Anda di halaman 1dari 67

I.

ISTILAH & PENYEBUTAN

ISTILAH:

Hukum Perdata International (HPI) di Indonesia oleh Prof. GOUW GIOK SIONG (Gautama)
dipergunakan istilah : Hukum Antar Tata Hukum (HATAH), yaitu dimana beberapa system
hukum bertemu dengan posisi / kedudukan yang sama (azas equality).

Cabang-cabang dari HATAH :


A. HATAH Intern (pluralisme system hkum), terdiri dari:
- Hukum Antar Waktu (HAW)
dalam praktek ditemukan dalam Aturan Peralihan;
- Hukum Antar Tempat (HAT)
timbul karena adanya kekuasaan hukum adat;
- Hukum Antar Golongan (HAG)
Warisan Belanda, yaitu penggolongan beberapa system Hukum
terhadap penduduk di Indonesia, al: Gol Eropah, Timur Asing dan
Bumiputera (Psl 131 IS jo 163), penggolongannya sudah dihapus,
tetapi hukumnya belum dihapus.

B. HATAH Ekstern, yaitu Hukum Perdata International


- adanya unsure asing.

Keadaan dimana dua / lebih system hukum bertemu, sehingga harus melakukan / memilih
hukum mana yang berlaku, untuk itu perlu ada prinsip persamarataan (equal), dimana
system hukum yang bertemu itu mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada system
hukum yang lebih rendah atau lebih tinggi dari sistim hukum lainnya.

Masalah HPI timbul karena terdapat pluralisme HPI, dimana setiap Negara memiliki
pengertian HPI masing-masing.
- Apakah HPI hukum Internasional atau hukum nasional? Silang pendapat mengenai ini
dimulai dari judul materinya (dispute starts from the title of the page).

- HPI adalah hukum nasional, bukan International. Sumbernya hukumnya nasional. Hanya
saja dalam HPI ada unsure asingnya (foreign element). Perkataan International pada HPI
jangan dipandang bahwa HPI bersumber dari hukum International. Sifat Internationalnya
adalah karena HPI mengatur masalah keperdataan yang mengandung unsur asing.

Istilah lain dari bertemunya beberapa sistim hukum ini adalah Hukum Perselisihan
(Conflictenrecht- Van Hasselt), Hukum Konflik (Conflict of law- Diccey-Morris), Hukum
Pertikaian (Collisierecht).
Istilah-istilah ini kurang / tidak tepat, karena yang terjadi bukanlah betrokan / tabrakan ,
namun suatu pertautan stelsel-stelsel hukum dalam suatu masalah keperdataan yang ada
unsure asingnya.

Istilah yang tepat adalah : Choice of law, bukan Conflict of law, karena HPI bertugas untuk
menghindari bentrokan, dan bertugas untuk mengambil salah satu stelsel hukum yang
diberlakukan dalam suatu permasalahan.

HPI juga bukan konflik kedaulatan, karena hukum asing digunakan disebabkan hukum
nasional menginginkannya seperti itu, HPI bersumber dari hukum nasional.

Jadi HPI merupakan Hukum Perdata (nasional) untuk hubungan-hubungan International.


- sumber hukumnya hukum nasional;
- hubungannya, fakta-faktanya, materinya bersifat International.
- Azas nasionalistis : sumber dari HPI adalah hukum nasional.
- Azas internationalistis : dari berbagai HPI ada satu HPI yang posisinya berada diatas dari
system hukum yang ada (Supranasional).
- HPI merupakan hubungan antara orang (person) dengan orang dimana terdapat unsure-
unsur asing.

Contoh-contoh sumber hukum nasional:


1. Pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan:
2. UUPMA No. 1 Tahun 1967;
3. Pasal 16, 17, 18 AB (Algemeine Bevalingen)

Pasal 16 AB mengatur :
status & kewenangan hukum /status persona;
Dalam pasal ini diatur prinsip nasionalitas, dimanapun Warga Negara Indonesia (WNI)
berada, hukum nasional Indonesia mengikutinya. Dalam hal ini Indonesia mengikuti Eropa
Kontinental. (Anglo Saxon: yang berlaku prinsip domisili, dimana hukum yang berlaku pada
seorang WN didasarkan pada tempat tinggalnya atau berlaku hukum dimana seseorang
bertempat tinggal)

Pasal 17 AB mengatur :
benda bergerak & tidak bergerak;
Dalam pasal ini diatur benda tidak bergerak tunduk pada hukum dimana benda itu terletak
(Azas Lex Rei Sitae). Sejak zaman Von Savigny ada perubahan makna bahwa benda tak
bergerak sama dengan benda bergerak.

Pasal 18 AB mengatur :
bentuk perbuatan hukum
Dalam pasal ini diatur bahwa suatu perbuatan hukum tunduk pada hukum dimana
perbuatan itu dilakukan (Locus Regim Actum). Jika perkawinan, hanya syarat formalnya
saja yang tunduk pada hukum dimana perbuatan itu dilakukan (Lex Loci Celebrationis)

II. PENGERTIAN HPI

DEFENISI HPI:

Van Brakel (Grond Slagen en Beginselen Van Nederlands International Privat Recht) :
Hukum Perdata Interntional adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk
hubungan-hubungan International

Graveson : Conflict of Law (HPI) adalah : cabang dari hukum Inggris yang berhadapan
dengan masalah-masalah yang fakta relevannya mempunyai hubungan geografis dengan
Negara asing, dan memungkinkan timbulnya pertanyaan tentang penerapan hukum
Inggris atau asing yang sesuai untuk pemecahan masalah, atau seperti pada pelanggaran
yuridiksi oleh pengadilan Inggris atau pengadilan asing.

Prof. GOUW GIOK SIONG (S GAUTAMA) & Schnitzer:


HPI bukanlah hukum international, tetapi hukum national. Di Indonesia HPI dan Hukum
Antar Golongan (HAG) sangat erat hubungannya.

Kesimpulannya
- Hukum Perdata Interntional, bukan sumber hukumnya international, tetapi materinya
(yaitu hubungan-hubungan /peristiwa-peristiwa yang merupakan objeknya) yang
interntional.
- HPI adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat yang
didalam hubungan itu mengandung unsur asing;

2. OBJEK HPI

Ruang lingkup kaedah-kaedah HPI di setiap Negara berbeda, hal ini menunjukkan juga
bahwa HPI adalah hukum nasional.

Di Inggris: HPI= (Confict of Laws) disamping mengatur hubungan antara orang Skot (sistim
hukum Scotlandia lebih condong pd hukum Belanda) dengan orang Inggris, juga mencakup
kaedah-kaedah hukum antar agama;

Di Amerika Serikat: HPI mencakup hubungan antara orang-orang dari Negara bagian yang
berbeda (seperti Negara Bagian New York dengan Calipornia dsb), orang kulit putih dan
orang negro, serta orang (WN) Amerika Serikat dengan orang Asing;

Di Aljazair : kaedah-kaedah HPI berkisar pada perbedaan agama (Hanya orang Kristen dan
Yahudi yg sabagai orang asing memperoleh perlindungan hukum). Agamalah yang menjadi
criteria seseorang dianggap asing atau tidak;

Di Indonesia: HPI berkisar pada hubungan perdata dengan unsur asing dalam hubungan
hubungan International, Hukum Antar Golongan (HAG) hanya berlangsung dalam suasana
hukum international, karenanya maka:
- HPI merupakan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) extern, sedangkan
- HAG merupakan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) intern. meskipun kedua-duanya
merupakan hukum nasional.

Karena berdasarkan Pasal 131 I.S (Indische Staatregeling) penduduk Indonesia dibedakan
kedalam golongan-golongan penduduk: Eropah, Timur Asing, dan Bumiputera, maka pada
waktu lalu dalam prakteknya orang-orang yang berasal dari Eropah. Amerika, Jepang, Asia
dan Afrika (sekarang unsure Asing) tunduk kepada hukum Barat yang berlaku di Indonesia.
Hal ini menunjukan peristiwa yang sesungguhnya HPI diubah menjadi HAG.

HPI tidak semata-mata hukum perdata

Corak HPI dibeberapa Negara menunjukkan bahwa sejarah dan struktur ketatanegaraan
suatu masyarakat hukum sangat menentukan corak dan luas lingkup kaedah-kaedah HPI,
sehingga HPI tidak semata-mata mengenai hukum perdata.

Scholten & Hamaker:

Antara hukum tata negara (constitutional law) dan hukum perdata dapat kita bedakan,
tetapi antara hukum public dengan hukum perdata hanyalah hubungan antara hukum
khusus (perdata) dengan hukum yang berlaku umum (public). Perbedaannya dalam hukum
perdata orang dapat melepaskan (tidak menggunakan) haknya, sedang dalam hukum
public hal itu tidak mungkin.

Kranenburg: (bukunya: Grondslagen der Rechtswetenschap) tidak keberatan jika


pembagian hukum perdata dan hukum public ditiadakan.

Schnitzer:
Perbedaan antara hkm perdata dan hkm public makin kabur, karena kaedah-kaedah yang
mengatur hukum public makin lama makin berkembang disamping hukum perdata,
sebagai contoh: hukum perjanjian International, hukum devisa, hkm perdagangan
International, hukum penanaman modal, hukum pengangkutan international dsb. Hal ini
terjadi seiring dengan lahirnya gagasan tentang Negara kesejahteraan (welfare state)
dimana pemerintah berkewajiban untuk mengatur kepentingan orang banyak.

Di Indonesia: hukum adatpun tidak mengenal pembedaan perdata dan public.

Hukum Inggris: tidak membuat perbedaan antara kaedah-kaedah hukum public dan hukum
perdata, ini nampak dalam corak dan luas lingkup HPI nya. Conplict of Law tidak hanya
ditemui dalam hukum perdata saja tetapi juga dalam HTN, hukum pidana dan hukum
lainnya (Graveson). Hukum kewarganegaraan pun dimasukkan dalam HPI (Dicey).

UNSUR ASING

HPI lahir sebagai akibat adanya unsure asing dalam suatu peristiwa. Maka karena ada
unsure asing itu timbul pertanyaan: kaedah hukum mana yang harus berlaku, kaedah lex
fori (hukum setempat) atau kaedah hukum asing yang bersangkutan?

Sebelum lahirnya HPI, di Eropah selalu Lex fori yang dianggap berlaku sekalipun ada
unsure asingnya, karena setiap orang yang berdiam disuatu Negara /kerajaan dianggap
tunduk pada hukum setempat. Ketentuan ini didasarkan pada azas territorial. Penyelesaian
masalah berdasarkan lex fori ini lama kelamaan menimbulkan putusan-putusan yang
bertentangan dengan rasa keadilan.

Dengan berkembangnya hukum Romawi di Eropah, terjadilah pembagian antara soal-soal


hukum materiil dan soal hukum acara. Bagi hukum acara berlaku lex fori (pengadilan
setempat), sedang bagi masalah hukum materiil berlaku lex loci actus (yaitu hukum dari
tempat perjanjian atau perbuatan itu diadakan), karena dianggap pada waktu dibuatnya
perjanjian semua pihak tunduk pada hukum setempat. Sebagai contoh perkawinan
dianggap tunduk pada hukum perkawinan dimana perkawinan itu dilaksanakan.

Kesimpulannya:
HPI mengatur setiap peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik
peristiwa termasuk hukum public (TUN, pajak, pidana) maupun termsuk hukum perdata
(perkawinan, waris dan hukum dagang).

HPI akan mencari jawaban 3 masalah pokok yang menyangkut peristiwa hukum yang
mengandung unsure asingnya, yaitu:
- Hakim mana yang berwenang ?
- Hukum mana yang berlaku ?
- Kapan dan sampai sejauh mana Hakim nasional wajib memperhatikan putusan hakim
asing ?

3. Sejarah lahirnya Hukum Perdata International (HPI)

Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam pergaulan
masyarakat. Jika didalam suatu perkara perdata tersimpul ada unsur asingnya (pihak atau
substansi),maka disebut sebagai Hukum Perdata International (HPI);

HPI di Eropah Barat:

Di Eropah Barat, selalu ada pertentangan antara dua kutub, yaitu kepentingan masyarakat
dan kepentingan individu.

A. YSSEN (dalam bukunya Individu en Gemeenschap)


manusia sepanjang masa selalu berhadapan dengan dilemma antara individualisme dan
kolektivisme, sehingga karenanya bentuk dan sifat tau pola kebudayaan setiap masyarakat
manusia selalu berkisar pada dua ktub itu

Di Indonesia (dahulu), antara masyarakat dan individu tidak dapat dipisahkan atau dwi
tunggal, tetapi di Eropah dan Amerika 2 kutub tersebut dipandang sebagai hal yang
berlawanan (antagonistis), sehingga selalu terjadi dilemma. Pertentangan ini tercermin
juga di lapangan hukum yang selalu mempertentangkan antara hukum public dan hukum
perdata. Khususnya HPI di Eropah Barat pertentangan selalu berkisar diantara prinsip
personil dan prinsip territorial, atau pada zaman modern ini antara prinsip domisili dan
prinsip kewarganegaraan (Mancini dari Italia).

I. Perkembangan masyarakat dari masy. geneologis (suku-suku, hubungan darah) ke


masy,geneologis-territorial (rumpun) dan dari masy territorial kepada masy territorial-
geneologis (ikatan Negara nasional) sangat berpengaruh pada perkembangan hukum
khususnya terhadap HPI;
- masy geneologis, dibangun berdasarkan hubungan darah sebagai anggotanya, orang
asing tidak punya hak apa-apa. Type ini berubah karena perang atau penyatuan ikatan dgn
masy lain;
- masy territorial, orang asing masuk (adopsi) kedalam masyarakat hukum tertentu,
sehingga baginya berlaku hukum masyarakat yang mengangkatnya (prinsip territorial);
- orang asing membawa bahasa dan kebiasaan Negara asalnya kedalam masyarakat
hukum lain dalam keadaan damai (prinsip personil) ;
- Pertukaran barang dengan orang asing inilah yang melahirkan kaedah-kaedah hukum
HPI;
- Cara pertukaran barang ini juga dikenal dalam Hukum Adat Indonesia, karenanya dapat
dikatakan hkm adat juga mengandung kaedah-kaedah HPI;

II. - Commercium adalah hak berdagang ditempat yang bukan tempat asalnya yang
diberikan Pemerintah Romawi kepada pedagang Yunani, Syiria dan Timur Tengah;
- Praetor peregrines : hakim pengadilan khusus yang menyelesaikan perselisihan antara
orang Romawi dengan pedagang asing;
- Ius Gentium : hukum yang digunakan untuk mengadili peristiwa yang mengandung
unsure asing berdasarkan azas-azas keadilan, disamping ius civile Romawi;
- Pada abad ke 3 M setelah Romawi menaklukkan seluruh wilayah Eropah Continental, ius
civile hanya berlaku bagi Cives (warga) Roma, dan ius gentium berlaku bagi seluruh
kerajaan Roma.

III. Sesudah keruntuhan Kerajaan Romawi Kuno, maka hukum kesukuan (stamenrecht)
berlaku kembali dan berlaku prinsip personil. Tetapi karena banyaknya suku dan sukar
untuk membuktikan seseorang berasal dari suku tertentu, maka berkembang penundukan
pada sistim hukum tertentu, maka mulailah pilihan hukum memegang peranan dalam
HPI;

IV. Antara abad ke-6 dan ke-11, berlaku hukum Franka, yang dinamakan capitularia, yaitu
hukum-hukum yang dinyatakan Raja-Raja Franka. Hukum ini berlaku diseluruh wilayahnya
dan bagisetiap orang, berlaku secara territorial;

V. Abad ke-10 hukum personil (lex originis) kehilangan artinya di Perancis dan Jerman,
berlakunya hukum masing-masing Negara mempunyai arti yang menentukan. Mulailah
berkembang asas domisili;

VI. Abad ke-13 di Italia tumbuh kota-kota yang masing-masing mempunyai undang-undang
(Statuta) tersendiri (missal: Geno Pisa, Milan, Bologna, Venezia, Plorence, Parma dll).

Dalam konteks HPI, pada abad ke-12 Aldricus mempersoalkan apakah pengadilan akan
memberlakukan hukum / statute nya sendiri atau hukum orang asing, menurut
pendapatnya hakim harus menggunakan hukum yang menurut pendapatnya lebih baik
dan lebih berguna.

Tumbuhnya Teori-teori Statuta:

Abad ke-12 berdasarkan Corpus Iuris dari Justianus (Huku Romawi), azas HPI, yaitu hukum
yang dibuat penguasa kota (principe) hanya berlaku bagi kaula kota yang bersangkutan
(Statuta).
Pada masa ini Statuta dibedakan antara lain:
- Statuta realita, yang berlaku dalam lingkungan batas wilayah kekuasaan, mengikat pada
tempat, benda atau orang seperti: kaedah-kaedah hak atas tanah;
- Statuta personalia, yang berlaku mengikuti seseorang, kemana saja orang pergi, seperti:
wewenang hubungan pribadi (perjanjian),

Abad ke-13 (1314-1357) Bartolus de Saxoferrata:


- Statuta yang mengijinkan sesuatu, dan
- Statuta yang melarang sesuatu;
- Statuta Mixta, yaitu statute berlaku bagi semua perjanjian yang dibuat ditempat
berlakunya statute dgn segala akibat hukumnya, sedang wanprestasi dan segala akibat
hukumnya diatur menurut statuta ditempat seharusnya perjanjian dilaksanakan.

Teori Statuta di Perancis:


Teori Statuta Bortolus diabad-abad berikutnya diikuti oleh ahli-ahli hukum Perancis,
Charles Dumoulin (1500-1566):
- setiap pihak dapat menentukan pilihan hukum yang berlaku dalam setiap perkara;
- Hukum yang berlaku adalah ditempat perbuatan hukum dilakukan;
Bertrand DArgente (1519-1590)
- barang warisan tunduk bukan hanya pada satu system hukum saja, tetapi setiap barang
tak bergerak itu tunduk pada hukum tempat letaknya barang (lex rei sitae)

Teori Statuta di Belanda

Ahli hukum Belanda Ulrik Huber (1636-1694):


1). Hukum suatu Negara hanya berlaku dalam batas-batas wilayah
hukumnya dan terhadap subjects nya sendiri;
2). Kaula (subject) negara adalah mereka yang berada dalam
lingkungan kekuasaan negara tersebut, baik yang menetap, maupun
yang hanya sementara tinggal;
3). Berdasarkan azas Comitas (sopan santun), hukum suatu Negara
dapat dianggap seakan-akan berlaku dimana-mana, asalkan tidak
melanggar kekuasaan atau hak-hak negara lain;

Johanes Voet 1666-1698), melahirkan theori Comitas, yaitu:


- Pada hakekatnya tidak ada Negara yg wajib menyatakan berlakunya kaedah hukum asing
dalam batas-batas wilayah hukumnya, jika kaedah hukum asing itu diberlakukan, maka itu
disebabkan semata-mata berdasarkan sopan santun pergaulan antar bangsa (Comitas
gentium)
- Comitas harus ditentukan secara objectif, berdasarkan azas locus regit actum (perbuatan
hukum tunduk pada hukum setempat);

Teori Comitas gentium ini ditentang oleh Wolf, Van Brekel dan Cheshire, yang menyatakan:
Hukum International tidak mengenal azas Comitas, karena berlakunya hukum asing
hanyalah disebabkan karena keinginan untuk mencari penyelesaian yang seadil-adilnya
(the desire to do justice).

Teori Statuta Jerman

Ahli-ahli hukum Jerman antara lain Johan Nikolaus Hert (1651-1710)


menyempurnakan HPI yang menolak teori-teori statute dan mengemu
kakan teori tersendiri;

Teori Statuta di Inggris

Sampai akhir abad-17 HPI di Inggris tidak berkembang karena hukum setempat yang
selalu berlaku. Ketika tampuk kerajaan Inggris dan kerajaan Scotlandia berada disatu
tangan (Raja James I) mulailah dipikirkan berlakunya hukum asing yang juga diakibatkan
oleh perdagangan international yang pesat:
- tidak lagi berpegang pada azas lex fori;
- berlaku azas Comitas dan pilihan hukum

Teori-teori Modern (abad 19)

Pada abad-19 ini HPI mengalami kemajuan yang pesat, berkat tiga
orang sarjana, yaitu:
1. Joseph Story (Hakim Amerika, bukunya: Commentaries on the Conflict of Law 1834);
Story mereview putusan-putusan hakim Inggris dan Amerika dengan cara induktif,
sehingga ia berkesimpulan: adanya kaedah-kaedah HPI tertentu didalamnya.

2. Carl Frederick Von Savigny (Prof Jerman;bukunya: Sistem hukum Romawi- 1849):
- suatu hubungan hukum yang sama harus memberi penyelesaian yang sama, baik
diputuskan oleh hakim di Negara A, maupun oleh Hakim di Negara B. maka karenanya
penyelesaian yg menyangkut unsur asing hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga
putusannya akan sama dimana-mana;
- Adanya pergaulan hidup masyarakat international menimbulkan satu system hukum yang
merupakan system hukum supra-nasional, yaitu HPI;
- Pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan comitas (sopan
santun), akan tetapi berdasar pada kebaikan/kegunaan (manfaat) fungsi yang dipenuhinya
bagi semua pihak (Negara dan manusia) yang bersangkutan;

3. Pascuale Stanislao Mancini (bukunya : Kewarganegaraan sebagai Dasar Hukum Antar


Bangsa-1851) mazhab Italy:
- Semua nation (bangsa) mempunyai kedudukan yang sama dalam masyarakat antar
bangsa, dan timbulnya Hukum Internasional adalah karena hidup bersama antar bangsa,
yaitu kedudukan yang sama rendah dan sama tinggi;
- Mancini membuat perbedaan antara Negara dan nation, bahkan menurutnya nasion itu
mungkin ada sebelum adanyya Negara (state);
- Nasionalitas diartikan condong pada faham tanah air dari pada faham
kewarganegaraan yang berakar pada hukum publik, ataupun faham domicile yang
berakar pada hukum perdata. Karenanya nasionalitas Mancini mempunyai arti politis
(extra juridis).

Menurut Mazhab Italy ini, ada dua macam kaedah dalam setiap sistim hukum, yaitu :
a) kaedah-kaedah hukum yg menyangkut perseorangan;
b) kaedah-kaedah hukum untuk melindungi dan menjaga keteriban umum (public order)

Berdasarkan pembagian ini, ada tiga azas HPI :

1. Kaedah-kaedah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warga Negara,


dimanapun dan pada waktu apun juga (prinsip personil);

2. Kaedah-kaedah untuk menjaga ketertiban umum bersifat territorial dan berlaku bagi
setiap orang yang berada dalam wilayah kekuasaan suatu Negara (azas territorial);

3. Azas kebebasan, yang menyatakan bahwa para pihak yang bersangkutan boleh memilih
hukum manakah yang akan berlaku terhadap transaksi diantara mereka (pilihan hukum).

Konsepsi-konsepsi tentang Ruang Lingkup HPI, ada 4 konsepsi:

1. Konsepsi tersempit, HPI = Choice of Law (pilihan hukum)


Penganutnya : Jerman, Belanda.

2. Konsepsi Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction (Pilihan hukum dan pilihan
Yuridiksi) Penganutnya : Negara-negara Anglo Saxon.

3. Konsepsi Lebih Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing
(Condition des strangers). Penganutnya : Negara-negara Latin, spt: Itali, Spanyol, Amerika
latin.

4. Konsepsi Paling Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing
(Condition des strangers) + kewarganegaraan (nasionalitet). Penganutnya : Prancis.
Sejarah ASAS-ASAS HPI HATAH EXTERN

- Prinsip Personalitas: Hukum berlaku digantungkan pada perorangan, ikatan personil,


berdasarkan hubungan darah; (kemudian berkembang);
- Prinsip Territorialitas : ikatan didasarkan pada territorialitas (karena daerahnya makin
luas);
- Ius Gentium: hukum yang mengatur hubungan antara warga civitas dengan peregrine;
- Civitas : suatu wilayah yang sudah direbut oleh kerajaan romawi dan memppunyai aturan
sendiri;
- Peregrini : orang-orang /pedagang asing yang masuk kedalam civitas.
- Setelah kerajaan Romawi runtuh, kekuasaan dipegang oleh kaum bar-bar, prinsip
territorialitas kembali lagi kedalam prinsip personalitas;
- Abad 11 12, kembali ke prinsip territorialitas, kota-kota dagang mempunyai ketentuan-
ketentuan / hukum tersendiri yang dinamakan Statuta;
- Abad 13-14, BARTOLUS DE SAXOFERRATA mengembangkan TEORI STATUTA yang
menjadi cikal bakal HPI, yaitu:

- STATUTA PERSONALIA, mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personil, mengikuti


seseorang dimanapun dia pergi, mencakup aturan-aturan / hukum perorangan termasuk
hukum kekeluargaan dan benda bergerak. (benda bergerak mengikuti status penguasa
benda tersebut mobilia sequntur personom);

- STATUTA REALITA; berlaku secara territorial. Hanya benda yang terletak dalam wilayah
pembentuk undang-undang tunduk pada peraturan yang berlaku tersebut, (berlaku juga
untuk benda tidak bergerak);

- STATUTA MIXTA; berlaku bagi yang tidak masuk statute realita dan statute personalia,
yaitu bentuk perbuatan hukum (azas Locus Regit Actum) ditempat dimana perbuatan
hukum itu dilakukan.

VON SAVIGNI :
- benda bergerak dan benda tidak bergerak disatukan tunduk pada azas Lex Recipe,;
- untuk hukum pribadi yang menjadi ukuran adalah tempat tinggal, (mulai berlaku Prinsip
Domisili);
- untuk hukum bidang kontrak/perjanjian berlaku Lex Loci Executionis hukum dimana
konttrak dilaksanakan / diselesaikan;

Kuliah : Hukum Perdata International (3)


(Dosen : Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)
KUALIFIKASI atau PENGGOLONGAN

Penggolongan suatu peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi kedalam system kaedah-
kaedah Hukum perdata Internasional dan hukum materiil nasional disebut : kwalifikasi
(Bartin, Van Brakel), atau Classification (Wolf, Graveson) atau characterization
(Ehrensweig).

Kualifikasi dapat dilakukan baik pada lapangan hukum public, hukum pidana maupun
hukum perdata. (sebagai contoh: seseorang yang memasuki rumah orang lain secara
paksa dengan merusak pintu, maka kualifikasinya/ penggolonngan peristiwa ini kedalam
hukum Pidana, dan kejahatannya (tindak pidananya) adalah: memasuki rumah orang
tanpa izin melanggar Pasal 167 (1) KUHP dan merusak pintu: melanggar Pasal 167 ayat (2)
KUHP)
- Contoh lain mengenai: seorang anak asing (bukan WNI) yang tidak diakui sah, akan
menuntut hak-haknya dari ayahnya yang berkewarganegaraan sama, maka penggolongan
fakta-fakta ini kedalam hukum Perdata, mengenai status seorang anak yang diatur dalam
Pasal 16 AB (prinsip nasionalitas).

Kualifikasi ada dua macam, yaitu:


1) QUALIFICATION OF LAW, yaitu penggolongan atau pembagian semua kaedah-kaedah
hukum yang ada, menurut kriteria yang ditentukan lebih dahulu. Misalnya pembagian
kedalam: hukum perjanjian, Hukum Penanaman Modal, Hukum Waris, Hukum Perseorangan
dan sebagainya.

2) QUALIFICATION OF FACTS, penggolongan / penyalinan hukum dari fakta-fakta sehari-hari


kedalam istilah hukum, fakta-fakta tersebut dimasukkan kedalam kotak-kotak hukum /
bagian-bagian hukum yang telah tersedia (kaedah hukum yang bersangkutan).

Dalam melakukan kualifikasi terhadap suatu peristiwa / fakta-fakta tertentu, dapat terjadi
beberapa kemungkinan:
a. Jika kaedah hukum yang harus berlaku bagi peristiwa (berdasar kaedah penunjuk dan
titik taut) itu adalah lex fori (hukum setempat), maka kualifikasi seakan-akan terdiri dari
satu macam perbuatan saja yaitu karena penggolongan kaedah-kaedah hukum yang harus
berlaku itu dilakukan hanya menurut lex fori;
b. Jika kaedah penunjuk dan titik tautnya dalam kumpulan fakta-fakta itu menunjuk pada
kaedah hukum asing, maka kualifikasi / penggolongan dari hukum asing itu harus
dilakukan menurut hukum asing tersebut (lex causae the proper law);
c. Dalam hal tertentu, UU dengan nyata dan tegas menyatakan kualifikasi harus dilakukan
menurut hukum tertentu, misalnya dalam Pasal 17 AB yang berbunyi: Mengenai benda-
benda tak bergerak (immovebles) berlaku ketentuan / UU dari Negara / wilayah hukum
setempat ditempat benda tersebut terletak. Sehingga kualifikasi ini bukan menurut lex
fori, tetapi system hukum yang lain;
d. Para pihak berhak menentukan kualifikasi dilakukan berdasarkan system hukum tertentu
(pilihan hukum);

TEORI-TEORI KUALIFIKASI

1. KUALIFIKASI menurut LEX FORI


- Kualifikasi ini merupakan teori yang paling tua, dan paling banyak diakui, yaitu
kualifikasi / penggolongan dilakukan menurut hukum sang hakim (BARTIN).
- Kualifikasi lex fori ini harus dilakukan, karena kaedah HPI merupakan juga kaedah-kaedah
hukum intern / nasional, lex fori dikenal baik oleh hakim dan pembuat UU sehingga
memudahkan penyelesaiannya.
- Kelemahan teori ini seringkali menimbulkan ketidak adilan, karena kualifikasi kaedah-
kaedah hukum itu bukan saja tidak sesuai dengan hukum asing, juga bahkan tidak dikenal
oleh system hukum asing tersebut.

2. KUALIFIKASI menurut LEX CAUSAE


- Teori ini dikembangkan oleh MARTIN WOLFF dan CHESHIRE, yang berpendapat bahwa
kualifikasi hendaknya dilakukan sesuai dengan sistim dan ukuran-ukuran keseluruhan
sistim hukum yang besangkutan (lex causae).
- Menurut Wolff, tujuan utama kualifikasi ini untuk menetapkan kaedah HPI yang mana dari
lex fori yang berhubungan dengan atau menyangkut kaedah hukum materiil asing.
- kelemahan teori ini, jika kualifikasi berhadapan dengan suatu sistim hukum yang tidak
mempunyai kualifikasi yang lengkap, seperti dalam Hukum Adat dan Hukum Inggris.
Apalagi jika sistim hukum asing itu tidak mengenal lembaga hukum yang dikenal dalam
hukum nasional setempat atau sebaliknya. Menghadapi yang demikian, maka kualifikasi
harus diselesaikan dengan mendasarkan pada analogi terhadap peristiwa/fakta-fakta yang
sama dasarnya, jika tidak mungkin maka digunakan lex fori.

3. KUALIFIKASI secara ANALITIS atau OTONOM


- Teori ini dikemukakan oleh RABEL, oleh BECKET disebut Teori Hukum Analitis (analytical
jurisprudence);
- Menurut teori ini: setiap kaedah hukum harus dibandingkan dengan kaedah-kaedah
hukum yang serupa dari sistim hukum yang dikenal, dimaksudkan agar tercipta satu
macam kualifikasi bagi HPI yang universal, yaitu tercipta pengertian-pengertian HPI yang
diterima umum terlepas dari stelsel-stelsel hukum yang ada.
- Dalam praktek tidak mungkin dilakukan mengingat:1) sulit menyelidiki semua sistim
hukum yg berlaku, 2) setiap sistim hukum selalu berkembang, sehingga selalu sukar untuk
mengejar perubahan-perubahan disemua sistim hukum, 3) seandainya dapat diciptakan
suatu sistim kualifikasi universal, hanyalah gambaran rata-rata dari sistim hukum, bukan
gambaran sistim yang riil yang berlaku di setiap negara. (Contoh: lembaga trust di
Inggris tidak dikenal dalam sistim hukum lain, demikian jua domicile dalam hukum
Inggris, berbeda sifatnya dengan domicilie dalam hukum Belanda, berlainan pula dengan
arti domisili dalam hukum Indonesia.

4. KUALIFIKASI secara BERTAHAP


- Teori ini dikemukakan oleh SCHNITZER, yang membedakan dua tingkat kualifikasi, yaitu:
- Kualifikasi tahap pertama kualifikasi menurut lex fori untuk menemukan hukum mana
yang dipergunakan; dan
- kualifikasi tahap kedua kualifikasi menurut lex causae yaitu kualifikasi lebih jauh dari
hukum asing mana yang harus dipergunakan.
- Ada yang menganggap kualifikasi sama dengan interpretasi (EHRENZWEIG) ,meskipun
ada hubungan erat antara keduanya, namun tetap harus dibedakan antara keduanya,
karena Menafsirkan berarti memberi arti dan isi kepada suatu kaedah penunjuk (terlepas
ada kasus/peristiwa atau tidak), sebaliknya kualifikasi berarti menerapkan suatu kaedah
hukum untuk suatu peristiwa tertentu (LEMAIRE);
- Teori ini mengatasi kesulitan secara realistis, karena untuk menemukan lex causae, tidak
mungkin dapat mempergunakan kualifikasi lain selain kualifikasi menurut lex fori.
- Pengecualian dari kualifikasi ini, adalah:
a. Kewarganegaraan, yang berlaku lex causae (hkum WN melekat);
b. Benda bergerak/tidak bergerak, lex rei sitae (dimana benda
terletak)
c. Kontrak/perjanjian, pilihan hukum (choice of law)
d. PMH / tort, lex loci delictie commissie (tempat terjadinya PMH)

5. KUALIFIKASI HPI
- Teori ini dikemukakan KEGEL, yang menyatakan kualifikasi kaedah hukum asing
tergantung pada tujuan yang akan dicapai HPI, yaitu latar belakang kepentingan HPI
(keadilan, ketertiban, kepastian, kelancaran pergaulan international) yang akan dilindungi.
Jadi harus ditentukan lebih dahulu kepentingan HPI manakah yang dilindungi oleh suatu
kaedah hukum HPI tertentu.
- Kepentingan HPI, antara lain:
a. kepentingan para pihak (hukumnya sendiri atau hukum yang
dipilihnya);
b. kepentingan pergaulan dan lalu lintas international (kepastian hukum dan kecepatan
dalam lalu lintas orang dan barang menentukan menurut hukum mana kualifikasi
dilakukan);
c. ketertiban dan kepastian hukum (yg merupakan tujuan unifikasi
hukum extern, dan kecenderungannya memerlukan lex fori);
d. perasaan keadilan dalam masyarakat (pergaulan) international
TAHAP-TAHAP PEMERIKSAAN SUATU PERKARA HPI :

1. Menentukan Pengadilan mana yang berwenang memeriksa perkara


HPI;
Penentuan ini didasarkan/dengan bantuan titik-titik taut primer. Jika pengadilan
Indonesia yang berhak memeriksa, maka HPI dan Hukum Acara Indonesia yang akan
diberlakukan.

2. Menentukan jenis atau soal apakah peristiwa HPI itu, perkara adopsi, atau perkawinan
atau PMH atau pidana. Pada tahap ini dilakukan kualifikasi dari fakta-fakta, disini baru
diketahui lex forinya, karenanya pengkualifikasian ini hanya dapat dilakukan menurut lex
fori.

3. Dengan berdasarkan lex fori, dicari hukum mana yang berlaku, untuk itu harus dicari
titik-titik taut sekunder guna menemukan hukum yang harus berlaku: lex causae.
- Kadang-kadang lex causae ini adalah lex fori juga, maka selanjutnya diteruskan menurut
lex fori;
- Lex causae ditentukan letak benda tak bergerak, maka sistim hukum yang berlaku lex
situs;
- Ditentukan oleh tempat terjadinya perjanjian (lex loci contractus), tempat
dilangsungkannya perjanjian (lex loci solutionis) atau tempat terjadinya perkawinan (lex
loci celebrationis).
- Bisa juga lex causae ini ditentukan oleh tempat tinggal terakhitr atau tempat asal
seseorang (lex domicilii)

4. Setelah lex causae, maka kualifikasi dan penentuan perkara HPI dilakukan menurut lex
causae, kecuali jika lex causae memberi hasil yang:
a. bertentangan dengan kepentingan umum lex fori, maka lex fori yang berlaku, atau
b. lex causae tidak mengatur persoalan HPI yang bersangkutan.

5. Penunjukan kembali (Renvoi)


Dalam mencari lex cause, jika yg dimaksud hukum asing seluruh kaedah hukum asing
termasuk kaedah HPI, maka ada kemungkinan HPI asing itu menunjuk kembali kepada lex
fori, atau kepada hukum asing yang kedua / lainnya, inilah yang disebut persoalan renvoi
(penunjukan kembali dan penunjukan lebih lanjut).

Contoh-contoh:
A. Kulaifikasi menurut lex fori, biasa dilakukan pengadilan Inggris.
I. Perkara Ogden Vs Ogden (1908)
- Suami (domisili di Perancis) menikahi istrinya (berdomicile di Inggris)
di Inggris;
- Perkawinan ini dibatalkan di Perancis, karena di Perancis suami masih dianggap belum
dewasa dan tidak mendapat izin orang tuanya.
- Menurut HPI Inggris syarat-syarat formil suatu perkawinan diatur oleh lex loci
celebrationis dan syarat-syarat materiil oleh lexdomicilie;
- Dalam hukum Inggris: izin orang tua dianggap unsure formil (formality) yang diatur oleh
hukum tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrationis), sedangkan menurut
hukum Perancis: izin orang tua dianggap sebagai unsure materiil yang harus diatur
menurut hukum pribadi personil yang bersangkutan;
- Jika izin dikualifikasikan menurut lex fori (hkm Inggris), maka perkawinan dianggap syah,
tetapi jika dikualifikasi menurut hukum Perancis, maka perkawinan itu batal.
- Menurut Pengadilan Tinggi (Court of Appeal) harus dilakukan kualifikasi menurut lex fori,
sehingga perkawinan seperti itu dianggap sah.

II. Perkara Apt Vs Apt (1947)


- Ny. Apt (WN Jerman, bertempat tinggal dan mempunyai domisili di Inggris) telah menikah
dengan perantaraan (by proxy) dengan Tn. Apt (WN Jerman tinggal dan mempunyai
domisili di Argentina);
- Pengadilan Inggris harus menentukan apakah cara perkawinan ini merupakan syarat
formil ataukah syarat materiil. Jika cara ini merupakan syarat formil, maka perkawinan
yang dilangsungkan di Argentina harus berlangsung menurut hukum Argentina adalah sah.
Namun jika cara itu dianggap sebagai syarat materiil, maka perkawinan itu dianggap tidak
sah.
- Pengadilan Inggris mengnggap cara perkawinan ini sebagai syarat formil, maka
perkawinan ini dianggap sah.

Jika telah ditetapkan perkawinan itu sah, maka hakim akan mencari titik-titik taut yang
menentukan hukum yang harus berlaku.
Dalam hukum Inggris titik-titik taut ini ditentukan pula oleh lex fori:
a). Jika perkawinan (di Argentina), maka Hkm Pdt Inggris akan memeriksa apakah menurut
hukum Argentina, syarat-syarat formilnya dipenuhi atau tidak;
b). Jika mengenai warisan, maka akan ditentukan dimana domicile Pewaris pada waktu
meninggal, dan dimana lex situs (letak) barang-barang tak bergerak yang ditinggalkan
pewaris;
c). Jika mengenai perjanjian, maka akan ditentukan dimana lex loci contractus (tempat
terjadinya) atau lex loci solutionis (tempat dilaksanakannya);

B. Kualifikasi menurut lex causae:


I. Perkara Anton Vs Bartolo (1891)
- Ny. Anton dan suaminya pada permulaan perkawinan berdomisili di Malta, kemudian
pindah ke Aljazair (jajahan Perancis) dan membeli sebidang tanah;
- Sesudah suaminya meninggal, Ny. Anton menggugat bagian hasil tanah tersebut
sebagai harta warisan;
- Jika hukum Malta yang berlaku, maka gugatan akan dikabulkan, tetapi jika hukum
Perancis yang berlaku akan ditolak. Yang jadi persolan adalah apakah perkara ini perkara
warisan ataukah masalah harta perkawinan;
- Baik hukum Perancis maupun Malta berlaku kaedah-kaedah HPI, dimana mengenai
warisan benda tak bergerak tunduk pada lex situs (letak benda), dan mengenai harta
perkawinan berlaku lex domicilii.
- persoalannya apakah perkara ini akan dikualifikasi sebagai perkara warisan atau perkara
perkawinan. Gugatan hak waris tidak dikenal hukum Perancis, jika dianggap soal waris,
maka yang berlaku hukum Perancis. Sedangkan jika dianggap sebagai masalah
perkawinan berlaku hukum Malta
- Pengadilan Aljazair menggolongkannya menurut hukum Malta, yang menggolongkan hak
janda bagian hasil tanah sebagai kaedah harta perkawinan, sehingga gugatan Ny. Anton
dikabulkan.

C. Kualifikasi di dalam dua tingkat:


- Menurut HPI Swiss, warisan diatur menurut hukum tempat tinggal terakhir Pewaris, tanpa
dibedakan barang bergerak atau tidak bergerak;
- Jika kualifikasi tingkat pertama, dapat ditentukan hukum Inggris yang berlaku (tempat
tinggal terakhir Pewaris), maka harus ditentukan benda-benda apa yang merupakan benda
bergerak (movables) dan benda tidak bergerak (immovables) menurut hukum Inggris
(kualifikasi tingkat kedua);
- Hkum Inggris, jika tak ada wasiat, benda movables berlaku hukum dari lex dimicili
Pewaris, terhadap benda immovables berlaku lex rei situs; (letak benda immovables);
- Jika lex domicile Pewaris adalah hukum Swiss, maka akan berlaku hukum Swiss terhadap
benda movables (Renvoi). Dan jika lex situs dari benda immovables adalah Jerman, maka
hukum Jermanlah yang harus berlaku (penunjukan lebih lanjut).

TITIK-TITIK TAUT / PERTALIAN


Yang dimaksud dengan Titik-titik Taut (Prof. Sunaryati Hartono) atau Titik-Titik Pertalian
(Prof. Gautama) yaitu adanya unsure-unsur yang menandakan adanya unsure asing,
sehingga ada kemungkinan suatu kaedah hukum asing diberlakukan dalam suatu peristiwa
hukum.

Titik-titik Pertalian (TP) dalam HPI, yaitu:


I. Titik Pertalian Primer;
II. Titik Pertalian Skunder;
III. Titik Pertalian Kumulatif;
IV. Titik Pertalian Alternatif;
V. Titik Pertalian Tambahan;
VI. Titik Pertalian Accesoir;
VII. Titik Pertalian Pengganti.

I. Titik-titik Pertalian Primer


Yaitu merupakan titik pertalian yang memberikan petunjuk bahwa suatu peristiwa
merupakan HPI atau bukan, atau alat yang membedakan apakah suatu persoalan masuk
kedalam lingkup HPI atau bukan, sehingga TP Primer ini disebut juga sebagai Titik
Pembeda.

Yang merupakan TP Primer adalah:


1. Kewarganegaraan;
- Seorang WNI menikah dengan WN Jepang. Kewarganegaraan Jepang menunjukkan ini
merupakan peristiwa HPI;

2. Domisili, tempat tinggal seseorang yang sah menurut hukum (tetap);


- Dua orang WN Inggris yang berlainan domicilinya satu berdomicili di negra X, yang satu
lainnya di Negara Y, mereka menikah disalah satu domicili diantara mereka. HPI Inggris
menanggap seorang WN Inggris tunduk pada hukum perkawinan negri domisilinya yang
baru. Domicili disini menunjukan peristiwa HPI;

3. Bendera kapal, menandakan kapal itu tunduk pada hukum apa;


- Sebuah kapal berbendera Panama, para penumpangnya WNI. Kapal berlayar di perairan
Indonesia. Jika timbul persoalan dengan kapal, ini merupakan peristiwa HPI, karena
bendera bagi sebuah kapal merupakan kewarganegaraan.

4. Tempat kediaman (Residence), sifatnya sementara (Habitual residence , tempat


kediaman seseorang yang nyata sehari-hari)
- Dua orang WN Malaysia bertempat kediaman di Jakarta tanpa melepaskan domisilinya di
Kualalumpur. Jika mereka akan menikah apakah di KUA, Catatan Sipil atau di Embassy
(Kedutaan)nya, ini merupakan peristiwa HPI karena tempat kediamannya;

5. Tempat kedudukan badan Hukum;


- Tempat kedudukan badan hukum sebuah perseroan terbatas dan sebagainya,
menunjukan peristiwa HPI;

6. Pilihan Hukum dalam hubungan intern


- Dua orang Indonesia yang mempunyai domisili kantor berbeda masing-masing di
Indonesia dan di London, mengadakan perjanjian import-export barang dari Inggris. Dalam
perjanjian ditentukan hukum yang berlaku disepakati hukum Inggris, maka oleh karena
adanya pilihan hukum (hukum Inggris),peristiwa ini merupakan HPI;

II. Titik-titik Pertalian Sekunder


yaitu merupakan titik pertalian yang menjawab hukum mana yang dipakai dalam
menghadapi persoalan HPI, atau alat yang menentukan hukum yang berlaku dalam
persoalan HPI disebut juga sebagai Titik taut Penentu.

Yang merupakan Titik Pertalian Sekunder (TPS), yalah:


1). TPS Dalam BIDANG KONTRAK:
a. Pilihan Hukum, yaitu hukum yang dipilih para pihak yang berlaku;
- Jika dalam suatu perjanjian dagang/kontrak para pihak menentukan hukum yang berlaku
dalam kontrak tersebut, maka pilihan hukum yang dipilih itulah yang berlaku dalam
kontrak tersebut.
Sebagai contoh: PT. Hotel Indonesia mengadakan kontrak dengan management Hotel
Corporation mengenai exploitasi dan mamagemen bersama HI di Jakarta, dengan
ketentuan bahwa hukum Indonesia yang berlaku dalam kontrak tersebut.
Jika secara tegas pilihan hukum itu dipilih, maka pilihan hukum tersebut akan menentukan
berlakunya hukum Indonesia, kecuali bertentangan dengan ketertiban umum.

b. Tidak ada pilihan hukum:


b.1. Lex Loci Contractus, berlakunya / keberlakuan hokum
berdasarkan tempat penandatanganan kontrak;
- Mail box theory (Anglo Saxon)
keberlakuan hukum didasarkan didasarkan pada tempat dimana
dikirimkannya jawaban atas penerimaan penawaran.
Contoh:
Pengusaha Inggris dan pengusaha Singapura mengadakan perja
njian (kontrak) dalam hal jual beli kertas. Setelah pengusaha
Inggris memberikan penawaran (melalui korespondensi: surat,
Fax, email dll), maka Singapor menerima dan memberikan jawa-
ban yang dikirimkan ke Inggris. (Inggris X Singapura)
Maka hukum Singapura yang berlaku.

- Acceptance theory (Eropa Kontinental)


keberlakuan hukum didasarkan pada tempat dimana jawaban
atas penerimaan penawaran diterima.
Contoh:
Pengusaha Tasik (Indonesia) dan pengusaha Perancis melaku-
kan kontrak/perjanjian jual beli kain batik, pengusaha Tasik
memberikan penawaran yang kemudian diterima oleh pengusaha
Perancis, dan pengusaha Perancis tersebut mengirimkan jawa-
ban penerimaannya ke Tasik (Tasik X Perancis).
Maka hukum Indonesia lah (Tasik) yang berlaku.

b.2. Lex loci solutionis, berlakunya / keberlakuan hukum berdasar


kan tempat dimana suatu kontrak dilaksanakan / diselesaikan.

Contoh:
Pengusaha Jepang dan Perancis mengadakan kontrak mengenai pe-
mbangunan sebuah Cottage di Bali, apabila ada permasalahan anta-
ra kedua belah pihak (Jepang X Perancis), maka hukum yang meng-
atur bagi permasalahan tersebut adalah hukum Indonesia yang me
rupakan tempat dimana kontrak tersebut dilaksanakan / diselesai
kan.

b.3. Proper law of the contract


hukum yang digunakan / berlaku adalah hukum yang paling
banyak memiliki titik taut / pertalian di dalam kontrak yang
diadakan.
Contoh:
Perjanjian import-export antara pengusaha Indonesia dan Jepa
ng, bertempat di Jakarta. Perjanjian dibuat dalam bhs Inggris.
Impor barang Jepang ke Indonesia dilaksanakan di Indonesia,
Export barang-barang Indonesia harus dilaksanakan di Tokyo.
Jika pengusaha Jepang wanprestasi atas mutu barang, maka pe
ngusaha Indonesia dapat menggugat Pengusaha Jepang di Penga
dilan di Indonesia, karena ditemukan titik taut/pertalian:
- kewarganegaraan Tergugat = Jepang.
- lex loci solutionis = Indonesia.
- lex rei sitae = Indonesia, karena brg te
lah tiba di Indonesia.
- lex loci contractus = Indonesia (Jakarta)
- bentuk/bahasa perjanjian = Inggris.
- lex fori = Indonesia.

b.4. The most characteristic connection


hukum yang digunakan adalah hukum pihak yang menanggung re-
siko paling besar.
- umumnya dipakai dalam konvensi jual beli international.
Contoh:
Penjual X Pembeli, hukumnya penjual;
Bank X Nasabah, hukumnya Bank;
Pengacara X Klien, hukumnya pengacara.

2. TPS DILUAR BIDANG KONTRAK


a. Kewarganegaraan
Dalam perkawinan dua orang yang berlainan kewarganegaraan, ma-
ka jika terjadi perselisihan / perceraian, maka hukum yang berla-
ku adalah hukum nasional sang suami, karena menurut Pasal 2 Pera
turan Perkawinan Campuran (S.1898-158) jo Pasal 58 UU No. 1/74
tentang Perkawinan, seorang istri mengikuti status hukum suami-
nya, kewarganegaraan suaminya menentukan kewarganegaraan iste
rinya.

b. Domisili
Keberlakuan hukum didasarkan atas domisili para pihak
- Dua orang WN Inggris yang berlainan domicilinya satu berdomicili di negra X, yang satu
lainnya di Negara Y, mereka menikah disalah satu domicili diantara mereka. HPI Inggris
menanggap seorang WN Inggris tunduk pada hukum perkawinan negri domisilinya yang
baru. Domicili disini menentukankan hukum mana yang berlaku bagi para pihak;

c. Bendera kapal
Bendera merupakan kewarganegaraan sebuah kapal, jika terjadi perselisihan diatas
sebuah kapal yang berbendera Negara tertentu, maka hukum yang berlaku adalah hukum
dimana kapal itu berbendera.

d. Tempat kediaman
- Dua orang WN Malaysia bertempat kediaman di Jakarta tanpa melepaskan domisilinya di
Kualalumpur. Jika mereka akan menikah di Jakarta (KUA atau Catatan Sipil), maka yang
berlaku hukum Indonesia;

e. Tempat diadakan perbuatan-perbuatan resmi yang penting (forum) termasuk tempat


kedudukan badan hukum:
- Tempat Pendaftaran tanah, tempat izin diperolehnya untuk mendirikan badan hukum,
tempat diajukannya suatu perkara (juridiksi), merupakan titik taut penentu, karena hukum
acara ditentukan oleh lex fori yang bersangkutan.

f. Letak suatu benda (lex rei sitae)


Terhadap benda-benda baik tak bergerak (immovable) maupun benda bergerak (movable)
dibidang HPI berlaku hukum dimana letaknya benda-benda tersebut (lex rei sitae)
Contoh:
Seorang WNI hendak meletakkan hak tanggungan (hypotheek) atas tanah dan rumah di
Malaysia, maka hukum yang digunakan adalah hukum Malaysia yaitu hukum dimana tanah
dan bangunan itu berada.

g. Perbuatan Melawan Hukum (lex loci delicti commisi)


Hukum yang digunakan adalah hukum tempat dimana perbuatan melawan hukum (PMH)
itu dilakukan.
Ada 2 teori :
- The last event theory (Anglo Saxon)
hukum yang digunakan berdasarkan locus delicti, ditempat dimana akibat dari suatu
perbuatan melawan hukum itu dirasakan.

- The last event theory (Eropah Kontinental)


locus delicti, ditempat terjadinya perbuatan melawan hukum yang sebenarnya.

h. Bentuk perbuatan hukum (locus regit actum)


Hukum tunduk pada tempat dimana suatu perbuatan hukum akan dilakukan.
Contoh: Perkawinan International.
- Seorang WNI akan menikah dengan seorang WN Perancis di Jerman, maka syarat
materiilnya (Status personal tunduk pada hukum masing-masing kewarganegaraannya
Pasal 16 AB), karena perkawinannya akan dilaksanakan di Jerman, maka syarat formilnya /
bentuk perbuatan hukumnya tunduk pada hukum Jerman (lex loci celebrationis Pasal 18
AB).

III. Titik Pertalian Kumulatif:


Yaitu beberapa titik pertalian yang digunakan sekaligus;

IV. Titik Pertalian Alternatif:


Yaitu memilih salah satu titik pertalian dari beberapa titik pertalian
yang ada;

V. Titik Pertalian Tambahan


Yaitu titik-titik pertalian yang seharusnya dipergunakan tidak dipakai, karena dianggap
tidak mencukupi, sehingga digunakan tambahan titik pertalian lainnya;

VI. Titik Pertalian Accesoir


Yaitu titik pertalian yang mengikuti titik pertalian yang pokok.

VII. Titik Pertalian Pengganti


Yaitu jika dalam peristiwa HPI terjadi hanya ada satu titik pertalian, namun tidak memadai,
maka dapat diganti dengan titik pertalian lainnya. Bila tidak ada penggantinya, maka
harus digunakan titik pertalian yang satu tersebut.

HUBUNGAN ANTAR TITIK-TITIK PERTALIAN;

- Jika Titik Pertalian Primer (TPP) tidak ditemukan dalam suatu peristiwa hukum, maka
dengan sendirinya Titik Pertalian Sekunder (TPS) juga tidak ada;
(Contoh: jual beli yang dilakukan oleh dua orang WNI, di Jakarta, memakai hukum
Indonesia, atas barang-barang yang terletak di Indonesia);
- Meskipun Titik Pertalian Sekunder (TPS) tidak ditemukan dalam suatu peristiwa hukum,
namun dapat saja ditemukan Titik Pertalian Primer (TPP) dalam suatu peristiwa yang
menunjukan peristiwa HPI;
(Contoh: dua pihak WNI melakukan perkawinan diatas kapal berbendera Panama yang
sedang berlayar diatas perairan di Indonesia )
- Jika ada Titik Pertalian Pengganti (TP Pengganti) hanya satu, tidak sama dengan Titik
Pertalian Alternatif (TP Alterbatif).
- TP Alternatif dapat merupakan TP Pengganti, namun TP Pengganti tidak bias menjadin TP
Alternatif.

- Dalam suatu peristiwa hukum Kewarganegaraan dapat menjadi Titik Pertalian Primer
(TPP) sekaligus juga menjadi Titik Pertalian Sekunder (TPS) yang menentukan hukum mana
yang berlaku dalam peristiwa tersebut.
(Contoh: dua orang WNI yang melaksanakan perkawinannya di Perancis)

- Demikian juga Domisili dapat menjadi Titik Pertalian Primer (TPP) dalam suatu peristiwa
hukum, sekaligus juga merupakan Titik Pertalian Sekunder (TPS) yang menentukan hukum
asing apa yang berlaku dalam peris tiwa hukum tertentu.
(Contoh: seorang WNI melakukan perkawinan dengan seorang Warga Negara Inggris, yang
dilaksanakan di Indonesia dan keduanya berdomisili di Indonesia).

MENENTUKAN HUKUM YANG BERLAKU (LEX CAUSAE) DENGAN BANTUAN TITIK PERTALIAN

Dalam Hukum Antar Golongan di Indonesia, Titik taut / ppertalian hanya ditentukan oleh
Hukum Adat atau Hukum Barat yang berlaku di Indonesia, namun dalam HPI titik taut /
pertalian itu ditentukan oleh lebih dari satu sistim hukum, karena HPI menyangkut seluruh
sistim hukum di dunia.

Maka oleh karenanya jika menghadapi suatu kasus HPI, cara kerjanya dilakukan sebagai
berikut:
1. Pertama-tama harus dicari TTP (Titik Taut Primer) menurut Lex fori, apakah kasus yang
dihadapi merupakan peristiwa HPI atau bukan;
2. Jika sudah diketahui bahwa suatu kasus itu HPI, maka harus dilakukan qualification of
facts menurut lex fori;
3. Kemudian kita mencari titik taut sekunder (TTS) menurut lex fori, untuk menentukan
sistim hukum yang berlaku (lex causae);
4. Titik-titik taut menurut lex causae kemudian akan menentukan apakah kaedah hukum
lex causae, lex fori atau kaedah sistim hukum asing yang lain (ingat kemungkinan renvoi)
yang harus berlaku;
5. Jika berdasarkan titik-titik taut dari lex causae telah ditentukan kaedah hukum materiil
yang harus berlaku, barulah dapat kita menentukan penyelesaian masalah atau
menjatuhkan putusan in concreto.

Tetapi dalam kenyataan kemungkinan titik taut lex fori menunjuk pada dua lex causae atau
lebih.

Contoh:
- Perjanjian import-ekport antara WNI dengan WN Jepang. Impor barang-barang Jepang ke
Indonesia harus dlaksanakan di Indonesia, sedang export barang Indonesia harus
dilaksanakan di Tokyo. Pembayaran dilakukan secara kompensasi.
- Jika exporter Jepang menyerahkan barang yang harus diexport ke Indonesia kualitasnya
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, maka akan terjadi kemacetan karena pihak
Indonesia tidak mau mengirimkan barang-barangnya ke Jepang akibat pihak Jepang
wanprestasi

BEBERAPA PENYELESAIAN

A. Jika pihak Indonesia melakukan gugatan ke Pengadilan negeri Jakarta Pusat, maka kita
akan menemukan titik-titik perytalian sbb:
- kewarganegaraan tergugat = Jepang;
- lex loci solutionis = Indonesia;
- lex rei sitae = Indonesia, karena barang
telah datang di Indonesia.
- lex loci contractus = Indonesia / Jakarta;
- bentuk perjanjian/bahasa = Inggris;
- lex fori = Indonesia.

Karena lex fori Indonesia, maka yang berlaku kaedah-kardah HPI Indonesia, yang berlaku
Pasal 18 AB (Algemeine Bevalingen): suatu perbuatan hukum itu tunduk pada dimana
perbuatan hukum itu dilakukan (locus regim actum), maka yang dianggap lex cusae adalah
hukum Indonesia, baik sebagai lex loci contractus maupun lex loci solutionis. Dan menurut
pasal 131 IS untuk orang Jepang berlaku BW (KUHPerdata)
, maka HPI ini dapat dianggap sebagai HAG.
B. Jika perjanjian import-export tadi antara WN Inggris dengan WNI, dan pihak Indonesia
melakukan gugatan di pengadilan negeri Inggris, maka Hakim Inggris akan
mempertimbangkan dahulu hukum manakah yang dipilih para pihak, atau hukum mana
yang dapat diseimpulkan telah dipilih oleh kedua belah pihak.
- Dalam kasus ini meskipun lex loci contractus (ditandatangani) daan lex loci solusionis
(dilaksanakan) adalah Indonesia, namun karena bentuk perjanjiannya adalah suatu bentuk
yang hanya dikenal dalam hukum Inggris, maka hukum Inggrislah yang dianggap sebagai
lex causae.

C. Jika perjanjian import-export, antara WN Swiss dengan WNI, dan pihak Indonesia akan
mengajukan gugatan ke pengadilan Swiss, maka Hakim Swiss akan mempertimbangkan
bahwa dalam perdagangan sperti ini, hukum yang berlaku ditentukan oleh die typische
Leistung atau die charakteristiche Leistung (prestasi yang husus atau yang
karakteristik) , yang dalam hal ini penyerahan barang-barang import di Indonesia,
sehingga hukum Indonesialah yang di anggap sebagai lex causae.

Kuliah Hukum Perdata International (5)


(Dosen : Abdul Ficar Hadjar, SH., MH)

PRINSIP KEWARGANEGARAAN & PRINSIP DOMISILI

Stelsel-stelsel / aliran HPI di negara-negara dunia saling berbeda dalam menentukan status
personil seseorang baik sebagai warga negaranya maupun warga Negara asing. Sebagian
Negara menganut prinsip kewarganegaraan, dimana status personil WN/WNA ditentukan
oleh hukum nasionalnya masing-masing. Sebaliknya sebagian lagi menganut prinsip
domisili yang menentukan status personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku
di tempat domisilinya / teritorialnya.

Pinsip Nasionalitas / kewarganegaraan banyak dianut oleh Negara-negara Eropa


Kontinental, diantaranya: Perancis, Italia, Belgia, Luxemboug, Belanda, Indonesia,
Rumania, Bulgaria, Finlandia, Junani, Honggaria, Polandia, Portugal, Spanyol, Swedia, Turki,
Tiongkok, dan Negara-negara Amerika Latin antara lain: Costa Rica, Republik Dominika,
Ecuador, Haiti, Honduras. Mexico, Panama, dan Venezuela.

Prinsip Domisili banyak dianut oleh Negara-negara Anglo Saxon, diantaranya: Semua
Negara-negara bekas jajahan Inggris yang menganut sistim common law (Amerika Serikat,
Malaysia, Singapura, Australia dsb), Scotlandia, Africa Selatan, Quebec, Denmark,
Norwegia, Iceland, dan Negara-negara Amerika Latin: Argentina, Brazilia, Guatemala,
Nicaragua, Paraguay, dan Peru.
- Prinsip Nasionalitas yang bertitik berat pada segi personalia, menentukan bahwa hukum-
hukum yang berhubungan dengan status seseorang (WN/WNA) erat hubungannya dengan
orang-orang tersebut, oleh karenanya hukum nasional orang tersebut yang ditentukan
oleh kewarganegaraannya melekat dan mengikuti kemanapun seseorang pergi.
(Latar belakang prinsip ini, menghendaki warga negaranya yang mengembara ke luar
negeri sedapat mungkin tetap tunduk kepada hukum mereka sendiri).

- Prinsip Domisili bertitik berat pada segi territorial, menentukan bahwa semua hubungan-
hubungan orang yang berkaitan dengan soal-soal perorangan, kekeluargaan, warisan atau
status personilnya ditentukan oleh domisilinya. Oleh karenanya prinsip ini menentukan
bahwa setiap orang yang berada di dalam wilayah suatu Negara dianggap tunduk pada
hukum Negara tersebut.
(Latar belakang prinsip ini, terutama negara-negara muda seperti Amerika Serikat yang
banyak imigrannya bertujuan agar para imigran tunduk pada hukum perdata dari Negara
yang baru dibangun itu).

- Namun ada sistim yang disebut Juristichem Chauvinismus (Chauvinis caya yuridis)
dimana ada negara-negara yang memperlakukan WN nya yang berada di luar negeri
ditundukkan pada prinsip nasionalitas, namun disisi lain orang asing (WNA) yang berada di
negara yang bersangkutan ditundukkan kepada prinsip domisili. Beberapa Negara Amerika
latin menganut sistim ini, al: Chili, Equador, Columbia, Peru, El Salvador, Venezuela dan
Mexiko.

- INDONESIA berdasarkan Pasal 16 AB (Algemeine Bevalingen) menganut Prinsip


Nasionalitas: Bahwa terhadap warga negara Indonesia (d/h Hindia Belanda) yang berada
di luar negeri berlaku hukum nasionalnya sebagai status personal mereka.
Hal ini diinterpretasikan secara analogi terhadap WNA yang berada di Indonesia.

Alasan-alasan yang pro terhadap prinsip Nasionalitas/Kewarganegaraan:

1. Prinsip ini paling cocok dengan perasaan hukum seseorang.


Hukum nasional yang dibuat oleh warga Negara suatu Negara tertentu adalah lebih cocok
bagi WNnya, pembuat hukum nasional/UU lebih memahami kepribadian dan kebutuhan
WNnya sendiri.

2. Lebih permanent dari hukum domisili


Prinsip kewarganegaraan itu lebih tetap dari prinsip domisili, karena kewarganegaraan
tidak mudah untuk dirubah-rubah seperti halnya domisili.

3. Prinsip kewarganegaraan lebih banyak membawa kepastian hukum


Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian karena pengertian keWNan lebih mudah
diketahui dari pada domisili seseorang, hal ini disebabkan adanya peraturan-peraturan
tentang keWNan yang lebih pasti dari Negara ybs.

Alasan-alasan yang pro terhadap prinsip Domisili:

1. Hukum domisili adalah hukum dimana seseorang sesungguhnya hidup.


Dimana seseorang sehari-hari hidup, tidak saja beradaptasi / mencocokkan diri terhadap
kebiasan-kebiasaan, bahasa, pandangan social, tetapi juga terhadap ketentuan-ketentuan
hukum di Negara bersangkutan yang mengenai status personilnya.

2. Prinsip Nasionalitas seringkali membutuhkan Prinsip Domisili


Dalam praktek Prinsip Nasionalitas/kewarganegaraan seringkali tidak
Dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip domisili.

3. Prinsip Domisili sama dengan hukum sang Hakim.


Diajukannya perkara ke hadapan hakim dari tempat tinggalnya para pihak /tergugat yang
menentukan kompetensi juridiksi hakim. Dalam kepentingan para pihak hakim seyogyanya
memakai hukumnya sendiri, karena seorang hakim lebih mengenal hukum nasionalnya itu
dari pada hukum asing.

4. Cocok untuk negara-negara dengan pluralisme hukum.


Prinsip nasionalitas tidak dapat dipakai dalam suatu Negara yang struktur hukumnya tidak
mengenai persatuan hukum. Untuk mengetahui hukum perdata mana yang berlaku bagi
seorang WN yang hukumnya plural ( setiap daerah berlainan hukum/ ada penggolongan
WN) maka perlu diperhatikan domisilinya.

5. Demi kepentingan adaptasi dan asimilasi para imigran.


Prinsip Domisili mencegah adanya kelompok-kelompok orang/imigran yang
mempertahankan hubungan mereka dan ikatan-ikatan dengan Negara mereka, sehingga
prinsip ini dapat mempercepat adaptasi dan assimilasi orang-orang asing.

Pendapat Prof. GOUW GIOK SIONG (Gautama):


Republik Indonesia sebaiknya dipergunakan prinsip domisili, dengan alasan-alasan sebagai
berikut:
1. Alasan praktis dengan pemakaian prinsip domisili dapat memperkecil berlakunya hukum
asing. Pemakaian prinsip nasionalitas mempunyai pembawaan bahwa hukum asing akan
lebih banyak digunakan.
2. Hukum Acara Perkara di pengadilan lazimnya digunakan KUHPerdata / BW untuk semua
orang (WNI/WNA). Pemakaian prinsip domisili akan mengsanksionir praktek hukum ini. Jika
masih dipakai nasionalitas, maka praktek ini bertentangan dengan azas hukum yang
berlaku.
3. Dalam praktek hukum selalu menggunakan prinsip domisili, karena prinsip domisili
dianggap dapat menentukan hukum yang berlaku, tanpa menghiraukan status WN atau
asing.
4. Indonesia belum mempunyai cukup bahan-bahan tentang hukum asing.
5. Di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum. Aneka warna hukum perdata tidak saja
didasarkan pada perbedaan golongan rakyat, perbedaan sesama pribumi dari lingkungan
hkm adapt.
6. Indonesia berada di lingkungan Negara yang memberlakukan prinsip domisili (Australia,
India, Pakistan, Singapur, Malaysia)
7. Indonesia merupakan Negara imigrasi (banyak orang asing yang tinggal dan lalu lalang).
8. Sebagai Negara imigrasi Republik Indonesia hendaknya melakukan assimilasi. (dengan
menganut azas ius sanguinis anak mengikuti keWNan ayahnya-, banyak orang yang
menjadi asing di negerinya sendiri)

- Bagi WNI berlaku prinsip nasionalitas berdasarkan Pasal 16 AB.


- Bagi WNA : - kurang dari 2 tahun di Indonesia berlaku prinsip
nasionalitas / kewarganegaraan;
- lebih dari 2 tahun di Indonesia berlaku prinsip
domisili.

- Dengan kata lain Prinsip Nasionalitas hanya dipakai untuk jangka waktu tertentu,
selanjutnya digunakan prinsip Domisili.

Di Inggris Prinsip Domisilinya unik, karena ia mengenal 3 Prinsip Domisili:


1. Domicile of origin, yaitu domisili yang diperoleh sejak seseorang dilahirkan, mengikuti
domisili bapaknya;

2. Domicile of choice, yaitu domisili yang diperoleh / dipilih seseorang setelah dia dewasa,
dengan syarat :
- seseorang menetap di Negara lain;
- tidak ada keinginan untuk pindah ke Negara lain;
- keinginan memilih domisili;
- kemampuan;
- recidence yang permanent;

3. Domicile by operation law, yaitu domisil yang tergantung (dependant) dari seseorang,
yaitu: anak yang belum dewasa, wanita dalam perkawinan, seseorang yang berada dalam
perwalian.
- anak ikut domisili si ayah;
- istri ikut domisili suami;
- yang diampu ikut domisili si wali.

Doctrine of Revival adalah hidupnya domicile of origin seseorang yang telah tertidur
lama karena tercerabutnya domicile of choice orang tersebut dan ia tidak punya domisili
lainnya.

Yurisprodensi-yurisprodensi Kewarganegaraan:
De Ferrari Case (Perancis)
- Th 1893 Ny. Ferrari (WN Perancis) memperoleh keWNan Itali karena perkawinannya
dengan suaminya Tn. Ferrari (Itali);
(di Itali tidak dikenal perceraian, yang ada persetujuan hidup terpisah / BW: pisah meja dan
tempat tidur)
- Th 1899 mereka membuat kesepakatan hidup terpisah (consentement mutual), Ny.
Ferrari pulang ke Negara asalnya Perancis;
- Th 1913 Ny. Ferrari melakukan naturalisasi menjadi WN Perancis kembali, suaminya
tetap di Itali;
- Ny. Ferrari mengajukan gugatan supaya kesepakatan pisah dirubah menjadi perceraian
ke Pengadilan tingkat pertama LYON, pada pengadilan tingkat ini dikabulkan dan dikuatkan
oleh pengadilan tingkat kedua HOF LYON;
- Th 1922, COUR DE CASSATION (peradilan kasasi) membatalkan keputusan Hof Lyon, yang
menyatakan: lembaga hidup terpisah meja dan tempat tidur cara Otalia belum cukup
memenuhi syarat untuk diubah menjadi perceraian cara Perancis;
- Kemudian Ny. Ferrari mengajukan lagi gugatan baru dengan sepenuhnya memakai hukum
perdata Perancis, hukum Italia dikesampingkan;
- Tahun 1928 COUR DE CASSATION memutuskan hukum Perancis harus digunakan untuk
Ny. Ferrari yang sudah WN Perancis lagi karena naturalisasi, yang kemudian gugatan
dikabulkan Ny. Ferrari memperoleh perceraian;
(Keputusan perkara DE FERRARI ini dicap sebagai juridisch chauvinisme, karena Hakim
Perancis hanya mengutamakan hukum nasionalnya sendiri dan kepentingan WNnya
sendiri, dan melalaikan tugasnya dalam HPI)

RIVIERE CASE (Perancis)


- Lydia Roumiantzelff (asal Rusia, WN Perancis) menikah dgn Petrov (asal Rusia, WN
Ecuador), kemudian cerai karena persetujuan pihak (consentement mutual).
- Th 1939, Ny. Roumiantzelff menikah lagi di Maroko dengan RIVIERE (Perancis).
Perkawinan ini juga hendak diakhiri, Ny. Roumianzeff mengajukan gugatan di pengadilan
Casablanca (Ecuador);
- Dalam pembelaannya RIVIERE menyatakan bahwa tidak perlu suatu perceraian, karena
perkawinannya dengan Ny. Roumiantzeff adalah tidak sah (pembelaan ini dikemukakan
untuk menghindari tuntutan alimentasi / nafkah, jika perkawinannya batal tidak ada dasar
menuntut alimentasi);
- Argumen RIVIERE menyatakan perkawinan tidak sah, karena perceraian Ny. Roumiantzelff
dengan Petrov tidak sah berdasarkan persetujuan bersama (Consntement mutual) yang
tidak dikenal dalam hukum Perancis, kalau hakim Ecuador memutus berdasarkan hukum
Ecuador, maka bertentangan dengan ketertiban umum di Perancis;
- Pengadilan tingkat pertama menerima argument RIVIERE, perkawinan antara dirinya
dengan Ny. Roumianzeff tahun 1939 di maroko adalah batal (putusan ini didasarkan prinsip
Kewarganegaran/personalitas);
- Pengadilan tingkat banding Cour de Rabbat membatalkan putusan tingkat pertama, dan
kemudian peradilan tingkat Kasasi Cour de Cassation dalam putusannya tanggal 17 April
1953 menguatkan putusan banding dan memutuskan sebagai perceraian, dengan
pertimbangan hukumnya:
+ fakta keWNan Perancis belaka tidaklah cukup untuk memaksakan diberlakukannya
hukum Perancis dalam perkara-perkara dimana status seorang perempuan WN Perancis
yang dipersoalkan;
+ berkenaan dengan suami istri Petrov dan Ny. Roumianzeff yang mempunyai keWNan
berbeda (Ecuador-Perancis) adalah tepat Cour de Appel (pengadilan banding) memutuskan
bahwa perceraian mereka diaturoleh hukum Domisili, yang notabene sama dengan hukum
personel pihak suami (Ecuador) dan dengan hukum sang Hakim, sehingga pperceraian
yang diperoleh adalah wajar;

(putusan ini hukum domisili bersama para pihak yang diberlakukan , meskipun para pihak
berlainan kewarganegaraan)

LEWNDOUSKI CASE (Perancis)


- Kasus perceraian antara Lewndouski (Polandia) dan seorang perempuan WN Perancis
tanggal 15 Maret 1955 telah diputus oleh Cour de Cassation (pengadilan tingkat kasasi)
Perancis dengan menggunakan hukum Perancis sebagai hukum dari domisili bersama
anatara suami istri yang berbeda keWNannya;

(Dalam putusan pengadilan Perancis menerapkan dalam mumutus perkara perceraian


yang berbeda keWNan dengan memakai hukum domisili bersama para pihak, dhi hukum
Perancis)

BISBAL CASE (Perancis)


- Perkara perceraian suami istri WN Spanyol yang berdomisili di Perancis, telah diputuskan
oleh Cour de Cassation pada tahun 1959 dengan menggunakan hukum domisili bersama
yaitu hukum Perancis, meskipun HPI Perancis sebenarnya berdasarkan prinsip nasionalitas
dan jika digunakan hukum nasional Spanyol, maka para pihak tidak mungkin memperoleh
perceraian;
(putusan ini menimbulkan kritik tajam, sehingga Perancis disebut sebagai pabrik cerai
yang besar (une usine de divorce), karena kemudian banyak WN asing yang bercerai di
Perancis)

MASSIMO DAWN ADDAMS


- Aktris Dawn Adams tahun 1954 menikah dengan Massimo (WN Italia) di Roma, kemudian
memperoleh ketetapan hidup berpisah dari pengadilan di Roma tahun 1958;
- Ny. Dawn Addams dating dan tinggal di Perancis (dapat KTP & Izin kerja), kemudian
mengajukan gugatan perceraian pada suaminya Massimo di pengadilan Perancis;
- tahun 1959 Pengadilan Perancis (Tribunal de Grande Instance de la Seine) melalui
hakimnya memutuskan dirinya tidak berwenang untuk mengadili perkara perceraian ini
karena gugatan telah diajukan bukan ditempat tinggal tergugat, yaitu di Italia;

(putusan ini disetujui dan dipuji oleh penulis-penulis Perancis)

BOLL CASE (Perancis)


- Suami JOHANES BOLL (WN Belanda) dengan Istri GERD ELISABETH LINDWALL (Swedia)
memperoleh ke WN Belanda karena menikah, mempunyai anak bernama MARIA
ELISABETH BOL lahir di Swedia (7 Mei 1945), dan mereka tinggal di Swedia;
- 5 Desember 1953, Ny. Gerd Elisabeth meninggal dunia, tetapi mereka (ayah dan anak)
tetap tinggal di Swedia;
- 18 Maret 1954, ayah BOLL mengajukan perwalian atas anak Maria Elisabeth Boll di
pengadilan Norkoping Swedia dan dikabulkan;
- Tgl. 2 Juni 1954 Hakim Belanda dari Kantonrechter dari Amsterdam telah mengangkat Jan
Alvertus Idema (WN Belanda) sebagai wali pengawas anak Maria Boll;
- Tgl. 16 September 1954 Pengadilan Norkoping Swedia telah menetapkan EMIL LINDWALL
(kakek anak Maria dari Ibu) sebagai curator dari anak Maria;

-2
pril 1954 Dewan Perlindungan Anak-anak di Norkoping Swedia menetapkan
anak Maria dibawa perlindungan dewan tersebut. Wali pengawas Belanda
mengajukan permintaan pengawasan, tetapi ditolak oleh Dewan
Perlindungan Anak;
- Pemerintah Swedia menganggap pemerintah Belanda telah ikut campur
membela kepentingan warganya, dan Pemerintah Swedia dituding
melanggar perjanjian Den Hag 1902 tentang perwalian anak-anak di
bawah umur;
- kemudian perkara ii di bawa ke Mahkamah Agung International, yang memutuskan :
membenarkan pendirian Swedia dan mengalahkan Belanda, yang memutuskan: tindakan
pendidikan dan perlindungan yang dilakukan oleh instansi Swedia terhadap anak Maria
Elishbeth Boll;
(putusan ini menggambarkan adanya tendensi untuk mengedepankan prinsip domisili
pada bidang hukum kekeluargaan, yaitu hubungan anak-anak dengan orang tua mereka).

Kuliah Hukum Perdata International (6)


(Dosen: Abdul Ficar Hadjar, SH, MH)

RENVOI ( PENUNJUKAN KEMBALI )

Renvoi terjadi karena adanya aneka macam sistim Hukum Perdata Internasional dalam
status personal seseorang ( P. Nasionalitas / P. Domisili).

Renvoi timbul, apabila hukum asing yang ditunjuk oleh lex fori, menunjuk kembali kearah
lex fori itu, atau kepada sistim hukum asing lain.

- Setelah mengkualifikasikan fakta-fakta yang ada dalam suatu perkara / kasus, maka kita
kemudian mencari titik-titik taut yang memberi petunjuk kepada kita hukum (asing) mana
yang akan berlaku.

Yang dimaksud dengan hukum asing adalah disebut:


a) Gesamtverweisung, jika menunjuk pada seluruh hukum asing termasuk didalamnya
kaedah HPI dan kaedah hukum materillnya (hkm intern);
b) Schahnormverweisung, jika hanya menunjuk pada hukum materiil (Hkm Intern) dari
sistim hukum asing yang bersangkutan.

SCHEMA RENVOI:
(1)
1. Penunjukan kembali -----------------
(X) ------------------------------ (Y)
L______________________l
-------------------------
(2)

2. Penunjukan lebih jauh


(1) (2)
(Z) (Y) ------------------------(X)----------------------
Contoh Renvoi Penunjukan kembali (1):
- Apabila seorang WN Inggris yang berdomisili di Indonesia, untuk menentukan sudah
dewasa atau belum, atau akan menikah atau akan melakukan tindakan hukum yang
berkaitan dengan personilnya, maka menurut HPI Indonesia (berdasarkan Pasal 16 AB
hkm nasional mengikuti personilnya) yang harus digunakan adalah hukum Inggris;
- menurut Hukum Inggris, berdasarkan kaedah-kaedah HPI nya, untuk status personil yang
dipakai adalah hukum dimana domisilinya dhi di Indonesia, maka yang berlaku adalah
hukum Indonesia.
( Hukum Indonesia menunjuk hukum Inggris, dan hukum Inggris menunjuk kembali hukum
Indonesia).

Contoh Renvoi Penunjukan lebih jauh (2):


- Dua WN Swiss (Paman dan saudara sepupu perempuan) berdomisili di Moskow Rusia dan
menikah di Rusia. Menurut HPI Rusia, perkawinan harus berdasarkan hukum Rusia,
menurut HPI Swiss (Psl 7f NAG) perkawinan yang dilakukan di luar negeri menurut hukum
yang berlaku di sana, dianggap sah. Disisi lain hukum intern (nasional)Swiss (Psl 100 ZGB)
perkawinan antara Paman dan sepupu perempuan dilarang, ketentuan ini tidak berlaku
karena perkawinan dilakukan di Luar Negeri, jadi sebenarnya secara tidak sengaja telah
terjadi penyeludupan hukum;
- Suami istri ini pindah domisili ke Hamburg, terjadi perselisihan pihak istri mengajukan
gugatan cerai, pihak paman (suami) mengajukan permohonan kepada Hakim supaya
perkawinan mereka di Rusia dianggap batal adanya karena melanggar Pasal 100 ZBG
Hukum Swiss;
- Hakim di Jerman yang mengadili tidak menggunakan pasal 100 ZBG, tetapi hakim
menerima apa yang dinamakan penunjukan lebih lanjut (Weiter-verweisung). HPI Jerman
berdasarkan prinsip Nasionalitas menyatakan hukum nasional WN Swiss yang berlaku bagi
WN Swiss tersebut, termasuk penunjukan HPI Swiss (Psal 7f NAG) yang menunjuk lebih
jauh pada hukum dimana perkawinan dilakukan ic hukum Rusia, maka Hakim Jerman
menganggap perkawinan sah, dan penunjukan lebih jauh diterima dalam praktek HPI
Jerman.

CAUSE CELEBRE : Kasus FORGO


- Forgo WN Bavaria anak luar kawin, sejak kecil s/d meninggalnya bertempat tinggal di
Perancis, meninggalkan harta warisan al: deposito-deposito pada Bank-bank di Perancis.
Menurut hukum Perancis pada waktu itu Forgo dianggap belum mempunyai domisili di
Perancis, ia masih dianggap mempunyai domisili asalnya (domicile of origin) dimana ia
dilahirkan. Forgo tidak meninggalkan surat wasiat, sehingga warisannya akan jatuh kepada
ahli waris ab intestate.
- Saudara-saudara kandung Forgo menklaim harta warisan tersebut berdasarkan ketentuan
hukum Bavaria, di lain pihak Pemerintah Perancis berdasarkan hukum intern (nasional)
Perancis yang tidak mengenal warisan anak luar kawin, sehingga warisan Forgo dianggap
harus jatuh kepada Pemerintah Perancis;
- Menurut HPI Perancis warisan benda-benda bergerak berlaku hukum domisili asal
(domicile of origin), dhi HPI Perancis menunjuk hukum Bavaria, tetapi HPI Bavaria
menentukan bahwa warisan benda-benda bergerak akan berlaku hukum tempat tinggal
sebenarnya dari si Pewaris, dalam hal ini Hukum Perancis.
- Persoalan: apakah penunjukan HPI Perancis kepada Hukum Bavaria, apakah seluruh
hukumnya (termasuk HPI), atau hanya kepada Hukum Intern Bavaria. Jika seluruhnya,
maka ada penunjukan kembali kepada Hukum Perancis dan renvoi akan diterima dengan
memberlakukan hukum intern Perancis, jika hanya kepada hukum Intern Bavaria, maka
hukum warisan Bavaria yang diberlakukan;
- COUR DE CASSATION dalam putusannya tahun 1878, telah menerima penunjukan
kembali hukum Perancis dan menggunakan hukum Intern Perancis. Warisan Forgo hatuh
ketangan Pemerintah Perancis.

Renvoi menimbulkan polemic dan perdebatan, sehingga menimbulkan adanya pihak-pihak


yang kontra dan pro terhadap institusi renvoi ini.

Alasan-alasan yang KONTRA RENVOI:

1. Renvoi tidak logis;


doktrin renvoi tidak logis, karena jika renvoi diterima, maka akan terjadi suatu penunjukan
kembali secara terus menerus, sehingga akan terjadi suatu inextricable circle yaitu tidak
akan terjadi suatu penyelesaian karena akan terus menerus terjadi penunjukan kembali
seperti bola pimpong.

2. Penyerahan kedaulatan Legislatif;


renvoi merupakan asing menggantikan kaedah-kaedah HPI nasional, souverinitas dari
hukum suatu negara dibahayakan.penyerahan kedaulatan legislatif, seolah-olah HPI

3. Renvoi membawa ketidak pastian hukum.


Jika renvoi diterima akan membawa ketidak pastian hukum karena penyelesaian HPI akan
menjadi samara-samar, berjalan kesegala jurusan (ambiguous), tidak kokoh, tidak stabil.
Akan terjadi completely unpredictable (ketidakpastian) untuk menentukan teori renvoi
mana yang diterima suatu negara, dan karenanya baik secara teoritis maupun praktis akan
mendapatkan kesulitan.

4. Membawa kesukaran-kesukaran.
Renvoi membawa kesukaran / menyulitkan (inconvenient) bagi sang hakim, karena sang
hakim harus mempelajari hukum asing, dan hakim harus mengetahui lebih dahulu HPI dari
negara-negara lain yang bersangkutan.
Negara-negara yang kontra renvoi al: Italya, Belanda, Yunani, Egyft, Suriah. Dsb.

Alasan-alasan yang PRO RENVOI

1. Memberi keuntungan praktis


Jika renvoi diterima maka baerarti hukum internal sang hakim sendiri yang akan
dipergunakan dan ini berarti suatu keuntungan praktis, dimana seorang hakim akan lebih
mudah dan tepat melaksanakan hukum internalnya.

2, Penunjukan secara keseluruhan

3. Jangan plus royaliste que le roi (bersifat lebih raja dari raja itu sendiri).
Menunjuk kepada hukum asing sebenarnya suatu konsesi, jika kemudian hukum asing itu
tidak menetrimanya / menunjuk kembali, maka harus diterima / jangan ditolak.
(Jika kita menutup pintu terhadap hukum asing, maka akan membawa kita pada
chauvinisme yuridis yang mematikan kemungkinan perkembangan HPI.

4. Keputusan yang berbeda


Jika menolak renvoi akan mengakibatkan timbulnya keputusan yang berbeda dalam suatu
peristiwa HPI dalam Negara yang menunjukkan dan Negara yang menunjuk kembali.
(Misal jika dalam suatu peristiwa HPI Negara X menunjuk kpd hukum Negara Y, dan hukum
Negara Y menunjuk kembali pada hukum Negara X, maka jika (Negara X) menolak renvoi,
yang akan terjadi dalam suatu peristiwa HPI akan ada keputusan yang berbeda jika
diperiksa di Negara X menggunakan hukum intern Negara Y, jika diperiksa di Negara Y
akan menggunakan hukum Negara X).

5. Harmoni diantara keputusan-keputusan


Dunia terbagi dalam 2 prinsip yaitu prinsip kewarganegaraan dan prinsip domisili, dengan
menerima renvoi akan tercapai harmoni dari keputusan-keputusan perkara HPI yang
mengatasi pertentangan diantara kedua sistim ini.

6. Memperbesar kemungkinan executie;

7. Sesuai dengan rasa keadilan para pihak.

Negara-negara yang pro rrenvoi al: Perancis, German, Belgia, Swedia,


England, Swiss, Thailand dsb.

Jenis-jenis Renvoi

1. Single Renvoi (Negara-negara Eropa Continental)


1. Gesamt
YX -------------------------------
L<______________________l
2. Sachnorm

2. Double Renvoi (Negara-negara Anglo Saxon)


( Foreign Court Doctrine / FCD)
Hakim Inggris seolah-olah duduk di dalam kursi Hakim Negara asing ybs.
1. FCD
YX-------------------------------
L_____________________l
2. Gesamt
l______________________^
3. Sachnorm

Kasus di Inggris:
Re ANNESLEY (Renvoi diterima)
- Ny. Annesley WN Inggris, domisili dan meninggal (1942) di Perancis, membuat
testament / wasiat dlm bentuk hukum Inggris, yang mengakibatkan anak laki-lakinya tidak
mendapatkan warisan.
- (HPI Inggris Vs HPI Perancis) HPI Inggris wasiat syah, sedangkan HPI Perancis mengenal
adanya legitima forci yang memberikan hak pada sang anak sekurangnya sepertiga
bagian harta warisan;
- dalam kasus ini :
1. Hakim Inggris menggunakan FCD, bertindak seolah hakim Perancis;
2. HPI Perancis (prinsip nasionalitas) menunjuk hukum Inggris;
3. HPI Inggris (prinsip Domisili) menunjuk Hkm Perancis;
dengan menggunakan hukum intern Perancis wewenang Ny. Annesley dalam membuat
surat wasiat dibatasi, maka anak lelakinya mendapatkan warisan berdasarkan legitima
forci.

Seri Kuliah Hukum Perdata International (7)


(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

KETERTIBAN UMUM

Ketertiban Umum : lembaga dalam HPI yang memungkinkan sang Hakim untuk
mengenyampingkan hukum asing yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan apa yang
diatur dalam ketentuan HPI, karena dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi
Hukum nasional sang Hakim.

Sebagai contoh:
I. Perbudakan :
Bagi orang-orang asing yang berasal dari Negara yang mengakui perbudakan (spt. Afrika),
jika timbul perselisihan diantara mereka (hubungan budak-majikan), meski menurut HPI
Indonesia ic Pasal 16 AB menentukan hukum personil WNA itu yg harus diterapkan, maka
Hakim (Indonesia) tidak akan menggunakannya / mengenyampingkan, karena hal itu
(perbudakan) dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi sistim hukum Indonesia.

II. Perkawinan di Jerman pada zaman HITLER


Pada zaman Nazi berkuasa di Jerman (Hitler) ada UU tahun 1931 yang melarang
perkawinan antara apa yang disebut bangsa Aria dengan bukan Aria. Larangan nikah
berdasarkan ras dianggap oleh banyak Negara tidak dapat diperlakukan, karena
melanggar ketertiban umum;

III. Perceraian 2 WN RRC


UU Perkawinan 1950 RRC pasal 17 memungkinkan perceraian berdasarkan persetujuan
bersama. HPI Indonesia (psl 16 AB prinsip nasionalitas) berlaku hukum RRC, namun
dikesampingkan karena bertentangan dengan ketertiban umum.

Lembaga ketertiban umum ini harus seirit dan seselektif mungkin, dipergunakan jika
diperlukan sekali sebagai ultimum remedium karena jika terlalu banyak digunakan akan
dicap sebagai bangsa yang munafik, hanya mementingkan hukum sendiri (As a Shield not
as a sword sebagai perisai/pelindung, bukan sebagai pedang).

Ada 3 Konsep Ketertiban Umum di dunia, yaitu :

I. Konsep Romawi:
Lembaga Ketertiban Umum selalu digunakan setiap kali bertentangan dengan hukum
sang Hakim, bukan dengan pengecualiannya. (As a sword not as ashield);

II. Konsep Jerman


Lembaga ketertiban umum dipergunakan sebagai pengecualian, sebagai rem darurat
as a shield. Yang penting adalah bahwa Ketertiban Umum di Jerman sangat berkaitan
erat dengan keadaan dalam negeri (Inlandsbezithungen).
Contoh: Bremen Tobako Case
- Pemerintah RI baru merdeka menasionalisasikan perkebunan tembakau di Deli yang
dimiliki oleh orang Belanda;
- Tembakau itu lalu diexport ke Jerman, untuk dilelang di pasaran BREMEN;
- Pemilik lama perkebunan tembakau Deli tersebut mengajukan tuntutan/gugatan ke
Pengadilan Negeri Bremen Jerman, dengan tntutan: a. Ganti rugi atas nasionalisasi;
b. nasionalisasi tersebut tidak sah, karena melanggar ke-
tertiban umum Jerman;
- Putusan :
a. Syarat-syarat Ganti rugi adalah :
- prompt : Sudah dibayar;
- Effective : uangnya ada;
- Adequate : jumlahnya memadai.
b. Nasionalisasi RI tidak bertentangan dengan Ketertiban
Umum Jerman, karena tidak memenuhi syarat Inlandsbezit
hungen (kepentingan masyarakat dalam negeri Jerman).

III. Konsep Anglo Saxon = Public Policy maksudnya adalah bahwa Hakim pengadilan
berpatokan pada sikap Executif mengenai pelaksanaan ketertiban umum. Bila pihak
Executif mengakui suatu Negara sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, maka
Yudikatif tidak berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan
tindakan dari Negara tersebut.

Contoh: Princess Palay Olga Cases:


- Princess Palay Olga (PPO) adalah puteri keturunan bangsa Rusia yang lari ke Inggris
ketika terjadi revolusi di Rusia, dan menetap di Rusia;
- Beberapa tahun kemudian ia melihat ada lukisannya dan keluarganya pada keluarga WN
Inggris, ternyata mereka telah membeli lukisan tersebut pada Pemerintah Rusia;
- Ia lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Inggris bahwa lukisan tersebut dijual tanpa
pemberian ganti rugi;
- Menurut hukum Inggris tidak boleh ada pencabutan hak milik tanpa ada ganti rugi,
Namun Hakim Inggris menyatakan tidak kompeten / berwenang mengadili perkara ini;
- Bahwa pencabutan hak milik tanpa ganti rugi yang dilakukan RUSIA tidak melanggar
ketertiban umum, bila Negara yang melakukan perbuatan tersebut adalah Negara yang
diakui secara resmi oleh Inggris sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat (Act of State
doctrine);
- Pada saat itu Inggris sudah mengakui RUSSIA sebagai Negara yang merdeka dan
berdaulat.

Macam-macan Ketertiban Umum:


I.Ketertiban Umum Nasional / Intern
Kaedah-kaedah yang membatasi kebebasan dari perorangan (lebih luas dari ketertiban
umum Internasional);
Misalnya : kaedah hukum perdata mengenai batas umur atau dera
jat kekeluargaan berkaitan dengan perkawinan.
- Seorang WN mesir (Islam) di Perancis dan dianggap sudah dewasa berdasarkan hukum
nasionalnya, meskipun menurut hukum Perancis dewasa itu 21 tahun.
- Hkm Perdata Perancis mengenai kedewasaan hanya termasuk ketertiban umum intern
tidak bersifat ketertiban umum internasional, sehingga tidak cukup kuat untuk berlaku
internasional;
- Sebaliknya seorang lelaki Mesir beragama Islam tidak akan dapat diperkenankan untuk
menikah dengan seorang isteri kedua di Perancis, walaupun hukum nasionalnya
membolehkan. Ini karena hukum Perancis melarang poligami dan dianggap termasuk
bidang ketertiban international.

II. Ketertiban Umum International / Extern


Kaedah-kaedah yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan
Negara pada umumnya, kepentingan rakyat secara umum. Kaedah
kaedah yang membatasi kekuatan extra territorial dari kaedah
asing.

Pembatasan/ Relatifitas ketertiban Umum


I. Faktor Waktu : - De Ferrari Case
Ketertiban umum di suatu waktu berbeda dengan ketertiban
umum di waktu lainnya.
Contoh: perceraian -> disuatu Negara yang dahulu tidak diperbo-
perceraian)lehkan, sekarang menjdi bisa(pisahranjang

II. Faktor Tempat :


Ketertiban umum disauatu tempat tidak sama dengan ketertiban
Umum di tempat lainnya.
Contoh: Poligami di Indonesaia dibolehkan, di Perancis dilarang;

III. Faktor kepentingan masyarakat / Intensitas / Inlandsbezi


Ketertiban umum yang dikaitkan dengan kepentingan suatu Negara dan mempunyai
hubungan erat dengan peristiwa-peristiwa politik, contoh :perkara : BREMEN Tobako Case

Keterkaitan
- tidak dapat ditentukan secara apriori apa yang termasuk ketertiban umum, tergantung
pada factor-faktor diatas. Sang hakimlah yang menentukan apakah suatu tindakan
termasuk ketertiban umum atau tidak.
Kuliah Hukum Perdata International (8)
(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

KAEDAH HUKUM MEMAKSA (MANDATORY RULES)

Kaedah Hukum memaksa (mandatory rules) dalam HPI sering kali menjadi kompleks,
karena keberlakuannya tidak dapat dikesampingkan oleh kesepakatan antar para pihak.
Ada kemiripan dengan situasi dimana berlakunya sistim hukum asing harus
dikesampingkan atas dasar bertentangan dengan kepentingan umum. Namun meski
dalam penerapan ada kemiripan, tetap ada perbedaannya.

Perbedaannya antara lain :


- dasar pemberlakuan ketertiban umum dimaksudkan sebagai upaya defensive /
mempertahankan untuk mencegah timbulnya akibat-akibat negative dari pemberlakuan
hukum asing terhadap kepentingan nasional forum;
- dasar pemberlakuan mandatory laws harus diberlakukan, tanpa melihat isi dari kaedah
hukum asing yang seharusnya diberlakukan.

Pemberlakuan mandatory rules seringkali menjadi krusial dalam HPI, khususnya pada
bidang-bidang kontrak yang didasrkan atas kebebasan para pihak menentukan hukum
yang berlaku atas kontrak mereka. Dengan kata lain mandatory rules akan membatasi
para pihak dalam transaksi International, hal ini disebabkan oleh latar belakang
pemberlakuan mandatory rules yang dianggap sebagai aturan umum yang mencerminkan
kebijakan dasar (fundamental policy) dari Negara yang memberlakukannya.

Namun dalam praktek tidak mudah untuk menentukan apakah suatu aturan hukum dapat
dikatagorikan sebagai mandatory atau tidak? Persoalan ini biasanya dijawab melalui
tindakan penafsiran dan konstruksi hukum (legal interpretation and construction) pada
tingkat domestic, dengan mempertimbangkan substansi serta kebijakan dasar yang
melatar belakangi aturan-aturan itu.

Dari segi International, persoalan ini menjadi lebih rumit, karena tidak semua aturan
hukum yang bersifat memaksa dalam persoalan-persoalan hukum yang bersifat domestic,
dengan sendirinya menjadi bersifat memaksa pula dalam arti International.

Konsep kaedah hukum memaksa (mandatory rules) umumnya digunakan untuk menjadi
dasar pemberlakuan:
- Aturan-aturan hukum yang khusus dimaksudkan untuk mengatur masalah-masalah
ketenagakerjaan dan perlindungan konsumen;
- Aturan-aturan hukum dari sebuah Negara yang dipertautkan (connected) oleh semua
elemen yang relevan dalam suatu persoalan hukum, kecuali pilihan hukum para pihak;
- Aturan-aturan badan pengadilan yang menjadi perkara;
- Aturan-aturan hukum dari suatu Negara yang memiliki kaitan nyata dengan situasi
tertentu walaupun hukum Negara itu bukan merupakan lex causae;

Pengertian hukum memaksa sebenarnya dapat diartikan sebagai dua konsep yang agak
berbeda satu sama lain, yaitu dalam arti:

1. Domestik
Aturan-aturan hukum yang memaksa dari forum yang tidak dapat dikesampingkan melalui
perjanjian. Aturan-aturan ini diberi sifat memaksa atas pertimbangan terhadap akibat yang
ditimbulkannya secara domestic apabila ia dikesampingkan melaluiperjanjian para pihak.
Jika di dalam negeri system hukum ybs melarang penyimpangan terhadapnya melalui
perjanjian, umumnya penyimpangan dalam hubungan hukum yang bersifat international
pun akan dianggap dilarang.
Misalnya : UU ketenagakerjaan Indonesia yang mewajibkan pembayaran upah sekurang-
kurannya (minimum) sesuai dengan indeks Upah Minimum Regional yang berlaku di
wilayah tertentu di Indonesia, dan perusahaan serta pekerja dalam tingkat domestic tidak
dapat membuat kontrak kerja dengan pembayaran upah yang lebih rendah dari UMR,
maka suatu kontrak kerja yang bersifat internasional pun tidak dapat menyimpang dari
UMR itu melaluikesepakatan para pihak jika konrak kerja itu tunduk pada hukum Indonesia.

Jadi dalam arti ini sifat memaksa dari mandatory laws akan berlaku juga dalam kontrak
international apabila persoalan hukum yang menjadi pokok perkara memang memiliki
kaitan nyata hanya ke hukum Indonesia atau jika perkara diajukan di depan Pengadilan
Indonesia.

2. Internasional
Aturan-aturan hukum yang tidak dapat dihindarkan berlakunya melalui pilihan hukum
kearah sistim hukum lain selain system hukum yang menyatakannya sebagai aturan yang
memaksa. (Tidak dapat dikecualikan oleh pilihan hukum).
Kaedah-kaedah hukum memaksa dalam arti ini juga menunjuk pada aturan-aturan hukum
yang pada dasarnya tidak dapat dikesampingkan, baik melalui perjanjian maupun
kesepakatan diantara para pihak atau melalui pemberlakuan system hukum lain yang
berlaku, baik karena pilihan hukum maupun karena ditunjuk kaedah-kaedah HPI lex fori.

Persoalan: apakah ada perbedaan pemberlakuan mandatory rules dari lex fori dengan
mandatory rules dari suatu sistim hukum asing (lex causae)?
- Untuk mandatory rules dari lex fori, umumnya diterima azas bahwa pengadilan wajib
untuk memberlakukannya dengan tidak mempedulikan hukum apa yang akan
diberlakukan sebagai lex causae dari seuatu perkara. Pegangan Pengadilan/Hakim untuk
memberlakukannya adalah prinsip bahwa mandatory rules dari lex fori yang tidak dapat
dikesampingkan dalam perkara HPI adalah mereka yang substansinya berkaitan dengan
penegakan nilai-nilai ketertiban umum di negara forum.

- Untuk mandatory rules dari hukum asing (foreign mandatory laws), doktrin HPI belum
terlalu jelas, tetapi dalam beberapa konvensi HPI diterima prinsip bahwa mandatory laws
asing hanya dapat dipertimbangkan untuk diberlakukan apabila:
- sistim hukum asing itu memiliki kaitan yang cukup nyata dengan perkara (close conection
rule), dan
- berdasarkan hukum asing itu, aturan-aturan tersebut memang harus diberlakukan tanpa
memperhatikan hukum yang seharusnya berlaku;

Di Belanda kaidah-kaidah hukum memaksa (voorrangsregels) dipahami sebagai kaedah-


kaedah HPI Unilateral yang harus diberlakukan demi pengamanan terhadap kepentingan
umum dari Negara forum.

Di dalam doktrin conflict of laws Amerika Serikat, diterima prinsip bahwa khusus
untukpersoalan-persoalan yang seharusnya dapat diselesaikan sendiri oleh para
pihakberdasarkan persyaratan dalam kontrakmereka, kebebasan para pihak untuk memilih
hukum praktis tidak dibatasi sama sekali. Jika kontrak tidak dapat menyelesaikannya
karena persoalan yang diatur mandatory laws, para pihak dapat memilih untuk
memberlakukan kaedah memaksa dari system hukum asing, kecuali bila:
1. Negara yang dipilih tidak memiliki kaitan yang substantive dengan para pihak atau
dengan transaksi mereka dan tidak ada dasar pertimbangan lain yang reasonanble untuk
memilih hukum Negara tersebut, atau
2. pemberlakuan hukum dari Negara yang dipilih itu akan bertentangan dengan kebijakan
dasar dari Negara yang secara objektif memiliki kepentingan yang lebih besar dari pada
Negara yang dipilih dalam penyelesaian perkara ybs.

Kuliah Hukum Perdata International (9)


(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

KONSEP HAK-HAK YANG DIPEROLEH (VESTED RIGHTS) DALAM HPI

Istilah hak-hak yang diperoleh sering disebut dengan right and obligations created
abroad atau hak dan kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum asing. Yang menjadi
persoalan dalam HPI, apakah hak dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang
berdasarkan kaedah-kaedah dari suatu sistim hukum asing tertentu harus diakui atau tidak
oleh lex fori (Sunaryati hartono).

Menurut Prof. SUDARGO GAUTAMA:


Dalam HPI masalah Vested rights ini dikemukakan untuk memasalahkan sejauh mana
perubahan-perubahan yang terjadi terhadap fakta-fakta akan mempengaruhi berlakunya
kaedah-kaedah hukum yang semula digunakan.

Contoh:
A WNI dan berdasarkan hukum Indonesia telah diakui sah sebagaim ppemegang hak milik
atas suatu benda bergerak. Pada suatu saat A mengubah status keWNannya menjadi WN
Republik Rakyat Cina. Menurut hukum positif cina, dianggap saja A belum dapat dianggap
sebagai pemilik yang sah atas benda bergerak itu.

Masalah:
Apakah karena perubahan keWNan dari Indonesia menjadi Cina, hak milik atas barang
bergerak yang semula melekat pada A, kemudian akan dianggap tidak ada ?

Jika Hakim atau hukum RRCina menganggap bahwa suatu pemilikan atas benda bergerak
dianggap sah berdasarkan hukum yang seharusnya berlaku, akan tetap diakui sahdi mana
pun hak itu hendak ditegakkan, maka dapatlah dikatakan bahwa pengadilan Cina
menerima prinsip hak-hak yang diperoleh (vested right)

Vested Rights dapat didefenisikan sebagai :


Suatu perbuatan yang dilakukan di luar forum dapat menerbitkan suatu hak yang melekat
pada pihak penggugat dan akan dilaksanakan atau diakui oleh forum tempat hak itu
diajukan sebagai perkara.

Hak dan kewajiban hukum yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu kaedah
hukum haruslah dihormati oleh siapa saja, termasuk oleh lex fori, kecuali bila pengakuan
terhadap hak-hak semacam itu akan menimbulkan akibat yang bertentangan dengan
public order dari masyarakat forum.

Pandangan atau asas ini berkembang pada masa memuncaknya pandangan hidup
individualistic yang menganggap bahwa hak milik mempunyai kekuatan hukum yang
mutlak di mana pun dan terhadap apap pun. Namun dengan perkembangan pandangan
hak milik mempunyai fungsi social, doktrin Vested rights ini mengalami pergeseran dan
orang cenderung menganut ajaran secara terbatas (qualified)

Dalam arti yang terbatas, maka Vested rights atau hak-hak yang diperoleh akan bererti:
Hak-hak yang dimiliki seseorang (suatu subjek hukum) berdasarkan kaedah hukum asing
dapat diakui didalam yuridiksi lex fori, selama pengakuan itu tidak bertentangan dengan
kepentingan umum masyarakat lex fori.

Dengan kata lain: Hak-hak yang diperoleh dapat diakui selama pengakuan itu tidak
bertentangan dengan ketertiban umum lex fori atau dengan asas-asas keadilan yang hidup
dalam masyarakat forum.

Kuliah Hukum Perdata International (10)


(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

PERSOALAN PENDAHULUAN & DEPECAGE

Pengertian:

Persoalan Pendahuluan (incidental question) dalam HPI adalah suatu persoalan / masalah
HPI dalam sebuah perkara yang harus dipecahkan terlebih dahulu sebelum putusan
terhadap masalah HPI yang menjadi pokok perkara dapat ditetapkan oleh Hakim.

Prof. Cheshire dlm bukunya Private International Law:


Adakalanya dalam suatu perkara HPI, pengadilan tidak saja dihadapkan pada masalah
utama, tetapi juga suatu masalah subsider. Setelah hukum yang harus diberlakukan
terhadap masalah utama ditetapkan melalui penerapan kaedah HPI yang relevan, maka
kemungkinan ada kebutuhan untuk menentukan kaedah HPI lain untuk menjawab masalah
subsider yang berpengaruh terhadap penyelesaian masalah utama.

Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan pendahuluan
(incidental question), maka perlu dipenuhi tiga persyaratan:
- Main issue yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah HPI yang
bedasarkan kaedah HPI forum harus tunduk pada hukum asing;
- Dalam perkara yang sama harus terdapat subsidiary issue yang mengandung unsure
asing, yang sebenarnya dapat timbul sebagai masalah HPI yang terpisah dan diselesaikan
melalui penggunaan kaedah HPI lain secara independent;
- Kaedah HPI untuk menentukan lex causae bagi subsidiary issue akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan dihasilkan seandainya lex causae
dari main issue yang digunakan;

Pada dasarnya sangat jarang sebuah kasus yang berkaitan dengan incidental question
dapat memenuhi criteria, oleh karenanya dalam praktek criteria tersebut diterapkan tidak
terlalu strict /kaku. Sebagai contoh fleksibilitas penerapanmisalnya dalam kasus
Pewarisan atas benda bergerak adalah sebagai berikut:
- criteria pertama dianggap tidak terpenuhi apabila pada saat pewaris meninggal dunia, ia
berkedudukan tetap di Negara forum;
- criteria ketiga dianggap tidak terpenuhi apabila seorang pewaris yg berdomicili di Negara
asing membuat terstament yang menyatakan untuk memberikan harta warisannya untuk
anak sahnya, padahal lex fori dan hukum asing tersebut memiliki kesamaan dalam
menentukan apakah anak tersebut adalah anak yang sah atau tidak sah.
Dengan tidak dipenuhi kriterianya, maka perkara tidak perlu diselesaikan dengan
menggunakan methode penyelesaian dalam incidental question.

Cara penyelesaian
Teori HPI mengenal tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan,
yaitu:

1. Absorption
Prinsipnya: melalui absorption, lex causae yang dicari dan ditetapkan melalui penerapan
kaedah HPI untuk mengatur masalah pokok (main issue) akan digunakan juga untuk
menjawab persoalan pendahuluan. Jadi setelah lex causae untuk masalah pokok
ditetapkan kaedah HPI lex fori, masalah pendahuluannya akan ditundukan pada lex causae
yang sama. Cara ini disebut cara penyelesaian berdasarkan lex causae.

2. Repartition
Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan lex causae untuk maslah
pendahuluan secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex causae dari masalah
pokoknya terlebih dahulu. Dengan mengabaikan lex causae dari masalah pokok, hakim
akan melakukan kualifikasi berdasarkan lex fori dan menggunakan kaedah HPInya yang
relevan khusus untuk menetapkan lex causae masalah pendahuluan. Cara ini disebut
penyelesaian dengan lex fori.

3. Pendekatan Kasus demi Kasus


Penetapan lex causae untuk masalah pendahuluan atau incidental question dilakukan
dengan pendekatan kasuistis, dengan memperhatikan sifat dan hakekat perkara atau
kebijakan dan kepentingan forum yang mengadili perkara.

Prof. Cheshire, kebanyakan putusan hakim dalam kasus-kasus incidental questions


diselesaikan melalui absorption. Namun Cheshire cenderung untuk menggunakan
pendekatan kasuistis (case by case approach) dengan memperhatikan kelas, jenis perkara
yang dihadapi.
Misalnya:
- perkara HPI bidang pewarisan benda-benda bergerak sebaiknya digunakan absorption;
sedangkan
- perkara dibidang perbuatan melawan hukum (tort) atau kontrak sebaiknya digunakan
repartition.

Di Belanda, pengadilan lebih banyak menggunakan repartition, MA Belanda (Hoge Raad)


menetapkan bahwa pada dasarnya masalah hukum yg berlaku dalam persoalan
pendahuluan (voorvraag) harus dijawab melalui repartition. Namun dengan pengecualian
bahwa absorption dapat digunakan apabila terdapat keterkaitan yang kuat antara masalah
pokok (hoofdraag) dengan persoalan pendahuluan (voorvraag).

Di Inggris, ada kecenderungan untuk melakukan absorption.

Contoh-contoh Kasus

1. RE MAYS ESTATE (1953)


Kasus Posisi:
- Sam dan Fannie May (Paman dan kemenakan, WNAmerika keturunan yahudi)
berkediaman tetap di Negara Bagian (NB) New York, Amerika serikat. Berdasarkan hukum
NB New York perkawinan antara paman keponakan dianggap batal demi hukum karena
bersifat incestuous (jinah), karenanya tahun 1913 Sam dan Fannie May menikah di NB
Rhode Island berdasarkan kaidah hukum adat Yahudi Hibrani dan diakui menurut NB itu.
Dua minggu setelah perkawinan mereka kembali ke NB New York hidup disana sebagai
suami istri selama 32 tahun dikaruniai 6 orang anak;
- Tahun1945, Fannie May meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta benda yang
dikuasai Sam suaminya. Kemudian salah seorang anaknya mengajukan gugatan di
Pengadilan New York untuk menentang kewenangan Sam May (ayahnya) untuk menguasai
dan mengurusi kekayaan peninggalan istrinya. Dasar gugatannya , karena perkawinan
Sam dan Fannie May did an berdasarkan hukum Rhode Island dianggap tidak sah.

Persoalan Hukum:
a. Apakah Sam may berwenang untuk menguasai dan mengurus harta Fannie May, dengan
alas hak sebagai pasangan yang masih hidup dari suami istri yang telah menikah dengan
sah. Hal ini harus diputuskan berdasarkan lex domicile dari Sam dan fannie, yaitu hukum
New York. Gugatan sang anak inilah menjadi masalah pokok (main question) dalam kasus
ini;
b. Untuk memutus perkara ini Pengadilan New York menghadapi kenyataan bahwa mereka
harus memutuskan dahulu, apakah perkawinan Sam dan Fannie may did an berdasarkan
hukum Rhode Island dapat diterima sebagai perkawinan yang sah. Persoalan ini adalah
incidental question yang harus diputuskan sebalum hakim memutus persoalan pokoknya.

Fakta Hukum:
- Hukum New York, menganggap perkawinan paman keponakan incestuous, karenanya
batal demi hukum;
- Kaidah HPI New York tidak jelas mengenai keabsahan perkawinan dan pengakuan
keabsahannya perkawinan dua orang warga New York yang diresmikan di Negara lain,
karena itu sah tidaknya perkawinan harus ditentukan berdasarkan hukum tempat
peresmian perkawinan (lex loci celebration);
- Hukum intern Rhode Island di bidang perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang
dianggap sah berdasarkan kaidah-kaedah agama dan tradisi tertentu, akan dianggap sah
pula berdasarkan hukum Negara;

Proses Pemeriksaan Perkara


Langkah berpikir dan pertimbangan hakim New york:
a. Hakim NY pertama menunjuk kea rah hukum Rhode Island sebagai
lex loci celebrationis untuk menentukan keabsahan pperkawinan Sam & Fannie May karena
hukum intern NY sendiri tidak jelas mengenai hal itu;
b. Perkawinan Sam dan Fannie Mayadalah perkawinan agama (Hibrani) yang sah dan
perkawinan itu diakui sah pula oleh lex loci celebrationis (hukum Rhode Island);
c. Berdasarkan pertimbangan itu, hakim memutuskan bahwa perkawinan Sam dan Fannie
May (incidental question) adalah perkawinan yang sah;
d. Karena perkawinan Sam & Fanie dianggap sah, maka berdasarkan hukum NY (hukum
main question) dari suatu perkawinan yang sah akan terbit kewenangan pada pasangan
yang masih hidup untuk menguasai dan mengurus kekayan dari pasangan yang telah
meninggal terlebjh dahulu;
e. Sam may berhak untuk tetap menguasai kekayaan peninggalan Fannie dalam
kedudukannya sebagai suami yang sah.
Jadi dalam perkara ini hakim NY telah melakukan Repartition, dengan menundukkan
persoalan pendahuluannya (sah/tdknya perkawinan) pada sistim hukum yang berbeda
(hukum Rhode island) dari sistim hukum yang digunakan untuk menjawab masalah
pokoknya (hukum NY).

2. Perkara Lawrence VS Lawrence (1985)


Kasus posisi:
- Sepasang suami istri menikah dan berdomisili di Brazil, pada tahun 1970 istri
memperoleh putusan cerai dari suaminya di pengadilan Negara Bagian (NB)Nevada
Amerika serikat.
- Berdasarkan putusan pengadilan Nevada itu, sang istri menikah lagi dengan seorang WN
AS / Nevada, perkawinan dilangsungkan di Nevada.;
- Beberapa waktu kemudian suami mengajukan permohonan pengesahan perkawinannya
dengan si wanita itu di pengadilan Inggris.

Fakta hukum:
- Kaidah HPI Inggris: Kapasitas hukum wanita untuk menikah kembali tunduk pada hukum
tempat domisili wanita itu;
- Kaidah HPI Inggris lain: Sah tidaknya perceraian harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat dimana perceraian dilaksanakan;
- Kaidah HPI Infggris lain: sah tidaknya suatu perkawinan harus ditetapkan hukum dari
tempat perkawinan dilaksanakan;
- Kaidah Hukum intern Brazil: perceraian atas sebuah perkawinan yg dilakukan di Brazil,
yang dilakukan di luar negeri, tidak memilikimkekuatan berlaku di Brazil;

Proses penyelesaian perkara:


a. persoalan pendahuluannya (vorfrage) dalam perkara ini: apakah si wanita memiliki
kapasitas hukum menikah kembali;
b. persoalan pokoknya (Hauptfrage) dalam perkara ini: apakah Pengadilan Inggris harus
menguatkan perkawinankedua dari si waniita itu dengan pemohon;
c. Untuk menjawab Vorfrage, hakim Inggris berpendapat ia harus mempertimbangkan
fakta hukum bahwa:
- Berdasarkan hukum Brazil (lex domicile wanita) menganggap bahwa siwanita tidak
mempunyai kapasitas untuk menikah lagi, karena perceraian dari suami pertama tidak
sah;
- Akan tetapi berdasarkan hukum Nevada (lex loci celebrationis perceraian) bahwa
perceraian Nevada itu adalah perceraian yang sah;
d. Hakim dalam putrusannya menetapkan bahwa Vorfrage dalam perkara ini tunduk pada
hukum tempat perceraian diresmikan, sehingga lex causae nya adalah hukum Nevada,
yang menganggap si wanita memiliki kapasitas hukum untuk menikah kembali;
e. Berdasarkan hal itu, hakim kemudian menguatkan perkawinan kedua yang dilakukan
secara sah berdasarkan hukum Nevada (lex causae untuk Hauptfrage). Permohonan
pemohon dikabulkan.

DEPECAGE
Dalam bahasa Prancis, DEPECAGE berarti pemecahan atau pemilahan. Pembahasan
mengenai Defecage ini dalam konteks HPI sebenarnya menimbulkan kemungkinan yang
mirip dengan situasi incidental question meski tidak sepenuhnya sama.

Defecage adalah tindakan untuk menundukkan persoalan-persoalan tertentu yang


mungkin terbit di dalam sebuah peristiwa atau hubungan hukum pada system-sistem
hukum yang berbeda.

Sebagai contoh:
- Persoalan pewarisan yang dibuat WNI melalui pembuatan testament yang dilaksanakan
di Singapura. Jika perkara gugatan atas testament diajukan di pengadilan Indonesia,
secara umum orang mengatakan bahwa perkara tunduk pada system hukum dari tempat
pembuatan testament. Akan tetapi jika memilah-milah perkara ini dalam sub-
subpersoalan, misalnya subpersoalan tentang:
1. keabsahan formal dari testament;
2. subpersoalan tentang kemampuan hukum si pewaris untuk mewariskan kekayaan lewat
testament;

kemungkinannya:
- submasalah (1) pengadilan memberlakukan hukum Singapura, sedangkan
- submasalah (2) pengadilan memberlakukan hukum Indonesia;
Tindakan memilah dan memilih inilah yang dimaksud dengan DEPECAGE. Yang menjadi
pertanyaan dalam perspektif HPUI adalah apakah orang dapat melakukan pemilahan
seperti itu.

Contoh lain:
- Gugatan ganti rugi seorang wrga NB New York atas perbuatan melawan hukum (PMH)
yang dilakukan di NB Texas oleh seorang warga Texas, dan gugatan diajukan di NB New
York.

Kemungkinannya:
- Jika permasalahan pokoknya perbuatan Tergugat dapat dikatagorikan sebagai PMH
(masalah substansi), maka yang berlaku kaedah hukum Texas sebagai lex loci delicti,
namun
- Jika yang menjadi persoalan pokok apakah besarnya ganti rugi yang diminta terbatas
jumlah tertentu atau tidak (procedural), maka persoalan ini mungkin akan ditundukkan dan
diselesaikan berdasarkan hukum New York sebagai lex fori.

DICEY dan MORRIS, dalam konteks perjanjian/kontrak HPI, membedakannya:


1. Tidak semua persoalan yang timbul dari sebuah hubungan kontraktual dengan
sendirinya harus diatur berdasarkan satu hukum yang sama. Jadi sangat mungkin jika
hukum yang dipilih para pihak digunakan menyelesaikan masalah sah tidaknya kontrak
(validity), masalah bentuk kontrak mungkin ditundukan pada lex loci contractus, atau
kemampuan hukum para pihak ditundukkan pada hukum personal masing-masing;
2. Hukum-hukum yang berbeda dapat diberlakukan atas bagian-bagian sebuah kontrak,
missal: salah satu kewajiban kontraktual ditundukan pada hukum A, sedangkan kewajiban
kontraktual lain dari kontrak yang sama ditundukan pada hukm B.

HPI Traditional (eropah) secara teoritis bertitik tolak dari prinsip bahwa sebuah hubungan
hukum seharusnya tunduk pada satu system hukum (jurisdiction selecting approach),
namun dalam keadaan tertentu DEPECAGE dapat diperlakukan sebagai kekecualian:
- pelaksanaan kewajiban para pihak dalam kontrak harus dilaksanakan di tempat-tempat
yang berbeda;
- para pihak sepakat untuk memecah sebuah kontrak kedalam bagian-bahian tertentu
dan menundukkan masing-masing bagian itu pada system hukum berbeda-beda, atau
- karena submasalah tertentu dari suatu hubungan hukum tertentu ternyata memiliki
kaitan nyata yang lebih besar pada sebuah system hukum yang seharusnya berlaku
berdasarkan pilihan hukum para pihak / berdasar kaidah HPI.

Dalam system Conflict of laws Amerika Serikat, pada dasarnya menaggap tugas HPI
menetapkan aturan hukum local yang mana dalam sebuah penyelesaian sebuah
hubungan/peristiwa hukum (rule selecting approach), menganggap DEPECAGE sebagai
sesuatu yang alamiah. Penyelesaian conflict of laws harus dilakukan atas dasar analisis
kasus perkasus (case-by case analysis), sehingga adalah wajar bila salah satu kasus harus
tunduk pada system hukum yang berbeda dari system hukum yang diberlakukan untuk
kasus lain yang timbul dari hubungan/peristiwa hukum yang sama.

Kuliah Hukum Perdata International (11)


(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

PENYELUDUPAN HUKUM
Istilah-istilah:
- Wetsontduiking (Belanda), fraude a la loi (Perancis), fraus legis (Latin),
Gesetzesumgehung, das Handeln in fraudem legis (Jerman), fraudulent creation of
point of contacts (Inggris), frode alla legge (Italia).

- Hubungan Penyeludupan Hukum (PH) dengan Ketertiban Umum (Tibum), kedua-duanya


bertujuan agar hukum nasional digunakan dengan mengenyampingkan hukum asing.
Sama-sama mengesampingkan kaedah hukum tertentu;
- perbedaan antara PH dengan Tibum:
Tibum : Hukum nasional dianggap tetap berlaku;
(Pengesampingan dilakukan untuk kepentingan hakim)
PH : Hukum nasional tetap berlaku dan dianggap tepat pada suatu
peristiwa hukum saja, karena sifatnya menghindarkan hukum
nasional; (Casuistis dalam kasus-kasus tertentu saja, biasanya
para pihak atas saran pengacaranya);

Penyeludupan hukum (PH) : kaedah-kaedah hukum asing kadang-kadang dikesampingkan


dan menggunakan hukum nasional atau sebaliknya untuk keuntungan / tujuan tertentu.

Contoh kasus:
Gretna Green
Sebuah desa di Scotlandia dekat dengan England yang menjadi tempat perlindungan bagi
orang-orang Inggris yang hendak menikah tanpa persetujuan dari orang tua mereka.

Perkawinan orang-orang Indonesia di Penang atau Singapur


- larangan menikah karena adanya ketentuan larangan kawin sebelum lewat 300 hari bagi
perempuan menurut BW, disiasati dengan melakukan perkawinan di Penang atau
Singapur;
- kalau sekarang banyak digunakan oleh pasangan yang berbeda agama.

Contoh-contoh penyeludupan hukum:


f. perkawinan untuk memperoleh kewarganegaraan;
( Wanita asing yang menikah dengan pria Indonesia, berdasarkan Psal 7, 8 UU
Kewarganegaraan tahun 1958, memperoleh kewarganegaraan Indonesia);

g. perkawinan untuk menghindari pengusiran;


( Wanita-wanita asing yang secara tergesa-gesa menikah dengan pria Belanda pada masa
perang, dengan maksud menghindarkan pengusiran oleh jawatan Imigrasi)

h. perkawinan untuk dapat bekerja;


(wanita asing yang menikah dengan pria WNI untuk dapat bekerja menghindarkan ijin
kerja khusus WNA berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan (UU No.3 tahun 1958)

-Percreaian:
Kasus Cerai kawin di ZEVENBURGEN
Bagi WN Italia dan Austria yang tidak bias bercerai (karena hukumnya tidak mengenal
cerai, hanya sepakat pisah) pergi ke Honggaria naturalisasi jadi WN Honggaria dan
anggota jemaat protestan di gereja Zevenburgen, maka keputusan pisah meja & tempay
tidur bias diubah menjadi perceraian;

Naturalisasi di Eslandia:
- Van A WN Belanda menikah di Indonesia dengan WN Belanda;
- bercerai menurut BW (KUHPerdata) belum cukup alasan, maka hanya pisah meja dan
tempat tidur;
naturalisasi ke Eslandia dan mengajukan perceraian;- pergi ke Negara Baltik, Eslandia
- Van A menikah lagi dengan wanita lain dilangsungkan di Scotlandia.

Kasus Mr. I. Tj.


i. Mr. I Tj. Pengacara WNI (Islam) menikah dengan Ny. JMR (WN Belanda) masuk Islam;
j. Ny. JMR ke labuan Bilik batu mengucapkan ikrar murtad di depan Raad Agama
Kerapatan Besar negeri Panei, Raad Agama memutuskan jika sudah murtad tunggu 3 x
suci, jika masih murtad talak jatuh pada tanggal nikahnya.
k. Ternyata JMR menikah lagi di Surabaya dengan WN Belanda.
l. Alasan murtad dapat dijadikan alasan perceraian, penyeludupan hukum yang dilakukan
JMR berhasil.

Sifat penyeludupan Hukum:


m. menggunakan HPI untuk tujuan tertentu, supaya attas hubungan non hukum tertentu
diperlakukan hukum yang lain dari pada apa yang seharusnya akan dipergunakan.

Tujuan penyeludupan hukum:


n. untuk dapat mmenghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk
mewujudkan suatu akibat hukum yang dapat dikehendaki.

VESTERS DUBINK: penyeludupan hukum terjadi apabila seorang berdasarkan ketentuan-


ketentuan yang dipergunakan dalam undang-undang, tetapi melawan jjiwa dan tujuannya,
secara muslihat melakukan perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk menghindarkan
berlakunya kaedah-kaedah hukum tertulis / tidak tertulis.

Akibat-akibat Penyeludupan Hukum:


o. setiap penyeludupan hukum mengakibatkan batalnya perbuatan bersangkutan.
p. Ungkapan yang terkenal: fraus omnia corrumpt, artinya penyeludupan hukum
mengakibatkan bahwa perbuatan hukum itu dalam kkeseluruhannya tidak berlaku.
q. Prinsip ini dianut oleh Perancis.
Contoh kasus : peristiwa putrid De Bauffrement.

Kuliah Hukum Perdata International (12)


(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

PILIHAN HUKUM
- Pilihan Hukum sudah umum diterima dalam praktek bisnis bagi pihak-pihak yang
menyepakati. Yang dipilih dalam pilihan hukum adalah sistim hukumnya, bukan
perundang-undangannya;
- Tidak dapat diterapkan terhadap permasalahan diluar bidang kontrak.

Pilihan Hukum merupakan kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk
menentukan hukum yang akan berlaku bagi konntrak yang dibuatnya;
Intisari pilihan hukum adalah otonomi;
DUMOULIN (Perancis).- penemu Pilihan Hukum ----
Batasan Penggunaan Pilihan Hukum

a. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum


Bahwa hukum yang digunakan oleh para pihak itu tidak bertentangan dengan asas-asas /
sendi hukum sang hakim dan salah satu pihak;

b. Tidak boleh menjelma menjadi pilihan hukum:


Penyeludupan hukum--- tindakan para pihak untuk menentukan sendiri hukum yang
berlaku baginya dengan itikad yang buruk;

c. Hanya boleh mengenai bidang kontrak


Titik pertalian yang objektif, digeser oleh pilihan hukum
Pergeseran titik pertalian objektif, contoh:
- kewarganegaraan (Wanita Asing X Pria WNI )
ke USA)- domisili ( di Negara-negara yang menganut system domisili, perpindahan
domisili tersebut akan dapat menggeser titik ppertalian yang objektif, yaitu hukum dari
negaranya, Contoh Inggris---
- pilihan hukum dapat berubah menjadi penyeludupan hukum apabila menggeser titik
pertalian objektif (domisili, keWNan, lex rei sitae, lex loci contractus);
dilihat dari ada / tidak red connection dengan isi kontrak).- pilihan hukum dapat
berubah menjadi penyeludupan hkum apabila hal tersebut dilakukan terhadap sistim
hukum yang ada hubungannya dengan kontrak (ada / tidaknya hubungan dengan isi
kontrak--

d. Harus ada red connection dengan isi kontrak;

e. Red Connection dengan perbuatan hukum;

untuk kontrak kkerja yang dilakukan di Indonesia harus dipakai hukum Indonesia
(merupakan kebijakan ekonomi nasional);f. Khusus di Indonesia ---

g. Berdasarkan perkembangannya, pilihan hukum tidak diperkenankan terhadap


ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh Pemerintah Ybs. Contoh: PP No. 16/1997
mengenai Waralaba, tidak diperkenankan menggunakan sistim hukum selain hukum
Indonesia.

Macam-macam Pilihan Hukum

a. Pilihan hukum secara tegas


secara jelas dicantumkan dalam kontrak;
pilihan hukum di Negara-negara bagian (AS)pengecualian ---
Clausula penyelamatan suatu kontrak
apabila isi/clausula dan pasal didalam kontrak bertentangan dengan hukum B, maka
hukum yang digunakan adalah hukum B;Contoh: AXB--

b. Pilihan hukum secara diam-diam


Dilihat dari:
dalam klausulanya ditentukan adanya kewajiban bagi para pihak yang menunjukan pada
sistim hukum tertentu;Isi Kontrak -
Tindakan-tindakan para pihak yang menunjukan kearah suatu sistim hukum tertentu;
Contoh: - pengiriman barang menggunakan jasa pengangkut New
York;
jadi dianggap para pihak menundukan diri pada sistim hukum New york.- klausul-klausula
dalam pasal mirip dengan klausula dalam sistim hukum New York

c. Pilihan hukum yang dianggap


Dugaan-dugaan fiktif dari sang Hakim dimana hakim menganggap para pihak telah
memilih satu sistim hukum tertentu.

d. Pilihan hukum secara hipotetis


Berdasarkan dugaan-dugaan dari sang Hakim;
Lebih buruk dari (butir C) karena disini para pihak tidak bermaksud / tidak ada maksud /
keinginan untuk memilih suatu hukum.

asas favorable, sepanjang disepakati oleh para pihak;Pilihan Hukum alternative

dilakukan terhadap pilihan hukum suatu Negara yang memiliki kompleksitas sistim
hukum.Pilihan Hukum Selektif
Contoh: Indonesia ; hukum perdata barat, hukum Adat; hukum Islam.

Kuliah Hukum Perdata International (13)


Dosen : Abdul Fickar Hadjar, SH., MH

PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM ACARA PERDATA INTERNATIONAL

A. PENDAHULUAN
Dalam konteks HPI, biasanya pelaku bisnis atau lawyers mereka umumnya mengandalkan
aturan-aturan untuk menyelesaikan masalah secara damai, dan yang banyak menjadi
perhatian adalah solusi atas persoalan hukum dari segi hukum materiil (substantive law).
Kaedah-kaedah hukum perdata dan perdagangan umumnya dibuat untuk membantu
pengambilan keputusan dalam mencapai hasil penyelesaian perkara yang palin baik dari
segi substansi. Disinalah para ahli hukum mengandalkan hukum perikatan (law of
obligation) atau hukum kontrak atau hukum tentang PMH atau hukumkeluarga, hukum
kebendaan dan sebaagainya.

Namun tidak kalah pentingnya peranan kaedah-kaedah hukum formal / procedural / acara
yang akan menetapkan bagaimana aturan penyelesaiaan sengketa harus dijalankan agar
upaya penegakan hukum substantive dapat diwujudkan secara efektif.

Dalam konteks HPI, persoalan pokok hukum acara adalah menyangkut penentuan
kewenangan mengadili dari sebuah forum apabila dihadapkan pada perkara yang
mengandung unsure asing. Sebuah transaksi transnasional (melampaui batas Negara),
maslah procedural dalam proses penyelesaian sengketanya juga akan bersifat khas.

Sebagai contoh:

Penggugat A yg berdomisili di Indonesia mengajukan gugatan ganti rugi di pengadilan


Indonesia terhadap B yang berdomisili di Singapur.

Beberapa masalah khas yang mungkin muncul, yaitu:


1. Apakah pengadilan Indonesia mempunyai kompetensi / kewenangan untuk memutus
perkara A dan B;
2. Jika mempunyai kompetensi, hukum manakah yang harus digunakan untuk
memnyelesaikan masalah (hukum Indonesia atau Singapura). Masalah ini sebenarnya
maslah HPI, tetapi diluar persoalan hukum acara;
3. Persoalan proses pengajuan Tergugat B ke pengadilan Indonesia, jika B tidak dipanggil
dan diajukan sesuai tata cara hukum yang berlaku atau hukum international, maka
pengadilan Indonesia tidak dapat memberikan putusan yg sah dan putusan itu tidak akan
memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan (di Indonesia, Singapura atau di mana pun);
4. Persoalan perolehan alat bukti atau saksi-saksi di luar negeri, sebagai pelaksanaan
kewenangan peradilan suatu Negara di wilayah Negara lain. Butir 3 & 4 biasanya diatur
convensi hukum international, jika tidak diatur hukum acara manakah yang harus berlaku?
Ada dua pandangan yang berbeda :
a. Hukum acara forum (lex fori) yang mengadili perkara juga yang harus berlaku di wilayah
Negara asing tempat alat bukti berada. Asas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan
Negara yang antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan kewenangan yuridiksi pengadilan.
b. Penyelesaian urusan yang menyangkut pelaksanan kewenangan forum di wilayah
Negara asing tidak selalu dapat ditundukan pada lex fori, tetapi tunduk pada lex fori asing
(foreign jurisdiction / lex diligentiae)
5. Apabila pengadilan Indonesia telah memiliki kewenangan Yurisdictional, memutus
perkara yang mengalahkan B dan eksekusi asset-aset B harus dilaksanakan pengadilan
Singapura. Persoalannya jika tidak terdapat perjanjian saling mengakui dan melaksanakan
putusan hukum yang dibuat di masing-masing Negara. (maslah HPI: recognition and
emforcement of foreign judgements);
6. Persoalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase perdagangan international, jika
forum arbiter memutus atas dasar ex Aequo et Bono. Apakah kebebasan forum arbitrase
bersifat mutlak atau kah forum tetap terikat untuk mendasarkan diri pada system hukum
tertentu. Persoalan ini akhirnya membawa orang utuk menentukan hukum apa yang harus
digunakan sebagai acuan dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase.

B. PRINSIP HPI TENTANG DASAR PENETAPAN YURISDIKSI FORUM DALAM LITIGASI PERKARA
TRANSNASIONAL
Berbicara tentang yurisdiksi ekstrateritorial, atas dasar kedaulatannya setiap Negara
berwenang sepenuhnya untuk mengklaim yurisdiksi atas subjek hukum, namun secara
international diterima prinsip bahwa kewenangan semacam itu perlu dibatasi dan Negara-
negara harus membatasi diri dalam mengklaim kewenangannya (self-restraint). Artinya
setidaknya harus ada dasar yang kongkret bagi pengadilan sustu Negara untuk mengklaim
yuridiksi ekstrateritorialnya. Dasar yang konkret itu umumnya ditentukan oleh ada-
tidaknya suatu pertautan atau kontrak (connection) tertentu antara Negara dan badan
peradilannya disatu pihak, dengan gugatan atau pihak-pihak dalam perkara dilain pihak.

Pengertian Kewenangan Yuridiksional Forum dalam konteks HPI


Masalah yurisdiksi secara luas dapat diartikan sebagai masalah apakah sebuah forum akan
mengadili dan emutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Dalam HPI masalah ini
menjadi lebih kompleks karena mencakup beberapa masalah:
1. Apakah Pengadilan Berwenang untuk Mengadili Perkara
Kompetensi mengadili adalah persoalan hukum acara, dan dalam hukum keperdataan
biasanya bergantung dari penyampaian panggilan pengadilan kepada pihak tergugat
(service of writ), dan panggilan hanya dapat disampaikan jika:
- tergugat berada secara fisik di dalam yurisdiksi pengadilan,
- tergugat menundukkan diri pada kewenangan yurisdiksional
pengadilan;
- pengadilan memerintahkan pemanggilan tergugat di wilayah di
luar yuridiksi pengadilan (service of writ out of the
jurisdiction).

2. Apakah Pengadilan akan Menolak Mengadili atau Tidak


Melanjutkan Proses Peradilan
Meski sebuah forum terbukti berwenang untuk mengadili, namun ia dapat menolak atau
tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara, karena:
a. Asas forum nonconveniens
Penolakan dengan pertimbangan koneksitas antara para pihak tidak signifikan, sehingga
perkara harus diajukan di Negara lain;
Asas lis alibi pendens
Terbukti proses pemeriksaan perkara yang sama sedang ber
jalan di hadapan forum Negara lain;
Asas res judicata
Perkara dan para pihak yang sama telah diadili dan diputus-
kan oleh sebuah forum lain dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

b. Keputusan melanjutkan pemeriksaan akan bertentangan dengan kewenangan


yurisdiksional ekslusif atau bertentangan dengan klausula arbitrase yang disepakat para
pihak.

3. Apakah ada Pembatasan terhadap Pengadilan dalam Melaksa


nakan Kewenangan Yurisdiksionalnya;
Meski pengadilan sudah melaksanakan panggilan dengan benar,
Yurisdiksi pengadilan masih mungkin dibatasi, yg mengakibatkan
Pengadilan dianggap tidak berwenang mengadili. Pembatasan
Pembatasa itu berkenaan dengan:
a. pokok perkara (subject matter), misalnya menyangkut tanah atau property di wilayah
Negara asing;
b. jenis perkara yang diminta, misalnya pemberian izin untuk perceraian;
c. Subjek hukum terhadap mana tuntutan diajukan, misalnya gugatan terhadap Negara
asing.

Dalam litigasi transnasional, asas actor squitur forum rei (tempat tinggal tergugat untuk
menentukan tempat penadilan) ternyata tidak selalu dapat digunakan secara efektif,
karena connections di bidang perkara HPI sering dibentuk melalui titk taut lain, seperti
pelaksanaan kontrak atau tempat PMH di Negara forum.

Penentuan dasar yurisdiksi pengadilan, dalam praktek litigasi international umumnya


dibedakan kedalam :
- yurisdiksi in personam;
- yurisdiksi in rem;
- yurisdiksi quasi in rem .

Yurisdiksi in personam adalah yurisdiksi atas orang, umumnya dianggap sebagai yurisdiksi
tidak terbatas (unlimited jurisdiction), artinya pengadilan memiliki yurisdiksi / kewenangan
untuk memutus perkara yang menyangkut tergugat untuk jumlah yang tidak terbatas dan
menyangkut seluruh asetnya. Yurisdiksi ini timbul disebabkan oleh :
1. Kehadiran (Presence)
Kehadiran seseorang di wilayah suatu negara forum dianggap sebagai dasar yang cukup
bagi forum untuk mengklian jurisdiksinya atas orang itu, namun kehadiran seseorang di
sebuah Negara sekedar transit belum dianggap cukup untuk mengklaim yuridiksi;

2. Tempat Kediaman (domicilie)


Tempat kediaman tetap (domicilie) disustu Negara, dianggap sebagai dasar mengkliam
yurisdiksi;
3. Penundukan sukarela (consent)
Penundukan sukarela seseorang ditunjukkan dengan seseorang mengajukan gugatan atau
menjawab gugatan terhadap dirinya diforum suatu Negara. Yurisdiksi ini dikatagorikan
sebagai yurisdiksi khusus (specific jurisdiction);

4. Pertautan Minimum (Minimum Contacts)


Adanya minimum contacts antara seorang dan Negara forum.

Yuridiksi in rem, adalah yuridiksi atas benda (thing/res) yang berada di wilayah Negara
forum, yang secara langsung atau tidak berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.
Pengadilan yang memiliki yurisdiksi in rem memiliki kewenangan untuk mengadili
sengketa-sengketa yang berkenaan dengan title atas benda-benda tertentu yang berada di
wilayah forum.

Yurisdiksi quasi in rem dikenal dalam system hukum acara Amerika, untuk perkara-perkara
yang tidak langsung menyelesaikan gugatan atas kepemilikan tergugat atas suatu
kebendaan yang berkaitan dengan perkara, tetapi hanya karena penggugat menuntut agar
kekayaan tertentu milik tergugat yang ada di wilayah forum dilekatkan pada perkara,
walaupun tidak ada kaitan langsung antara kekayaan dengan pokokperkara.

Beberapa Prinsip Penetapan Yurisdiksi dalam Litigasi International

1. Yurisdiksi Teritorial atas dasar Domisili (Tergugat)


Prinsip actor sequitur forum rei (gugatan diajukan ditempat tergugat tinggal) dimaksudkan
sebagai upaya perlindungan hukum bagi pihak tergugat, yang mungkin akan menghadapi
kesulitan dan ketidak adilan jika diadili di pengadilan negara asing. Rasio prinsip ini adalah
domisili merupakan tempat tinggal seseorang secara terus menerus, karena itu ia dapat
digugat tanpa pembatasan tertentu mengenai jenis perkara, tanpa ada persyaratan
membuktikan connection domisili tergugat dengan pokok perkara, karenanya yurisdiksi ini
memiliki general jurisdiction (GJ). GJ atas seseorang karena adanya pertautan (contact)
antara forum dengan seseorang yang bersifat terus menerus (continous) dan sistematis
(systematic), atas dasar yuridiksi ini seseorang dapat digugat apa saja di wilayah forum.
Tergugat (defendant) dapat berupa orang (natural person), juga berupa badan hukum
(legal person). Bagi badan hukum tidak ditentukan berdasarkan domisili badan hukum,
tetapi berdasarkan lokasi badan hukum. Negara-negara tertentu menetapkan lokasi atas
dasar:
- tempat pengelolaan utama dan pengawasan (chief management and control) badan
hukum itu berada (Prancis);
- tempat pusat operasi (central location of the companys operations) badan hukum itu
(Jerman);
- tempat badan hukum didirikan secara hukum (place of incorporation Inggris);

Amerika Serikat menentukan yuridikasi badan hukum berdasar:


a. Tempat usaha utama (principle place of business) diwilayah
negara forum;
c. Tempat Pendirian (state of incorporation) di Negara forum;
d. Adanya pertautan minimum (minimum contacts) dengan Negara forum;

2. Yurisdiksi Khusus dalam Perjanjian dan PMH


- Dalam perkara perjanjian, gugatan diajukan ditempat perjanjian dibuat (forum
contractus), pada perkembangannya konsep ini bergeser kearah tempat pelaksanaan
kontrak (forum solusionis).
- Dalam perkara perbatan melawan hukum (PMH/tort) umumnya mendasarkan pada asas
forum delicti commisi (tempat dimana PMH dilakukan), namun dalam kontek PMH
transnasional berkembang kearah pengakuan asas place where the injury was sustained
(tempat dimana kerugian dianggap timbul).

3. Yurisdiksi karena Persetujuan


Yurisdiksi ekstrateritorial dapat diklaim oleh sebuah forum atas dasar kenyataan bahwa
para pihak (terutama tergugat) telah secara sukarela memilih untuk mempertahankan
dirinya dan harta kekayaannya didepan suatu forum asing, baik melalui:
- choice of forum clause didalam satu kontrak, maupun
- melalui persetujuan tertulis yang dibuat pada saat sengketa timbul;

4. Yurisdiksi atas dasar kewarganegaraan, Kekayaan, atau Pemunculan / Kehadiran


Dalam proses penyelesaian sengketa di bidang perdagangan modern dewasa ini,
kewenangan suatu forum juga dibatasi prinsip-prinsip kewajaran dan keadaban /
kepantasan (reasonableness and decency). Pembatasan itu dapat diberlakukan atas dasar:
a. Kemauan politik dari forum suatu Negara berdaulat untuk membatasi kedaulatan dan
kewenangannya (souvereign selfrestraint);
b. Pemberlakuan batas-batas tertentu yang harus dipenuhi sebelum sebuah forum
mengklaim yuridiksi;
c. Berlakunya aturan-aturan hukum nasional yang menetapkan batas-batas pelaksanan
yuridiksi ekstrateritorial;
d. Penetapan inkompetensi oleh forum sendiri atas dasar doctrin forum noncomveniens
(Negara-negara Common law) atau lis alibi pendens dan res judicata (Negara-negara Civil
law);

Namun dalam kenyataan banyak Negara yang hukum acaranya tidak membatasi diri
dalam klaim yuridiksi atas subjek hukum asing, dan menggunakan batas-batas yang
berlebihan (oxorbtant jurisdictions bases), misalnya :
- menetapkan kewenangan yurisdiksi atas dasar hukum personal kewarganegaraan pihak
penggugat (Prancis, Luxenburg, Belgia, Belanda), sementara WN mereka hanya dapat
diadili di forum Negara mereka sendiri;
- yuridiksi tak terbatas atas dasar kehadiran benda milik tergugat di wilayah forum
(Jerman);
- yurisdiksi forum atas tergugat ini tetap ada walaupun tidak ada pertautan antara benda
milik tergugat dan perkara yang diajukan ke pengadilan itu (Denmark);

Asas lain dalam praktek international adalah asas forum rei sitae yang menerbitkan
kewenangan yurisdiksional pada forum dari tempat letak benda yang melekat pada
gugatan pihak tergugat.

Dasar lain untuk menetapkan kewenangan yurisdiksional adalah kehadiran fisik (physical
presence) dari Tergugat di wilayah forum. Di beberapa Negara diterapkan secara
berlebihan, dalam arti klaim yuridiksi diterapkan pada baik tergugat asing melakukan
bisnis secara teratur di wilayah forum maupun terhadap transient defendant, atau
tergugat yang sekedar mampir dan lewat di wilayah forum.

C. PERSOALAN-PERSOALAN KHUSUS TENTANG YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL


(EXTRATERRITORIAL JURISDICTION)
Yang dimaksud dengan yurisdiksi ekstrateritorial adalah kewenangan pengadilan suatu
Negara untuk melaksanakan yurisdiksinya atas seseorang tergugat (defendant) yang
berkediaman tetap (domicile) di suatu Negara di luar Negara forum.

Asas yang berlaku bagi pengadilan untuk menentukan ada tidaknya kewenangan
pengadilan untuk mengklaim yuridiksi atas seorang tergugat adalah asas actor sequitur
forum rei.

Dalam pemahaman Negara-negara yang menganut civil law, atas dasar asas forum rei
dapat dengan mudah diterapkan pengadilan untuk membentuk real connection /kaitan
nyata antara forum dan tergugat, atas dasar itu dapat diklaim sebagai kewenangan
yuridiksi umum (general jurisdiction) atas tergugat. Pada Negara-negara common law, hal
serupa dipahami melalui konsep yuridiksi in personam atas dasar asumsi pertautan
personal / pribadi dengan forum.

(a) Persoalan utama perkara-perkara yang bersifat transnasional (HPI) adalah terletak pada
adanya perbedaan-perbedaan prinsip atau aturan antara tergugat dengan forum. yang
digunakan oleh berbagai sistim hukum untuk menentukan adanya pertautan atau
connection antara forum dan Tergugat.

Dalam system common law, Kewenangan Yurisdiksi juga dapat menggunakan cara
pemanggilan yang sah terhadap tergugat yang secara fisik hadir di wilayah pengadilan.
Dalam kasus-kaus HPI di Amerika Serikat digunakan ukuran minimum contact antara forum
dengan tergugat, yang baru ada jika memenuhi criteria umum kewajaran dan keadilan
dalam arti traditional (traditional notion of fair play and substantial justice).

(b)Persoalannya standar umum ini tidak dengan sendirinya dianggap sebagai criteria yang
jelas bagi pengadilan, karena berbagai penafsiran dan upaya pembatasan terhadap
pengertian fair play and substantial justice itu terus berkembang pada setiap perkara
yang dihadapi.

Praktek pengadilan Amerika Serikat, dalam melakukan interpretasi minimum contract


meggunakan ukuran tambahan dengan adanya fakta-fakta yang menunjukkan:
1. Kesinambungan dan pola yang teratur dari tergugat dalam menjalankan urusan-
urusannya di wilayah Negara forum (continuity and systematic way of conducting business
in the forum state);

2. Gugatan harus terbit dari dan berkaitan dengan aktivitas pihak tergugat di wilayah
forum (claims have to arise out of and related to the defendants activities in the forum
state);

3. Dalam perkara-perkara kontrak jual beli international, seorang yang memasarkan


produknya di AS, meski tanpa kehadirannya, dianggap wajar dan adil telah memiliki
minimum contact dengan As, karenanya pengadilan AS berwenang mengklaim yuridiksi
in personam terhadap tergugat;

4. Pertautan antara tergugat dengan Negara forum juga bisa terbentuk atas dasar tindak-
tanduk tergugat yang dengan sengaja diarahkan kenegara forum (purposefully directed
toward the forum state), pemasaran produk di negar tertentu dapat melahirkan yurisdiksi
pengadilan Negara yang bersangkutan.

(c) Meski penggunaan prinsip fair play dan substantial justice nampak sangat baik,
namun kemungkinan penafsiran secara subjectif terhadap prinsip itu dalam pergaulan
international dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Seorang calon penggugat
(plaintiff) tidak memiliki kepastian apaka forum tempat diajukannya gugatan mempunyai
yuridiksi atau tidak untuk memeriksa gugatan itu.

Tradisi hukum Eropa Continental (civil law) khususnya dilingkungan hukum Masyarakat
Eropa (EC), dengan berlakunya Council Regulation on Jurisdiction and the Recognition
andEmforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters telah terjadi keseragaman
yang memberikan kepastian hukum, yang secara umum memberlakukan prinsip forum rei
dengan ukuran domicilie, bukan kewarganegaraan (nationality).

Seorang tergugat yang berdomisili di suatu Negara anggota, apapun


kewarganegaraannya, dapat diadili oleh pengadil
dimana ia personam atas seorang international adalah
berdomisili, demikian tergugat yang tidak pertimbangan adanya
berdomisili di Eropa, pertautan minimum dan
juga tergugat yang tetapi melaksanakan prinsip kewajaran yang
bukan warga Negara bisnis tertentu ke dalam mendasar (minimum
tempat ia wilayah Eropa? contacts and fundamental
berdomisili, akan - apakah pengadilan fairness principle MCFF
Indonesia dapat principle).
tunduk pada aturan menerapkan asas forum
yurisdiksi yang berlaku rei terhadap T tergugat Prinsip MCFF ini
atas WN dari Negara WNI yang berkediaman dikembangkan untuk
forum. tetap di Belanda ? atau membatasi pihak
- Apakah T WNI dapat penggugat dalam
menolak yurisdiksi mengajukan perkara di
(d) Persoalannya pengadilan Indonesia, pengadilan tempat ia
adalah perbedaan karena berdomisili di berkediaman tetap,
pendapat tentang Eropa, yang berdasarkan pembatasan ini
dasar penentuan Council Regulation hanya dimaksudkan untuk
pengadilan di Negara- mencegah pelanggaran
domicilie tergugat
negara EC saja yang atas hak-hak pihak
(tempat kediaman berwenang menklaim tergugat untuk
tetap/sehari-hari) yuridiksi terhadap dirinya. memperoleh perlakuan
yang mungkin hukum yang wajar.
berbeda-beda D. ELEMEN-ELEMEN Karenanya prinsip MCFF
YURISDIKSI FORUM ini dianggap sebagai
pengertiannya dari DALAM HPI DAN KASUS- batas luar bagi
satu Negara ke KASUS pengadilan melaksanakan
Negara lain. yurisdiksinya. Artinya
- dapatkah T seorang WN Prinsip Konstitutif untuk pengadilan hanya dapat
X yang berkediaman tetap Klaim Yurisdiksi melaksanakan
di Negara Y, menolak yurisdiksinya apabila
yurisdiksi pengadilan Y Dalam perkembangan HPI terdapat pertautan
atas dasar kenyataan modern yang diterapkan minimum antara tergugat
bahwa hukum acara pengadilan suatu Negara dengan Negara forum
Negara Y menetapkan dalam melaksanakan sedemikian rupa,
tempat kediaman yurisdiksi atas sebuah sehingga tergugat akan
seseorang tergugat atas perkara HPI, tidak lagi menerima perlakuan yang
dasar prinsip didasarkan pada prinsip wajar dan adil.
kewarganegaraan kedaulatan territorial atas
tergugat? orang dan benda yang Contoh Kasus
- apakah pengadilan berada di wilayah Negara 1. Kasus Mc Gee Vs
sebuah Negara Eropa forum. Prinsip yang International Life
(anggota EC) dapat semakin banyak Insurance Co (1957);
mengklaim yurisdiksi in digunakan secara
- Tergugat, perusahaan Tergugat, sebuah
asuransi Negara X, yang perusahaan Filipina yang Sejak tahun 1977,
menawarkan dan bergerak dibidang Mahkamah Agung
menutup sebuah pertambangan emas dan Amerika Serikat dengan
perjanjian asuransi perak di Filipina. Sejak tegas mengesampingkan
kepada Penggugat, WN Y. pendudukan tentara dan menolak kekuasaan
Perjanjian ini merupakan jepang di Filipina, seluruh atas orang dan benda
satu-satunya perjanjian operasi pertambangan sebagai dasar pengadilan
yang dijual tergugat di dihentikan, presiden menentukan yurisdiksi
Negara Y. Setelah direktur yang sekaligus atas tergugat asing, dan
Penggugat meninggal pemegang saham menetapkan dalam
dunia, Tergugat menolak terbesar, kembali ke semua perkara
untuk membayar klaim Negara asalnya Ohio di pelaksanan yurisdiksi
uang asuransi, dan pihak AS. Selama ia berada di harus diwujudkan atas
Tertanggung Ohio, tergugat dasardan diuji lewat
(beneficiary/ahli waris menjalankan pemenuhan prinsip
penggugat) menggugat erusahaannya berkenaan minimum contacts and
Tergugat di Negara Y, dengan upaya fundamental fairness
berdasarkan peraturan pengerolehan kembali (Perkara SHAFFER VS
Long Arm Statute yang asset-aset perusahan HEITNER 1977).
berlaku di Negara Y. yang ada di Filipina.
Tergugat dipanggil melalui Batas-batas pelaksanaan
surat dan akhirnya hadir Penggugat, seorang Yurisdiksi
di Negara Y untuk warga Ohio mengajukan
melawan dan membantah gugatan terhadap Mahkamah Agung RI
kewenangan yurisdiksi tergugat di Ohio untuk pernah menegaskan
Negara Y. mengklaim haknya atas batas-batas terluar untuk
pembayaran deviden mengklaim yurisdiksi:
- Negara Y dianggap yang sudah jatuh tempo 1. Penekanan harus
dapat mengklaim untuknya sebagai diletakkan pada tergugat
yurisdiksi atas pihak pemegang saham di dan pertautan (contacts)
tergugat (asing) itu perusahaan tergugat. antara tergugat/transaksi
dengan dasar pikiran: yang melibatkan tergugat
a. Tergugat telah Gugatan sama sekaali dengan forum;
mengajukan penawaran tidak berkaitan dengan
untuk menutup kontrak aktivitas perusahaan 2. Pengadilan tidak boleh
asuransi kepada seorang tergugat di Ohio, namun mendasarkan pada factor
warga Negara Y; pengadilan Ohio tetap penggugat memiliki
b. Negara Y memiliki menerima gugatan, connection dengan forum;
kepentingan untuk dengan anggapan bahwa
melindungi warga Negara sebagian besar aktivitas 3. Alasan forum akan
Y dari kegagalan perusahaan tergugat menyulitkan tergugat
perusahan asuransi untuk sejak Perang Dunia ke II (asing) atau tidak, hukum
membayar klaim sampai diajukan gugatan, internal forum (lex fori)
asuransinya. dilakukan di Ohio. yang akan diberlakukan
- Berdasarkan Long Arm sebagai lex causae, tidak
Statute Negara Y, maka Berdasar fakta ini, lagi dianggap sebagai
WN Y dapat menggugat pengadilan Ohio memiliki dasar pertimbangan klaim
perusahaan asuransi sufficient contact yurisdiksi tergugat asing;
asing di depan forum dengan perusahaan
Negara Y. DKL dua elemen tergugat dan penerimaan 4. Sebaliknya, selama
diatas dapat dianggap yurisdiksi atas gugatan terdapat minimum
memberikan dasar hukum yang berkaitan dengan contacts antara
yang cukup bagi aktivitas tergugat yang tergugat /transaksi
pengadilan Y untuk tidak berkaitan sama dengan forum, maka tidak
mengklaim yurisdiksi. sekali dengan Ohio, adanya kaitan antara
dianggap tidak melanggar penggugat dan forum
2. Kasus Perkins Vs pengertian tradisional atau tidak adanya
Benguet Consolidated mengenai keadilan dan kepentingan forum
Mining Co. (1952) fair play (reasonable and melindungi penggugat;
just)
5. Prinsip terpenting Mahkamah Agung kontak apapun dan tidak
menentukan batas luar membatalkan putusan melakukan aktivitas bisnis
klaim yurisdiksi adalah pengadilan Oklahoma apapun yang secara
prinsip penundukan dengan alasan klaim langsung berkaitan
secara sadar pihak yurisdiksi pengadilan dengan Oklahoma, maka
tergugat (purposeful Oklahoma dianggap secara konstitusional
availment of the melanggar prinsip due tidak dapat ditundukkan
dependant), artinya harus process; untuk berperkara di
dapat dibuktikan: Oklahoma, walaupun
a.Tergugat dengan sadar Pertimbangan / pola kecelakaan terjadi di
menempatkan dirinya berpikir Mahkamah Agung Oklahoma;
dalam posisi AS - Putusan MA, Pengadilan
melaksanakan Oklahoma tidak memeiliki
aktivitasnya di wilayah - dasar kewewngan kewenangan
forum dan karenanya yurisdiksi yang digunakan yurisdiksional untuk
memperoleh manfaat dan Penggugat (pengadilan mengadili para tergugat.
perlindungan dari lex fori; Oklahoma) adalah
b.Tergugat dengan sadar keadaan-keadaan yang
mengarahkan sangat kebetulan E. TREND
kegiatannya kepada (fortuitous circumstances) PERKEMBANGAN HUKUM
orang yang berdomisili di yaitu mengalami PERDATA
wilayah forum; kecelakaan di NB INTERNATIONALAsas
c.Jika salah satu unsure ini Oklahoma; klasik klaim yurisdiksi
dipenuhi, adalah wajar - Supreme Court (MA-AS) dalam suatu perkara HPI
dan adil untuk mengadili berpandangan bahwa adalah asas actor sequitur
tergugat dalam perkara di pihak yang mungkin forum rei ( penggugat
forum yang bersangkutan; menjadi tergugat, harus mengikuti forum dari
dapat memperkirakan tempat tergugat). Dalam
Contoh kasus Purposeful prilakunya dengan perkembangannya asas
Availment memmperoleh kepastian ini memiliki makna:
Kasus posisi: minimum tentang dimana tergugat dapat digugat di
- Ketika penggugat prilakunya dapat Negara dimana ia
berkediaman di New York mengakibatkan gugatan berdomisili, atau di
(NY) membeli sebuah hukum; Negara dimana tergugat
mobil VW dari tergugat 1 - Para Tergugat sama dapat dikenakan
dealer mobil VW di NY. sekali tidak memiliki panggilan untuk diadili,
Tahun berikutnya kaitan (contacts) dengan meski kehadirannya di
penggugat sedang dalam Oklahoma, sedemikian Negara itu hanya bersifat
perjalanan menuju NB rupa sehingga dapat sementara.
Arizona, mengalami menduga mereka dapat
kecelakaan di NB digugat disana. Di AS, sejak tahun 1878
Oklahoma, penggugat Kenyataan bahwa mobil (Kasus Pennoyer Vs Neff)
mengalami cedera serius; yang mereka jual dapat diakui bahwa klaim
- Penggugat mengajukan mengalami kecelakaan di yurisdiksi oleh pengadilan
gugatan product liability mana saja (termasuk suatu negara hanya sah
tehadap tergugat 1 dan Oklahoma) tidak dapat apabila tidak melanggar
tergugat 2 (Distributor dianggap cukup dasar due process yang ada di
regional NY, New jersey & untuk menganggap Konstitusi AS. Adanya
Conectitut), dimana adanya connection panggilan resmi atas
gugatan diajukan di antara tergugat dengan seorang asing yang hadir
Oklahoma; Oklahoma. Demikian juga dan bedara di wilayah
- Yurisdiksi pengadilan jaringan kerja yang Negara forum dianggap
Oklahoma ditolak oleh bersifat global untuk sebagai dasar yang sah
tergugat 1 dan 2, namun memasarkan dan klaim yurisdiksi karena
penolakan itu dibantah memberi pelayanan memenuhi syarat
oleh pengadilan pemeliharaan mobil, kekuasaan fisik Negara
Oklahoma dengan sikap belum cukup dianggap forum atas pihak tergugat
mempunyai klaim sebagai dasar untuk klaim yang berada di wilayah
yurisduksi atas perkara; yurisdiksi; forum (the concept of
- Ketika para tergugat - Karena para tergugat physical power)
mengajukan Kasasi, sendiri tidak memiliki
Tahun 1945, Mahkamah wilayah forum karena forum dari tempat dimana
Agung AS melalui perkara memperoleh manfaat dan suatu perikatan dianggap
International shoe Vs perlindungan dari lex fori telah dilaksanakan atau
Washington, konsep (prinsip purposeful seharusnya dilaksanakan;
physical power digeser availment).
oleh pertimbangan- 3. Asas Pengadilan
pertimbangan lain yaitu, Tahun 1977, melalui Tempat Pihak yang
untuk menentukan asas perkara Shaffer vs Berkedudukan Lebih
due process ditentukan Heitner, MA-AS Lemah
oleh hakikat dan kualitas berpendapat bahwa yaitu asas yang
dari aktivitas dalam kewenangan pengadilan memberikan kewenangan
kaitannya dengan untuk melaksanakan in yurisdiksional pd
penegakkan hukum yang rem jurisdiction (dasar pengadilan di tempat
teratur dan adil. klaim adanya benda- pihak yang dianggap
Berdasarkan itu MA AS benda milik tergugat di berkedudukan lemah
meanggap klaim Negara asing yang dalam transaksi hukum,
yurisdiksi umum (general berkaitan dengan khususnya dalam
jurisdiction) atas tergugat perkara) adalah sama memberikan perlindungan
asing: dengan klaim yurisdiksi in pada konsumen, atau
1. Konsep penguasaan personam , maka dasar buruh dalam transaksi
fisik harus diganti dengan yurisdiksinya adalah hubungan kerja;
ertimbangan kewajaran kepentingan dari orang-
(consideration of orang atas benda yang 4. Pengadilan yang Dipilih
reasonableness and fair berada di Negara forum, oleh Para Pihak
play) serta keadilan yang yang digunakan ukuran yaitu asas yang
mendasar (substantial minimum contacts merupakan manifestasi
justice); antara pokok perkara kebebasan berkontrak
2. Pokok perkara / dengan benda milik dimana para pihak
hubungan antara dasar tergugat. menentukan sendiri
gugatan dengan aktivitas pengadilan mana yang
tergugat di Negara forum Di Belanda, klaim dianggap memiliki
harus menjadi yurisdiksi atas sebuah yurisdiksi eksklusif untuk
pertimbangan penting perkara dalam menyelesaikan
untuk menentukan forum perkembangan praktek perselisihan yang timul
memiliki klaim yurisdiksi; peradilan didasarkan ada dari hubungan hukum
Kriteria ini dikenal dengan asas-asas yang sebagian mereka.
sebutan : Standar besar juga dikenal dalam
International Shoe. Konvensi Brussels atau EC 5. Pemunculan Secara
Council Regulation on Sukarela (voluntary
Tahun 1955, dasar klaim Jurisdiction and the appearance)
yurisdiksi dikembangkan Recognition and asas yang menetapkan
konsep yurisdiksi khusus Enforcement of Judgments dalam hal tergugat secara
(specipic jurisdiction), in Civil and Commercial sukarela hadir di sebuah
yaitu yurisdiksi atas dasar Matters (2001), yang forum pengadilan asing
aktivitas tergugat yang selengkapnya meliputi: untuk membela dirinya
menimbulkan tanggung dalam pokok perkara
jawab (liability creating 1. Asas Forum Rei (bukan sekedar
activity) atau berakibat Asas tempat forum menyatakan forum asing
tertentu di Negara forum berada sama dengan asas tidak kompeten), forum
(Lihat Kasus MC Gee Vs actor sequitur forum rei, asing ini akan dianggap
International Life yang merupakan dasar memiliki yurisdiksi atas
Insurance Co- 1957). utama klaim yuridiksi atas tergugat. Asas ini hanya
seorang tergugat yang dapat digunakan dalam
Tahun 1958, Kasus berdomicilie sehari-hari di hal forum pengadilan
Hanson Vs Denckla, wilayah hukum Negara Belanda tidak memiliki
ditetapkan aktivitas forum; yurisdiksi eksklusif atas
tergugat harus perkara;
merupakan tindakan 2.Asas Forum Solutionis
dimana tergugat dengan Contractus 6. Asas Forum Rei Sitae
sadar dan sengaja yaitu asas dasar asas kompetensi
menundukkan diri di penetapan yurisdiksi bagi yurisdiksi pengadilan
yang menyangkut hak bersengketa atau
kebendaan tetap PRINCIPLE OF transaksi
(immovables) atas dasar TRANSNATIONAL CIVIL atau peristiwa yang
letak benda di wilayah PROCEDURE (PTCP)- 2004 menjadi pokok sengketa;
forum;
Asas-asas hukum acara Yurisdiksi juga dapat
perdata transnasional ini dilaksanakan apabila
7. Yurisdiksi atas Kantor merupakan hasil tidak ada forum lain yang
Cabang, Agensi, dan kolaborasi antara pantas untuk mengadili
Badan-badan Lain UNIDROIT (International perkara (forum
Yaitu asas yang dianggap Institute for the necessitates) atas dasar
ada pada pengadilan Unification of Private Law) (Principle 2.2):
asing tempat dimana dan The American Law 1. kehadiran (presence)
perkara timbul dari Institute, yang tidak atau kewarganegaraan
beroperasinya cabang, hanya mengatur (nationality) dari pihak
agen atau badan sejenis persoalan yurisdiksi tergugat di Negara forum;
terletak; ekstrateritorial, tetapi 2. kehadiran benda-benda
juga mengatur bidang milik tergugat di wilayah
8. Asas Forum Delicti hukum acara perdata Negara forum tanpa
asas penentuan yurisdiksi secara umum. mempedulikan ada
pengadilan dalam tidaknya kaitan antara
perkara-perkara PTCP ini merupakan perkara dan benda-benda
perbuatan melawan upaya harmonisasi asas tersebut (quasi in rem).
hukum (PMH- dan aturan hukum acara Namun kewenangan
tort/onrechtmatige daad) perdata dalam forum hanya terbatas
berdasarkan tempat penyelesaian perkara- pada benda-benda
perbuatan dilakukan atau perkara perdagangan tersebut atau nilai
tempat dimana kerugian transnational. Secara ekonominya;
(injury) akibat PMH itu sadar juga dimaksudkan
timbul; sebagai upaya Principle 2.4:
meminimalisirperbedaan- Forum umumnya harus
9. Asas Forum perbedaan yang selama menolak untuk
Connexitatis ini ada antara prinsip- mengklaim yurisdiksi atas
yaitu asas penetapan prinsip dan aturan hukum perkara apabila para
yurisdiksi pengadilan acara dalam tradisi pihak telah terlebih
yang telah memiliki Anglosaxon (Common dahulu bersepakat bahwa
yurisdiksi untuk Law) dengan tradisi Eropa suatu forum pengadilan
memeriksa pokok perkara Kontinental (Civil Law). lain yang akan memiliki
dan juga memeriksa kewenangan
gugat balik (counter yurisdiksional secara
claim) atau gugatan pihak Asas-asas Yurisdiksi Eksklusif.
ke 3 (third party Menurut PTCP Principle 2.5:
proceedings). Asas ini Dalam prinsip kedua PTCP Forum dapat menolak
hanya dapat digunakan (tentang jurisdiction over yurisdiksi atau
apabila tidak ada forum Parties) ditetapkan bahwa menghentikan proses
lain yang memiliki yurisdiksi pengadilan atas pemeriksaan perkara
yurisdiksi eksklusif atau salah satu pihak dalam apabila terbukti bahwa
yurisdiksi pilihan para perkara dapat forum ternyata tidak
pihak; dilaksanakan (Principle layak (inappropriate)
2.1): untuk mengadili perkara
10. Asas Forum Arresti 1. atas kesepakatan para jika dibandingkan dengan
Yaitu asas yang dalam pihak yang berperkara forum lain yang juga
perkara yang menyangkut untuk mengajukan dapat mengklaim
muatan barang atau kapal sengketa mereka ke yurisdiksi.
yang ditahan untuk depan pengadilan yang
jaminan utang bersangkutan; Principle 2.6
memberikan kewenangan 2. apabila terdapat kaitan Forum harus menolak
yurisdiksi pada yang substansial yurisdiksi atau
pengadilan di tempat (substantial connection) menghentikan
kapal atau muatan kapal antara Negara forum dan pemeriksaan perkara
ditahan. para pihak yang apabila pemeriksaan
perkara tenyata sedang yurisdiksional, keculai jika tidak berlangsung secara
berjalan di pengadilan lain terdapat petunjuk bahwa adil, efektif dan cepat.
yang memiliki proses pengadilan di
kewenangan depan forum lain irtu

Anda mungkin juga menyukai