Anda di halaman 1dari 22

“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGATURAN SANKSI

MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 DAN

PERUBAHANNYA DALAM RUU AMANDEMEN UNDANG-UNDANG

NO. 5 TAHUN 1999”

MATA KULIAH HUKUM PERSAINGAN USAHA


DR. (jur) Udin Silalahi, S.H., LL.M.

Oleh :
Nama : Ziela Rofahiyyat El Quswa
Batch : 43

PROGRAM MAGISTER
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
JAKARTA
2018

1
ABSTRAK

Penerapan sanksi merupakan salah satu bentuk penegakan dalam Hukum Persaingan Usaha.
Lembaga yang berwenang menerapkan sanksi tersebut adalah Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU). Terdapat tiga sanksi yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
yakni sanksi administrative, pidana pokok, dan pidana tambahan. Sebelum menjatuhkan sanksi
administratif, KPPU harus membuktikan semua unsur-unsur yang terkandung dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Namun demikian, KPPU hanya memiliki otoritas untuk
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha. KPPU tidak memiliki kewenangan
untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pihak lain dari unsur pemerintah. Dalam hal
ini, perlu dipertimbangkan bahwa KPPU tidak hanya dapat memberikan rekomendasi kepada
atasan pejabat yang bersangkutan, melainkan juga memberikan sanksi administratif yang
dicantumkan dalam diktum/amar putusan. Dalam perkara yang megakibatkan kerugian negara,
dapat dikenakan sanksi pidana. Penerapan sanksi pidana hanya dapat dilakukan oleh badan
yang berwenang melakukan penyidikan seperti kepolisian dan kejaksaan. Pengaturan sanksi
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 masih memiliki kelemahan dan perlu adanya
perubahan dan pembaharuan seperti yang tertera di dalam Rancangan Undang-Undang No. 5
Tahun 1999.

2
BAB I
LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan dunia ekonomi saat ini, ada dua isu penting yang kiranya
menarik untuk dikaji dan dibahas, yakni praktik monopoli dan persaingan tidak sehat, yang
keduanya merupakan perrnasalahan dunia ekonomi yang seharusnya mendapat ternpat
tersendiri dalam pengaturan hukum kita. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka untuk
memenuhi tuntutan globalisasi, di mana sustu sistem ekonomi suatu negara akan terdesak
atau kalah bersaing dengan negara lain, atau dengan bahasa sederhananya ekonomi suatu
negara akan dipengaruhi dan mempengaruhi ekonomi suatu negara lain atau balikan ekonomi
dunia.
Pada hakikatnya, berbicara tentang dunia bisnis ekonomi maka tidak terlepas pada
masalah kompetisi. Harus diakui bahwa kompetisi yang dihadapi pelaku ekonomi di abad ke
21 adalah kompetisi yang serba global. Bahkan dapat dikatakan perekonomian di dalam
negari saja, seperti pasar-pasar domestik di muka bumi, menjadi bagian dari pasar global,
karena menang atau kalahnya produk dalam pasar tersebut terkait dengan persaingan yang
terjadi di pasar global, tennasuk penentuan harga yang sudah mengacu harga global.
Akibatnya organisasi bisnis paling kecilpun menuntut pengelolaan kelas global pula.
Dalam Pasal I ayat (l) UU No 5 tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Tidak
Sehat, disebutkan bahwa monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh pelaku usaha atau satu kelompok
pelaku usaha.
Sementara dalam Kamus Black's Law Dictionary secara detail menegaskan bahwa
“monopoly is privilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies,
consisting in the exclusive right (or power) to carry out on a particular business or trade,
manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular
commodity.
Praktek monopoli juga dapat diartikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu
atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum1.

1Rahayu hartini, Hukum Komersial, Cetakan Kedua, (Malang: UMM Pres. Universitas
Muhammadiyah Malang, 2006), hal. 189.

3
Pada dasarnya, apabila dicermati bahwa suatu praktik monopoli tersebut harus
dibuktikan adanya unsur mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan
umum2. Sementara yang dimaksud dengan persaingan tidak sehat adalah persaingan antar
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha3.
Setiap pelaku usaha yang terbukti melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
harus diberikan sanksi. Dalam hal ini, lembaga yang berwenang untuk memberikan sanksi
terhadap pelaku usaha adalah lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sejak
awal disetujui yang kemudian disahkan oleh pemerintah, sudah terdapat beberapa
kekhawatiran dari berbagai kalangan mengenai masa depan penegakan undang-undang ini,
salah satunya adalah terkait wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang
begitu berlimpah. Komisi itu bahkan sekaligus bisa berperan sebagai polisi, jaksa, dan hakim.
Segala perkara yang menyangkut dugaan monopoli ataupun persaingan usaha yang tidak
sehat, hanya bisa diperiksa oleh komisi. Bila pelaku usaha tak mematuhi putusan komisi
barulah perkara itu bisa disidik polisi. Dan bila ada yang keberatan atas vonis komisi mereka
bisa naik banding ke peradilan umum. Hal ini tentu mengkhawatirkan mengingat due process
of law yang selama ini berlaku dan diterapkan di Indonesia membagi tugas penyelidikan
sampai dengan putusan kepada tiga lembaga yakni Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
Pengaturan sanksi dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebenarnya masih
memiliki kelemahan dan perlu adanya perubahan dan pembaharuan seperti yang tertera di
dalam Rancangan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Berdasarkan pada latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian ini sebagai
berikut:
1. Bagaimana peran KPPU dalam memberikan sanksi terhadap pelaku usaha yang
terbukti melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan sanksi apa saja yang dapat
diberikan?
2. Apakah kelemahan pengaturan sanksi yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 5
tahun 1999 sehingga perlu adanya perubahan didalam Rancangan Undang-Undang
Amandemen Nomor 5 tahun 1999?

2 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Cetakan Kedua, (Bogor: PT.
Ghalia,2005), hal. 87.
3 Rahayu Hartini, Op.Cit., hal. 190.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Tinjuan Umum Tentang Persaingan Usaha
Hukum persaingan usaha (competition law) adalah instrument hukum yang
menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan4. Persaingan usaha pada pasar
memungkinkan pasar menghargai kinerja pelaku usaha yang baik, sedangkan kinerja yang
tidak baik dikenakan sanksi. Dengan demikian, persaingan usaha mendorong kegiatan pelaku
usaha, memungkinkan pelaku usaha baru masuk pasar, dan efisiensi kegiatan pelaku usaha
dapat ditingkatkan. Ini mengakibatkan peningkatan produktivitas modal dan tenaga kerja,
mengurangi biaya produksi, dan memperbaiki daya saing para pelaku usaha (meskipun bisa
saja seorang produsen tertinggal oleh proses persaingan usaha, sehingga kemungkinan
terpaksa meninggalkan pasar). Persaingan usaha juga menjamin penghematan biaya yang
diteruskan kepada konsumen (persaingan usaha mengakibatkan harga keseluruhan lebih
murah, meskipun di pasar-pasar harga juga dapat naik akibat relokasi sumber ke produksi di
pasar-pasar lain), dan konsumen juga beruntung dari segi kuantitas, kualitas, dan
keanekaragaman produk yang lebih banyak5.
Persaingan yang semakin tajam akan cenderung untuk lebih banyak penggunaan
harga sebagai alat persaingan. Pola yang sedemikian ini akan menjerumuskan para pelaku
usaha untuk menurunkan harga jual produknya guna merebut hati para konsumen, jika ini
terjadi terus-menerus maka dapat disebut sebagai “Perang Harga”. Hal tersebut jelas tidak
diinginkan oleh para pelaku usaha, karena akan berdampak kepada persaingan yang tidak
sehat, karena guna merebut hati para konsumen pelaku usaha rela menurunkan harga dibawah
harga pokok atau biaya produksi.
Sehubungan dengan perebutan pasar yang berupa persaingan tersebut kita dapat
membedakan beberapa bentuk persaingan yaitu:6
1. Persaingan Sempurna (Pure Competition)
Bentuk persaingan sempurna merupakan bentuk persaingan di mana terdapat sangat

4 Galuh Puspaningrum, Hukum Persaingan Usaha Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang
dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), hal. 28.
5 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Cetakan pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)

hal. 29.
6 Indriyo Gitisudarmo, Pengantar Bisnis Edisi Kedua, Cetakan Ketiga, (Yogyakrta: BPFE-

Yogyakarta, 1998), hal. 164.

5
banyak pelaku usaha yang terjun di pasar untuk melayani suatu produk tertentu dan
pada umumnya pelaku usaha yang terjun di pasar adalah pengusaha-pengusaha kecil.
Dalam bentuk persaingan ini pelaku usaha yang terjun di pasar tidak memiliki
penguasaan pasar. Pelaku usaha tidak mampu menanamkan pengaruhnya kepada
konsumen. Posisi persaingan ini adalah yang paling baik.
2. Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition) Merupakan bentuk di mana
pelaku usaha yang terjun dalam kancah persaingan tidak terlalu banyak sehingga
dalam hal ini pelaku usaha mampu menanamkan pengaruhnya kepada konsumen.
Pelaku usaha dapat mempengaruhi konsumen melalui alat-alat pemasaran (Marketing
Mix) yang lain tidak semata-mata dengan harga saja.
3. Persaingan Oligopoli (Oligopolistic Competition)
Dalam persaingan ini hanya ada sedikit saja jumlah pelaku usaha yang bergerak di
pasar dan pada umumnya merupakan perusahaan besar. Persaingan menggunakan
harga sangat kecil terjadi atau marginal. Persaingan berlangsung dengan
mengunggulkan kualitas produk, bentuk bungkus, merek dagang, promosi, serta
distribusi yang lebih memuaskan para konsumen.
4. Monopoli (Monopoly)
Dalam hal ini hanya ada satu pelaku usaha yang merupakan satu-satu perusahaan
yang melayani kebutuhan seluruh masyarakat dan karena hanya ada satu maka tentu
saja akan merupakan perusahaan yang sangat besar atau raksasa.
b. Tinjauan Umum Tentang Lembaga KPPU
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga baru yang
diperkenalkan dalam UU No. 5 Tahun 1999. Pembentukannya secara resmi melalui Kepres
No. 75 Tahun 1999 dengan melalui serangkaian tahap pemilihan yang cukup alot melibatkan
Pemerintah dan DPR.
KPPU berkedudukan di Jakarta, tetapi boleh membuka perwakilan di ibukota
provinsi. Organisasi KPPU hanya terdiri dari anggota dan sekretariat. Jumlah anggota
seluruhnya (termasuk seorang ketua dan seorang wakil) paling sedikit sembilan orang.
Keanggotaan KPPU periode yang pertama (2000–2005) ada 11 orang, dan mereka masih
mungkin dipilih untuk satu periode berikutnya.
KPPU adalah lembaga yang akan menjadi penjaga tegaknya peraturan persaingan
merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan dapat lebih operasional7. Penegakkan

6
hukum persaingan di Indonesia diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha, di
samping kepolisian, kejaksaan dan peradilan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan suatu organ khusus yang mempunyai
tugas ganda selain menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk
menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Meskipun KPPU
mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya hukum persaingan usaha, namun KPPU
bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha, dengan demikian KPPU tidak
berwenang untuk menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih
merupakan lembaga administrative, karena kewenangan yang melekat padanya adalah
kewenangan administrative, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi
administrative.8
Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, KPPU menjalankan tugas
untuk mengawasi tiga hal, yaitu:
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti
perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli,
predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian
dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran
melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang
dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau
menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Sedangkan wewenang KPPU diatur dalam pasal 36 Undang-Undang. No.5/1999
yakni sebagai lembaga yang menentukan:
1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

8Susanti Adi Nugroho, “Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”, Cetakan Pertama, (Jakarta:
Kencana, 2012), hal. 545.

7
2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau
oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
4. menyimpulkan hasil dari penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak
adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
5. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang ini;
6. memanggil dan menghadirkan saksi-saksi ahli dan setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
7. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau
setiap orang sebagaimana diamaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan komisi;
8. meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan
dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-
undang ini;
9. mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan atau pemeriksaan;
10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha
lain atau masyarakat;
11. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrasi kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.
Pelanggaran hukum persaingan harus dilakukan terlebih dahulu dalam dan melalui
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Setelah itu, tugas dapat diserahkan kepada penyidik
kepolisian, kemudian diteruskan ke pengadilan, jika pelaku usaha tidak bersedia menjalankan
putusan yang telah dijatuhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Penegakkan hukum
persaingan usaha dapat saja dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Pengadilan merupakan tempat penyelesaian perkara yang resmi dibentuk Negara.
Namun, untuk persaingan usaha, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antarpelaku
usaha tidak dilakukan oleh pengadilan.

8
c. Pendekatan yang terkandung di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Pendekatan yang dilakukan dalam undang-undang antimonopoly ini adalah dengan
menggunakan pendekatan Rule of Reason dan pendekatan Perse Illegal. Kedua
pendekatan ini melekat atau ada di dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999. Pendekatan tersebut berfungsi untuk membedakan perbuatan atau struktur pasar
bagaimanakah yang boleh dilakukan oleh pelaku usaha. Alasan (Rule of Reason)
diperbolehkan didasarkan pada analisis ekonomi dan hukum dengan menganalisis
terpenuhinya unsur-unsur persaingan usaha tidak sehat dan praktik monopoli
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pendekatan
Perse Illegal memandang bahwa perbuatan tersebut tidak perlu analisis, sebab akibatnya
berpengaruh buruk terhadap persaingan dan tidak perlu ada analisis, dan perbuatan atau
pelanggaran benar-benar tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha (Perse Illegal).
Rule of Reason adalah pendekatan guna menilai atau membuktikan perbuatan pelaku
usaha, atau kelompok pelaku usaha telah melakukan praktik monopoli, dan persaingan
usaha tidak sehat, serta merugikan kepentingan umum atau tidak, dengan menilai dampak
dari kegiatan atau perbuatan pelaku usaha dan kelompok pelaku usaha tersebut. Apabila
dampak tersebut dinilai tidak menimbulkan kerugian pada kepentingan umum dan tidak
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, maka perbuatan atau kegiatan pelaku usaha
tersebut tidak melanggar ketentuan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Sedangkan Perse Illegal adalah pendekatan yang tidak memerlukan penilaian atau
pembuktian lagi guna menentukan perbuatan atau kegiatan pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha melanggar atau tidak ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999. Pendekatan perse illegal harus memenuhi dua syarat, yakni petama, harus
ditujukan lebih kepada “perilaku bisnis” dari pada situasi pasar, karena keputusan
melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya, mengenai
akibat dan hal-hal yang melingkupinya. Hal ini adalah adil, jika perbuatan ilegal tersebut
merupakan “tindakan sengaja” oleh perusahaan, yang seharusnya dapat dihindari. Kedua,
adanya identifikasi secara cepat atau mudah mengenai jenis praktek atau batasan perilaku
yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari pelaku usaha baik di
pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah. Meskipun
demikian diakui, bahwa terdapat perilaku yang terletak dalam batas-batas yang tidak jelas
antara perilaku terlarang dan perilaku yang sah.

9
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan.
Dan berdasarkan sifatnya, tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian eksplanatoris,
yang bertujuan untuk penggambaran dan penjelasan lebih dalam mengenai sanksi yang dapat
dikenakan oleh KPPU kepada pelaku persaingan usaha tidak sehat berdasarkan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999.
Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif di mana
penelitian ini berfokus pada norma hukum positf berupa peraturan perundang-
undangan.

10
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Peran KPPU dalam memberikan sanksi terhadap pelaku usaha yang
terbukti melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan sanksi apa saja
yang diberikan
Dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia, hukum persaingan usaha
(competition law) merupakan pengembangan dari hukum ekonomi (economic law), yang
memiliki karakteristik tersendiri. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu karakteristik dari
hukum ekonomi bersifat fungsional dengan meniadakan pembedaan antara hukum publik dan
hukum privat yang selama ini dikenal9. bidang hukum persaingan usaha di Indonesia relatif
masih baru, jika dilihat dari substansi memiliki karakteristik yang unik, tidak hanya ditujukan
bagi kepentingan konsumen juga terciptanya efisiensi ekonomi melalui PenciPtaan dan
pemeliharaan iklim yang kondusif10.
Kehadiran UU No 5 tahun 1999 membawa dampak positif yakni terciptanya pasar
yang tidak mengenal perbedaan, sehingga peluang ha yang semakin besar bagi Para pelaku
usaha. Keadaan ini memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciPtakan dan
memasukan produk yang lebih baik dan kompetetif.
Sebenarnya sebelum diberlakukan Undang-undang Persaingan Usaha, Indonesia telah
memilik peraturan perundang-undangan yang yang mengatur mengenai praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat, walupun masih tercecer, bersifat parsial dan kurang
komprehensif, seperti terdapat beberapa pasal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(PT), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-undang Nomor 9
tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan11.
Sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk menciptakan
“social engineering” bagi masyarakat dunia usaha pada umumnya dan para pelaku usaha

9 Rachmadi usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2013), hal.
1.
10 Ade Maman Suparman, Op.Cit., hal. 52.
11 Faisal Basri, “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan

Ekonomi Indonesia”, (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 355-364.

11
pada khususnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini pun dilengkapi dengan berbagai
macam aturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat dikenakan bagi mereka yang melanggar
ketentuan undang-undang12. Dengan demikian Persaingan usaha yaang sehat di Indonesia
akan banyak tergantung dari kualitas hukum persaingan usaha. Hukum persaingan usaha
merupakan suatu bidang hukum dengan interaksi tinggi antara konsep hukum dan ekonomi13.
Dengan adanya Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai larangan praktik
monopoli (antimonopoli) dan persaingan usaha tidak sehat yaitu Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 membuat penegakan hukum antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat
memiliki dasar penegakan hukum yang kuat dan kokoh, sebab memiliki Undang-Undang
yang tersendiri atau eksklusif mengatur mengenai antimonopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
Dengan demikian hukum anti monopoli bertujuan untuk mendorong dan menjaga
timbulnya suatu kompetisi pasar. Dalam doktrin ilmu hukum dan ekonomi, suatu Pasar yang
kompetitif memiliki karakteristik yakni: Pertama, terdapat banyak pembeli dan penjual.
Kedua, tidak satupun perusahaan dianggap sangat besar, sehingga tidak tanduk perusahaan
tersebut dapat mempengaruhi harga pasar. Ketiga, produk dipasar cukup homogen, di mana
setiap produk sanggup menjadi substitusi bagi yang lain. Keempat, tidak terdapat penghalang
untuk memasuki pasar (barrier to entry). Kelima, kemampuan untuk meningkatkan produksi
tidak ada rintangan. Keenam, produsen dan konsumen mempunyai informasi yang lengkap
mengenai faktor-faktor yang relevan tentang pasar. Ketujuh, keputusan yang diambil oleh
produsen dan konsumen bersifat individual dan tidak terkoordinasi antar sesama produsen
maupun konsumen14.
Dalam penegakan hukum antimonopoli pun dibuat suatu lembaga khusus yang
dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adapun lembaga yang diberikan
kewenangan oleh negara untuk melakukan Penegakan hukum kepada persaingan usaha
adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), lembaga pengawas ini memiliki
beberapa kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang, seperti melakukan monitoring,
penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat, baik yang bersumber dari inisiatif KPPU maupun yang

12 Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 199-200


13 Destivano Wibowo, Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005 hal. 5.
14 Mohammad Saleh, Jurnal Larangan Praktek Monopoli Terhadap Pelaku Usaha Dan

Implikasi Bagi Konsumen, 2007, hal 26.

12
bersumber dari laporan masyarakat atau pelaku usaha yang merasa dirugikan. Kemudian
KPPU juga diberikan wewenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap setiap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
diatur oleh Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Untuk penegakkan hukum antimonopoli di Indonesia diperlukan adanya kerja keras
dan usaha yang sungguh-sungguh untuk dapat melaksanakan law enforcement dari hukum
antimonopoli ini. Kesungguhan tersebut harus ada pada semua pihak yang terlibat. Apakah
dia pejabat pengusutan (polisi), penuntutan (jaksa), ataupun pihak peradilan. Mereka semua
harus dapat menghayati bagaimana pentingnya aturan hukum di bidang antimonopoli untuk
ditegakkan secara jujur dan maksimal. Pada hakikat semua unsur sistem hukum harus
berjalan. Unsur- unsur sistem hukum tersebut substansi hukum (legal substanstion), struktur
hukum (legal structur/law informcement) dan budaya hukum masyarakat (legal culture).
Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan ujung tombak dari penegakan hukum
antimonopoli, maka kapabilitas, kejujuran dan keseriusan dari anggota komisi ini sangat
menentukan bagaimana warna dan irama dari berjalannya hukum antimonopoli dalam
praktik.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
maka setiap perjanjian, kegiatan, atau perbuatan yang dapat mengakibatkan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat merupakan perjanjian atau kegiatan yang dilarang.
Perjanjian atau kegiatan yang dilarang itu dilakukan secara tidak jujur, melawan hukum, atau
menimbulkan hambatan dalam persaingan usaha. Tehadap pelaku usaha yang melanggar
larangan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat ini dapat dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Menurut Prof.
Dr. Achmad Ali, S.H., M.H, faktor-faktor yang memengaruhi ketaatan terhadap hukum, yang
juga beberapa faktor yang diakui oleh C.G. Howard dan R.S Mumners dalam bukunya yang
berjudul “Law: Its Nature and Limits, ialah sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu,
harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut. Suatu sanksi yang
dapat dikatakan tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan lain.
Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan
memungkinkan untuk dilaksanakan. Sanksi yang terlalu ringan untuk suatu jenis kejahatan,
tentunya akan berakibat, warga masyarakat tidak akan segan untuk melakukan kejahatan
tersebut.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 juga mengatur tentang sanksi. Pengaturan
ketentuan sanksi pelanggaran hukum antimonopoli dan persaingan usaha dapat dijumpai

13
dalam ketentuan Pasal 47 sampai dengan 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dari
pasal-pasal tersebut terdapat 3 (tiga) jenis sanksi yang diintroduksi dalam undang-undang ini,
yaitu tindakan administratif, pidana pokok, dan pidana tambahan. Komisi Pengawas
Persiangan Usaha (KPPU), hanya berwenang memberikan sanksi tindakan administratif.
Sementara pidana pokok dan pidana tambahan dijatuhkan oleh lembaga lain, dalam hal ini
peradilan. Yang dimaksud dengan tindakan administratif adalah:
 penetapan pembatalan perjanjian;
 perintah untuk menghentikan integrasi vertikal;
 perintah untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menyebabkan praktek monopoli
dan anti-persaingan dan/atau merugikan masyarakat;
 perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
 penetapan pembatalan penggabungan/peleburan badan usaha/pengambilalihan saham;
 penetapan pembayaran ganti rugi;
 pengenaan denda dari 1 milyar s.d. 25 milyar rupiah.
Dalam pemeriksaan di KPPU, pelaku usaha dilarang menolak untuk diperiksa atau
memberikan informasi yang dibutuhkan atau menyerahan alat bukti yang diperlukan, ataupun
menghambat dalam proses penyelidikan dan pemeriksaan, karena dapat dikatagorikan
sebagai pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999 yang kemudian pelanggaran
tersebut oleh KPPU akan diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian proses pemeriksaan akan dilanjutkan
menjadi perkara pidana dan hukum acaranyapun menggunakan hukum acara pidana. Dengan
adanya ketentuan ini diharapkan dapat memaksa pihak-pihak yang tidak mau berkerja sama
dengan komisi dalam rangka proses pemeriksaan perkara persaingan usaha menjadi lebih
kooperatif.
Bila proses perkara persaingan usaha diserahkan kepada penyidik, maka proses
hukum acaranya pun menggunakan hukum acara pidana, dan kemungkinan pelaku usaha
yang melanggar Undang-undang No.5/1999 dapat dijatuhkan sanksi pidana, dimana sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha dapat berupa pidana pokok dan pidana
tambahan.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut pasal 48 Undang-
undang No.5/1999 berupa:
1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16
sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang- undang No.5/1999

14
diancam pidana denda serendah- rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)
atau piada kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20
sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999 diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggi-
tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang- undang No.5/1999 diancam pidana
denda serendah- rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-
tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti
denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Sedangkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut
Pasal 49 Undang-undang No.5/1999 berupa:
1. Pencabutan izin usaha; atau
2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
Undang-undang No.5/1999 untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbullnya kerugian
pada pihak lain.
Sekalipun hanya berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif, kewenangan
KPPU itu bersinggungan dengan semua pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999. Artinya, semua
pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 dapat dijatuhkan sanksi tindakan administratif.
Sanksi administratif yang dijatuhkan terhadap pelaku usaha tersebut di atas adalah
memerintahkan untuk menghentikan kegiatan yang merupakan tindak lanjut dari
persekongkolan tender, yakni dengan memerintahkan pemenang tender untuk menghentikan
kegiatan pembangunan jalan selambat-lambatnya 30 hari sejak diterimanya petikan Putusan
KPPU, memerintahkan pelaku usaha untuk membayar ganti rugi, memerintahkan pelaku
usaha untuk membayar denda satu milyar rupiah, dan atau melarang pelaku usaha mengikuti
atau terlibat dalam tender sejenis selama jangka waktu tertentu.
Putusan KPPU yang berisi sanksi administratif disebut dengan condemnatoir atau
putusan yang bersifat menghukum. Sedangkan putusan yang isinya menyatakan bahwa
pelaku usaha tertentu secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun
1999 disebut putusan declaratoir atau bersifat menerangkan.

15
Dalam hal putusan KPPU berupa denda dan atau ganti rugi, maka para pihak yang
dijatuhi putusan tersebut wajib membayar ke Kas Negara. Namun dalam hal putusan KPPU
memerintahkan untuk menghentikan kegiatan, atau melarang pelaku usaha mengikuti atau
terlibat dalam tender sejenis selama jangka waktu tertentu, maka menimbulkan masalah
dalam memintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Hal ini mengingat bahwa putusan yang
dapat dimintakan eksekusi adalah putusan yang berujud pembebanan denda dan atau ganti
rugi.
Putusan-putusan tersebut mengikat dan harus dilaksanakan oleh pelaku usaha terkait
dengan perkara setelah berkekuatan hukum tetap. Apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah
putusan berkekuatan hukum tetap, namun pelaku usaha tidak melaksanakannya, maka KPPU
melakukan permohonan penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Jika kemudian para
pelaku usaha tidak juga melakukan putusan tersebut, maka KPPU akan menyerahkan putusan
penetapan eksekusi tersebut kepada Polri (penyidik), guna melakukan penyidikan atas
ketidak-patuhan para pelaku usaha tersebut.
Khusus kewenangan penegakan hukum, KPPU harus bekerja sama dengan instansi
kepolisian. Pasal 39 ayat (1) terkait penggeledahan dan/atau penyitaan dikembalikan
mekanismenya sesuai KUHAP. Kewenangan tersebut tetap menjadi ranah kepolisian.

2. Kelemahan pengaturan sanksi yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 5


tahun 1999 sehingga perlu adanya perubahan didalam Rancangan Undang-
Undang Amandemen Nomor 5 tahun 1999
Salah satu kelemahan mengenai pengaturan sanksi yang terdapat dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 adalah kurangnya perincian mengenai sanksi administrative yang
dimana pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 unsur dari sanksi administrative hanya
terdapat pada Pasal 47, sedangkan sanksi administratif dalam RUU sudah langsung
ditemukan Pada Pasal 19 yang menetapkan secara rinci tentang Pelanggaran terhadap Pasal 4
sampai Pasal 18; dan Pasal 26 Pelanggaran Pasal 20 sampai 25; dan Pasal 32 Pelanggaran
terhadap Pasal 27 sampai Pasal 31 serta Pasal 34 terhadap Pelanggaran Pasal 33.
Kelemahan yang signifikan juga dapat dilihat dari rendahnya nominal denda dari
sanksi yang diberikan. Didalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa
pengenaan denda berada dikisaran Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) hingga Rp.
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Sedangkan didalam Rancangan Undang-
Undang, besaran denda yang harus dibayarkan adalah paling rendah 5% (lima persen) atau
paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari nilai penjualan dari Pelaku Usaha pelanggar dalam

16
kurun waktu pelanggaran. Penerapan besarnya denda hingga 30 persen tersebut sudah lazim
di sejumlah negara maju, seperti Jepang, Korea, dan negara-negara Eropa. Denda sebesar
maksimal Rp 25 miliar dirasa kecil dan tidak memberi efek jera. Karena itu, dengan model
denda seperti itu, diharapkan dapat membuat pelaku yang melanggar tidak akan mengulangi
atau memulai tindakan pelanggarannya.
Kelemahan selanjutnya adalah tidak adanya pelibatan pihak kepolisian di dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, sedangkan dalam RUU, adanya pelibatan kepolisian. Ini
tercantum dalam Pasal 39 yang mengatur antara lain tentang penggeledahan dan penyitaan.
Di sini fungsi tersebut diserahkan kepada kepolisian, sesuai Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Selama ini untuk mendapatkan dokumen yang diperlukan dalam
pemeriksaan KPPU menggantungkan pada kesedian pelaku usaha untuk memberikan
dokumen tersebut atau “kehebatan” investigator mereka menelisik dokumen tersebut. Kini,
dengan pelibatan kepolisian, KPPU bisa melakukan penggeledahan. Masuknya kepolisian
diharapkan semakin memperkuat fungsi pemeriksaan Komisi yang selama sangat terbatas.
Jika pelaku usaha tidak kooperatif, KPPU bisa meminta bentuan polisi untuk menghadirkan
pengusaha tersebut.
Dikarenakan tidak adanya pengaturan mengenai penempatan seseorang dalam posisi
strategis perusahaan sejenis didalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, maka diadakannya
revisi. Pasal 32 RUU memberi sanksi administrasi terhadap pelanggaran posisi dominan,
rangkap jabatan atau komisaris, kepemilikan saham mayoritas pada usaha sejenis, atau
penggabungan/peleburan badan usaha. Pelaku usaha, misalnya, dilarang memiliki saham
mayoritas di beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang
sama. Termasuk yang dilarang, jika pelaku usaha melakukan pengambilalihan saham atau
pembentukan usaha patungan yang ujung dari tindakannya terjadinya praktik monopoli.
Beberapa hal baru yang terdapat dalam RUU antara lain:
 Perluasan pengertian “pelaku usaha.”
 Penambahan kewenangan, yakni, penggeledahan dan penytaan
 Pengubahan besar denda: minimal 5 persen dan maksimal 30 persen.
 Tindak dan sanksi pidana untuk mereka yang mencegah/menghalangi proses
investigasi/pemeriksaan atau tidak melaksanakan putusan KPPU.
Pengertian Praktik monopoli:
 Satu pelaku usaha/kelompok pelaku usaha menguasai 50 persen atau melebihi pangsa
pasar satu jenis barang/jasa tertentu.

17
 Dua atau tiga pelaku usaha/kelompok pelaku usaha menguasai 75 persen pangsa pasar
satu jenis barang dan jasa tertentu.
 Pelaku usaha langsung maupun tidak langsung menetapkan syarat perdagangan
dengan tujuan menghalangi konsumen dalam memperoleh barang atau jasa yang
bersaing.
 Mambatasi pasar dan pengembangan teknologi dan menghambat pelaku usaha lainnya
yang berpotensi menjadi pesaing.
Pasal 39
 Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 huruf b, KPPU berwenang:
1. Menerima laporan dari masyarakat atau pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat;
2. Melakukan investigasi dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan Praktik
Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilaporkan oleh masyarakat,
pelaku usaha, atau yang ditemukan oleh KPPU sebagai hasil dari penelitian;
3. Menyimpulkan hasil investigasi atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya
Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat;
4. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang ini;
5. Memanggil dan menghadirkan saksi, ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
6. Meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan Pelaku
Usaha, saksi, ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf d dan huruf e yang
tidak memenuhi panggilan;
7. Meminta keterangan dari instansi pemerintah berkaitan dengan investigasi atau
pemeriksaan terhadap Pelaku Usaha yang diduga melanggar ketentuan Undang-
Undang ini;
8. Meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan
penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap pelaku usaha, saksi, atau setiap orang
yang menolak memberikan surat, dokumen atau alat bukti lain.
mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna investigasi
atau pemeriksaan;

18
1. Memberikan perintah penghentian sementara perjanjian dan/atau kegiatan dan/atau
penyalahgunaan posisi dominan yang berdampak pada Praktik Monopoli dan/atau
Persaingan Usaha Tidak Sehat;
2. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini; dan
3. Menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini.
Pasal 40
Dalam melaksanakan fungsi penilaian atas rencana penggabungan atau peleburan
badan usaha, pengambilan saham, pengambilan aset atau pembentukan usaha patungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf c, KPPU berwenang:
1. Melakukan penilaian atas rencana penggabungan atau peleburan badan usaha,
pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau pembentukan usaha patungan;
2. Meminta dan mendapatkan data dan informasi kepada Pelaku Usaha dan/atau instansi
terkait tentang nilai aset atau nilai penjualan perusahan yang akan melakukan
penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan
aset atau pembentukan usaha patungan;
3. Mengatur sistem dan tata cara pelaporan terhadap rencana penggabungan atau
peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau
pembentukan usaha patungan; dan
4. Menolak rencana penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham,
pengambilalihan aset atau pembentukan usaha patungan jika dalam hasil penilaiannya
mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat;
dan
5. Mengatur persyaratan terhadap rencana penggabungan atau rencana peleburan badan
usaha, rencana pengambilalihan saham, rencana pengambilalihan aset atau rencana
pembentukan usaha patungan.

19
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Peranan KPPU dalam memberikan sanksi terhadap pelaku usaha yang terbukti
melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai lembaga yang
berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administrative. Meskipun KPPU mempunyai
fungsi penegakan hukum khususnya hukum persaingan usaha, namun KPPU
bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha, dengan demikian KPPU tidak
berwenang untuk menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU
lebih merupakan lembaga administrative, karena kewenangan yang melekat padanya
adalah kewenangan administrative, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan
sanksi administrativeKhusus kewenangan penegakan hukum, KPPU harus bekerja
sama dengan instansi kepolisian. Pasal 39 ayat (1) terkait penggeledahan dan/atau
penyitaan dikembalikan mekanismenya sesuai KUHAP. Kewenangan tersebut tetap
menjadi ranah kepolisian. Sanksi yang dapat diberikan oleh KPPU adalah sanksi
administrative yang meliputi:
 penetapan pembatalan perjanjian;
 perintah untuk menghentikan integrasi vertikal;
 perintah untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menyebabkan praktek monopoli
dan anti-persaingan dan/atau merugikan masyarakat;
 perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
 penetapan pembatalan penggabungan/peleburan badan usaha/pengambilalihan saham;
 penetapan pembayaran ganti rugi;
 pengenaan denda dari 1 milyar s.d. 25 milyar rupiah.
2. Kelemahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dapat dilihat dari kurangnya perincian
tentang pengaturan sanksi, rendahnya denda yang diberikan, tidak adanya pelibatan
pihak kepolisian, dan tidak adanya pengaturan mengenai penempatan seseorang
dalam posisi strategis perusahaan sejenis.

Saran
1. KPPU harus berperan sesuai fungsinya dan menggunakan wewenang sesuai dengan
ketentuan yang sudah diatur.

20
2. Mengenai pengaturan sanksi agar adanya perincian yang lebih untuk memperjelas dan
harus adanya peningkatan nilai denda agar menimbulkan efek jera bagi pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran.

21
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Buku
Puspaningrum, Galuh, Hukum Persaingan Usaha Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang
dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013

Margono, Suyud, Hukum Anti Monopoli, Cetakan pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Gitisudarmo, Indriyo, Pengantar Bisnis Edisi Kedua, Cetakan Ketiga, Yogyakrta: BPFE-
Yogyakarta, 1998

Adi Nugroho, Susanti, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta:
Kencana, 2012
Basri, Faisal “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan
Ekonomi Indonesia”, Jakarta: Erlangga, 2002

Hartini, Rahayu, Hukum Komersial, Cetakan Kedua, Malang: UMM Pres. Universitas
Muhammadiyah Malang, 2006)

Maman Suherman, Ade, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Cetakan Kedua, Bogor: PT.
Ghalia, 2005

Usman, Rachmadi, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013

Wibowo, Destivano, Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005

Jurnal
Saleh, Mohammad, Jurnal Larangan Praktek Monopoli Terhadap Pelaku Usaha Dan
Implikasi Bagi Konsumen, 2007, hal 26.

22

Anda mungkin juga menyukai