Anda di halaman 1dari 15

MENUJU KESEJAHTERAAN

DENGAN PENEGAKAN HUKUM YANG BERBASIS RASIONALITAS


DAN CAUSALITAS
(Studi UU No 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat)

oleh
Zulherman Idris

Memahami hukum persaingan usaha secara benar sebagai sebuah produk


hukum bisnis tentunya tidak mudah serta akan selalu bersinggungan dengan suasana
kebathinan dan/atau maksud diundangkannya (filosofis), norma hukum yang
tersusun di dalamnya (yuridis), serta dukungan dan tantangan dalam pelaksanaanya
(sosiologis). Untuk itu memahaminya secara colistik merupakan sebuah tuntutan.
Faktor sejarah membuktikan, era diundangkannya UU No 5 Tahun 1999
merupakan moment penting dan langkah berani untuk mendobrak budaya masa
lalu dimasa orde baru yang lebih bersifat nepotisme sebagai ‘ladang” tumbuh
berkembangnya budaya monopolistik yang tidak sehat, sehingga dengan undang-
undang ini telah merubah keadaan tersebut kearah penyelenggaraan pasar yang
terbuka, memberikan tempat bagi setiap pelaku usaha untuk eksis pada pasar,
tentunya menuju pada pasar yang sehat yang berbasis efisiensi, inovasi, serta
memberikan keuntungan pada setiap para pihak (pelaku usaha-masyarakat
konsumen). Dengan kata lain setiap pelaku usaha dapat menjalankan kegiatan
usaha barang dan/atau jasanya semaksimal mungkin dengan budaya persaingan
usaha yang sehat, serta masyarakat konsumen memiliki keleluasaan mendapatkan
produk dan/atau jasa dengan kualitas dan harga yang bersaing, yang pada akhirnya
akan tercapai kesejahteraan yang diinginkan. Inilah sebuah harapan capaian
diundangkannya regulasi ini.
Guna tercapainya harapan tersebut, pembentuk undang-undang telah
mengamanahkan pengawasan dan penilaian atas pelanggaran undang-undang
ditingkat pertama pada KPPU dengan oriantasi penilaian kesalahan yang terukur
dan logis, karena dasar kesalahan diarahkan pada prilaku bisnis atas suatu persoalan
“struktur pasar” dapat terukur, artinya tindakan ini sengaja dilakukan yang
seharusnya dapat dihindari (Per- Illegal—Per-se– Perse-rule). Disis lain pelanggaran
yang bersifat causalitas akan terlihat dalam penilaian dan pertimbangan dengan
pendekatan situasi kasus, yang beroriantasi pada akibat yang ditimbulkan yang
dianggap menghambat persaingan, sehingga pertimbangan hukum memungkinkan
adanya interpretasi terhadap maksud terbentuknya situasi pasar dengan akibat
yang ditimbulkan itu (Rule of reasioning).
------------------------------------
Keys word: Persaingan Usaha, Penegakan Hukum, Kesejahteraan.

1
A. Pendahuluan;

Pasar dengan segala penyelenggaraannya akan selalu bersinggungan dengan

pelaku usaha dan masyarakat banyak, karena disitu ‘tertumpu’ berbagai kepentingan

dan kebutuhan yang menyangkut produksi, distribusi serta pemasaranan barang

dan/atau jasa, sehingga rentan terjadi instabilitas pasar kearah pasar bebas dan

cendrung tidak terkontrol, yang akhirnya akan menghasilkan sebuah persaingan yang

tidak sehat yang jauh dari harapan masyarakat dan pelaku usaha.

Adanya Persaingan dalam penyelenggaraan pasar merupakan syarat mutlak guna

tercipta efisiensi dibidang produk dan jasa, serta pelaku pasar dituntut

memperbaiki produk dan jasa yang dihasilkan dan juga akan selalu tercipta

inovasi yang kreatif, yang pada akhirnya dapat menguntungkan masyarakat

dalam pilihan harga rendah dan kualitas tinggi. Sebaliknya, tanpa persaingan

secara sehat dalam mekanisme pasar akan tercipta penguasaan pasar secara

tidak sehat yang pada akhirnya tercipta penguasaan pasar tanpa persaingan,

pelaku usaha menjadi inefisiensi dalam menghasilkan produk dan jasa, serta

pada sisi lain konsumen tidak memiliki alternatif 1. Untuk itulah lahirnya

sebuah regulasi dibidang persaingan usaha sepertti UU No 5 Tahun 1999 ini

merupakan sebuah tuntutan dan kebutuhan guna memutuskan persaingan pasar sudah

berjalan secara sehat atau tidak, serta menilai adanya pembenaran dan pengecualian

atas prilaku pasar yang baik namun terindikasi pelanggaran.

1
Editorial, “Membudayakan Persaingan Seha t” Dalam “Jurnal Hukum Bisnis” Volume
19, 2002, hal 4.

2
Undang-undang ini merupakan sebuah produk hukum yang unik dan spesifik

yang pengaturannya bersifat materil dan formil di bawah sebuah komisi yang

disebut KPPU yang terkesan super bodi2, yang bertanggung jawab pada Presiden3.

Sekaligus jika dilihat dalam banyak produk keputusan yang ditangani komisi telah

menunjukkan adanya oriantasi penilaian dan pertimbangan atas pelanggaran yang

terukur4, menuju sebuah perlindungan bagi sesama pelaku usaha dan masyarakat

demi terwujudnya kesejahteraan. Hal ini akan lebih nyata kalau dilanjutkan

pendalaman pemahamannya dalam berbagai keputusan KPPU yang ada, baik

dalam berbagai kasusu terindikasi perjanjian5, kegiatan6 maupun penyalahgunaan

posisi dominan7 dengan segala bentuk perbuatan hukumnya .

B. Pembahasan:

Hukum persaingan usaha diadakan pada prinsipnya untuk mendukung sistem

ekonomi pasar, sehingga suasana persaingan antara pelaku usaha tetap hidup

secara sehat, dan masyarakat konsumen tidak dieksploitir keberadaannya. Tanpa

adanya rambu-rambu hukum dalam mekanisme pasar, maka akan memberikan

peluang besar untuk terjadinya persaingan curang oleh pelaku usaha yang
2
Hal ini terkait dengan Tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 35 sampai 36
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat LNRI
Tahun 1999 No 33, yang didalamnya terdapat kewenangan yang dimulai dari melakukan
penyelidikan, menyimpulkan, memenggil pelaku usaha, memenggil dan menghadirkan saksi,
memutus ada atau tidaknya kerugian sampai memebrikan sebuah keputusan ada atau tidaknya
pelanggaran .
3
Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, LNRI Tahun 1999 No 33
4
Ini dimaksudkan adanya penilaian atas indikasi pasar pada sebuah kepentingan ekonomi dan/atau
adanya pelanggaran hukum, yang semua ini kalau dicermati akan tertuju pada sebuah kepentingan
yang lebih besar, yaitu kepentingan masyarakat banyak.
5
Pasal 4 sampai 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. LNRI Tahun 1999 No 33
6
Pasal 17 sampai 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. LNRI Tahun 1999 No 33
7
Pasal 25 sampai 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. LNRI Tahun 1999 No 33

3
berkedudukan dominan sebagaimana pengalaman masa lalu yang terjadi dimasa

pemerintahan orde baru.

Dimasa orde baru terdapat bukti sejarah yang bisa dijadikan pengalaman dan

pembelajaran bahwa ternyata kebijakan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan

pemerintah tanpa diiringi pengaturan hukum yang dapat memberikan kepastian

hukum bagi sesama pelaku usaha akan berakibat menimbulkan monopolistik yang

merugikan banyak pihak. Bahkan dengan intervensi penguasa pada pasar yang

memberikan perlakuan berbeda antar sesama pelaku usaha juga membuktikan

bahwa instabilitas pasar dan unfair copetition terjadi dibanyak sektor ekonomi. Itulah

sebabnya memasuki awal orde reformasi pemerintah yang berkuasa dibawa Presiden

Bacharuddin Jusuf Habibie telah dapat menghasilkan sebuah regulasi berupa

Undang-undang (UU) No 5 Tahun 1999 yang khusus dibidang Persaingan Usaha

yang biasa disebut Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan

tujuan antara lain menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi

nasional sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat8.

Dalam kajian ini akan menjelaskan 2 (dua) pendekatan sebagai ukuran yaitu

penegakan hukum sebagai pengawal dalam UU No 5 Tahun 1999 itu dapat diterima

akal sehat (rasional) dan penerapan hukumnya tidak bersifat mutlak karena

mempertimbangkan alasan (causa) dalam menentukan sebuah pelanggaran menuju

kesejahteraan. Hal ini dimaksudkan bahwa penetapan kesalahan dalam undang-

undang ini memang didasarkan pada sebuah aturan yang jelas dan tertulis sehingga

8
Lihat Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, LNRI Tahun 1999 No 33, yang tujuan lainnya juga menginginkan pencapaian
pada terwujudnya iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah
dan kecil, serta menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan berusaha.

4
jika diterapkan dalam peristiwa konkrit pada kesalahan pelaku usaha, maka pada satu

sisi pertimbangan hukumnya dapat diterima akal sehat. Sebaliknya dalam beberapa

alasan dan fakta hukum lain bahwa disaat penerapan hukum dikaitkan dengan

peristiwa konkrit dan terbukti memenuhi unsur pasal, maka dimungkinkan adanya

pertimbangan hukum yang tidak sejalan dengan ketentuan unsur pasal dimaksud

dengan alasan yang lebih rasional dan juga dapat diterima akal sehat. Hal ini sebagai

akibat karena perbuatan yang dianggap melanggar bukanlah sebagai tujuan

terjadinya perbuatan monopoli, melainkan perbuatan monopoli itu terjadi atas sebuah

akibat lain diluar tujuan.

1. Lahirnya UU No 5 Tahun 1999 sebagai wujud pengawalan hukum dalam


Penyelengaraan Pasar Guna Terujudnya Kesejahteraan

Persaingan dalam berusaha secara objektif adalah urusan para pelaku

usaha, karena merekalah yang melakukan produksi, distribusi dan pemasaran

barang dan jasa, serta pada merekalah penyelenggaraan pasar itu terjadi. Namun

pada sisi lain pengaruh penyelenggaraan itu juga memiliki implikasi pada

masyarakat konsumen sebagai bagian dari sasaran produksi, distribusi dan

pemasaran barang dan/atau jasa tersebut.

Untuk menghindari berbagai perbuatan, perjanjian serta kedudukan tertentu pada

pelaku usaha sejenis serta pada akhirnya menimbulkan kecurangan serta kerugian

pada masyarakat konsumen, akhirnya diperlukan campur tangan negara

/pemerintah dalam bentuk peraturan, atau biasa disebut dengan power of

economic regulation.

Keterlibatan negara dalam dunia usaha disamping ditekankan pada sebuah

produk regulasi dengan segala implementasi penegakan hukumnya, juga dalam

5
rangka pembangunan bidang ekonomi yang diarahkan kepada terwujudnya

kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Perjalanan sejarah mengajarkan bahwa terdapat tolak tarik pandangan tentang

ajaran antara pasar bebas (free market) dan pasar yang diatur pemerintah 9.

Pemerintah Indonesiapun dalam kebijakan pembangunan yang beroriantasi pada

pertumbuhan ekonominya juga pernah terlibat aktif secara politik menumbuh

kembangkan budaya monopoli dengan melibatkan para pelaku usaha dibidang

pembangunan ekonomi. Akhirnya memberikan perlakuan spesial dan hak-hak

istimewa pada mereka yang dianggap mampu mendukung kebijakan tersebut.

Akhirnya dalam perkembangan yang ada melahirkan banyak prodak politik yang pro

pada budaya monopolistik yang menjadi budaya penyelenggara pasar dimasa orde

baru10.

9
Bandingkan dengan Jurnal hukum Bisnis, Vol 19 Mei-Juni 2002, hal 4. Bahwa Sejarah telah
mencatat adanya ajaran yang melegitimasi kedua hal tersebut. Sebut saja Teori klasik Laissez Faire
dari Adam Smith yang mendukung bahwa pasar seharusnya dibiarkan bebas tanpa intervensi dari
pemerintah, apabila terjadi hal yang tidak diinginkan maka secara otomatis pasar akan
mengkoreksinya dengan apa yang dinamakan invisible hand. Dalam perkembangannya teori ini
dinterpretasikan bahwa invisible hand itu adalah adanya campur tangan pemerintah melalui
perturan perundang-undangan guna menentukan bahwa kompetisi itu berjalan dengan sewajarnya
sesuai yang diharapkan. Sehingga pada akhirnya negara melalui pemerintahnya akan
memberikan serta menerbitkan peraturan, yang pada prakteknya akan didapat adanya “wasit”
guna memberikan penilaian atas pelanggaran peraturan tersebut. Dalam perkembangannya
makna interpensi ini semakin ekstrim, yaitu bahwa ekonomi pasar harus dikontrol secara
penuh, bahkan hak miliknya saja tidak dapat diberikan pada warga negaranya. Ajaran inilah
yang disebut aliran komunis dari ekonom Karl Mark, yang dalam perkembangannya tidak
dapat menjawab zaman, dan akhirnya banyak negara komunis mengubah haluannya dan
perkembangan terakhir muncul jalan tengah, yaitu adanya kebebasan pasar dan prinsip pasar
yang diatur pemerintah.
10
. Bandingkan,. Elita Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung 2011, hal 10-12, bahwa pemerintah telah berperan menumbuhkan persaingan yang tidak
sehat di berbagai bidang, dalam bentuk perbuatan. Menciptakan rintangan Artificial (yang dibuat-
buat) dan Captive Market ( Penguasaan Pasar). Memberikan Privillage yang berlebihan pada
pelaku usaha tertentu. Dikalangan BUMN pesaingan usaha juga sering terjadi, hal ini bernuansa
KKN, dimana perusahaan yang diberi privillge tersebut memiliki vesed interest / kepentingan
permanen dengan pemerintah atau elit politik yg berkuasa.

6
Namun demikian seharusnya pembangunan bidang ekonomi haruslah

diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945. Guna mendukung perwujudan kesejahteraan rakyat

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut haruslah diciptakan

situasi dan kondisi dunia usaha yang mampu melibatkan seluruh aspek dan seluruh

lapisan pendukung dan pelaku ekonomi itu sendiri, yang antara lain harus

diwujudkan dalam kondisi terciptanya demokrasi dalam bidang ekonomi. Demokrasi

dalam bidang ekonomi itu sendiri menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi

setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran

barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga

mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar 11.

Persaingan dunia usaha yang sehat akan menumbuhkan iklim ekonomi yang

kondusif. Hanya dalam lingkungan persaingan ekonomi yang sehat yang dapat

memberikan kemajuan dan keadilan yang merata bagi semua lapisan masyarakat.

Pada umumnya negara yang menerapkan sistem ekonomi yang sehat sangat

memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan perekonomian negara yang

bersangkutan. Disamping itu persaingan dunia usaha yang sehat tidak hanya

memberikan kontribusi bagi kemajuan perekonomian negara, tetapi juga mendidik

mental semua pihak yang terlibat dalam dunia usaha untuk jujur, kreatif, dan

11
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bagian Menimbang huruf a, yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 serta Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3817.

7
bertanggungjawab. Tentu sumber daya manusia yang demikian sangat mendukung

bagi kemajuan suatu bangsa.12

Sebagai produk hukum yang memiliki kelebihan dan kekurangan yang terlahir

dalam masa transisi dimasa orde reformasi, maka aturan materi dan formil dalam

UU No 5 Tahun 1999 mampu mengawal dan memberikan ukuran atas sebuah

perbuatan yang dilarang dalam kegiatan persaingan usaha. Indikasi pelanggaran

(perjanjian, kegiatan dan posisi dominan) tersebut telah mampu mengukur causal

dalam berbagai perbuatan yang mempu memicu terjadinya persaingan usaha tidak

sehat. Sehingga selaku pelaku usaha dan masyarakat konsumen secara mudah

mengetahui dan menyadari bentuk-bentuk perbuatan mana yang boleh dan tidak

boleh dilakukan dalam penyelengaraan pasar. Sekaligus akan menyadari bahwa

penyelenggaraan pasar tersebut akan mendapat pengawasan dalam penerapan

hukumnya.

UU No 5 Tahun 1999 adalah produk hukum bisnis, sehingga membutuhkan

pemahaman yang lebih yang tidak saja bermodalkan memahaman hukum dengan

segala lingkupnya sebagaimana berlaku pada hukum perdata dan hukum pidana.

Karena hukum persaingan usaha tidak mengenal peristilahan perdata dan pidana,

melainkan lebih dikenal dalam lingkup hukum bisnis yang tuntutan pertanggungan

jawabnya lebih bersifat hukum dan moral. Maka melihat hukum persaingan usaha

dengan segala penegakan hukumnya dalam kaca mata perdata dan pidana tidak akan

mampu memahami maksud dan tujuan diundangkannya UU No 5 Tahun 1999

12
Helza Nova Lita, Persekongkolan Sebagai Kejahatan Bisnis Dihubungkan Dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (Analisis Kasus Penjualan Saham PT. Indomobil Sukses International, Tbk), Makalah,
2006.

8
tersebut. Dengan demikian dalam mengejar peluang pasar dan target bisnis maka

setiap pelaku usaha dan masyarakat harus dapat menyadari bahwa penyelenggaraan

pasar telah mendapat pengawasan dalam penegakan hukum ini, dan dituntut saling

memikirkan antar sesama pelaku usaha serta dapat menyelenggarakan pasarnya

secara fair dengan penuh tanggung jawab pada rambu-rambu hukum dan etika moral.

Dalam konteks ini setiap pelaku usaha harus mampu dan terbuka menerima

persaingan sebagai sebuah koreksi pada produk dan jasa yang dihasilkankannya

dengan basis efisiensi pada Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia

(SDM) dengan tetap memperhatikan kualitas. Artinya dengan adanya pemikiran

efisiensi ini maka pelaku usaha akan berkreasi, berinovasi, memberikan pelayanan

dalam memproduksi, distribusi dan pemasaran produk barang dan jasa yang

dimilikinya. Inilah tujuan ideal dan harapan dalam penyelenggaraan pasar. Kalau

semua pelaku usaha berprilaku sehat dalam menjalankan kegiatan usahanya,

tentunya struktur pasar yang terbentuk juga akan sehat, yang akhirnya akan

memberikan keuntungan pada semua pihak. Para pelaku usaha memiliki kesempatan

yang sama menjalankan usahanya, para masyarakat konsumen mempunyai

keleluasaan dan kebebasan dalam mendapatkan barang dan/atau jasa yang

diminatinnya dengan kualitas yang bersaing serta pemerintah akan mendapat

kemudahan dalam menjalankan hukum yang ada sebagai akibat jarang dan/atau tidak

terjadi pelanggaran hukum yang akhirnya kesejahteraan bagi banyak pihak akan

menjadi kenyataan.

2.Penerapan Hukum dalam UU No 5 Tahun 1999 Tidak Bersifat Mutlak dan


terkesan disimpangi dengan Pertimbangan Keseimbangan, Keselarasan dan
Kesempatan Usaha Yang Sama Bagi Setiap Warga.

9
Hal ini dimaksudkan bahwa hukum persaingan usaha secara jelas telah

memberikan ketentuan tentang perbuatan hukum yang dapat dinyatakan

bertentangan sehingga dinyatakan telah terjadi “pelanggaran” sebagai mana istilah

digunakan dalam perundang-undangan ini13. Namun bentuk pelanggaran dimaksud

jika dikaitkan dengan peristiwa konkrit dalam proses penegakan hukumnya, maka

proses penegakan hukum ini juga melakukan interpretasi dalam memberikan

pertimbangan hukum sebagaimana banyak terdapat dalam putusan-putusan KPPU

yang sudah ada. Hal ini tentunya memiliki keterkaitan dengan langkah dan

pentahapan yang juga berlaku dalam sebuah putusan di tingkat pengadilan pada

umumnya, yang dikenal dengan pentahapan konstatir, kualifisir, konstituir 14. Karena

dalam proses pemeriksaan perkara sampai dijatuhinya putusan akan melewati

kerangka kerja dan pertimbangan hukum tersebut.

Pasal 4 sampai 29 UU No 5 tahun 1999 telah menentukan bentuk perbuatan

hukum dan/atau peristiwa hukum yang menjadi indikasi pelanggaran. Namun

pelanggaran yang dimaksud tidak bersifat mutlak, karena hukuman kesalahan akan

berlaku setelah pertimbangan hukum melewati beberapa pengecualian yang secara

subtansial terkait dengan 2 (dua) hal, yaitu:

a.Perbuatan-perbuatan yang dikonstituir terpenuhinya unsur pelanggaran tapi

kausalitas perbuatan berada dalam persaingan yang sehat.

13
.Bandingkan dengan pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat; LNRI Tahun 1999 No 33.
14
.Konstatuir (membenarkan telah terjadi peristiwa hukum yang diajukan), kwalifisir ( menemukan
telah terjadi hubungan hukum), Mengkonstituir ( menetapkan hukumnya), lebih lanjut dapat dilihat
dalam Lili Mulyadi, Putusan Hakim Dalam hukum acara Perdata; teori, praktek, Telknik membuat
dan Permasalahannya, Bandung; Citra adytia Bakti,Bandung; 2009;147 dan Sudikno Mertokusumo,
Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogjakarta: Liberty, 1988:87-89.

10
b. Perbuatan-perbuatan yang dikonstituir dalam sebuah perbuatan yang melanggar,

tapi dikecualikan oleh perundang-undangan. Dalam kajian yang lebih mendalam

bahwa analisa ini juga memiliki keterkaitan dengan kaedah hukum yang berlaku

dalam tindak pidana yang biasa disebut dengan penghapusan dan penghilangan

perbuatan pidana15, sehingg pemenuhan unsur atas sebuah tindak pidana masih

bisa dianulir oleh alasan penghapusan dan pengilangan perbuatan pidana.

Berdasarkan penjelasan di atas, hukum persaingan usaha dalam penegakan

hukumnya juga mengenal sebuah pendekatan analisa yang biasa disebut dengan Rule

of reasioning dan Perse illlegal16. Pendekatan ini menitip beratkan pada sebab dan

terpenuhinya unsur pelanggaran secara logis dan terukur, baik dalam prilaku

pelaku usaha maupun struktur pasar, namun pada titik akhirnya juga dikenal adanya

sebuah keputusan yang bisa menganulir terbuktinya pelanggaran. Hal ini dapat

dilihat dari beberapa contoh sebagai berikut:

a.Pelaku usaha memiliki kesanggupan mempertahankan posisi pasar melalui

kemampuan prediksi atau kejelian bisnis yang tinggi.

b.Perusahaan yang tumbuh cepat dengan menawarkan kombinasi kualitas dan

harga barang dan atau jasa yang dikehendaki konsumen

Dengan perbuatan ini pangsa pasarnya tumbuh cepat, sehingga meningkatkan

kesejahteraan ekonomi.

c. Penguasaan pasar sebagai akibat mendapat dukungan perundang-undangan.


15
Bandingkan dengan pasal 44 sampai 52 KUHP.
16
Rule of Reason adalah suatu pendekatan untuk mengevaluasi akibat perjanjian atau kegiatan
usaha guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat
atau mendukung persaingan, Sedangkan Perse Illegal adalah suatu pendekatan yang menyatakan
setiap perjanjian dan/atau kegiatan tertentu sebagai illegal, tanpa perlu membuktyikan lebih lanjut
atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan, lebih lanjut bandingkan dengan AM
Tri Anggraini, Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Perse Illegal dalam Hukum Pesaingan,
Jurnal Hukum Binis, Volume 24 No 02 Tahun 2005, hal 5 , dan arie Siswanto, Hukum Persaingan
Usaha, Ghalia Indonesia Jakarta; 2002, hal 63

11
d. Penguasaan Pasar yang terjadi secara alamiah.

Menurut Peter W Heermann bahwa monopoli alami ah terjadi kalau

economies of scale ( skala ekonomi) yang sangat mempersulit atau tidak

memungkinkan sama sekali bagi pelaku usaha lain masuk pasar, sehingga

monopoli yang berada di tangan satu pelaku usaha merupakan pemecahan

yang paling efisien, umumnya monopoli alami mencakupi prasarana atau sektor

industri pelayanan umum yang berkaitan dengan grid (jaringan), seperti tenaga

listrik, air, gas, jalan, rel kereta api, pelabuhan laut dan udara 17

Kemudian juga dikenal monopoli menurut undang-undang yang besifat

menguntungkan negara. Hal ini terungkap bahwa monopoli dan/atau

pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran

barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang

produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan

diselenggarakan Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang

dibentuk pemerintah18. Pada prakteknya dapat dicontohkan dalam hal

penyelenggaraan Jasa Raharja, Asuransi Kesehatan, Pelistrikan, Pembangunan Jalan

dan jembatan, Perkereta apian, Pelindo, Angkasa Pura, dan sebagainya.

Dalam alasan lain juga ada pengecualian sehingga terdapat justifikasi

penguasaan produksi barang dan/atau jasa dalam kapasitas monopoli yang

terdapat pada swasta yang dilandaskan pada hak atas kekayaan intelektual 19,

17
Peter W Heermann dalam Undang-undang Larangn Praktek Monopoli dan Perasingan Usaha
Tidak Sehat ( Law Concerning Prohibition of Monopolistic Prractices and unfair busininesss
competition, Katalis Publishing media Services, hal 20
18
Lihat Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999.,
19
Lihat Pasal 50 huruf b. Undang-undang Nomor 5 Tahu 1999, yaitu perjanjian yang berkaitan
dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desin
produksi industri, rangkaian elektronik terpadu, dn rahasia dagang, serta perjanjian yang
berkaitan engan waralaba.

12
sehingga apabila hak tersebut telah didaftarkan, pemegangnya dapat menghambat

pesaing lain untuk menggunakan hak tersebut dalam jangka waktu yang telah

ditentukan.

Selain itu juga terdapat alasan pembenar lainnya dilakukan monopoli, yaitu:

1. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2. Perjanjian kerjasama penelitian untuk meningkatkan atau perbaikan standar

hidup masyarakat luas20

Dalam aspek ini bahwa pembenaran atas pelanggaran ini dilakukan bukan saja

analisis hukum tetapi juga analisis ekonomi, untuk itulah dalam upaya penegakan

hukum ini tidak saja terfokus pada pelanggaran unsur-unsur dalam pasal, tetapi juga

perlu ditentukan keadaan pasar yang terbentuk oleh “perjanjian, “kegiatan, “

penyalahgunaan posisi dominan” yang pada akhirnya terjadi “persaingan usaha tidak

sehat”.

C. Penutup.

Penegakan hukum persaingan usaha yang terdapat dalam UU No 5 Tahun 1999

memiliki keterkaitan dengan pencapaian kesejahteraan rakyat, karena arahan dan

capaian yang diinginkan hukum agar persaingan harus berjalan secara sehat. Untuk

itu setiap pelaku usaha diarahkan mampu menerima persaingan. Dengan adanya

persaingan akan muncul sikap dan pemikiran untuk efisiansi pada sumberdaya alam

dan sumber daya manusi serta dapat ditekan biaya produksi. Sejalan dengan ini

dengan munculnya persaingan maka antara sesama pelaku usaha akan bersikap

sama dalam persaingan yang sehat menuju sebuah kreativitas dan inovasi atas

20
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

13
produk dan/atau jasa yang diproduksi, distribusi dan dipasarkannya, yang pada

akhirnya menekan biaya produksi dengan pencapaian provite yang menjanjikan.

Disamping itu masyarakat konsumen akan memiliki keleluasaan untuk mendapat

barang dan/atau jasa yang diminatinya dengan kualitas dan harga yang bersaing.

Sikap dan perbuatan sebagaimana dalam penjelasan ini akan berbanding lurus

dengan pencapaian kesejahteraan yang harapkan ditengah-tengah masyarakan, serta

sejalan dengan salah satu pertimbangan diajukan Rancangan undang-undang

(RUU) tentang Larangan Praktek monopoli antara lain adalah adanya kemakmuran

masyarakat, bukan kemakmuran orang-orang, sistem ekonomi seperti ini

mengandung prinsip keseimbangan, keselarasan serta memberikan kesempatan

berusaha yang sama, adil dan merata bagi setiap warga negara

Daftar Keputakaan

- A.M Tri Agraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Perse Illegal atau Rule of Reason, UI. Fak Hk UI, asca sarjana, Jakarta, 2003

- Abd Hakim G Nusantara, Dkk, Analiosa dann Perbandingan UU -Anti


Monopoli, PT Alex Medya Komputindo, Jakarta 1999

- Asril Sitompul, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Tinjauan
UU No 5 Tahun 1999, PT Citra Aditya,Bandung 1919.

- Ayudha D Prayoga dkk, Persaingan Usaha dan Pengaturannya di Indonesia, Elips,


Jakarta,2000.

- Elita Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung 2011

- Gunawan Wijdjaya, Merger Dl Perspektif Moinopoli, PT Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2001

- Helza Nova Lita, Persekongkolan Sebagai Kejahatan Bisnis Dihubungkan


Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

14
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Analisis Kasus Penjualan Saham
PT. Indomobil Sukses International, Tbk), Makalah, 2006.

- Jurnal HK Bisnis, UU Antimonopoli, Tantangan dan Masalahanya, Vol 19, Jun


2002.
- Jurnal hukum Bisnis, Persaingan usaha dan persekongkolan tender, Vol 24 No 2
Tahun 2005.

- Lili Mulyadi, Putusan Hakim Dalam hukum acara Perdata; teori, praktek, Telknik
membuat dan Permasalahannya, Bandung; Citra adytia Bakti,Bandung; 2009

- Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli,PT Cutra Aditya, Menyonsong Era


Persaingan Bebas,Bandung, 1999.

- Peter W Heermann dalam Undang-undang Larangn Praktek Monopoli dan


Perasingan Usaha Tidak Sehat ( Law Concerning Prohibition of Monopolistic
Practices and unfair busininesss competition, Katalis Publishing Media
Services, Jakarta 2002.

- R Soeesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-komentarnya,


Politea Bogor, 1991.

- Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogjakarta: Liberty,


1988.

- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha


Tidak Sehat LNRI Tahun 1999 No 33,

15

Anda mungkin juga menyukai