Anda di halaman 1dari 74

MARKAS BESAR ANGKATAN UDARA

SEKOLAH STAF DAN KOMANDO

NASKAH SEKOLAH
TENTANG
HUKUM HUMANITER

BAB I
PENDAHULUAN

1. Tujuan Kurikuler. Memberikan pemahaman kepada Perwira Siswa tentang peran


Hukum Humaniter dalam konflik bersenjata, baik tentang cara dan alat-alat yang dilarang
maupun diperbolehkan selama konflik bersenjata maupun kewajiban untuk melindungi para
pihak yang telibat konflik dan penduduk sipil.

2. Umum. Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya
adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia
dan harus dihindari, karena akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan bagi umat
manusia. Oleh karena itu dengan alasan apapun perang sebisa mungkin harus dihindari.
Namun upaya menghapus perang sama sekali dari muka bumi nampaknya tidak mungkin
karena perang akan selalu terjadi. Karena upaya menghapus perang tidak mungkin
dilakukan, maka umat manusia berupaya mengurangi penderitaan akibat perang dengan
membuat hukum. Hukum yang dimaksud pada waktu dulu dikenal dengan istilah hukum
perang dan sekarang lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. Istilah
hukum humaniter atau lengkapnya disebut Internasional Humanitarian Law Applicable In
Armed Conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian
berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya
pada saat ini biasa dikenal dengan istilah Hukum Humaniter. Hukum Humaniter
Internasional merupakan salah satu cabang dari hukum internasional. Sejarah Hukum
Humaniter Internasional itu sendiri telah ada setua perang dan kehidupan manusia itu
sendiri. Hukum perang dalam bentuknya yang sekarang, walaupun baru, memiliki sejarah
yang panjang. Hukum perang pada awalnya hanya berdasarkan pada kebiasaan (custom)
yang berlaku dalam perang. Kebiasaan (custom) ini sangat dipengaruhi oleh agama, asas
perikemanusiaan dan asas kesatriaan. Baru dalam abad ke-19 ada usaha dari beberapa
negara untuk mengadakan perjanjian yang berisi ketentuan tentang perang. Perang
2

merupakan kejadian yang tidak diinginkan tetapi perang juga tidak dapat dicegah. Oleh
karena itu, diusahakan dalam perang meminimalisir korban dan menciptakan perang yang
manusiawi. Hukum Humaniter Internasional berlaku dalam konflik bersenjata baik itu
konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional yang
menyebabkan terjadinya korban.

3. Maksud dan Tujuan. Untuk memberikan pengetahuan tentang ketentuan-


ketentuan yang berlaku dalam konflik bersenjata, baik konflik bersenjata internasional
maupun non internasional dengan tujuan agar Perwira Siswa mengerti dan mampu
memahami pelaksanaan Hukum Humaniter di Indonesia serta mampu mengaplikasikannya
dalam pelaksanaan tugas TNI dalam rangka pertahanan Negara.

4. Ruang lingkup dan Tata Urut. Naskah ini disusun dengan tata urat sebagai
berikut:

a. Bab I Pendahuluan.
b. Bab II Istilah, dan Pengertian
c. Bab III Sumber Hukum Humaniter
d. Bab IV Hukum Den Haaq
e. Bab V Hukum Jenewa
f. Bab VI Hukum Humaniter Dalam Tugas
g. Bab VII Penutup.

5. Dasar. Penyusunan buku ini menggunakan dasar atau landasan hukum sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
b. Undang-Undang RI Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara
Republik Indonesia Dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agutus 1949.
c. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
d. Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia.

6. Pengertian. Untuk mempermudah dalam mempelajari Hukum Humaniter,


dicantumkan beberapa kata atau istilah yang sering dipergunakan, yaitu:
3

a. Belligerent : para pihak yang bersengketa atau negara yang sedang terlibat
dalam peperangan.

b. Chivalry : kesatriaan.

c. Civilian : penduduk sipil.

d. Civilian persons, civilian objects : orang-orang sipil, objek-objek sipil.

e. Kombatan (combatant) : adalah orang-orang yang berhak untuk ikut serta


secara langsung di dalam pertempuran.

f. Non-kombatan (non-combatant) : secara yuridis artinya adalah anggota


Angkatan Bersenjata dari suatu negara yang tidak ikut dalam medan pertempuran.

g. Klausula SiOmnes (SiOmnes Clause) : adalah klausula yang terdapat


dalam konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 yang menyatakan bahwa
konvensi (Den Haag) akan berlaku jika dan hanya jika para pihak yang terlibat dalam
pertikaian telah menjadi pihak pada konvensi yang bersangkutan. Apabila terdapat
satu pihak yang belum menjadi pihak pada konvensi tersebut, maka konvensi
tersebut tidak dapat diterapkan pada pertikaian itu.

h. General Participation Clause : adalah istilah lain dari Klausula SiOmnes.

i. Hors de combat :adalah kombatan yang tidak mampu (tidak berdaya) untuk
melakukan serangan kepada pihak musuh, baik karena sakit, luka-luka atau
memang telah menyerah. Hors de combat ini harus dilindungi dan dirawat (jika sakit
atau terluka). Kadang-kadang dalam literatur istilah hors de combat ini juga disebut
dengan istilah ‘out of combat’.

j. Hukum Den Haag (the Hague Laws) : adalah seperangat ketentuan yang
mengatur mengenai alat dan cara berperang (means and methods of warfare) yang
sebagian besar dihasilkan dari Konferensi Perdamaian I 1809 dan Konferensi
Perdamaian II 1907, yang berupa Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907
yang dihasilkan di kota Den Haag, Belanda.

k. Hukum Jenewa (the Geneva Laws) : adalah seperangkat ketentuan yang


mengatur mengenai perlindungan para korban perang (protection of war victims)
4

yang sebagian besar terdapat dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta


Protokol-protokol Tambahannya tahun 1977.

l. Ius ad bellum (latin; justice to war) : yakni seperangkat ketentuan yang harus
diterapkan sebelum peperangan dimulai untuk menentukan justifikasi atas
dilakukannya kekerasan bersenjata atau apakah kekerasan bersenjata tersebut
dapat dibenarkan atau tidak.

m. Ius in bello : yakni seperangkat ketentuan yang berlaku ketika telah terjadi
peperangan dan menentukan bagaimanakah alat dan cara berperang serta
perlindungan para korban perang harus dilakukan. Untuk mengetahui ketentuan ini,
dapat dilihat ketentuan-ketentuan pokok Hukum Humaniter yang terdapat dalam
Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

n. Organize Resistance Movement [gerakan perlawanan (bersenjata) yang


terorganisir] : adalah penduduk sipil suatu pihak dalam sengketa yang beroperasi di
dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki, yang karena
dapat mengorganisir diri mereka sendiri sehingga mempunyai pimpinan yang
bertanggung jawab atas bawahannya; mempunyai tanda pengenal khusus yang
tetap, yang dapat dikenal dari jauh serta dalam operasinya mereka membawa
senjata secara terang-terangan serta tunduk pada hukum dan kebiasaan perang.

o. Contoh Organize Resistance Movement : contras, freedom fighters, fedayins,


guerillas, insurgents, khmer rouge / liberation tiger, mau-mau, maquisard,
mujahideen, motariks, muchachos, panjsheries, peshmergars, sandinistas.

p. Objek sipil :adalah semua objek yang bukan objek militer.

q. Objek militer : adalah objek yang karena sifatnya, lokasinya, tujuan atau
penggunaannya dapat memberikan kontribusi pada operasi militer, dan apabila
objek tersebut dihancurkan, dikuasai, atau dinetralisir baik sebagian atau
seluruhnya, maka dapat diperkirakan akan memberikan keuntungan militer yang
pasti/nyata.
5

r. Prinsip pembedaan (distinction principle) : adalah prinsip pokok dalam


Hukum Humaniter yang diterapkan ketika terjadi sengketa bersenjata di mana
penduduk suatu negara harus dapat dibedakan antara golongan kombatan dan
penduduk sipil; demikian pula sekaligus membedakan objek-objek sipil dan sasaran
militer.

s. Levee en masse : adalah penduduk di wilayah yang belum diduduki yang


tatkala musuh datang mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak
mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa
mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata antara mereka
yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan
menghormati hukum dan kebiasaan perang.
6

BAB II
ISTILAH DAN PENGERTIAN

6. Tujuan Instruksional. Agar Perwira Siswa mengetahui dan memahami beberapa


istilah dan pengertian secara umum tentang hukum Humaniter serta mekanisme
perkembangannya. Selanjutnya Perwira Siswa juga diharapkan dapat memahami serta
mengetahui prinsip-prinsip dan tujuan dari hukum humaniter.

7. Umum. Hukum perang atau yang sering disebut dengan Hukum Humaniter
Internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan
peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja
mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun
sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk
mempertahankan diri kemudian membawa keinsyafan bahwa cara berperang yang tidak
mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang
mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur
perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan
bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern
sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan-tulisan mengenai
hukum perang.1Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam
aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari
hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju
untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalamanpahit atas
peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan
kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya
komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan
atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter
internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal. Pada
umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama.
Hukum untuk perlindungan bagi “kelompok orang tertentu” selama sengketa bersenjata,
dapat ditelusuri melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia.
Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anak-anak, perempuan, kombatan
yang meletakkan senjata dan tawanan perang.

1
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia 1980.
7

8. Istilah. Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International


Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict berawal dari istilah hukum perang (law of
war) yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (law of armed
conflict), yang akhirnya saat ini dikenal dengan istilah Hukum Humaniter. Semula istilah
yang digunakan adalah hukum perang tetapi karena istilah perang tidak disukai,
disebabkan trauma Perang Dunia II yang menelan banyak korban, maka dilakukan upaya
untuk menghindarkan dan bahkan meniadakan perang. Sikap untuk menghindari perang
berpengaruh terhadap penggunaan istilah, sehingga istilah hukum perang (law of war)
berubah menjadi hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict). Istilah hukum
sengketa bersenjata sebagai pengganti istilah hukum perang banyak dipakai dalam
konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan kedua Protokol Tambahan 1977. Dalam
perkembangan selanjutnya, pada abad ke-20 dilakukan upaya untuk mengatur cara
berperang, yang konsep-konsepnya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity
principle). Dengan adanya perkembangan baru ini, maka istilah hukum sengketa
bersenjata mengalami perubahan lagi, yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter
Internasional yang Berlaku Dalam Sengketa Bersenjata (International Humanitarian Law
Applicable in Armed Conflict) atau biasa disebut Hukum Humaniter Internasional.
Walapun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu hukum perang, hukum sengketa
bersenjata dan hukum humaniter, namun istilah-istilah tersebut memiliki arti yang sama. 2

9. Kedudukan Hukum Humaniter Dalam Hukum Internasional.

Untuk mengetahui tempat hukum humaniter internasional dalam hukum


internasional, terlebih harus diketahui apa yang menjadi cakupan hukum perang. Hukum
perang mencakup, apa yang dalam perkembangan hukum internasional dikenal sebagai:
(1)jus ad bellum, dan (2)jus in bello.

a. Jus ad bellum.Jus ad bellum berarti “hak untuk menggunakan kekerasan”


atau “hak untuk melakukan perang”.Jus ad bellum adalah hukum yang berkaitan
dengan pengelolaan konflik, hukum yang berkaitan dengan bagaimana negara
melakukan sengketa bersenjata, berdasarkan keadaan-keadaan bagaimana
penggunaan kekuatan militer dibenarkan menurut hukum dan moral. Istilah ini
adalah istilah hukum dan filosofis yang memaparkan segi-segi hukum perang yang
dimaksudkan untuk mencegah sengketa bersenjata, dan bila pencegahan ini gagal,
2
Arliana Permanasari, Aji Wibowo, Fadilah Agus, Pengantar Hukum Humaniter, International Committe of The Red
Cross, Jakarta 1999.
8

untuk mempertegas kapan perang boleh dilakukan. Terkait dengan dalam keadaan
bagaimana dan kapan perang boleh dilakukan, dikembangkan konsep “just war”.
Cicerolah yang pertama kali mencetuskan konsep ini. Ia menyatakan bahwa perang
sama sekali tidak boleh dilakukan oleh suatu negara “kecuali untuk
mempertahankan kehormatan atau keselamatan”. Selanjutnya, ia menetapkan
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk membenarkan perang, yaitu perang
harus diumumkan oleh pemerintah yang sah (proper authority), musuh harus
diberitahu tetang pengumuman perang tersebut, dan musuh harus diberi peluang
merundingkan penyelesaian damai sebelum dimulainya permusuhan.

b. Jus in bello. Jus in bello, menggambarkan segi-segi hukum perang yang


dimaksudkan untuk mengatur dan membatasi para petempur yang terlibat dalam
sengketa bersenjata, konsep ini menentukan caranya melakukan perang. Jus in
bello adalah hukum yang mengatur tindakan Negara-negara begitu sengketa
bersenjata dimulai; pembatasan-pembatasan hukum dan moral apa yang berlaku
atas tindakan perang. Jadi, jus in bello adalah hukum yang mengatur tentang cara
dan alat perang serta perlindungan terhadap korban perang.
Hukum yang mengatur: (a) cara dan alat perang (means and method of war),
dan (b) perlindungan terhadap korban perang (protection of the victim of war) inilah
yang dalam kepustakaan hukum internasional disebut sebagai hukum humaniter
internasional. Jadi, tidak termasuk dalam pengertian hukum humaniter internasional,
dan tentu saja tidak dibahas lebih jauh dalam tulisan ini, jus ad bellum. Yang terakhir
ini, menjadi bidang kajian dalam hukum internasional umum. Ini sejalan dengan
pengertian hukum humaniter internasional, yang dirumuskan sebagai berikut:
“International Humanitarian Law (IHL) is a set of norms applicable in times of armed
conflict designed to protect people who are not, or no longer, participating in
hostilities, as well as to limit the means and methods of warfare.”
Hukum humaniter humaniter yang mengatur tentang cara dan alat perang
lazim disebut Hukum Den Haag (the Hague Rules). Disebut demikian, karena cara
dan alat perang diatur dalam Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907.
Sedangkan hukum yang mengatur perlindungan korban perang disebut Hukum
Jenewa (the Geneva Rules). Disebut Hukum Jenewa, karena perlindungan terhadap
para korban perang diatur dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Berbeda
dengan, Konvensi-konvensi Den Haag yang mengatur tentang cara dan alat perang,
dan Konvensi-konvensi Jenewa 1949 yang mengatur perlindungan korban perang,
9

Protokol I dan II yang ditambahkan pada Konvensi Jenewa 1949, Tahun 1977
(selanjutnya disebut Protokol Tambahan I dan II 1977), mengatur keduanya, cara
dan alat perang, dan perlindungan korban perang.
Berbeda dengan jus ad bellum yang mempersoalkan tentang keabsahan
perang (legality of war),jus in bello, hukum humaniter melepaskan diri dari persoalan
tersebut. Hukum humaniter tidak mempersoalkan mengapa kekerasan bersenjata
digunakan. Bagi hukum humaniter internasional tidak penting apakah ada
pembenaran untuk mengangkat senjata, apakah penggunaan pasukan dimaksudkan
untuk memulihkan hukum dan ketertiban, atau apakah itu merupakan agresi terang-
terangan, juga tidak penting apakah itu dilakukan oleh kelompok perlawanan yang
diserang atau tidak. Bagi hukum humaniter internasional penerapannya adalah
persoalan kenyataan (fact). Dengan demikian, begitu ada sengketa bersenjata,
begitu ada orang yang terluka, atau ada anggota angkatan bersenjata suatu pihak
pesengketa bersenjata yang menyerah kepada pihak pesengketa bersenjata
lainnya, atau orang sipil yang berada dalam kekuasaan mereka, begitu mereka
menahan tawanan atau menguasai wilayah negara musuhnya, maka mereka harus
mematuhi konvensi terkait. Jumlah yang terluka atau jumlah tawanan, luas wilayah
yang diduduki tidak penting, sebab persyaratan perlindungan tidak tergantung pada
pertimbangan kuantitatif.

10. Pengertian. Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang,


karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata.
Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan
membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter lebih dikenal sebagai
Hukum Perang, Hukum Sengketa Bersenjata, atau Hukum Humaniter Internasional (HHI),
bukan merupakan cabang ilmu baru dalam Hukum Internasional, sehingga terdapat
berbagai rumusan atau definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hukum
Humaniter.Adapun pendapat mengenai pengertian Hukum Humaniter lainnya dapat dilihat
sebagaimana antara lain dikemukakan berikut ini:

a. Jean Pictet, yang menulis buku tentang “The Principle of International


Humanitarian Law”. Dalam buku tersebut, Pictet membagi Hukum Humaniter
menjadi dua golongan besar; yaitu :

1) Hukum Perang, yang dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu :


10

a) The Hague Laws, atau hukum yang mengatur tentang alat dan
cara berperang, serta

b) The Geneva Laws, atau hukum yang mengatur tentang


perlindungan para korban perang.

2) Hukum Hak Asasi Manusia

Kemudian Pictet memberikan definisi Hukum Humaniter sebagai berikut:


“International Humanitarian Law, in the wide sense, is constituted by all the
international legal provisions, whether written or customary, ensuring respect for
individual and his well being”.

Pictet menggunakan istilah hukum perang dalam dua pengertian, yaitu hukum
perang dalam yang sebenarnya (the laws of war properly so-called), yaitu hukum
den Haag; dan hukum humaniter dalam pengertian yang sebenarnya (humanitarian
law properly so-called), yaitu hukum Jenewa (Geneva).

b. Geza Herczegh, yang berpendapat bahwa International Humanitarian Law


hanyalah terbatas pada hukum Jenewa saja, dan karenanya Herczegh merumuskan
hukum humaniter sebagai berikut: “Part of the rules of public international law
which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is
beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly
distinguish from these its purpose and spirit being different”.

c. Esbjorn Rosenblad, yang membedakan antara:

1) Hukum sengketa bersenjata, yaitu hukum yang mengatur masalah-


masalah seperti:

a) Permulaan dan berakhirnya pertikaian;


b) Penduduk di wilayah pendudukan;
c) Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.
11

2) Sedangkan hukum perang, memiliki arti yang lebih sempit daripada


hukum sengketa bersenjata, yang mencakup antara lain masalah:

a) Metoda dan sarana berperang;


b) Status kombatan;
c) Perlindungan terhadap yang sakit, tawanan perang dan orang
sipil.

Berbeda dengan Herczegh, maka Rosenblad memasukkan dalam Hukum


Humaniter, kecuali Hukum Jenewa, juga sebagian dari Hukum Den Haag,
yaitu yang berhubungan dengan metoda dan sarana berperang.

Menurut Rosenblad, Hukum Perang inilah yang oleh ICRC disebut dengan
“international humanitarian law applicable in armed conflict”. Dapat
disimpulkan bahwa menurut Rosenblad, Hukum Humaniter identik dengan
Hukum Perang, sedangkan Hukum Perang sendiri merupakan bagian dari
Hukum Sengketa Bersenjata.

d. Mochtar Kusumaatmadja. Dalam suatu kesempatan ceramah pada tanggal


26 Maret 1981, beliau menjelaskan bahwa yang dinamakan Hukum Humaniter
adalah sebagian dari Hukum Perang yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang; berlainan dengan hukum perang yang mengatur
peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan
perang itu, seperti mengenai senjata-senjata yang dilarang. Pada kesempatan lain,
Prof Mochtar juga mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum atau Konvensi
Jenewa identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter;
sedangkan Hukum Perang atau Konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang
cara melakukan peperangan.Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang
menjadi dua bagian, yaitu:

1) Ius ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam


hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;

2) Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi
menjadi:
12

a) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (the conduct


of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.

b) Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi


korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.

Setelah melakukan pembagian tersebut, Mochtar Kusumaatmadja kemudian


mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah “bagian dari hukum yang
mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan
hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang
menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”.

e. GPH. Haryomataram. GPH. Haryomataram membagi Hukum Humaniter


menjadi dua aturan pokok, yaitu:

1) Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai
untuk berperang (Hukum Den Haag /The Hague Laws);

2) Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan


dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa / The Geneva Laws).

f. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan


Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut: “hukum humaniter sebagai
keseluruhan kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis
yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin
penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.” 3

11. Asas-asas Hukum Humaniter.

a. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity). Asas ini mengandung arti


bahwa suatu pihak yang bersengketa (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan
setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer,
namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.

3
GPH. Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, 1994.
13

b. Asas Kemanusiaan (Humanity). Berdasarkan asas ini, maka pihak yang


bersengketa diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana
mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka
yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

c. Asas Ksatriaan (Chivalry). Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu
peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau
bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat
khianat dilarang.

12. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter. Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter
internasional antara lain:

a. Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity). Yang dimaksud dengan


prinsip ini ialah hak pihak yang berperang untuk menentukan kekuatan yang
diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan korban yang sekecil-kecilnya.
Namun demikian, perlu diingat pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki
alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak tak terbatas.

b. Prinsip Kemanusiaan (Humanity). Prinsip ini melarang penggunaan semua


macam atau tingkat kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai
tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah
menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu
mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang
tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang.

c. Prinsip proporsionalitas(Proportionality), yang menyatakan bahwa


kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek sipil harus proporsional
sifatnya.

d. Prinsip pembedaan. Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu


prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara
yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua
golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan
14

adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan
(hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut
serta dalam permusuhan.

Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh
dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek
kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam
sebuah asas pelaksanaan (principles ofapplication), yaitu :

a. Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan antara


kombatan dan penduduk sipil untuk menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-
obyek sipil.
b. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun untuk
membalas serangan (reprisal).

c. Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan terror


terhadap penduduk sipil dilarang.

d. Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan yang


memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk
menekan kerugian atau kerusakan yang tidak sengaja menjadi kecil.

e. Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

f. Rule of Engagement (ROE).

13. Tujuan Hukum Humaniter. Oleh karena itu, setidaknya Hukum Humaniter ini
bertujuan untuk:4

a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari


penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering);

b. Menjamin penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi


mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan pihak musuh

4
Arlina Permanasari et.all, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 11-12.
15

harus diperlakukan sebagai tawanan perang dan mendapat perlindungan hukum


yang semestinya menurut Konvensi Jenewa III 1949;

c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.

d. Membatasi kekuasaan pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata


berkaitan dengan sarana dan cara dalam berperang.

e. Memungkinkan diakhirinya perang dalam waktu yang cepat antara pihak yang
bersengketa dan dipulihkannya perdamaian secepat mungkin.

14. Aliran-aliran yang terkait dengan Hukum Humaniter. Dalam kepustakaan ada
tiga aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional, yaitu: 5

a. Aliran Integrasionis. Aliran integrasionis berpendapat bahwa system


hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua)
kemungkinan, yaitu:

1) Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional,


dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi
manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan
bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap
waktu dan berlaku di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan
genus dan hukum humaniter merupakan species-nya, karena hanya berlaku
untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.

2) Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi


Manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum
humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter
lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis,
hak asasi manusia dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.

b. Aliran Separatis. Aliran separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum
Humaniter Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan,
karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada:
5
Ibid.
16

1) Obyeknya, hukum humaniter internasional mengatur sengketa


bersenjata antara negara dengan kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya hak
asasi manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga
negaranya di dalam negara tersebut.

2) Sifatnya hukum humaniter internasional bersifat mandatory a political


serta peremptory.

3) Saat berlakunya, hukum humaniter internasional berlaku pada saat


perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia
berlaku pada saat damai.

c. Aliran Komplementaris. Aliran Komplementaris yang melihat Hukum Hak


Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap,
berkembang sejajar dan saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini
adalah Cologeropoulus, dimana Ia menentang pendapat aliran separatis yang
dianggapnya menentang kenyataan bahwa kedua sistem hukum tersebut memiliki
tujuan yang sama, yakni perlindungan pribadi orang. Hak asasi manusia melindungi
pribadi orang pada masa damai, sedangkan hukum humaniter memberikan
perlindungan pada masa perang atau sengketa bersenjata. Aliran ini mengakui
adanya perbedaan seperti yang dikemukakan oleh aliran separatis, dan
menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu:

1) Dalam pelaksanaan dan penegakan, Hukum humaniter


menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negara pelindung
(protectingpower). Sebaliknya hukum hak asasi manusia sudah mempunyai
aparat- mekanisme yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di negara-negara
Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia.

2) Dalam hal sifat pencegahan, Hukum humaniter internasional dalam hal


kaitannya dengan pencegahan menggunakan pendekatan preventif dan
korektif, sedangkan hukum hak asasi manusia secara fundamental
menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek
preventif.
17

Soal latihan.

1. Jelaskan pendapat dari Jean Pictet tentang pengertian dari Hukum Humaniter
Internasional!

2. Sebutkan dan jelaskan asas-asas Hukum Humaniter!

3. Jelaskan pengertian dari prinsip kepentingan militer atau Militery necessity!


18

BAB III
SUMBER HUKUM HUMANITER

15. Tujuan Instruksional. Agar para Perwira Siswa mengetahui norma-norma atau
kaidah-kaidah hukum yang digunakan untuk mengatur dan membatasi pertikaian
bersenjata, memperlakukan tawanan perang serta melindungi masyarakat sipil dalam
lingkup masyarakat internasional.

16. Umum. Dalam berbagai kepustakaan hukum internasional, kebiasaan internasioal


dan perjanjian internasional kerap ditunjuk sebagai sumber hukum humaniter atau hukum
perang. Lieutenant Colonel David P. Cavaleri misalnya, menyatakan bahwa hukum perang
berasal dari dua sumber yang berbeda. Hukum ini sebagian didasarkan pada aturan-aturan
umum tidak tertulis yang disebut hukum kebiasaan internasional (customary international
law), sementara secara spesifik hukum humaniter internasional dihubungkan dengan
kumpulan peraturan yang dikodifikasi yang disebut hukum perjanjian internasional
(conventional international law). Yang pertama, hukum kebiasaan internasional, diakui
sebagai peraturan perilaku yang mengikat semua anggota masyarakat bangsa-bangsa,
sedangkan yang belakangan, hukum perjanjian internasional, mencerminkan peraturan-
peraturan terkodifikasi yang mengikat sebagai akibat dari persetujuan yang tegas (express
consent). Mengutip the US Army JAG School, “Many principles of the Law of War fall into
this [customary international law] category,” sementara istilah traktat (juga konvensi,
protocol, annexed regulation) “best captures this concept [conventional international law].”
Tiga hal yang sangat penting menjadi bukti. Pertama hukum perang terdiri atas dua
komponen yang berbeda. Kedua, hukum perang memenuhi bentuknya yang sekarang
berlaku dengan evolusi kebiasaan dan konvensi sebagai perkembangannya selama
bertahun-tahun. Dan ketiga, segi kebiasaan dari hukum perang ini sama pentingnya pada
konstruksi keseluruhan dengan sisi konvensionalnya, karena apabila sebuah prinsip
mencapai kedudukan sebagai hukum kebiasaan internasioanl, hukum ini mengikat semua
Negara, tidak hanya para penandatangan traktat.

Namun, sebagai bagian dari hukum internasional, sumber hukum humaniter


internasional tentu saja tidak hanya kebiasaan dan perjanjian internasional. Sebagaimana
hukum internasional, sumber hukum humaniter internasional harus mengacu kepada Pasal
38 (1) Statuta Mahkamah Internasional.
19

Berdasarkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, maka sumber hukum


internasional termasuk humaniter internasional adalah: perjanjian-perjanjian internasional,
baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum
yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa; kebiasaan-kebiasaan
internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang diakui oleh bangsa-bangsa
yang beradab; asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara
sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum.

Sejarah perkembangan hukum humaniter tersusun atas berbagai lembaga hukum


dan aturan hukum yang berkaitan dengan hukum perang atau sekarang yang lebih dikenal
dengan hukum humaniter.Usaha menafsirkan sejarah perkembangan hukum humaniter
berarti suatu upaya menginterpretasikan lebih lanjut mengenai wawasan kita terhadap
persoalan masa lalu yang mempengaruhi perkembangan hukum perang. Sejarah hukum
perang demikian penting sebagai upaya manusia memahami perkembangan lembaga-
lembaga hukum yang menguasai kehidupan manusia di masa lalu, untuk lebih dapat
memahami hukum yang berlaku sekarang.( Nugroho Notosusanto, hakikat Sejarah serta
asas dan metode sejarah).

Melalui hal ini maka dimungkinkan upaya penelusuran aturan hukum perang
tersebut yang disusun berdasarkan kronologi waktu kehadirannya. Menurut Friedman
dikatakan bahwa perang adalah suatu perkembangan sejarah panjang yang pada tahap
awalnya hanya memiliki kesamaan dalam taraf yang kecil dengan international
humanitarian law. Dari abad pertengahan sampai dengan abad ke 17 diskusi-diskusi
mengenai perang didominasi oleh pertimbangan teleologis sedangkan pengkodifikasian
belum terjadi sebelum abad ke 19. Hukum perang tertua adalah The Summerians yang
dipandang sebagai perang yang dilakukan negara yang diawali dengan pernyataan perang
dan diakhiri dengan perjanjian damai.

Dalam tulisannya yang berjudul De iure belli ac pacis tahun 1625 Hugo Goritus
menyiratkan perilaku dalam berperang. Pada abad ke 18 pendapat Rousseau adalah
sebuah landmark bagi pembangunan hukum humaniter, dinyatakan olehnya bahwa diakui
suatu prinsip bagi tujuan penggunaan kekerasan untuk mengalahkan Negara lawan dan
tindakan-tindakan yang membuat musuh tidak dapat bertahan, pembedaan antara
combatan dan cilivilians diperlukan dan harus diperlakukan secara humanis. Dari sinilah
20

pilar hukum humaniter modern dimulai. Pada abad ke 19 telah ditunjukan bahwa praktek
pada abad 18 akhir telah diterima sebagai sesuatu yang praktis. Sejumlah besar perjanjian
internasional beberapa diantaranya diadopsikan, kodifikasi beberapa dari aturan hukum
kebiasaan dalam berperang. Insiatif tersebut terlihat dari organisasi privat internasional
ICRC (International Commite of the Red Cross), yang telah memainkan peranan sentral
dalam pembangunan dan penerapan hukum humaniter (Wolfrum, United Nations : law,
Policies and Practice,1995:814).
Pada tahun 1861 seorang professor dari Jerman telah mempersiapkan suatu
manual yang berdasarkan hukum internasional yang dikenal dengan Lieber Code.Lieber
Code berisi 10 section (Schindler,1981:3) dimana tiap section mengatur secara khusus
bagian-bagian yang menyangkut perilaku berperang dan perlindungan bagi korban perang.
Isi dari Lieber Codetersebut berturut-turut adalah:

- Section I Martial law-military jurisdiction-military necessity


- Section II Public and private property of the enemy, protection of persons, religion,
art and sciences, punishment of crimes
- section III Deserters- Prisoners of war, hostages, booty on the battlefield.
- Section IV Partisants- armed enemies not belonging to the hostile army
- Section V Safe conduct , spies, war traitors, captured messenger, abuce of the flag
of truce
- Section VI Exchange of prisoners-Flags of truce-flags of protection
- Section VII The Parole
- Section VIII Armistis-Capitulation
- Section IX Assasination
- Section X Inssurrection –civil war- Rebellion.

Lieber code dikenal sebagai the origin of what has come to known as Hague Law.Melalui
beberapa pengaturan yang terbagi kedalam section-section tersebut telah ditunjukan
bahwa Lieber code adalah sebuah pandangan filosofis seperti misalnya sipil tidak
bersenjata harus dihormati. Melalui inspirasi dari Lieber code menurut Schindler
dilakukanlah Brussels Declaration dengan inisiatif yang berasal dari Rusia.Deklarasi itu
sendiri memiliki banyak kesamaan degan The Oxford manual 1880, walaupun keduanya
bukanlah suatu ketentuan yang mengikat namun demikian banyak ketentuan dalam hukum
perang yang mengacu kepada keduanya.6

6
Agmnp, http://www.bahankuliyah.com/2014/05/hukum-humaniter-internasional.html.2015
21

17. Sumber Hukum Humaniter. Sepanjang sejarah peradaban manusia, perang


kerap kali menghiasai dan selalu memiliki tempat di dalam kehidupan manusia. Perang
seakan tidak mampu dihindari oleh manusia dan menjadi dinamika yang sejak ribuan tahun
lalu sudah ada hingga saat ini. Oleh karena itu, perang seakan tidak mampu dihindari oleh
manusia. Untuk mengurangi atau membatasi perang agar perang tidak selalu terjadi,
manusia kemudian membuat suatu aturan atau ketentuan perang agar dapat mengatur
pembatasan perang antar bangsa-bangsa. Aturan atau ketentuan tersebut kemudian saat
ini dikenal dengan Hukum Humaniter Internasional. Untuk mengetahui sumber-sumber
hukum internasional, kita dapat mengacu pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional (International Court of Justice)yang menyebutkan mengenai sumber-sumber
hukum internasional terdiri dari:

a. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang


membentuk aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat internasional;
b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum yang
diterima sebagai hukum;
c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab;
d. Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat
kompeten dari berbagai bangsa, sebagai sumber hukum tambahan untuk
menentukan supremasi hukum.

Selama ini hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.
Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan hukum Den
Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut
merupakan sumber Hukum Humaniter yang utama, selain itu masih terdapat konvensi-
konvensi lain dijadikan sumber hukum humaniter.

a. Kebiasaan Internasional. Kebiasaan internasional difahami sebagai


peraturan hukum “tidak tertulis” yang mengikat semua masyarakat bangsa (the
community of nations). Hukum kebiasaan didefinisikan sebagai hukum yang timbul
dari praktik umum dan ajeg yang berasal dari suatu perasaan mengenai kewajiban
hukum (a sense of legal obligation).
Ada kemungkinan bagi suatu Negara untuk tidak terikat pada kaidah
kebiasaan hukum internasional jika Negara tersebut terus-menerus berkeberatan
22

atas norma tersebut seperti terus-menerus menyatakan bahwa Negara tersebut


tidak terikat oleh hukum kebiasaan internasional tersebut.
Banyak prinsip hukum perang masuk dalam kategori hukum initernasional ini.
Hukum kebiasaan internasional juga dapat menjelaskan latar belakang untuk
memahami kodifikasi hukum perang menjadi traktat. Namun, sekalipun banyak
hukum perang yang sekarang sudah dikodifikasi, kebiasaan kebiasaan internasional
mengenai perang tetap relevan.
Hukum kebiasaan internasional menurut satu sumber didedefinisikan sebagai
seperangkat hukum “praktik umum dan ajeg general Negara-negara yang diikuti
mereka sebagai kewajiban hukum. Sumber lain menyatakakan bahwa hukum
kebiasaan internasional dibentuk oleh negara-negara yang mengikuti suatu “praktik
umum dan ajeg, yang didorong oleh keyakinan bahwa hukum internasional
membutuhkan perilaku tersebut.
Sumber yang sama mengemukakan dua ukuran yang harus dipenuhi untuk
timbulnya hukum kebiasaan, yaitu harus ada perbuatan atau praktik nyata, dan
Negara-negara harus yakin mereka melakukan perbuatan itu berdasarkan kewajiban
internasional. Yang terpenting harus diingat bahwa hukum merupakan seperangkat
hukum kebiasaan internasional terutama terdiri atas kaidah-kaidah kebudayaan tak
tertulis (unwritten cultural norms) dan praktik-praktik yang diakui secara umum
(generally recognized practices), bahwa dua unsur penguji (“perbuatan” dan
“keyakinan” (the “act” and the “belief”) menentukan hukum kebiasaan internasional,
dan bahwa suatu Negara tidak dapat mengingkari kewajibannya untuk menjunjung
tinggi hukum kebiasaan internasional.
Untuk waktu yang lama, lingkup dan isi aturan kebiasaan perang ini,
sebagaimana dengan hukum kebiasaan internasional pada umumnya, agak sulit
difahami dan tidak pasti. Cara yang paling baik untuk mengatasi hal ini adalah
dengan mengundangkan perjanjian internasional jamak pihak di bidang ini dan ini
telah dimulai sejak tahun 1864. Akibatnya, sekarang banyak ketentuan-ketentuan
hukum humaniter yang telah diserap atau dimasukkan ke dalam hukum perjanjian
internasional.
Selain itu, perlu diketahui bahwa Negara-negara terikat pada ketentuan-
ketentuan hukum perjanjian internasional, jika ketentuan-ketentuan tersebut
dipandang oleh masyarakat internasional sebagai sudah menjadi hukum kebiasaan
internasional. Di antara ketentuan-ketentuan hukum perjanjian internasional yang
dianggap sudah menjadi bagian dari hukum perjanjian internasional adalah
23

ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949, dan


Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1977.

b. Perjanjian Internasional. Menurut Oppenheim, perjanjian internasional


adalah persetujuan yang bersifat kontrak di antara negara-negara atau organisasi
negara-negara yang menimbulkan hak dan kewajiban hukum di antara para pihak.
Rumusan yang agak berbeda dikemukan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu:
perjanjian yang diadakan antara masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
menimbulkan akibat hukum tertentu. Jadi, perjanjian internasional merupakan
perjanjian yang diadakan oleh negara dengan negara atau negara dengan
organisasi internasional dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum terentu.

Sebagaimana diuraikan di atas, lingkup dan isi aturan kebiasaan perang ini,
sebagaimana dengan hukum kebiasaan internasional pada umumnya, agak sulit
difahami dan tidak pasti. Cara yang paling efektif menghapuskan ketidakpastian ini
adalah melalui pembuatan traktat (treaty-making), yakni, dengan merundingkan versi
peraturan yang disepakati, dengan mewujudkan peraturan ini dalam instrument-
instrumen yang mengikat dan diterima secara internasional. Peraturan ini secara
umum disebut traktat, beberapa di antaranya menyandang nama lain: seperti
konvensi, deklarasi atau protocol. Sementara traktat dapat dibuat dan
ditandatangani di antara dua Negara (bilateral treaties), yang menjadi perhatian kita
di sini adalah traktat yang ditandatangani di antara banyak Negara (multilateral
treaties).
Dapat ditunjuk sebagai awal perkembangan hukum perang melalui
pembuatan traktat, sehingga dapat dipandang sebagai hukum perjanjian
internasional (treaty law) adalah konferensi internasional 1860 yang merancang satu
sisi khusus dari hukum perang. Hasilnya, penyelenggaraan konferensi pertama, di
Jenewa 1864 tentang nasib para perajurit yang terluka di medan perang; lainnya, di
St. Petersburg 1868 tentang penggunaan peluru senapan yang meledak. Permulaan
yang paling sederhana ini memiliki akar dari dua aliran yang berbeda, masing-
masing ditandai dengan sudut pandangnya sendiri. Yang pertama, dikenal sebagai
hukum Den Haag (the law of The Hague), terkait dengan perilaku perang dan alat-
alat dan cara perang yang diperbolehkan. Yang kedua, disebut hukum Jenewa (the
law of Geneva), lebih terkait dengan kondisi korban perang di tangan musuh (seperti
tawanan perang, atau interniran sipil).
24

Sejak saat ini banyak sekali instrument-instrumen hukum humaniter yang


dihasilkan melalui konferfensi internasional untuk mengundangkan perjanjian
internasional jamak pihak (multilateral convention) di bidang hukum humaniter
internasional. Di sini disebutkan beberapa di antaranya

1) Konvensi Jenewa 1949, yang terdiri atas empat konvensi, yaitu:

a. Convention (I) for the Amelioration of the Condition of the


Wounded and Sick in Armed Forces in the Field. Geneva, 12 August
1949.
b. Convention (II) for the Amelioration of the Condition of
Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea.
Geneva, 12 August 1949.
c. Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War.
Geneva, 12 August 1949.
d. Convention (IV) relative to the Protection of Civilian Persons in
Time of War. Geneva, 12 August 1949.

2) Protokol Tambahan pada Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, Tahun


1977 terdiri atas:
a. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August
1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed
Conflicts (Protocol I), 8 June 1977.
b. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August
1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International
Armed Conflicts (Protocol II), 8 June 1977.

3) Instrumen internasional yang berkaitan dengan alat-alat perang:

a. The 1899 Hague Declaration concerning Expanding Bullets

b. Convention On Prohibitions Or Restrictions On The Use


Ofcertain Conventional Weapons Which May Be Deemed To Be
Excessively Injurious Or To Have Indiscriminate Effects As Amended
On 21 December 2001
25

c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab.


Menurut Baron Descamp (Belgia) asas hukum umum adalah “aturan hukum
internasional yang diakui oleh kesadaran hukum bangsa-bangsa beradab”. Root dan
Phillimore mengaitkan asas ini dengan pengertian peraturan yang diterima dalam
hukum negara semua negara beradab. Contoh asas-asas hukum nasional tersebut
meliputi asas kepatutan (equity), estopel, pacta sunt servanda, memperkaya diri
secara tidak pantas (unjust enrichment), dan penggunaan pembuktian tak langsung
(the use of circumstantial evidence.).William merumuskan asas umum hukum
sebagai “asas-asas umum mengenai keadilan, hukum alam, analogi dengan hukum
perdata, asas-asas perbandingan hukum atau konsepsi-konsepsi umum hukum
internasional.

Demikian pentingnya asas-asas hukum ini, sehingga asas-asas ini kemudian


banyak diserap kedalam berbagai instrumen hukum humaniter internasional.
Pengakuan akan pentingnya asas hukum dapat kita jumpai dalam penegasan
pembukaan Konvensi Den Haag IV (1907), yang berbunyi: We look to a number of
sources to ascertain principles of international law, including international
conventions, international customs, treatises, and judicial decisions rendered in this
and other countries.

Banyak prinsip atau asas hukum perang sekarang dituangkan dalam traktat
dan hukum kebiasaan iternasional. Arti penting dari hal ini adalah apabila prinsip
hukum telah memiliki status hukum kebiasaan internasional, maka prinsip ini
mengikat bagi semua Negara, tidak hanya bagi para penandatangan traktat

d. Keputusan-keputusan Mahkamah. Putusan pengadilan, bersama-sama


dengan pendapat para sarjana terkemuka merupakan sumber pelengkap dari hukum
internasional. Sebagai sumber pelengkap keputusan pengadilan dan juga pendapat
para sarjana dapat dikemukakan sebagai bukti adanya suatu kaidah hukum
internasional yang berlaku mengenai sesuatu hal tertentu. Putusan pengadilan
sebagai sumber hukum internasional tidak hanya menunjuk kepada putusan
Mahkamah Internasional tetapi juga pada putusan-putusan badan peradilan lainnya,
seperti pengadilan nasional, pengadilan regional bahkan juga putusan badan-badan
arbitrasi.
26

Berbeda dengan Negara-negara Anglo Saxon yang menganut prinsip


precedent yaitu pengadilan terikat untuk untuk memutus perkara dalam kasus yang
sama mengikuti pengadilan-pengadilan tingkat yang lebih tinggi, Mahkamah
internasional tidak menganut prinsip tersebut. Walaupun keputusan pengadilan ini
tidak diikuti dalam putusan-putusan berikutnya tetapi putusan pengadilan ini
mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hukum internasional. Keputusan-
keputusan pengadilan tersebut akan memperkaya dan mempekuat hukum
internasional karena mengandung makna pengakuan dan penerimaan hukum
internasional yang telah ada. Banyak kasus yang membuktikan bahwa lewat
putusan Mahkamah Internasional mempengaruhi atau mengubah ketentuan hukum
internasional lama.

e. Ajaran Para Ahli Hukum. Seperti halnya dengan putusan pengadilan,


ajaran para sarjana terkemuka di negaranya masing-masing, atau la doctrin menurut
istilah yang berlaku di Perancis juga tidak mempunyai kekuatan mengikat. Sekalipun
demikian ajaran atau pendapat para sarjana ini sangat besar artinya bagi
perkembangan hukum internasional. Para pakar ini menyebarkan pemikiran-
pemikiran baru dan pendapat yang lebih baik guna memperkaya hukum
internasional.
Ajaran-ajaran para pakar ini digunakan secara luas. Pendapat-pendapat para
ahli hukum di Inggris misalnya, memuat rujukan kepada pendapat Vattel, Calvo, dan
Hall. Pendapat para ahli tesebut juga dijadikan sebagai bahan rujukan dalam
berbagai kasus yang diajukan di pengadilan yang berkaitan dengan persoalan
hukum internasional.
Sama dengan pendapat para ahli tersebut adalah rancangan artikel-artikel
yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional, Rancangan Penelitian Harvard
(Harvard Research Draft), dasar-dasar pembahasan Konferensi Kodifikasi Den Haag
1930 dan Resolusi Lembaga-lembaga Hukum Internasional dan himpunan para ahli
lainnya.

18. Sumber Hukum Lainnya. Selain sumber hukum humaniter internasional pokok,
yang berupa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, terdapat sumber hukum humaniter
yang lainnya sebagai berikut:
27

a. Deklarasi Paris (16 April 1865). Deklarasi Paris 1865 mengatur tentang
Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan pengalaman Perang Krim tahun 1864,
di mana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-
prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk mencegah terulangnya kejadian
tersebut maka Deklarasi Paris memuat beberapa asas, yatu:

1) Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus


2) bendera netral melindungi barang-barang musuh, kecuali kontraband
perang;
3) barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita,
kecuali kontraband perang;
4) supaya mengikat, blokade harus efektif. Artinya dilakukan oleh suatu
kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar mencegah mendekatnya kapal
ke pantai musuh.

b. Deklarasi St. Petersburg (29 November-11 Desember 1868). Deklarasi


St. Petersburg diprakarsai oleh Tsar Alexander II dari Russia karena
diketemukannya sejenis peluru yang jika permukaannya mengenai benda yang
keras tutupnya dapat meledak. Tujuan Deklarasi St. Petersburg adalah untuk
melarang penggunaan peluru-peluru semacam itu.

c. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara (1923).


Ketentuan khusus mengenai perang di udara dirancang pada bulan Desember 1922
sampai bulan Februari 1923 oleh komisi para ahli hukum di Den Haag, sebagai
realisasi Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok komisi ini sebenarnya hanya
mengatur penggunaan radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini
dipergunakan sebagai pedoman dalam pertempuran di udara. Substansinya
mengatur penggunan pesawat udara di dalam pertempuran dengan segala
peralatan yang dimiliki.

d. Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan Gas


Cekik dan Macam-Macam Gas Lain dalam Peperangan. Larangan penggunaan
gas-gas tersebut mencakup larangan penggunaan gas air mata dalam perang dan
pemakaian herbasida untuk ketentuan perang. Protokol ini dirumuskan dan
28

ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional


senjata dan amunisi.

e. Protokol London (6 November 1936) tentang Peraturan Penggunaan


Kapal Selam dalam Pertempuran. Protokol ini merupakan penegasan dari
Deklarasi tentang hukum perang di laut yang dibentuk di London tanggal 26 Februari
1989 dan belum pernah diratifikasi.

f. Konvensi Den Haaq 1954 tentang Perlindungan Benda-Benda Budaya


pada waktu pertikaian Bersenjata. Indonesia sangat kaya dengan benda-benda
budaya, baik yang bergerak (movable property) maupun yang tidak bergerak
(immovable property). Ini sudah tidak disangsikan lagi. Oleh karena itu, pada tanggal
24 Desember 1954 Pemerintah Indonesia telah melakukan penandatanganan
(signing) terhadap Konvensi Den Haag 1954 yang dihasilkan pada tanggal 14 Mei
1954. Ini artinya Pemerintah Indonesia setuju terhadap isi Konvensi Den Haag 1954
sebagai suatu perjanjian internasional yang memang penting bagi umat manusia
dalam hal perlindungan benda budaya; sekaligus Pemerintah Indonesia berjanji juga
untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan maksud dan
tujuan (means and purpose) dari Konvensi Den Haag 1954. Oleh karena itu
kemudian Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Den Haag 1954 dengan
Keppres No. 234 Tahun 1966 dan dokumen ratifikasi itu diterima pada tanggal 10
Januari 1967 di depository (pihak penyimpan) Konvensi Den Haag 1954 (yakni
Sekretariat PBB atas permintaan Direktur Jendral PBB; lihat Pasal 40 Regulasi)

Soal latihan.

1. Sebutkan sumber hukum utama Hukum Humaniter!

2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kebiasaan internasional sehingga hal tersebut
dijadikan sebagai salah satu sumber hukum didalam Hukum Humaniter!

3. Sebutkan salah satu sumber hukum diluar sumber hukum utama Hukum Humaniter!
29

BAB IV

KONVENSI DEN HAAQ

19. Tujuan Instruksional. Agar para Perwira Siswa mengetahui tentang kaidah hukum
Humaniter yang mengatur tentang cara dan alat-alat yang dilarang atau diperbolehkan
selama terjadi pertikaian bersenjata.

20. Umum. Hukum Humaniter Internasional (Hukum Perang atau Hukum Konflik
Bersenjata) adalah seperangkat aturan yang, di masa perang, melindungi orang yang tidak,
atau tidak lagi, ikut serta dalam pertikaian dan membatasi pemilihan sarana dan cara
berperang. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk melindungi martabat manusia
dan membatasi penderitaan di masa perang. Selama ini hukum humaniter terdiri dari
Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan
alat berperang, sedangkan hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban
perang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang
utama, selain konvensi-konvensi lain yang telah disebutkan terdahulu.

Hukum Den Haag menentukan hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang
bersengketa tentang cara melakukan operasi-operasi militer serta membatasi cara-cara
yang dapat menyebabkan kerusakan di pihak musuh. Peraturan-peraturan ini terdapat
dalam Konvensi-konvensi Den Haag 1899, yang semuanya revisi dari tahun 1907, dan
sejak 1977, dalam Protokol-protokol tambahan pada Konvensi-konvensi Jenewa, demikian
pula dalam berbagai perjanjian yang melarang atau mengatur penggunaan senjata .Hukum
Den Haag sendiri lebih memfokuskan diri kepada peraturan mengenai alat dan cara
berperang serta menekankan bagaimana cara melakukan operasi-operasi militer. Oleh
karena itu hukum Den Haag sangat penting bagi komandan militer baik yang bertugas di
darat, di laut maupun di udara.

21. Hukum Den Haag. Jika ditinjau dari asal usul Hukum Humaniter Internasional,
untuk mengetahuinya, harus diketahui dahulu sumber hukum itu berasal. Ada dua sumber
utama hukum ini, Hague Convention dan Geneva Convention. Sumber yang pertama
adalah berasal dari Konvensi Den Haag, dinamakan Den Haag sendiri karena dibuat di
wilayah ini (salah satu wilayah di Belanda). Konvensi Den Haag terjadi sebanyak dua kali.
Dimana yang konvensi yang pertama pada tahun 1899 dan yang kedua pada tahun 1907.
30

Sebenarnya isi dari kedua konvensi ini sama yakni mengatur tata cara dan alat yang
diperbolehkan dalam perang yang dilakukan oleh negara-negara yang melakukannya.
Hanya saja isi dari konvensi kedua merupakan penyempurnaan dari konvensi pertama.
Dalam Konvensi Den Haag pertama 1899 dihasilkan tiga konvensi dan deklarasi.
Sedangkan pada tahun 1907 menghasilkan tiga belas konvensi yang beberapa diantaranya
tidak digunakan. Akan tetapi sebagian lainnya digunakan hingga sekarang, yang paling
terkenal dalam konvensi ini adalah konvensi keempat yang menyangkut tentang “Hukum
dan Kebiasaan Perang di Darat”.7

a. Konvensi Den Haaq 1899. Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899


merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag (18 Mei - 29 Juli 1899).
Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari Russia yang berusaha
mengulangi usaha pendahulunya Tsar Alexander I yang menemui kegagalan dalam
mewujudkan suatu Konferensi Internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide
fundamental untuk menghidupkan lagi Konferensi Internasional yang gagal itu
adalah Rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holy Alliance) tanggal 26 September
1815 antara Austria, Prussia dan Russia. Seperti diketahui bahwa Quadruple
Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prussia dan Inggris tanggal 20 November
1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina september 1814 untuk mengevaluasi
kembali keadaan di Eropa setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo pada
tanggal 18 Juni 1815. Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka pada
tahun 1898 menteri Luar Negeri Russia Count Mouravieff mengedarkan surat
kepada semua kepala Perwakilan Negara-negara yang diakreditir di St. Petersburg
berupa ajakan Tsar untuk berusaha mempertahankan perdamaian Dunia dan
mengurangi persenjataan. Konvensi Den Haag 1899 terdiri dari empat bagian
utama dan tiga deklarasi tambahan (karena alasan tertentu, bagian utama yang
terakhir identik dengan deklarasi tambahan yang pertama dan kedua haruslah
diperhatikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat pertama. Adapun empat
konvensi yang dihasilkan adalah:8

1) Konvensi I, Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional (''Pacific


Settlement of International Disputes'');
2) Konvensi II, Hukum dan Kebiasaan Perang Darat (''Laws and Customs
of War on Land'');
7
Kusumaatmadja Mochtar, 1980, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia.
8
Haryomataram, 1994, Hukum Humaniter, CV Radjawali Jakarta, 1994
31

3) Konvensi III, Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1864


terhadap Peperangan Laut (''Adaptation to Maritime Warfare of Principles of
Geneva Convention of 1864'');
4) Konvensi IV, Larangan Peluncuran Proyektil dan Bahan Peledak dari
Balon (''Prohibiting Launching of Projectiles and Explosives from Balloons'');

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

1) Deklarasi I, Mengenai Peluncuran Proyektil dan Bahan Peledak dari


Balon (''On the Launching of Projectiles and Explosives from Balloons'');
2) Deklarasi II, Mengenai Penggunaan Proyektil yang Tujuannya Ialah
Menyebarkan Gas Pencekik atau Gas Perusak (''On the Use of Projectiles the
Object of Which is the Diffusion of Asphyxiating or Deleterious Gases'');
3) Deklarasi III, Mengenai Penggunaan Peluru yang Mengembang atau
Merata dengan Mudah dalam Tubuh Manusia (''On the Use of Bullets Which
Expand or Flatten Easily in the Human Body'');

Efek utama dari Konvensi tersebut ialah dilarangnya penggunaan teknologi


modern jenis-jenis tertentu dalam perang: pengeboman dari udara, perang kimia
(''chemical warfare''), dan peluru dengan ujung berongga (''hollow point bullets'').
Konvensi Den Haag 1899 juga menetapkan dibentuknya Pengadilan Arbitrase
Permanen (''Permanent Court of Arbitration'').

1) Konvensi II (Den Haaq 1899). Dari keempat konvensi, tidak seluruh


konvensi akan diuraikan namun hanya konvensi kedua, yaitu Konvensi
tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di darat beserta lampirannya.
Konvensi II (Den Haaq 1899) yang terdiri dari 60 Pasal ini berlaku mulai 4
September 1900.Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan untuk menjaga
perdamaian dan mencegah konflik bersenjata, namun tidak semua jalan
pencegahan konflik bersenjata dapat dihentikan, maka perlu adanya
peninjauan kembali terhadap hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan umum
dalam perang, baik dengan memberikan pengertian, atau meletakkan
beberapa batasan tertentu dalam rangka untuk sejauh mungkin mengurangi
kerusakan.
32

2) Lampiran Konvensi II (Den Haaq 1899).Lampiran pada Konvensi ini


mengenai peraturan menghormati hukum dan kebiasaan perang di darat,
terdiri dari 4 (empat) bagian.

a) Bagian I tentang pihak-pihak yang bersengketa terdapat 3 (tiga)


Bab.

(1) Bab I membahas mengenai kualifikasi dari pihak-pihak


yang bersengketa(Belligerents). Dalam Pasal 1 menerangkan
bahwa Hukum mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
berperang tidak hanya diterapkan kepada tentara, tetapi juga
kepada milisi dan kelompok sukarelawan yang memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

(a) Dipimpin oleh seorang komandan yang


bertanggung jawab atas anak buahnya;
(b) Mempunyai suatu lambang pembeda khusus yang
dapat dikenali dari jarak jauh;
(c) Membawa senjata secara terbuka; dan
(d) Melakukan operasinya sesuai dengan peraturan-
peraturan dan kebiasaan-kebiasaan perang.

Sementara negara-negara di mana milisi atau kelompok


sukarelawan merupakan atau menjadi bagian dari tentara, maka
mereka termasuk dalam pengertian "Angkatan Darat".

Dalam Pasal 2 menerangkan penduduk yang wilayahnya belum


dikuasai musuh kemudian mengangkat senjata secara terbuka
meski tidak terorganisir harus dianggap sebagai belligerents.

Dalam Pasal 3 menerangkan angkatan bersenjata dapat terdiri


dari kombatan dan non-kombatan jika tertangkap oleh musuh
maka keduanya mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai
tawanan perang.
33

(2) Bab II membahasTawanan Perang.Pada Bab II ini


terdapat 17 (tujuh belas) Pasal mengenai hak dan kewajiban
dari tawanan perang dan bagaimana pemerintah musuh
memperlakukan hal yang pantas pada tawanannya.

(3) Bab III mengenai orang yang sakit dan luka-luka. Di


dalam Pasal 21 dikatakan kewajiban para pihak yang berperang
(Belligerents)berkaitan dengan orang yang sakit dan luka-luka
diatur oleh Konvensi Jenewa.

b) Bagian II tentang Permusuhan terdapat 5 (lima) Bab.

(1) Bab I mengatur mengenai alat-alat melukai musuh,


pengepungan dan pengeboman.Di Pasal 22 terdapat ketentuan
pokok yang menyatakan bahwa hak para pihak yang berperang
untuk menggunakan alat-alat untuk melukai musuh adalah tidak
tak berbatas. Pasal 23 juga memuat larangan-larangan seperti:

(a) Larangan penggunaan racun atau senjata


beracun, tindakan licik;
(b) Larangan membunuh atau melukai musuh yang
terluka dan telah meletakkan senjatanya, atau tidak
memiliki senjata lagi untuk bertahan;
(c) Larangan untuk membunuh atau melukai mereka
yang telah menyerah;
(d) Larangan menyatakan tidak ada pertolongan yang
akan diberikan;
(e) Larangan penggunaan senjata, proyektil atau
material yang dapat menyebabkan penderitaan yang
tidak perlu;
(f) Larangan menggunakan bendera perdamaian,
bendera nasional, tanda-tanda militer, seragam musuh
atau tanda pembedaan dalam Konvensi Jenewa yang
tidak pada tempatnya. Juga larangan penjarahan, mata-
mata dan penyalahgunaan bendera perdamaian.
34

Perturan-peraturan dasar diatas telah terbentuk menjadi


kebiasaan yang diterima oleh negara-negara sebagai hukum
kebiasaan internasional.Sementara tipu daya perang dan
penggunaan cara-cara yang diperlukan untuk memperoleh
informasi mengenai musuh dan negaranya diperbolehkan
(Pasal 24).

Sedangkan mengenai ketentuan bagaimana


carapenyerangandan pemboman diatur secara tegas dalam
Pasal 25 sampai dengan Pasal 27. Di Pasal 28 segala bentuk
penjarahan terhadap sebuah kota atau tempat dilarang,
walaupun diperoleh dengan cara penyerangan.

(2) Bab II tentang Mata-mata, dalam bagian ini dijelaskan


tentang kualifikasi mereka yang tergolong sebagai mata-mata
dan mereka yang bukan mata-mata (Pasal 29). Juga terdapat
ketentuan bila tertangkapnya seorang mata-mata ketika ia
melakukan tugasnya tidak dapat dihukum tanpa melalui proses
pengadilannya sebelumnya (Pasal 30). Dari isi Pasal 30
tersebut dapat kita lihat bahwa perlakuan terhadap musuh yang
melakukan mata-mata jika tertangkap tidak boleh diperlakukan
secara sembarangan.

(3) Bab III tentang Bendera Gencatan Senjata, di Bab ini


menjelaskan seseorang dianggap sebagai pembawa bendera
gencatan senjata, yang diberi kewenangan oleh salah satu
Belligerentsuntuk berkomunikasi dengan pihak Belligerents
lainnya dengan membawa bendera putih.la berhak untuk tidak
diganggu-gugat, demikian pula peniup terompet, penabuh drum,
pembawa bendera penerjemah yang mungkin menyertainya
(Pasal 32).Pembawa bendera gencatan senjata kehilangan hak
tidak dapat diganggu gugat apabila terbukti dengan jelas dan
tidak dapat dibantah, telah mengambil keuntungan dari
posisinya yang istimewa itu untuk menginterogasi atau
melakukan pengkhianatan (Pasal 34).
35

(4) Bab IV tentang Penyerahan.Menjelaskan tentang


Penyerahan-penyerahan yang disetujui antar negara yang
melakukan perjanjian harus sesuai dengan aturan-aturan
kehormatan militer. Setelah disetujui, perjanjian tersebut harus
dengan saksama diawasi oleh kedua pihak (Pasal 35).

(5) Bab V tentang Gencatan Senjata, menerangkan tentang


Gencatan Senjata adalah penundaan operasi militer melalui
kesepakatan bersama antara pihak yang berperang. Operasi
militer bisa dilanjutkan kembali sesuai dengan durasi yang
ditentukan melalui kesepakatan bersama (Pasal 36).

Gencatan senjata harus diberitahukan secara resmi dan dalam


waktu yang tepat melalui pihak yang berwenang dan pasukan.
Pertempuran ditangguhkan segera setelah pemberitahuan, atau
pada tanggal yang ditetapkan (Pasal 38). Bila ada pelanggaran
dalam Gencatan Senjata yang dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap pihak lain maka telah memberikan hak kapada pihak
yang dilanggar, bila keadaan mendesak untuk memulai lagi
pertempuran (Pasal 40). Dan bila pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan gencatan senjata dilakukan oleh seorang
individu yang bertindak atas inisiatif sendiri maka dapat
menuntut hukuman hanya kepada si pelanggar  dan jika perlu
ganti rugi atas kerugian yang diderita (Pasal 41).

c) Bagian III tentang Penguasa Militer di Wilayah Negara yang


Bertikai. Pada bagian ini menerangkan tentang suatu wilayah
dinyatakan diduduki ketika wilayah tersebut secara nyata berada di
bawah penguasaan pasukan musuh (Pasal 42).Sementara dalam
Pasal 43 sampai Pasal 45 memberi ketentuan kepada Penguasa
Militer untuk menghormati hukum di wilayah yang diduduki, dilarang
untuk memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk
memberikan informasi mengenai tentara dari pihak berperang lainnya,
atau mengenai alat-alat pertahanan mereka. Dan dilarang untuk
memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk bersumpah setia
36

kepada Penguasa Pendudukan.Sedangkan dalam Pasal 46


memberikan perlindungan terhadap Kehormatan dan hak-hak keluarga
dan hak hidup manusia serta hak milik pribadi dan juga praktik
keagamaan serta kebebasan beribadah harus dihormati.Hak milik
pribadi tidak boleh dirampas.Melakukan penjarahan pun dilarang di
dalam Pasal 47.Di dalam Pasal 48 sampai 51 memberikan kebolehan
kepada Penguasa Pendudukan untuk mengumpulkan pajak dengan
menyesuaikan pada kondisi wilayah yang diduduki, namun
pengumpulan pajak tidak boleh dengan kesewenang-wenangan.
Sementara Pasal 52 sampai 56 menjelaskan ketentuan-ketentuan
kepada Penguasa Pendudukan tentang hak dan kewajiban, apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Penguasa Pendudukan terhadap
wilayah dan penduduk daerah yang diduduki agar tidak ada
kesewenang-wenangan.

d) Bagian IV tentang Menginternir Pihak yang Bersengketa dan


Perawatan mereka yang Terluka di Negara Netral.Pada bagian ini
terdapat 4 (empat) Pasal, yang mengatur ketentuan negara netral
dalam membantu merawat korban yang terluka (Pasal 57-
59).Sedangkan pasal terakhir yakni Pasal 60, menjelaskan tentang
pemberlakuan Konvensi Jenewa terhadap mereka yang sakit dan
terluka pada wilayah netral.

b. Konvensi Den Haag 1907. Konferensi perdamaian yang kedua diadakan


pada tahun 1907. Konferensi ini secara umum gagal dan hanya menghasilkan
beberapa keputusan. Namun, bertemunya negara-negara besar dalam konferensi ini
menjadi model bagi upaya-upaya kerja sama internasional yang dilakukan di
kemudian hari di abad ke-20. Konferensi yang kedua ini sebenarnya telah
diserukan akan diadakan pada tahun 1904, atas saran Presiden Theodore
Roosevelt, tetapi ditunda karena terjadinya perang antara Rusia dan Jepang.
Konferensi Perdamaian Kedua tersebut kemudian diadakan dari tanggal 15 Juni
sampai dengan 18 Oktober 1907 untuk memperluas isi Konvensi Den Haag yang
semula, dengan mengubah beberapa bagian dan menambahkan sejumlah bagian
lain, dengan fokus yang lebih besar pada perang laut. Pihak Inggris berusaha dan
mencoba agar ketentuan mengenai pembatasan persenjataan dapat diterima dalam
37

konferensi, tetapi usaha ini digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan dipimpin
oleh Jerman, karena Jerman khawatir bahwa itu merupakan usaha Inggris untuk
menghentikan pertumbuhan armada Jerman. Jerman juga menolak usulan tentang
arbitrase wajib. Namun, konferensi tersebut berhasil memperbesar mekanisme
untuk arbitrase sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur
penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral. Perjanjian
Final ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada tanggal
26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas sections, yang dua belas di
antaranya diratifikasi dan berlaku:

1) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketa Internasional


2) Konvensi II tentang Pembatasan Penggunaan Kekerasan Senjata
dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata.
3) Konvensi III tentang Tata Cara Memulai Peperangan.
4) Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang Darat.
5) Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Orang Netral
dalam Perang Darat
6) Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh ketika Pecah
Permusuhan
7) Konvensi VII tentang Sttatus Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang
8) Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut
Otomatis
9) Konvensi IX tentang Pemboman oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa
Perang
10) Konvensi X tentang Adaptasi asas-asas Konvensi Jenewa tentang di
Perang Laut.
11) Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan
Hak Menangkap dalam Perang Angkatan Laut
12) Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-Barang Sitaan (Tidak
diratifikasi)
13) Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang
Laut
38

Selain itu ditandatangani pula dua deklarasi:

1) Deklarasi I - yang isinya memperluas isi Deklarasi II dari Konferensi


1899 untuk mencakup jenis-jenis lain dari pesawat terbang.
2) Deklarasi II - mengenai arbitrase wajib.

Konvensi VI (enam) sampai dengan Konvensi XII (dua belas) Den Haag 1907
pada umumnya mengatur seluruh masalah kapal berupa kapal perang, sehingga
menyangkut perang di laut. Dalam Konferensi Perdamaian II tersebut, adapun
satu-satunya deklarasi yang dihasilkan berupa pelarangan penggunaan proyektil-
proyektil atau bahan-bahan peledak dari balon.

Hukum Den Haag dapat dianggap sebagai serangkaian ketentuan atau


hukum yang berlaku dalam peperangan. Hukum yang ditujukan kepada para
komandan militer beserta prajurit dari berbagai negara yang menentukan kewajiban
dan hak peserta tempur. Oleh karena itu, penerapan serta pemberlakuannya
terbatas hanya pada waktu pertempuran sedang berlangsung.

The Hague Laws (Hukum Den Haag) merupakan istilah yang digunakan
untuk humaniter yang mengatur mengenai alat (sarana) dan cara (metode)
berperang (means and methods of warfare) serta menunjukkan serangkaian
ketentuan hukum dan menekankan bagaimana cara melakukan operasi-operasi
militer.

Hukum Den Haag menentukan hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang
bersengketa tentang cara melakukan operasi-operasi militer serta membatasi cara-
cara yang dapat menyebabkan kerusakan di pihak musuh. Peraturan-peraturan ini
seluruhnya terdapat di dalam konvensi-konvensi Den Haag 1899, yang kemudian
dilakukan revisi tahun 1907. Penyebutan The Hague Laws, dikarenakan
pembentukan ketentuan-ketentuan tersebut dihasilkan di Kota Den Haag, Belanda.
Hukum Den Haag sendiri terdiri dari serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari
Konferensi 1899 serta ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari konferensi 1907.
39

c. Pembahasan Konvensi Hague 1907.Selanjutnya akan dijelaskan beberapa


konvensi yang ada hubunngannya dengan tujuan penyebarluasan Hukum
Humaniter.

1) Konvensi Den Haaq 1907ke III Pemulaan Permusuhan. Konvensi


Den Haag III mengatur mengenai cara memulai perang. Konvensi Den Haag
III 1907 terdiri dari 8 pasal.Pasal 1 merupakan ketentuan umum, pasal 2
sampai pasal 7 merupakan pelaksanaan konvensi dan pasal 8 merupakan
penutup.
Pasal 1 berbunyi “The Contracting Powers recognize that hostilities between
them must not comence without a prvious and unequivocal warning, which
shall take the grom either of a decalration of war, giving reasons, or of an
ultimatum with a cnditional declaration of war”. Jadi menurut Pasal 1, perang
telah dimulai secara hukum bila sesuai dengan cara yang ditentukan dalam
konvensi dan harus dimulai dengan cara:

a) Dengan pernyataan perang, yang disertai alasan, atau


b) Dengan suatu ultimatum, dengan pernyataan perang apabila
ultimatum itu tidak dipenuhi.
Selanjutnya ditentukan bahwa keadaan perang itu harus segera
disampaikan/diberitahukan kepada negara-negara netral.

Di dalam Pasal 1Konvensi Den Haag III (1907), adalah contoh yang
jelas guna menggambarkan adanya nilai-nilai kemanusiaan di dalam
Konvensi Den Haag III. Adanya “declaration of war” yang terdapat dalam
Pasal 1 dimaksudkan agar negara yang bersengketa mempersiapkan dirinya
dalam menghadapi musuhnya dengan cara, antara lain, menyelamatkan
penduduk sipil yang tidak ikut bertempur ke dalam zona-zona aman (zona
demiliterisasi).Jadi, ketentuan tersebut mengandung asas kesatriaan; pun
juga mencerminkan asas kemanusiaan.

Deklarasi perang diperlukan agar (1) untuk mencegah adanya


serangan yang sekoyong-koyong dan upaya ada batas yang nyata antara
keadaan damai dan perang; (2) agar negara-negara netral mengetahui bahwa
40

dua negara berada dalam keadaan perang; (3) untuk mencegah tuduhan
adanya suatu perang yang tidak adil (unlawful war).

Perang dalam arti hukum adalah perang yang dimulai dengan konvensi
Den Haag III 1907.Perang tidak dapat dimulai tanpa adanya pernyataan
perang yang disertai alasan atau dengan suatu ultimatum, dengan
pernyataan perang jika ultimatum itu tidak dipenuhi.

2) Konvensi Den Haaq 1907 ke IVHukum dan Kebiasaan Perang Darat.


Konvensi IV mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat ini hadir untuk
menyempurnakan Konvensi 1899 mengenai Hukum dan kebiasaan Perang di
Darat, maka tak heran jika Konvensi 1907 ini tidak jauh berbeda dengan
Konvensi pendahulunya di tahun 1899. Konvensi ini hanya terdiri dari 9 Pasal,
tetapi dilampiri sebuah Annex yang berjudul Regulations Respecting The
Laws and Customs of War on Land, yang terdiri dari 56 Pasal. Annex ini lebih
dikenal dengan sebutanHague Regulations, atau disingkat HR.Hague
Regulations yang merupakan lampiran Konvensi ke IV, merupakan
penjabaran dari Konvensi tersebut.Hague Regulations terdiri atas 56 pasal itu
mengatur teang pihak-pihak yang terlibat perang (belligerents) , tawanan
perang, orang yang sakit dan uka, mata-mata, cara berhentinya permusuhan
dan wilayah pendudukan.

a) Pasal 2 Konvensi IV. Secara singkat pasal 2 tersebut


menentukan bahwa Konvensi dan Hague Regulations hanya berlaku
dalam suatu perang apabila semua pihak dalam perang tersebut telah
meratifikasi Konvensi ini. Apabila salah satu pihak yang bersengketa
bukan peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. Ketentuan
pasal 2 ini lazim disebut Klausula si Omnes.

b) Pasal 1Hague Regulations menyatakan bahwa “Hukum, hak-


hak dan kewajiban-kewajiban berperang tidak hanya diterapkan
kepada tentara, tetapi juga kepada milisi dan kelompok sukarelawan
yang memenuhi persyararatan sebagai berikut”:
41

(1) Dipimpin oleh seorang komandan yang bertanggung


jawab atas anakbuahnya;
(2) Memakai tanda/emblem yang dapat dikenali dari jarak
jauh;
(3) Membawa senjata secara terbuka; dan
(4) Melakukan operasinya sesuai dengan hukum dan
kebiasaan perang.

c) Pasal 2 Hague Regulations. Pasal 2 HR ini menyangkut apa


yang dikenal dengan istilah levee en masse ditentukan juga bahwa
segolongan penduduk ini sebagai Belligerents, Levee en masse adalah
penduduk di suatu wilayah yang belum diduduki, yang pada saat
musuh akan menyerang, pendudukan dari wilayah setempat yang
secara spontan mengangkat senjata untuk memberikan perlawanan
tanpa sempat mengorganisir diri mereka sendiri, harus dianggap
sebagai belligerents apabila mereka mengangkat senjata secara
terbuka dan apabila mereka mematuhi hukum dan kebiasaanperang.
Jadi persyaratan yang harus dipenuhi supaya diakui sebagai levee en
masse adalah:

(1) Penduduk dari wilayah yang diduduki;


(2) Secara spontan mengangkat senjata;
(3) Tidak ada waktu untuk mengatur diri;
(4) Mengindahkan hukum perang;
(5) Membawa senjata secara terbuka.

d) Pasal 3Hague Regulations.dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa


Angkatan Bersenjata dari pihak-pihak yang berperang dapat terdiri dari
kombatan dan non-kombatan. Jika tertangkap oleh musuh maka
keduanya mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan
perang.Perlu dicatat disini bahwa non-kombatan yang dimaksudkan
dalam Pasal 3 ini bukanlah penduduk sipil, tetapi bagian dari angkatan
bersenjata yang tidak turut bertempur.
42

Berdasarkan apa yang tercantum dalam Pasal 1,2 dan 3 Hague


Regulations itu, maka menurut HR golongan yang secara aktif dapat
turut serta dalam pertempuran adalah:

(1) Tentara (Armies)


(2) Militia dan Volunteer Corps (apabila memenuhi
persyaratan)
(3) Leeve en masse (dengan memenuhi persyaratan
tertentu)

Pasal 1,2 dan 3 Hague Regulations ini juga berkaitan dengan


Distinction Principle/Prinsip pembedaan, yakni mengenai kombatan
dan penduduk sipil. Prinsip Pembedaan dalam pasal-pasal di Konvensi
IV Den Haag 1907 ini juga berhubungan dengan Konvensi Jenewa 1,2
dan 3, yaitu Pasal 13 dalam Konvensi 1-2 dan Pasal 4 dalam Konvensi
3.

Di dalam Hague Regulations ini juga mengatur ketentuan mengenai


alat-alat yang digunakan untuk melukai musuh, pengepungan dan
pengeboman.Di dalamnya terdapat pasal Hague Regulations
terpenting, yaitu ketentuan pokok Pasal 22 yang menyatakan
bahwahak para pihak yang berperang untuk menggunakan alat-alat
untuk melukai musuh adalah tidak tak berbatas. Pasal 23 ini juga
memuat larangan-larangan seperti:

(1) Larangan penggunaan racun atau senjata beracun,


tindakan licik;
(2) Larangan membunuh atau melukai musuh yang terluka
dan telah meletakkan senjatanya, atau tidak memiliki senjata lagi
untuk bertahan;
(3) Larangan untuk membunuh atau melukai mereka yang
telah menyerah;
(4) Larangan menyatakan tidak ada pertolongan yang akan
diberikan;
43

(5) Larangan penggunaan senjata, proyektil atau material


yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu;
(6) Larangan menggunakan bendera perdamaian, bendera
nasional, tanda-tanda militer, seragam musuh atau tanda
pembedaan dalam Konvensi Jenewa yang tidak pada
tempatnya. Juga larangan penjarahan, mata-mata dan
penyalahgunaan bendera perdamaian (Pasal 23).

Sementara tipu daya perang dan penggunaan cara-cara yang


diperlukan untuk memperoleh informasi mengenai musuh dan
negaranya diperbolehkan (Pasal 24).Sedangkan mengenai ketentuan
bagaimana caraserangan dan pemboman diatur secara tegas dalam
Pasal 25 sampai dengan Pasal 27. Di Pasal 28 segala bentuk
penjarahan terhadap sebuah kota atau tempat dilarang, walaupun
diperoleh dengan cara penyerangan.

Mengenai Mata-mata, dalam bagian ini dijelaskan tentang kualifikasi


mereka yang tergolong sebagai mata-mata dan mereka yang bukan
mata-mata (Pasal 29). Juga terdapat ketentuan bila tertangkapnya
seorang mata-mata ketika ia melakukan tugasnya tidak dapat dihukum
tanpa melalui proses pengadilannya sebelumnya (Pasal 30). Dari isi
Pasal 30 tersebut dapat kita lihat bahwa perlakuan terhadap musuh
yang melakukan mata-mata jika tertangkap tidak boleh diperlakukan
secara semena-mena.

Mengenai Bendera Gencatan Senjata, di Bab ini menjelaskan


Seseorang dianggap sebagai pembawa bendera gencatan senjata,
yang diberi kewenangan oleh salah satu Belijeren untuk berkomunikasi
dengan pihak Belijeren lainnya dengan membawa bendera putih. la
berhak untuk tidak diganggu-gugat, demikian pula peniup terompet,
penabuh drum, pembawa bendera penerjemah yang mungkin
menyertainya (Pasal 32).Pembawa bendera gencatan senjata
kehilangan hak tidak dapat digangu gugat apabila terbukti dengan jelas
dan tidak dapat dibantah, telah mengambil keuntungan dari posisinya
44

yang istimewa itu untuk menginterogasi atau melakukan


pengkhianatan (Pasal 34).

Mengenai Gencatan Senjata, menerangkan tentang Gencatan


Senjata adalah penundaan operasi militer melalui kesepakatan
bersama antara pihak yang berperang. Operasi militer bisa dilanjutkan
kembali sesuai dengan durasi yang ditentukan melalui kesepakatan
bersama (Pasal 36).Gencatan senjata harus diberitahukan secara
resmi dan dalam waktu yang tepat melalui pihak yang berwenang dan
pasukan. Pertempuran ditangguhkan segera setelah pemberitahuan,
atau pada tanggal yang tetap (Pasal 38).Bila ada pelanggaran dalam
Gencatan Senjata yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak
lain maka telah memeberikan hak kapada pihak yang dilanggar, bila
keadaan mendesak untuk memulai lagi pertempuran (Pasal 40). Dan
bila pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan gencatan senjata
dilakukan oleh seorang individu yang bertindak atas inisiatif sendiri
maka dapat menuntut hukuman hanya kepada si pelanggar dan jika
perlu ganti rugi atas kerugian yang diderita (Pasal 41).

Sementara mengenai PenguasaMiliter di Wilayah Negara yang


Bertikai, menjelaskan bahwapada bagian ini menerangkan tentang
suatu wilayah dinyatakan diduduki ketika wilayah tersebut secara nyata
berada di bawah penguasaan pasukan musuh (Pasal 42).Sementara
dalam Pasal 43 sampai Pasal 45 memberi ketentuan kepada
Penguasa Militer untuk menghormati hukum di wilayah yang diduduki,
dilarang untuk memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk
memberikan informasi mengenai tentara dari pihak berperang lainnya,
atau mengenai alat-alat pertahanan mereka. Dan dilarang untuk
memaksa penduduk dari wilayah yang diduduki untuk bersumpah setia
kepada Penguasa Pendudukan.

Sedangkan dalam Pasal 46 memberikan perlindungan terhadap


Kehormatan dan hak-hak keluarga dan hak hidup manusia serta hak
milik pribadi dan juga praktik keagamaan serta kebebasan beribadah
harus dihormati.Hak milik pribadi tidak boleh dirampas.Melakukan
45

penjarahan pun dilarang di dalam Pasal 47.Di dalam Pasal 48 sampai


51 memberikan kebolehan kepada Penguasa Pendudukan untuk
mengumpulkan pajak dengan menyesuaikan pada kondisi wilayah
yang diduduki, namun pengumpulan pajak tidak boleh dengan
kesewenang-wenangan. Sementara Pasal 52 sampai 56 menjelskan
ketentuan-ketentuan kepada Pengusa Pendudukan tentang hak dan
kewajiban, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Penguasa
Pendudukan terhadap wilayah dan penduduk daerah yang diduduki
agar tidak ada kesewenang-wenangan.

Sedangkan perbedaan Konvensi ini dengan Konvensi sebelumnya di


tahun 1899 adalah di konvensi ini tidak terdapat pasal-pasal mengenai
Menginternir Pihak yang Bersengketa dan Perawatan mereka yang
Terluka di Negara Netral. Meski begitu, konvensi ini sangat penting
karena mengatur segala segi dari peperangan di darat.Di dalam
Konvensi IV kita dapat menemukan bahwa prikemanusiaan telah
menjadi dasar dalam menyusun konvensi ini.

Konvensi IV ini menjadi penting karena memberikan ketentuan pada perang


di darat yang mempunyai tujuan utama untuk mengalahkan pihak musuh dan
menguasai wilayahnya.Wilayah operasi perang didarat hanyalah meliputi
wilayah para pihak yang berperang saja dan keterlibatan Negara netral sedikit
sekali.Untuk perang di darat, ketentuan ketentuan-ketentuan hukum
humaniter pada dasarnya berlaku bagi para pihak yang bertikai.Ketentuan
mengenai perang didarat secara umum melarang perampasan hak milik
pribadi, baik milik pihak musuh maupun milik pihak netral.Dalam pelaksanaan
perang di darat, penduduk sipil dari pihak musuh yang ikut ambil bagian
dalam peperangan, apabila ia tertangkap tidak diberikan status sebagai
tawanan perang.

3) Konvensi ke V. Mengatur hak dan kewajiban negara netral dan hal-


hal yang dilarang dilakukan oleh pihak berperang. Dalam konvensi ini
terdapat dua pengertian yang harus diperhatikan yaitu Negara Netral
(NeutralPowers) dan Orang Netral (NeutralPersons). Yang dimaksud dengan
Negara netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral
46

dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung. Dengan demikian tidak


ada keharusan negara tersebut untuk membantu salah satu pihak. Sebagai
negara netral, maka kedaulatan Negara tersebut dalam suatu peperangan,
tidak boleh diganggu dan dilanggar. HalinitercantumdalamPasal1Konvensi
Den Haag V 1907 yang menyatakan “The territory ofneutral Powers is
inviolable”. Untuk mempertahankan kenetralan, maka wilayah dari negara
tersebut tidak dapat dijadikan sebagai wilayah yang dapat dilintasi oleh para
pihak yang sedang bersengketa.Sedangkan yang dimaksud dengan orang
netral (Neutral Persons) adalah warga negara darisuatu negara yang tidak
terlibat dalam suatu peperangan. Orang netral inI tidak boleh mengambil
keuntungan dari statusnya sebagai orang netral, misalnya dengan menjadi
relawan dari suatu angkatan bersenjata salah satu pihak yang bersengketa
(Pasal 17). Dibuatnya Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan
Warga Negara Netral di Darat dapat kita cermati bahwa tujuannya untuk
memberikan kejelasan mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh Negara Netral dan Warga netral ketika terjadi perang.Hal-hal
yang dilarang dilakukan oleh pihak berperang di wilayah negara netral, yaitu:

a) Memindahkan pasukan atau perlengkapan militernya atau


menerbangkan pesawat udara militer melalui wilayah udara negara
netral.

b) Mendirikan instalasi komunikasi di wilayah negara netral di


pelabuhan atau perairan wilayah negara netral;

c) Mempergunakan instalasi yang telah dibangun sebelum perang


untuk tujuan militer.

d) Melakukan tindakan permusuhan

Soal latihan.

1. Salah satu sumber hukum utama didalam Hukum Humaniter adalah Hukum Den
Haaq. Jelaskan mengenai Hukum Den Haaq tersebut.
47

2. Sebutkan konvensi-konvensi yang ada didalam Hukum Den Haaq 1899!

3. Sebutkan konvensi-konvensi yang ada didalam Hukum Den Haaq 1907!


48

BAB V
KONVENSI JENEWA

22. Tujuan Instruksional. Agar para Perwira Siswa mengetahui kaidah hukum
Humaniter yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban-korban akibat pertikaian
bersenjata.

23. Umum. Sejarah kelahiran dari Konvensi Jenewa 1949 tidak bisa dilepaskan dari
suatu peristiwa besar dunia, yaitu Perang Dunia II yang berakhir pada tahun 1945. Dampak
yang begitu besar dari peperangan yang keji ini pada akhirnya membuat tiap-tiap negara
sepakat untuk membuat beberapa aturan, guna meminimalisir dampak negatif dari Perang
Dunia II.Keempat konvensi Jenewa dirumuskan secara ekstensif, yakni berisikan klausula-
klausula yang memberikan penetapan tentang hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap
dalam konflik militer, klusula-klausula yang menetapkan perlindungan bagi korban luka,
serta klausula-klausula yang menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada
di dalam dan di sekitar kawasan perang. Keempat konvensi ini telah diratifikasi, secara
utuh ataupun dengan sedikit perubahan oleh negara-negara yang totalnya mencapai 194
negara. Pada dasarnya, tujuan utama dari dibentuknya keempat konvensi ini ialah untuk
memberikan perlindungan terhadap pihak-pihak yang menjadi korban selama peperangan,
baik yang berasal dari kombatan dan warga sipil nya. Artinya adalah bahwa perlindungan
harus diberikan secara merata dan adil bagi seluruh pihak tanpa melihat golongannya.

Apabila Konvensi Den Haag lebih membahas tentang tata cara serta alat yang
dipergunakan dalam perang, maka dalam Konvensi Jenewa sendiri lebih mengarah kepada
tata cara memperlakukan dan melindungi korban dari perang yang terjadi. Setelah perang
dunia kedua, Konvensi ini disempurnakan menjadi empat Konvensi, yang kesemua isinya
menyangkut tentang pasal-pasal perlindungan bagi warga sipil, orang-orang yang
tertangkap perang, perlindungan bagi korban perang, serta para pelayan kesehatan dalam
perang.

24. Hukum Jenewa 1949.Hukum Jenewa atau The Geneva Laws adalah istilah yang
dipakai untuk menunjukkan serangkaian ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur
mengenai perlindungan para korban perang (protection of war victims), baik terdiri dari
kombatan maupun penduduk sipil. Disebut dengan Hukum Jenewa, karena hampir
sebagian besar ketentuan-ketentuan mengenai hal ini dihasilkan di kota Jenewa, Swiss.
49

Dalam mempelajari Hukum Humaniter, penyebutan ‘the Geneva Laws’ dapat


mempermudah membedakannya dengan ‘the Hague Laws’ yakni untuk memudahkan
membedakan pembentukan ketentuan mengenai perlindungan para korban perang
(protection of war victims), dan ketentuan mengenai alat dan cara berperang (means and
methods of warfare), walaupun pembedaan demikian tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.

Konvensi-konvensi Jenewa meliputi empat perjanjian (treaties) dan tiga protokol


tambahan yang menetapkan standar dalam hukum internasional (international law)
mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban perang. Istilah Konvensi Jenewa, dalam
bentuk tunggal, mengacu pada persetujuan-persetujuan 1949, yang merupakan hasil
perundingan yang dilakukan seusai Perang Dunia II. Persetujuan-persetujuan tersebut
berupa diperbaharuinya ketentuan-ketentuan pada tiga perjanjian yang sudah ada dan
diadopsinya perjanjian keempat. Rumusan keempat perjanjian 1949 tersebut ekstensif,
yaitu berisi pasal-pasal yang menetapkan hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap dalam
konflik militer, pasal-pasal yang menetapkan perlindungan bagi korban luka, dan pasal-
pasal yang menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di
sekitar kawasan perang.

Bahwa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa merupakan dua aturan pokok dalam
Humaniter, sebagaimana dikemukakan oleh Jean Pictet bahwa :
“Humanitarian Law has two branches, one bearing the name of Geneva, and the other
name of the Hague”. Hukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban
perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat
Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah:

a. Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan


Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864
(Geneva Konvention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick
in Armed Forces in the Field);
b. Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan
Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut,
1906 (Geneva Convention for the Amelioration of the condotion of the Wounded,
Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea);
50

c. Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai


PerlakuanTawanan Perang, 1929 (Geneva Convention Relative to the Treatment of
Prisoners of War);
d. Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai
Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949 (Geneva Convention Relative to the
Protection of Civilian Persons in Time of War).

Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 ditambahkan lagi dengan
Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan:

a. Protocol Additional to the Jeneva Covention of 12 August 1949, and Relating


to the Protection of Victims of International Armed Conflict (Protocol I); dan

b. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and


Relating to the Protection of Victims of Non International Armed Conlicts (Protocol II).

Protokol I maupun II tersebut merupakan tambahan dari konvensi Jenewa 1949.


Penambahan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan pengertian
sengketa bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka,
sakit dan korban karam dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan
mengenai alat dan cara berperang. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan
korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang korban
pertikaian bersenjata non-internasional.

25. Ketentuan yang Bersamaan atau Common article. “Common articles“; yaitu
pasal-pasal yang sama atau nyaris sama, baik isinya ataupun nomor pasalnya, yang
terdapat di dalam semua Konvensi Jenewa 1949. Pasal-pasal tersebut atau “pasal-pasal
kembar” (istilah dari Prof. Sugeng Istanto, FH-UGM Jogjakarta), dicantumkan-ulang pada
setiap Konvensi Jenewa karena memang sangat penting dan merupakan ketentuan yang
mendasar dari Konvensi Jenewa.Common articles dari Konvensi Jenewa 1949 dapat
diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu :

a. Ketentuan umum. (Pasal 1,2,3,6-11);


b. Ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan (Pasal 49, 50,
51 dan 52);
51

c. Ketentuan pelaksanaan dan ketentuan penutup (Pasal 55-64)

26. Common article tentang Ketentuan umum.

a. Penghormatan terhadap Konvensi.


Pasal 1 berbunyi “Pihak Peserta Agung berjanji untuk menghormati dan menjamin
penghormatan dalam segala keadaan”.

Pasal 1 yang terdapat dalam common articles berisikan sebuah “janji” dari Pihak
Peserta Agung pada Konvensi-konvensi Jenewa. Pihak Peserta Agung harus
“berjanji” untuk selalu menghormati serta menjamin penghormatan dalam segala
keadaan. Dengan kata lain Pihak Peserta Agung haruslah menghormati konvensi
tersebut dan harus memberi jaminan bahwa penghormatan terhadap konvensi tidak
akan hilang. Hal ini memiliki arti bahwa tiap-tiap negara tidak cukup apabila hanya
sekedar memberi perintah kepada para petugas militer atau sipil untuk mentaati
konvensi, tetapi pemerintah harus mengawasi bahwa perintahnya telah benar
dilaksanakan.Bila diketahui ada petugas yang tidak mentaati konvensi atau
melanggar konvensi, maka negara harus mengambil tindakan yang tegas terhadap
hal tersebut.

b. Tentang berlakunya Konvensi.


Pasal 2 berbunyi “Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang
diumumkan atau setiap pertikaian bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara
dua atau lebih pihak penanda tangan, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh
salah satu diantara mereka”.
“Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau
seluruhnya, dari wilayah pihak Peserta Agung sekalipun pendudukan tersebut tidak
menemui perlawanan senjata”.
“Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau
setiap pertikaian bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua pihak atau lebih
pihak penanda tangan, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu
diantara mereka.”
52

Kemudian Paragraf 2 menentukan: Konvensi ini juga aakan berlaku untuk semua
peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya, dari wilayah pihak Peserta Agung,
sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata”.

Melihat materi yang terkandung dalam Pasal 2 diatas, dapat disimpulkan


bahwa Konvensi Jenewa berlaku dalam keadaan perang yang diumumkan sekalipun
tidak diakui. Konvensi ini turut berlaku pula dalam hal pendudukan sebagian ataupun
seluruhnya sekalipun hal pendudukan ini tidak mendapat suatu perlawanan.

Pasal ini menjadi salah satu pasal yang sifatnya sangat penting karena peran
dari pasal ini adalah untuk menjalankan kondisi serta syarat yang harus dipenuhi
agar konvensi berlaku. Selanjutnya alasan mengapa pasal ini bersifat penting adalah
karena pasal ini memiliki tujuan untuk memperluas kondisi dan syarat yang terdapat
dalam konvensi yang terdahulu, bahwa konvensi ini berlaku untuk semua kasus
perang yang di deklarasikan sebagai konflik bersenjata.

Salah satu frasa yang terkandung dalam Pasal 2 ini memberi perubahan
penting dalam hukum humaniter. Frasa “sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh
salah satu diantara mereka”, memberi gambaran bahwa para pihak yang bertikai
tidak lagi secara bersamaan terikat oleh suatu perjanjian. Apa yang menjadi
gambaran dalam frasa ini tentunya sangat bertolak belakang dengan kondisi
sebelum tahun 1949, dimana untuk melaksanakan suatu perjanjian internasional
dalam suatu pertikaian, para pihak yang terlibat harus menjadi peserta dari
perjanjian itu. Ketentuan yang terkandung dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949
telah menghapus ketentuan Pasal 2 Konvensi Den Haag IV 1907. Konvensi Jenewa
tetap berlaku bagi setiap pihak yang bersengketa.

Hal penting yang juga harus diperhatikan dalam Pasal 2 ini ialah mengenai
pendudukan yang tidak mendapatkan perlawanan. Hal ini harus diperhatikan karena
dalam suatu peperangan biasanya terjadi bahwa setelah melakukan perlawanan,
maka pihak yang bertahan dengan terpaksa harus mundur. Sehingga sebagian
wilayah akan diduduki oleh pihak lawan.
53

c. Ketentuan tentang sengketa bersenjata non internasional.


Pasal 3 berbunyi “Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat
internasional yang berlangsunng dalam wilayah salah satu Pihak Peserta Agung
Penandatangan, tiap pihak dalam pertikaian ini diwajibkan untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut ......

Ketentuan umum juga terdapat dalam Pasal 3, yaitu pasal yang mengatur
mengenai pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Kehadiran pasal ini
juga turut memberikan penyegaran bagi hukum humaniter internasional, karena
dalam Konvensi Jenewa 1949-lah terdapat ketentuan mengenai pertikaian
bersenjata yang tidak bersifat internasional.

Pasal 3 ini berisikan aturan mengenai pertikaian bersenjata dalam negeri,


dimana penerapan dari pasal ini tidak mempengaruhi legal position atau kedudukan
hukum dari masing-masing pihak. Tidak ada satupun hak pemerintah yang
berkurang, terutama dalam hak untuk melakukan tindakan terhadap pihak
pemberontak. Pasal ini hanya menghimbau agar setiap korban pemberontakan
dapat diperlakukan selaras dengan asas kemanusiaan.

d. Ketentuan tentang yang mengatur Negara Pelindung.

Hal terakhir yang menjadi ketentuan umum dari konvensi ini ialah ketentuan
tentang Negara Pelindung (Protecting Power). Ketentuan mengenai hal ini dapat
ditemukan dalam Pasal 8 s.d. Pasal 11. Istilah dari Negara Pelindung untuk pertama
kali dapat dilihat dalam Konvensi Jenewa 1929 tentang perlakuan terhadap tawanan
perang (Convention Relative to The Treatment of War).

Pasal 86 dari Konvensi Jenewa tahun 1929 menyebutkan bahwa lembaga


negara pelindung memiliki sifat sukarela, tidak bersifat wajib dalam memberikan
perlindungan. Selain itu, pasal ini juga menerangkan bahwa tidak ada kejelasan
tentang pihak yang menjalankan fungsi sebagai negara pelindung, karena dalam
konvensi ini tugas negara pelindung hanya berhubungan dengan tawanan perang.
Aturan mengenai negara pelindung terus mengalami perubahan. Pembahasan
mengenai hal pertama sekali diangkat dalam Konvensi Den Haag
mengenaiTawanan Perang pada tahun 1929. Sampai pada akhirnya dilakukan suatu
54

penyempurnaan terhadap negara pelindung, yang terkandung dalam Konvensi


Jenewa 1949.

Pengaturan mengenai negara pelindung dalam lingkup sengketa bersenjata


internasional, diatur dalam Pasal 8 Konvensi Jenewa I 1949, Konvensi Jenewa II
1949, Konvensi Jenewa III 1949 dan Pasal 9 Konvensi Jenewa IV 1949. Namun
ketentuan ini tidak menutup kemungkinan bagi organisasi kemanusiaan apabila ingin
memberikan sumbangsihnya untuk melaksanakan tugas-tugas sosialnya, asalkan
mendapat pesetujuan dari pihak-pihak yang bersengketa itu sendiri.Hal ini diatur
dalam Pasal 9 (I,II,III) dan Pasal 10 (IV) Konvensi Jenewa.

Para wakil utusan dari negara pelindung harus memperhatikan kepentingan


keamanan yang mendesak daripada negara di mana mereka melaksanakan
kewajiban mereka. Mengenai pembatasan-pembatasan bagi kegiatan mereka,
hanya boleh dilakukan sebagai suatu tindakan pengecualian dan apabila ternyata
hal ini perlu karena adanya kepentingan militer yang mungkin sangat mendesak.
Pengaturan mengenai Negara Pelindung tidak hanya terdapat di dalam Konvensi
Jenewa, melainkan turut diatur dalam Protokol Tambahan I tahun 1977.

27. Common article tentang Ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan


penyalahgunaan. Common articles juga mengatur mengenai ketentuan hukum terhadap
pelanggaran dan penyalahgunaan. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal
berikut:
a. Ketentuan umum mengenai sanksi pidana (Pasal 49 Konvensi I; Pasal 50 /II;
129/III; 146/IV);
b. Ketentuan mengenai “pelanggaran-pelanggaran berat” (grave breaches) (Pasal
50/I; 51/II; 130/III; 147/IV);
c. Ketentuan mengenai tanggung-jawab negara peserta Konvensi Jenewa dalam
hal terjadi pelanggaran (Pasal 51-54/I; 52-53/II; 131-132/III; 148-149).

Pasal 49 menjadi pasal pokok mengenai ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan
penyalahgunaan konvensi. Pasal 49 menjadi landasan yang digunakan untuk menindak
setiap pelanggaran yang terjadi terhadap konvensi. Dengan kata lain, Pihak Peserta Agung
menjadikan pasal ini sebagai suatu pegangan yang mewajibkan mereka melakukan
tindakan tegas terhadap setiap pelanggaran yang terjadi. Dalam pasal ini terdapat
55

beberapa kewajiban yang berkaitan dengan pelanggaran berat (grave branches).


Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain adalah:

a. Kewajiban untuk membuat dan menetapkan perundang-undangan di tingkat


nasional yang tujuannya adalah untuk mengatur tentang pelanggaran berat.
b. Kewajiban untuk mencari pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap konvensi ini.
c. Kewajiban untuk mengadili pelaku yang melanggar ketentuan konvensi serta
menyerahkannya kepada negara lain yang memiliki kepentingan untuk mengadili
pelaku pelanggaran berat tersebut.

Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan


hukum itu sendiri. Mekanisme tersebut ditempuh melalui pembentukan Mahkamah
Kejahatan perang, baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Mahkamah
kejahatan perang tersebut memang merupakan bentuk proses pengadilan hukum pidana.
Dalam salah satu common articles dari konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban
Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana kepada mereka yang melakukan
pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam
konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, artinya penegakan hukum humaniter
dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan menggunakan instrumen hukum nasional.
Apabila mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa
keadilan, maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.

Selain hal diatas, adanya pasal 49 dari Konvensi Jenewa memberi suatu penjelasan
secara tidak langsung bahwa penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang tidak
tergolong pelanggaran berat, tidak membutuhkan suatu perundang-undangan yang baru,
cukup melakukan suatu tindakan sebagaimana lazimnya. Pasal 49 ini juga merupakan
klausula yang materinya tidak mengatur tentang pertanggung-jawaban atas perbuatan
melaksanakan pelanggaran berat yang berdasarkan perintah dari atasan.

Prof. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa apa yang terkandung dalam


Pasal 49 ini, haruslah dihubungkan dengan segala ketentuan yang terkandung dalam Pasal
11 yang menjelaskan bahwa setiap pihak penandatangan tidak hanya menaati apa yang
menjadi ketentuan dari konvensi ini. Dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan
mengenai pelanggaran dan penyalahgunaan terhadap konvensi ini sepenuhnya tergantung
56

kepada Pihak Peserta Agung. Pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur dalam konvensi ini
dapatlah dikategorikan sebagai suatu bentuk pelanggaran yang sifatnya berat.

Hukum Jenewa juga memiliki 2 “hukum turunan” yang fungsinya sebagai


penyempurna konvensi. Penyempurna dari Konvensi Jenewa 1949 kita kenal dengan
Protokol Tambahan tahun 1977. Protokol tambahan ini terdiri dari 2 protokol tambahan,
yaitu Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II. Sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, bahwa Protokol Tambahan I  merupakan protokol yang membahas tentang
sengketa bersenjata internasional.Sedangkan Protokol Tambahan II adalah protokol yang
berisikan pembahasan tentang sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional.

a. Protokol Tambahan I 1977. Beberapa hal yang menjadi ketentuan pokok


yang terdapat dalam Protokol Tambahan I 1977 antara lain menentukan hal-hal
sebagai berikut:

1) Melarang serangan yang membabi-buta dan reprisal terhadap:


a) Penduduk sipil dan orang-orang sipil;
b) Obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
penduduk sipil;
c) Benda-benda budaya dan juga tempat-tempat religius;
d) Bangunan dan instalansi berbahaya;
e) Lingkungan alam.
2) Memperluas perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam
Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit-unit dan alat-alat
transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipil maupun militer.
3) Menentukan kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk mencari
orang- orang yang hilang (missing persons).
4) Menegaskan ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan (relief
supplies) yang ditujukan pada penduduk sipil.
5) Memberikan perlindungan terhadap seluruh kegiatan-kegiatan
organisasi pertahanan sipil.
6) Mengkhususkan adanya tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh
negara-negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter.
57

Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam Sub


Bab (1) di atas, maka pelanggaran tersebut dapat dianggap sebagai bentuk
pelanggaran terhadap hukum humaniter dan dikategorikan ke dalam bentuk
kejahatan perang (war crimes).

b. Protokol Tambahan II 1977. Tidak hanya pada Protokol Tambahan I,


Protokol Tambahan II juga memiliki beberapa hal yang diatur khusus di dalamnya.
Ketentuan-ketentuan dalam Protokol II antara lain menentukan hal-hal sebagai
berikut:

1) Mengatur jaminan-jaminan yang sifatnya fundamental bagi semua


orang, apakah mereka yang terlibat atau tidak dalam suatu pertempuran.
2) Menentukan hal-hal bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi
dalam menerima peradilan yang adil.
3) Memberikan perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek
perlindungan
4) Melarang dilakukannya tindakan intervensi secara sengaja.

Mengenai ruang lingkupnya, Pasal 1 Ayat (1) Protokol Tambahan II yang tidak lain
sebagai pelengkap Konvensi Jenewa tahun 1949, menetapkan bahwa Protokol
Tambahan II ini berlaku kepada semua konflik bersenjata yang tidak dirumuskan
dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 tentang Perlindungan Korban Konflik
Bersenjata Internasional. Ketentuan-ketentuan ini hanya berlaku dalam konflik
bersenjata yang berlangsung di wilayah negera-negara peserta konvensi. Konflik
yang terjadi antara angkatan perangnya dan angkatan perang pemberontak atau
milisi bersenjata pemberontak lainnya yang sifatnya terorganisir. Keberadaan
Protokol II ini menyatakan bahwa setiap pihak yang menjadi korban dari konflik
bersenjata non internasional, dapat menerima perlindungan sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977. Perlindungan ini diberikan secara
menyeluruh tanpa adanya diskriminasi seperti yang berlaku pada ketentuan
mengenai konflik bersenjata internasional. Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal
2 Ayat (1).

Dalam Protokol Tambahan II ini, ditegaskan bahwa negara yang sedang


dilanda konflik bersenjata dalam negeri memiliki kedaulatan yang penuh untuk
58

melakukan tindakan penyelamatan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dari Protokol ini yang boleh
digunakan sebagai suatu pembenaran bagi campur tangan (intervensi) pihak luar di
dalam konflik bersenjata atau di dalam urusan dalam negeri atau luar negeri suatu
negara.Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 Ayat (2).

Sebagaimana tidak ada satu pun dari ketentuan Protokol ini yang boleh
dipergunakan sebagai peluang untuk mempengaruhi kedaulatan suatu negara atau
tanggungjawab pemerintah yang berupaya dengan segala cara yang sah untuk
mempertahankan dan memulihkan kembali hukum dan ketertiban atau untuk
mempertahankan persatuan nasional dan keutuhan wilayah negara itu.Protokol
Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 Ayat (1). Hal ini semakin menegaskan
kedaulatan yang dimiliki oleh setiap negara tanpa terkecuali.Seperti yang telah
disampaikan sebelumnya, keberadaan dari Protokol Tambahan adalah sebagai
bentuk penyempurnaan dari Konvensi Jenewa 1949.

28. Ketentuan-ketentuan pelaksanaan dan ketentuan penutup.

a. Ketentuan mengenai berlakunya Konvensi (entry into force)


b. Ketentuan mengenai pernyataan ikut serta dalam Konvensi
(ratification);
c. Ketentuan mengenai berakhirnya keikutsertaan suatu pihak dalam
Konvensi.

29. Konvensi-konvensi Jenewa dewasa ini. Meskipun peperangan telah mengalami


perubahan dramatis sejak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, konvensi-
konvensi tersebut masih dianggap sebagai batu penjuru Hukum Humaniter
Internasionalkontemporer. Konvensi-konvensi tersebut melindungi kombatan yang berada
dalam keadaan hors de combat (tidak dapat ikut bertempur lagi) serta melindungi orang
sipil yang terjebak dalam kawasan perang. Perjanjian-perjanjian tersebut menjalankan
fungsinya dalam semua konflik bersenjata internasional yang belum lama ini terjadi,
termasuk Perang Afghanistan (2001- sekarang), Invasi Irak 2003, invasi Chechnya (1994-
sekarang), dan Perang di Georgia (2008). Peperangan modern terus mengalami
perubahan, dan dewasa ini proporsi konflik bersenjata yang bersifat non-internasional
semakin meningkat misalnya: Perang Saudara di Sri Lanka, Perang Saudara di Sudan, dan
Konflik Bersenjata di Kolombia. Pasal 3 Ketentuan yang Sama menangani situasi-situasi
59

tersebut, dengan dilengkapi oleh Protokol II (1977). Pasal dan protokol tersebut
menguraikan standar hukum minimum yang harus diikuti untuk konflik internal.
Mahkamah internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-
Yugoslavia, telah membantu mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam
putusannya mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun 1999, Mahkamah
Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa pelanggaran berat
berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga pada konflik bersenjata internal.
Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan Protokol II dianggap sebagai hukum
internasional kebiasaan (customary international law), yang memungkinkan dilakukannya
penuntutan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum
secara formal menerima ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.

Soal latihan.

1. Salah satu sumber hukum utama didalam Hukum Humaniter adalah Hukum Jenewa.
Jelaskan mengenai Hukum Jenewa tersebut!

2. Sebutkan konvensi-konvensi Jenewa!

3. Apakah yang dimaksud dengan common article?


60

BAB VI
HUKUM HUMANITER DALAM TUGAS

30. Tujuan Instruksional. Agar para Perwira Siswa dapat memahami ketentuan
hukum humaniter serta dapat menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam
melaksanakan tugas sehari-hari maupun pada saat melakukan operasi.

31. Umum. Hukum Den Haag sendiri lebih memfokuskan diri kepada peraturan
mengenai alat dan cara berperang serta menekankan bagaimana cara melakukan operasi-
operasi militer. Oleh karena itu hukum Den Haag sangat penting bagi komandan militer
baik yang bertugas di darat, di laut maupun di udara. Sehubungan dengan itu, Hukum Den
Haag juga menentukan kewajiban dan hak pihak-pihak yang berseteru atau bersengketa
terkait tentang cara melakukan operasi-operasi militer dan membatasi cara-cara yang
dapat mengakibatkan kerusakan di berbagai pihak. Ketentuan maupun peraturan tersebut
terdapat di dalam konvensi-konvensi dalam Konferensi Den Haag 1899, yang kemudian
semuanya direvisi dari tahun 1907. Sejak tahun 1977, protokol-protokol ditambah dalam
konvensi-konvensi Jenewa. Demikian pula dengan berbagai perjanjian yang melarang
maupun yang mengatur penggunaan senjata.

32. Prinsip Pembedaan. Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu


prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang
sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan,
yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan
penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan
penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.
Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan
sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan.

33. Perkembangan Prinsip Pembedaan. Sebagai prinsip pokok, prinsip pembedaan


telah dicantumkan di dalam berbagai instrumen Hukum Humaniter, baik di dalam Konvensi
Den Haag 1907, dalam Konvensi Jenewa 1949, maupun dalam Protokol Tambahan I tahun
1977. Prinsip Pembedaan diuraikan satu-persatu ketiga instrumen tersebut:

a. Konvensi Den Haag 1907. Istilah prinsip pembedaan secara implisit


terdapat di dalam Konvensi Den Haag IV (Konvensi mengenai Hukum dan
61

Kebiasaan Perang di Darat), khususnya dalam lampiran atau annex-nya yaitu


Regulations respecting Laws and Customs of War, lebih dikenal dengan sebutan
Hague Regulations (Regulasi Den Haag). Bagi kalangan angkatan bersenjata,
ketentuan yang terdapat dalam Regulasi Den Haag dianggap sangat penting,
sehingga sering disebut sebagai the soldier’s vadamecum.Bagian pertama Regulasi
Den Haag membahas mengenai persyaratan belligerent (the qualifications of
belligerents). Bagian ini terdiri dari tiga pasal pokok, yang menjelaskan siapa-siapa
saja yang dapat diklasifikasikan sebagai belligerent. Mari kita perhatikan pasal-pasal
berikut:

Pasal 1Regulasi Den Haag 1907 menentukan bahwa:


“The laws, rights and duties of war apply not only to army, but also to militia and
volunteer corps fulfilling the following conditions:
1. to be commanded by a person responsibel to his subordinates;
2. to have a fix distinctive emblem recognizable at a distance;
3. to carry arms openly; and
4. to conduct their operations in accordance with the laws and customs of war.
In the countries where militia and volunteer corps constitute the army, or form part of
it, they are included under the denomination army“.

Kalau ketentuan di atas diperhatikan, yang diatur di dalamnya adalah penegasan


bahwa hukum, hak, dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara saja
(army), melainkan juga bagi milisi dan korps sukarela, sepanjang memenuhi
persyaratan sebagaimana disebutkan dalam angka 1 sampai dengan 4 dari Pasal 1
Regulasi Den Haag. Bahkan, dalam alinea selanjutnya dari pasal itu, juga
ditegaskan bahwa di negara-negara di mana milisi dan korps sukarelawan
merupakan tentara atau merupakan bagian dari tentara, maka milisi dan korps
sukarela itu juga dapat disebut juga sebagai tentara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 itu. Dengan kata lain, bagi milisi dan korp sukarelawan ini, maka hukum,
hak, dan kewajibannya tidak ada bedanya dengan hukum, hak, dan kewajiban
tentara. Mereka-mereka inilah yang berhak untuk maju ke medan pertempuran.

Selanjutnya, apakah ada kelompok lain yang dapat dikategorikan sebagai kombatan
menurut Regulasi Den Haag? Mari kita perhatikan Pasal 2Regulasi Den Haag ini,
yang berbunyi:
62

“The inhabitants of a territory which has not been occupied, who, on the approach
the enemy, spontaneously take up arms to resist the invading troops without having
had time to organize themselves in accordance with Article 1, shall be regarded as
belligerents if they carry arms openly and if they respect the laws and customs of
war“.

Berdasarkan Pasal 2 Regulasi Den Haag di atas, maka ternyata ada pula
segolongan penduduk sipil yang dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents,
sepanjang memenuhi persyaratan yaitu:

1) Mereka merupakan penduduk dari wilayah yang belum diduduki;


2) Mereka secara spontan mengangkat senjata atau melakukan
perlawanan terhadap musuh yang akan memasuki tempat tinggal mereka;
dan oleh karena itu
3) Mereka tidak memiliki waktu untuk mengatur (mengorganisir) diri
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1;
4) Mereka menghormati (mentaati) hukum dan kebiasaan perang; serta
5) Mereka membawa senjata secara terang-terangan.

Golongan penduduk sipil dalam koridor Pasal 2 Regulasi Den Haag itulah yang
dikenal dengan istilah “levee en masse“. Adapun levee en masseadalah suatu
istilah bahasa Perancis, yang muncul di tahun 1793 di mana pada waktu itu Raja
Napoleon menyiapkan rakyatnya secara besar-besaran untuk menghadapi serbuan
pihak sekutu. Sejak itulah, peperangan selalu bersifat total dan melibatkan semua
elemen rakyat, baik laki-laki maupun perempuan, baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam mempertahankan negara yang berada dalam posisi akan
diserang pihak musuh. Pengerahan levee en masse dilakukan pula ketika Soviet
merasa terancam oleh serangan tentara Nazi Jerman. Menurut Karma Nabulsi,
istilah levee en masse yang secara yuridis digunakan sebagai istilah hukum
internasional dalam Konferensi Brussel tahun 1874, harus dibedakan dengan istilah
‘pemberontakan’ (insurrection) yang biasanya dilakukan terhadap pemerintahan
suatu negara. Istilah levee en masse ini digunakan dalam rangka melawan
pasukan asing, baik itu yang akan memasuki suatu negara, maupun pasukan asing
yang telah berhasil menduduki suatu negara dalam rangka mempertahankan diri
(self-defence).Di samping ke dua pasal yang mengatur tentang siapa saja yang
63

dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents, maka terdapat satu pasal lagi
yang termasuk di dalam Bagian I Regulasi Den Haag, yakni Pasal 3, yang isinya:
Pasal 3. “Angkatan Bersenjata dari negara-negara yang bersengketa dapat terdiri
dari kombatan dan non-kombatan. Jika mereka tertangkap pihak musuh, maka baik
kombatan maupun non-kombatan berhak diperlakukan sebagai tawanan perang
(prisoners of war)”.

Seseorang yang berstatus sebagai “non-kombatan“, adalah seseorang yang menjadi


anggota angkatan bersenjata, namun tidak ikut serta di dalam pertempuran; seperti
anggota dinas kesehatan dan dapur umum, rohaniwan, dan sebagainya. Mereka ini
bukan penduduk sipil, akan tetapi anggota angkatan bersenjata, hanya saja tidak
bertugas di medan pertempuran. Apabila mereka tertangkap pihak musuh, status
mereka adalah sebagai tawanan perang dan berhak diperlakukan dan dilindungi
berdasarkan Konvensi Jenewa III tahun 1949 mengenai perlakuan terhadap
tawanan perang. Namun, jika situasi menghendaki, mereka bisa saja ditugaskan di
medan pertempuran, dan jika demikian maka mereka adalah kombatan.

Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapatlah diketahui bahwa


berdasarkan Regulasi Den Haag, maka hak untuk ikut serta dalam pertempuran,
tidak melulu hanya bisa dilakukan oleh tentara saja, namun penduduk sipil juga
punya hak untuk bertempur, asalkan saja memenuhi ketentuan Regulasi Den Haag
di atas. Dengan kata lain golongan-golongan penduduk yang dapat turut serta
secara aktif dalam pertempuran menurutRegulasi Den Haag 1907, yaitu:
1. Armies (Tentara);
2. Militia dan Volunteer Corps (Milisi dan Korp Sukarela) dengan
memenuhi persyaratan tertentu;
3. Penduduk sipil dalam kategori sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
Regulasi Den Haag; yang disebut “levee en masse“.

Dalam kaitan ini Frits Kalshoven memberikan catatan bahwa pada tahun-tahun
ketika ketentuan di atas dirumuskan, istilah belligerent digunakan untuk
menunjukkan bukan saja suatu negara yang terlibat dalam suatu sengketa
bersenjata, melainkan juga orang-perorangan yang sekarang kita kenal dengan
sebutan combatant. Kalshoven juga menyatakan bahwa masuknya ketentuan
tentang levee en masse (demikian pula militia dan volunteer corps) merupakan
64

cerminan dari praktek-praktek negara yang terjadi pada Abad ke-19, khususnya
pada masa perang Perancis-Jerman tahun 1870.

Uraian singkat di atas menjelaskan mengenai siapa yang dapat ikut serta di
dalam pertempuran berdasarkan Regulasi Den Haag 1907. Aturan-aturan Hukum
Humaniter mengenai hal ini kemudian diperbarui di dalam ketentuan Hukum
Humaniter berikutnya, yakni di dalam Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol
Tambahan I tahun 1977.

b. Konvensi Jenewa 1949. Dalam Konvensi jenewa 1949 (I,II,III,IV) tidak


menyebut masalah kombatan, melainkan hanya menentukan yang berhak
mendapatkan perlindungan (Pasal 13 Konvensi I dan II); yang berhak mendapatkan
perlakuan tawanan perang jika jatuh ke tangan musuh (Pasal 4 Konvensi III).
Meskipun ketentuan dalam Pasal 13 Konvensi I dan II serta Pasal IV Konvensi IV
tidak dengan tegas menyebutkan adanya penggolongan kombatan dan penduduk
sipil, namun ketentuan dalam pasal-pasal tersebut pada dasarnya dimaksudkan
untuk diberlakukan bagi kombatan.Gerakan perlawanan yang terorganisir (Organize
Resistance Movement), seperti yang dikenal dengan sebutan : guerillas, partisans,
maquisard, freedom fighters, insurgent, sandinistas, peshmergars, panjsheries,
mujahideen, motariks, contras, muchachos, khmer rouge / liberation tiger, mau-mau,
fedayins, dan sebagainya. Perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan
“non-kombatan” adalah anggota Angkatan Bersenjata yang tidak ikut bertugas di
garis depan medan pertempuran. Mereka sebenarnya juga kombatan.

c. Protokol Tambahan 1977. Dalam Protokol Tambahan Tahun 1977 ini istilah
kombatan dinyatakan secara eksplisit, yaitu dalam Pasal 43 angka 2.Prinsip
pembedaan dalam protokol ini diatur pada Bab II yang berjudul Combatant and
Prisoner of war status.Pasal 43 dengan tegas menentukan mereka yang
digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang termasuk dalam pengertian
armed force (angkatan bersenjata) suatu negara.Yang termasuk dalam pengertian
angkatan bersenjata adalah mereka yang memiliki hak untuk berperang secara
langsung dalam permusuhan. Mereka terdiri:

1) Angkatan bersenjata yang terorganisir (organized armed force)


65

2) Kelompok-kelompok atau unit-unit yang berada di bawah satu


komando yang bertanggungjawab atas tingkah laku bawahannya kepada
pihak yang bersangkutan.

Ketentuan dalam Protokol yang secara tegas membedakan penduduk sipil dengan
kombatan terdapat dalam Pasal 48.Pasal 48 ini merupakan basic rule dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat terjadi konflik
bersenjata.Protokol ini menegaskan bahwa dalam rangka menjamin penghormatan
dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil, maka pihak-pihak
yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara penduduk sipil dan
kombatan dan juga antara obyek-obyek sipil dan militer, serta harus mengarahkan
operasi mereka hanya terhadap sasaran-sasaran militer.Ketentuan lain tentang
prinsip pembedaan terdapat dalam Pasal 44, yang menegaskan bahwa setiap
kombatan yang jatuh ke dalam kekuasaan lawan harus diperlakukan atau
memperoleh status sebagai tawanan perang.Pengaturan prinsip pembedaan dalam
Protokol Tambahan tahun 1977 ini merupakan suatu perkembangan yang
revolusioner, karena dalam protokol ini tidak lagi dibedakan antara regular troops
dan irregular troops sebagaimana dalam konvensi Den Haag ataupun Konvensi
Jenewa 1949.

34. Status ruang Udara dan Pesawat Udara Dalam Konflik Bersenjata. Dalam
suatu konflik bersenjata, maka ruang udara sebagai media pertempuran dan pesawat
udara sebagai alat utama sistem senjata mempunyai status hukum tertentu. Status hukum
media pertempuran dan alat senjata tersebut menentukan keabsahan untuk melakukan
tindakan permusuhan dari pihak yang bersengketa (belligerents) .

a. Zona Perang. Perang udara dapat dilakukan diruang udara negara yang
bersengketa dan di ruang udara di atas laut bebas. Pihak yang bersengketa harus
menetapkan dan mengumumkan wilayah-wilayah udara dimana mereka melakukan
kegiatan operasi pertempuran. Bila pesawat udara Negara Netral yang memasuki
zona tersebut, pihak yang bersengketa tidak bertanggung jawab dan menjamin
keselamatan penerbangan pesawat tersebut.

b. Negara Netral. Negara Netral adalah suatu negara yang tidak ikut serta
dalam sengketa bersenjata. Oleh karena itu, wilayahnya termasuk wilayah perairan
66

dan ruang udara negara tersebut dalam keadaan netral, harus dihormati oleh pihak-
pihak yang bersengketa. Wilayah dari negara netral tidak dapat diganggu gugat.

c. Ruang Udara Negara Netral. Pesawat udara militer negara yang


bersengketa dilarang memasuki wilayah udara negara Netral, kecuali bila wilayah
udara negara netral tersebut dijadikan sebagai tempat persembunyian negara
musuh. Pelanggaran wilayah udara negara netral oleh pihak yang bersengketa
memberikan memberikan hak kepada negara netral untuk mengusir atau melakukan
tindakan korektif lainnya terhadap pelanggar tersebut. Bila menimbulkan kerugian
kepada negara netral akan menciptakan kewajiban hukum terhadap pihak pelanggar
untuk mengganti rugi kepad nnegara netral yang menjadi korban. Pesawat udara
militer dan awaknya dari pihak yang bersengketa yang dipaksa mendarat oleh
negara netral atau yang mendarat karena dalam keadaan darurat (in distress) harus
ditahan oleh negara netral hingga permusuhan antara ihak yang bersengketa selesai
dan dengan itu pesawat udara dan awaknya dikembalikan kepada negara asal.

d. Ruang udara Internasional. Negara yang bersengketa berhak menetapkan


suatu zona perang di wilayah ruang udara negara yang berperang sampai
memasuki wilayah udara internasional tertentu yang berbatasan dengan ruang
udara nasional negara yang bersengketa. Pendirian zona tersebut harus
diumumkan kepada semua pihak.

e. Pesawat Udara Militer. Dalam perang udara, pesawat udara militer


mempunyai status pesawat tempur (belligerents status) . peswat udara militer
adalah pesawat udara untuk bertempur (combatant aircraft) dan karenanya harus
diberikan tanda-tanda sebagai pesawat udara militer sehingga bisa dikenal baik oleh
pihak yang bersengketa atau oleh negara netral. Hanya pesawat udara militer
itulah yang mempunyai keabsahan untuk melakukan perang (right of bellitgerents)
seperti untuk menyerang atau mengangkut pasukannya diatas wilayah udara negara
musuh.

f. Pesawat Udara Militer Musuh. Pesawat udara militer musuh (selain


pesawat udara kesehatan dan pesawat udara yang dijamin keselamatannya oleh
perjanjian antara pihak yang bersengketa) adalah sasaran militer yang sah dan
dapat diserang.
67

g. Pesawat udara Sipil Musuh. Pesawat udara sipil musuh hanya dapat
diserang jika pesawat udara tersebut merupakan sasaran militer. Aktivitas-aktivitas
seperrti berikut ini akan menjadikan pesawat udara sipil musuh berubah menjadi
sasaran militer, yaitu:

1) Terlibat perang atas nama musuh, misalnya menyebarkan ranjau,


menyebarkan dan memantau sensor suara, terlibat dalam perang elektronik,
melakukan pencegatan dan menyerang pesawat udara sipil lainnya atau
memberikan informasi mengenai sasaran militer musuh.

2) Bertindak sebagai pesawat udara pembantu bagi kekutan angkatan


bersenjata musuh, misalnya mengangkut pasukan atau muatan militer atau
mengisi ulag bahan bakar pesawat udara musuh.

3) Terlibat dalam atau membantu sistem pengumpulan informasi intelijen


musuh, misalnya terliba dalam misi pengintaian, peringatan dini, pengamtan
komando dan komunikasi.

4) Terbang dibawah perlindungan pesawat udara musuh yang


menyertainya atau dibawah perlndungan pesawat udara militer musuh.

5) Menolak perintah untuk mengidentifikasi dirinya, keluar dari jalur


penerbangannya atau melakukan penrbangan untuk memasuki atau mencari
lapangan udara pihak yang bersengketa yang aman dan dapat diarati dengan
mudah oleh jenis pesawat udara dari negara yang terlibat sengketa, atau
mengoperasikan alat kontrol yang dapat dipandang sebagai bagian dari
sistem persenjataan pesawat udara atau melakukan pencegatan yangjelas
merupakan manuver untuk menyerang pesawat udara musuh yang
melakukan pencegatan.

6) Dilengkapi dengan senjata dari udara ke udara atau dari udara ke


darat.

7) Dengan cara lain memberikan kontribusi yang efektif terhadap tindakan


militer.
68

h. Pesawar Udara Medis. Pesawat Udar Medis (Medical Aircrafft) memiliki


imunitas dengan syarat diberikan tanda palang merah atau simbol lainnya yang
diakui secara internsional. Agar pesawat udara medis memiliki imunitas maka
harus beroperasi sesuai dengan jalur udara, ketinggian dan waktu sebagaimana
diperjanjikan oleh para pihak yang bersengketa. Pesawat udara medis kehilangan
status imunitasnya bila melakukan kegiatan diluar untuk engangkutan pasien dan
personel kesehatan serta peralatan kesehatan.

35. Ketentuan hukum tentang Perang di Udara. Hukum humaniter menetapkan


sasaran militer yang sah dalam perang udara. Sasaran militer yang sah baik yang berada
di ruang udara maupun yang berada di lautan trgantung dari sifat dan kedudukan hukum
objek yang akan menjadai sasaran.

a. Pesawat Udara Militer dan Peluru Kendali. Dalam perang, pesawat udara
militer musuh atau peuru kendali musuh dapat diserang atau dihancurkan di ruang
udara manapun asalkan diluar yurisdiksi Negara Netral. Jenis peluru yang dilarang
digunakan dalam perang di darat seperti peluru incendiary, sah digunakan untuk
menyerang pesawat udara militer musuh.

b. Pesawat udara musuh dalam keadaan darurat. Hukum humaniter


melarang membunuh musuh yang telah menyerah atau terluka. Bagi awak pesawat
udara militer musuh yang mengalami keadaan darurat dan telah menyerah harus
diperlakukan sebagai tawanan perang.

c. Pasukan Payung. Pasukan militer yang diterjunkan dengan payung untuk


tujuan yang bersifat permusuhan (hostilities) merupakan sasaran yang sah untu
diserang, meskipun masih berada di udara.

d. Penumpang Pesawat Udara (Occupant of aircraft) . penumpang pesawat


udara yang terjun (parachutist) dari pesawat udara yang dalam keadaan bahaya (in
distress aircraft) tidak diperbolehkan diserang selama penerjunan berlangsung.
Jika mereka mendarat di daerah yang dikuasai musuh, maka mereka harus diberi
kesempatan untuk menyerah, kecuali mereka menunjukkan tindakan permusuhan.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi pasukan payung (airborne troops) karena meraka
adalah sasaran militer yang sah.
69

e. Perlindungan Terhadap Pesawat Udara yang lain. Pihak yang berperang


dapat membuat perjanjian untuk menentukan beberapa golongan pesawat lain
sebagai pesawat yang dilindungi selama pertempuran karena fungsi tertentu yang
ditetapkan untuk keperluan tukar menukar informasi resmi pihak yang berperang.
Dalam rangka penjajakan perundingan, gencatan senjata atau pertukaran tawanan
perang. Pesawat udara dengan fungsi tersebut diberi identitas tertentu dan
selanjutnya mendapatkan perlindungan hukum dari kedua belah pihak.

36. Ketentuan hukum Mengenai Pemboman Udara. Pemboman udara, dalam arti
menjatuhkan bahan peledak dari udara baik dengan pesawat udara berawak atau tidak,
penembakan, dan penggunaan peluru kendali dan roket terhadap sasaran musuh di bumi
belum diatur. Tetapi dalam praktiknya negara-negara mengakui bahwa beberapa ketentuan
Konvnesi Den Haaq 1907, yaitu Konvensi ke IV dan konvensi IX mengenai pemboman oleh
Angkatan Laut di waktu perang berlaku pula bagi pemboman di udara.

a. Konvensi Den Haaq ke IV 1907. Ketentuan perang di darat yang berlaku


bagi pemboman di udara terdapat pada pasal:

1) Pasal 25 HR. Pemboman dengan alat atau sarana apapun atas Desa,
Kota, Perkampungan dan bangunan-bangunnan yang tidak dipertahankan
adalah dilarang.

2) Pasal 26 HR. Komandan pasukan penyerang sebelum melakukan


pemboman, dengan segenap kemampuannya mengusahakan untuk
memberitahukan terlebih dahulu kepada penguasa yang berwenang.

3) Pasal 27 HR. Dalam melakukan pemboman segala cara yang harus


ditempuh sejauh mungkin untuk melindungi bangunan-bangunan untuk
kepentingan kemanusiaan lainnya. Dalam kaitan ini disyaratkan bangunan
tersebut tidak dipergunakan untuk kepentingan militer musuh dan terhadap
bangunan tersebut diberikan tnda identitas secara jelas.

b. Peraturan Konvensi Den Haaq tentang Perang Udara 1923. Diantara


kaidah-kaidah dalam peraturan tersebut yang berkaitan dengan pemboman udara
adalah:
70

1) Pasal 22. Pemboman udara untuk keperluan menteror penduduk sipil


atau menghancurkan harta benda pribadi yang tidak bersifat militer atau
melukai non kombatan adalah dilarang.

2) Pasal 23. Dilarang melakukan pemboman udara yang bertujuan untuk


memaksa pemenuhan persyaratan pembayaran kontribusi dalam bentuk
uang.

3) Pasal 24. Pemboman udara adalah sah bila ditujukan terhadap


sasaran militer.

4) Pasal 25. Melindungi bangunan-bangunan untuk kepentingan sipil


yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan militer. Bangunan-bangunan
seperti tersebut harus diberi tanda yang jelas. Misalkan tanda palang merah,
tanda segi empat besar (rectangular) yang dibagi dalam dua segi tiga, satu
diberi warna hitam dan satu warna putih.

c. Resolusi Majelis Umum PBB. Resolusi Majelis Umum PBB No. 244,
Januari 1969 menetapkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam pemboman udara,
yaitu:

1) Hak pihak yang terlibat konflik bersenjata untuk melakukan kekerasan


bukan tidak terbatas.

2) Dilarang melakukan serangan terhadap penduduk sipil sebagai


konsekuensi diterimanya asas pada subpasal a diatas.

3) Harus selalu diadakan usaha memisahkan penduduk sipil dari sasaran


serangan.

d. Konflik Bersenjata. Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik
bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat
dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol I Tambahan 1977
yaitu:
71

1) “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat


internasional”(international armed conflict);

2) “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-


international armed conflict).

e. Cara dan alat berperang di darat. Hukum perang menentukan alat-alat


mana yang boleh dipakai dan alat-alat mana yang dilarang digunakan untuk
memusnahkan lawan dalam peperangan. Pemilihan cara dan alat untuk perang
adalah dibatasi. Dalam pembatasan ini hukum perang berprinsip pada:

1) Kepentingan militer.
2) Perikemanusiaan.
3) Kesatriaan.

Dengan adanya pembatasan ini maka cara berperang dan alat berperang, ada yang
diperbolehkan dan ada yang dilarang.

f. Cara penggunaan kekerasan. Prinsip pembatasan penggunaan kekerasan


selama berperang diatur dalam Hague Regulations:

1) Semua cara membunuh adalah sah, kecuali kalau dilarang dalam


konvensi/perjanjian.

2) Semua cara yang dengan sengaja menambah penderitaan yang tidak


perlu, adalah tidak sah.

g. Cara yang diperbolehkan.

1) Pemboman-penyerbuan-pengepungan (pasal 25).


2) Tipu muslihat/ruses war (pasal 24)
3) Mata-mata/Spies
4) Pengkhianatan perang/war treason
72

Hukum perang tidak banyak mengatur soal alat untuk berperang. Pasal 22 Hague
Regulations mencantumkan prinsip dari penggunaan senjata dalam perang.
- Hak belligerent untuk memilih alat untuk melukai lawan adalah terbatas

h. Beberapa hal yang dilarang dalam perang menurut Hague Regulations:

1) Penggunaan racun atau senjata yang beracun.


2) Penggunaan senjata, peluru atau alat lain yang direncanakan untuk
menimbulkan penderitaan yang tidak perlu.

Diluar Hague Regulations ada beberapa perjanjian khusus yang melarang


dipakainya senjata tertentu, misalnya:

1) Larangan pemakain peluru yang beratnya kurang dari 400 gram dan
dapat meledak. (Declaration of St. Petters-burg 1868).
2) Larangan penggunaan peluru yang dapat mengembang.
3) Larangan penggunaan peluru yang dapat menyebarkan gas beracun.

i. Tugas Komandan. Dalam Pasal 87 (Protokol) ditegaskan bahwa pihak-


pihak dalam konflik harus menekankan kepada para Komandan agar mereka
sedapat mungkin mencegah anak buah mereka melakukan pelanggaran terhadap
Konvensi maupun Protokol.

j. Pelanggaran berat. Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi


Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah
pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai
kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan
Ketiga antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang
yang dilindungi oleh konvensi tersebut:

1) Pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi,


termasuk eksperimen biologi
2) Dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius
terhadap jasmani atau kesehatan
73

3) Memaksa orang untuk berdinas di angkatan bersenjata sebuah negara


yang bermusuhan
4) Dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a
fair trial) dari seseorang

Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi
Jenewa Keempat:

1) Penyanderaan;
2) Penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang
tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan
dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan;
3) Deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum.

k. Civilian. Yang dimaksud penduduk sipil adalah semua orang yang bukan
kombatan. Pada masa konflik bersenjata, mereka harus dilindungi dan tidak boleh
dijadikan sasaran serangan.

l. Sasaran militer. Penentuan apakah suatu objek merupakan objek sipil


ataukah sasaran militer secara yuridis menurut Hukum Humaniter. Berdasarkan
Pasal 52 Protokol Tambahan I tahun 1977, maka sudah ditentukan apa yang
dimaksudkan dengan objek sipil dan sasaran militer.

Soal latihan.

1. Berdasarkan Haque Regulations 1907 terdapat beberapa golongan penduduk


mempunyai hak untuk turut dalam pertempuran. Sebutkan golongan-golongan tersebut!

2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Negara Netral!

3. Jelaskan pengertian konflik bersenjata!


74

BAB VII

PENUTUP

35. Wusana Kata. Demikian Naskah Sekolah tentang Hukum Humaniter sebagai
bahan ajaran bagi Perwira Siswa Seskoau, semoga bermanfaat dan dijadikan bahan acuan
dalam mengaplikasikannya dan untuk penyempurnaan lebih lanjut Naskah Sekolah ini
dapat dilakukan berbagai perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
organisasi.

DEPARTEMEN IPTEK

Anda mungkin juga menyukai