NASKAH SEKOLAH
TENTANG
HUKUM HUMANITER
BAB I
PENDAHULUAN
2. Umum. Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya
adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia
dan harus dihindari, karena akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan bagi umat
manusia. Oleh karena itu dengan alasan apapun perang sebisa mungkin harus dihindari.
Namun upaya menghapus perang sama sekali dari muka bumi nampaknya tidak mungkin
karena perang akan selalu terjadi. Karena upaya menghapus perang tidak mungkin
dilakukan, maka umat manusia berupaya mengurangi penderitaan akibat perang dengan
membuat hukum. Hukum yang dimaksud pada waktu dulu dikenal dengan istilah hukum
perang dan sekarang lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. Istilah
hukum humaniter atau lengkapnya disebut Internasional Humanitarian Law Applicable In
Armed Conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian
berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya
pada saat ini biasa dikenal dengan istilah Hukum Humaniter. Hukum Humaniter
Internasional merupakan salah satu cabang dari hukum internasional. Sejarah Hukum
Humaniter Internasional itu sendiri telah ada setua perang dan kehidupan manusia itu
sendiri. Hukum perang dalam bentuknya yang sekarang, walaupun baru, memiliki sejarah
yang panjang. Hukum perang pada awalnya hanya berdasarkan pada kebiasaan (custom)
yang berlaku dalam perang. Kebiasaan (custom) ini sangat dipengaruhi oleh agama, asas
perikemanusiaan dan asas kesatriaan. Baru dalam abad ke-19 ada usaha dari beberapa
negara untuk mengadakan perjanjian yang berisi ketentuan tentang perang. Perang
2
merupakan kejadian yang tidak diinginkan tetapi perang juga tidak dapat dicegah. Oleh
karena itu, diusahakan dalam perang meminimalisir korban dan menciptakan perang yang
manusiawi. Hukum Humaniter Internasional berlaku dalam konflik bersenjata baik itu
konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional yang
menyebabkan terjadinya korban.
4. Ruang lingkup dan Tata Urut. Naskah ini disusun dengan tata urat sebagai
berikut:
a. Bab I Pendahuluan.
b. Bab II Istilah, dan Pengertian
c. Bab III Sumber Hukum Humaniter
d. Bab IV Hukum Den Haaq
e. Bab V Hukum Jenewa
f. Bab VI Hukum Humaniter Dalam Tugas
g. Bab VII Penutup.
5. Dasar. Penyusunan buku ini menggunakan dasar atau landasan hukum sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
b. Undang-Undang RI Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara
Republik Indonesia Dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agutus 1949.
c. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
d. Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia.
a. Belligerent : para pihak yang bersengketa atau negara yang sedang terlibat
dalam peperangan.
b. Chivalry : kesatriaan.
i. Hors de combat :adalah kombatan yang tidak mampu (tidak berdaya) untuk
melakukan serangan kepada pihak musuh, baik karena sakit, luka-luka atau
memang telah menyerah. Hors de combat ini harus dilindungi dan dirawat (jika sakit
atau terluka). Kadang-kadang dalam literatur istilah hors de combat ini juga disebut
dengan istilah ‘out of combat’.
j. Hukum Den Haag (the Hague Laws) : adalah seperangat ketentuan yang
mengatur mengenai alat dan cara berperang (means and methods of warfare) yang
sebagian besar dihasilkan dari Konferensi Perdamaian I 1809 dan Konferensi
Perdamaian II 1907, yang berupa Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907
yang dihasilkan di kota Den Haag, Belanda.
l. Ius ad bellum (latin; justice to war) : yakni seperangkat ketentuan yang harus
diterapkan sebelum peperangan dimulai untuk menentukan justifikasi atas
dilakukannya kekerasan bersenjata atau apakah kekerasan bersenjata tersebut
dapat dibenarkan atau tidak.
m. Ius in bello : yakni seperangkat ketentuan yang berlaku ketika telah terjadi
peperangan dan menentukan bagaimanakah alat dan cara berperang serta
perlindungan para korban perang harus dilakukan. Untuk mengetahui ketentuan ini,
dapat dilihat ketentuan-ketentuan pokok Hukum Humaniter yang terdapat dalam
Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.
q. Objek militer : adalah objek yang karena sifatnya, lokasinya, tujuan atau
penggunaannya dapat memberikan kontribusi pada operasi militer, dan apabila
objek tersebut dihancurkan, dikuasai, atau dinetralisir baik sebagian atau
seluruhnya, maka dapat diperkirakan akan memberikan keuntungan militer yang
pasti/nyata.
5
BAB II
ISTILAH DAN PENGERTIAN
7. Umum. Hukum perang atau yang sering disebut dengan Hukum Humaniter
Internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan
peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja
mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun
sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk
mempertahankan diri kemudian membawa keinsyafan bahwa cara berperang yang tidak
mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang
mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur
perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan
bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern
sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan-tulisan mengenai
hukum perang.1Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam
aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari
hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju
untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalamanpahit atas
peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan
kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya
komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan
atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter
internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal. Pada
umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama.
Hukum untuk perlindungan bagi “kelompok orang tertentu” selama sengketa bersenjata,
dapat ditelusuri melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia.
Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anak-anak, perempuan, kombatan
yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
1
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia 1980.
7
untuk mempertegas kapan perang boleh dilakukan. Terkait dengan dalam keadaan
bagaimana dan kapan perang boleh dilakukan, dikembangkan konsep “just war”.
Cicerolah yang pertama kali mencetuskan konsep ini. Ia menyatakan bahwa perang
sama sekali tidak boleh dilakukan oleh suatu negara “kecuali untuk
mempertahankan kehormatan atau keselamatan”. Selanjutnya, ia menetapkan
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk membenarkan perang, yaitu perang
harus diumumkan oleh pemerintah yang sah (proper authority), musuh harus
diberitahu tetang pengumuman perang tersebut, dan musuh harus diberi peluang
merundingkan penyelesaian damai sebelum dimulainya permusuhan.
Protokol I dan II yang ditambahkan pada Konvensi Jenewa 1949, Tahun 1977
(selanjutnya disebut Protokol Tambahan I dan II 1977), mengatur keduanya, cara
dan alat perang, dan perlindungan korban perang.
Berbeda dengan jus ad bellum yang mempersoalkan tentang keabsahan
perang (legality of war),jus in bello, hukum humaniter melepaskan diri dari persoalan
tersebut. Hukum humaniter tidak mempersoalkan mengapa kekerasan bersenjata
digunakan. Bagi hukum humaniter internasional tidak penting apakah ada
pembenaran untuk mengangkat senjata, apakah penggunaan pasukan dimaksudkan
untuk memulihkan hukum dan ketertiban, atau apakah itu merupakan agresi terang-
terangan, juga tidak penting apakah itu dilakukan oleh kelompok perlawanan yang
diserang atau tidak. Bagi hukum humaniter internasional penerapannya adalah
persoalan kenyataan (fact). Dengan demikian, begitu ada sengketa bersenjata,
begitu ada orang yang terluka, atau ada anggota angkatan bersenjata suatu pihak
pesengketa bersenjata yang menyerah kepada pihak pesengketa bersenjata
lainnya, atau orang sipil yang berada dalam kekuasaan mereka, begitu mereka
menahan tawanan atau menguasai wilayah negara musuhnya, maka mereka harus
mematuhi konvensi terkait. Jumlah yang terluka atau jumlah tawanan, luas wilayah
yang diduduki tidak penting, sebab persyaratan perlindungan tidak tergantung pada
pertimbangan kuantitatif.
a) The Hague Laws, atau hukum yang mengatur tentang alat dan
cara berperang, serta
Pictet menggunakan istilah hukum perang dalam dua pengertian, yaitu hukum
perang dalam yang sebenarnya (the laws of war properly so-called), yaitu hukum
den Haag; dan hukum humaniter dalam pengertian yang sebenarnya (humanitarian
law properly so-called), yaitu hukum Jenewa (Geneva).
Menurut Rosenblad, Hukum Perang inilah yang oleh ICRC disebut dengan
“international humanitarian law applicable in armed conflict”. Dapat
disimpulkan bahwa menurut Rosenblad, Hukum Humaniter identik dengan
Hukum Perang, sedangkan Hukum Perang sendiri merupakan bagian dari
Hukum Sengketa Bersenjata.
2) Ius in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi
menjadi:
12
1) Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai
untuk berperang (Hukum Den Haag /The Hague Laws);
3
GPH. Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, 1994.
13
c. Asas Ksatriaan (Chivalry). Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu
peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau
bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat
khianat dilarang.
12. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter. Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter
internasional antara lain:
adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan
(hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut
serta dalam permusuhan.
Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh
dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek
kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam
sebuah asas pelaksanaan (principles ofapplication), yaitu :
13. Tujuan Hukum Humaniter. Oleh karena itu, setidaknya Hukum Humaniter ini
bertujuan untuk:4
4
Arlina Permanasari et.all, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 11-12.
15
e. Memungkinkan diakhirinya perang dalam waktu yang cepat antara pihak yang
bersengketa dan dipulihkannya perdamaian secepat mungkin.
14. Aliran-aliran yang terkait dengan Hukum Humaniter. Dalam kepustakaan ada
tiga aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional, yaitu: 5
b. Aliran Separatis. Aliran separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum
Humaniter Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan,
karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada:
5
Ibid.
16
Soal latihan.
1. Jelaskan pendapat dari Jean Pictet tentang pengertian dari Hukum Humaniter
Internasional!
BAB III
SUMBER HUKUM HUMANITER
15. Tujuan Instruksional. Agar para Perwira Siswa mengetahui norma-norma atau
kaidah-kaidah hukum yang digunakan untuk mengatur dan membatasi pertikaian
bersenjata, memperlakukan tawanan perang serta melindungi masyarakat sipil dalam
lingkup masyarakat internasional.
Melalui hal ini maka dimungkinkan upaya penelusuran aturan hukum perang
tersebut yang disusun berdasarkan kronologi waktu kehadirannya. Menurut Friedman
dikatakan bahwa perang adalah suatu perkembangan sejarah panjang yang pada tahap
awalnya hanya memiliki kesamaan dalam taraf yang kecil dengan international
humanitarian law. Dari abad pertengahan sampai dengan abad ke 17 diskusi-diskusi
mengenai perang didominasi oleh pertimbangan teleologis sedangkan pengkodifikasian
belum terjadi sebelum abad ke 19. Hukum perang tertua adalah The Summerians yang
dipandang sebagai perang yang dilakukan negara yang diawali dengan pernyataan perang
dan diakhiri dengan perjanjian damai.
Dalam tulisannya yang berjudul De iure belli ac pacis tahun 1625 Hugo Goritus
menyiratkan perilaku dalam berperang. Pada abad ke 18 pendapat Rousseau adalah
sebuah landmark bagi pembangunan hukum humaniter, dinyatakan olehnya bahwa diakui
suatu prinsip bagi tujuan penggunaan kekerasan untuk mengalahkan Negara lawan dan
tindakan-tindakan yang membuat musuh tidak dapat bertahan, pembedaan antara
combatan dan cilivilians diperlukan dan harus diperlakukan secara humanis. Dari sinilah
20
pilar hukum humaniter modern dimulai. Pada abad ke 19 telah ditunjukan bahwa praktek
pada abad 18 akhir telah diterima sebagai sesuatu yang praktis. Sejumlah besar perjanjian
internasional beberapa diantaranya diadopsikan, kodifikasi beberapa dari aturan hukum
kebiasaan dalam berperang. Insiatif tersebut terlihat dari organisasi privat internasional
ICRC (International Commite of the Red Cross), yang telah memainkan peranan sentral
dalam pembangunan dan penerapan hukum humaniter (Wolfrum, United Nations : law,
Policies and Practice,1995:814).
Pada tahun 1861 seorang professor dari Jerman telah mempersiapkan suatu
manual yang berdasarkan hukum internasional yang dikenal dengan Lieber Code.Lieber
Code berisi 10 section (Schindler,1981:3) dimana tiap section mengatur secara khusus
bagian-bagian yang menyangkut perilaku berperang dan perlindungan bagi korban perang.
Isi dari Lieber Codetersebut berturut-turut adalah:
Lieber code dikenal sebagai the origin of what has come to known as Hague Law.Melalui
beberapa pengaturan yang terbagi kedalam section-section tersebut telah ditunjukan
bahwa Lieber code adalah sebuah pandangan filosofis seperti misalnya sipil tidak
bersenjata harus dihormati. Melalui inspirasi dari Lieber code menurut Schindler
dilakukanlah Brussels Declaration dengan inisiatif yang berasal dari Rusia.Deklarasi itu
sendiri memiliki banyak kesamaan degan The Oxford manual 1880, walaupun keduanya
bukanlah suatu ketentuan yang mengikat namun demikian banyak ketentuan dalam hukum
perang yang mengacu kepada keduanya.6
6
Agmnp, http://www.bahankuliyah.com/2014/05/hukum-humaniter-internasional.html.2015
21
Selama ini hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.
Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan hukum Den
Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut
merupakan sumber Hukum Humaniter yang utama, selain itu masih terdapat konvensi-
konvensi lain dijadikan sumber hukum humaniter.
Sebagaimana diuraikan di atas, lingkup dan isi aturan kebiasaan perang ini,
sebagaimana dengan hukum kebiasaan internasional pada umumnya, agak sulit
difahami dan tidak pasti. Cara yang paling efektif menghapuskan ketidakpastian ini
adalah melalui pembuatan traktat (treaty-making), yakni, dengan merundingkan versi
peraturan yang disepakati, dengan mewujudkan peraturan ini dalam instrument-
instrumen yang mengikat dan diterima secara internasional. Peraturan ini secara
umum disebut traktat, beberapa di antaranya menyandang nama lain: seperti
konvensi, deklarasi atau protocol. Sementara traktat dapat dibuat dan
ditandatangani di antara dua Negara (bilateral treaties), yang menjadi perhatian kita
di sini adalah traktat yang ditandatangani di antara banyak Negara (multilateral
treaties).
Dapat ditunjuk sebagai awal perkembangan hukum perang melalui
pembuatan traktat, sehingga dapat dipandang sebagai hukum perjanjian
internasional (treaty law) adalah konferensi internasional 1860 yang merancang satu
sisi khusus dari hukum perang. Hasilnya, penyelenggaraan konferensi pertama, di
Jenewa 1864 tentang nasib para perajurit yang terluka di medan perang; lainnya, di
St. Petersburg 1868 tentang penggunaan peluru senapan yang meledak. Permulaan
yang paling sederhana ini memiliki akar dari dua aliran yang berbeda, masing-
masing ditandai dengan sudut pandangnya sendiri. Yang pertama, dikenal sebagai
hukum Den Haag (the law of The Hague), terkait dengan perilaku perang dan alat-
alat dan cara perang yang diperbolehkan. Yang kedua, disebut hukum Jenewa (the
law of Geneva), lebih terkait dengan kondisi korban perang di tangan musuh (seperti
tawanan perang, atau interniran sipil).
24
Banyak prinsip atau asas hukum perang sekarang dituangkan dalam traktat
dan hukum kebiasaan iternasional. Arti penting dari hal ini adalah apabila prinsip
hukum telah memiliki status hukum kebiasaan internasional, maka prinsip ini
mengikat bagi semua Negara, tidak hanya bagi para penandatangan traktat
18. Sumber Hukum Lainnya. Selain sumber hukum humaniter internasional pokok,
yang berupa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, terdapat sumber hukum humaniter
yang lainnya sebagai berikut:
27
a. Deklarasi Paris (16 April 1865). Deklarasi Paris 1865 mengatur tentang
Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan pengalaman Perang Krim tahun 1864,
di mana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-
prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk mencegah terulangnya kejadian
tersebut maka Deklarasi Paris memuat beberapa asas, yatu:
Soal latihan.
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kebiasaan internasional sehingga hal tersebut
dijadikan sebagai salah satu sumber hukum didalam Hukum Humaniter!
3. Sebutkan salah satu sumber hukum diluar sumber hukum utama Hukum Humaniter!
29
BAB IV
19. Tujuan Instruksional. Agar para Perwira Siswa mengetahui tentang kaidah hukum
Humaniter yang mengatur tentang cara dan alat-alat yang dilarang atau diperbolehkan
selama terjadi pertikaian bersenjata.
20. Umum. Hukum Humaniter Internasional (Hukum Perang atau Hukum Konflik
Bersenjata) adalah seperangkat aturan yang, di masa perang, melindungi orang yang tidak,
atau tidak lagi, ikut serta dalam pertikaian dan membatasi pemilihan sarana dan cara
berperang. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk melindungi martabat manusia
dan membatasi penderitaan di masa perang. Selama ini hukum humaniter terdiri dari
Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan
alat berperang, sedangkan hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban
perang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang
utama, selain konvensi-konvensi lain yang telah disebutkan terdahulu.
Hukum Den Haag menentukan hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang
bersengketa tentang cara melakukan operasi-operasi militer serta membatasi cara-cara
yang dapat menyebabkan kerusakan di pihak musuh. Peraturan-peraturan ini terdapat
dalam Konvensi-konvensi Den Haag 1899, yang semuanya revisi dari tahun 1907, dan
sejak 1977, dalam Protokol-protokol tambahan pada Konvensi-konvensi Jenewa, demikian
pula dalam berbagai perjanjian yang melarang atau mengatur penggunaan senjata .Hukum
Den Haag sendiri lebih memfokuskan diri kepada peraturan mengenai alat dan cara
berperang serta menekankan bagaimana cara melakukan operasi-operasi militer. Oleh
karena itu hukum Den Haag sangat penting bagi komandan militer baik yang bertugas di
darat, di laut maupun di udara.
21. Hukum Den Haag. Jika ditinjau dari asal usul Hukum Humaniter Internasional,
untuk mengetahuinya, harus diketahui dahulu sumber hukum itu berasal. Ada dua sumber
utama hukum ini, Hague Convention dan Geneva Convention. Sumber yang pertama
adalah berasal dari Konvensi Den Haag, dinamakan Den Haag sendiri karena dibuat di
wilayah ini (salah satu wilayah di Belanda). Konvensi Den Haag terjadi sebanyak dua kali.
Dimana yang konvensi yang pertama pada tahun 1899 dan yang kedua pada tahun 1907.
30
Sebenarnya isi dari kedua konvensi ini sama yakni mengatur tata cara dan alat yang
diperbolehkan dalam perang yang dilakukan oleh negara-negara yang melakukannya.
Hanya saja isi dari konvensi kedua merupakan penyempurnaan dari konvensi pertama.
Dalam Konvensi Den Haag pertama 1899 dihasilkan tiga konvensi dan deklarasi.
Sedangkan pada tahun 1907 menghasilkan tiga belas konvensi yang beberapa diantaranya
tidak digunakan. Akan tetapi sebagian lainnya digunakan hingga sekarang, yang paling
terkenal dalam konvensi ini adalah konvensi keempat yang menyangkut tentang “Hukum
dan Kebiasaan Perang di Darat”.7
konferensi, tetapi usaha ini digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan dipimpin
oleh Jerman, karena Jerman khawatir bahwa itu merupakan usaha Inggris untuk
menghentikan pertumbuhan armada Jerman. Jerman juga menolak usulan tentang
arbitrase wajib. Namun, konferensi tersebut berhasil memperbesar mekanisme
untuk arbitrase sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang mengatur
penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral. Perjanjian
Final ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada tanggal
26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas sections, yang dua belas di
antaranya diratifikasi dan berlaku:
Konvensi VI (enam) sampai dengan Konvensi XII (dua belas) Den Haag 1907
pada umumnya mengatur seluruh masalah kapal berupa kapal perang, sehingga
menyangkut perang di laut. Dalam Konferensi Perdamaian II tersebut, adapun
satu-satunya deklarasi yang dihasilkan berupa pelarangan penggunaan proyektil-
proyektil atau bahan-bahan peledak dari balon.
The Hague Laws (Hukum Den Haag) merupakan istilah yang digunakan
untuk humaniter yang mengatur mengenai alat (sarana) dan cara (metode)
berperang (means and methods of warfare) serta menunjukkan serangkaian
ketentuan hukum dan menekankan bagaimana cara melakukan operasi-operasi
militer.
Hukum Den Haag menentukan hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang
bersengketa tentang cara melakukan operasi-operasi militer serta membatasi cara-
cara yang dapat menyebabkan kerusakan di pihak musuh. Peraturan-peraturan ini
seluruhnya terdapat di dalam konvensi-konvensi Den Haag 1899, yang kemudian
dilakukan revisi tahun 1907. Penyebutan The Hague Laws, dikarenakan
pembentukan ketentuan-ketentuan tersebut dihasilkan di Kota Den Haag, Belanda.
Hukum Den Haag sendiri terdiri dari serangkaian ketentuan yang dihasilkan dari
Konferensi 1899 serta ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari konferensi 1907.
39
Di dalam Pasal 1Konvensi Den Haag III (1907), adalah contoh yang
jelas guna menggambarkan adanya nilai-nilai kemanusiaan di dalam
Konvensi Den Haag III. Adanya “declaration of war” yang terdapat dalam
Pasal 1 dimaksudkan agar negara yang bersengketa mempersiapkan dirinya
dalam menghadapi musuhnya dengan cara, antara lain, menyelamatkan
penduduk sipil yang tidak ikut bertempur ke dalam zona-zona aman (zona
demiliterisasi).Jadi, ketentuan tersebut mengandung asas kesatriaan; pun
juga mencerminkan asas kemanusiaan.
dua negara berada dalam keadaan perang; (3) untuk mencegah tuduhan
adanya suatu perang yang tidak adil (unlawful war).
Perang dalam arti hukum adalah perang yang dimulai dengan konvensi
Den Haag III 1907.Perang tidak dapat dimulai tanpa adanya pernyataan
perang yang disertai alasan atau dengan suatu ultimatum, dengan
pernyataan perang jika ultimatum itu tidak dipenuhi.
Soal latihan.
1. Salah satu sumber hukum utama didalam Hukum Humaniter adalah Hukum Den
Haaq. Jelaskan mengenai Hukum Den Haaq tersebut.
47
BAB V
KONVENSI JENEWA
22. Tujuan Instruksional. Agar para Perwira Siswa mengetahui kaidah hukum
Humaniter yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban-korban akibat pertikaian
bersenjata.
23. Umum. Sejarah kelahiran dari Konvensi Jenewa 1949 tidak bisa dilepaskan dari
suatu peristiwa besar dunia, yaitu Perang Dunia II yang berakhir pada tahun 1945. Dampak
yang begitu besar dari peperangan yang keji ini pada akhirnya membuat tiap-tiap negara
sepakat untuk membuat beberapa aturan, guna meminimalisir dampak negatif dari Perang
Dunia II.Keempat konvensi Jenewa dirumuskan secara ekstensif, yakni berisikan klausula-
klausula yang memberikan penetapan tentang hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap
dalam konflik militer, klusula-klausula yang menetapkan perlindungan bagi korban luka,
serta klausula-klausula yang menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada
di dalam dan di sekitar kawasan perang. Keempat konvensi ini telah diratifikasi, secara
utuh ataupun dengan sedikit perubahan oleh negara-negara yang totalnya mencapai 194
negara. Pada dasarnya, tujuan utama dari dibentuknya keempat konvensi ini ialah untuk
memberikan perlindungan terhadap pihak-pihak yang menjadi korban selama peperangan,
baik yang berasal dari kombatan dan warga sipil nya. Artinya adalah bahwa perlindungan
harus diberikan secara merata dan adil bagi seluruh pihak tanpa melihat golongannya.
Apabila Konvensi Den Haag lebih membahas tentang tata cara serta alat yang
dipergunakan dalam perang, maka dalam Konvensi Jenewa sendiri lebih mengarah kepada
tata cara memperlakukan dan melindungi korban dari perang yang terjadi. Setelah perang
dunia kedua, Konvensi ini disempurnakan menjadi empat Konvensi, yang kesemua isinya
menyangkut tentang pasal-pasal perlindungan bagi warga sipil, orang-orang yang
tertangkap perang, perlindungan bagi korban perang, serta para pelayan kesehatan dalam
perang.
24. Hukum Jenewa 1949.Hukum Jenewa atau The Geneva Laws adalah istilah yang
dipakai untuk menunjukkan serangkaian ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur
mengenai perlindungan para korban perang (protection of war victims), baik terdiri dari
kombatan maupun penduduk sipil. Disebut dengan Hukum Jenewa, karena hampir
sebagian besar ketentuan-ketentuan mengenai hal ini dihasilkan di kota Jenewa, Swiss.
49
Bahwa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa merupakan dua aturan pokok dalam
Humaniter, sebagaimana dikemukakan oleh Jean Pictet bahwa :
“Humanitarian Law has two branches, one bearing the name of Geneva, and the other
name of the Hague”. Hukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban
perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat
Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah:
Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 ditambahkan lagi dengan
Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan:
25. Ketentuan yang Bersamaan atau Common article. “Common articles“; yaitu
pasal-pasal yang sama atau nyaris sama, baik isinya ataupun nomor pasalnya, yang
terdapat di dalam semua Konvensi Jenewa 1949. Pasal-pasal tersebut atau “pasal-pasal
kembar” (istilah dari Prof. Sugeng Istanto, FH-UGM Jogjakarta), dicantumkan-ulang pada
setiap Konvensi Jenewa karena memang sangat penting dan merupakan ketentuan yang
mendasar dari Konvensi Jenewa.Common articles dari Konvensi Jenewa 1949 dapat
diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu :
Pasal 1 yang terdapat dalam common articles berisikan sebuah “janji” dari Pihak
Peserta Agung pada Konvensi-konvensi Jenewa. Pihak Peserta Agung harus
“berjanji” untuk selalu menghormati serta menjamin penghormatan dalam segala
keadaan. Dengan kata lain Pihak Peserta Agung haruslah menghormati konvensi
tersebut dan harus memberi jaminan bahwa penghormatan terhadap konvensi tidak
akan hilang. Hal ini memiliki arti bahwa tiap-tiap negara tidak cukup apabila hanya
sekedar memberi perintah kepada para petugas militer atau sipil untuk mentaati
konvensi, tetapi pemerintah harus mengawasi bahwa perintahnya telah benar
dilaksanakan.Bila diketahui ada petugas yang tidak mentaati konvensi atau
melanggar konvensi, maka negara harus mengambil tindakan yang tegas terhadap
hal tersebut.
Kemudian Paragraf 2 menentukan: Konvensi ini juga aakan berlaku untuk semua
peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya, dari wilayah pihak Peserta Agung,
sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata”.
Pasal ini menjadi salah satu pasal yang sifatnya sangat penting karena peran
dari pasal ini adalah untuk menjalankan kondisi serta syarat yang harus dipenuhi
agar konvensi berlaku. Selanjutnya alasan mengapa pasal ini bersifat penting adalah
karena pasal ini memiliki tujuan untuk memperluas kondisi dan syarat yang terdapat
dalam konvensi yang terdahulu, bahwa konvensi ini berlaku untuk semua kasus
perang yang di deklarasikan sebagai konflik bersenjata.
Salah satu frasa yang terkandung dalam Pasal 2 ini memberi perubahan
penting dalam hukum humaniter. Frasa “sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh
salah satu diantara mereka”, memberi gambaran bahwa para pihak yang bertikai
tidak lagi secara bersamaan terikat oleh suatu perjanjian. Apa yang menjadi
gambaran dalam frasa ini tentunya sangat bertolak belakang dengan kondisi
sebelum tahun 1949, dimana untuk melaksanakan suatu perjanjian internasional
dalam suatu pertikaian, para pihak yang terlibat harus menjadi peserta dari
perjanjian itu. Ketentuan yang terkandung dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949
telah menghapus ketentuan Pasal 2 Konvensi Den Haag IV 1907. Konvensi Jenewa
tetap berlaku bagi setiap pihak yang bersengketa.
Hal penting yang juga harus diperhatikan dalam Pasal 2 ini ialah mengenai
pendudukan yang tidak mendapatkan perlawanan. Hal ini harus diperhatikan karena
dalam suatu peperangan biasanya terjadi bahwa setelah melakukan perlawanan,
maka pihak yang bertahan dengan terpaksa harus mundur. Sehingga sebagian
wilayah akan diduduki oleh pihak lawan.
53
Ketentuan umum juga terdapat dalam Pasal 3, yaitu pasal yang mengatur
mengenai pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Kehadiran pasal ini
juga turut memberikan penyegaran bagi hukum humaniter internasional, karena
dalam Konvensi Jenewa 1949-lah terdapat ketentuan mengenai pertikaian
bersenjata yang tidak bersifat internasional.
Hal terakhir yang menjadi ketentuan umum dari konvensi ini ialah ketentuan
tentang Negara Pelindung (Protecting Power). Ketentuan mengenai hal ini dapat
ditemukan dalam Pasal 8 s.d. Pasal 11. Istilah dari Negara Pelindung untuk pertama
kali dapat dilihat dalam Konvensi Jenewa 1929 tentang perlakuan terhadap tawanan
perang (Convention Relative to The Treatment of War).
Pasal 49 menjadi pasal pokok mengenai ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan
penyalahgunaan konvensi. Pasal 49 menjadi landasan yang digunakan untuk menindak
setiap pelanggaran yang terjadi terhadap konvensi. Dengan kata lain, Pihak Peserta Agung
menjadikan pasal ini sebagai suatu pegangan yang mewajibkan mereka melakukan
tindakan tegas terhadap setiap pelanggaran yang terjadi. Dalam pasal ini terdapat
55
Selain hal diatas, adanya pasal 49 dari Konvensi Jenewa memberi suatu penjelasan
secara tidak langsung bahwa penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang tidak
tergolong pelanggaran berat, tidak membutuhkan suatu perundang-undangan yang baru,
cukup melakukan suatu tindakan sebagaimana lazimnya. Pasal 49 ini juga merupakan
klausula yang materinya tidak mengatur tentang pertanggung-jawaban atas perbuatan
melaksanakan pelanggaran berat yang berdasarkan perintah dari atasan.
kepada Pihak Peserta Agung. Pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur dalam konvensi ini
dapatlah dikategorikan sebagai suatu bentuk pelanggaran yang sifatnya berat.
Mengenai ruang lingkupnya, Pasal 1 Ayat (1) Protokol Tambahan II yang tidak lain
sebagai pelengkap Konvensi Jenewa tahun 1949, menetapkan bahwa Protokol
Tambahan II ini berlaku kepada semua konflik bersenjata yang tidak dirumuskan
dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 tentang Perlindungan Korban Konflik
Bersenjata Internasional. Ketentuan-ketentuan ini hanya berlaku dalam konflik
bersenjata yang berlangsung di wilayah negera-negara peserta konvensi. Konflik
yang terjadi antara angkatan perangnya dan angkatan perang pemberontak atau
milisi bersenjata pemberontak lainnya yang sifatnya terorganisir. Keberadaan
Protokol II ini menyatakan bahwa setiap pihak yang menjadi korban dari konflik
bersenjata non internasional, dapat menerima perlindungan sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977. Perlindungan ini diberikan secara
menyeluruh tanpa adanya diskriminasi seperti yang berlaku pada ketentuan
mengenai konflik bersenjata internasional. Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal
2 Ayat (1).
melakukan tindakan penyelamatan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dari Protokol ini yang boleh
digunakan sebagai suatu pembenaran bagi campur tangan (intervensi) pihak luar di
dalam konflik bersenjata atau di dalam urusan dalam negeri atau luar negeri suatu
negara.Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 Ayat (2).
Sebagaimana tidak ada satu pun dari ketentuan Protokol ini yang boleh
dipergunakan sebagai peluang untuk mempengaruhi kedaulatan suatu negara atau
tanggungjawab pemerintah yang berupaya dengan segala cara yang sah untuk
mempertahankan dan memulihkan kembali hukum dan ketertiban atau untuk
mempertahankan persatuan nasional dan keutuhan wilayah negara itu.Protokol
Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 Ayat (1). Hal ini semakin menegaskan
kedaulatan yang dimiliki oleh setiap negara tanpa terkecuali.Seperti yang telah
disampaikan sebelumnya, keberadaan dari Protokol Tambahan adalah sebagai
bentuk penyempurnaan dari Konvensi Jenewa 1949.
tersebut, dengan dilengkapi oleh Protokol II (1977). Pasal dan protokol tersebut
menguraikan standar hukum minimum yang harus diikuti untuk konflik internal.
Mahkamah internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-
Yugoslavia, telah membantu mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam
putusannya mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun 1999, Mahkamah
Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa pelanggaran berat
berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga pada konflik bersenjata internal.
Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan Protokol II dianggap sebagai hukum
internasional kebiasaan (customary international law), yang memungkinkan dilakukannya
penuntutan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum
secara formal menerima ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
Soal latihan.
1. Salah satu sumber hukum utama didalam Hukum Humaniter adalah Hukum Jenewa.
Jelaskan mengenai Hukum Jenewa tersebut!
BAB VI
HUKUM HUMANITER DALAM TUGAS
30. Tujuan Instruksional. Agar para Perwira Siswa dapat memahami ketentuan
hukum humaniter serta dapat menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam
melaksanakan tugas sehari-hari maupun pada saat melakukan operasi.
31. Umum. Hukum Den Haag sendiri lebih memfokuskan diri kepada peraturan
mengenai alat dan cara berperang serta menekankan bagaimana cara melakukan operasi-
operasi militer. Oleh karena itu hukum Den Haag sangat penting bagi komandan militer
baik yang bertugas di darat, di laut maupun di udara. Sehubungan dengan itu, Hukum Den
Haag juga menentukan kewajiban dan hak pihak-pihak yang berseteru atau bersengketa
terkait tentang cara melakukan operasi-operasi militer dan membatasi cara-cara yang
dapat mengakibatkan kerusakan di berbagai pihak. Ketentuan maupun peraturan tersebut
terdapat di dalam konvensi-konvensi dalam Konferensi Den Haag 1899, yang kemudian
semuanya direvisi dari tahun 1907. Sejak tahun 1977, protokol-protokol ditambah dalam
konvensi-konvensi Jenewa. Demikian pula dengan berbagai perjanjian yang melarang
maupun yang mengatur penggunaan senjata.
Selanjutnya, apakah ada kelompok lain yang dapat dikategorikan sebagai kombatan
menurut Regulasi Den Haag? Mari kita perhatikan Pasal 2Regulasi Den Haag ini,
yang berbunyi:
62
“The inhabitants of a territory which has not been occupied, who, on the approach
the enemy, spontaneously take up arms to resist the invading troops without having
had time to organize themselves in accordance with Article 1, shall be regarded as
belligerents if they carry arms openly and if they respect the laws and customs of
war“.
Berdasarkan Pasal 2 Regulasi Den Haag di atas, maka ternyata ada pula
segolongan penduduk sipil yang dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents,
sepanjang memenuhi persyaratan yaitu:
Golongan penduduk sipil dalam koridor Pasal 2 Regulasi Den Haag itulah yang
dikenal dengan istilah “levee en masse“. Adapun levee en masseadalah suatu
istilah bahasa Perancis, yang muncul di tahun 1793 di mana pada waktu itu Raja
Napoleon menyiapkan rakyatnya secara besar-besaran untuk menghadapi serbuan
pihak sekutu. Sejak itulah, peperangan selalu bersifat total dan melibatkan semua
elemen rakyat, baik laki-laki maupun perempuan, baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam mempertahankan negara yang berada dalam posisi akan
diserang pihak musuh. Pengerahan levee en masse dilakukan pula ketika Soviet
merasa terancam oleh serangan tentara Nazi Jerman. Menurut Karma Nabulsi,
istilah levee en masse yang secara yuridis digunakan sebagai istilah hukum
internasional dalam Konferensi Brussel tahun 1874, harus dibedakan dengan istilah
‘pemberontakan’ (insurrection) yang biasanya dilakukan terhadap pemerintahan
suatu negara. Istilah levee en masse ini digunakan dalam rangka melawan
pasukan asing, baik itu yang akan memasuki suatu negara, maupun pasukan asing
yang telah berhasil menduduki suatu negara dalam rangka mempertahankan diri
(self-defence).Di samping ke dua pasal yang mengatur tentang siapa saja yang
63
dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents, maka terdapat satu pasal lagi
yang termasuk di dalam Bagian I Regulasi Den Haag, yakni Pasal 3, yang isinya:
Pasal 3. “Angkatan Bersenjata dari negara-negara yang bersengketa dapat terdiri
dari kombatan dan non-kombatan. Jika mereka tertangkap pihak musuh, maka baik
kombatan maupun non-kombatan berhak diperlakukan sebagai tawanan perang
(prisoners of war)”.
Dalam kaitan ini Frits Kalshoven memberikan catatan bahwa pada tahun-tahun
ketika ketentuan di atas dirumuskan, istilah belligerent digunakan untuk
menunjukkan bukan saja suatu negara yang terlibat dalam suatu sengketa
bersenjata, melainkan juga orang-perorangan yang sekarang kita kenal dengan
sebutan combatant. Kalshoven juga menyatakan bahwa masuknya ketentuan
tentang levee en masse (demikian pula militia dan volunteer corps) merupakan
64
cerminan dari praktek-praktek negara yang terjadi pada Abad ke-19, khususnya
pada masa perang Perancis-Jerman tahun 1870.
Uraian singkat di atas menjelaskan mengenai siapa yang dapat ikut serta di
dalam pertempuran berdasarkan Regulasi Den Haag 1907. Aturan-aturan Hukum
Humaniter mengenai hal ini kemudian diperbarui di dalam ketentuan Hukum
Humaniter berikutnya, yakni di dalam Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol
Tambahan I tahun 1977.
c. Protokol Tambahan 1977. Dalam Protokol Tambahan Tahun 1977 ini istilah
kombatan dinyatakan secara eksplisit, yaitu dalam Pasal 43 angka 2.Prinsip
pembedaan dalam protokol ini diatur pada Bab II yang berjudul Combatant and
Prisoner of war status.Pasal 43 dengan tegas menentukan mereka yang
digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang termasuk dalam pengertian
armed force (angkatan bersenjata) suatu negara.Yang termasuk dalam pengertian
angkatan bersenjata adalah mereka yang memiliki hak untuk berperang secara
langsung dalam permusuhan. Mereka terdiri:
Ketentuan dalam Protokol yang secara tegas membedakan penduduk sipil dengan
kombatan terdapat dalam Pasal 48.Pasal 48 ini merupakan basic rule dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat terjadi konflik
bersenjata.Protokol ini menegaskan bahwa dalam rangka menjamin penghormatan
dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil, maka pihak-pihak
yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara penduduk sipil dan
kombatan dan juga antara obyek-obyek sipil dan militer, serta harus mengarahkan
operasi mereka hanya terhadap sasaran-sasaran militer.Ketentuan lain tentang
prinsip pembedaan terdapat dalam Pasal 44, yang menegaskan bahwa setiap
kombatan yang jatuh ke dalam kekuasaan lawan harus diperlakukan atau
memperoleh status sebagai tawanan perang.Pengaturan prinsip pembedaan dalam
Protokol Tambahan tahun 1977 ini merupakan suatu perkembangan yang
revolusioner, karena dalam protokol ini tidak lagi dibedakan antara regular troops
dan irregular troops sebagaimana dalam konvensi Den Haag ataupun Konvensi
Jenewa 1949.
34. Status ruang Udara dan Pesawat Udara Dalam Konflik Bersenjata. Dalam
suatu konflik bersenjata, maka ruang udara sebagai media pertempuran dan pesawat
udara sebagai alat utama sistem senjata mempunyai status hukum tertentu. Status hukum
media pertempuran dan alat senjata tersebut menentukan keabsahan untuk melakukan
tindakan permusuhan dari pihak yang bersengketa (belligerents) .
a. Zona Perang. Perang udara dapat dilakukan diruang udara negara yang
bersengketa dan di ruang udara di atas laut bebas. Pihak yang bersengketa harus
menetapkan dan mengumumkan wilayah-wilayah udara dimana mereka melakukan
kegiatan operasi pertempuran. Bila pesawat udara Negara Netral yang memasuki
zona tersebut, pihak yang bersengketa tidak bertanggung jawab dan menjamin
keselamatan penerbangan pesawat tersebut.
b. Negara Netral. Negara Netral adalah suatu negara yang tidak ikut serta
dalam sengketa bersenjata. Oleh karena itu, wilayahnya termasuk wilayah perairan
66
dan ruang udara negara tersebut dalam keadaan netral, harus dihormati oleh pihak-
pihak yang bersengketa. Wilayah dari negara netral tidak dapat diganggu gugat.
g. Pesawat udara Sipil Musuh. Pesawat udara sipil musuh hanya dapat
diserang jika pesawat udara tersebut merupakan sasaran militer. Aktivitas-aktivitas
seperrti berikut ini akan menjadikan pesawat udara sipil musuh berubah menjadi
sasaran militer, yaitu:
a. Pesawat Udara Militer dan Peluru Kendali. Dalam perang, pesawat udara
militer musuh atau peuru kendali musuh dapat diserang atau dihancurkan di ruang
udara manapun asalkan diluar yurisdiksi Negara Netral. Jenis peluru yang dilarang
digunakan dalam perang di darat seperti peluru incendiary, sah digunakan untuk
menyerang pesawat udara militer musuh.
36. Ketentuan hukum Mengenai Pemboman Udara. Pemboman udara, dalam arti
menjatuhkan bahan peledak dari udara baik dengan pesawat udara berawak atau tidak,
penembakan, dan penggunaan peluru kendali dan roket terhadap sasaran musuh di bumi
belum diatur. Tetapi dalam praktiknya negara-negara mengakui bahwa beberapa ketentuan
Konvnesi Den Haaq 1907, yaitu Konvensi ke IV dan konvensi IX mengenai pemboman oleh
Angkatan Laut di waktu perang berlaku pula bagi pemboman di udara.
1) Pasal 25 HR. Pemboman dengan alat atau sarana apapun atas Desa,
Kota, Perkampungan dan bangunan-bangunnan yang tidak dipertahankan
adalah dilarang.
c. Resolusi Majelis Umum PBB. Resolusi Majelis Umum PBB No. 244,
Januari 1969 menetapkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam pemboman udara,
yaitu:
d. Konflik Bersenjata. Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik
bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat
dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol I Tambahan 1977
yaitu:
71
1) Kepentingan militer.
2) Perikemanusiaan.
3) Kesatriaan.
Dengan adanya pembatasan ini maka cara berperang dan alat berperang, ada yang
diperbolehkan dan ada yang dilarang.
Hukum perang tidak banyak mengatur soal alat untuk berperang. Pasal 22 Hague
Regulations mencantumkan prinsip dari penggunaan senjata dalam perang.
- Hak belligerent untuk memilih alat untuk melukai lawan adalah terbatas
1) Larangan pemakain peluru yang beratnya kurang dari 400 gram dan
dapat meledak. (Declaration of St. Petters-burg 1868).
2) Larangan penggunaan peluru yang dapat mengembang.
3) Larangan penggunaan peluru yang dapat menyebarkan gas beracun.
Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi
Jenewa Keempat:
1) Penyanderaan;
2) Penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang
tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan
dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan;
3) Deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum.
k. Civilian. Yang dimaksud penduduk sipil adalah semua orang yang bukan
kombatan. Pada masa konflik bersenjata, mereka harus dilindungi dan tidak boleh
dijadikan sasaran serangan.
Soal latihan.
BAB VII
PENUTUP
35. Wusana Kata. Demikian Naskah Sekolah tentang Hukum Humaniter sebagai
bahan ajaran bagi Perwira Siswa Seskoau, semoga bermanfaat dan dijadikan bahan acuan
dalam mengaplikasikannya dan untuk penyempurnaan lebih lanjut Naskah Sekolah ini
dapat dilakukan berbagai perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
organisasi.
DEPARTEMEN IPTEK