Anda di halaman 1dari 17

Sesi 1

Diskusikan 3 kewajiban negara dalam rangka memberikan perlindungan HAM!

Jawab :

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, merupakan anugerah Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintah, maupun setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.

Secara internasional, HAM termasuk kedalam sistem hukum internasional (dibentuk oleh masyarakat
internasional yang terdiri dari negara-negara). Negara mempunyai peranan penting dalam membentuk
sistem hukum tersebut melalui kebiasaan, perjanjian internasional, atau bentuk lainnya seperti deklarasi
maupun petunjuk teknis. Kemudian negara menyatakan persetujuannya dan terikat pada hukum
internasional. Dalam HAM, yang dilindungi dapat berupa individu, kelompok tertentu, atau harta benda.
Negara atau pejabat negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negara beserta harta
bendanya. Sehingga norma dan standar HAM berasal dan hukum internasional.

Dalam rangka memberikan Perlindungan HAM Negara berkewajiban :

1. Negara berkewajiban menghormati HAM artinya Negara tidak boleh melakukan tindakan atau
mengganggu HAM orang lain, misalnya Hak untuk beribadah secara bebas dan tidak boleh
diganggu
2. Negara berkewajiban memberikan perlindungan HAM artinya Negara wajib untuk memberikan
jaminan perlindungan HAM, yaitu ketika ada pihak lain yang mengganggu HAM, Negara wajib
memberikan perlindungan HAM misalnya Hak untuk bereksperesi
3. Negara berkewajiban memenuhi HAM, artinya Negara harus mengambil langkah – langka agar
setiap warga Negaranya menikmati HAM secara lebih baik dan meningkat dari waktu kewaktu,
misalnya Hak anak atas Pendidikan, Menghormati HAM orang lain dan tertib berkegiatan dalam
bermasyarakat

SUMBER : HKUM4208/ MODUL 1/ OER


Sesi 2

Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya telah beberapa kali telah menolak / tidak mengabulkan judicial
review terhadap ketentuan pidana mati yang terdapat dalam UU Narkotika. Berdasarkan putusan MK
tersebut diskusikan menurut anda bagaimana pandangan Bangsa Indonesia terhadap pidana mati!

Jawab :

Hak untuk hidup sebagai hak paling dasar dilindungi oleh hukum. Maka dari itu perlindungan atas hak
untuk hidup menjadi suatu hal yang sangat penting. Perlindungan atas HAM diberikan sejak manusia lahir
hingga wafat, maka dengan demikian hak untuk hidup adalah awal dari perlindungan HAM. Hak untuk
hidup adalah core human rights yang merupakan esensi dari HAM itu sendiri. Indonesia sebagai negara
yang menjunjung tinggi HAM terikat oleh beberapa instrumen HAM internasional lnstrumen hukum
internasional yang mengatur mengenai HAM terdapat berbagai macam bentuk di antaranya adalah
perjanjian internasional (treaty), deklarasi, dan lain sebagainya.

Di Indonesia masih ada sejumlah UU yang menggunakan hukum mati sebagai sanksi pidana, dan sangat
kontradiktif dengan janji konstitusi dalam melindungi hak seseorang untuk hidup.secara universal hak untuk
hidup itu masuk kedalam kategori hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun, karena hidup itu
sangat mendasar bagi seseorang.

Dalam putusan MK yang telah yang beberapa kali menolak/ tidak mengabulkan Judicial Review terhadap
pidana mati dalam UU Narkotika adalah merupakan pertimbangan MK di antaranya tindak pidana narkotika
sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat, tetapi dalam putusan MK, hukuman mati tetap diperlukan
sebagai bentuk kekuatan terhadap hukuman. Artinya bahwa pidana Mati ini merupakan sanksi yang paling
efektif untuk memberikan efek jera terhadap para terpidana kasus Narkotika. Akan tetapi dengan adanya
HAM, Indonesia masih mempertimbangkannya, dan harus dilindungi dan dijunjung tinggi keberadaanya .

Dalam konteks Indonesia, tidak terdapat keraguan sama sekali untuk menyatakan bahwa kejahatan
narkotika merupakan ancaman nyata terhadap upaya negara untuk mewujudkan cita-cita nasional Maka
dapat dilihat bahawa negara indonesia ternyata sampai saat ini telah melakukan suatu pelanggaran Hak
Asasai manusia yaitu hak Untuk hidup. jika pidana mati ini tidak di hapuskan dalam sistem hukum
Indonesia, hal ini dapat menyebabkan hilanganya penghargaan oleh negara indonesia terhadap nyawa
seseorang sehingga dapat katakan bahwa ketentuan hukuman mati yang berlaku di Indonesia ini tidak
sesuai dengan prinsip dasar yang fundamental dari negara ini, yaitu UUD 1945.

Sebagai gambaran dan pandangan bagi sebagian bangsa yang menolak pidana mati menilai bahwa hak
untuk hidup yang merupakan hak yang paling mendasar dalam diri seorang manusia adalah hak kodrati
yang tidak dapat diganggu gugat, sehingga tidak ada seorang atau manusia pun yang dapat mencabut
serta menentukan waktu matinya seseorang. Tetapi ada juga kalangan bangsa yang mendukung pidana
mati, itu karena adanya perasaan putus asaan kalangan terhadap penegakan hukum yang melihat bahwa
pelaku kejahatan semakin menjadi – jadi atau kejahatan tersebut seringkali terulang.

SUMBER : HKUM4208/ OER


Sesi 3

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan telah merevisi usia minimal pasangan calon pengantin minimal 19 tahun baik untuk
laki-laki maupun perempuan. Undang-Undang Perkawinan sebelumnya (UU No 1 Tahun 1974) menetapkan usia
minimal calon mempelai yaitu 16 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki.

Diskusikan pendapat saudara tentang perubahan ketentuan tersebut dihubungkan dengan hak untuk menikah!
Jawab :
Pada dasarnya setiap pemenuhan hak akin berkorelasi dengan adanya kewajiban pihak lain untuk menghormati atau
memenuhi hak tersebut. Dalam hal yang berkaitan dengan hak alamiah yang sudah melekat pada setiap individu,
menjadi kewajiban dari pihak lain untuk menghormatinya dan tidak melanggarnya. Dalam konteks teori HAM, hak
demikian disebut sebagai hak negatif (negative rights). Dalam hal suatu hak merupakan hak negatif, maka penikmat
hak tersebut mengandaikan absennya campur tangan pihak lain. Hal ini tentunya berbeda dengan hak positif dimana
penikmat hak tersebut mengandaikan uluran tangan pihak lain untuk memenuhinya.

Meskipun hak atas perkawinan merupakan dari hak atas kebebasan pribadi yang dijamin di dalam Hak Asasi
Manusia, namun sejumlah instrumen HAM telah menggariskan adanya batasan minimal usia dalam perkawinan.
Deklarasi tentang Pengapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan menyatakan bahwa deklarasi ini
juga memperhatikan perlindungan terhadap anak perempuan di bawah umur. Pertunangan dan pernikahan anak
akan memiliki pengaruh hukum dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk legislasi, harus diambil untuk
menentukan usia minimum untuk menikah dan membuat pencatatan perkawinan dalam registri resmi wajib. Oleh
karenanya dalam sejumlah instrumen HAM Internasional ketentuan terkait dengan batasan minimal seorang
perempuan yang dapat menikah diatur sebagai suatu ketentuan yang khusus, yaitu:
a) Pasal 6 ayat (3) Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan 1967 Pernikahan anak dan
pertunangan gadis muda sebelum Pubertas harus dilarang dan tindakan yang efektif, termasuk undang-undang,
harus diambil untuk menentukan usia minimum untuk menikah dan membuat catatan perkawinan dalam register
resmi dan wajib.
b) Pasal 16 ayat (2) Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW, 1979) Pertunangan dan
pernikahan anak akan memiliki pengaruh hukum dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk legislasi, harus
diambil untuk menentukan usia minimum untuk menikah dan membuat pencatatan perkawinan dalam register
resmi wajib.
c) Pasal 11 ayat (6) dan Pasal 21 ayat (2) Charter on the rights and welfare of the African Child (1990) Pemerintah
harus berupaya untuk menghentikan praktik-praktik sosial dan budaya yang berbahaya, seperti perkawinan
anak, yang mempengaruhi kesejahteraan dan martabat anak. d) Konvensi Mengenai Persetujuan Perkawinan,
Usia Minimum Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan, 1962 Pasal 16 Konvensi Pengapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan jelas merupakan asas yang menyatakan bahwa pertunangan dan
perkawinan seorang kanak-kanak tidak dapat mempunyai akibat hukum, dan semua tindakan yang diperlukan,
termasuk perundang-undangan, harus diambil untuk menetapkan umur minimum untuk perkawinan, dan wajib
mengisi pendaftaran perkawinan pada kantor pendaftaran resmi. Konvensi Mengenai Persetujuan Perkawinan,
Usia Minimum Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan memerintahkan para negara peserta pada konvensi ini
akan mengambil tindakan legislatif untuk menetapkan umur minimum untuk perkawinan. Tidak satu pun
perkawinan dapat secara sah dilangsungkan oleh siapa pun di bawah umur ini, kecuali seorang penguasa yang
berwenang telah memberikan dispensasi mengenai umur, karena alasan-alasan yang sangat mendesak, demi
kepentingan kedua calon mempelai.

Pada kenyataannya masyarakat sering menyatakan alasan dilakukannya pernikahan dini karena beberapa hal,
misalnya:
1. Menjaga kehormatan diri dan keluarga
2. Karena pergaulan retnaja yang sulit dikendalikan maka langkah yang tepat adalah melalui pernikahan
3. Kekhawatiran teijadinya pelanggaran norma-norma agama dan susila
4. Menghindari hubungan seks pranikah yang dianggap tabu;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Norma dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan Norma
menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Dalam hal ini batas minimal umur
perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas)
tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat
dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita
untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak.
Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk
pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin. Dalam berbagai studi
dinyatakan bahwa dalam perkawinan yang dilakukan oleh suami atau istri yang belum memiliki kematangan fisik dan
psikis mempunyai potensi besar untuk terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga.

Jadi, perubahan batasan usia untuk menikah bukanlah merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM, akan tetapi lebih
merupakan upaya perlindungan terhadap anak yang belum siap untuk menjalani kehidupan perkawinan. Disamping
pembatasan usia juga bertujuan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada suatu
perceraian dan menurunkan juga resiko kematian ibu dan anak

SUMBER : BMP HKUM4208/ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sesi 4
Terdapat pengecualian dalam penerapan asas non retroaktif dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-
Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Diskusikan menurut pendapat anda, apakah
ketentuan ini melanggar HAM
Jawab :
Dalam Instrumen Hukum Nasional Indonesia, justifikasi normatif terhadap pemberlakuan Hukum Secara Surut dalam
perkara pelanggaran HAM berat didasarkan pada Penjelasan atas Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 yang
menyatakan, ”Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal
pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan.” Pasal
penjelasan ini merupakan pengecualian terhadap keberadaan asas nonretroaktif yang sebelumnya dicantumkan
dalam pasal yang dijelaskannya. Akan tetapi sifat mengikat pasal penjelasan ini dipertanyakan apabila dikaitkan
dengan sistem perundangundangan kita, yaitu sejauh mana suatu pasal dapat dikecualikan atau dikesampingkan
oleh ketentuan yang ada dalam bagian penjelasan. Menurut Parthiana penempatan substansi seperti dalam
penjelasan ini sebaiknya diatur dalam ayat dari pasal tersebut atau bila perlu diatur dalam pasal tersendiri.

Kemudian, ketentuan berikutnya yang melegitimasi dikesampingkannya asas nonretroaktif secara implisit terkandung
di dalam Pasal 43 Ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 sebagai dasar pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, yang
berbunyi, “ Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini,
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc ”.

Lebih lanjut di dalam bagian umum penjelasan atas Undang-Undang a quo menyebutkan, “ mengenai pelanggaran
hak asasi manusia yang berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum
internasional dapat digunakan asas retroaktif. ”

Hal ini berarti Undang-undang Pengadilan HAM bersifat retroaktif, sebab mengatur penyelesaian pelanggaran HAM
berat sebelum diundangkannya undang-undang ini. Bahkan daya berlaku surut ketentuan ini tidak secara tegas
memberikan batasan sejak tahun berapa kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat diperiksa.

Secara konstitusional hukum berkekuatan surut sebagaimana yang dianut di dalam UU No. 26 Tahun 2000, pada
dasarnya berpijak pada Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen kedua yang menyatakan: “ Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Jadi, ketentuan tersebut secara implisit merupakan pembatasan terhadap asas nonretroaktif yang tersimpul dalam
Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945. meskipun hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut termasuk hak
yang bersifat non-derogable akan tetapi hak tersebut tidak berdiri sendiri melainkan bersanding pula dengan hak-hak
lainnya yang juga bersifat non-derogable diantaranya yaitu hak untuk hidup.

Sumber : Jurnal Civic Education, Vol. 1 No. 2 Desember 2017


Sesi 5
Apakah doxing (penyebaran data pribadi) melanggar privasi seseorang? Apakah tindakan demikian merupakan
bagian dari pelanggaran HAM?

Bagaimana dialektika hak atas perlindungan privasi Vs hak atas keterbukaan informasi publik di Indonesia?
Jawab Pertanyaan 1
Doxing merupakan proses pengambilan, hacking dan penerbitan informasi orang lain seperti nama, foto, alamat,
nomor telepon dan rincian kartu kredit dan lain - lain. Doxing dapat ditargetkan ke orang atau organisasi tertentu.
Istilah doxing berasal dari kata " doc " , karena dokumen sering diambil dan dibagi. Peretas telah mengembangkan
berbagai cara untuk melakukan doxing, namun salah satu metode yang paling umum adalah dengan menemukan
email korban. Setelah email tersebut diperoleh, peretas bekerja untuk menemukan kata kunci dan membuka akun
korban untuk mendapatkan lebih banyak informasi pribadi.

Menurut Honan; 2004 ( dalam David M Douglas 2016; hal 200 ) istilah ' doxing ' berasal dari ungkapan ' dropping
document’s / menjatuhkan dokumen ' atau ' dropping dox ' pada seseorang yang merupakan bentuk aksi balas
dendam pada tahun 1990an.

Jadi, Doxing sudah tergolong dalam kejahatan digital. Karena dalam melakukannya pelaku tak secara tegas
mengutarakan ujaran ancaman atau kebencian terhadap target yang hendak di Doxing. Tetapi, hal tersebut
merupakan bentuk ancaman terhadap HAM. Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Jawab Pertanyaan 2
Mengenai Keterbukaan informasi dan perlindungan privasi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu
mendorong adanya akuntabilitas dari pemerintah terhadap rakyatnya. Meski dalam beberapa hal terjadi tumpang
tindih dan resiko munculnya konflik, namun kedua hak ini pada dasarnya saling melengkapi. Oleh Karena itu penting
untuk merumuskan dan mengharmonisasikan legislasi baik dari sisi legislasi keterbukaan informasi ataupun untuk
perlindungan data pribadi, khususnya untuk memiliki definisi yang baik mengenai informasi pribadi. Rumusan
informasi pribadi ini penting untuk secara hati – hati dirumuskan agar tidak mengganggu kepentingan keterbukaan
informasi publik atas nama perlindungan privasi.
Maka dari itu, Pemerintah dan DPR untuk segera membentuk UU Perlindungan Data dan Informasi Pribadi dengan
memperhatikan dengan hati – hati lima hal penting yaitu Definisi mengenai informasi pribadi, pengutamaan undang -
undang, pengecualian privasi dalam UU Keterbukaan Informasi, siapa yang dapat meminta akses terhadap informasi
pribadi, dan mekanisme pengawasan serta upaya banding, serta memberikan wewenang tambahan kepada Komisi
Informasi Pusat untuk menjalankan mekanisme pengawasan terhadap perlindungan data dan informasi pribadi.
Wewenang ini diperlukan agar mekansime penyeimbangan hak dapat berlangsung tanpa adanya kemungkinan
konflik antar lembaga jika dibandingkan ada dua lembaga terpisah untuk memeriksa keterbukaan informasi dan
perlindungan privasi.

Sumber : Jurnal RechtsVinding/ Buku Menyeimbang Hak : Tantang Perlindungan Privasi dan Menjamin Akses
Keterpurukan Informasi dan Data di Indonesia
Sesi 6
Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat yang bergantung
pada pendapatan harian maupun pekerja yang rawan di PHK karena menurunnya kegiatan ekonomi. Uraikanlah
bagaimana kewajiban negara untuk memberikan hak atas jaminan sosial dalam kondisi luar biasa seperti sekarang!
Jawab :
Dalam konsep pemenuhan Hak Rakyat Indonesia dari negara Indonesia yang berbentuk Negara Hukum
kesejahteraan. Dimulai dari konsep negara hukum Indonesia dan kemudian diperkuat dengan instrumen-instrumen
hukum yang ada yang menegaskan adanya perlindungan hak kesejahteraan rakyat Indonesia lalu membandingkan
pula dengan instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak kesejahteraan.

Hak atas kesejahteraan, meliputi hak atas pekerjaan yang layak, hak untuk mendirikan serikat pekerja, dan hak atas
jaminan sosial. Terkait dengan pertanyaan diatas, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar. Pembatasan Sosial
Berskala Besar adalah Salah satu strategi pemerintah untuk menekan penyebaran virus. Maka dibuatlah Produk
hukum berupa Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. Peraturan ini sebagai salah satu payung Hukum Pemerintah
Indonesia dalam menerapkan kebijakan menanggulangi Covid-19. Penyebaran wabah Covid-19 telah berdampak
pada berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan di
Indonesia. Pembentukan Peraturan-Peraturannya pun lebih pesat dilakukan melalui bidang-bidang ilmu Hukum,
disertai dengan contoh implementasi dalam praktik kehidupan nyata.

Penyebaran COVID-19 di Indonesia saat ini sudah semakin meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara
yang diiringi dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian. Peningkatan tersebut berdampak pada aspek politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia, sehingga
diperlukan percepatan penanganan COVID-19 dalam bentuk tindakan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam
rangka menekan penyebaran COVID-19 semakin meluas. Tindakan tersebut meliputi pembatasan kegiatan tertentu
penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19 termasuk pembatasan terhadap pergerakan orang
dan/atau, barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Pembatasan tersebut paling sedikit dilakukan melalui peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan
keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Untuk mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 ( COVID-19 ), Dalam Peraturan Menteri
ini, Pasal 1 dan Pasal 2 yang dimaksud dengan:
Pasal 1
1. Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang
diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan
penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9).
2. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Pasal 2
Untuk dapat ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, suatu wilayah provinsi/kabupaten/kota harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat
ke beberapa wilayah; dan
2. Terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

Mengingat selama masa pandemi COVID-19 ini kemungkinan banyak orang yang sudah terinfeksi maupun ada yang
belum terdeteksi, atau sedang dalam masa inkubasi, maka untuk mencegah meluasnya penyebaran di suatu wilayah
melalui kontak perorangan perlu adanya pembatasan kegiatan sosial berskala besar di wilayah tersebut.
Pembatasan kegiatan tertentu yang dimaksud adalah membatasi berkumpulnya orang dalam jumlah yang banyak
pada suatu lokasi tertentu. Kegiatan yang dimaksud seperti sekolah, kerja kantoran dan pabrikan, keagamaan,
pertemuan, pesta perkawinan, rekreasi, hiburan, festival, pertandingan olahraga dan kegiatan berkumpul lainnya
yang menggunakan fasilitas umum atau pribadi.

Dari perspektif Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), pemerintah memang berwenang melakukan pembatasan
terhadap gerak warganya untuk tujuan khusus seperti melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan,
dan menjaga moral publik. Kewenangan tersebut tertuang dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik, yang telah Indonesia ratifikasi pada 2005. Dalam kasus pandemi COVID-19 ini, pembatasan yang dilakukan
pemerintah Indonesia terkait dengan alasan kesehatan, untuk memastikan bahwa virus tidak menulari banyak orang.
Tapi dengan kewenangan tersebut, Hukum HAM juga mewajibkan pemerintah untuk memastikan warganya tetap
mendapatkan fasilitas dan layanan kesehatan selama pembatasan gerak dilakukan. Sejauh ini, masih banyak
perbaikan yang perlu pemerintah lakukan untuk memenuhi kewajibannya selama pandemik, sebagai berikut :
1. Pemerintah berkewajiban memastikan bahwa fasilitas dan layanan kesehatan tersedia (available). Hingga saat
ini, pemerintah belum berhasil melakukan ini secara baik. Berbagai media telah melaporkan mengenai
kelangkaan Alat Pelindung Diri ( APD ), obat-obatan, serta fasilitas medis yang lain.
2. Pemerintah wajib memastikan bahwa seluruh layanan dan fasilitas kesehatan dapat diakses (accessible) oleh
semua orang baik dari sisi biaya, geografis maupun budaya. Masyarakat miskin, misalnya, masih menghadapi
kesulitan mengakses tes COVID-19. Karena COVID-19 adalah pandemi global yang belum ditemukan
vaksinnya hingga saat ini, maka pembiayaan perawatan dan penyembuhan pasien harus ditanggung oleh
negara. Seluruh provinsi telah terdampak wabah, maka layanan kesehatan juga harus menyeluruh dan
menjangkau seluruh wilayah Indonesia, baik yang potensial terdampak maupun yang telah dinyatakan sebagai
zona merah penyebaran virus.
3. Pemerintah wajib memastikan bahwa layanan dan fasilitas kesehatan memenuhi standar (quality) kesehatan.
Dokter, perawat, obat, alat kesehatan, termasuk alat pelindung diri yang berkualitas perlu dijaga. Faktanya,
puluhan dokter meninggal diduga karena terpapar virus. Situasi ini menuntut tindakan lebih dari pemerintah.
4. Pemerintah wajib memastikan bahwa layanan dan fasilitas kesehatan diberikan tepat sasaran dan tidak
memunculkan diskriminasi (equality).

Jadi, dimasa Pandemi sekarang Peran Publik sangat dibutuhkan. Misalnya, Pengawasan serta dalam hal
keterbukaan data. Pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang -Undang No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, terdiri dari 2 yaitu Pengawas Internal dan Pengawas Eksternal. Pengawas internal terdiri dari
Atasan Langsung dan Pengawas Fungsiona, lalu untuk pengawas eksternal terdiri dari masyarakat, Ombudsman
dan DPR. Dengan jelas dalam Undang-undang ini, pada ayat (3) huruf a bahwa pengawas eksternal dalam hal ini
masyarakat, dilakukan berupa laporan atau pengaduan atas penyelenggaraan pelayanan publik. Ini menunjukkan
pentingnya sebuah sarana pengaduan yang dapat menjadi bagian dari kontrol atau pengawasan publik.

Peran pengawas internal dalam situasi ini menjadi penting sebagai fungsi kontrol penyelenggaraan pelayanan
diantaranya: Pertama, memastikan layanan tetap berjalan. Kedua, meminimalisir penyalahgunaan wewenang. dan
Ketiga, memastikan layanan tersebut cepat, tepat dan efektif. Selain oleh pengawas internal, pengawasan secara
eksternal diharapkan dapat berjalan agar dapat memberikan masukan atas proses pelayanan yang dilakukan.

Sumber : HKUM4208, Modul 6/ Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 Tahun 2020 Tentang
Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19)/ https://theconversation.com/yang-luput-dari-psbb-kewajiban-pemerintah-untuk-penuhi-hak-kesehatan-
warga-136747/ / Undang -Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Sesi 7
Salah satu bagian hak politik warga negara adalah hak untuk tidak memilih (golput). Namun demikian ada sebagian
kalangan yang mengkampanyekan tindakan untuk tidak memilih (golput). Diskusikan bersama teman-teman
saudara, apakah tindakan mengkampanyekan golput merupakan tindakan yang konstitusional atau tidak? Apakah
hal tersebut melanggar HAM?
Jawab :
Hak Asasi Manusia merupakan inti dari Undang -Undang Dasar suatu negara modern. Hak Asasi Manusia
dipandang sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara dan
hukum, dalam kerangka perlindungan harkat dan martabat manusia. Jadi, yang dimaksud sebagai hak asasi
manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia. Tetapi karena Hak Asasi Manusia telah
tercantum dalam UUD Tahun 1945 Negara Republik Indonesia, maka secara implisit hak tersebut menjadi hak
konstitusional. Sedangkan hak hukum timbul dari peraturan perundang-undangan yang merupakan subordinasi dari
undang-undang dasar sebagai instrumen pengejawantahan konstitusi, serta yang merupakan jaminan dari negara
terhadap masyarakat dan warga negaranya sesuai dengan apa yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan
tersebut

Hak Asasi Manusia di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Konstitusi dan terdapat dalam peraturan perundang-
undangan, merupakan hak konstitusional sekaligus hak hukum. Dalam hal “ Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan ”
(HTSDP), hak inipun merupakan hak konstitusional di Indonesia. Inti dari kalimat konstitusi bahwa setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, mengisyaratkan adanya perlindungan hak
asasi manusia dari negara terhadap warga negaranya dalam hal penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia

Secara normatif Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan mengatur tentang hak asasi dalam pemilihan umum, tentang
hak atas jabatan dalam pemerintahan serta pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien. Hak dalam
pemilihan umum mencakup hak aktif dan hak pasif, yang menggambarkan non diskriminasi dalam hak untuk memilih
maupun untuk dipilih dalam Pemilu. Sedangkan diluar sistem Pemilu, Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan juga
memuat hak untuk berada dalam tubuh pemerintahan secara langsung atau melalui suatu mekanisme pemilihan
jabatan sehingga menempatkan seorang pejabat sebagai wakil warga negara dalam suatu jabatan tertentu.

Apakah tindakan mengkampanyekan golput merupakan tindakan yang konstitusional atau tidak ?
Istilah Golput tidak dikenal dalam UU Pemilu. Yang ada hanya istilah mempengaruhi atau mengajak orang lain
supaya tidak memilih atau tidak menggunakan hak pilihnya.
Perbuatan yang mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak memilih peserta pemilu ini diatur dalam Pasal
284 Undang -Undang Pemilu yaitu :
Dalam hal terbukti pelaksana dan tim Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya
sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk:
1. Tidak menggunakan hak pilihnya.
2. Menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak
sah.
3. Memilih Pasangan Calon tertentu.
4. Memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu, dan/atau
5. Memilih calon anggota DPD tertentu,
Dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Jadi, UU Pemilu tidak ada pasal yang melarang dengan ancaman pidana untuk bersikap golput. Adapun tindakan
yang dapat diancam pidana dalam UU Pemilu diantaranya :
1. Mengacaukan
2. menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye Pemilu.

Pihak yang menyuruh golput dengan imbalan, melakukan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU,
majikan/ atasan yang tidak memberi kesempatan pekerjanya menyalurkan hak pilihnya saat hari pemungutan suara,
kecuali pekerjaannya itu tidak bisa ditinggalkan.

Apakah hal tersebut melanggar HAM?


UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 23 menyebut “ setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politik “.

UUD 1945 pasal 28 E ayat 3 menyebut bahwa “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat. “

Jadi, mengacu berbagai aturan itu, maka hak untuk memilih bisa dimaknai masyarakat bisa/boleh memilih salah satu
pasangan calon atau tidak memilih semua pasangan calon .”

Sumber : OPEN EDUCATIONAL RESOURCES/ Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum/
Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM/ UUD 1945/
Sesi 8
Diskusikan menurut pandangan saudara

Bagimanakah kehadiran negara (Indonesia) dalam melakukan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak
perempuan!
Jawab :
Hak-hak perempuan yang merupakan Hak Asasi Manusia telah disepakati untuk dijunjung tinggi dan dihormati
harkat dan martabatnya. Hak Asasi Manusia yang menjadi dasar hukum dari UUD 45 dan UU No.39 Tahun 1999
merupakan payung hukum bagi semua Peraturan Perundang-Undangan, terutama bagi pelaksanaan non
diskriminasi. ada tujuh bidang Hak-Hak Perempuan yang dilindungi menurut Undang-Undang HAM, antara lain :
1. Hak-Hak Perempuan di bidang Politik dan Pemerintahan,
2. Hak-Hak Perempuan di bidang Kewarganegaraan,
3. Hak-Hak Perempuan di bidang Pendidikan dan Pengajaran,
4. Hak-Hak Perempuan di bidang Profesi dan Ketenagakerjaan,
5. Hak-Hak Perempuan di bidang Kesehatan,
6. Hak-Hak Perempuan untuk melakukan perbuatan Hukum dan
7. Hak-Hak Perempuan dalam ikatan atau putusnya Perkawinan.

Kehadiran Negara (Indonesia) dalam melakukan Perlindungan dan Pemenuhan terhadap hak-hak perempuan,
sudah banyak melalui Instrumen-Instrumen Hukum Nasional yang Melindungi Hak-Hak Perempuan yaitu sebagai
berikut :
1. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan
5. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
7. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT
8. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI
9. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
10. Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
11. Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
12. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif
13. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
14. Fatwa MUI No. 4 Tahun 2005 tentang Aborsi

Meskipun sudah cukup banyak Peraturan Perundang-Undangan yang berkenaan dengan Hak-Hak Perempuan,
khususnya Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination On All Form Of Discrimination Against
Women) ICEDAW, namun terciptanya masyarakat yang sepenuhnya berkeadilan sosial masih merupakan suatu
impian rakyat Indonesia, terlebih lagi kaum perempuannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi
perempuan di Indonesia menuntut keprihatinan semua pihak, yakni:
1. Adanya persepsi masyarakat terhadap perempuan yang belum menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar.
Surga ada di telapak kaki Ibu dan perempuan adalah orang yang di "empu" kan lebih banyak dijadikan sebagai
slogan yang membuai kaum perempuan merasa ada di atas pedestal yang dibangun laki-laki. Namun dalam
praktik keseharian sulit untuk dioperasionalisasikan dan ini terlihat pada berbagai esei yang dikisahkan
perempuan terutama mereka yang berada dalam strata bawah.
2. Ketentuan hukum yang ada belum secara khusus memberikan perlindungan terhadap Perempuan. Memang ada
ketentuan-ketentuan Hukum umum yang dapat dipergunakan untuk melindungi hak-hak warga masyarakat.
Namun demikian, kaum perempuan yang secara kodrati lebih lemah dari laki-laki secara fisik, bukan hanya tidak
tidak memperoleh hak-hak khusus atau privileges (kecuali beberapa hak yang dikaitkan dengan hukum
perburuhan), bahkan dalam banyak kasus sangat kentara justru adanya diskriminasi terhadap perempuan.
3. Mayoritas perempuan belum mengetahui akan hak-hak mereka. Kalaupun komunitas perempuan tahu, belum
banyak yang menuntut pemenuhan hak-hak tersebut pada negara. Tiada atau langkanya tuntutan semacam ini
dapat disebabkan banyak faktor. Bisa jadi karena ketidakpedulian, karena merasa akan berakibat kesia-siaan
atau karena takut mengalami retaliasi, baik secara Iangsung mapun tidak langsung, baik dari lingkungan yang
terdekat, lingkungan bekerja maupun lingkungan warga di mana mereka tinggal.
Kondisi demikianlah yang menggiring perempuan untuk bersi fat kompromistis terhadap tuntutan yang dirumuskan
oleh masyarakat yang terdiri dari kaum laki-laki.

Seharusnya masalah HAM dan perempuan dipersepsi sebagai masalah yang dihadapi tidak hanya oleh kaum
perempuan belaka, tetapi juga oleh semua masyarakat. Kesadaran mengenai hak-hak perempuan dalam
masyarakat tidaklah dapat tercipta dengan sendirinya tanpa melalui upaya rekayasa sosial (social engineering).
Pada titik tertinggi, bagian yang mewakili rakyat Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang bertanggung
jawab untuk mewujudkan kondisi ini. Adapun pelaksanaannya sangat tergantung pada political will dari pemerintah
dan pada tingkat berikutnya, lembaga yudikatif diharapkan dapat memberikan keadilan bagi banyak pihak termasuk
di dalamnya perempuan. Kondisi ini dapat dicapai apabila personil lembaga ini memiliki pemahaman yang utuh
mengenai hak-hak asasi perempuan.

Sumber : HKUM4208, Modul 8

Anda mungkin juga menyukai