga”, Lihat juga di Terry Calvani & John Siegfried,
Economic Analysis an Antitrust Law, Edisi kedua, (Kanada: Brown & Company, 1988), Hlm. 139.
Terjemahan bebas: Pengaturan kelembagaan yang meningkatkan insentif untuk membentuk kartel
atau mengurangi unsentif untuk menipu sesame konspirator sekali dalam konspirasi.
208
Ibid, Terjemahan bebas: Dimana otoritas persaingan telah menemukan bukti tidak
langsung lainnya menunjuk ke keberadaan perjanjian kartel, keberadaan memfasilitasi praktek
dapat menjadi pelengkap yang penting.
Kaitannya dengan bukti petunjuk, maka dalam Pasal 188 ayat (1) dinyatakan
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Alat
bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa (Pasal 188 ayat (2) KUHAP) dan penilaian kekutan pembuktiannya
petunjuk dari berbagai macam alat bukti tidak mungkin dapat diperoleh hakim
yang satu dengan yang lain, atau antara satu kenyataan dengan tindak pidana itu
sendiri. Maka dari alat bukti petunjuk harus mengacu pada persesuaian antara
Yahya Harahap menyatakan bahwa alat bukti petunjuk merupakan isyarat yang
dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan diamana isyarat itu
mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu
209
Inggrid Gratsya Zega, Op.Cit., Hlm. 120.
210
Yahya Harahap, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), Hlm. 310.
211
Ibid.
hakim tersebut dilindungi Pasal 20 AB, yang menyatakan bahwa hakim harus
sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Artinya seorang hakim harus
evidence sebagai alat bukti, namun hal tersebut tidak secara otomatis berlaku
dalam sistem hukum Indonesia, apalagi jika pelaku usaha tersebut diancam
dengan tindak pidana denda. Bagaimanapun juga suatu pelanggaran tindak pidana
harus dibuktikan menurut Hukum Acara Pidana yang dalam sistem perundang-
undangan Indonesia. Jika mengacu pada Hukum Acara Perdata, maka pembuktian
merupakan alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya dalam hal
waktu yang sama ditempat lain. Persangkaan kenyataan hanya boleh diperhatikan
Rajagukguk berpendapat bahwa satu pesangkaan saja tidak cukup sebagai alat
bukti. Bila negara lain menganut satu persangkaan saja cukup sebagai alat bukti,
bukan berarti di Indonesia hal tersebut berlaku secara otomatis, kecuali hal
Hal ini harus dicermati oleh anggota KPPU dalam menjatuhkan putusannya
terhadap para pelaku usaha yang diduga telah melakukan kegiatan kartel. KPPU
tidak boleh hanya mengacu pada arti petunjuk yang ada pada peraturan komisi
yang mereka buat, hal ini dikarenakan peraturan tersebut hanyalah bersifat
2011 (UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
peraturan komisi yang menjadi dasar KPPU untuk memutus perkara kartel
industri minyak goreng dan perkara kartel industri semen ini tidak dapat
214
Erman Rajagukguk, Op.Cit., Hlm. 62.
parallelism.
c. Facilitating practices
yang dilakukan melalui
price signaling dalam
kegiatan promosi dalam
waktu yang tidak
bersamaan serta
pertemuan-pertemuan
atau komunikasi antar
pesaing melalui asosiasi.
sendiri.
h. KPPU sendiri tidak menganut
paham bahwa indirect
evidence dapat digunakan
sebagai satu-satunya alat bukti
dalam menentukan adanya
suatu pelanggaran UU No. 5
Tahun 1999. Hal ini antara
lain dapat terlihat dalam Pasal
48 Perkom No. 1 Tahun 2006
tentang Tata Cara Penanganan
Perkara yang digunakan dalam
pemeriksaan perkara ini yang
mensyaratkan adanya minimal
2 (dua) alat bukti dalam
pembuktian pelanggaran.
Konsep penggunaan alat bukti
setidak-tidaknya 2 (dua) alat
bukti dalam pembuktian
pelanggaran juga diterapkan
dalam Peraturan Komisi yang
lebih baru yaitu Pasal 39 ayat
(4) Perkom No. 1 Tahun 2010
tentang Tata Cara Penanganan
Perkara. Dengan demikian
jelas bahwa di dalam
pembuktian kartel dan
penetapan harga di dalam
perkara ini, Tim Pemeriksa
dan Majelis Komisi harus
memiliki setidak-tidaknya 2
(dua) alat bukti dalam
pembuktian telah terjadinya
kartel dan penetapan harga,
dan tidak dapat sematamata
mendasarkan diri pada indirect
evidence saja yang berasal dari
penafsiran atas adanya
pertemuan-pertemuan di ASI
sebagaimana telah diuraikan di
atas.
i. Adapun dasar tuduhan KPPU
dimaksud semata-mata
dilakukan dengan menerapkan
“indirect evidence” atau “bukti
tidak langsung” tanpa
didukung oleh alat-alat bukti
lainnya berdasarkan Pasal 42
UU No. 5/1999, dimana alat
bukti pendukung lainnya
indirect evidence sebagai alat bukti dalam pembuktian terjadinya kartel, bahwa
(berdasarkan kasus yang ditangani belum tentu sama dengan kasus yang lainnya).
kemiripan data dapat diperoleh karena adanya faktor-faktor lain seperti inflasi
maupun kebijakan pemerintah dan bukan akibat adanya kartel, sehingga tidak
dapat diterima dan membuktikan telah terjadi pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999.