Anda di halaman 1dari 77

MARKAS BESAR ANGKATAN UDARA

SEKOLAH STAF DAN KOMANDO

BAHAN PENGAJARAN
TENTANG
MANAJEMEN DISASTER

BAB I
PENDAHULUAN

1. Tujuan Kurikuler. Agar pasis memahami tentang manajemen disaster.

2. Umum.

a. Bencana adalah “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis” Defenisi menurut Undang – undang Nomor
24 Tahun 2007 Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Negeri “Zamrud Khatulistiwa” laksana “untaian batu manikam” yang terbentang
tidak kurang dari 5.000 kilometer dari Sabang sampai Merauke, dan tepat di garis
khatulistiwa yang memiliki beragam keunikan alam. Wilayah Indonesia yang
terletak di antara dua samudra dan dua benua merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia dengan luas daratan dan luas perairan yang sangat besar.
Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada pada
pertemuan 3 lempeng aktif, yaitu lempeng Eurasia yang bergerak relatif ke arah
tenggara, lempeng Indo-Australia yang bergerak relatif ke arah utara, lempeng
Pasifik yang bergerak relatif ke arah barat mengingat wilayah Indonesia berada di
ring of fire dunia.

b. Indonesia adalah salah satu Negara yang paling rentan terhadap bencana
alam, dimana berdasarkan data yang diterbitkan oleh United Nations Global
2

Assessment on Disaster Risk Reduction tahun 2009, lebih dari 600.000 orang
setiap tahun menderita karena bencana alam. Selain itu, berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara
keseluruhan pada bulan Juli tahun 2013, telah terjadi 89 kali kejadian bencana
alam yang menyebabkan 94 jiwa meninggal dunia dan hilang, 2.709 jiwa luka-
luka dan 189.146 jiwa menderita & mengungsi. Berbagai bencana yang telah
terjadi di Indonesia memberikan banyak pembelajaran bagi masyarakat Indonesia
dan dunia bahwa banyaknya korban jiwa dan harta benda dalam musibah
tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan dan ketidaksiapan masyarakat
dalam mengantisipasi bencana.

c. Pentingnya pemahaman mengenai manajemen bencana akan menjadi


landasan atau dasar dalam mengembangkan intervensi pengurangan risiko
bencana dalam penanggulangan bencana. Oleh karena itu pentingnya
perencanaan dan pengaturan dalam penanggulangan bencana dalam
manajemen bencana merupakan agenda utama bagi Pemerintah dalam rangka
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat bencana alam. Kegiatan yang
dilakukan diantanya adalah : Prinsip pengurangan risiko bencana dalam
penanggulangan bencana, Tahapan/proses dalam penanggulangan bencana,
Sistem Penanggulangan Bencana Nasional, Siklus penanggulangan Bencana,
Program-program penanggulangan bencana di daerah

3. Maksud dan Tujuan. Penyampaian materi pelajaran manajemen bencana


dimaksudkan untuk mempelajari karakteristik bencana dan penanggulangannya dalam
suatu proses pembelajaran yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pengembangan
aspek kognitif, dan afektif pada materi tersebut. Tujuannya adalah memberikan
pemahaman tentang dasar bencana dan konsep manajemen penanggulangannya.

4. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Ruang Lingkup pembahasan naskah


manajemen bencana ini meliputi karakteriik bencana dan manajemen bencana yang
disusun dengan tata urut sebagai berikut :
3

a. Bab I : Pendahuluan

b. Bab II : Pengetahuan Geologi Indonesia

c. Bab III : Pengetahuan Meteorologi

d. BAB IV : Manajemen Bencana

e. BAB V : Penutup

BAB II
4

PENGETAHUAN GEOLOGI INDONESIA

5. Umum. Kepulauan Indonesia terletak diantara dua benua dan dua samudera,
dan terbentuk sebagai hasil interaksi tiga lempeng kerak bumi utama. Proses-proses
geologi atau bencana geologi yang berlangsung di kawasan tersebut sangat ditentukan
oleh pola interaksi lempeng kerak bumi di sekitarnya, kondisi meteorologi, dan
oseanografi. Hasil analisis terhadap setting lingkungan di kawasan Kepulauan
Indonesia dan sekitarnya menunjukkan bahwa bencana geologi yang dapat terjadi
seperti letusan gunung api, gempa bumi, tsunami.

6. Geologi Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.


Negeri “Zamrud Khatulistiwa” laksana “untaian batu manikam” yang terbentang tidak
kurang dari 5.000 kilometer dari Sabang sampai Merauke, dan tepat di garis khatulistiwa
yang memiliki beragam keunikan alam. Wilayah Indonesia yang terletak di antara dua
samudra dan dua benua merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas
daratan dan luas perairan yang sangat besar. Secara geografis, Indonesia merupakan
negara kepulauan yang berada pada pertemuan 3 lempeng aktif, yaitu lempeng Eurasia
yang bergerak relatif ke arah tenggara, lempeng Indo-Australia yang bergerak relatif ke
arah utara, lempeng Pasifik yang bergerak relatif ke arah barat. Lempeng benua yang
saling menekan diwilayah Indonesia bagian barat adalah lempeng Eurasia yang terletak
di sisi utara dan lempeng Indo Australia yang terletak di sisi selatan. Pergerakan terjadi
di sepanjang palung laut yang terletak memanjang dari barat pantai Aceh-terus ke pantai
Sumatra Utara-pantai Sumatra Tengah-pantai Sumatra Selatan-berbelok melewati
sebelah barat Gunung Krakatau-terus ke pantai selatan Pulau Jawa-terus memanjang
ke Lombok dan Bali. Pergerakan tersebut tidak bersamaan waktunya, tetapi
dimungkinkan akan terjadi rambatan. Gerakan di suatu tempat pada palung laut itu
akan memacu daerah yang lain untuk terjadinya gerakan lempeng yang menghasilkan
getaran. Sedangkan diwilayah Indonesia bagian timur (Sulawesi, kepulauan Maluku,
dan Papua), tumbukan lempeng tektonik terjadi antara lempeng Pasifik yang berada di
sisi utara dengan lempeng Eurasia dan Indo-Australia yang berada di sisi selatan. Bila
pergerakan patahan lempeng tersebut menghasilkan struktur patahan naik, akan
memicu terjadinya susut laut mendadak. Gerakan gelombang pasang inilah yang
membentuk gelombang laut tsunami. Disamping itu, diwilayah Indonesia bagian selatan
dan timur terbentang rangkaian busur gunung api yang tersebar mulai dari Sumatra-
5

Jawa-Nusa Tenggara-Sulawesi. Sebagian besar kepulauan Indonesia ditempati oleh


jalur gunung api dan dataran rendah sedangkan sisanya ditempati oleh daratan rawa.
Kondisi geologi Indonesia ini rawan dan berpotensi terkena bencana, seperti letusan
gunung api, gempa bumi, tsunami, banjir dan longsor.

Gambar 2.1 Lempeng dunia

Gambar 2.2 Ring of Fire


6

Gambar 2.3 Peta Gunung Api Indonesia

7. Bencana Geologi Indonesia. Indonesia adalah negara yang rentan terhadap


bencana alam, apakah itu bencana yang berasal dari peristiwa alamiah maupun
bencana yang disebabkan oleh ulah manusia. Beberapa penyebab bencana erat
kaitannya dengan kondisi geografi, geologi, iklim atau faktor-faktor lainnya. Jenis
Bencana Geologi di Indonesia adalah tanah longsor, gunung api dan gempa bumi serta
tsunami.

a. Tanah Longsor.

1) Pengertian. Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk


lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran
tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah
longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam
tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai
tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi
licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan
keluar lereng. Ada 6 jenis tanah longsor, yakni: longsoran translasi,
longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran
bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi
di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban
jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.
7

a) Longsoran Translasi. Longsoran translasi adalah


bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk rata atau menggelombang landai.

Gambar 2.4 Longsor Translasi

b) Longsoran Rotasi. Longsoran rotasi adalah bergeraknya


massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.

Gambar 2.5 Longsor Rotasi

c) Pergerakan Blok. Pergerakan blok adalah perpindahan


batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata.
Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.

Gambar 2.6 Pergerakan Blok

d) Runtuhan Batu. Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar


batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh
8

bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga


menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang
jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

Gambar 2.7 Runtuhan Batu

e) Rayapan Tanah. Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor


yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan
halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah
waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan in bisa menyebabkan
tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah cukup lama
longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon,
pohon, atau rumah miring ke bawah.

Gambar 2.8 Rayapan Tanah

f) Aliran Bahan Rombakan. Jenis tanah longsor ini terjadi


ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran
tergantung padakemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan
jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan
mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa
sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar
gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
9

Gambar 2.9 Aliran Bahan Rombakan

2) Faktor Penyebab. Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya


pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan. Gaya
penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan
tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut
lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. Adapun faktor-faktor
penyebab tanah longsor adalah sebagai berikut :

a) Hujan. Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada


bulan November karena meningkatnya intensitas curah hujan.
Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya
penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu
mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga
terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan,
air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan
cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas
hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air
pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada
awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang
merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng,
sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di
permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan
diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi
mengikat tanah.

b) Lereng Terjal. Lereng atau tebing yang terjal akan


memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena
pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan
10

sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180 apabila ujung


lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.

c) Tanah Yang Kurang Padat dan Tebal. Jenis tanah yang


kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan
ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220 derajat.
Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor
terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan
terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan
pecah ketika hawa terlalu panas.

d) Batuan Yang Kurang Kuat. Batuan endapan gunung api


dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil,
pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan
mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan
umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng
yang terjal.

e) Getaran. Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh


gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas
kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan,
lantai, dan dinding rumah menjadi retak.

f) Susut Muka Air Danau atau Bendungan. Akibat susutnya


muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi
hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 derajat mudah terjadi
longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.

g) Adanya Beban Tambahan. Adanya beban tambahan seperti


beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan memperbesar
gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan
jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya
penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.
11

h) Pengikisan/Erosi. Pengikisan banyak dilakukan oleh air


sungai ke arah tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di
sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.

I) Adanya Material Timbunan Pada Tebing. Untuk


mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya
dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah
timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna
seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan
akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan
tanah.

J) Bekas Longsoran Lama. Longsoran lama umumnya terjadi


selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada
lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi
patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memilki ciri:

(1) Adanya tebing terjal yang panjang melengkung


membentuk tapal kuda.

(2) Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif


tebal karena tanahnya gembur dan subur.

(3) Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif


landai.

(4) Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah.

(5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan


bekas longsoran kecil pada longsoran lama.

(6) Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai


retakan dan longsoran kecil.

(7) Longsoran lama ini cukup luas.


12

k) Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung)


Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:

(1) Bidang perlapisan batuan.

(2) Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan


dasar.

(3) Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan


batuan yang kuat.

(4) Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan


air dengan batuan yang tidak melewatkan air (kedap air).

(5) Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan


tanah yang padat. Bidang-bidang tersebut merupakan
bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran
tanah longsor.

l) Penggundulan Hutan. Tanah longsor umumnya banyak


terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah
sangat kurang.

m) Daerah Pembuangan Sampah. Penggunaan lapisan tanah


yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak
dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan
guyuran hujan, seperti yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Leuwigajah di Cimahi. Bencana ini menyebabkan sekitar
120 orang lebih meninggal.

3) Tanda Bahaya Longsor. Tanda-tanda akan terjadinya longsor pada


umumnya dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Oleh sebab itu, longsor
sangat umum terjadi pada musim hujan.
13

a) Muncul retakan memanjang atau lengkung pada tanah atau


pada konstruksi bangunan, yang biasa terjadi setelah hujan.

b) Terjadi penggembungan pada lereng atau pada tembok


penahan.

c) Tiba-tiba muncul rembesan atau mata air pada lereng dan air
menjadi keruh bercampur lumpur.

d) Pohon-pohon atau tiang-tiang miring searah kemiringan


lereng.

e) Terdengar suara gemuruh atau suara ledakan dari atas


lereng.

f) Terjadi runtuhan atau aliran butir tanah/kerikil secara


mendadak dari atas lereng.

4) Dampak Bencana Tanah Longsor.

a) Kerusakan fisik permukaan tanah dan bangunan, permukaan


tanah rekah-rekah tidak beraturan, bangunan miring, bangunan
bergeser, bahkan ada bangunan yang roboh.

b) Pohon-pohon tumbang tidak beraturan.

c) Jatuh korban manusia.


d) Jalan dan jembatan putus berdampak pada kemacetan lalu
lintas.
e) Sungai menyempit dan terbendung oleh tanah longsoran.

f) Jalan becek.

g) Air sumur selalu keruh karena mengandung larutan lempung.


14

h) Talud selokan atau talang saluran irigasi pecah dan bergeser.

Gambar 2.10 Longsor yang terjadi di Semarang tahun 2002, menimbun 9


rumah yang berada di bawahnya (gambar kiri)

5) Upaya Mitigasi dan Pengurangan Bencana. Berbagai mitigasi


dilakukan dengan melihat jenis longsor antara lain sebagai berikut :

a) Hindari pembangunan pemukiman dan fasilitas pada daerah


rawan bencana longsor.

b) Mengurangi tingkat keterjalan lereng.

c) Meningkatkan/memperbaiki dan memelihara drainase baik air


permukaan maupun air tanah.

d) Pembuatan bangunan penahan, jangkar dan pilling.

e) Buatlah terasering (sengkedan) pada lereng yang terjal bila


membangun permukiman.

f) Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya


dalam dan jarak tanam yang tepat.

g) Khusus untuk aliran butir dapat diarahkan dengan pembuatan


saluran.
15

h) Khusus untuk runtuhan batu dapat dibuatkan tanggul


penahan baik berupa bangunan konstruksi, tanaman maupun parit.

i) Hindarkan pembangunan di daerah yang rawan longsor.

j) Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan.

k) Stabilitasi lereng dengan pembuatan terase dan penghijauan.

l) Penutupan rekahan-rekahan di atas lereng untuk mencegah


air masuk secara cepat kedalam tanah.

b. Letusan Gunung Api.

1) Pengertian. Gunung api adalah lubang kepundan atau rekahan


dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan
lainnya ke permukaan bumi. Material yang dierupsikan kepermukaan
bumi umumnya membentuk kerucut terpancung. Gunung api
diklasifikasikan ke dalam empat sumber erupsi, yaitu:

a) Erupsi pusat, erupsi keluar melalui kawah utama.

b) Erupsi samping, erupsi keluar dari lereng tubuhnya.

c) Erupsi celah, erupsi yang muncul pada retakan/sesar dapat


memanjang sampai beberapa kilometer.

d) Erupsi eksentrik, erupsi samping tetapi magma yang keluar


bukan dari kepundan pusat yang menyimpang ke samping
melainkan langsung dari dapur magma melalui kepundan tersendiri.

Berdasarkan tinggi rendahnya derajat fragmentasi dan luasnya, juga kuat


lemahnya letusan serta tinggi tiang asap, maka gunung api dibagi menjadi
beberapa tipe erupsi sebagai berikut :
16

a) Tipe Hawaiian, yaitu erupsi eksplosif dari magma basaltic


atau mendekati basalt, umumnya berupa semburan lava pijar, dan
sering diikuti leleran lava secara simultan, terjadi pada celah atau
kepundan sederhana.

b) Tipe Strombolian, erupsinya hampir sama dengan Hawaiian


berupa semburan lava pijar dari magma yang dangkal, umumnya
terjadi pada gunung api sering aktif di tepi benua atau di tengah
benua.

c) Tipe Plinian, merupakan erupsi yang sangat ekslposif dari


magma berviskositas tinggi atau magma asam, komposisi magma
bersifat andesitik sampai riolitik. Material yang dierupsikan berupa
batu apung dalam jumlah besar;

d) Tipe Sub Plinian, erupsi eksplosif dari magma asam/riolitik


dari gunung api strato, tahap erupsi efusifnya menghasilkan kubah
lava riolitik. Erupsi sub plinian dapat menghasilkan pembentukan
ignimbrit.

e) Tipe Ultra Plinian, erupsi sangat eksplosif menghasilkan


endapan batu apung lebih banyak dan luas dari Plinian biasa;

f) Tipe Vulkanian, erupsi magmatis berkomposisi andesit


basaltic sampai dasit, umumnya melontarkan bom-bom vulkanik
atau bongkahan di sekitar kawah dan sering disertai bom kerak-roti
atau permukaannya retak-retak. Material yang dierupsikan tidak
melulu berasal dari magma tetapi bercampur dengan batuan
samping berupa litik;

g) Tipe Surtseyan dan Tipe Freatoplinian, kedua tipe tersebut


merupakan erupsi yang terjadi pada pulau gunung api, gunung api
bawah laut atau gunung api yang berdanau kawah. Surtseyan
merupakan erupsi interaksi antara magma basaltic dengan air
permukaan atau bawah permukaan, letusannya disebut
17

freatomagmatik. Freatoplinian kejadiannya sama dengan Surtseyan,


tetapi magma yang berinteraksi dengan air berkomposisi riolitik.

Bentuk dan bentang alam gunung api, terdiri atas bentuk kerucut,
dibentuk oleh endapan piroklastik atau lava atau keduanya; bentuk kubah,
dibentuk oleh terobosan lava di kawah, membentuk seperti kubah; kerucut
sinder, dibentuk oleh perlapisan material sinder atau skoria; maar,
biasanya terbentuk pada lereng atau kaki gunung api utama akibat letusan
freatik atau freatomagmatik; plateau, dataran tinggi yang dibentuk oleh
pelamparan leleran lava.

Gambar 2.11 Penampang suatu gunung api dan bagian-bagiannya.


(Modifikasi dari Krafft, 1989)
Struktur gunung api terdiri atas :

a) Struktur kawah adalah bentuk morfologi negatif atau depresi


akibat kegiatan suatu gunung api, bentuknya relatif bundar.

b) Kaldera, bentuk morfologinya seperti kawah tetapi garis


tengahnya lebih dari 2 km. Kaldera terdiri atas kaldera letusan,
terjadi akibat letusan besar yang melontarkan sebagian besar
tubuhnya; kaldera runtuhan, terjadi karena runtuhnya sebagian
tubuh gunung api akibat pengeluaran material yang sangat banyak
18

dari dapur magma; kaldera resurgent, terjadi akibat runtuhnya


sebagian tubuh gunung api diikuti dengan runtuhnya blok bagian
tengah; kaldera erosi, terjadi akibat erosi terus menerus pada
dinding kawah sehingga melebar menjadi kaldera.

c) Rekahan dan graben, retakan-retakan atau patahan pada


tubuh gunung api yang memanjang mencapai puluhan kilometer dan
dalamnya ribuan meter. Rekahan parallel yang mengakibatkan
amblasnya blok diantara rekahan disebut graben.

d) Depresi volkano-tektonik, pembentukannya ditandai dengan


deretan pegunungan yang berasosiasi dengan pembentukan
gunung api akibat ekspansi volume besar magma asam ke
permukaan yang berasal dari kerak bumi. Depresi ini dapat
mencapai ukuran puluhan kilometer dengan kedalaman ribuan
meter.

Gambar 2.12 Tipe Letusan Gunung Api


19

Gambar 2.13 Bentuk Gunung Api

Gunung api terbentuk pada empat busur, yaitu busur tengah benua,
terbentuk akibat pemekaran kerak benua; busur tepi benua, terbentuk
akibat penunjaman kerak samudara ke kerak benua; busur tengah
samudera, terjadi akibat pemekaran kerak samudera; dan busur dasar
samudera yang terjadi akibat terobosan magma basa pada penipisan
kerak samudera.
20

Gambar 2.14 Penampang yang memperlihatkan batas lempeng utama


dengan dengan pembentukan busur gunung api. (Modifikasi dari Krafft,
1989). Pergerakan antar lempeng ini menimbulkan empat busur gunung
api berbeda :

a) Pemekaran kerak benua, lempeng bergerak saling menjauh


sehingga memberikan kesempatan magma bergerak ke permukaan,
kemudian membentuk busur gunung api tengah samudera.

b) Tumbukan antar kerak, dimana kerak samudera menunjam di


bawah kerak benua. Akibat gesekan antar kerak tersebut terjadi
peleburan batuan dan lelehan batuan ini bergerak ke permukaan
melalui rekahan kemudian membentuk busur gunung api di tepi
benua.

c) Kerak benua menjauh satu sama lain secara horizontal,


sehingga menimbulkan rekahan atau patahan. Patahan atau
rekahan tersebut menjadi jalan ke permukaan lelehan batuan atau
magma sehingga membentuk busur gunung api tengah benua atau
banjir lava sepanjang rekahan.
d) Penipisan kerak samudera akibat pergerakan lempeng
memberikan kesempatan bagi magma menerobos ke dasar
samudera, terobosan magma ini merupakan banjir lava yang
membentuk deretan gunung api perisai.
21

Gambar 2.15 Penampang diagram yang memperlihatkan bagaimana


gunung api ter-bentuk di permukaan melalui kerak benua dan kerak
samudera serta mekanisme peleburan batuan yang menghasilkan busur
gunung api, busur gunung api tengah samudera, busur gunung api tengah
benua dan busur gunung api dasar samudera. (Modifikasi dari Sigurdsson,
2000).

Di Indonesia (Jawa dan Sumatera) pembentukan gunung api terjadi akibat


tumbukan kerak Samudera Hindia dengan kerak Benua Asia. Di Sumatra
penunjaman lebih kuat dan dalam sehingga bagian akresi muncul ke
permukaan membentuk pulau-pulau, seperti Nias, Mentawai, dll.
(Modifikasi dari Katili, 1974).

2) Faktor Penyebab. Faktor penyebab timbulnya letusan gunung api


adalah sebagai berikut :

a) Pancaran Magma dari dalam bumi yang berasosiasi dengan


arus konveksi panas.
22

b) Proses tektonik dari pergerakan dan pembentukan


lempeng/kulit bumi.

c) Akumulasi tekanan dan temperatur dari fluida magma yang


menimbulkan pelepasan energi.

3) Tanda Awal dan Bahaya Letusan Gunung Api. Tanda awal akan
terjadinya letusan gunung api dilihat dari isyarat sebagai berikut :

a) Sering terjadi gempa vulkanik, mulai dari gempa skala kecil


hingga skala besar. Makin sering dan makin besar gempa vulkanik
berlangsung, makin dekat waktu eksplosif akan terjadi.

b) Sering timbul suara gemuruh yang dirasakan oleh masyarakat


yang tinggal di dekat daeah kepundan, sebagai akibat bergolaknya
magma yang mencari jalan keluar. Makin sering dan makin kuat
suara gemuruh tersebut, mencirikan eksplosif akan segera terjadi.

c) Keluar awan panas mengepul dan bergulung-gulung.


Akibatnya, tumbuhan yang diterjang awan panas menjadi kering dan
dapat terakar.

d) Timbulnya awan panas mengakibatkan suhu disekitar lereng


gunung api meningkat. Akibatnya, binatang liar mulai tidak tahan
dan lari ke bawah, burung-burung ber imigrasi meninggalkan tempat
yang berbahaya.

e) Timbul bau belerang yang sangat menyengat. Bau tersebut


akan menyebar sesuai arah tiupan angin.

f) Beberapa mata air di bagian lereng atas mulai mengering


atau debit airnya turun.
23

g) Diatas puncak gunung api sering terjadi kilatan-kilatan bunga


api. Kilatan ini akan terlihat jelas pada malam hari.

h) Terjadi aliran lava pijar. Aliran lava ini akan terlihat jelas
pada malam hari, melalui alur-alur. Lava pijar ini mampu
membakar apa saja yang diterjang, namun sangat indah apabila
dilihat dari kejauhan.

Sedangkan bahaya yang timbul berdasarkan waktu kejadiannya dapat


merupakan bahaya utama (primer) dan bahaya ikutan (sekunder). Kedua
jenis bahaya tersebut masing-masing mempunyai risiko merusak dan
mematikan.

a) Bahaya Utama (Primer)

(1) Awan Panas, merupakan campuran material letusan


antara gas dan bebatuan (segala ukuran) terdorong ke
bawah akibat densitas yang tinggi dan merupakan adonan
yang jenuh menggulung secara turbulensi bagaikan gunung
awan yang menyusuri lereng. Selain suhunya sangat tinggi,
antara 300 - 700° Celcius, kecepatan lumpur sangat tinggi >
70 km/jam (tergantung kemiringan lereng).

(2) Lontaran Material (pijar),terjadi ketika letusan


(magmatik) berlangsung. Jauh lontarannya sangat tergantung
dari besarnya energi letusan, bisa mencapai ratusan meter
jauhnya. Selain suhunya tinggi (>200°C), ukuran materialnya
pun besar dengan diameter > 10 cm sehingga mampu
membakar sekaligus melukai, bahkan mematikan mahluk
hidup. Lazim juga disebut sebagai "bom vulkanik".

(3) Hujan Abu lebat, terjadi ketika letusan gunung api


sedang berlangsung. Material yang berukuran halus (abu dan
pasir halus) yang diterbangkan angin dan jatuh sebagai hujan
abu dan arahnya tergantung dari arah angin. Karena
24

ukurannya yang halus, material ini akan sangat berbahaya


bagi pernafasan, mata, pencemaran air tanah, pengrusakan
tumbuh-tumbuhan dan mengandung unsur-unsur kimia yang
bersifat asam sehingga mampu mengakibatkan korosi
terhadap seng dan mesin pesawat.

(4) Lava, merupakan magma yang mencapai permukaan,


sifatnya liquid (cairan kental dan bersuhu tinggi, antara 700 –
1200°C. Karena cair, maka lava umumnya mengalir
mengikuti lereng dan membakar apa saja yang dilaluinya.
Bila lava sudah dingin, maka wujudnya menjadi batu (batuan
beku) dan daerah yang dilaluinya akan menjadi ladang batu.

(5) Gas Racun, muncul tidak selalu didahului oleh letusan


gunung api sebab gas ini dapat keluar melalui rongga-rongga
ataupun rekahan-rekahan yang terdapat di daerah gunung
api. Gas utama yang biasanya muncul adalah CO 2, H2S, HCl,
SO2, dan CO. Gas CO2 adalah gas yang kerap menyebabkan
kematian. Beberapa gunung yang memiliki karakteristik
letusan gas beracun adalah Gunung Api Tangkuban Perahu,
Gunung Api Dieng, Gunung Ciremai, dan Gunung Api
Papandayan.

(6) Tsunami, gelombang pasang ini akan terjadi akibat


letusan gunung api yang pada umumnya terjadi di gunung api
pulau. Ketika terjadi letusan materialnya masuk kedalam
laut dan mendorong air laut ke arah pantai dan menimbulkan
gelombang pasang. Makin besar volume material letusan
gunung api makin besar gelombang yang terangkat ke darat,
contoh kasus Letusan Gunung Krakatau tahun 1883.

b) Bahaya Ikutan (Sekunder). Bahaya ikutan letusan gunung


api adalah bahaya yang terjadi setelah proses peletusan
berlangsung. Bila suatu gunung api meletus akan terjadi
penumpukan material dalam berbagai ukuran di puncak dan lereng
25

bagian atas. Pada saat musim hujan tiba, sebagian material


tersebut akan terbawa oleh air hujan dan tercipta adonan lumpur
turun ke lembah sebagai banjir bebatuan, banjir tersebut disebut
lahar.

3) Dampak Bencana Letusan Gunung Api.

a) Bangunan terbakar atau rubuh dilanda material letusan.

b) Jatuh korban dan kematian mahluk hidup.

c) Kehilangan harta benda.

d) Tanaman rusak menimbulkan gagal panen, cadangan pangan


terganggu.

e) Gangguan pernapasan (ISPA) dan sakit mata akibat debu


material letusan.
f) Sumber air minum tercemar oleh debu gunung api.
26

Gambar 2.16 Leleran lava dapat merusak segala bentuk


infrastruktur. Foto Macdonald.

4) Upaya Mitigasi dan Pengurangan Bencana.

a) Membagi daerah lereng gunung api menjadi beberapa


wilayah bahaya dengan batas-batasnya.

b) Membangun jalan/jalur-jalur pengungsian yang dapat


dimanfaatkan sewaktu-waktu apabila terjadi letusan mendadak dan
evakuasi harus segera dilakukan. Disediakan juga tempat orang-
orang harus berkumpul agar memudahkan jalannya evakuasi.

c) Mempersiapkan barak-barak pengungsian ditempat yang


diperkirakan cukup aman agar dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu
pada saat diperlukan.

d) Membangun bunker ditempat-tempat tertentu sebagai tempat


penyelamatan sementara untuk menghindarkan diri dari bahaya
awan panas.

e) Membangun rumah penduduk yang tahan gempa dan tahan


jatuhan batu/debu. Atap bangunan dibuat relatif curam agar debu
vulkanik yang jatuh langsung segera dapat dibersihkan.

f) Memasang tanda bahaya (sirene) dan membunyikannya


pada saat yang tepat.

g) Membangun bendung-bendung aliran pasir (sabo dam) untuk


menahan sementara lahar dingin yang datang dan mengalir
bersama air hujan.

h) Meningkatkan kinerja pos pengamatan gunung api dengan


menyampaikan laporan yang akurat kepada masyarakat.
27

i) Pemerintah provinsi/kabupaten/kecamatan membentuk


Satkorlak Bencana Alam, yang secara tetap dilengkapi dengan
sarana dan prasarana, termasuk anggaran dana untuk keperluan
evakuasi dan penyediaan dana untuk dapur umum.

c. Gempa Bumi (Seisme).

1) Pengertian. Gempa bumi adalah berguncangnya bumi yang


disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif aktivitas
gunung api atau runtuhan batuan. Kekuatan gempa bumi akibat aktivitas
gunung api dan runtuhan batuan relatif kecil sehingga kita akan
memusatkan pembahasan pada gempa bumi akibat tumbukan antar
lempeng bumi dan patahan aktif. Lempeng samudera yang rapat
massanya lebih besar ketika bertumbukkan dengan lempeng benua di
zona tumbukan (subduksi) akan menyusup ke bawah. Gerakan lempeng
itu akan mengalami perlambatan akibat gesekan dari selubung bumi.
Perlambatan gerak itu menyebabkan penumpukkan energi di zona
subduksi dan zona patahan. Akibatnya di zona-zona itu terjadi tekanan,
tarikan, dan geseran. Pada saat batas elastisitas lempeng terlampaui,
maka terjadilah patahan batuan yang diikuti oleh lepasnya energi secara
tiba-tiba. Proses ini menimbukan getaran partikel ke segala arah yang
disebut gelombang gempa bumi.

Gambar 2.17 Gempa Bumi


28

Intensitas gempa bumi adalah tingkat kerusakan yang terasa pada lokasi
terjadinya. Angkanya ditentukan dengan menilai kerusakan yang
dihasilkannya, pengaruhnya pada benda-benda, bangunan, dan tanah, dan
akibatnya pada orang-orang. Skala ini disebut MMI (Modified Mercalli
Intensity) diperkenalkan oleh Giuseppe Mercalli pada tahun 1902. Berikut
ini adalah tabel skala gempa bumi menurut Mercalli :

No. Intensitas Klasifikasi secara umum


Getaran tidak dapat dirasakan oleh semua orang, kecuali
1 I
orang yang sangat peka terhadap getaran
Getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda ringan
2 II
yang bergantung bergoyang
Getaran dirasakan nyata di dalam rumah, terutama lebih
3 III satu lantai dan kendaraan yang sedang berhenti agak
bergerak
Getaran dirasakan oleh banyak orang, pecah belah,
4 IV
daun jendela bergetar, dinding berbunyi karena pecah
Getaran dirasakan oleh setiap penduduk. Barang-barang
5 V banyak yang berjatuhan, tiang tampak bergoyang, dan
bandul jam dinding berhenti
Getaran dirasakan oleh setiap penduduk dan pada
6 VI umumnya penduduk terkejut. Meja dan kursi bergerak,
cerobong asap pabrik rusak
Getaran terasa agak kuat dan setiap orang keluar
rumah. Bangunan banyak yang rusak, cerobong asap
7 VII
pabrik pecah dan getaran dirasakan oleh orang yang
sedang naik kendaraan
Getaran terasa kuat. Dinding bangunan dapat lepas dari
8 VIII rangka rumah dan meja kursi terlempar, orang yang
sedang naik kendaraan terganggu keseimbangannya
Getaran terasa sangat kuat. Kerangka rumah banyak
9 IX yang terlepas, rumah tampak bergeser, instalasi air
minum banyak yang putus
Getaran agak dahsyat. Dinding rumah tergeser dari
10 X pondasinya, tanah terbelah, rel kereta api tampak
melengkung dan banyak tanah longsor
29

Getaran terasa dahsyat. Bangunan roboh, jembatan


11 XI putus, rel kereta api semuanya melengkung, pipa dalam
tanah bengkok
Getaran terasa dahsyat. Bangunan hancur berkeping-
12 XII keping, permukaan tanah bergelombang, banyak benda-
benda yang terlempar ke udara

Magnituda adalah parameter gempa yang diukur berdasarkan yang


terjadi pada daerah tertentu, akibat goncangan gempa pada sumbernya.
Satuan yang digunakan adalah Skala Richter. Skala ini diperkenalkan
oleh Charles F. Richter tahun 1934. Sebagai contoh, gempa bumi dengan
kekuatan 8 Skala Richter setara kekuatan bahan peledak TNT seberat 1
gigaton atau 1 milyar ton. Berikut ini adalah tabel skala kekuatan gempa bumi
menurut C.F. Richter.

No
Magnitudo Klasifikasi secara umum
.
1 78 Bencana nasional (national disaster)
2 77 - 8 Gempa besar (major earth quake)
3 76 - 7 Gempa destruktif (destructiveearth quake)
4 76 - 6 Gempa merusak (damaging earth quake)
5 74 - 5 Gempa keras (stronglyearth quake)
6 73 - 4 Gempa kecil (small quake)
7 0-3 Goncangan kecil (small shock quake)

2) Faktor Penyebab. Faktor penyebab timbulnya gempa bumi adalah


sebagai berikut :

a) Proses tektonik akibat pergerakan kulit/lempeng bumi.

b) Aktivitas sesar dipermukaan bumi.

c) Pergerakan geomorfologi secara lokal, contohnya terjadinya


runtuhan tanah.

d) Aktivitas gunung api.

e) Ledakan nuklir.
30

3) Tanda Bahaya Gempa Bumi. Peristiwa gempa bumi bersifat


mendadak dan belum ada metode untuk pendugaan secara akurat.
Gempa bumi didahului dengan getaran-getaran lemah. Getaran ini hanya
mampu/dapat tercatat oleh seismograf. Ada kalanya getaran lemah ini
hanya mampu ditangkap oleh binatang tertentu. Mereka lalu bersuara
gaduh, riuh seolah-olah ingin mewartakan sesuatu pada kelompoknya,
memperingatkan agar bersiap-siap menjauhkan diri dari bencana alam.

4) Dampak dari Gempa Bumi. Gempa bumi dapat menyebabkan


kerusakan lingkungan hidup. Dari peristiwa gempa bumi dapat
menyebabkan dampak langsung dan tidak langsung antara lain :

a) Dapat terjadi banjir sebagai akibat dari rusaknya tanggul


bendungan sehingga tanggul tersebut jebol dan mengakibatkan
banjir.

b) Gempa yang terjadi di dasar laut dapat menyebabkan


tsunami yaitu gelombang pasang di laut besar dan melanda daerah
pantai.

c) Tanah di permukiman menjadi mereka, retak sehingga dapat


menyebabkan jalan raya terputus.

d) Akibat goncangan yang hebat dapat terjadi tanah longsor


yang menimbun segala sesuatu di dalamnya.

e) Gempa juga dapat mengakibatkan berbagai bangunan roboh


dan rusak.

f) Permukaan bumi berserakan, banyak tanah patah dan


jaringan telefon banyak yang rusak dan tidak berfungsi.

g) Akibat pengiring gempa dapat terjadi kebakaran karena


sambungan pendek aliran listrik.
31

5) Upaya Mitigasi dan Pengurangan Dampak Bencana.

a) Membangun bangunan vital/strategis atau bangunan lainnya


yang mengundang konsentrasi banyak manusia di wilayah rawan
gempa bumi menggunakan konstruksi yang tahan terhadap gempa.

b) Tidak membangun permukiman dan aktifitas penduduk


diatas, pada atau dibawah tebing.

c) Tidak mendirikan bangunan diatas tanah timbunan yang tidak


memenuhi tingkat kepadatan yang sesuai dengan daya dukung
tanah terhadap konstruksi bangunan diatasnya.

d) Pemetaan mikrozonasi di wilayah rawan gempa bumi.

e) Perlu adanya RUTR dan RTRW yang dituangkan dalam


peraturan daerah yang berwawasan dan mempertimbangkan aspek
kebencanaan sehingga prinsip bangunanberkelanjutan dapat
tercapai.

f) Membangun kewaspadaan masyarakat dan pemerintah


daerah melalui pelatihan antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi gempa
bumi.

g) Menyiapkan alur dan tempat evakuasi bencana.

h) Menyelenggarakan pendidikan dini melalui jalur pendidikan


formal dan non-formal tentang gempa bumi dan bahayanya di
wilayah rawan gempa bumi.

i) Membangun alur dan tempat pengungsian serta bukit-bukit


untuk menghindar dari gelombang tsunami.
32

j) Pembentukan kelompok aksi penyelamatan bencana


pelatihan pemadaman kebakaran dan pertolongan pertama.

k) Persiapan alat pemadam kebakaran, peralatan penggalian,


dan peralatan perlindungan masyarakat lainnya.

l) Menyiapkan rencana kontijensi/kedaruratan untuk melatih


anggota keluarga dalam menghadapi gempa bumi.

d. Tsunami.

1) Pengertian. Istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang Tsu


artinya pelabuhan dan nami artinya gelombang laut. Dari kisah inilah
muncul istilah tsunami. Awalnya tsunami berarti gelombang laut
yangmenghantam pelabuhan. Tsunami adalah rangkaian gelombang laut
yang mampu menjalar dengan kecepatan hingga lebih 900 km/jam,
terutama diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi di dasar laut.
Kecepatan gelombang tsunami bergantung pada kedalaman laut. Di laut
dengan kedalaman 7.000 m misalnya, kecepatannya bisa mencapai 942,9
km/jam. Kecepatan ini hampir sama dengan kecepatan pesawat jet.
Namun demikian tinggi gelombangnya di tengah laut tidak lebih dari 60 cm.
Akibatnya kapal-kapal yang sedang berlayar diatasnya jarang merasakan
adanya tsunami. Berbeda dengan gelombang laut biasa, tsunami memiliki
panjang gelombang antara dua puncaknya lebih dari 100 km di laut lepas
dan selisih waktu antara puncak-puncak gelombangnya berkisar antara 10
menit hingga 1 jam. Saat mencapai pantai yang dangkal, teluk atau muara
sungai gelombang ini menurun kecepatannya, namun tinggi gelombangnya
meningkat puluhan meter dan bersifat merusak.
33

Gambar 2.18 Mekanisme terjadinya Tsunami


2) Faktor Penyebab. Ada beberapa penyebab terjadinya tsunami
yaitu :

a) Gempa bumi yang diikuti dengan dislokasi/perpindahan masa


tanah/batuan yang sangat besar di bawah air/ laut.

b) Tanah longsor di bawah tubuh air/laut.

c) Letusan gunung api di bawah laut dan gunung api pulau.

3) Tanda-tanda Awal Datangnya Tsunami. Bencana tsunami


biasanya banyak menelan korban nyawa, sehingga perlu ada peringatan
dini untuk masyarakat. Meski teknologi sudah bisa memprediksi beberapa
bencana tapi tidak ada salahnya mengenali tanda-tanda sebelum bencana
terutama tsunami, agar bisa segera mengamankan diri. Berikut beberapa
tanda-tanda awal datangnya bencana tsunami, seperti dilansir Ehow, yaitu:

a) Diawali Adanya Gempa Bumi. Bila Anda tinggal di dekat


pantai, sebaiknya berhati-hati bila terjadi gempa bumi. Tsunami
biasanya terjadi karena adanya gempa bumi yang terjadi di bawah
atau di dekat laut, tidak hanya gempa yang terjadi di daerah sekitar
34

tetapi juga gempa yang terjadi di bagian lain dunia. Gempa ribuan
kilometer jauhnya dapat menyebabkan potensi tsunami yang
mematikan di daerah lain.

b) Dengarkan Suara-Suara Gemuruh. Banyak korban tsunami


telah mengatakan bahwa datangnya gelombang tsunami akan
diawali dengan suara gemuruh yang keras mirip dengan kereta
barang.

c) Perhatikan Penurunan Air Laut. Jika ada penurunan air laut


yang cepat dan bukan merupakan waktu air laut surut, maka
segeralah mencari tempat perlindungan yang tinggi. Sebelum
terjadi gelombang tsunami, air laut akan terlebih dahulu surut
dengan cepat dan kemudian kembali dengan kekuatan yang sangat
besar.

d) Selalu Waspada Pada Gelombang Pertama. Gelombang


tsunami pertama tidak selalu yang paling berbahaya, sehingga tetap
mendekatkan diri dari garis pantai sampai keadaaan benar-benar
aman. Jangan berasumsi bahwa karena tsunami kecil di satu
tempat maka akan kecil juga pada daerah yang lain. Ukuran
gelombang tsunami bervariasi dan tidak sama di semua lokasi.
Gelombang tsunami juga bisa melakukan perjalanan melalui sungai-
sungai yang terhubung ke laut.

Selain tanda-tanda tersebut, alam juga bisa memberi tanda


sebelum terjadinya bencana, seperti gerakan angin yang tidak
biasa, tekanan udara atau cuaca yang ekstrem dan perilaku hewan
yang berubah. Para ilmuwan berteori bahwa hewan mampu
menangkap getaran-getaran atau perubahan tekanan udara di
sekitar mereka yang tidak dapat dilakukan manusia. Beberapa
kelelawar, yang aktif di malam hari dan biasanya tidur di siang hari,
menjadi sangat aktif setengah jam sebelum gelombang tsunami
datang. Di Sri Lanka dan Thailand ada sebuah cerita tentang
gajah-gajah berlari ke bukit satu jam sebelum tsunami tahun 2004
35

yang menghancurkan desa dan membunuh hingga 150.000 orang di


kedua negara itu.

4) Dampak Bencana Tsunami. Dampak tsunami yang timbul antara


lain sebagai berikut :

a) Korban manusia dan hilangnya ternak serta kerusakan


bangunan.

b) Hancurnya kampung nelayan.

c) Terhempasnya perahu dan kapal ke arah darat.

d) Rusaknya jalan dan jembatan, dermaga pelabuhan,


bangunan-bangunan bertingkat, tiang listrik, dan lain-lain.

e) Air sumur dan permukiman tercemar air laut yang mampu


membawa berbagai kotoran dari pantai/laut.
f) Rusaknya tanaman di sawah, perkebunan, dan ladang,
panen gagal, kerugian finasial sudah terbayangkan pasti besar
nilainya.

g) Timbul berbagai penyakit yang menyerang korban tsunami.

h) Banyak warga masyarakat putus harapan karena kehilangan


sanak keluarga, mata pencarian, dan pekerjaan, serta banyak orang
mengalami gangguan psikologis dan stres berat.
36

Gambar 2.20 Kerusakan Pemukiman Dan Lingkungan Akibat


Tsunami

5) Upaya Mitigasi dan Pengurangan Dampak Bencana. Sampai saat


ini para ilmuwan tidak dapat meramalkan terjadinya gempa bumi dan
tsunami. Namun dengan melihat catatan sejarah para ilmuwan dapat
mengetahui tempat-tempat yang rawan tsunami. Pengukuran tinggi
gelombang dan batas landaan dari kejadian tsunami masa lalu akan
berguna untuk memperkirakan dan mengurangi dampak tsunami di masa
depan. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Patuhi Aturan Sempadan Pantai. Daerah dengan jarak 250


meter dari garis pantai pada saat pasang maksimum harus bebas
dari bangunan. Daerah sempadan pantai seharusnya ditanami
tanaman keras yang akarnya tidak mudah tercabut, misalnya pohon
kelapa dan nipah. Wilayah ini sekaligus berfungsi sebagai hutan
lindung.

b. Di batas daerah sempadan pantai dibangun jalan sekaligus


sebagai daerah lalu lintas penyelamatan.
37

c. Pertahankan keberadaan tanaman hutan bakau/ mangrove.


Tanaman bakau mempunyai akar yang kuat, tidak mudah tercabut,
dan tahan air asin. Hutan bakau di pantai mampu meredam
kekuatan gelombang pasang tsunami.

d. Aliran sungai yang dekat dengan muara tidak perlu


dinormalisasi/diluruskan, sehingga tidak berdampak lebih parah
akibat gelombang tsunami.

e. Waspadai terhadap gejala-gejala alam yang aneh.


Kemungkinan hal itu merupakan warning bahwa akan terjadi
sesuatu yang tidak diperkirakan.

BAB III
PENGETAHUAN METEOROLOGI

8. Umum. Meteorologi adalah ilmu interdisipliner yang mempelajari atmosfer.


Studi dibidang ini telah dilakukan selama ribuan tahun meski kemajuan yang signifikan
baru terjadi pada abad ke 18. Pada abad ke 19, gebrakan besar terjadi setelah
pengamatan terkoordinasi yang dilakukan lintas Negara. Setelah pengembangan
computer di pertengahan abad ke 20, peramalan cuaca dapat dilakukan lebih akurat.
Fenomena meteorologi adalah aktivitas cuaca yang dapat diamati dan dijelaskan
dengan ilmu meteorologi. Aktivitas tersebut terkait dengan variabel yang ada
diatmosfer bumi, seperti temperature, tekanan udara, uap air dan gradien interaksi
setiap variabel serta bagaimana mereka berubah seiring waktu. Perbedaan spasial
dipelajari untuk menentukan bagaimana sistem cuaca terbentuk secara local, regional
dan global serta dampak yang mungkin ditimbulkanya.
38

9. Meteorologi. Menurut Wallace dan Hobbs (1977), ilmu atmosfer dibagi menjadi
2 disiplin ilmu yaitu meteorologi dan klimatologi. Pengertian Meteorologi berasal dari
bahasa Yunani : "METEOROS" atau ruang atas yakni astmosfer, ogos atau ilmu.
Meteorologi adalah ilmu yang mempelajari fenomena atmosfer dan perilakunya dari
waktu ke waktu, seringkali dikenal dengan istilah cuaca. Disiplin ilmu yang berkaitan
dengan meteorologi antara lain matematika, oseanografi, hidrologi, kimia dan biologi.
Matematika berperan sangat penting dalam mengekspresikan perilaku atmosfer dalam
bentuk persamaan-persamaan matematika sebagaimana dalam ilmu fisika. Meteorologi
sedikit berhubungan ilmu bumi seperti geologi, seismologi dan geomagnetisme.
Bagaimanapun perubahan bentuk muka bumi tidak lepas dari pengaruh cuaca, seperti
abrasi oleh angin, bentuk permukaan gurun pasir, dsb. Demikian pula cuaca
dipengaruhi oleh bentuk muka bumi terutama oleh perbedaan jenis permukaan daratan
dan lautan serta beda ketinggian. Disisi lain hubungan dengan oseanografi cukup
dekat, karena atmosfer mempengaruhi pergerakan lautan dan sebaliknya menerima
energi yang cukup besar dari evaporasi air laut.

a. Cuaca. Cuaca adalah apa yang sedang terjadi di udara atau kondisi
sehari-hari atmosfir, serta variasinya dalam jangka pendek (beberapa menit
sampai minggu). Udara terdiri dari Nitrogen dan Oksigen, dan yang terbanyak
terkandung adalah Nitrogen yang mencapai 78%. Ditempat-tempat yang
berbeda, maka cuacanya juga berbeda, ada yang sedang hujan, terik, badai,
banjir, dan kekeringan. Perbedaan cuaca antara Garis Khatulistiwa dan Garis
Balik Utara dan Selatan sangatlah jauh. Karena daerah Khatulistiwa tersorot
sinar matahari yang terkuat, sedangkan daerah Garis Balik Utara dan Selatan
mendapat sedikit sorotan sinar matahari. Yang

menguraikan variasi
b. Iklim. Iklim adalah merupakan fondasi dari ekosistem dunia kita. Iklim
menentukan kehidupan di suatu tempat, kemana udara mengalir dan merupakan
statistik dari cuaca. Dengan demikian iklim juga menentukan hal-hal mendasar
mengenai berapa besar curah hujan yang kita terima di suatu tempat, seberapa
luas wilayah penguapan, pola pergerakan arus lautan, perubahan suhu, dan
sebagainya. Dengan demikian, ketika kita berbicara mengenai perubahan iklim,
kita sebenarnya membicarakan mengenai perubahan yang sangat mendasar
pada sistem alami dunia, termasuk didalamnya keadaan dimana sistem alam
39

tersebut bermanfaat bagi kita (misalnya dalam hal penyebaran pangan dan hal
sejenisnya) namun juga dalam cara-cara yang merugikan (misalnya dampak
banjir, kekeringan atau angin badai).

10. Bencana Meteorologi.

a. Angin Badai.

1) Pengertian. Angin badai adalah pusaran angin kencang dengan


kecepatan angin 120 km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis
di antara garis balik utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang
sangat dekat dengan khatulistiwa.

2) Faktor Penyebab. Angin kencang ini disebabkan oleh perbedaan


tekanan tekanan dalam suatu sistem cuaca. Angin paling kencang yang
terjadi di daerah tropis ini umumnya berpusar dengan radius ratusan
kilometer di sekitar daerah sistem tekanan rendah yang ekstrem. Sistem
pusaran ini bergerak dengan kecepatan sekitar 20 km/jam. Di Indonesia,
angin ini dikenal sebagai badai, di Samudra Pasifik sebagai angin taifun
(typoon), di Samudra Hindia disebut siklon (cyclone), dan di Amerika
dinamakan hurricane.

3) Gejala dan Peringatan Dini. Badai tropis dapat terjadi secara


mendadak, tetapi sebagian besar badai tersebut terbentuk melalui suatu
proses selama beberapa jam atau hari yang dapat diikuti melalui satelit
cuaca. Memonitor dengan menggunakan satelit ini dapat untuk
mengetahui arah dari serangan angin badai sehinga cukup waktu untuk
memberikan peringatan dini. Meskipun demikian perubahan sistem cuaca
sangat kompleks sehingga sulit dibuat prediksi secara cepat dan akurat.

4) Dampak Akibat Angin Badai. Dampak yang timbul akibat angin


badai antara lain sebagai berikut :
40

a) Kerusakan terhadap bangunan-bangunan sementara/semi


permanen, struktur bangunan yang ringan atau perumahan yang
terbuat dari kayu, atap bangunan, material bangunan tambahan
yang menempel kurang kuat seperti papan, seng, asbes, dan
sebagainya.

b) Kerusakan terhadap pohon, pagar serta tanda-tanda


lalulintas dan papan reklame serta tiang-tiang kabel listrik yang
tinggi.

c) Kerusakan terhadap kapal-kapal penangkap ikan atau


banguanan industri maritim lainnya yang terletak di sekitar pantai.

Gambat 3.1 Dampak Angin Badai

5) Upaya Mitigasi dan Pengurangan bencana. Mitigasi dan


pengurangan bencana angin badai yang mampu dilakukan adalah sebagai
berikut :

a) Membangun rumah/bangunan yang kokoh dengan struktur


bangunan yang memenuhi syarat teknis untuk mampu bertahan
terhadap gaya angin.
41

b) Penerapan aturan standar bangunan yang memperhitungkan


beban angin khusunya di daerah yang rawan angin badai.

c) Penempatan lokasi pembangunan fasilitas yang penting pada


daerah yang terlindung dari serangan angin badai.

d) Pembangunan bangunan umum yang cukup luas yang dapat


digunakan sebagai tempat penampungan sementara bagi orang
maupun barang saat terjadi serangan angin badai.

e) Pengamanan/perkuatan bagian-bagian yang mudah


diterbangkan angin yang dapat membahayakan diri atau orang lain
disekitarnya.

f) Kesiap-siagaan dalam menghadapi angin badai, mengetahui


bagaimana menyelamatkan diri.

g) Menambatkan atau mengikat kuat kapal-kapal nelayan.

b. Gelombang Pasang / Badai.

1) Pengertian. Pengertian gelombang pasang/badai adalah


gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis
disekitar wilayah Indonesia, dan berpotensi kuat menimbulkan bencana
alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis, tetapi keberadaan
siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang,
gelombang tinggi disertai hujan deras. Secara fisik siklon tropis
merupakan sistem tekanan rendah yang mempunyai angin berputar
(siklonik) yang berasal dari daerah tropis dengan kecepatan rata-rata 34-26
knots disekitar pusatnya.

2) Faktor Penyebab. Angin kecepatan besar (badai, storm) yang


terjadi di atas permukaan laut bisa membangkitkan fluktuasi muka air laut
yang besar di sepanjang pantai. Apalagi jika badai tersebut cukup kuat
42

dan daerah pantai dangkal dan luas. Banyaknya variabel dan


kompleksitas yang menyertai badai ini, menyebabkan perkiraan dan
penentuan elevasi muka air selama terjadinya badai sulit diprediksi.
Variabel-variabel tersebut melibatkan antara lain interaksi antara angin dan
air, perbedaan tekanan atmosfir, dan lain-lain. Besarnya perubahan
elevasi muka air tergantung pada kecepatan angin, fetch, kedalaman air,
dan kemiringan dasar. Fetch adalah panjang daerah di atas mana angin
berhembus dengan kecepatan dan arah konstan. Panjang fetch
membatasi waktu yang diperlukan gelombang untuk membentuk karena
pengaruh angin (mempengaruhi waktu untuk mentransfer energi angin ke
gelombang). Fetch ini berpengaruh pada periode dan tinggi gelombang
yang dibangkitkan. Gelombang dengan periode panjang akan terjadi jika
fetch besar/panjang. Gelombang angin di lokasi pembangkitnya masih
relatip curam. Gelombang di lokasi pembangkitan disebut sea. Selain
bentuknya yang curam, gelombang sea belum berpuncak panjang.
Setelah menjalar gelombang menjadi lebih landai dan berpuncak panjang.
Gelombang ini disebut swell. Siklon tropis sesuai dengan namanya yaitu
tumbuh disekitar daerah tropis terutama yang mempunyai suhu muka laut
hangat, terbentuknya siklon tropis karena adanya wilayah perairan yang
luas dengan suhu muka laut tinggi (> 27 ℃ ¿ sehingga udara lapisan
bawah Atmosfer terangkat (Sistem Konveksi Skala Meso). Pengangkatan
masa udara dengan konvergensi pada lapis bawah dan divergensi pada
lapis atas disertai geser angin (wind shear) vertikal lemah, dengan adanya
gaya Koriolli yang menimbulkan gaya sentrifugal menjauhi katulistiwa
dengan itu karenanya siklon tropis tumbuh aktif di daerah lintang bumi 10
°−20 ° Lintang Utara (LU)/Lintang Selatan (LS).

3) Gejala dan Peringatan Dini. Pemantauan gejala sistem


konvergensi tekanan rendah dapat berkembang menjadi Tropical Depresi
dan tumbuh menjadi Tropical Siclon.

4) Dampak Gelombang Badai. Dampak yang timbul akibat


gelombang badai antara lain sebagai berikut :
43

a) Kerusakan terhadap bangunan-bangunan sementara/semi


permanen, struktur bangunan yang ringan atau perumahan yang
terbuat dari kayu, atap bangunan, material bangunan tambahan
yang menempel kurang kuat seperti papan, seng, asbes, dan
sebagainya.

b) Kerusakan terhadap bangunan dan fasilitas telekomunikasi,


listrik dan air bersih.

c) Kerusakan terhadap kapal penangkap ikan atau bangunan


industri maritim lainnya yang terletak disekitar pantai.

d) Kerusakan terhadap jembatan dan jalan di daerah dataran


pantai.

e) Kerusakan terhadap sawah, ladang, tambak, kolam budidaya


perikanan.

5) Upaya Mitigasi dan Pengurangan Bencana.

a) Reklamasi pantai.

b) Pembangunan pemecah ombak (break water).

c) Penataan bangunan di sekitar pantai.

d) Pengembangan kawasan hutan bakau.

e) Pembanguanan tembok tahan gempa.

c. Banjir.

1) Pengertian. Ada dua pengertian mengenai banjir yaitu yang


pertama adalah aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal
sehingga melintas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan
44

pada lahan rendah disisi sungai. Aliran air limpasan tersebut yang
semakin tinggi, mengalir dan melintasi muka tanah yang biasanya tidak
dilewati aliran air. Sedangkan yang kedua adalah gelombang banjir
berjalan kearah hilir sistem sungai yang berinteraksi dengan kenaikan
muka air di muara akibat badai.

2) Jenis-jenis banjir dan faktor penyebabnya

a) Banjir kilat. Banjir ini biasanya didefinisikan sebagai banjir


yang terjadi hanya dalam waktu 6 jam sesudah hujan lebat mulai
turun. Biasanya juga dihubungkan dengan banyaknya awan
kumulus yang menggumpal di angkasa, kilat atau petir yang keras,
badai tropis atau cuaca dingin. Karena banjir ini sangat cepat
datangnya, peringatan bahaya kepada penduduk sekitar tempat itu
harus kilat pula, dan segera dimulai upaya penyelamatan dan
persiapan penanganan dampak-dampaknya. Umumnya banjir kilat
akibat meluapnya air hujan yang sangat deras, khususnya bila
tanah bantaran sungai rapuh dan tak mampu menahan cukup
banyak air. Penyebab lain adalah:

(1) Kegagalan bendungan menahan volume air (debit)


yang meningkat,

(2) Es yang tiba-tiba meleleh, atau

(3) Berbagai perubahan besar lainnya di hulu sungai.

b) Banjir luapan sungai. Jenis banjir ini berbeda dari banjir kilat
karena banjir ini terjadi setelah proses yang cukup lama, meskipun
proses itu bisa jadi lolos dari pengamatan sehingga datangnya
banjir terasa mendadak dan mengejutkan. Selain itu banjir luapan
sungai kebanyakan bersifat musiman atau tahunan dan bisa
berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu tanpa
berhenti. Penyebabnya adalah kelongsoran daerah-daerah yang
biasanya mampu menahan kelebihan air, pencairan salju yang
45

menumpuk semasa musim dingin, atau terkadang akibat kedua hal


itu sekaligus. Banjir terjadi sepanjang sistem sungai dan anak-anak
sungainya, mampu membanjiri wilayah luas dan mendorong
peluapan air lembah-lembah sungai yang mandiri (yang bukan
merupakan anak sungainya) banjir yang meluap dari sungai-sungai
selain induk sungai biasa disebut ‘banjir kiriman’. Besarnya banjir
tergantung kepada beberapa faktor. Di antaranya kondisi-kondisi
tanah (kelembapan dalam tanah, tumbuh-tumbuhan di atas tanah,
kedalaman salju, keadaan permukaan tanah seperti tanah
‘telanjang’, yang ditutupi batu bata, blok-blok semen, beton, dsb).
Serta ukuran lembah penampungan air sungai itu. Di wilayah yang
semi-tandus, misalnya yang membentang sepanjang benua
Australia barangkali banyak sungai kering. Banjir terjadi dari
sungai-sungai kering itu berminggu-minggu setelah terjadi angin
topan dari lautan atau setelah terjadi hujan badai. Sungai bermuara
ke laut, karenanya topan laut mampu mengarahkan air ke sungai
kering itu hingga terjadi arus air sampai ratusan kilometer sampai ke
arah darat.

c) Banjir pantai. Sebagai banjir dikaitkan dengan terjadinya


badai tropis (juga disebut angin puyuh laut atau taifun). Banjir yang
membawa bencana dari luapan air hujan sering makin parah akibat
badai yang dipicu oleh angin kencang sepanjang pantai. Air garam
membanjiri daratan akibat satu atau perpaduan dampak gelombang
pasang, badai, atau tsunami (gelombang pasang). Sama seperti
banjir luapan sungai, hujan lebat yang jatuh di kawasan geografis
luas akan menghasilkan banjir besar di lembah-lembah pesisir yang
mendekati muara sungai.

3) Gejala dan Peringatan Dini. Datangnya banjir diawali dengan


gejala-gejala sebagai berikut:
46

a) Curah hujan yang tinggi pada waktu yang lama merupakan


peringatan akan datangnya bencana banjir di daerah rawan
bencana banjir.

b) Tingginya pasang laut yang disertai badai mengindikasikan


akan datangnya bencana banjir beberapa jam kemudian terutama
untuk daerah yang dipengaruhi pasang surut.

4) Dampak Akibat Banjir. Bencana banjir mengakibatkan:

a) Korban manusia berupa penduduk mengungsi, luka-luka,


hilang bahkan meninggal dunia.

b) Kerusakan prasarana umum berupa prasarana transportasi


yaitu jalan, jembatan stasiun, terminal dan lain-lain yang tergenang,
rusak dan hanyut.

c) Kerusakan fasilitas sosial berupa sekolah, rumah ibadah,


pasar, gedung pertemuan, rumah sakit dan lain-lain yang
tergenang, rusak dan hanyut.

d) Kerusakan prasarana pertanian dan perikanan.

e) Kerusakan prasarana pengairan berupa bendungan, tanggul,


jaringan irigasi dan lain-lain.

f) Kerusakan harta benda perorangan berupa rumah tinggal,


mobil, peternakan dan lain-lain yang tergenang, rusak dan
hanyut/hilang.

g) Timbulnya penyakit TCD, gatal-gatal pada kulit, dan


leptospirosis akibat sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan.
47

Gambar 3.2 Dampak Banjir pada perumahan penduduk

5) Upaya Mitigasi dan Pengurangan Bencana. Beberapa cara


mitigasi dan pengurangan bencana yang dapat dilakukan antara lain
sebagai berikut :
a) Melakukan reboisasi secara menyeluruh di wilayah Daerah
Aliran Sungai (DAS).

b) Membangun bendungan secara selektif dibeberapa penggal


sungai untuk mengurangi debit sungai, sekaligus untuk
menyediakan air irigasi daerah pertanian maupun PLTA.

c) Membangun tanggul pengaman di sepanjang tepi aliran


sungai secara selektif.

d) Memfungsikan kembali situ/telaga/rawa yang ada di wilayah


DAS Hulu.

e) Melakukan pengerukan dasar sungai sehingga sungai dapat


dinampung debit air yang lebih banyak dan dapat dimanfaatkan
sebagai prasarana transportasi.

f) Memberlakukan aturan sempadan sungai, yaitu daerah kiri


dan kanan aliran sungai dengan jarak 100 meter dari tepi sungai
atau dari tebing sungai. Dilarang mendirikan bangunan di
sempadan sungai, kecuali bangunan sarana dan prasarana sungai.
48

g) Memberlakukan larangan memanfaatkan sungai sebagai


tempat pembuangan sampah.

h) Melakukan normalisasi sungai secara efektif.

i) Melakukan penambangan pasir sungai sesuai dengan aturan


yang berlaku.

j) Pembentukan “Kelompok kerja” yang berabnggotakan dinas-


instansi terkait ditinkat kabupaten/kota sebagai bagian dari Satuan
Pelaksana (Satlak) untuk melaksanakan dan menetapkan
pembagian peran dan kerja atas upaya-upaya nonfiosik
penanggulangan mitigasi bencana banjir.

k) Memonitor dan mengevaluasi data curah hujan, banjir,


daerah genangan dan informasi lain yang diperlukan untuk
meramalkan kejadian banjir, daerah yang diidentifikasi terkena
banjir serta daerah rawan banjir.

l) Merencanakan dan menyiapkan Prosedur OperasinStandar


untuk kegiatan/tahap tanggap darurat.

m) Melaksanakan pelatihan evakuasi untuk mengecek kesiapan


masyarakat, Satlak dan peralatan evakuasi, dan kesiapan tempat
pengungsian sementara beserta perlengkapannya.

d. Kekeringan.

1) Pengertian. Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air


yang jauh dibawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian,
kegiatan ekonomi dan lingkungan.” Kekeringan diklasifikasikan sebagai
berikut:
49

a) Kekeringan Alamiah.

(1) Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat


curah hujan di bawah normal dalam satu musim.

(2) Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan


pasokan air permukaan dan air tanah.

(3) Kekeringan Pertanian berhubungan dengan


kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak
mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode
waktu tertentu pada wilayah yang luas.

(4) Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi


dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan
normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan
pertanian.

b) Kekeringan Antropogenik. Kekeringan yang disebabkan


karenaketidak-patuhanpada aturan terjadi karena:

(1) Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang


direncanakan akibat ketidak-patuhan pengguna terhadap
pola tanam/pola penggunaan air.

(2) Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air


akibat perbuatan manusia.

2) Faktor Penyebab. Bencana kekeringan mulai melanda sejumlah


wilayah di Tanah Air. Ratusan ribu hektare tanaman pangan, terutama
padi, di Pulau Jawa terancam gagal panen ini diakibatkan dengan curah
hujan yang berkurang serta musim kemarau yang panjang. Luas lahan
padi yang potensial gagal panen terus bertambah seiring dengan musim
kemarau yang berubah pola. Perubahan iklim, para ahli mengaitkannya
50

dengan gejala pemanasan global, menyebabkan musim hujan dan


kemarau di Indonesia bergeser. Musim kemarau yang biasanya terjadi
pada periode April sampai Oktober, tahun ini baru dimulai pada Juli.
Demikian juga dengan musim hujan yang bergeser dari November sampai
Maret ke Februari hingga Juni. Menurut Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Badan Meteorologi dan Geofisika Mezak Arnold Ratag,
kondisi itu disebabkan anomali iklim berupa kenaikan suhu 1-1,5 derajat
Celsius di utara Afrika dari suhu rata-rata 27-28 derajat Celsius.
Akibatnya, massa udara kering dari Australia bergerak ke utara Afrika
sehingga memperparah kekeringan di wilayah selatan ekuator, termasuk
di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah selatan Sumatera.
Tidak hanya itu dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat
berkaitan dengan fenomena ENSO (El-Nino Southern Oscilation).
Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan.
Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola:

a) Akhir musim kemarau mundur dari normal.

b) Awal masuk musim hujan mundur dari normal.

c) Curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal.

d) Deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah


Indonesia bagian Timur.

3) Gejala terjadinya Kekeringan

a) Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah


hujan di bawah normal dalam satu musim.

b) Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan


pasokan air permukaan dan air tanah, mata air di daerah dataran
mulai menghilang, debit air sungai mulai menurun bahkan menjadi
kering, sumur gali/sumur dangkal mulai mengering.
51

c) Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan


kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada phase
tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman
menjadi rusak/mengering.

4) Dampak Akibat Kekeringan.Air sangat penting bagi kelangsungan


kehidupan. Apabila terjadi kekurangan air, mula-mula yang merasakan
akibatnya adalah tanaman, kemudian binatang, dan akhirnya manusia.
Dampak yang akan timbul apabila terjadi kekeringan antara lain sebagai
berikut:
a) Terjadi gagal panen karena tanaman kekurangan air.

b) Cadangan pangan mulai menipis sehingga harga bahan


makanan pokok melambung tidak terkendalikan.

c) Kekurangan pangan yang berkelanjutan yang mengakibat-


kan kerawanan sosial, pencurian, dan perampokan terjadi dimana-
mana.

d) Banyak terjadi kelaparan di berbagai tempat, diawali dengan


penyakit kurang gizi dan dapat berakhir dengan kematian.

e) Banyak ternak mulai kehausan karena sulit mendapatkan air,


ternak yang berusia muda banyak yang mati karena dehidrasi dan
menyebabkan udara berbau bangkai.

f) Timbul berbagai penyakit yang disebabkan oleh debu seperti


ISPA dan diare.

g) Kekeringan yang terjadi di hutan secara berkepanjangan


mampu menyulut kebakaran hutan.
52

5) Upaya Mitigasi dan Pengurangan bencana. Mitigasi dan


pengurangan bencana yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a) Penghijauan. Melakukan reboisasi secara menyeluruh,


terutama di wilayah DAS, membiarkan tanaman semak diantara
pohon-pohon di hutan tetap hidup dan melakukan deversifikasi
tanaman dengan beberapa jenis umbi-umbian sebagai cadangan
bahan pangan.

b) Revitalisasi air. Mempertahankan/menambah jumlah telaga,


rawa, dan situ sebagai tempat penampungan air hujan,
membendung sungai dan mengalirkan airnya ke tempat lain untuk
keperluan irigasi dan konservasi air tanah lokal serta meningkatkan
kandungan air tanah daerah sekitarnya.

c) Revitalisasi lahan. Memberlakukan sempadan mata air,


sempadan danau, sempadan sungai dan mengalokasikan daerah
resapan air sebagai kawasan lindung.

d) Mempertahankan hutan kota, membuat bak penampungan


air hujan atau sumur resapan air hujan.

e. Kebakaran Hutan dan Lahan.

1) Pengertian. Kebakaran hutan dan lahan adalah perubahan


langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang
menyebabkan kurang berfungsinya hutan atau lahan dalam menunjang
kehidupan yang berkelanjutan sebagai akubat dari penggunaan api yang
tidak terkendali maupun faktor alam yang dapat mengakibatkan terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan.

2) Faktor Penyebab
53

a) Aktivitas manusia yang menggunakan api di kawasan hutan


dan lahan, sehingga menyebabkan bencana kebakaran.

b) Faktor alam yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan


dan lahan.

c) Jenis tanaman yang sejenis dan memilki titik bakar yang


rendah serta hutan yang terdegredasi menyebabkan semakin
rentan terhadap bahaya kebakaran.

d) Angin yang cukup besar dapat memicu dan mempercepat


menjalarnya api.

e) Topografin yang erjal semakin mempercepat merembetnya


api dari bawah ke atas.

3) Gejala dan Peringatan Dini.

a) Adanya aktivitas manusia yang menggunakan api di


kawasan hutan dan lahan, sehingga menyebabkan bencana
kebakaran.

b) Ditandai dengan adanya tumbuhan yang meranggas.

c) Kelembaban udara rendah.

d) Kekeringan akibat musim kemarau yang panjang.

e) Peralihan musim menuju kemarau.

f) Meningkatnya migrasi satwa keluar habitatnya.

4) Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan.


54

a) Asap panas mengakibatkan daun tanaman layu sehingga


dapat menurunkan tingkat produksi pertanian.

b) Terbakarnya serasah hutan mengakibatkan semua jenis


mikroba yang hidup dalam tanah mati, pembusukan secara alamia
terhenti, dan akibatnya tanah menjadi gersang serta tidak subur.

c) Kerusakan tanah hutan akibat terjadi perubahan sifat fisik


dan kimia tanah.

d) Kerusakan ekosistem, termasuk perubahan suhu udara di


hutan dan tingkat kelembaban udara.

e) Kebakaran menyebabkan kerusakan habitat marga satwa


yang berakibat kematian hewan serta kerusakan vegetasi yang
berakibat sebagian jenis tanaman akan punah.

f) Ketiadaan tumbuhan mengakibatkan air hujan tidak ada


yang menahan. Akibatnya banjir besar di sungai akan terjadi pada
musim hujan dan aliran sungai akan surut pada musim kemarau.

g) Asap yang bergerak di daerah kota dan pemukiman dapat


mengganggu lalu lintas darat, laut dan udara.

h) Kebakaran hutan yang berkepanjangan akan mengakibatkan


hilangnya mata air.

i) Asap akan mengakibatkan sesak napas pada manusia


ataupun binatang.
55

Gambar 3.3 Dampak dari kebakaran hutan dan lahan

5) Upaya Mitigasi dan Pengurangan Bencana. Beberapa mitigasi


dan pengurangan bencana yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a) Kampanye dan sosialisasi kebijakan pengendalian


kebakaran lahan dan hutan.

b) Peningkatan masyarakat peduli api (MPA).

c) Peningkatan penegakan hukum.

d) Pembentukan pasukan pemadaman kebakaran khususnya


untuk penanggulangan kebakaran secara dini.

e) Hindarkan pembukaan lahan dengan cara pembakaran.

f) Melakukan pengawasan pembakaran lahan untuk


pembukaan lahan secara ketat.

g) Partisifasi aktif dalam pemadaman awal kebakaran di


daerahnya.

h) Pembuatan waduk (embung) di daerahnya untuk


pemadaman api.
56

i) Pembuatan sekat bakar, terutama antara lahan, perkebunan,


pertanian dengan hutan.

j) Hindarkan penanaman tanaman sejenis untuk daerah yang


luas.
k) Melakukan penanaman kembali daerah yang telah terbakar
dengan tanaman yang heterogen.

l) Pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpan


membakar.

m) Kesatuan persepsi dalam pengendalian kebakaran lahan


dan hutan.

n) Penyediaan dana tanggap darurat untuk penanggulangan


kebakaran lahan dan hutan disetiap unit kerja terkait.
57

BAB IV
MANAJEMEN BENCANA

11. Umum. Manajemen bencana merupakan serangkaian kegiatan yang didesain


untuk mengendalikan situasi bencana dan darurat dan untuk mempersiapkan kerangka
untuk membantu orang yang rentan-bencana untuk menghindari atau mengatasi
dampak bencana tersebut. Manajemen bencana berkaitan dengan situasi yang terjadi
sebelum, selama dan setelah bencana.

12. Pengertian dan Tujuan Manajemen Bencana. Manajemen bencana seperti


yang didefinisikan oleh Agus Rahmat (2006), merupakan seluruh kegiatan yang meliputi
aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah
terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus manajemen bencana. Tujuan kegiatan ini
untuk:

a. Mencegah kehilangan jiwa.

b. Mengurangi penderitaan manusia.


58

c. Memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko.

d. Mengurangi kerusakan insfrasruktur utama, harta benda dan kehilangan


sumber ekonomis.

Adapun menurut Syarief dan Kondoatie (2006) mengutip Carter (2001)


mendefinisikan pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan (aplikatif)
yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan
tindakan-tidakan terkait pencegahan, mitigasi, persiapan, respon darurat dan pemulihan.
Manajemen dalam bantuan bencana merupakan hal yang penting, fungsi-fungsi utama
dalam manajemen termasuk dalam pengelolaan bencana, meliputi perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan, pengordinasian, dan pengendalian. Adapun tujuan
manajemen bencana diantaranya yaitu:

a. Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa


yang dialami oleh perorangan, masyarakat, dan negara.

b. Mengurangi penderitaan korban bencana.

c. Mempercepat pemulihan.

d. Memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang


kehingan tempat ketika kehidupannya terancam.

13. Prinsip Pengurangan Risiko Bencana dalam Penanggulangan Bencana.


Besar atau kecilnya dampak dalam sebuah bencana diukur dari korban jiwa, kerusakan,
atau biaya–biaya kerugian yang ditimbulkannya. Namun demikian, dalam upaya
pengurangan risiko bencana, dampak sebuah bencana dapat diprediksi dengan
mengidentifikasi beberapa hal di bawah ini.

a. Ancaman/Bahaya (Hazard) = H. Apakah beda antara a ncaman/bahaya


dengan bencana?, Ancaman atau bahaya adalah fenomena atau situasi yang me
miliki potensi untuk menyebabkan gangguan atau kerusakan terhadap orang,
harta benda, fasilitas, maupun lingkungan. Sebaliknya, bencana merupakan
59

suatu peristiwa, baik akibat ulah manusia maupun alam, tiba tiba maupun
bertahap, menyebabkan kerugian yang luas pada manusia, materi, maupun
lingkungan. Menurut United Nations International Strategy for Disaster Redu
ction (UN – ISDR), bahaya terdiri atas bahaya alam dan bahaya karena ulah
manusia, yang dapat dikelompokkan menja di bahaya geologi, bahaya
hidrometeorologi, bahaya biologi, bahaya teknologi, dan penurunan kualitas
lingkungan.

b. Kerentanan (Vulnaribility) = V. Kerentanan merupakan suatu kondisi


yang menurunkan kemampuan seseorang atau komunitas masyarakat untuk
menyiapkan diri, bertahan hidup, atau merespon potensi bahaya. Kerentanan
masyarakat secara kultur dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kemis kinan,
pendidikan, sosial dan budaya. Selanjutnya aspek infrastruktur yang juga
berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kerentanan.

c. Kapasitas (Capacity) = C. Kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya


yang ada pada tiap individu dan lingkungan yang mampu mencegah, melakukan
mitigasi, siap menghadapi dan pulih dari akibat bencana dengan cepat.

d. Risiko bencana (Risk) = R. Risiko bencana merupakan interaksi tingkat


kerentanan dengan bahaya yang ada. Ancaman bahaya ala m bersifat tetap
karena bagian dari dina mika proses alami, sedangkan tingkat kerentanan dapat
dikurangi sehingga kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana semakin
meningkat.

Prinsip atau konsep yang digunakan dalampenilaian risiko bencana adalah :


60

14. Tahapan/Proses Dalam Penanggulangan Bencana. Manajemen


penanggulangan bencana dapat didefinisikan sebagai segala upaya atau kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap
darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang dilakukan pada tahapan
sebelum, saat dan setelah bencana. Manajemen penanggulangan bencana merupakan
suatu proses yang dinamis, yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan
pengawasan. Proses tersebut juga melibatkan berbagai macam organisasi yang harus
bekerjasama untuk melakukan pencegahan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat.
dan pemulihan akibat bencana. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai
beriut :

Manajemen Penanggulangan Bencana

Manajemen Risiko
Bencana

Mitigasi
Manajemen Manajemen
Kedaruratan Pemulihan

Kesiapsiagaan

Pra Bencana Saat Bencana Pasca Bencana

Gambar 2: Proses Penanggulangan Bencana


61

Dalam upaya menerapkan manajemen penanggulangan bencana, dilaksanakan


melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut:

a. Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika sedang tidak terjadi


bencana dan ketika sedang dalam ancaman potensi bencana.

b. Tahap tanggap darurat yang dirancang dan dilaksanakan pada saat


sedang terjadi bencana.

c. Tahap pasca bencana yang dalam saat setelah terjadi bencana.

Dalam keseluruhan tahapan penanggulangan bencana tersebut, ada 3 (tiga)


manajemen yang dipakai yaitu :

a. Manajemen Risiko Bencana. Adalah pengaturan upaya penanggulangan


bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang mengurangi risiko secara
terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat sebelum terjadinya
bencana dengan fase-fase antara lain : Pencegahan bencana adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upayauntuk menghilangkan
dan/atau mengurangi ancaman bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya
untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam fase ini juga terdapat
peringatan dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

b. Manajemen Kedaruratan. Adalah pengaturan upaya penanggulangan


bencana dengan penekanan pada faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan
korban serta penanganan pengungsi secara terencana, terkoordinasi, terpadu
dan menyeluruh pada saat terjadinya bencana dengan fase nya yaitu : Tanggap
darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
62

pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan,
yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

c. Manajemen Pemulihan. Adalah pengaturan upaya penang-gulangan


bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang dapat mengembalikan
kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan
memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana secara terencana,
terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya bencana dengan fase-
fasenya nya yaitu :

1) Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek


pelayanan public atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pasca bencan. dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana.

2) Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan


sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

15. Sistem Manajemen Bencana di Indonesia. Kebijakan Penanggulangan


Bencana di Indonesia.
63
64

Gambar 3: Sistem Nasional Penanggulangan Bencana

Kebijakan penanggulangan bencana diterjemahkan dalam Sistem Nasional


Penaggulangan Bencana (SisNas PB), dimana sistem dan sub-sistem ini telah dan terus
dikembangkan dengan komponen sebagai berikut:
a. Legislasi. Nasional. UU PB no. 24 tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana, Peraturan Presiden no. 08 tahun 2008 tentang
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) no.
21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP
no. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana,
dan PP no. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional.
Dan Lembaga Asing non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana.
Peraturan Kepala (Perka) BNPB dan lain sebagainya. Daerah: Peraturan
daerah atau Qanun terkait penenggulangan bencana yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah atau kepala daerah di level provinsi dan kabupaten.
Adapun contohnya seperti Qanun No 5 tentang Penanggulangan Bencana
aceh dan lain sebagainya.

b. Kelembagaan. Pembentukan kelembagaan yang kuat dalam upaya


penanggulangan bencana ada yang bersifat formal dan non- formal. Dalam
hal ini, lembaga yang bersifat formal adalah Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk nasional dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk provinsi
65

dankabupaten/kota. Lembaga ini dalam penyelenggaraan penanggulangan


bencana mempunyai tugas dan fungsi “koordinasi, komando dan
pelaksana. Untuk lembaga yang bersifat non-formal adalah platform atau
forum PB/PRB seperti PLANAS PRB untuk tingkat nasional dan berbagai
macam forum sejenis lainnya yang ada di daerah.

c. Perencanaan. Pemaduan penanggulangan bencana kedalam


perencanaan pembangunan (Nasional/Daerah) dapat dilakukan dengan
mengitegrasikan aspek-aspek Rencana Penanggulangan Bencana dalam
RPJP(D) dan RPJM(D) serta Rencana Aksi – PRB dalam RKP(D). Adapun
jenis-jenis perencanaan dalam penanggulangan bencana, sebagai
berikut :

1) Rencana Penanggulangan Bencana


2) Rencana Tanggap Darurat
3) Rencana Kontijensi
4) Rencana Operasi
5) Rencana Pemulihan

d. Pendanaan. Sumber-sumber pendanaan dalam penang-gulangan sebagai


berikut:

1) Dana DIPA (APBN/APBD) adalah dana untuk mendukung kegiatan


rutin dan operasional lembaga/ departemen terutama untuk kegiatan
pengurangan risiko bencana.

2) DAK adalah dana untuk pemda Provinsi/Kabupaten/ Kota yang


diwujudkan dalam mata anggaran kebencanaan, disesuaikan dengan
tingkat kerawanan dan kemampuan daerah.

3) Dana Contingency adalah dana untuk penanganan kesiapsiagaan.

4) Dana Siap Pakai (on call) adalah dana untuk bantuan kemanusiaan
(relief) pada saat terjadi bencana.
66

5) Dana bencana yang berpola hibah adalah Dana yang bersumber


dari masyarakat.

e. Pengembangan Kapasitas. Sub-sistem pengembangan kapasitas bisa


dilakukan melalui :

1) Pendidikan dan Pelatihan

a) Memasukkan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum


sekolah.

b) Membuka program studi “disaster management” di


perguruan tinggi.

c) Menyusun standar modul pelatihan manajemen bencana.


d) Melakukan pelatihan manajer dan teknis penanggulangan
bencana.

e) Mencetak tenaga profesional dan ahli penanggulangan


bencana

2) Penelitian dan Pengembangan Iptek Kebencanaan. Pemahaman


karakteristik ancaman/hazard dan teknologi penanganannya.

3) Penerapan Teknologi Penanggulangan Bencana

a) Risk mapping dan tataruang.


b) Deteksi dini/EWS untuk ancaman bencana
c) Rumah tahan gempa/building code.
d) Teknologi untuk penanganan darurat.
e) Teknologi pangan untuk bantuan darurat

4) Penyelenggaraan. Pelaksanaan penanggulangan bencana dengan


melakukan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
67

pembangunan pada tahapan sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana


mencakup kegiatan-kegiatan mulai dari fase pencegahan bencana,
tanggap darurat, sampai pada fase rehabilitasi dan rekontruksi yang
dilakukan secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh.

16. Siklus Manajemen Bencana. Bantuan bencana pada dasarnya memerlukan


suatu mekanisme khusus yang meliputi kegiatan-kegiatan tanggap darurat (emergency
response), rehabilitasi, rekonstruksi, mitigasi (pengurangan risiko) dan kesiapsiagaan
yang dilakukan secara berkesinambungan, tidak terbatas hanya pada tahapan respons
semata. Pada awalnya, tindakan penanganan bencana dilakukan hanya terbatas pada
tahap bahaya-bahaya yang terjadi setelah adanya bencana atau respons atau tanggap
terhadap suatu bencana. Perkembangan situasi dirasakan perlu untuk menyusun
kesiapsiagaan bencana untuk menyediakan bantuan kemanusiaan yang lebih baik
akibat operasi penyelamatan yang tidak terkoordinasi. Tahapan-tahapan tersebut
merupakan model empat fase dalam manajemen becana yaitu mitigation, preparedness,
response dan recovery. Tahapan-tahapan atau fase-fase dalam bantuan bencana
dikenal dengan siklus penanganan bencana (disaster management cycle). Siklus
manajemen bencana menggambarkan proses pengelolaan bencana yang pada intinya
merupakan tindakan prabencana, menjelang bencana, saat bencana dan
pascabencana. Siklus ini dimulai dari waktu sebelum terjadinya bencana berupa
kegiatan pencegahan, mitigasi (pelunakan/ pengurangan dampak) dan kesiapsiagaan.
Pada saat terjadinya bencana berupa kegiatan tanggap darurat dan selanjutnya pada
saat setelah terjadinya bencana berupa kegiatan rehabilitas dan rekonstruksi. Menurut
Kodoatie dan Syarief (2006) peristiwa bencana memiliki karakteristik yang berbeda,
namun pada hakekatnya mempunyai konsep siklus bantuan bencana yang sama dalam
manajemen bencana. Menurut buku pegangan untuk Manajemen Bencana karangan
W. Nick Carter (Carter, W. Nick. Disaster management : a disaster manager’s handbook.
Asian Development Bank, 1991) dibutuhkan siklus manajemen menghadapi bencana
untuk tiap negara, yang meliputi : Prevention (pencegahan); Mitigation (mitigasi atau
memperkecil efek bencana); Preparedness (kesiap-siagaan); Response (respon atau
reaksi cepat); Recovery (perbaikan); Development (pengembangan).

a. Prevention  (pencegahan). Mengukur dan memperkirakan bencana apa


saja yang akan terjadi. Memang pada dasarnya sangat susah untuk
68

memperkirakan dimana bencana akan menghadang akan tetapi kita bisa


(berusaha) mencegah dengan, sebagai contoh: membuat bangunan yang secara
konstruksi kuat menahan goncangan, membangun rumah tidak terlalu dekat
dengan laut atau setidaknya memperhatikan syarat-syarat standar keamanan
pembangunan, pengeboran, dan lain sebagainya.

b. Mitigation (mitigasi atau usaha memperkecil efek bencana). Tindakan


mitigasi bisa dalam bentuk program yang spesifik. Ini di upayakan agar pada saat
kejadian bencana, program ini dapat memperkecil korban jiwa dan kerusakan.
Contohnya: membudayakan pelatihan menghadapi bencana yang bisa dimulai
dari sekolah-sekolah dan instansi pemerintah.  Selalu memperbaharui standar-
standar penanganan bencana. Pelaksanaan kode-kode standar keamanan pada
pembangunan fisik, Peringatan dini bencana (early warning), regulasi tata guna
lahan, regulasi keamanan bangunan tingkat tinggi dan control terhadap
penggunaan bahan-bahan berbahaya. Membentuk sistem perlindungan untuk
instalasi kunci, seperti pembangkit listrik dan bangunan telekomunikasi vital.

c. Preparedness (Kesiap-siagaan). Dengan adanya standar tanggap


bencana yang sebaiknya ditetapkan oleh pemerintah dan disosialisasikan kepada
publik, diharapkan dapat melatih masyarakat, baik sebagai komunitas maupun
kelompok selalu siap siaga menghadapi yang terburuk dan agar tidak terjadi
kepanikan masal. Karena kepanikan bisa menimbulkan efek yang lebih
mematikan daripada bencana itu sendiri. Standar tanggap bencana ini termasuk
formulasi tata cara menghadapi bencana (the formulation of viable counter-
disaster plans). Kejelasan sumber informasi agar tidak terjadi penyebaran kabar
yang diragukan kebenarannya seperti yang terjadi baru-baru ini. Kejelasan
inventaris sumber daya dalam menghadapi bencana dan pelatihan personel 
tanggap bencana yang diharapkan dapat efektif ketika sebelum dan sesudah
bencana terjadi. Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana bisa dibagi menjadi
3 bagian, antara lain:

1)         Warning (peringatan). Ketika suatu daerah mengalami tanda-


tanda alamat maupun berita adanya bencana yang mendekat baik oleh
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) maupun dari instansi yang terkait,
69

maka tanda peringatan harus difungsikan semaksimal mungkin.


Kentongan, pengeras suara di Masjid-masjid, breakingnews di televisi dan
radio maupun pesan singkat melalui SMS dapat digunakan untuk
memberikan peringatan awal.

2) Threat (ancaman). Ketika gejala dan peringatan sudah dapat


dikenali sebagai bencana yang berpotensi berbahaya, maka penduduk
diminta untuk bersiap-siap mengungsikan diri dengan dibimbing oleh
tenaga yang sudah dilatih dalam manajemen bencana agar tidak terjadi
kesimpang-siuran penanganan.

3) Precaution (tindakan pencegahan). Tindakan nyata dilakukan


setelah kejelasan berita bencana yang mendekat adalah betul
membahayakan, antara lain: menutup perkantoran, sekolah dan tempat-
tempat umum berkumpulnya massa; membawa generator atau pembangkit
tenaga darurat; mengarahkan ketempat pengungsian yang sudah
dipersiapkan keamanannya; membawa peralatan yang terdiri atas
peralatan minimal untuk bertahan hidup seperti persediaan air bersih,
tenda dan makanan.

4) Response (Reaksi Cepat). Reaksi cepat biasanya dapat dilakukan


sesegera mungkin pada saat maupun setelah bencana menghantam.
Dengan adanya personel di dalam masyarakat yang sudah terlatih
diharapkan masyarakat secara mandiri dapat melakukan penanganan dini
sebelum bantuan datang. Tindakan yang diharapkan adalah
menyelamatkan hidup korban dan menjaga harta benda yang masih
tersisa. Memperbaiki (minimal) kerusakan yang disebabkan oleh bencana,
antara lain dapat berupa; pembersihan area jalan, agar transportasi dari
dan ke lokasi bencana tidak terhambat. Menetapkan lokasi pengungsian,
agar bantuan logistik dan pelayan kesehatan bisa terpusat sehingga kinerja
penanganan pasca gempa bisa efektif.

5) Recovery (Perbaikan). Proses perbaikan di utamakan kepada


kebutuhan dasar masyarakat korban gempa seperti tempat tinggal, sanitasi
70

dan Mandi Cuci Kakus (MCK) kemudian dilanjutkan dengan perbaikan


infrastruktur yang mendukung percepatan pemulihan sektor ekonomi
daerah gempa. Perbaikan dan pemulihan ini dilakukan oleh masyarakat
dengan pendampingan dari pemerintah dan lembaga yang berkompeten.
Dibutuhkan rencana jangka panjang untuk perbaikan dan pemulihan ini,
proses ini bisa bervariasi  antara 5-10 tahun, atau bahkan lebih. Bagian ini
termasuk aspek-aspek lain seperti restorasi dan rekonstruksi infrastruktur
termasuk pendampingan untuk perbaikan mental korban gempa agar
seminim mungkin tidak terjadi gejala putus harapan.

6) Development (Pengembangan). Pengembangan dan moderninsasi


penanganan gempa harus selalu dilakukan untuk mengantisipasi bencana
yang tidak bisa ditebak wujudnya. Dengan pengembangan yang terus-
menerus maka budaya ‘lupa’ bisa dihindari. Budaya ‘lupa’ adalah ancaman
terselubung dari penanganan bencana, dengan melupakan kejadian
bencana pada masa lalu maka kita juga melupakan hal-hal yang bisa
menyelamatkan hidup dan harta pada saat bencana menghantam.
Dibutuhkan pengembangan simulasi-simulasi berbagai macam bencana
yang mungkin menghantam negara kita agar kita selalu siap dalam
menghadapi efek-efek bencana. Selain itu, sudah saatnya pemerintah
membuat sebuah departemen khusus yang bertugas untuk
mempersiapkan dan mematangkan Manajemen Bencana ini. Agar respon
Pemerintah (baik daerah maupun pusat) dalam menghadapi ancaman
bencana yang selama ini lambat dapat diperbaiki apabila terdapat kejadian
lain di masa depan, tanpa harus mengunggu bantuan dari luar negeri.
71

Gambar 4 : Siklus Penanggulangan Bencana

17. Respons menghadapi Bencana. Tahapan-tahapan dalam bencana ini penting


dalam manajemen bencana. Keefektifan manajemen bencana tidak hanya aktivitas
padasaat penanganan bantuan bencana, namun keseluruhan aktivitas dalam model
empat fase manajemen bencana (kesiapsiagaan, mitigasi, respons dan pemulihan).
Selama fase mitigasi, manajemen emergency memfokuskan pada pengurangan akibat
negatif bencana. Kunci respons selama masa mitigasi meliputi keputusan tentang
pengembangan ekonomi, kebijakan pemamfaatan lahan, perencanaan insfrastruktur
seperti jalan dan fasilitas-fasilitas umum dan identifikasi penemuan sumberdaya-
sumberdaya guna mendukung investasi. Pada fase kesiapsiagaan, pemerintah perlu
menekankan pada keselatan masyarakat di lingkungan wilayah rawan bencana.
Praktek manajemen secara terpadu dan komprehensif sangat vital. Pada sisi lain,
pemahaman bencana pada masyarakat merupakan bagian penting fase ini. Dalam hal
ini masyarakat perlu memahami respons dan tindakan mereka dalam peristiwa bencana.
Pada saat memberikan bantuan pada fase respons, koordinasi antar berbagai pihak
cukup penting. Koordinasi memungkinkan bantuan dapat dibikan secara cepat dan
efektif. Fase pemulihan merupakan fase aktivitas penilaian dan rehabilitasi kehancuran.
Pada fase ini ditekankan pada proses pendistribusian bantuan. Proses terset meliputi
penentuan dan pemantauan bantuan pada masyarakat korban bencana.

18. Kelembagaan Penanggulangan Bencana. Manajemen bencana di Indonesia


pada tingkat nasional ditangani oleh Badan Nasional Penanggulangan Becana (BNPB)
yang merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian setingkat menteri.
Sedangkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pada tingkat provinsi
dipimpin oleh pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon 1b dan BPBD
pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.

19. Kebijakan dan Perencanaan Pemerintah. Pengintegrasian yang dapat


dilakukan di dalam hal kebijakan dan perencanaan pemerintah adalah pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana (PRB) ke dalam rencana pembangunan, dan penyusunan
72

kebijakan penanggulangan bencana. Kebijakan yang diatur perlu mencakup seluruh


tahapan manajemen bencana mulai dari pencegahan sampai dengan rehabilitasi dan
rekonstriuksi. Pengarusutamaan PRB ke dalam kebijakan pembangunan pemerintah
sebagai salah satu visi, misi, dan prioritas di dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Melalui proses
musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) yang merupakan proses
perencaaan yang bersifat bottom-up, pengarusutamaan PRB perlu dipastikan untuk
diakomodasi dari tingkatan pemerintahan terkecil yaitu melalui penyusunan RPJMdi
tingkat desa/gampong/kelurahan sehingga diharapkan anggaran yang memadai dapat
dialokasikan sesuai dengan kebutuhan untuk melakukan upaya PRB yang
berkelanjutan. Seperti yang diamanahkan oleh UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana bahwa pemerintah pusat maupun daerah perlu
mengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja
secara memadai. Unsur-unsur kebijakan perlu ditetapkan pada wilayahnya sesuai
dengan kebijakan pembangunan daerah. Di beberapa daerah, seperti Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Aceh, pemerintah telah menyusun dan menetapkan Rencana Aksi
Daerah PRB untuk membantu memastikan penerapan upaya PRB yang terpadu dan
terencana. Kebijakan yang dipersiapkan di dalam pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstuksi juga perlu dilakukan dan diperjelas khususnya secara operasional di tingkat
daerah. Mencakup pembagian peran, mekanisme koordinasi horizontal dan vertikal serta
mekanisme penerimaan dan pelaksanaan dukungan internasional.

20. Penguatan Sistem Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian


kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (UU
24 Tahun 2007). Pengembangan sistem peringatan dini merupakan perpaduan
pengembangan kebijakan, sistem dan pembagian peran antara instansi terkait untuk
memastikan informasi peringatan bencana dapat disampaikan kepada masyarakat
secara tepat dan akurat. Indonesia telah memiliki sistem peringatan dini nasional yang
komprehensif dalam peringatan dini gempa dan tsunami yang dikenal dengan end to
end INA Tsunami Early Warning System (INA-TEWS). Namun sistem penyampaian
pesan sampai ke tingkat masyarakat perlu untuk terus ditingkatkan dan di pertahankan
mengingat luasnya wilayah dan cakupan masyarakat yang perlu dicapai oleh informasi
tersebut. Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah juga adanya bencana-bencana
73

lainnya seperti banjir, kebakaran hutan, badai dan lain-lain yang sistem peringatan
dininya masih perlu dikembangkan sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakat
yang sangat beragam. Pengembangan sistem informasi peringatan dini berbasis
masyarakat dan kearifan lokal juga merupakan sebuah intervensi yang dapat dilakukan
di dalam peningkatan kemampuan kesiapsiagaan dan mitigasi.

21. Sistem Pendidikan. Penerapan pengetahuan dan sikap kedalam sistem


pendidikan (sekolah) merupakan salah satu sumber dan penyebar informasi yang efektif
kepada masyarakat. Siswa juga diharapkan dapat meneruskan pesan kepada orang tua
dan anggota keluarga lainnya. Integrasi PRB ke dalam kurikulum formal maupun
informal telah dilakukan di berbagai tingkatan. Intervensi kegiatan yang lainnya yang
perlu dilakukan secara berkelanjutan adalah peningkatan kesiapsiagaan warga sekolah
(Sekolah Siaga Bencana – SSB) dengan pelaksanaan peningkatan kesadaran dan
kapasitas guru dan murid dalam menganalisis risiko dan melakukan pengorganisasian
keadaan tanggap darurat termasuk mekanisme transisi tanggung jawab dari pihak
sekolah kepada orang tua terhadap siswa di masa bencana/pascabencana.

22. Kearifan Lokal. Sistem budaya dan kearifan lokal yang ada perlu diberdayakan
dan dibangun untuk membentuk sikap masyarakat yang terbiasa dengan kesiapsiagaan
bencana sehingga dapat diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh
kearifan lokal “Smong” di Pulau Simelue telah diterapkan turun temurun antar generasi
sehingga kesiapsiagaan terhadap tsunami telah menjadi suatu kebiasaan yang alami
dan dilakukan di dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia dengan kekayaan budaya dan
kearifan lokal merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk dapat secara alami
dan berkelanjutan membentuk sikap kesiapsiagaan di tingkat masyarakat dan lebih
lentur dalam menghadapi bencana. Tantangan yang dihadapi dengan tergerusnya nilai-
nilai tersebut memerlukan intervensi dalam melakukan revitalisasi kearifan dan budaya
yang dapat meningkatkan hubungan antara manusia dengan alam dan memperkuat
ketahanan terhadap risiko bencana.

23. Peran Pemerintah, LSM dan Masyarakat. Masyarakat adalah pihak yang
terpapar oleh bencana pertama kalinya. Karena itu, peningkatan kesadaran dan
kapasitas masyarakat mutlak diperlukan agar risiko dapat dikurangi khususnya sebelum
bantuan dari pihak luar mencapai lokasi bencana, mengingat lokasi Indonesia yang
74

sangat luas. Intervensi yang dapat dilakukan adalah pelaksanaan program pengurangan
risiko berbasis masyarakat yang dilakukan di tingkatan terkecil yaitu tingkat desa.
Pendampingan baik oleh pemerintah maupun organisasi terkait lainnya sangat penting
khususnya di tahap awal untuk memastikan proses peningkatan kesiapsiagaan
masyarakat dilakukan dengan kualitas yang baik dan selaras dengan kebijakan
pemerintah setempat. Beberapa tahapan pendampingan yang dapat dilakukan di tingkat
masyarakat antara lain adalah pembentukan kader siaga bencana desa, pelatihan
manajemen bencana dan pertolongan pertama, analisa bahaya, kerentanan dan risiko
bencana, penyusunan rencana kontinjensi dan pengurangan risiko bencana desa,
penyuluhan bencana, simulasi bencana, dan mitigasi. Proses kegiatan tersebut tentunya
menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dengan intervensi dari pihak luar yang
semakin kecil seiring berjalannya proses. Aspek keberlanjutan dan partisipasi
merupakan komponen utama yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya.
Keberhasilan manajemen bencana tidak terlepas dari peran berbagai pihak, meliputi
pemerintah, organisasi-organisasi kemanusiaan dan masyarakat. Upaya respons dan
pemulihan dalam manajemen bencana berkaitan dengan interaksi pemerintah,
organisasi kemanusiaan dan masyrakat dalam civil society. Spirit aktivitas civil society
muncul berkaitan dengan penanganan peristiwa bencana yang tidak terduga, sehingga
memerlukan kerjasama dari berbagai pihak di wilayah yang terkena dampak bencana.
Kerjasama berbagai akan memberikan manfaat yang sangat besar. Interaksi tersebut
merupakan sebuah kekuatan untuk keberlanjutan penanganan bencana yang lebih
cepat dan efektif, baik jangka pendek maupun jangka panjang pada wilayah dimana
bencana terjadi. Cepat lambatnya pemulihan sangat tergantung pada beberapa faktor
seperti keputusan politik pemerintah, kerjasama berbagai pihak utamanya pemerintah,
masyarakat dan masyarakat dunia. Peran masyarakat sebagai individu-individu harus
waspada terhadap bahaya dan tahu bagaimana melindungi dirinya, keluarganya serta
rumahnya terhadap dampak dari bahaya bencana. Bila masing-masing dapat
melakukan tindakan perlindungan terhadap dampak bahaya, akan mengurangi
keterancaman terhadap bencana dan kedaruratan.
75

BAB VI
PENUTUP

25. Dengan adanya bahan pengajaran Manajemen Disaster (Bencana) ini,


diharapkan dapat memberikan bekal dan menjadi referensi tambahan bagi para Perwira
Siswa dan personel TNI AU yang terlibat dalam penanggulangan bencana di wilayah
Indonesia. Hal-hal yang belum tercantum dalam bahan pengajaran ini dan dianggap
perlu, dapat disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan di lapangan. Demi
kesempurnaan bahan pengajaran ini, dapat diberikan masukan-masukan dan saran
melalui lembaga Seskoau. Demikian penyampaian bahan pengajaran ini, semoga
bermanfaat bagi kita semua.
76

DAFTAR PUSTAKA

Bahan bacaan dari internet:

http://www.info.gov.za/view/DownloadFileAction?id=68922

http://file.upi.edu/Direktori/PROCEEDING/GEOGRAFI/Integrasi_Pengurangan_Resiko_B
encana_(PRB )_dalam_Kegiatan_Pendidikan_di_Sekolah.pdf

http://www.beritaindonesia.co.id/berita-utama/bencana-masih-hantui-tahun-2007/all

http://iipjustiip.blogspot.com/2008/12/10-bencana-terbesar-sepanjang-sejarah.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi
77

Anda mungkin juga menyukai