ISTILAH:
Hukum Perdata International (HPI) di Indonesia oleh Prof. GOUW GIOK SIONG (Gautama)
dipergunakan istilah : Hukum Antar Tata Hukum (HATAH), yaitu dimana beberapa system
hukum bertemu dengan posisi / kedudukan yang sama (azas equality).
Keadaan dimana dua / lebih system hukum bertemu, sehingga harus melakukan / memilih
hukum mana yang berlaku, untuk itu perlu ada prinsip persamarataan (equal), dimana
system hukum yang bertemu itu mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada system
hukum yang lebih rendah atau lebih tinggi dari sistim hukum lainnya.
Masalah HPI timbul karena terdapat pluralisme HPI, dimana setiap Negara memiliki
pengertian HPI masing-masing.
- Apakah HPI hukum Internasional atau hukum nasional? Silang pendapat mengenai ini
dimulai dari judul materinya (dispute starts from the title of the page).
- HPI adalah hukum nasional, bukan International. Sumbernya hukumnya nasional. Hanya
saja dalam HPI ada unsure asingnya (foreign element). Perkataan International pada HPI
jangan dipandang bahwa HPI bersumber dari hukum International. Sifat Internationalnya
adalah karena HPI mengatur masalah keperdataan yang mengandung unsur asing.
Istilah lain dari bertemunya beberapa sistim hukum ini adalah Hukum Perselisihan
(Conflictenrecht- Van Hasselt), Hukum Konflik (Conflict of law- Diccey-Morris), Hukum
Pertikaian (Collisierecht).
Istilah-istilah ini kurang / tidak tepat, karena yang terjadi bukanlah betrokan / tabrakan ,
namun suatu pertautan stelsel-stelsel hukum dalam suatu masalah keperdataan yang ada
unsure asingnya.
Istilah yang tepat adalah : Choice of law, bukan Conflict of law, karena HPI bertugas untuk
menghindari bentrokan, dan bertugas untuk mengambil salah satu stelsel hukum yang
diberlakukan dalam suatu permasalahan.
HPI juga bukan konflik kedaulatan, karena hukum asing digunakan disebabkan hukum
nasional menginginkannya seperti itu, HPI bersumber dari hukum nasional.
Pasal 16 AB mengatur :
status & kewenangan hukum /status persona;
Dalam pasal ini diatur prinsip nasionalitas, dimanapun Warga Negara Indonesia (WNI)
berada, hukum nasional Indonesia mengikutinya. Dalam hal ini Indonesia mengikuti Eropa
Kontinental. (Anglo Saxon: yang berlaku prinsip domisili, dimana hukum yang berlaku pada
seorang WN didasarkan pada tempat tinggalnya atau berlaku hukum dimana seseorang
bertempat tinggal)
Pasal 17 AB mengatur :
benda bergerak & tidak bergerak;
Dalam pasal ini diatur benda tidak bergerak tunduk pada hukum dimana benda itu terletak
(Azas Lex Rei Sitae). Sejak zaman Von Savigny ada perubahan makna bahwa benda tak
bergerak sama dengan benda bergerak.
Pasal 18 AB mengatur :
bentuk perbuatan hukum
Dalam pasal ini diatur bahwa suatu perbuatan hukum tunduk pada hukum dimana
perbuatan itu dilakukan (Locus Regim Actum). Jika perkawinan, hanya syarat formalnya
saja yang tunduk pada hukum dimana perbuatan itu dilakukan (Lex Loci Celebrationis)
DEFENISI HPI:
Van Brakel (Grond Slagen en Beginselen Van Nederlands International Privat Recht) :
Hukum Perdata Interntional adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk
hubungan-hubungan International
Graveson : Conflict of Law (HPI) adalah : cabang dari hukum Inggris yang berhadapan
dengan masalah-masalah yang fakta relevannya mempunyai hubungan geografis dengan
Negara asing, dan memungkinkan timbulnya pertanyaan tentang penerapan hukum
Inggris atau asing yang sesuai untuk pemecahan masalah, atau seperti pada pelanggaran
yuridiksi oleh pengadilan Inggris atau pengadilan asing.
Kesimpulannya
- Hukum Perdata Interntional, bukan sumber hukumnya international, tetapi materinya
(yaitu hubungan-hubungan /peristiwa-peristiwa yang merupakan objeknya) yang
interntional.
- HPI adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat yang
didalam hubungan itu mengandung unsur asing;
2. OBJEK HPI
Ruang lingkup kaedah-kaedah HPI di setiap Negara berbeda, hal ini menunjukkan juga
bahwa HPI adalah hukum nasional.
Di Inggris: HPI= (Confict of Laws) disamping mengatur hubungan antara orang Skot (sistim
hukum Scotlandia lebih condong pd hukum Belanda) dengan orang Inggris, juga mencakup
kaedah-kaedah hukum antar agama;
Di Amerika Serikat: HPI mencakup hubungan antara orang-orang dari Negara bagian yang
berbeda (seperti Negara Bagian New York dengan Calipornia dsb), orang kulit putih dan
orang negro, serta orang (WN) Amerika Serikat dengan orang Asing;
Di Aljazair : kaedah-kaedah HPI berkisar pada perbedaan agama (Hanya orang Kristen dan
Yahudi yg sabagai orang asing memperoleh perlindungan hukum). Agamalah yang menjadi
criteria seseorang dianggap asing atau tidak;
Di Indonesia: HPI berkisar pada hubungan perdata dengan unsur asing dalam hubungan
hubungan International, Hukum Antar Golongan (HAG) hanya berlangsung dalam suasana
hukum international, karenanya maka:
- HPI merupakan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) extern, sedangkan
- HAG merupakan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) intern. meskipun kedua-duanya
merupakan hukum nasional.
Karena berdasarkan Pasal 131 I.S (Indische Staatregeling) penduduk Indonesia dibedakan
kedalam golongan-golongan penduduk: Eropah, Timur Asing, dan Bumiputera, maka pada
waktu lalu dalam prakteknya orang-orang yang berasal dari Eropah. Amerika, Jepang, Asia
dan Afrika (sekarang unsure Asing) tunduk kepada hukum Barat yang berlaku di Indonesia.
Hal ini menunjukan peristiwa yang sesungguhnya HPI diubah menjadi HAG.
Corak HPI dibeberapa Negara menunjukkan bahwa sejarah dan struktur ketatanegaraan
suatu masyarakat hukum sangat menentukan corak dan luas lingkup kaedah-kaedah HPI,
sehingga HPI tidak semata-mata mengenai hukum perdata.
Antara hukum tata negara (constitutional law) dan hukum perdata dapat kita bedakan,
tetapi antara hukum public dengan hukum perdata hanyalah hubungan antara hukum
khusus (perdata) dengan hukum yang berlaku umum (public). Perbedaannya dalam hukum
perdata orang dapat melepaskan (tidak menggunakan) haknya, sedang dalam hukum
public hal itu tidak mungkin.
Schnitzer:
Perbedaan antara hkm perdata dan hkm public makin kabur, karena kaedah-kaedah yang
mengatur hukum public makin lama makin berkembang disamping hukum perdata,
sebagai contoh: hukum perjanjian International, hukum devisa, hkm perdagangan
International, hukum penanaman modal, hukum pengangkutan international dsb. Hal ini
terjadi seiring dengan lahirnya gagasan tentang Negara kesejahteraan (welfare state)
dimana pemerintah berkewajiban untuk mengatur kepentingan orang banyak.
Hukum Inggris: tidak membuat perbedaan antara kaedah-kaedah hukum public dan hukum
perdata, ini nampak dalam corak dan luas lingkup HPI nya. Conplict of Law tidak hanya
ditemui dalam hukum perdata saja tetapi juga dalam HTN, hukum pidana dan hukum
lainnya (Graveson). Hukum kewarganegaraan pun dimasukkan dalam HPI (Dicey).
UNSUR ASING
HPI lahir sebagai akibat adanya unsure asing dalam suatu peristiwa. Maka karena ada
unsure asing itu timbul pertanyaan: kaedah hukum mana yang harus berlaku, kaedah lex
fori (hukum setempat) atau kaedah hukum asing yang bersangkutan?
Sebelum lahirnya HPI, di Eropah selalu Lex fori yang dianggap berlaku sekalipun ada
unsure asingnya, karena setiap orang yang berdiam disuatu Negara /kerajaan dianggap
tunduk pada hukum setempat. Ketentuan ini didasarkan pada azas territorial. Penyelesaian
masalah berdasarkan lex fori ini lama kelamaan menimbulkan putusan-putusan yang
bertentangan dengan rasa keadilan.
Kesimpulannya:
HPI mengatur setiap peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik
peristiwa termasuk hukum public (TUN, pajak, pidana) maupun termsuk hukum perdata
(perkawinan, waris dan hukum dagang).
HPI akan mencari jawaban 3 masalah pokok yang menyangkut peristiwa hukum yang
mengandung unsure asingnya, yaitu:
- Hakim mana yang berwenang ?
- Hukum mana yang berlaku ?
- Kapan dan sampai sejauh mana Hakim nasional wajib memperhatikan putusan hakim
asing ?
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam pergaulan
masyarakat. Jika didalam suatu perkara perdata tersimpul ada unsur asingnya (pihak atau
substansi),maka disebut sebagai Hukum Perdata International (HPI);
Di Eropah Barat, selalu ada pertentangan antara dua kutub, yaitu kepentingan masyarakat
dan kepentingan individu.
Di Indonesia (dahulu), antara masyarakat dan individu tidak dapat dipisahkan atau dwi
tunggal, tetapi di Eropah dan Amerika 2 kutub tersebut dipandang sebagai hal yang
berlawanan (antagonistis), sehingga selalu terjadi dilemma. Pertentangan ini tercermin
juga di lapangan hukum yang selalu mempertentangkan antara hukum public dan hukum
perdata. Khususnya HPI di Eropah Barat pertentangan selalu berkisar diantara prinsip
personil dan prinsip territorial, atau pada zaman modern ini antara prinsip domisili dan
prinsip kewarganegaraan (Mancini dari Italia).
II. - Commercium adalah hak berdagang ditempat yang bukan tempat asalnya yang
diberikan Pemerintah Romawi kepada pedagang Yunani, Syiria dan Timur Tengah;
- Praetor peregrines : hakim pengadilan khusus yang menyelesaikan perselisihan antara
orang Romawi dengan pedagang asing;
- Ius Gentium : hukum yang digunakan untuk mengadili peristiwa yang mengandung
unsure asing berdasarkan azas-azas keadilan, disamping ius civile Romawi;
- Pada abad ke 3 M setelah Romawi menaklukkan seluruh wilayah Eropah Continental, ius
civile hanya berlaku bagi Cives (warga) Roma, dan ius gentium berlaku bagi seluruh
kerajaan Roma.
III. Sesudah keruntuhan Kerajaan Romawi Kuno, maka hukum kesukuan (stamenrecht)
berlaku kembali dan berlaku prinsip personil. Tetapi karena banyaknya suku dan sukar
untuk membuktikan seseorang berasal dari suku tertentu, maka berkembang penundukan
pada sistim hukum tertentu, maka mulailah pilihan hukum memegang peranan dalam
HPI;
IV. Antara abad ke-6 dan ke-11, berlaku hukum Franka, yang dinamakan capitularia, yaitu
hukum-hukum yang dinyatakan Raja-Raja Franka. Hukum ini berlaku diseluruh wilayahnya
dan bagisetiap orang, berlaku secara territorial;
V. Abad ke-10 hukum personil (lex originis) kehilangan artinya di Perancis dan Jerman,
berlakunya hukum masing-masing Negara mempunyai arti yang menentukan. Mulailah
berkembang asas domisili;
VI. Abad ke-13 di Italia tumbuh kota-kota yang masing-masing mempunyai undang-undang
(Statuta) tersendiri (missal: Geno Pisa, Milan, Bologna, Venezia, Plorence, Parma dll).
Dalam konteks HPI, pada abad ke-12 Aldricus mempersoalkan apakah pengadilan akan
memberlakukan hukum / statute nya sendiri atau hukum orang asing, menurut
pendapatnya hakim harus menggunakan hukum yang menurut pendapatnya lebih baik
dan lebih berguna.
Abad ke-12 berdasarkan Corpus Iuris dari Justianus (Huku Romawi), azas HPI, yaitu hukum
yang dibuat penguasa kota (principe) hanya berlaku bagi kaula kota yang bersangkutan
(Statuta).
Pada masa ini Statuta dibedakan antara lain:
- Statuta realita, yang berlaku dalam lingkungan batas wilayah kekuasaan, mengikat pada
tempat, benda atau orang seperti: kaedah-kaedah hak atas tanah;
- Statuta personalia, yang berlaku mengikuti seseorang, kemana saja orang pergi, seperti:
wewenang hubungan pribadi (perjanjian),
Teori Comitas gentium ini ditentang oleh Wolf, Van Brekel dan Cheshire, yang menyatakan:
Hukum International tidak mengenal azas Comitas, karena berlakunya hukum asing
hanyalah disebabkan karena keinginan untuk mencari penyelesaian yang seadil-adilnya
(the desire to do justice).
Sampai akhir abad-17 HPI di Inggris tidak berkembang karena hukum setempat yang
selalu berlaku. Ketika tampuk kerajaan Inggris dan kerajaan Scotlandia berada disatu
tangan (Raja James I) mulailah dipikirkan berlakunya hukum asing yang juga diakibatkan
oleh perdagangan international yang pesat:
- tidak lagi berpegang pada azas lex fori;
- berlaku azas Comitas dan pilihan hukum
Pada abad-19 ini HPI mengalami kemajuan yang pesat, berkat tiga
orang sarjana, yaitu:
1. Joseph Story (Hakim Amerika, bukunya: Commentaries on the Conflict of Law 1834);
Story mereview putusan-putusan hakim Inggris dan Amerika dengan cara induktif,
sehingga ia berkesimpulan: adanya kaedah-kaedah HPI tertentu didalamnya.
2. Carl Frederick Von Savigny (Prof Jerman;bukunya: Sistem hukum Romawi- 1849):
- suatu hubungan hukum yang sama harus memberi penyelesaian yang sama, baik
diputuskan oleh hakim di Negara A, maupun oleh Hakim di Negara B. maka karenanya
penyelesaian yg menyangkut unsur asing hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga
putusannya akan sama dimana-mana;
- Adanya pergaulan hidup masyarakat international menimbulkan satu system hukum yang
merupakan system hukum supra-nasional, yaitu HPI;
- Pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan comitas (sopan
santun), akan tetapi berdasar pada kebaikan/kegunaan (manfaat) fungsi yang dipenuhinya
bagi semua pihak (Negara dan manusia) yang bersangkutan;
Menurut Mazhab Italy ini, ada dua macam kaedah dalam setiap sistim hukum, yaitu :
a) kaedah-kaedah hukum yg menyangkut perseorangan;
b) kaedah-kaedah hukum untuk melindungi dan menjaga keteriban umum (public order)
2. Kaedah-kaedah untuk menjaga ketertiban umum bersifat territorial dan berlaku bagi
setiap orang yang berada dalam wilayah kekuasaan suatu Negara (azas territorial);
3. Azas kebebasan, yang menyatakan bahwa para pihak yang bersangkutan boleh memilih
hukum manakah yang akan berlaku terhadap transaksi diantara mereka (pilihan hukum).
2. Konsepsi Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction (Pilihan hukum dan pilihan
Yuridiksi) Penganutnya : Negara-negara Anglo Saxon.
3. Konsepsi Lebih Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing
(Condition des strangers). Penganutnya : Negara-negara Latin, spt: Itali, Spanyol, Amerika
latin.
4. Konsepsi Paling Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing
(Condition des strangers) + kewarganegaraan (nasionalitet). Penganutnya : Prancis.
Sejarah ASAS-ASAS HPI HATAH EXTERN
- STATUTA REALITA; berlaku secara territorial. Hanya benda yang terletak dalam wilayah
pembentuk undang-undang tunduk pada peraturan yang berlaku tersebut, (berlaku juga
untuk benda tidak bergerak);
- STATUTA MIXTA; berlaku bagi yang tidak masuk statute realita dan statute personalia,
yaitu bentuk perbuatan hukum (azas Locus Regit Actum) ditempat dimana perbuatan
hukum itu dilakukan.
VON SAVIGNI :
- benda bergerak dan benda tidak bergerak disatukan tunduk pada azas Lex Recipe,;
- untuk hukum pribadi yang menjadi ukuran adalah tempat tinggal, (mulai berlaku Prinsip
Domisili);
- untuk hukum bidang kontrak/perjanjian berlaku Lex Loci Executionis hukum dimana
konttrak dilaksanakan / diselesaikan;
Penggolongan suatu peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi kedalam system kaedah-
kaedah Hukum perdata Internasional dan hukum materiil nasional disebut : kwalifikasi
(Bartin, Van Brakel), atau Classification (Wolf, Graveson) atau characterization
(Ehrensweig).
Kualifikasi dapat dilakukan baik pada lapangan hukum public, hukum pidana maupun
hukum perdata. (sebagai contoh: seseorang yang memasuki rumah orang lain secara
paksa dengan merusak pintu, maka kualifikasinya/ penggolonngan peristiwa ini kedalam
hukum Pidana, dan kejahatannya (tindak pidananya) adalah: memasuki rumah orang
tanpa izin melanggar Pasal 167 (1) KUHP dan merusak pintu: melanggar Pasal 167 ayat (2)
KUHP)
- Contoh lain mengenai: seorang anak asing (bukan WNI) yang tidak diakui sah, akan
menuntut hak-haknya dari ayahnya yang berkewarganegaraan sama, maka penggolongan
fakta-fakta ini kedalam hukum Perdata, mengenai status seorang anak yang diatur dalam
Pasal 16 AB (prinsip nasionalitas).
Dalam melakukan kualifikasi terhadap suatu peristiwa / fakta-fakta tertentu, dapat terjadi
beberapa kemungkinan:
a. Jika kaedah hukum yang harus berlaku bagi peristiwa (berdasar kaedah penunjuk dan
titik taut) itu adalah lex fori (hukum setempat), maka kualifikasi seakan-akan terdiri dari
satu macam perbuatan saja yaitu karena penggolongan kaedah-kaedah hukum yang harus
berlaku itu dilakukan hanya menurut lex fori;
b. Jika kaedah penunjuk dan titik tautnya dalam kumpulan fakta-fakta itu menunjuk pada
kaedah hukum asing, maka kualifikasi / penggolongan dari hukum asing itu harus
dilakukan menurut hukum asing tersebut (lex causae the proper law);
c. Dalam hal tertentu, UU dengan nyata dan tegas menyatakan kualifikasi harus dilakukan
menurut hukum tertentu, misalnya dalam Pasal 17 AB yang berbunyi: Mengenai benda-
benda tak bergerak (immovebles) berlaku ketentuan / UU dari Negara / wilayah hukum
setempat ditempat benda tersebut terletak. Sehingga kualifikasi ini bukan menurut lex
fori, tetapi system hukum yang lain;
d. Para pihak berhak menentukan kualifikasi dilakukan berdasarkan system hukum tertentu
(pilihan hukum);
TEORI-TEORI KUALIFIKASI
5. KUALIFIKASI HPI
- Teori ini dikemukakan KEGEL, yang menyatakan kualifikasi kaedah hukum asing
tergantung pada tujuan yang akan dicapai HPI, yaitu latar belakang kepentingan HPI
(keadilan, ketertiban, kepastian, kelancaran pergaulan international) yang akan dilindungi.
Jadi harus ditentukan lebih dahulu kepentingan HPI manakah yang dilindungi oleh suatu
kaedah hukum HPI tertentu.
- Kepentingan HPI, antara lain:
a. kepentingan para pihak (hukumnya sendiri atau hukum yang
dipilihnya);
b. kepentingan pergaulan dan lalu lintas international (kepastian hukum dan kecepatan
dalam lalu lintas orang dan barang menentukan menurut hukum mana kualifikasi
dilakukan);
c. ketertiban dan kepastian hukum (yg merupakan tujuan unifikasi
hukum extern, dan kecenderungannya memerlukan lex fori);
d. perasaan keadilan dalam masyarakat (pergaulan) international
TAHAP-TAHAP PEMERIKSAAN SUATU PERKARA HPI :
2. Menentukan jenis atau soal apakah peristiwa HPI itu, perkara adopsi, atau perkawinan
atau PMH atau pidana. Pada tahap ini dilakukan kualifikasi dari fakta-fakta, disini baru
diketahui lex forinya, karenanya pengkualifikasian ini hanya dapat dilakukan menurut lex
fori.
3. Dengan berdasarkan lex fori, dicari hukum mana yang berlaku, untuk itu harus dicari
titik-titik taut sekunder guna menemukan hukum yang harus berlaku: lex causae.
- Kadang-kadang lex causae ini adalah lex fori juga, maka selanjutnya diteruskan menurut
lex fori;
- Lex causae ditentukan letak benda tak bergerak, maka sistim hukum yang berlaku lex
situs;
- Ditentukan oleh tempat terjadinya perjanjian (lex loci contractus), tempat
dilangsungkannya perjanjian (lex loci solutionis) atau tempat terjadinya perkawinan (lex
loci celebrationis).
- Bisa juga lex causae ini ditentukan oleh tempat tinggal terakhitr atau tempat asal
seseorang (lex domicilii)
4. Setelah lex causae, maka kualifikasi dan penentuan perkara HPI dilakukan menurut lex
causae, kecuali jika lex causae memberi hasil yang:
a. bertentangan dengan kepentingan umum lex fori, maka lex fori yang berlaku, atau
b. lex causae tidak mengatur persoalan HPI yang bersangkutan.
Contoh-contoh:
A. Kulaifikasi menurut lex fori, biasa dilakukan pengadilan Inggris.
I. Perkara Ogden Vs Ogden (1908)
- Suami (domisili di Perancis) menikahi istrinya (berdomicile di Inggris)
di Inggris;
- Perkawinan ini dibatalkan di Perancis, karena di Perancis suami masih dianggap belum
dewasa dan tidak mendapat izin orang tuanya.
- Menurut HPI Inggris syarat-syarat formil suatu perkawinan diatur oleh lex loci
celebrationis dan syarat-syarat materiil oleh lexdomicilie;
- Dalam hukum Inggris: izin orang tua dianggap unsure formil (formality) yang diatur oleh
hukum tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrationis), sedangkan menurut
hukum Perancis: izin orang tua dianggap sebagai unsure materiil yang harus diatur
menurut hukum pribadi personil yang bersangkutan;
- Jika izin dikualifikasikan menurut lex fori (hkm Inggris), maka perkawinan dianggap syah,
tetapi jika dikualifikasi menurut hukum Perancis, maka perkawinan itu batal.
- Menurut Pengadilan Tinggi (Court of Appeal) harus dilakukan kualifikasi menurut lex fori,
sehingga perkawinan seperti itu dianggap sah.
Jika telah ditetapkan perkawinan itu sah, maka hakim akan mencari titik-titik taut yang
menentukan hukum yang harus berlaku.
Dalam hukum Inggris titik-titik taut ini ditentukan pula oleh lex fori:
a). Jika perkawinan (di Argentina), maka Hkm Pdt Inggris akan memeriksa apakah menurut
hukum Argentina, syarat-syarat formilnya dipenuhi atau tidak;
b). Jika mengenai warisan, maka akan ditentukan dimana domicile Pewaris pada waktu
meninggal, dan dimana lex situs (letak) barang-barang tak bergerak yang ditinggalkan
pewaris;
c). Jika mengenai perjanjian, maka akan ditentukan dimana lex loci contractus (tempat
terjadinya) atau lex loci solutionis (tempat dilaksanakannya);
Contoh:
Pengusaha Jepang dan Perancis mengadakan kontrak mengenai pe-
mbangunan sebuah Cottage di Bali, apabila ada permasalahan anta-
ra kedua belah pihak (Jepang X Perancis), maka hukum yang meng-
atur bagi permasalahan tersebut adalah hukum Indonesia yang me
rupakan tempat dimana kontrak tersebut dilaksanakan / diselesai
kan.
b. Domisili
Keberlakuan hukum didasarkan atas domisili para pihak
- Dua orang WN Inggris yang berlainan domicilinya satu berdomicili di negra X, yang satu
lainnya di Negara Y, mereka menikah disalah satu domicili diantara mereka. HPI Inggris
menanggap seorang WN Inggris tunduk pada hukum perkawinan negri domisilinya yang
baru. Domicili disini menentukankan hukum mana yang berlaku bagi para pihak;
c. Bendera kapal
Bendera merupakan kewarganegaraan sebuah kapal, jika terjadi perselisihan diatas
sebuah kapal yang berbendera Negara tertentu, maka hukum yang berlaku adalah hukum
dimana kapal itu berbendera.
d. Tempat kediaman
- Dua orang WN Malaysia bertempat kediaman di Jakarta tanpa melepaskan domisilinya di
Kualalumpur. Jika mereka akan menikah di Jakarta (KUA atau Catatan Sipil), maka yang
berlaku hukum Indonesia;
- Jika Titik Pertalian Primer (TPP) tidak ditemukan dalam suatu peristiwa hukum, maka
dengan sendirinya Titik Pertalian Sekunder (TPS) juga tidak ada;
(Contoh: jual beli yang dilakukan oleh dua orang WNI, di Jakarta, memakai hukum
Indonesia, atas barang-barang yang terletak di Indonesia);
- Meskipun Titik Pertalian Sekunder (TPS) tidak ditemukan dalam suatu peristiwa hukum,
namun dapat saja ditemukan Titik Pertalian Primer (TPP) dalam suatu peristiwa yang
menunjukan peristiwa HPI;
(Contoh: dua pihak WNI melakukan perkawinan diatas kapal berbendera Panama yang
sedang berlayar diatas perairan di Indonesia )
- Jika ada Titik Pertalian Pengganti (TP Pengganti) hanya satu, tidak sama dengan Titik
Pertalian Alternatif (TP Alterbatif).
- TP Alternatif dapat merupakan TP Pengganti, namun TP Pengganti tidak bias menjadin TP
Alternatif.
- Dalam suatu peristiwa hukum Kewarganegaraan dapat menjadi Titik Pertalian Primer
(TPP) sekaligus juga menjadi Titik Pertalian Sekunder (TPS) yang menentukan hukum mana
yang berlaku dalam peristiwa tersebut.
(Contoh: dua orang WNI yang melaksanakan perkawinannya di Perancis)
- Demikian juga Domisili dapat menjadi Titik Pertalian Primer (TPP) dalam suatu peristiwa
hukum, sekaligus juga merupakan Titik Pertalian Sekunder (TPS) yang menentukan hukum
asing apa yang berlaku dalam peris tiwa hukum tertentu.
(Contoh: seorang WNI melakukan perkawinan dengan seorang Warga Negara Inggris, yang
dilaksanakan di Indonesia dan keduanya berdomisili di Indonesia).
MENENTUKAN HUKUM YANG BERLAKU (LEX CAUSAE) DENGAN BANTUAN TITIK PERTALIAN
Dalam Hukum Antar Golongan di Indonesia, Titik taut / ppertalian hanya ditentukan oleh
Hukum Adat atau Hukum Barat yang berlaku di Indonesia, namun dalam HPI titik taut /
pertalian itu ditentukan oleh lebih dari satu sistim hukum, karena HPI menyangkut seluruh
sistim hukum di dunia.
Maka oleh karenanya jika menghadapi suatu kasus HPI, cara kerjanya dilakukan sebagai
berikut:
1. Pertama-tama harus dicari TTP (Titik Taut Primer) menurut Lex fori, apakah kasus yang
dihadapi merupakan peristiwa HPI atau bukan;
2. Jika sudah diketahui bahwa suatu kasus itu HPI, maka harus dilakukan qualification of
facts menurut lex fori;
3. Kemudian kita mencari titik taut sekunder (TTS) menurut lex fori, untuk menentukan
sistim hukum yang berlaku (lex causae);
4. Titik-titik taut menurut lex causae kemudian akan menentukan apakah kaedah hukum
lex causae, lex fori atau kaedah sistim hukum asing yang lain (ingat kemungkinan renvoi)
yang harus berlaku;
5. Jika berdasarkan titik-titik taut dari lex causae telah ditentukan kaedah hukum materiil
yang harus berlaku, barulah dapat kita menentukan penyelesaian masalah atau
menjatuhkan putusan in concreto.
Tetapi dalam kenyataan kemungkinan titik taut lex fori menunjuk pada dua lex causae atau
lebih.
Contoh:
- Perjanjian import-ekport antara WNI dengan WN Jepang. Impor barang-barang Jepang ke
Indonesia harus dlaksanakan di Indonesia, sedang export barang Indonesia harus
dilaksanakan di Tokyo. Pembayaran dilakukan secara kompensasi.
- Jika exporter Jepang menyerahkan barang yang harus diexport ke Indonesia kualitasnya
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, maka akan terjadi kemacetan karena pihak
Indonesia tidak mau mengirimkan barang-barangnya ke Jepang akibat pihak Jepang
wanprestasi
BEBERAPA PENYELESAIAN
A. Jika pihak Indonesia melakukan gugatan ke Pengadilan negeri Jakarta Pusat, maka kita
akan menemukan titik-titik perytalian sbb:
- kewarganegaraan tergugat = Jepang;
- lex loci solutionis = Indonesia;
- lex rei sitae = Indonesia, karena barang
telah datang di Indonesia.
- lex loci contractus = Indonesia / Jakarta;
- bentuk perjanjian/bahasa = Inggris;
- lex fori = Indonesia.
Karena lex fori Indonesia, maka yang berlaku kaedah-kardah HPI Indonesia, yang berlaku
Pasal 18 AB (Algemeine Bevalingen): suatu perbuatan hukum itu tunduk pada dimana
perbuatan hukum itu dilakukan (locus regim actum), maka yang dianggap lex cusae adalah
hukum Indonesia, baik sebagai lex loci contractus maupun lex loci solutionis. Dan menurut
pasal 131 IS untuk orang Jepang berlaku BW (KUHPerdata)
, maka HPI ini dapat dianggap sebagai HAG.
B. Jika perjanjian import-export tadi antara WN Inggris dengan WNI, dan pihak Indonesia
melakukan gugatan di pengadilan negeri Inggris, maka Hakim Inggris akan
mempertimbangkan dahulu hukum manakah yang dipilih para pihak, atau hukum mana
yang dapat diseimpulkan telah dipilih oleh kedua belah pihak.
- Dalam kasus ini meskipun lex loci contractus (ditandatangani) daan lex loci solusionis
(dilaksanakan) adalah Indonesia, namun karena bentuk perjanjiannya adalah suatu bentuk
yang hanya dikenal dalam hukum Inggris, maka hukum Inggrislah yang dianggap sebagai
lex causae.
C. Jika perjanjian import-export, antara WN Swiss dengan WNI, dan pihak Indonesia akan
mengajukan gugatan ke pengadilan Swiss, maka Hakim Swiss akan mempertimbangkan
bahwa dalam perdagangan sperti ini, hukum yang berlaku ditentukan oleh die typische
Leistung atau die charakteristiche Leistung (prestasi yang husus atau yang
karakteristik) , yang dalam hal ini penyerahan barang-barang import di Indonesia,
sehingga hukum Indonesialah yang di anggap sebagai lex causae.
Stelsel-stelsel / aliran HPI di negara-negara dunia saling berbeda dalam menentukan status
personil seseorang baik sebagai warga negaranya maupun warga Negara asing. Sebagian
Negara menganut prinsip kewarganegaraan, dimana status personil WN/WNA ditentukan
oleh hukum nasionalnya masing-masing. Sebaliknya sebagian lagi menganut prinsip
domisili yang menentukan status personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku
di tempat domisilinya / teritorialnya.
Prinsip Domisili banyak dianut oleh Negara-negara Anglo Saxon, diantaranya: Semua
Negara-negara bekas jajahan Inggris yang menganut sistim common law (Amerika Serikat,
Malaysia, Singapura, Australia dsb), Scotlandia, Africa Selatan, Quebec, Denmark,
Norwegia, Iceland, dan Negara-negara Amerika Latin: Argentina, Brazilia, Guatemala,
Nicaragua, Paraguay, dan Peru.
- Prinsip Nasionalitas yang bertitik berat pada segi personalia, menentukan bahwa hukum-
hukum yang berhubungan dengan status seseorang (WN/WNA) erat hubungannya dengan
orang-orang tersebut, oleh karenanya hukum nasional orang tersebut yang ditentukan
oleh kewarganegaraannya melekat dan mengikuti kemanapun seseorang pergi.
(Latar belakang prinsip ini, menghendaki warga negaranya yang mengembara ke luar
negeri sedapat mungkin tetap tunduk kepada hukum mereka sendiri).
- Prinsip Domisili bertitik berat pada segi territorial, menentukan bahwa semua hubungan-
hubungan orang yang berkaitan dengan soal-soal perorangan, kekeluargaan, warisan atau
status personilnya ditentukan oleh domisilinya. Oleh karenanya prinsip ini menentukan
bahwa setiap orang yang berada di dalam wilayah suatu Negara dianggap tunduk pada
hukum Negara tersebut.
(Latar belakang prinsip ini, terutama negara-negara muda seperti Amerika Serikat yang
banyak imigrannya bertujuan agar para imigran tunduk pada hukum perdata dari Negara
yang baru dibangun itu).
- Namun ada sistim yang disebut Juristichem Chauvinismus (Chauvinis caya yuridis)
dimana ada negara-negara yang memperlakukan WN nya yang berada di luar negeri
ditundukkan pada prinsip nasionalitas, namun disisi lain orang asing (WNA) yang berada di
negara yang bersangkutan ditundukkan kepada prinsip domisili. Beberapa Negara Amerika
latin menganut sistim ini, al: Chili, Equador, Columbia, Peru, El Salvador, Venezuela dan
Mexiko.
- Dengan kata lain Prinsip Nasionalitas hanya dipakai untuk jangka waktu tertentu,
selanjutnya digunakan prinsip Domisili.
2. Domicile of choice, yaitu domisili yang diperoleh / dipilih seseorang setelah dia dewasa,
dengan syarat :
- seseorang menetap di Negara lain;
- tidak ada keinginan untuk pindah ke Negara lain;
- keinginan memilih domisili;
- kemampuan;
- recidence yang permanent;
3. Domicile by operation law, yaitu domisil yang tergantung (dependant) dari seseorang,
yaitu: anak yang belum dewasa, wanita dalam perkawinan, seseorang yang berada dalam
perwalian.
- anak ikut domisili si ayah;
- istri ikut domisili suami;
- yang diampu ikut domisili si wali.
Doctrine of Revival adalah hidupnya domicile of origin seseorang yang telah tertidur
lama karena tercerabutnya domicile of choice orang tersebut dan ia tidak punya domisili
lainnya.
Yurisprodensi-yurisprodensi Kewarganegaraan:
De Ferrari Case (Perancis)
- Th 1893 Ny. Ferrari (WN Perancis) memperoleh keWNan Itali karena perkawinannya
dengan suaminya Tn. Ferrari (Itali);
(di Itali tidak dikenal perceraian, yang ada persetujuan hidup terpisah / BW: pisah meja dan
tempat tidur)
- Th 1899 mereka membuat kesepakatan hidup terpisah (consentement mutual), Ny.
Ferrari pulang ke Negara asalnya Perancis;
- Th 1913 Ny. Ferrari melakukan naturalisasi menjadi WN Perancis kembali, suaminya
tetap di Itali;
- Ny. Ferrari mengajukan gugatan supaya kesepakatan pisah dirubah menjadi perceraian
ke Pengadilan tingkat pertama LYON, pada pengadilan tingkat ini dikabulkan dan dikuatkan
oleh pengadilan tingkat kedua HOF LYON;
- Th 1922, COUR DE CASSATION (peradilan kasasi) membatalkan keputusan Hof Lyon, yang
menyatakan: lembaga hidup terpisah meja dan tempat tidur cara Otalia belum cukup
memenuhi syarat untuk diubah menjadi perceraian cara Perancis;
- Kemudian Ny. Ferrari mengajukan lagi gugatan baru dengan sepenuhnya memakai hukum
perdata Perancis, hukum Italia dikesampingkan;
- Tahun 1928 COUR DE CASSATION memutuskan hukum Perancis harus digunakan untuk
Ny. Ferrari yang sudah WN Perancis lagi karena naturalisasi, yang kemudian gugatan
dikabulkan Ny. Ferrari memperoleh perceraian;
(Keputusan perkara DE FERRARI ini dicap sebagai juridisch chauvinisme, karena Hakim
Perancis hanya mengutamakan hukum nasionalnya sendiri dan kepentingan WNnya
sendiri, dan melalaikan tugasnya dalam HPI)
(putusan ini hukum domisili bersama para pihak yang diberlakukan , meskipun para pihak
berlainan kewarganegaraan)
-2
pril 1954 Dewan Perlindungan Anak-anak di Norkoping Swedia menetapkan
anak Maria dibawa perlindungan dewan tersebut. Wali pengawas Belanda
mengajukan permintaan pengawasan, tetapi ditolak oleh Dewan
Perlindungan Anak;
- Pemerintah Swedia menganggap pemerintah Belanda telah ikut campur
membela kepentingan warganya, dan Pemerintah Swedia dituding
melanggar perjanjian Den Hag 1902 tentang perwalian anak-anak di
bawah umur;
- kemudian perkara ii di bawa ke Mahkamah Agung International, yang memutuskan :
membenarkan pendirian Swedia dan mengalahkan Belanda, yang memutuskan: tindakan
pendidikan dan perlindungan yang dilakukan oleh instansi Swedia terhadap anak Maria
Elishbeth Boll;
(putusan ini menggambarkan adanya tendensi untuk mengedepankan prinsip domisili
pada bidang hukum kekeluargaan, yaitu hubungan anak-anak dengan orang tua mereka).
Renvoi terjadi karena adanya aneka macam sistim Hukum Perdata Internasional dalam
status personal seseorang ( P. Nasionalitas / P. Domisili).
Renvoi timbul, apabila hukum asing yang ditunjuk oleh lex fori, menunjuk kembali kearah
lex fori itu, atau kepada sistim hukum asing lain.
- Setelah mengkualifikasikan fakta-fakta yang ada dalam suatu perkara / kasus, maka kita
kemudian mencari titik-titik taut yang memberi petunjuk kepada kita hukum (asing) mana
yang akan berlaku.
SCHEMA RENVOI:
(1)
1. Penunjukan kembali -----------------
(X) ------------------------------ (Y)
L______________________l
-------------------------
(2)
4. Membawa kesukaran-kesukaran.
Renvoi membawa kesukaran / menyulitkan (inconvenient) bagi sang hakim, karena sang
hakim harus mempelajari hukum asing, dan hakim harus mengetahui lebih dahulu HPI dari
negara-negara lain yang bersangkutan.
Negara-negara yang kontra renvoi al: Italya, Belanda, Yunani, Egyft, Suriah. Dsb.
3. Jangan plus royaliste que le roi (bersifat lebih raja dari raja itu sendiri).
Menunjuk kepada hukum asing sebenarnya suatu konsesi, jika kemudian hukum asing itu
tidak menetrimanya / menunjuk kembali, maka harus diterima / jangan ditolak.
(Jika kita menutup pintu terhadap hukum asing, maka akan membawa kita pada
chauvinisme yuridis yang mematikan kemungkinan perkembangan HPI.
Jenis-jenis Renvoi
Kasus di Inggris:
Re ANNESLEY (Renvoi diterima)
- Ny. Annesley WN Inggris, domisili dan meninggal (1942) di Perancis, membuat
testament / wasiat dlm bentuk hukum Inggris, yang mengakibatkan anak laki-lakinya tidak
mendapatkan warisan.
- (HPI Inggris Vs HPI Perancis) HPI Inggris wasiat syah, sedangkan HPI Perancis mengenal
adanya legitima forci yang memberikan hak pada sang anak sekurangnya sepertiga
bagian harta warisan;
- dalam kasus ini :
1. Hakim Inggris menggunakan FCD, bertindak seolah hakim Perancis;
2. HPI Perancis (prinsip nasionalitas) menunjuk hukum Inggris;
3. HPI Inggris (prinsip Domisili) menunjuk Hkm Perancis;
dengan menggunakan hukum intern Perancis wewenang Ny. Annesley dalam membuat
surat wasiat dibatasi, maka anak lelakinya mendapatkan warisan berdasarkan legitima
forci.
KETERTIBAN UMUM
Ketertiban Umum : lembaga dalam HPI yang memungkinkan sang Hakim untuk
mengenyampingkan hukum asing yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan apa yang
diatur dalam ketentuan HPI, karena dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi
Hukum nasional sang Hakim.
Sebagai contoh:
I. Perbudakan :
Bagi orang-orang asing yang berasal dari Negara yang mengakui perbudakan (spt. Afrika),
jika timbul perselisihan diantara mereka (hubungan budak-majikan), meski menurut HPI
Indonesia ic Pasal 16 AB menentukan hukum personil WNA itu yg harus diterapkan, maka
Hakim (Indonesia) tidak akan menggunakannya / mengenyampingkan, karena hal itu
(perbudakan) dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi sistim hukum Indonesia.
Lembaga ketertiban umum ini harus seirit dan seselektif mungkin, dipergunakan jika
diperlukan sekali sebagai ultimum remedium karena jika terlalu banyak digunakan akan
dicap sebagai bangsa yang munafik, hanya mementingkan hukum sendiri (As a Shield not
as a sword sebagai perisai/pelindung, bukan sebagai pedang).
I. Konsep Romawi:
Lembaga Ketertiban Umum selalu digunakan setiap kali bertentangan dengan hukum
sang Hakim, bukan dengan pengecualiannya. (As a sword not as ashield);
III. Konsep Anglo Saxon = Public Policy maksudnya adalah bahwa Hakim pengadilan
berpatokan pada sikap Executif mengenai pelaksanaan ketertiban umum. Bila pihak
Executif mengakui suatu Negara sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, maka
Yudikatif tidak berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan
tindakan dari Negara tersebut.
Keterkaitan
- tidak dapat ditentukan secara apriori apa yang termasuk ketertiban umum, tergantung
pada factor-faktor diatas. Sang hakimlah yang menentukan apakah suatu tindakan
termasuk ketertiban umum atau tidak.
Kuliah Hukum Perdata International (8)
(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)
Kaedah Hukum memaksa (mandatory rules) dalam HPI sering kali menjadi kompleks,
karena keberlakuannya tidak dapat dikesampingkan oleh kesepakatan antar para pihak.
Ada kemiripan dengan situasi dimana berlakunya sistim hukum asing harus
dikesampingkan atas dasar bertentangan dengan kepentingan umum. Namun meski
dalam penerapan ada kemiripan, tetap ada perbedaannya.
Pemberlakuan mandatory rules seringkali menjadi krusial dalam HPI, khususnya pada
bidang-bidang kontrak yang didasrkan atas kebebasan para pihak menentukan hukum
yang berlaku atas kontrak mereka. Dengan kata lain mandatory rules akan membatasi
para pihak dalam transaksi International, hal ini disebabkan oleh latar belakang
pemberlakuan mandatory rules yang dianggap sebagai aturan umum yang mencerminkan
kebijakan dasar (fundamental policy) dari Negara yang memberlakukannya.
Namun dalam praktek tidak mudah untuk menentukan apakah suatu aturan hukum dapat
dikatagorikan sebagai mandatory atau tidak? Persoalan ini biasanya dijawab melalui
tindakan penafsiran dan konstruksi hukum (legal interpretation and construction) pada
tingkat domestic, dengan mempertimbangkan substansi serta kebijakan dasar yang
melatar belakangi aturan-aturan itu.
Dari segi International, persoalan ini menjadi lebih rumit, karena tidak semua aturan
hukum yang bersifat memaksa dalam persoalan-persoalan hukum yang bersifat domestic,
dengan sendirinya menjadi bersifat memaksa pula dalam arti International.
Konsep kaedah hukum memaksa (mandatory rules) umumnya digunakan untuk menjadi
dasar pemberlakuan:
- Aturan-aturan hukum yang khusus dimaksudkan untuk mengatur masalah-masalah
ketenagakerjaan dan perlindungan konsumen;
- Aturan-aturan hukum dari sebuah Negara yang dipertautkan (connected) oleh semua
elemen yang relevan dalam suatu persoalan hukum, kecuali pilihan hukum para pihak;
- Aturan-aturan badan pengadilan yang menjadi perkara;
- Aturan-aturan hukum dari suatu Negara yang memiliki kaitan nyata dengan situasi
tertentu walaupun hukum Negara itu bukan merupakan lex causae;
Pengertian hukum memaksa sebenarnya dapat diartikan sebagai dua konsep yang agak
berbeda satu sama lain, yaitu dalam arti:
1. Domestik
Aturan-aturan hukum yang memaksa dari forum yang tidak dapat dikesampingkan melalui
perjanjian. Aturan-aturan ini diberi sifat memaksa atas pertimbangan terhadap akibat yang
ditimbulkannya secara domestic apabila ia dikesampingkan melaluiperjanjian para pihak.
Jika di dalam negeri system hukum ybs melarang penyimpangan terhadapnya melalui
perjanjian, umumnya penyimpangan dalam hubungan hukum yang bersifat international
pun akan dianggap dilarang.
Misalnya : UU ketenagakerjaan Indonesia yang mewajibkan pembayaran upah sekurang-
kurannya (minimum) sesuai dengan indeks Upah Minimum Regional yang berlaku di
wilayah tertentu di Indonesia, dan perusahaan serta pekerja dalam tingkat domestic tidak
dapat membuat kontrak kerja dengan pembayaran upah yang lebih rendah dari UMR,
maka suatu kontrak kerja yang bersifat internasional pun tidak dapat menyimpang dari
UMR itu melaluikesepakatan para pihak jika konrak kerja itu tunduk pada hukum Indonesia.
Jadi dalam arti ini sifat memaksa dari mandatory laws akan berlaku juga dalam kontrak
international apabila persoalan hukum yang menjadi pokok perkara memang memiliki
kaitan nyata hanya ke hukum Indonesia atau jika perkara diajukan di depan Pengadilan
Indonesia.
2. Internasional
Aturan-aturan hukum yang tidak dapat dihindarkan berlakunya melalui pilihan hukum
kearah sistim hukum lain selain system hukum yang menyatakannya sebagai aturan yang
memaksa. (Tidak dapat dikecualikan oleh pilihan hukum).
Kaedah-kaedah hukum memaksa dalam arti ini juga menunjuk pada aturan-aturan hukum
yang pada dasarnya tidak dapat dikesampingkan, baik melalui perjanjian maupun
kesepakatan diantara para pihak atau melalui pemberlakuan system hukum lain yang
berlaku, baik karena pilihan hukum maupun karena ditunjuk kaedah-kaedah HPI lex fori.
Persoalan: apakah ada perbedaan pemberlakuan mandatory rules dari lex fori dengan
mandatory rules dari suatu sistim hukum asing (lex causae)?
- Untuk mandatory rules dari lex fori, umumnya diterima azas bahwa pengadilan wajib
untuk memberlakukannya dengan tidak mempedulikan hukum apa yang akan
diberlakukan sebagai lex causae dari seuatu perkara. Pegangan Pengadilan/Hakim untuk
memberlakukannya adalah prinsip bahwa mandatory rules dari lex fori yang tidak dapat
dikesampingkan dalam perkara HPI adalah mereka yang substansinya berkaitan dengan
penegakan nilai-nilai ketertiban umum di negara forum.
- Untuk mandatory rules dari hukum asing (foreign mandatory laws), doktrin HPI belum
terlalu jelas, tetapi dalam beberapa konvensi HPI diterima prinsip bahwa mandatory laws
asing hanya dapat dipertimbangkan untuk diberlakukan apabila:
- sistim hukum asing itu memiliki kaitan yang cukup nyata dengan perkara (close conection
rule), dan
- berdasarkan hukum asing itu, aturan-aturan tersebut memang harus diberlakukan tanpa
memperhatikan hukum yang seharusnya berlaku;
Di dalam doktrin conflict of laws Amerika Serikat, diterima prinsip bahwa khusus
untukpersoalan-persoalan yang seharusnya dapat diselesaikan sendiri oleh para
pihakberdasarkan persyaratan dalam kontrakmereka, kebebasan para pihak untuk memilih
hukum praktis tidak dibatasi sama sekali. Jika kontrak tidak dapat menyelesaikannya
karena persoalan yang diatur mandatory laws, para pihak dapat memilih untuk
memberlakukan kaedah memaksa dari system hukum asing, kecuali bila:
1. Negara yang dipilih tidak memiliki kaitan yang substantive dengan para pihak atau
dengan transaksi mereka dan tidak ada dasar pertimbangan lain yang reasonanble untuk
memilih hukum Negara tersebut, atau
2. pemberlakuan hukum dari Negara yang dipilih itu akan bertentangan dengan kebijakan
dasar dari Negara yang secara objektif memiliki kepentingan yang lebih besar dari pada
Negara yang dipilih dalam penyelesaian perkara ybs.
Istilah hak-hak yang diperoleh sering disebut dengan right and obligations created
abroad atau hak dan kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum asing. Yang menjadi
persoalan dalam HPI, apakah hak dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang
berdasarkan kaedah-kaedah dari suatu sistim hukum asing tertentu harus diakui atau tidak
oleh lex fori (Sunaryati hartono).
Contoh:
A WNI dan berdasarkan hukum Indonesia telah diakui sah sebagaim ppemegang hak milik
atas suatu benda bergerak. Pada suatu saat A mengubah status keWNannya menjadi WN
Republik Rakyat Cina. Menurut hukum positif cina, dianggap saja A belum dapat dianggap
sebagai pemilik yang sah atas benda bergerak itu.
Masalah:
Apakah karena perubahan keWNan dari Indonesia menjadi Cina, hak milik atas barang
bergerak yang semula melekat pada A, kemudian akan dianggap tidak ada ?
Jika Hakim atau hukum RRCina menganggap bahwa suatu pemilikan atas benda bergerak
dianggap sah berdasarkan hukum yang seharusnya berlaku, akan tetap diakui sahdi mana
pun hak itu hendak ditegakkan, maka dapatlah dikatakan bahwa pengadilan Cina
menerima prinsip hak-hak yang diperoleh (vested right)
Hak dan kewajiban hukum yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu kaedah
hukum haruslah dihormati oleh siapa saja, termasuk oleh lex fori, kecuali bila pengakuan
terhadap hak-hak semacam itu akan menimbulkan akibat yang bertentangan dengan
public order dari masyarakat forum.
Pandangan atau asas ini berkembang pada masa memuncaknya pandangan hidup
individualistic yang menganggap bahwa hak milik mempunyai kekuatan hukum yang
mutlak di mana pun dan terhadap apap pun. Namun dengan perkembangan pandangan
hak milik mempunyai fungsi social, doktrin Vested rights ini mengalami pergeseran dan
orang cenderung menganut ajaran secara terbatas (qualified)
Dalam arti yang terbatas, maka Vested rights atau hak-hak yang diperoleh akan bererti:
Hak-hak yang dimiliki seseorang (suatu subjek hukum) berdasarkan kaedah hukum asing
dapat diakui didalam yuridiksi lex fori, selama pengakuan itu tidak bertentangan dengan
kepentingan umum masyarakat lex fori.
Dengan kata lain: Hak-hak yang diperoleh dapat diakui selama pengakuan itu tidak
bertentangan dengan ketertiban umum lex fori atau dengan asas-asas keadilan yang hidup
dalam masyarakat forum.
Pengertian:
Persoalan Pendahuluan (incidental question) dalam HPI adalah suatu persoalan / masalah
HPI dalam sebuah perkara yang harus dipecahkan terlebih dahulu sebelum putusan
terhadap masalah HPI yang menjadi pokok perkara dapat ditetapkan oleh Hakim.
Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan pendahuluan
(incidental question), maka perlu dipenuhi tiga persyaratan:
- Main issue yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah HPI yang
bedasarkan kaedah HPI forum harus tunduk pada hukum asing;
- Dalam perkara yang sama harus terdapat subsidiary issue yang mengandung unsure
asing, yang sebenarnya dapat timbul sebagai masalah HPI yang terpisah dan diselesaikan
melalui penggunaan kaedah HPI lain secara independent;
- Kaedah HPI untuk menentukan lex causae bagi subsidiary issue akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan dihasilkan seandainya lex causae
dari main issue yang digunakan;
Pada dasarnya sangat jarang sebuah kasus yang berkaitan dengan incidental question
dapat memenuhi criteria, oleh karenanya dalam praktek criteria tersebut diterapkan tidak
terlalu strict /kaku. Sebagai contoh fleksibilitas penerapanmisalnya dalam kasus
Pewarisan atas benda bergerak adalah sebagai berikut:
- criteria pertama dianggap tidak terpenuhi apabila pada saat pewaris meninggal dunia, ia
berkedudukan tetap di Negara forum;
- criteria ketiga dianggap tidak terpenuhi apabila seorang pewaris yg berdomicili di Negara
asing membuat terstament yang menyatakan untuk memberikan harta warisannya untuk
anak sahnya, padahal lex fori dan hukum asing tersebut memiliki kesamaan dalam
menentukan apakah anak tersebut adalah anak yang sah atau tidak sah.
Dengan tidak dipenuhi kriterianya, maka perkara tidak perlu diselesaikan dengan
menggunakan methode penyelesaian dalam incidental question.
Cara penyelesaian
Teori HPI mengenal tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan,
yaitu:
1. Absorption
Prinsipnya: melalui absorption, lex causae yang dicari dan ditetapkan melalui penerapan
kaedah HPI untuk mengatur masalah pokok (main issue) akan digunakan juga untuk
menjawab persoalan pendahuluan. Jadi setelah lex causae untuk masalah pokok
ditetapkan kaedah HPI lex fori, masalah pendahuluannya akan ditundukan pada lex causae
yang sama. Cara ini disebut cara penyelesaian berdasarkan lex causae.
2. Repartition
Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan lex causae untuk maslah
pendahuluan secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex causae dari masalah
pokoknya terlebih dahulu. Dengan mengabaikan lex causae dari masalah pokok, hakim
akan melakukan kualifikasi berdasarkan lex fori dan menggunakan kaedah HPInya yang
relevan khusus untuk menetapkan lex causae masalah pendahuluan. Cara ini disebut
penyelesaian dengan lex fori.
Contoh-contoh Kasus
Persoalan Hukum:
a. Apakah Sam may berwenang untuk menguasai dan mengurus harta Fannie May, dengan
alas hak sebagai pasangan yang masih hidup dari suami istri yang telah menikah dengan
sah. Hal ini harus diputuskan berdasarkan lex domicile dari Sam dan fannie, yaitu hukum
New York. Gugatan sang anak inilah menjadi masalah pokok (main question) dalam kasus
ini;
b. Untuk memutus perkara ini Pengadilan New York menghadapi kenyataan bahwa mereka
harus memutuskan dahulu, apakah perkawinan Sam dan Fannie may did an berdasarkan
hukum Rhode Island dapat diterima sebagai perkawinan yang sah. Persoalan ini adalah
incidental question yang harus diputuskan sebalum hakim memutus persoalan pokoknya.
Fakta Hukum:
- Hukum New York, menganggap perkawinan paman keponakan incestuous, karenanya
batal demi hukum;
- Kaidah HPI New York tidak jelas mengenai keabsahan perkawinan dan pengakuan
keabsahannya perkawinan dua orang warga New York yang diresmikan di Negara lain,
karena itu sah tidaknya perkawinan harus ditentukan berdasarkan hukum tempat
peresmian perkawinan (lex loci celebration);
- Hukum intern Rhode Island di bidang perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang
dianggap sah berdasarkan kaidah-kaedah agama dan tradisi tertentu, akan dianggap sah
pula berdasarkan hukum Negara;
Fakta hukum:
- Kaidah HPI Inggris: Kapasitas hukum wanita untuk menikah kembali tunduk pada hukum
tempat domisili wanita itu;
- Kaidah HPI Inggris lain: Sah tidaknya perceraian harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat dimana perceraian dilaksanakan;
- Kaidah HPI Infggris lain: sah tidaknya suatu perkawinan harus ditetapkan hukum dari
tempat perkawinan dilaksanakan;
- Kaidah Hukum intern Brazil: perceraian atas sebuah perkawinan yg dilakukan di Brazil,
yang dilakukan di luar negeri, tidak memilikimkekuatan berlaku di Brazil;
DEPECAGE
Dalam bahasa Prancis, DEPECAGE berarti pemecahan atau pemilahan. Pembahasan
mengenai Defecage ini dalam konteks HPI sebenarnya menimbulkan kemungkinan yang
mirip dengan situasi incidental question meski tidak sepenuhnya sama.
Sebagai contoh:
- Persoalan pewarisan yang dibuat WNI melalui pembuatan testament yang dilaksanakan
di Singapura. Jika perkara gugatan atas testament diajukan di pengadilan Indonesia,
secara umum orang mengatakan bahwa perkara tunduk pada system hukum dari tempat
pembuatan testament. Akan tetapi jika memilah-milah perkara ini dalam sub-
subpersoalan, misalnya subpersoalan tentang:
1. keabsahan formal dari testament;
2. subpersoalan tentang kemampuan hukum si pewaris untuk mewariskan kekayaan lewat
testament;
kemungkinannya:
- submasalah (1) pengadilan memberlakukan hukum Singapura, sedangkan
- submasalah (2) pengadilan memberlakukan hukum Indonesia;
Tindakan memilah dan memilih inilah yang dimaksud dengan DEPECAGE. Yang menjadi
pertanyaan dalam perspektif HPUI adalah apakah orang dapat melakukan pemilahan
seperti itu.
Contoh lain:
- Gugatan ganti rugi seorang wrga NB New York atas perbuatan melawan hukum (PMH)
yang dilakukan di NB Texas oleh seorang warga Texas, dan gugatan diajukan di NB New
York.
Kemungkinannya:
- Jika permasalahan pokoknya perbuatan Tergugat dapat dikatagorikan sebagai PMH
(masalah substansi), maka yang berlaku kaedah hukum Texas sebagai lex loci delicti,
namun
- Jika yang menjadi persoalan pokok apakah besarnya ganti rugi yang diminta terbatas
jumlah tertentu atau tidak (procedural), maka persoalan ini mungkin akan ditundukkan dan
diselesaikan berdasarkan hukum New York sebagai lex fori.
HPI Traditional (eropah) secara teoritis bertitik tolak dari prinsip bahwa sebuah hubungan
hukum seharusnya tunduk pada satu system hukum (jurisdiction selecting approach),
namun dalam keadaan tertentu DEPECAGE dapat diperlakukan sebagai kekecualian:
- pelaksanaan kewajiban para pihak dalam kontrak harus dilaksanakan di tempat-tempat
yang berbeda;
- para pihak sepakat untuk memecah sebuah kontrak kedalam bagian-bahian tertentu
dan menundukkan masing-masing bagian itu pada system hukum berbeda-beda, atau
- karena submasalah tertentu dari suatu hubungan hukum tertentu ternyata memiliki
kaitan nyata yang lebih besar pada sebuah system hukum yang seharusnya berlaku
berdasarkan pilihan hukum para pihak / berdasar kaidah HPI.
Dalam system Conflict of laws Amerika Serikat, pada dasarnya menaggap tugas HPI
menetapkan aturan hukum local yang mana dalam sebuah penyelesaian sebuah
hubungan/peristiwa hukum (rule selecting approach), menganggap DEPECAGE sebagai
sesuatu yang alamiah. Penyelesaian conflict of laws harus dilakukan atas dasar analisis
kasus perkasus (case-by case analysis), sehingga adalah wajar bila salah satu kasus harus
tunduk pada system hukum yang berbeda dari system hukum yang diberlakukan untuk
kasus lain yang timbul dari hubungan/peristiwa hukum yang sama.
PENYELUDUPAN HUKUM
Istilah-istilah:
- Wetsontduiking (Belanda), fraude a la loi (Perancis), fraus legis (Latin),
Gesetzesumgehung, das Handeln in fraudem legis (Jerman), fraudulent creation of
point of contacts (Inggris), frode alla legge (Italia).
Contoh kasus:
Gretna Green
Sebuah desa di Scotlandia dekat dengan England yang menjadi tempat perlindungan bagi
orang-orang Inggris yang hendak menikah tanpa persetujuan dari orang tua mereka.
-Percreaian:
Kasus Cerai kawin di ZEVENBURGEN
Bagi WN Italia dan Austria yang tidak bias bercerai (karena hukumnya tidak mengenal
cerai, hanya sepakat pisah) pergi ke Honggaria naturalisasi jadi WN Honggaria dan
anggota jemaat protestan di gereja Zevenburgen, maka keputusan pisah meja & tempay
tidur bias diubah menjadi perceraian;
Naturalisasi di Eslandia:
- Van A WN Belanda menikah di Indonesia dengan WN Belanda;
- bercerai menurut BW (KUHPerdata) belum cukup alasan, maka hanya pisah meja dan
tempat tidur;
naturalisasi ke Eslandia dan mengajukan perceraian;- pergi ke Negara Baltik, Eslandia
- Van A menikah lagi dengan wanita lain dilangsungkan di Scotlandia.
PILIHAN HUKUM
- Pilihan Hukum sudah umum diterima dalam praktek bisnis bagi pihak-pihak yang
menyepakati. Yang dipilih dalam pilihan hukum adalah sistim hukumnya, bukan
perundang-undangannya;
- Tidak dapat diterapkan terhadap permasalahan diluar bidang kontrak.
Pilihan Hukum merupakan kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk
menentukan hukum yang akan berlaku bagi konntrak yang dibuatnya;
Intisari pilihan hukum adalah otonomi;
DUMOULIN (Perancis).- penemu Pilihan Hukum ----
Batasan Penggunaan Pilihan Hukum
untuk kontrak kkerja yang dilakukan di Indonesia harus dipakai hukum Indonesia
(merupakan kebijakan ekonomi nasional);f. Khusus di Indonesia ---
dilakukan terhadap pilihan hukum suatu Negara yang memiliki kompleksitas sistim
hukum.Pilihan Hukum Selektif
Contoh: Indonesia ; hukum perdata barat, hukum Adat; hukum Islam.
A. PENDAHULUAN
Dalam konteks HPI, biasanya pelaku bisnis atau lawyers mereka umumnya mengandalkan
aturan-aturan untuk menyelesaikan masalah secara damai, dan yang banyak menjadi
perhatian adalah solusi atas persoalan hukum dari segi hukum materiil (substantive law).
Kaedah-kaedah hukum perdata dan perdagangan umumnya dibuat untuk membantu
pengambilan keputusan dalam mencapai hasil penyelesaian perkara yang palin baik dari
segi substansi. Disinalah para ahli hukum mengandalkan hukum perikatan (law of
obligation) atau hukum kontrak atau hukum tentang PMH atau hukumkeluarga, hukum
kebendaan dan sebaagainya.
Namun tidak kalah pentingnya peranan kaedah-kaedah hukum formal / procedural / acara
yang akan menetapkan bagaimana aturan penyelesaiaan sengketa harus dijalankan agar
upaya penegakan hukum substantive dapat diwujudkan secara efektif.
Dalam konteks HPI, persoalan pokok hukum acara adalah menyangkut penentuan
kewenangan mengadili dari sebuah forum apabila dihadapkan pada perkara yang
mengandung unsure asing. Sebuah transaksi transnasional (melampaui batas Negara),
maslah procedural dalam proses penyelesaian sengketanya juga akan bersifat khas.
Sebagai contoh:
B. PRINSIP HPI TENTANG DASAR PENETAPAN YURISDIKSI FORUM DALAM LITIGASI PERKARA
TRANSNASIONAL
Berbicara tentang yurisdiksi ekstrateritorial, atas dasar kedaulatannya setiap Negara
berwenang sepenuhnya untuk mengklaim yurisdiksi atas subjek hukum, namun secara
international diterima prinsip bahwa kewenangan semacam itu perlu dibatasi dan Negara-
negara harus membatasi diri dalam mengklaim kewenangannya (self-restraint). Artinya
setidaknya harus ada dasar yang kongkret bagi pengadilan sustu Negara untuk mengklaim
yuridiksi ekstrateritorialnya. Dasar yang konkret itu umumnya ditentukan oleh ada-
tidaknya suatu pertautan atau kontrak (connection) tertentu antara Negara dan badan
peradilannya disatu pihak, dengan gugatan atau pihak-pihak dalam perkara dilain pihak.
Dalam litigasi transnasional, asas actor squitur forum rei (tempat tinggal tergugat untuk
menentukan tempat penadilan) ternyata tidak selalu dapat digunakan secara efektif,
karena connections di bidang perkara HPI sering dibentuk melalui titk taut lain, seperti
pelaksanaan kontrak atau tempat PMH di Negara forum.
Yurisdiksi in personam adalah yurisdiksi atas orang, umumnya dianggap sebagai yurisdiksi
tidak terbatas (unlimited jurisdiction), artinya pengadilan memiliki yurisdiksi / kewenangan
untuk memutus perkara yang menyangkut tergugat untuk jumlah yang tidak terbatas dan
menyangkut seluruh asetnya. Yurisdiksi ini timbul disebabkan oleh :
1. Kehadiran (Presence)
Kehadiran seseorang di wilayah suatu negara forum dianggap sebagai dasar yang cukup
bagi forum untuk mengklian jurisdiksinya atas orang itu, namun kehadiran seseorang di
sebuah Negara sekedar transit belum dianggap cukup untuk mengklaim yuridiksi;
Yuridiksi in rem, adalah yuridiksi atas benda (thing/res) yang berada di wilayah Negara
forum, yang secara langsung atau tidak berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.
Pengadilan yang memiliki yurisdiksi in rem memiliki kewenangan untuk mengadili
sengketa-sengketa yang berkenaan dengan title atas benda-benda tertentu yang berada di
wilayah forum.
Yurisdiksi quasi in rem dikenal dalam system hukum acara Amerika, untuk perkara-perkara
yang tidak langsung menyelesaikan gugatan atas kepemilikan tergugat atas suatu
kebendaan yang berkaitan dengan perkara, tetapi hanya karena penggugat menuntut agar
kekayaan tertentu milik tergugat yang ada di wilayah forum dilekatkan pada perkara,
walaupun tidak ada kaitan langsung antara kekayaan dengan pokokperkara.
Namun dalam kenyataan banyak Negara yang hukum acaranya tidak membatasi diri
dalam klaim yuridiksi atas subjek hukum asing, dan menggunakan batas-batas yang
berlebihan (oxorbtant jurisdictions bases), misalnya :
- menetapkan kewenangan yurisdiksi atas dasar hukum personal kewarganegaraan pihak
penggugat (Prancis, Luxenburg, Belgia, Belanda), sementara WN mereka hanya dapat
diadili di forum Negara mereka sendiri;
- yuridiksi tak terbatas atas dasar kehadiran benda milik tergugat di wilayah forum
(Jerman);
- yurisdiksi forum atas tergugat ini tetap ada walaupun tidak ada pertautan antara benda
milik tergugat dan perkara yang diajukan ke pengadilan itu (Denmark);
Asas lain dalam praktek international adalah asas forum rei sitae yang menerbitkan
kewenangan yurisdiksional pada forum dari tempat letak benda yang melekat pada
gugatan pihak tergugat.
Dasar lain untuk menetapkan kewenangan yurisdiksional adalah kehadiran fisik (physical
presence) dari Tergugat di wilayah forum. Di beberapa Negara diterapkan secara
berlebihan, dalam arti klaim yuridiksi diterapkan pada baik tergugat asing melakukan
bisnis secara teratur di wilayah forum maupun terhadap transient defendant, atau
tergugat yang sekedar mampir dan lewat di wilayah forum.
Asas yang berlaku bagi pengadilan untuk menentukan ada tidaknya kewenangan
pengadilan untuk mengklaim yuridiksi atas seorang tergugat adalah asas actor sequitur
forum rei.
Dalam pemahaman Negara-negara yang menganut civil law, atas dasar asas forum rei
dapat dengan mudah diterapkan pengadilan untuk membentuk real connection /kaitan
nyata antara forum dan tergugat, atas dasar itu dapat diklaim sebagai kewenangan
yuridiksi umum (general jurisdiction) atas tergugat. Pada Negara-negara common law, hal
serupa dipahami melalui konsep yuridiksi in personam atas dasar asumsi pertautan
personal / pribadi dengan forum.
(a) Persoalan utama perkara-perkara yang bersifat transnasional (HPI) adalah terletak pada
adanya perbedaan-perbedaan prinsip atau aturan antara tergugat dengan forum. yang
digunakan oleh berbagai sistim hukum untuk menentukan adanya pertautan atau
connection antara forum dan Tergugat.
Dalam system common law, Kewenangan Yurisdiksi juga dapat menggunakan cara
pemanggilan yang sah terhadap tergugat yang secara fisik hadir di wilayah pengadilan.
Dalam kasus-kaus HPI di Amerika Serikat digunakan ukuran minimum contact antara forum
dengan tergugat, yang baru ada jika memenuhi criteria umum kewajaran dan keadilan
dalam arti traditional (traditional notion of fair play and substantial justice).
(b)Persoalannya standar umum ini tidak dengan sendirinya dianggap sebagai criteria yang
jelas bagi pengadilan, karena berbagai penafsiran dan upaya pembatasan terhadap
pengertian fair play and substantial justice itu terus berkembang pada setiap perkara
yang dihadapi.
2. Gugatan harus terbit dari dan berkaitan dengan aktivitas pihak tergugat di wilayah
forum (claims have to arise out of and related to the defendants activities in the forum
state);
4. Pertautan antara tergugat dengan Negara forum juga bisa terbentuk atas dasar tindak-
tanduk tergugat yang dengan sengaja diarahkan kenegara forum (purposefully directed
toward the forum state), pemasaran produk di negar tertentu dapat melahirkan yurisdiksi
pengadilan Negara yang bersangkutan.
(c) Meski penggunaan prinsip fair play dan substantial justice nampak sangat baik,
namun kemungkinan penafsiran secara subjectif terhadap prinsip itu dalam pergaulan
international dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Seorang calon penggugat
(plaintiff) tidak memiliki kepastian apaka forum tempat diajukannya gugatan mempunyai
yuridiksi atau tidak untuk memeriksa gugatan itu.
Tradisi hukum Eropa Continental (civil law) khususnya dilingkungan hukum Masyarakat
Eropa (EC), dengan berlakunya Council Regulation on Jurisdiction and the Recognition
andEmforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters telah terjadi keseragaman
yang memberikan kepastian hukum, yang secara umum memberlakukan prinsip forum rei
dengan ukuran domicilie, bukan kewarganegaraan (nationality).