Anda di halaman 1dari 37

TERBATAS

MARKAS BESAR ANGKATAN UDARA


SEKOLAH STAF DAN KOMANDO

TEORI FILSAFAT UMUM

BAB I

PENDAHULUAN

1. Umum.

a. Mata pelajaran teori Filsafat diberikan dengan maksud mengedepankan


kembali inner sight dari pembelajaran MP Teori Filsafat Umum. Dalam
mendalami filsafat, sering kali ada hal-hal yang penting, baik tersurat, maupun
tersirat namun terlewatkan dalam proses pembelajaran filsafat; kita sering
terpukau oleh pembelajaran dari sisi hardware, namun kurang cermat menyikapi
sisi software. Apalagi sebagai bangsa, kita seringkali mengabaikan makna
strategis sejarah dan filsafat; padahal benang merahnya seringkali memuat
pembelajaran budaya dan nilai yang tidak serta merta tampak di permukaan.
Dimensi pembangunan pada hakekatnya tidak terlepas dari dimensi kebudayaan
yang bermuatan nilai filosofis warganegaranya. Jika kita kurang memahami
raison d’être atau alasan keberadaan (the reason of existence) MP Filsafat
umum, maka kita akan kehilangan spirit dalam mendalaminya. Pendalaman
filsafat akan menajamkan cipta, rasa, dan karsa kita dalam kehidupan sebagai
warganegara yang bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah air. Dari sisi
filsafat sains, dikatakan science without conscience is the death of the soul
(Francois Rabelais, French scholar, sixteenth century). Dengan kata lain, roh
pembelajaran filsafat, akan mendorong pengembangan ethos & mindset dalam
learning in the real world problem dalam kombinasi: 1) Moral knowing
(knowledge values); 2) Moral feeling (Society values); dan 3) Moral actions
(perpaduan social values dengan knowledge attitude).

TERBATAS
2

b. Kata filsafat memiliki padanan kata cum scientia atau sekumpulan tahu,
dapat diartikan bahwa tahu, sadar, mengerti, dan bermakna dalam kehidupan,
berkorelasi dengan kualitas akal budi (mind) manusia bermartabat. Berpikir
atas dasar filsafat akan membawa keseimbangan baru pada derajat kita dalam
hidup dan kehidupan sebagai manusia luhur; pemaknaan merupakan hakekat
nilai karena ada makna yang mengandung unsur believe & values dalam
kehidupan manusia; setiap nilai memilki karakter & orientasi tersendiri.
Dikatakan bahwa derajat “tahu, sadar, mengerti, dan pemaknaan”, akan sangat
berkorelasi dengan:1) Tingkatan pengalaman; 2) Tingkatan ilmu pengetahuan;
3) Tingkatan matematik (exact, pasti, rigour); 4) Tingkatan filsafat; 5) Tingkatan
agama, dari seseorang. Masing-masing tingkatan ini, mempunyai corak, derajat
kepastian, cara berfikir, metode-metode, ukuran-ukuran dan sifat-sifat khas
tersendiri; tapi tidak berarti seakan-akan masing-masing bertentangan satu
terhadap yang lain. Pertentangan-pertentangan yang terjadi, seringkali
disebabkan kita kurang memperhatikan perbedaan level of thought.

2. Maksud dan Tujuan. Naskah ini dimaksudkan untuk menyajikan secara


umum pengetahuan tentang filsafat (Ilmu) dalam budaya, masyarakat, sains &
teknologi dengan harapan mendapatkan perluasan cakrawala pandang akan essensi
strategis, relevansi, dan pentingnya memahami (spirit) MP Filsafat (ilmu) konteks
Bidang Studi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (5000), Sub Bidang Studi Ilmu
Pengetahuan Terapan (5400), dari sisi pemikiran filsafat dan ilmu (modern & rasional).
Adapun, tujuan penyusunan naskah ini adalah sebagai sebuah refleksi pembelajaran
akan peran & fungsi filsafat bagi individu sebagai warganegara dan sebagai prajurit TNI
AU dalam melaksanakan tugas sehari-hari.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Ruang lingkup penyusunan naskah ini
membahas secara umum tentang Filsafat (ilmu) dari sisi pemikiran filsafat dan ilmu
(modern & rasional) beserta gambaran proses,output & outcome pembelajaran Filsafat
(ilmu) yang efektif dan efesien. Adapun, tata urut penulisan naskah ini sebagai berikut:
3

a. Bab I Pendahuluan

b. Bab II Pengertian Dan Hakekat Filsafat (Ilmu)

c. Bab III Ciri-ciri Pemikiran Filsafat

d. Bab IV Kedudukan Ilmu, Filsafat dan Agama

e. Bab V Metode-metode Filsafat (Ilmu)

f. Bab VI Kegunaan Mempelajari Filsafat

g. Bab VII Penutup

BAB II

PENGERTIAN DAN HAKEKAT FILSAFAT

4. Umum. Untuk membuka pintu pemahaman mengenai filsafat, pertama sekali


perlu dipahami pengertian dan apa hakekat filsafat itu. Dengan mengetahui kedua hal
tersebut, sekaligus juga akan diketahui pemahaman pengertian filsafat ditinjau secara
umum, estimologi dan terminologi, sedangkan pemahaman hakekat filsafat
dimaksudkan untuk memahami lebih jauh hakekat filsafat (ilmu), kita perlu memahami
kedudukan filsafat dalam pengetahuan maupun peranan filsafat dalam mencari
hakekat kebenaran (truth). . Di sisi lain manusia mengutamakan pengertian,
mengutamakan pandangan, untuk mengetahui Kebenaran “realitasku dalam semesta
realitas”. “Pengalaman Manusia berhadapan dengan Realitas, dan Realitas
berhadapan dengan Manusia”. “Filsafat berupa pembentangan dari tangkapan
manusia yang mendalam, yang terjadi dalam dan dengan persentuhan atau dalam dan
dengan kesatuan manusia sebagai realitas”; Filsafat bukan menelaah sesuatu aspek
dari realitas, tetapi merenung tentang realitas guna memperlihatkan atau menjelaskan
4

azas-azas atau prinsip-prinsip realitas. Hasrat mengerti, lebih mengerti akan dirinya
sendiri, belum integrasi, belum lengkap, belum utuh, belum sempurna. Oleh sebab itu,
manusia harus mencari diluar dirinya sendiri, dengan memasukkan “dunia luar”
tersebut kedalam kesadarannya; dengan begini manusia menemukan dirinya kembali,
karena antara manusia dan “dunia luar” terdapat kesesuaian azasi. Dalam mengerti
“dunia luar” tersebut, ia mengalami dirinya sendiri, menemukan dirinya sebagai “aku”
yang berhadapan dengan realitas (bukan aku), mengerti merupakan keharusan
(necessity) bagi manusia. Dan akhirnya, pengertian yang tadinya abstrak dapat
beralih ke pandangan hidup.

5. Pengertian Filsafat. Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab,
yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien: cinta dan
sophia: kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti
hakikat. Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf
merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan
yang dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan
yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya
Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi
kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat bahwa
filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang alam maupun bagaimana hakikat yang
sebenarnya. Berikut ini disajikan beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa
para ahli :

a. Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala
yang ada.

b. Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki


sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum
sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat
dengan ilmu.
5

c. Cicero ( (106 – 43 SM ) : Filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni


“( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni
kehidupan )

d. Johan Gotlich Fickte (1762-1814 ) : Filsafat sebagai Wissenschaftslehre


(ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu
membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan
seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh
kenyataan.

e. Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu


dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan
dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .

f. Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang


menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup
empat persoalan.

1) Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika).


2) Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika).
3) Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama).
4) Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi).

g. Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut


intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.

h. Driyakarya: Filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang


sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang
sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.

i. Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk


kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal,
sistematik dan universal.
6

j. Harold H. Titus (1979 ):


1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat
adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang dijunjung tinggi;
2) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan
keseluruhan;
3) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang
arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah
yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh
para ahli filsafat.

k. Hasbullah Bakry: Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala


sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia
itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.

l. Prof. Mr.Mumahamd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga


manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya
kesungguhan.

m. Prof.Dr.Ismaun, M.Pd.: Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan


manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara
kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai
dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau
kebenaran yang sejati.

n. Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah


antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-
pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya,
sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun, seperti sains, filsafat lebih
menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.
7

Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan


bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala
sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai
hakikat segala situasi tersebut.

Menurut Montaigne: everything can be seen from several angles and in several
lights. Filsafat dapat ditinjau dari arti etimologi (sempit), arti terminology (luas),
maupun arti secara radix (akarnya). Secara etimologi, kata filsafat berasal dari kata
“filo & Sophia”; secara terminology, berkembang sejalan perkembangan. Misal
pendapat Cicero, mengatakan bahwa filsafat merupakan “Ibu dari semua seni”, namun
pada abad pertengahan pandangan tersebut berubah; secara radix (mendalam),
filsafat dapat diartikan memiliki multidimensi, bahkan multifacet; disisi lain filsafat dapat
juga diartikan perlu pemahaman yang mendalam (meaningfull nya dimengerti &
dihayati), kearah pemahaman intisari & benang merahnya. Berfilsafat atau berpikir
atas dasar filsafat, bukan berpikir secara repetition atau mekanikal, ia lebih ke arah
merajut konsep dan dan berpikir kritis terutama dalam proses (self) - learning capacity
dalam pembelajaran MP Filsafat. Pengertian yang sempit, akan membawa pikiran
yang sempit pula. Dengan kemampuan berfikir-philosofis akan lebih mampu untuk
berpikir luas dan dalam, hingga menyentuh teras dasarnya. Sebagai gambaran
umum, pengertian secara etimologis: Greek, philos = friend, Sophia = wise: cinta
kearifan (love of wisdom), to love or pursuit wisdom. Pecinta Kearifan sejak
Phitagoras hingga Socrates adalah “Orang yang ingin mencapai dan memiliki
pengetahuan yang luhur”, secara sederhana (benang merahnya) digambarkan sebagai
berikut:

a. Kearifan: mempunyai pengertian yang mendalam mengenai arti dan nilai


sesungguhnya dari suatu hal.

b. Kearifan berarti memiliki sikap hidup yang baik, benar dan tepat, karena
memiliki visi pengembangan (vision development) & values; pengertian yang
dalam, yang mendorong untuk hidup yang sesuai, serasi dengan pengertian
yang dicapainya; dengan kehidupan yang didasari nilai-nilai, akan berpotensi
mengangkat derajatnya.
8

Kearifan timbul, bila (antara lain) ada kesadaran; kesadaran adalah kondisi
intelektual person versus realita, menurut Descartes:

a. Dengan saya berpikir, maka kesadaran akan timbul, sebab saya bisa
berimajinasi bahwa saya bisa salah, bisa ragu, bahkan bisa keliru. Maka
diperlukan usaha untuk memiliki kemampuan berpikir tentang sesuatu, dengan
terkonsentrasi penuh, seolah menuju satu titik.

b. Saya berpikir untuk memperoleh “derajat kepastian” dalam :

1) Kesadaran murni berpikir,

2) kesadaran memilih & memutuskan,

3) Kesadaran & tanggung jawab berbuat,

4) Kesadaran untuk berkarya & manfaat dalam hidup.

Manusia mengutamakan pengertian, mengutamakan pandangan, untuk


mengetahui Kebenaran “realitas-ku dalam semesta realitas”. “Pengalaman Manusia
berhadapan dengan Realitas, dan Realitas berhadapan dengan Manusia”. “Filsafat
berupa pembentangan dari tangkapan manusia yang mendalam, yang terjadi dalam
dan dengan persentuhan atau dalam dan dengan kesatuan manusia sebagai realitas”;
Filsafat bukan menelaah sesuatu aspek dari realitas, tetapi merenung tentang realitas
guna memperlihatkan atau menjelaskan azas-azas atau prinsip-prinsip realitas. Hasrat
mengerti, lebih mengerti akan dirinya sendiri, belum integrated, belum lengkap, belum
utuh, belum sempurna. Oleh sebab itu manusia harus mencari diluar dirinya sendiri,
dengan memasukkan “dunia luar” tersebut kedalam kesadarannya; dengan begini
manusia menemukan dirinya kembali, karena antara manusia dan “dunia luar” terdapat
kesesuaian azasi. Dalam mengerti “dunia luar” tersebut, ia mengalami dirinya sendiri,
menemukan dirinya sebagai “aku” yang berhadapan dengan realitas (bukan aku),
mengerti merupakan keharusan (necessity) bagi manusia. Pengertian yang tadinya
abstrak dapat beralih ke pandangan hidup.
9

6. Hakekat Filsafat (Ilmu). Untuk memahami lebih jauh hakekat filsafat (ilmu),
kita perlu memahami kedudukan filsafat dalam pengetahuan maupun peranan filsafat
dalam mencari hakekat kebenaran (truth). Pada hakekatnya berfilsafat memuat aspek
“The Search For Basic Principle”; penyelidikan yang berawal dari proses inquiry
(ketelitian melalui pencermatan); suatu proses yang juga mengait pertanyaan untuk
suatu kehidupan, untuk lebih memahami kehidupan, dan untuk berkreasi terhadap apa
yang disebut pengetahuan; pengetahuan selalu diperoleh melalui tindakan (action)
yang merupakan pengalaman. Mengapa perlu filsafat? (Ber)filsafat sekurang-
kurangnya memberikan sikap jiwa yang lain terhadap dinamika mutu hidup.
Perbedaan orang yang berfilsafat dan tidak, terletak dalam sikap mereka terhadap
hidup dan kehidupan manusia. Filsafat mengajarkan kita supaya hidup dengan lebih
sadar dan insyaf, memberikan insight tentang manusia dan hidupnya, tentang realitas
dan semesta realitas; posisinya dalam realitas dan insight tadi menerobos sampai
keintisarinya sehingga kita dengan lebih tegas dapat melihat: baik keunggulan,
kebesaran maupun kelemahannya dan batas-batasnya. Berfilsafat merupakan upaya/
daya manusia untuk memikirkan seluruh kenyataan yang ada dengan sedalam-
dalamnya, yang akan membawa pengaruh terhadap mutu dinamika hidupnya dan akan
bermuara pada kehendak dan perbuatan praktis. Jika kita berfilsafat, tentu tidak
terlepas dari kegiatan berpikir; dan berpikir adalah bagian utama dari kegiatan
berfilsafat. Kualitas proses bepikir pada ahirnya akan menentukan kualitas output &
outcome kegiatan berfikir atas dasar filsafat. Mengerti & Berpikir adalah pengalaman
manusia dalam keseharian kehidupan. Manusia bergulat & berjuang untuk mencari
penjelasan tentang makna mengertinya, tentang dirinya, tentang alam semesta,
tentang dasar atau teras terahirnya. Berarti manusia bergulat untuk mencapai
KEBENARAN (Truth), dengan pertanyaan klasik apakah kebenaran itu?

Kearifan apa yang diinginkan? terkait dengan tahu, sadar, mengerti, dan
bermakna dalam arah kedalaman berpikir. Mengerti merupakan kebutuhan (needs).
Manusia tidak merasa puas dengan mengerti, tapi juga ingin mengerti mengapa (Why)
ini demikian; disini mengerti menjadi pengetahuan (pengartian yang dipertanggung
jawabkan dengan dasar-dasar, karena tahu apa yang dipikirkan). Jadi, Filsafat adalah
suatu bentuk-mengerti manusia; didasar kesadarannya manusia itu punya sifat
fundamentil bertanya (kejelasan kenyataan) yang akan menyentuh teras dan dasar
realita, menyentuh sebab sebab terakhir realita: Je sais et je suis conscient de ce que
10

je sais (saya tahu dan sadar akan apa yang saya tahu); subjek yang mengerti dan
objek yang dimengerti. Aristoteles (384 - 322 BC) dalam Metaphysica : “Menurut
kodratnya semua manusia berkeinginan untuk mengerti”  memuaskan keinginan
tahunya merupakan kodratinya. Intelek manusia mempunyai kemampuan rangkap:
Kemampuan mengabstraksi dan kemampuan mengerti. Berpikir atas dasar filsafat
cenderung mengarah ke pengembangan konsep, karena menggali potensialitas
konsep. Ia harus berjuang keras untuk membentuk, menemukan, dan merajut konsep.

Disamping memiliki kemampuan berpikir atas dasar filsafat maka diperlukan


kemampuan pengembangan konsep dalam konteks pembelajaran filsafat, ada local
wisdom dalam bentuk petuah (Jawa) yang mengatakan “banyak manusia yang diberi
kemampuan melihat, mendengar dan membaca, namun tidak banyak yang memiliki
kemampuan menyimpulkan essensi atau intisari pokok kesimpulan (benang
merahnya), dari apa yang ia lihat, dengar dan baca. Oleh sebab itu, mendalami filsafat
bukan semudah (sebagaimana) yang kita perkirakan, karena jika kita berfilsafat paling
tidak memerlukan kualitas berpikir, kemampuan merefleksi sesuatu dan positioning diri,
keyakinan, Self-critic, nalar, Critical Thinking dan gairah menemukan kebenaran.
Sebagai catatan dari sisi Iptek, perkembangan Sain & Teknologi cenderung
menitikberatkan pada kemampuan “individu”. Padahal, kesadaran individu tersebut
akan mengait secara luas pada moral dan nilai yang dijunjung tinggi
masyarakatnya dalam berbudaya dan bermartabat. Sejarah peradaban umat
manusia telah menunjukkan adanya berbagai periode waktu penting yang sangat
mewarnai kehidupannya. Selanjutnya, sebagai negara berkembang, kita perlu secara
arif mengkaji ulang masalah Budaya bangsa ketika berhadapan dengan budaya Sain &
Teknologi. Di pihak lain, Sain dapat dipandang sebagai titik keseimbangan antara tiga
dimensi eksistensi dari nilai : kecerdasan (intellectual), perseorangan (individual), dan
sosial (social). Essensi pembelajaran Filasat dalam focus hubungan "culture, society,
science, & technology", diharapkan dapat menajamkan kembali makna believe &
values dalam akal budi manusia sebagai warga negara yang bermasyarakat,
bermartabat dan bertanah air.

a. Konteks Pembelajaran Filsafat. Dalam konteks pembelajaran filsafat,


ada local wisdom dalam bentuk petuah (Jawa) yang mengatakan “banyak
manusia yang diberi kemampuan melihat, mendengar dan membaca. Namun,
11

tidak banyak yang memiliki kemampuan menyimpulkan essensi atau intisari


pokok kesimpulan (benang merahnya), dari apa yang ia lihat, dengar dan baca,”
Oleh sebab itu, mendalami filsafat bukan semudah sebagaimana yang kita
perkirakan, karena jika kita berfilsafat paling tidak memerlukan:

1) Kualitas kekuatan berpikir (refleksi konseptual dengan spirit


diskursus) dengan konsentrasi dan kehati-hatian, dalam merekonstruksi
makna kebenaran maupun penilaian terhadap apa (substansi) yang
dipikirkan.

2) Kemauan merefleksi sesuatu & positioning diri, kearah intellectual


wisdom mutu kehidupan didunia, dalam makna Man upon human dignity,
Scientific thinking ability, Human communication ability, Perfectible.

3) Keyakinan bahwa: “Setengah dari filsafat yang baik, adalah tata


bahasa yang baik”.

4) Daya-tahan critical-thinking dalam pencarian terus-menerus


mencari jawaban kebenaran secara mendalam dan fundamental hingga
keteras dasarnya.

5) Self-critic, dalam artian tujuan pencarian kefilsafatan bukan


menjawab pertanyaan, tetapi mempertanyakan jawaban.

6) Tanggung jawab untuk memberikan argumentasi (alasan) raison


d’être (the reason of exsistence) dari pikiran, ucapan dan perbuatannya.

7) Nalar (salah satu seni berpikir, dalam antara lain kemampuan logis
& analisis) yang diarahkan pada berbagai masalah yang dianggap
penting dan fundamental, namun tetap dalam kerangka nilai moral dan
etika.
12

8) Critical Thinking dan gairah menemukan kebenaran,


mengembangkan penalaran secara tepat, dengan menguji secara terus
menerus berbagai asumsi dasar dalam belief & values yang kita miliki.

b. Konteks Iptek, Perkembangan Sain & Teknologi. Sebagai catatan


dari sisi iptek, perkembangan sain & teknologi cenderung menitik beratkan pada
kemampuan “individu”, padahal kesadaran individu tersebut akan mengait
secara luas pada moral dan nilai yang dijunjung tinggi masyarakatnya
dalam berbudaya dan bermartabat. Sejarah peradaban umat manusia telah
menunjukkan adanya berbagai perioda waktu penting yang sangat mewarnai
kehidupannya. Pada kurun waktu tertentu, selalu ada hal yang relative dominan
dan berperan besar dalam kehidupan; kehidupan manusia, seperti filsafat,
agama, dan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Roda dunia senantiasa berputar
seiring waktu dan zaman, ada saat diatas dan dibawah; ada perioda tertentu,
“dikatakan” kehidupan filsafat relative lebih menonjol dari kehidupan agama dan
Iptek; seiring perputaran waktu, ada zaman dimana kehidupan agama lebih
utama dibandingkan kehidupan filsafat dan iptek; selanjutnya ada era iptek
(modern) yang seolah lebih primadona dibandingkan kehidupan agama dan
filsafat. Facet-facet tersebut (filsafat, agama, Iptek) digambarkan seolah-olah
‘terpenggal’, tidak berarti yang satu lebih penting dari yang lain; ketiganya saling
mengait, mengikat dan menunjang dalam satu kesatuan landasan kehidupan
manusia. Jika kita menengok khusus kata science, pada awalnya digunakan
untuk arti ilmu pengetahuan alam (natural sciences); dari bahasa latin scientia-
asal kata scire berarti mengetahui (savoir) atau mempelajari dan sering
diidentikkan dengan knowledge / pengetahuan, khususnya tentang fenomena
alam. Herbert Spencer mengatakan Science is organized knowledge; kata sain
diulas kembali karena bermuatan makna dalam kapasitas mengetahui/
mempelajari (étudier), menguji (examiner), dan menganalisa (analyser); kata
sain menuntut dasar kemampuan rasional, logis, dan analisis; kini, manusia
dilukiskan seolah sedang berada dalam era kejayaan Iptek (modern) yang pada
hakekatnya tidak (dapat) terlepas dari kehidupan agama dan filsafat. Secara
mikro, ada 3 (tiga) kemungkinan membahas filsafat, dari sisi: (1) Sistimatika
Filsafat; (2) Sejarah Filsafat; dan (3) Pembahasan Kritis Filsafat. Secara makro,
membahas filsafat dapat pula dilihat dari sisi: (1) sebagai ilmu, (2) sebagai cara
13

berpikir, dan (3) sebagai pandangan hidup; tentunya ketiganya akan saling kait
mengait, dan dapat bermuara pada sisi believes & goals, karena (a) pilihan
(keputusan) manusia berawal dari tatanan nilai (values) dan tujuan atau cita–
citanya (goals); (b) Pilihan (keputusan) manusia merupakan pengharapan
(expectation) yang melibatkan values dalam pertimbangan pilihan sebagai
keputusannya; (c) Pilihan (keputusan) manusia adalah hasil dari persepsi dari
berbagai tekanan social dalam berbagai pilihan. Pembahasan filsafat dapat pula
ditinjau dari 2 (dua) sisi: (1) Budaya, dan (2) Sistem (antara lain bidang
pendidikan. Dengan budaya manusia dapat mengetahui, melihat, memahami,
mengklasifikasikan gejala yang tampak, sekaligus menentukan strategi terhadap
lingkungannya. Dari budaya akan terpancar ethos & mindset dari warganegara
dan masyarakatnya. Dari gambaran singkat ini, diyakini bahwa kebudayaan
merupakan hasil perpaduan kemampuan manusia beradaptasi dengan
lingkungannya, dan kemampuan berpikir metaforis dengan menggunakan
simbol-simbol; jadi kebudayaan merupakan proses, kerangka acuan manusia
untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

c. Konteks Budaya Sain & Teknologi. Sebagai negara berkembang, kita


perlu secara arif mengkaji ulang masalah budaya bangsa ketika berhadapan
dengan budaya Sain & Teknologi. Dipihak lain, sain dapat dipandang sebagai
titik keseimbangan antara tiga dimensi eksistensi dari nilai: kecerdasan
(intellectual), perseorangan (individual), dan sosial (social). Essensi
pembelajaran Filasat dalam focus hubungan "culture, society, science, &
technology", diharapkan dapat menajamkan kembali makna believe & values
dalam akal budi manusia sebagai warganegara yang bermasyarakat,
bermartabat, dan bertanah air. Makna mind atau “kecerdasan akal budi” yang
mendasarkan nilai man upon human dignity (manusia bermartabat insani) akan
menjadi tumpuan mutu dan daya saing bangsa (nation competitiveness) di era
Post-Modernism; ada pergulatan yang tak nampak antara modernism yang
mendasarkan pada phisico-mathematic, dan post modernism yang semakin
menekankan kembali return to ancient cosmology. Dari sisi kebutuhan (needs),
kemampuan berfilsafat akan mengendalikan kebiasaan dan ketrampilan berpikir
dan berkorelasi terhadap budaya berpikirnya. Di belakang setiap kebudayaan
selalu berlandaskan filsafat dan perbedaan kebudayaan dapat dikembalikan ke
14

masalah perbedaan filsafat. Bagaimana peran filsafat dalam kebudayaan?


maka perlu positioning diri dalam konteks Budaya–Sains–Teknologi–
Masyarakat; dimana fenomena terakhir menunjukkan bahwa dunia semakin
bergerak kearah interkoneksi jaringan dan kegiatan global yang banyak
berkiprah pada transformasi gelombang pikiran, bercirikan Intellectual dan
Human Race (persaingan manusia). Oleh sebab itu, MP Filsafat menjadi
penting manakala kehidupan dan budaya bangsa berhadapan muka dengan
budaya global – mondial – universal.

d. Output & Outcome pembelajaran. Melalui ceramah umum (singkat)


diharapkan ada ethos & mindset change (new paradigm) dalam meninggikan
daya imajinasi (ilmiah & alamiah) serta memperkuat akal budi (mind) melalui
gambaran intisari (strategi & metoda) pembelajaran filsafat (ilmu) yang efektif &
efisien. MP Teori Filsafat Umum (5401) – BS. Iptek (5000) Sub BS Ilmu
Pengetahuan Terapan (5400) – sebagai medium mengembangkan kemampuan
cipta, rasa, dan karsa (sebagai knowerknow, knowing, Knowledge), khususnya
dalam menggali potensi Spirit Scientific berbasis intellectual – wisdom, dalam
konteks budaya – masyarakat – sains – teknologi – seni.

1) Sekilas Gambaran Output. Output akan tergambar mengingat


dalam proses pembelajaran Filsafat Ilmu memerlukan pemahaman dasar
sebagai berikut:

a) Memerlukan kualitas kekuatan berpikir (refleksi konseptual


dengan spirit diskursus) dengan konsentrasi dan kehati-hatian,
dalam merekonstruksi makna kebenaran maupun penilaian
terhadap apa (substansi) yang dipikirkan.

b) Memerlukan nalar (salah satu seni berpikir, antara lain


kemampuan logis & analisis) yang diarahkan pada berbagai
masalah yang dianggap penting dan fundamental bagi suatu
pemecahan masalah (problem solving & solution).
15

c) Memerlukan Critical Thinking dan Gairah menemukan


kebenaran, mengembangkan penalaran secara tepat, dengan
menguji secara terus menerus berbagai asumsi dasar dalam belief
& values yang dimilikinya.

d) Memerlukan tanggung jawab untuk memberikan


argumentasi (alasan) raison d’être (the reason of exsistence) dari
pikiran, ucapan, dan perbuatan/tindakannya.

e) Memerlukan Self-critic, dalam arti tujuan pencarian


kefilsafatan bukan menjawab pertanyaan, tetapi mempertanyakan
jawaban.

f) Memerlukan daya tahan critical-thinking dalam pencarian


terus-menerus mencari jawaban kebenaran secara mendalam dan
fundamental hingga keteras dasarnya.

g) Memerlukan kemauan merefleksi & positioning diri, untuk


mampu mengerti dan dapat memaknai hidup & kehidupan kita
kearah intellectual wisdom bagi dunia kita, dan tempat hidup
didalamnya.

h) Memerlukan keyakinan bahwa: “Setengah dari filsafat yang


baik, adalah tata bahasa yang baik” (Konsep peradaban: Man
upon human dignity, Scientific thinking ability, Human
communication ability, Perfectible)

2) Sekilas gambaran Outcome learning ability:

a) Ada dasar “Tahu, Sadar, dan Mengerti akan Hakekat &


Prinsip-prinsip Dasar (basic-principles) Filsafat Ilmu”, melalui
penguatan learning ability berbekal pemahaman core contents,
values, & spirit dari mata pelajaran tersebut;
16

b) Ada refleksi & tindakan melalui pemahaman makna


(ber)filsafat / conscience, dan diharapkan mampu memperkaya
(enriching) polapikir - filosofis hubungan “manusia dan dunia”
dalam konteks cum-scientia (sejumlah tahunya), agar mampu
melihat benang merah konsep-tahu, konsep tahu-berfikir
(menimbang & memutuskan), konsep tahu-bertindak, dan konsep
tahu-hidup (sebagai knower, knowing, & knowledge) vis-á-vis ilmu
pengetahuan (modern) dan tempat utama bekerja dan berkarya;

c) Mampu positioning-diri dalam konteks nasional vs global,


dlm kerangka hubungan Culture – Society – Science –
Technology;

d) Memiliki kepekaan sosial sebagai warga Negara NKRI


dalam menerapkan Act of Faith dan Act of Reason.

e) Muncul dan tumbuh eksistensi diri dengan ciri dasar


Intellectual-Wisdom (memiliki dasar “polapikir & jiwa saintifik
berbasis moral” yang kuat, bagi tugas pokok yang berkaitan
dengan upaya pengembangan – penguasaan – penerapan sains
(modern) dilingkungannya.

BAB III

CIRI – CIRI PEMIKIRAN FILSAFAT

7. Umum. Dalam hidup secara umum penuh dengan persoalan, tugas, dan
tantangan. Dari sisi filsafat, mind pasif dan mind aktif sangat berbeda, apalagi mind
yang efektif. Penggunaan akal budi secara tepat bila ada efektifitas dan tujuan
tercapai yang selaras dengan tatanan nilai masyarakatnya. Seseorang yang
mengetahui bagaimana menggunakannya secara efektif, cenderung akan
17

menggunakan pola dasar bagi kegiatan intelektualnya. Filsafat adalah sistem


kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil inquiry &
pemikiran secara sistimatis, terstruktur, radikal, & universal. Kebenaran yang
dicari bukan kebenaran yang berkeping keping, tetapi kebenaran yang umum, yang
universal; memecahkan masalah, bermakna ia menemukan kebenaran tentang soal
tersebut (berpikir mencari kebenaran karena menghayati masalah; pertanyaan
menuntut jawaban, kebenaran jawabannya (dengan pembuktian akan pengetahuan
yang dianggap benar); yang dituju sekeping kebenaran dalam kenyataan.

a. Kebenaran ilmu didasarkan sepanjang pengalaman

b. kebenaran filsafat sepanjang pemikiran.

Baik ilmu maupun filsafat sama-sama mencari pengetahuan; dan pengetahuan


yang dicari ialah pengetahuan yang benar. Tetapi dalam persamaan itu ada
perbedaan: (1) Pengetahuan ilmu melukiskan (ilmu mengklasifikasikan,
merumuskan, dan melukiskan); dan (2) Pengetahuan filsafat menafsirkan (filsafat
menafsirkan dunia kita). Di alam, selalu ada konteks time - space – energy.Jadi
istilah transedental, ialah diatas & diluar pengalaman - dunia - jasmani. Yang ada
hanya cahaya intentionales, atau hanya sbg sesuatu yang dimengerti, disadari, &
nampak (bisa abstrak), yang akan mengubah atau memperkokoh pendirian kita.
Tangkapan-tangkapan itu, berisi kesadaran yang dilihat ada, diyakini ada, ada
kebenaran. Idealisme adalah suatu filsafat, yang mengajarkan bahwa yang ada itu
kesadaran, dan diluar itu tidak ada sesuatu (nihil). Pada hakekatnya "dunia atau alam
semesta itu tak lain tak bukan hanyalah seperti yang kita ketemukan".

8. Ciri – Ciri Pemikiran Filsafat. Dalam hidup secara umum penuh dengan
persoalan, tugas, dan tantangan. Dari sisi filsafat, mind pasif dan mind aktif sangat
berbeda, apalagi mind yang efektif. Penggunaan akal budi secara tepat bila ada
efektifitas dan tujuan tercapai yang selaras dengan tatanan nilai masyarakatnya.
Seseorang yang mengetahui bagaimana menggunakannya secara efektif, cenderung
akan menggunakan pola dasar bagi kegiatan intelektualnya. Paling tidak pola dasar
tersebut perlu melalui 3 (tiga) tahap: (a) Ia akan bekerja dengan terlebih dahulu
18

membangun gambaran komprehensif melalui akabudinya sebagai dasar tindakan


(dengan melakukan survey pada bidang yang diminatinya); (b) Ia melakukan pencarian
dan identitas dari elemen penting dalam bidang yang digelutinya berdasarkan survey;
(c) Ia memegang teguh detail yang didapat, maupun berbagai hal penting yang telah
diserapnya, dengan mencocokkannya sesuai tempatnya pada gambaran total yang ia
dapatkan dari survey. Pola dasar tersebut mengait 2 (dua) topic: (a) Ada formulasi
dan penjelasan menyeluruh terkait procedure dan efektifitas; (b) Menampilkan alasan
pemikiran & pertimbangan untuk meyakinkan bahwa procedure yang digunakan pada
kenyataannya sahih dan berbobot. Jadi suatu pola dari procedure adalah
mendeskripsikan secara tepat proses berpikirnya; dan akal budinya selalu bekerja
dengan terbaik manakala digunakan bukan untuk menyimpan, tetapi untuk berpikir.
Jadi ada perbedaan antara good thinking dan thinking well. Berpikir secara baik (good
thinking) diartikan sebagai menggunakan akalbudi secara efektif. Tetapi berpikir
secara terbaik (thinking well) akan membuka jalan meraih kesuksesan ketingkat yang
lebih tinggi; upaya terbaik merupakan jaminan jangka panjang untuk meraih sukses,
jika memiliki kekekalan nilai pada dirinya; ia memungkinkan tumbuh dalam kemandirian
karena memiliki arah dan jalan dalam keyakinan dan tatanan nilai. Penggunaan akal
budi secara efektif dapat digunakan sebagai sarana untuk berpikir kreatif (creative
thinking). Penggunaan mental secara efektif dalam hidup berarti memiliki proses
berpikir secara jelas dalam menghadapi berbagai problem hidup. Sebagai contoh,
mental yang efektif di berbagai lini kehidupan, berarti mampu bertindak menghadapi
berbagai masalah sebagai sumber daya manusia (SDM), tidak dengan muslihat dan
berbagai arahan yang bersifat jangka pendek, tetapi selalu mencari dan berupaya
untuk mengerti dan memahami mutu proses berpikir. Berpikir adalah fungsi dasar dari
akalbudi manusia, dan mental akan beroperasi secara efektif dalam ukuran kita mampu
mengelola dan menggunakan secara tepat sesuai tujuan, lingkup dan batasannya.
Sebagai catatan, kita perlu membedakan istilah pengetahuan, ilmu, dan ilmu
pengetahuan. Dengan kemampuan berfikir atas dasar filsafat, memungkinkan untuk
berpikir luas dan dalam, hingga menyentuh teras dasarnya.

a. Filsafat tidak puas dengan pengetahuan tertentu (yang eksak, tersusun,


dan teratur).

b. Filsafat ingin pengetahuan yang lebih komprehensif lagi.


19

c. Filsafat mencari pengetahuan dari semua segi & bidang menyeluruh. Ilmu
mempelajari segi-segi tertentu kehidupan; filsafat mempelajari kehidupan
menyeluruh "ilmu yang sistimatis & lengkap": cakupan (denotasi), keluasan
(dimensi), & ciri penentu (konotasi).

d. Kedudukan Filsafat. Ada 2 (dua) tugas filsafat yang tidak kita temukan
dalam lapangan ilmu:

1) Refleksi terhadap dunia menyeluruh, khususnya terhadap makna,


tujuan, & nilai

2) Menguji pengertian-pengertian, baik yang dipakai oleh ilmu atau


anggapan umum secara kritis.

9. Filsafat Pengetahuan dan Filsafat Ilmu Pengetahuan. Gejala pada butir (a &
b) merupakan obyek material filsafat pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan. ciri
khas filsafat ialah mencari sebab-musabab pertama; dapat dikatakan pula, filsafat
mencari sebab-musabab paling ahir ataupun paling dalam. Filsafat pengetahuan
maupun filsafat ilmu pengetahuan merupakan suatu epistėmė paling utama sesuai
dengan faham Arisoteles.

a. Filsafat Pengetahuan (FP). Filsafat Pengetahuan (FP) memeriksa


sebab-musabab itu dengan bertitik tolak pada gejala pengetahuan dalam
ehidupan sehari-hari; FP menggali faham tentang “kebenaran, kepastian &
tahapannya, obyektivitas, abstraksi, intuisi” termasuk “dari mana asalnya dan
kemanakah arah pengeahuan”.

b. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Filsafat Ilmu Pengetahuan (FIP) sama


dengan uraian pertama diatas, dalam focus sorotan kerangka filsafat ilmu
pengetahuan, yang lebih rinci dibandingkan FP; perbedaan itu terletak pada
sifat teratur dan sistimatis yang nampak dalam FIP agar hasilnya dapat
dipertanggung jawabkan secara teoritis dan reflektif; dengan kata lain, cara
20

kerja atau metode IP yang enjadi ciri ilmu, dibandingkan dengan pengetahuan
sehari-hari.

Ilmu mempertentangkan obyek dan subyek; obyek itu dipersoalkan satu demi
satu (karena ada pembatasan itu, ia dapat diuji). Filsafat mempersoalkan subyek
dan obyek keseluruhannya (karena itu hasilnya tidak dapat diuji)

a. Subyek: lt subjectum, dalam filsafat aku tahu & mengenal, yang


berkemauan, dan yang merasa [cipta, karsa, rasa]

b. Obyek: sesuatu terhadap mana pengenalan & pemeriksaan, kemauan,


dan perasaan subyek ditujukan. Ilmu membatasi diri pada kenyataan-kenyataan
tertentu; sedangkan Filsafat mencari hakekat semua kenyataan. Filsafat =
Integrasi Pengetahuan Sinthesa Dari Ilmu Ilmu (Durant Drake, Invitation to
Philosophy, Hougthon Mifflin, hal ix)).

Filsafat adalah sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan


sebagai hasil inquiry & pemikiran secara sistimatis, terstruktur, radikal, &
universal. Kebenaran yang dicari bukan kebenaran yang berkeping keping, tetapi
kebenaran yang umum, yang universal; memecahkan masalah, bermakna ia
menemukan kebenaran tentang soal tersebut (berpikir mencari kebenaran karena
menghayati masalah; pertanyaan menuntut jawaban, kebenaran jawabannya
(dengan pembuktian akan pengetahuan yang dianggap benar); yang dituju sekeping
kebenaran dalam kenyataan.

a. Kebenaran ilmu didasarkan sepanjang pengalaman

b. kebenaran filsafat sepanjang pemikiran.

10. Pengetahuan Yang Benar. Baik ilmu maupun filsafat sama-sama mencari
pengetahuan; dan pengetahuan yang dicari ialah pengetahuan yang benar. Tetapi
dalam persamaan itu ada perbedaan: (1) Pengetahuan ilmu melukiskan (ilmu
mengklasifikasikan, merumuskan, dan melukiskan); dan (2) Pengetahuan filsafat
21

menafsirkan (Filsafat menafsirkan dunia kita). Bertolak dari sifat pelukisan, Arthur
Thomson mendefinisikan ilmu sebagai “Pelukisan fakta-fakta pengalaman secara
lengkap dan konsisten dalam istilah istilah sesederhana mungkin”. Ilmu dan fakta,
ibarat dua sisi dari keeping uang yang sama, saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan;
fakta inilah yang dihimpun oleh riset dan/atau eksperimen. Sedangkan pelukisan dan
penjelasannya menjadi tugas pikiran. Pelukisan fakta fakta pengalaman secara
konsisten dalam istilah-istilah yang sesederhana mungkin; pelukisan fakta dengan (1)
membentuk definisi & gambaran umum, (2) melakukan analisa tentang fakta fakta itu;
(3) klasifikasikan fakta fakta itu. Pengetahuan Ilmu = Pengetahuan yang pasti, eksak,
teratur, & tersusun; dengan ciri ilmu: 1. berobyektif, 2. bermetoda, 3. bersistem, & 4.
universal. Kepastian & ke-eksakan pengetahuan ilmu tersusun melalui 2 hal: (1)
Riset & Eksperimen yang menguji kebenaran pengetahuan ilmu; dan (2) Hasil
inquiry & berpikir yang sistimatik, terstruktur, radikal, & universal. Dari sisi ilmu,
scientific fact dikatakan (1) only through the most disciplines thinking those facts
linked together in various abstractive & conceptual ways; (2) Motivated by a desire to
Extend Knowledge. Disamping itu, dikatakan bahwa scientific useful knowledge
aims to be: (1) Descriptive; (2) Explanatory; (3) Predictive; (4) Understanding /
Awareness (Controversial objective of research is to provide a sense of
Understanding or Awareness (Gouldner 1970) distinguished between Knowledge
For Information And Knowledge For Awareness. For him, "Knowledge as awareness . .
. . has no existence apart from the persons that pursue and express it".

Beberapa pendapat ahli tentang ilmu maupun filsafat sama-sama mencari


pengetahuan; dan pengetahuan yang dicari ialah pengetahuan yang benar:

a. Menurut Suriasumantri (1984) ciri-ciri keilmuan didasarkan pada jawaban


yang diberikan ilmu terhadap 3 (tiga) pertanyaan pokok: (1) Apa yang ingin kita
ketahui (Ontologis). Apa yang kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu.
(2) Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (Epistemologi).
Berkaitan dengan Teori Pengetahuan. (3) Apa nilai kegunaannya bagi kita
(Axiologi). Setiap bentuk buah pikiran manusia dapat dikembalikan pada
dasar-dasar Ontologi, Epistemologi, dan Axiology dari pemikiran seseorang.
22

b. Menurut Plato, satu-satunya pengetahuan sejati ialah apa yang disebut


Epistėmė (pengetahuan yang tunggal dan tak berubah, sesuai dengan idée –
idée abadi). Yang ada didunia fana (transitory, fleeting, perishable) hanya
bayangan dari yang baka (eternal, everlasting). Manusia mengamati (sekilas)
bayangan, namun mungkin belum menangkap idée seutuhnya; maka
pengetahuan yang dicita–citakan Plato ditafsirkannya sebagai hasil ingatan
yang melekat padanya (apriori); ingatan itu berlangsung berdasarkan intuisi
yang pernah dialami jiwanya; kelompok ilmu yang bersifat paling apriori,
diyakini adalah ilmu pasti, dianggapnya sebagai syarat mutlak untuk berilmu;
“médeis ageometrétos eisito” semboyan sekolah Plato “yang tak berpengalaman
matematika dilarang masuk”.

c. Aristoteles menolak anggapan gurunya, Plato: Ingatan dan intuisi


digantikan dengan abstraksi. Menurutnya, tercapainya pengetahuan sebagai
hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang yang bayak dan yang
berubah, lalu melepaskan unsur “universal” dari yang “particular”; abstraksi terus
berlanjut (continuum), maka manusia semakin meninggalkan bidang indrawi,
melampaui taraf dugaan dan pendapat, hingga ahirnya mencapai epistėmė
sebagai pengetahuan sejati. Dalam pengetahuan epistėmė, manusia tidak
hanya tahu “Tentang”, melainkan juga “Mengapa” terdapatnya atau
terjadinya sesuatu; dengan kata lain epistėmė ialah pengetahuan yang dicapai
“melalui sebab – musabab” (latin cognito per causas); kata sebab disini dalam
arti luas, katakan “melalui cara pembuktian” maupun sebab mengapa
pengetahuan itu dianggap benar dan sebagainya; kata “sebab” lebih
menyangkut logika dan rational reasonning – argumentation; dengan kata lain
“sebab” menurut faham Aristoteles dapat diintisarikan sebagai azas
pengertian yang membawa pengetahuan menjadi berubah dan
disempurnakan menjadi epistėmė, ilmu. Aristoleles bertolak dari pengamatan
dan penelitian aposteriori; ia berharap, dari hasilnya itu, dapat dicapai
pengetahuan tentang “sebab-musabab dari kenyataan yang diteliti”; berkat
pengetahuan mengenai sebab musabab itu, pemikir/peneliti mampu
mendemonstrasikan bahwa kejadian dalam kenyataan yang diamatinya,
seharusnya emang demikian. “Seolah-olah ia membuka sesuatu yang apriori
dalam kenyataan aposteriori itu. Atau seakan-akan “membuktikan” secara apriori
23

susunan peristiwa dan kejadian yang secara aposteriori diamati dalam


kenyataan. Intisarinya, Ilmu pengetahuan dicirikan sebagai usaha untuk
mengumpulkan hasil pengetahuan secara teratur dan sistimatis atas berkat
adanya refleksi. Pengungkapan hasil itu terjadi dalam macam-macam model,
yang dapat digolongkan menjadi dua model dasar, yaitu model aposteriori dan
model apriori. Model apriori sudah dirintis Plato, sedangkan Aristoteles
mengutarakan suatu model ilmu dimana sebagai hasil pemeriksaan aposteriori
diperoleh suatu “pengetahuan melalui sebab-musabab”, yang faham apriorinya
menjadi cirri khas ilmu.

11. Mengerti Memuat Kegelapan. Mengerti berkaitan dengan keyakinan,


kebenaran, ada originalitas sebagai dasar, ada kepastian. Harus ada cahaya untuk
dapat mempertanggung jawabkan keyakinan kita, bahwa kita benar-benar menyentuh
teras dasar REALITAS. Dunia & alam jagad raya senantiasa memiliki MYSTERI.
Dunia tidak pernah memberi alasan, oleh sebab itu, pengertian kita benar-benar
mengenai REALITAS. Sebagai manusia, secara terus menerus perlu membangun
PENGALAMAN-PENGALAMAN dalam KESADARAN, sebagai OBYEK PENGERTIAN.
Obyek kita mengerti, harus cukup, dengan penuh / lengkap dalam mencari dasar
keyakinan & kepastian kita, dalam konsep tahu diri kita, & ada dalam diri-kita sendiri.
Untuk Mengerti (Sepenuhnya) harus Aktif, karena untuk mengerti bersifat
membentuk, membangun, mengadakan, membuat (Konstitution ~ Husserl. ~
Intentional ~ artinya menuju suatu objek ~ "mengarah ke" ~ memprodusir ~
Production); Apakah yang disebut objek? Intelektual kita bersifat konstruktif, intelek
kita membuat objek. Jadi ada unsur Menangkap, yang berarti mengkonstruksi /
membuat. Bagaimanakah pengertian kita betul-betul objektif, dan realitas? Jadi
satu-satunya realitas yang boleh dan harus diakui dengan pasti / mutlak adalah realitas
dari AKU. AKU itu benar-benar ada, dan sadar akan dirinya sendiri. Berada dengan
sadar, itulah yang ada secara mutlak (kesadaran Supra-Empiris, yang diatas
pengalaman, = Transedental). Jadi, adanya itu muncul dari adanya Mutlak & Primair.
Aku melihat benda, apakah yang dapat kita tunjukkan dalam kesadaran kita? Banyak
Tangkapan substantif Yang Bersifat Kompleks. Di alam, selalu ada konteks Time -
Space – Energy.Jadi istilah transedental, ialah diatas & diluar pengalaman – dunia -
jasmani. Yang ada hanya cahaya intentionales, atau hanya sbg sesuatu yang
24

dimengerti, disadari, & nampak (bisa abstrak), yang akan mengubah atau
memperkokoh pendirian kita. Tangkapan-tangkapan itu, berisi kesadaran yang
dilihat ada, diyakini ada, ada kebenaran. Idealisme adalah suatu filsafat, yang
mengajarkan bahwa yang ada itu kesadaran, dan diluar itu tidak ada sesuatu (nihil).
Pada hakekatnya "dunia atau alam semesta itu tak lain tak bukan hanyalah seperti
yang kita ketemukan".

BAB IV

KEDUDUKAN ILMU, FILSAFAT, DAN AGAMA

12. Umum. Dalam gambaran statis, jika filsafat ditempatkan dalam konteks hidup
orang yang beriman, maka kata akhirat dapat digantikan dengan kata Tuhan; dengan
pemikiran yang sama, muncullah filsafat manusia dan filsafat alam; ketiganya terpaut
satu sama lain, intinya perjalanan manusia menuju akhirat. Dalam gambaran
dinamis, perlu diungkap di & menggembara menuju; dinamika adalah “suatu
keterarahan yang diharapkan dapat terwujud dengan baik”; ini akan menghasilkan
cabang filsafat lainnya, filsafat etika. Namun pembagian cabang-cabang filsafat ini
“belum bulat”, karena focus dan pembahasan atas Manusia – Alam – Ketuhanan
maupun patokan-patokan etis harus terjadi dengan benar; hal ini membawa cabang
filsafat pengetahuan (yang tugasnya menyoroti gejala pengetahuan manusia
berdasarkan sudut pandang benar). Pengetahuan individu atau kolektif, berlangsung
dalam 2 (dua) bentuk dasar yang berbeda: (i). Pengetahuan untuk informasi; dan (ii).
Pengetahuan untuk diterapkan. Dari sisi moral & kesusilaan, dikatakan bahwa Ilmu
& Moral merupakan kontroversi yang tak pernah kunjung padam. Dalam Diri-Manusia
perlu norma-moral sebatas tahu dan tidak tahunya maupun tanggung jawab sebagai
manusia yang berakal-budi dalam konteks hidup dan kehidupan dengan alam
sekelilingnya. Moral atau kesusilaan menurut Max Scheler adalah "Bersatunya
Manusia dan nilai-nilai tertinggi". Jika manusia memeluk nilai-nilai tertinggi, dan
menyerahkan diri kepada nilai-nilai tertingi, itulah moral. Scheler memandang unsur
25

pertama dari kehidupan adalah nilai, dan bukan pikiran-pikiran (ide-ide). Nilai bukan
sesuatu yang ada dalam pikiran, ide atau cita-cita. Nilai adalah sesuatu yang konkrit.

13. Kedudukan Filsafat dalam Sistimatika Filsafat. Perlu memahami terlebih


dahulu ciri filsafat secara umum; pokok bahasan dirumuskan sebagai Obyek Material
filsafat (apa yang di inquiry, ditelaah & dikupas sebagai bahan materi yang dilihat dari
berbagai sudut (misal agama, sains, seni sastra, dll); sudut pembahasan diberi nama
Obyek Formal; semua pendekatan terhadap obyek material yang sama, berbeda
menurut obyek formal masing-masing; kekhususan dan ciri khas filsafat dapat
dijelaskan, bila obyek formal filsafat ditentukan. Jika filsafat dapat diberi lingkup &
batasan dimana obyek materialnya dalam skala hubungan “Manusia – Dunia –
Akhirat”; maka dapat dikaitkan dengan Iman, Ilmu, & Amal; atau Manusia & Alam,
bahkan Perilaku Manusia & Masyarakat. Oleh sebab itu, secara disederhanakan
konteks pemahaman terhadap “Budaya, Masyarakat, Sains, Teknologi, & Seni”.
Dalam gambaran statis, jika filsafat ditempatkan dalam konteks hidup orang yang
beriman, maka kata akhirat dapat digantikan dengan kata Tuhan; dengan pemikiran
yang sama, muncul filsafat manusia dan filsafat alam; ketiganya terpaut satu sama
lain, intinya perjalanan manusia menuju akhirat. Dalam gambaran dinamis, perlu
diungkap di & menggembara menuju; dinamika adalah “suatu keterarahan yang
diharapkan dapat terwujud dengan baik”; ini akan menghasilkan cabang filsafat
lainnya, filsafat etika. Namun pembagian cabang-cabang filsafat ini “belum bulat”,
karena focus dan pembahasan atas Manusia – Alam – Ketuhanan maupun patokan-
patokan etis harus terjadi dengan benar; hal ini membawa cabang filsafat
pengetahuan (yang tugasnya menyoroti gejala pengetahuan manusia berdasarkan
sudut pandang benar). Pada giliran berikutnya, gejala pengetahuan dapat dilihat
sebagai obyek material filsafat pengetahuan (baik pengetahuan yang bersifat umum
dan ilmu pengetahuan terbagi lagi menjadi ilmu-ilmu alam, pasti, dan kemanusiaan,
sambil menyoroti hubungan ilmu satu sama lain)
26

14. Kedudukan Ilmu Pengetahuan. Pemahaman tentang Pengetahuan dan Ilmu


Pengetahuan adalah sebagai berikut:.

a. Pendekatan fenomenologis pada Gejala Pengetahuan. Pengetahuan


individu atau kolektif, berlangsung dalam 2 (dua) bentuk dasar yang berbeda:
(1). Pengetahuan untuk informasi; dan (2). Pengetahuan untuk diterapkan.
Keduanya secara fenomenologis, berkaitan dengan subyek & obyek; dalam hati
dan akal manusia selalu ada keinginan atau keterarahan untuk “tahu & kenal”;
dalam filsafat kalau menguraikan ciri intensionalitas pengetahuan (manusia),
atau ciri khas pengetahuan itu ialah ialah bertanya dan mencari, merupakan
sintesa yang berkelanjutan dari “tahu” menembus batas”tidak tahu” (akan
menghasilkan pengetahuan manusia yang bersifat terbuka dan sementara).
Keterarahan dan intensionalitas terus bertanya, terjadi dalam hubungan
timbal balik antara manusia dengan dunianya, tentu juga mencakup manusia
didalamnya. Didalam filsafat manusia ada pengertian tentang manusia sebagai
kesatuan jiwa raga dalam hubungan timbal balik dengan dunia dan sesamanya.
Badan dan jiwa merupakan satu kesatuan? Ada perbedaan kata antara Badan
yang berjiwa (atau yang berkesadaran), tidak sama dengan Badan maupun
jiwa. Badan manusia yang berjiwa memiliki ciri antara lain: hidup &
berkembang, bergerak & dinamis, memiliki arah & tujuan, maupun makna &
hakekat hidup. Badan manusia yang berjiwa memungkinkan dapat membuat
sejarah; itulah transendensi manusia; salah satu cara manusia bertindak ialah
mengenal & mengetahui, melalui pengetahuan indrawi dan pengetahuan
abstrak: “Kesatuan asasi antara subyek dan obyek dalam gejala pengetahuan
manusia menjadi Nampak dalam pengarahan bawaan manusia untuk bertanya
dan mencari tentang dirinya didunia serta tentang dunia itu sendiri.
Pertanyaan itu tiada batasnya, dan setiap jawaban menimbulkan pertanyaan
lebih lanjut, lebih mendalam dan lebih menyeluruh lagi. Pengetahuan manusia
itu terjadi sesuai dengan susunan kesatuan jiwa raganya yang bersifat rohani.
Bentuk pengetahuan yang konkrit aupun abstrak, khusus maupun universal,
menjelma dalam bahasa. Bahasa itu sendiri menunjukkan bahwa manusia
memasyarakatkan dan menyejarahkan dalam tradisi pengetahuan”.
27

b. Pendekatan fenomenologis pada Gejala Ilmu Pengetahuan. Untuk


memahami kekhasan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan pengetahuan
secara umum, maka titik pangkalnya berangkat dari gejala “kesadaran akan
pengetahuan” yang ditemui dalam setiap tindakan pengetahuan itu sendiri
secara tersirat; “apabila unsur tersirat itu diucapkan menjadi tersurat, maka
akan terjadi apa yang disebut refleksi”; dengan refeksi, pengetahuan yang
bersifat langsung dan spontan, memasuki tahap pemikiran sistimatis, dapat
dipertanggung jawabkan, lebih masuk akal, dan merupakan suatu susunan
menyeluruh & cenderung bersifat abstrak. Proses ini menjadi tolok ukur dan
kejelasan dalam upaya ilmu untuk menyusun beberapa model; kehadiran model
yang mudah, tepat, padat, & singkat merupakan kumpulan pengetahuan umum
maupun yang bersifat ilmiah.

c. Ada 2 (dua) model yang pada dasarnya saling melengkapi:

1) Minat manusia yang besar terhadap obyek pengetahuan ilmiah;


agar pendekatan itu semakin berhasil, dibuatlah suatu model bersifat lahir
dan nyata; model tersebut cenderung memperkecil / menyederhanakan
ukuran kenyataan yang ada (misal model-model ilmu falak); namun
kadangkala model tertentu diperbesar dari ukuran kenyataan (misal
model atom Rutherford - Bohr); upaya ini dilakukan dengan menyarikan &
menyederhanakan kenyataan yang dipelajari, yang boleh dikatakan
merupakan suatu abstraksi yang tampak semakin masuk akal.

2) Manusia cenderung berkeinginan semakin ingin lebih: “tahu, sadar,


dan mengerti” terhadap obyek pengetahuan ilmiah; seolah-olah dirinya
hendak memasuki kerangka struktur obyek yang sedang diteliti dengan
sedalam-dalamnya; yang diharapkan “pengertian & pemahaman dari
dalam”; pengertian berasal “dari dalam”, biasanya terkait dengan ilmu-
ilmu yang menggunakan rumus-rumus matematis sebagai modelnya;
model tersebut merupakan model abstrak.
28

d. 2 (Dua) Cara Berilmu. 2 cara berilmu atau ke–2 macam model tersebut
mewakili 2 kelompok ilmu)

1) Model Pertama mewakili kelompok ilmu yang mengutamakan


pengamatan (observation) dan penelitian (inquiry) yang disebut empiris
(empirical - meraba – raba), atau aposteriori (post berarti sesudah,
pengungkapan ilmu tertentu baru terjadi sesudah pengamatan &
pemeriksaan).

2) Model Kedua mewakili kelompok ilmu yang seolah ingin cepat


menangkap intisari susunan keniscayaan (structure of necessity) yang
mendasari segala kenyataan secara apriori (prius ~ sebelum, karena
ilmu- ilmu ini ingin menentukan apa kiranya yang mendahului adanya
segala kenyataan ini).

15. Agama. Dari sisi moral & kesusilaan, dikatakan bahwa Ilmu & Moral
merupakan kontroversi yang tak pernah kunjung padam. Dalam diri manusia perlu
norma-moral sebatas tahu dan tidak tahunya maupun tanggung jawab sebagai
manusia yang berakal-budi dalam konteks hidup dan kehidupan dengan alam
sekelilingnya. Moral atau kesusilaan menurut Max Scheler adalah "Bersatunya
Manusia dan nilai-nilai tertinggi". Jika manusia memeluk nilai-nilai tertinggi, dan
menyerahkan diri kepada nilai-nilai tertingi, itulah moral. Scheler memandang unsur
pertama dari kehidupan adalah nilai, dan bukan pikiran-pikiran (ide-ide). Nilai
bukanlah sesuatu yang ada dalam pikiran, ide, atau cita-cita. Nilai adalah sesuatu
yang konkrit. Nilai tidak dimengerti secara intellektuil atau dengan hati yang dingin.
Nilai adalah sesuatu yang kita alami, dengan dan dalam pelukan getaran jiwa manusia.
Mengerti nilai bukanlah dari definisi, melainkan dari pengalaman. Ada nilai kalau ada
pengalaman merasakan. Oleh sebab itu dikatakan The growth of intellectual wisdom,
reflecting the life & learning balanced in act of faith and act of reason, is competitive of
understanding of nowdays. Dalam hidup perlu ada eros (cinta), egon (perjuangan),
dan ethos (karakter); the beauty of innersight in balanced with ability to understand the
real world problem. Arahnya “Man upon human dignity”. Perlu digaris bawahi kembali,
29

bahwa ranah moral tidaklah sama dengan ranah moral; kemampuan bernalar berbeda
dengan kemampuan bertindak atas moral, dua hal berbeda & perlu strategy tersendiri.

BAB V

METODE-METODE FILSAFAT

16. Umum. Metode dari bahasa latin methodos, yang berarti jalan, cara. Baik
ilmu maupun filsafat sama-sama mencari pengetahuan; dan pengetahuan yang dicari
ialah pengetahuan yang benar. Pada dasarnya filsafat memiliki ciri sistimatik,
terstruktur, radikal, dan universal, sedangkan ilmu memiliki ciri: berobyektif,
bermethoda, sistimatik, dan universal; ilmu yang sistimatis dan lengkap memiliki
cakupan (denotasi), keluasan (dimensi), dan cirri penentu (konotasi). Berpikir ilmiah
merupakan gabungan berpikir nalar deduktif dan nalar induktif. Berpikir saintifik akan
mempertajam pemikiran kritisnya dalam berbagai tantangan yang bersifat ilmiah
maupun kemasyarakatan. Sebenarnya jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya
dengan defenisi dari para ahli dan filsuf sendiri karena metode ini adalah suatu alat
pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf itu sendiri

17. Pengertian Metode – Metode Filsafat . Metode dari bahasa latin


methodos, yang berarti jalan, cara. Baik ilmu maupun filsafat sama-sama mencari
pengetahuan; dan pengetahuan yang dicari ialah pengetahuan yang benar. Pada
dasarnya filsafat memiliki ciri sistimatik, terstruktur, radikal, dan universal. Sedangkan
ilmu memiliki ciri: berobyektif, bermethoda, sistimatik, dan universal; ilmu yang
sistimatis dan lengkap memiliki cakupan (denotasi), keluasan (dimensi), dan cirri
penentu (konotasi). Filsafat adalah sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang
dipersoalkan sebagai hasil inquiry & pemikiran. Kebenaran yang dicari bukan
kebenaran yang berkeping-keping, tetapi kebenaran yang umum, yang universal;
memecahkan masalah, bermakna ia menemukan kebenaran tentang soal tersebut
(berpikir mencari kebenaran karena menghayati masalah; pertanyaan menuntut
30

jawaban, kebenaran jawabannya (dengan pembuktian akan pengetahuan yang


dianggap benar); yang dituju sekeping kebenaran dalam kenyataan. Lebih jauh,
berfilsafat adalah kegiatan individu, sebab meyakini ucapan Platon, “la pensée est
dialogue silencieux de l’âme avec elle-même” (Chesneaux 1983 - 28); jadi berpikir
adalah (suatu) dialog dalam kesunyian dengan jiwanya sendiri; jenis percakapan diri
yang bersifat intelektual, dinamis dan hidup; suatu dialog pada tingkat berpikir abstrak,
imajiner, memiliki format metodik dan logik dalam tatanan mencari solusi terbaik yang
mendasarkan perencanaan untuk mampu menjelaskan atau berargumentasi secara
tepat, mudah, dan singkat; disamping itu type dialog tersebut memungkinkan
kebiasaan dan sikap kognitif efektif pada tingkatan “strategic, taktik, dan operasional”
dalam berpikir, berucap, dan bertindak; pada dasarnya berpikir, utamanya bersifat
personal, sekalipun kemudian dimungkinkan berdialog secara kolektif.

Berpikir ilmiah merupakan gabungan berpikir nalar deduktif dan nalar induktif.
Berpikir saintifik akan mempertajam pemikiran kritisnya dalam berbagai tantangan yang
bersifat ilmiah maupun kemasyarakatan. Kecakapan dalam berpikir kritis (critical
thinking) perlu memperhatikan:

a. Selalu bertanya pada akal budi (menurut Albert Einstein: The important
thing is never stop questioning atau jangan pernah berhenti bertanya;

b. Mampu mengontrol akalbudi dari emosi;

c. Memungkinkan pendekatan alternative yang memungkinkan pikiran


terbuka (tidak berprasangka);

d. Strategi perhitungan, bukan solusi;

e. Menghimpun dan menilai system informasi. Oleh sebab itu, dalam filsafat
ilmu, tidak hanya logika tapi juga perlu etika dan estetika.

Padanan kata ethics pada hakekatnya dinding; intinya, manusia perlu diingatkan
akan pentingnya “tahu dinding pembatas”; untuk itu, diperlukan rambu-rambu
kesadaran, karena manusia sering kearah “banyak tidak tahunya” atau cenderung
31

“banyak tidak sadarnya”. Untuk senantiasa “eling dan waspada” , manusia perlu
norma-moral sebatas tahu dan tidak tahunya maupun tanggung jawab sebagai
manusia yang berakal-budi.Secara pandangan filsafat akan “sejumlah tahunya” (Cum –
Scientia), sistem operasi (pengerjaan, tindakan) sesuatu diyakini dalam “tahu”nya akan
membangun sikap “sadar dan mengerti”. Kemandirian berpikirnya akan membawanya
ke karakter adaptatif, solutif, dan kontributif. Tahu adalah kekuatan basis berpikir dan
bertindak; derajat know dan knowing dari seorang knower yang ber-knowledge,
tentunya dari satu individu ke individu lainnya akan berbeda. Kumpulan Tahu
merupakan dasar “pencarian” pengetahuannya; “Kumpulan (CUM) Tahu menjadi pusat
kekuatan bagi “scientia (~ science, tahu)” melalui pembelajaran: (1) Tahu [Tahu
melalui pemahaman spirit “realitas berpikir”; kumpulan pengetahuan yang sistimatik,
didapat dengan aktivitas mental abstrak], (2) Tahu Berpikir (intelektual tahu dalam
“realita berpikir realita dan ada objek berpikir & alternatif berpikir), (3) Tahu
Menimbang & Memutuskan (untuk mendapatkan prinsip pertama dari berfilsafat yakni
inquiry dalam “saya mencari kebenaran”), (4) tahu berbuat (Tindakan yang
mendasarkan pada pengetahuan & kemampuan berpikir), dan (5) Tahu Hidup (dan
kehidupan di masyarakat, ada logika – etika – estetetika bagi makna hidup &
kehidupan; ada seni – hidup manusia dengan alamnya). Jika “Konsep Tahu (1 s/d 5)”
difahami, berakibat pada perluasan “Konsep Tahu – Sadar – Mengerti”; jika konsep ini
kuat, maka implikasi berikut adalah pada perluasan “Konsep Tahu, Mau, dan Mampu”.

18. Metode Untuk Memperoleh Pengetahuan. Kata metode berasal bahasa


Yunani yaitu kata "methos" yang terdiri dari unsur kata berarti cara, perjalanan
sesudah, dan kata "kovos" berarti cara perjalanan, arah. Metode merupakan kajian
atau telaah dan penyusunan secara sistematik dari beberapa proses dan asas-asas
logis dan percobaan yang sistematis yang menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah.
Pertanyaan utama dalam permasalahan epistemologi (pengetahuan) yang
dimunculkan dan dibahas adalah mengenai bagaimana cara memperoleh tentang
pengatahuan? atau lebih tepatnya bagaimana metode untuk memperoleh
pengetahuan?. Menurut kajian epistemologi terdapat beberapa metode untuk
memperoleh pengetahuan:
32

a. Metode Empirisme. Menurut paham empirisme, metode untuk


memperoleh pengetahuan didasarkan pada pengalaman yang bersifat empiris,
yaitu pengalaman yang bisa dibuktikan tingkat kebenarannya melalui
pengamalan indera manusia. Seperti petanyaan-pertanyaan bagaimana orang
tahu es membeku? Jawab kaum empiris adalah karena saya melihatnya (secara
inderawi/panca indera), maka pengetahuan diperoleh melalui perantaraan
indera. Menurut John Locke (Bapak Empirisme Britania) berkata, waktu manusia
dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong, dan didalam buku
catatan itu dicatat pengalaman-pengalaman indera. Akal merupakan sejenis
tempat penampungan, yang secara prinsip menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Proses terjadinya pengetahuan menurut penganut empirisme
berdasarkan pengalaman akibat dari suatu objek yang merangsang alat
inderawi, kemudian menumbuhkan rangsangan saraf yang diteruskan ke otak.
Di dalam otak, sumber rangsangan sebagaimana adanya dan dibentuklah
tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat inderawi ini.
Kesimpulannya adalah metode untuk memperoleh pengetahuan bagi penganut
empirisme adalah berdasarkan pengalaman inderawi atau pengalaman yang
bisa ditangkap oleh panca indera manusia.

b. Metode Rasionalisme. Berbeda dengan penganut empirisme, karena


rasionalisme memandang bahwa metode untuk memperoleh pengetahuan
adalah melalui akal pikiran. Bukan berarti rasionalisme menegasikan nilai
pengalaman, melainkan pengalaman dijadikan sejenis perangsang bagi akal
pikiran untuk memperoleh suatu pengetahuan. Menurut Rene Descartes (Bapak
Rasionalisme), bahwa kebenaran suatu pengetahuan melalui metode deduktif
melalui cahaya yang terang dari akal budi. Maka akal budi dipahamkan sebagai :

1) Sejenis perantara khusus, dengan perantara itu dapat dikenal


kebenaran.
2) Suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat
ditemukan kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran.
Fungsi pengalaman inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai bahan
pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu
memperoleh kebenaran.
33

c. Metode Fenomenalisme. Immanuel Kant adalah filsuf Jerman abad XX


yang melakukan kembali metode untuk memperoleh pengetahuan setelah
memperhatikan kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh David Hume terhadap
pandangan yang bersifat empiris dan rasionalisme. Menurut Kant, metode untuk
memperoleh pengetahuan tidaklah melalui pengalaman melainkan ditumbuhkan
dengan pengalaman-pengalaman empiris disamping pemikiran akal
rasionalisme. Ada empat macam pengetahuan menurut Kant :

1) Pengetahuan analisis a priori yaitu pengetahuan yang dihasilkan


oleh analisa terhadap unsur-unsur pengetahuan yang tidak tergantung
pada adanya pengalaman, atau yang ada sebelum pengalaman.

2) Pengetahuan sintesis a priori, yaitu pengetahuan sebagai hasil


penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri yang
mempersatukan dan penggabungan dua hal yang biasanya terpisah.

3) Pengetahuan analitis a posteriori, yaitu pengetahuan yang terjadi


sebagai akibat pengalaman.

4) Pengetahuan sintesis a posteriori yaitu pengetahuan sebagai hasil


keadaan yang mempersatukan dua akibat dari pengalaman yang
berbeda.Menurut Kant, syarat dasar bagi ilmu pengetahuan:

a) Bersifat umum dan bersifat perlu mutlak.

b) Memberi pengetahuan yang baru. Pengetahuan tentang


gejala (phenomenon) merupakan pengetahuan yang paling
sempurna, karena ia dasarkan pada pengalaman inderawi dan
pemikiran akal, jadi Kant mengakui dan memakai empirisme dan
rasionalisme dalam metode fenomenologinya untuk memperoleh
pengetahuan.
34

d. Metode Intuisionisme. Metode intuisionisme adalah suatu metode untuk


memperoleh pengetahuan melalui intuisi tentang kejadian sesuatu secara nisbi
atau pengetahuan yang ada perantaraannya. Menurut Henry Bergson, penganut
intusionisme, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui suatu pengetahuan
secara langsung. Metode intuisionisme adalah metode untuk memperoleh
pengetahuan dalam bentuk perbuatan yang pernah dialami oleh manusia. Jadi
penganut intuisionisme tidak menegaskan nilai pengalaman inderawi yang bisa
menghasilkan pengetahuan darinya. Maka intuisionisme hanya mengatur bahwa
pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi.

e. Metode Ilmiah. Pada metode ilmiah, untuk memperoleh pengetahuan


dilakukan dengan cara menggabungkan pengalaman dan akal pikiran sebagai
pendekatan bersama dan dibentuk dengan ilmu. Metode ilmiah diawali dengan
pengalaman-pengalaman dan dihubungkan satu sama lain secara sistematis
dengan fakta-fakta yang diamati secara inderawi. Untuk memperoleh
pengetahuan dengan metode ilmiah dibuktikan hipotesa, yaitu usulan
penyelesaian berupa saran dan sebagai konsekuensinya harus dipandang
bersifat sementara dan memerlukan verifikasi dalam proses hipotesis ini.
Kegiatan akal bergerak keluar dari pengalaman mencari suatu bentuk untuk
didalamnya disusun fakta-fakta secara nyata. Untuk memperkuat hipotesa
dibutuhkan dua bahan-bahan bukti :

1) Bahan-bahan keterangan yang diketahui harus cocok dengan


hipotesa tersebut.

2) Hipotesa itu harus meramalkan bahan-bahan yang dapat diamati


yang memang demikian keadaannya. Pada metode ilmiah dibutuhkan
proses peramalan dengan deduksi. Deduksi pada hakikatnya bersifat
rasionalistis dan merupakan suatu faktor penting didalam metode ilmiah.
35

BAB VI

KEGUNAAN MEMPELAJARI FILSAFAT

19. Umum. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa dengan belajar filsafat
menjadikan orang mampu menangani berbagai pertanyaan mendasar yang tidak
terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu khusus. Jadi filsafat membantu untuk
mendalami berbagai pertanyaan asasi manusia tentang makna realita dan lingkup
tanggungjawabnya, sedangkan kemampuan itu dipelajari dari dua jalur yakni secara
sistematis dan historis.

20. Kegunaan Mempelajari Filsafat. Dengan bertindak reflektif (mencari


identifikasi-diri) akan menemukan hakekat badan yang berjiwa, dan sekaligus akan
menemukan pengalaman (dimungkinkan karena kita hidup dan mencoba mengerti dan
menghayati dunia sekeliling secara berkelanjutan). Di depan kita senantiasa
terbentang objek–objek potensial, dan untuk mentransformasikan menjadi objek real,
perlu upaya dan penghayatan agar objek tersebut tersentuh oleh kesadaran kita.
Dengan pengalaman, terbuka kemungkinan bagi pengayaan sejarah. Dengan
bertindak reflektif (mencari identifikasi-diri) akan menemukan hakekat badan yang
berjiwa, dan sekaligus akan menemukan pengalaman (dimungkinkan karena kita
hidup dan mencoba mengerti dan menghayati dunia sekeliling secara berkelanjutan).
Didepan kita senantiasa terbentang objek–objek potensial, dan untuk
mentransformasikan menjadi objek real, perlu upaya dan penghayatan agar objek
tersebut tersentuh oleh kesadaran kita. Dengan pengalaman, terbuka kemungkinan
bagi pengayaan sejarah. Sejarah akan terjadi, bilamana dunia dihadapannya (yang
bersifat pasif namun penuh dengan objek potensial), telah diintervensi oleh manusia
dalam campur tangan atau tindakan yang yang spesifik, yang memungkinkan dunia
tadi berubah. Apabila berhasil, maka manusia membuat sejarah (“Seolah dunia dapat
diubah menurut kehendak/selera manusia”). Sejarah adalah perjalanan waktu dari
kejadian–kejadian yang membuat kenyataan dunia. Problemanya, bagaimanakah dan
kapan kenyataan itu diaktualisasi; disinilah persoalan lain muncul, karena dihadapkan
pada masalah nilai-nilai yang terkait. Seseorang yang memiliki intellectual –
wisdom cenderung memiliki Cipta – Rasa – Karsa, termasuk kepemilikan cinta kasih &
TERBATAS
36

rasa kemanusiaan, realisasi terhadap nilai – nilai dalam tindakan yang arif, penuh
pertimbangan, dan tanggung jawab dalam hidup & kehidupannya. Kepribadian akan
berkaitan dengan inti nilai, dan akan mempengaruhi kesatuan nilai sosialnya; ada
garis tegas intensionalitas dalam arah yang lebih pasti. Oleh sebab itu, Filsafat
dianggap sangat strategis karena mengait kemampuan intellectual wisdom dan nilai
budaya bagi meninggikan derajat bangsa. Filsafat senantiasa mengingatkan kita akan:
(a) We achieve our best through character & conscience; (b) Knowledge is power, but
character is more powerful; & (c) Mental Act & Act of will, plus Ethics deals with
questions of Values Human Action (Act of reason & Act of faith). Dalam kehidupan
millennium, sekalipun cerdas mengait kemampuan adaptatif, solutif, dan kontributif,
maturity personal perlu seimbang dengan maturity profesional; ini makna pembelajaran
filsafat dalam meninggikan derajat bangsa yang berdaulat dan bermartabat.

BAB VII

PENUTUP

21. Demikian naskah buku tentang filsafat (ilmu) dalam budaya, masyarakat, sains
dan teknologi disusun, semoga dapat memenuhi perluasan cakrawala pandang akan
essensi strategis, relevansi, dan pentingnya memahami (spirit) MP Filsafat (ilmu) dari
sisi pemikiran filsafat dan ilmu (modern & rasional). Penyajian pembahasaan materi
buku ini masih perlu penyempurnaan sehingga adanya kritik dan saran yang mengarah
kepada perbaikan isi buku ini.

DEPARTEMEN. IPTEK
37

TERBATAS

TERBATAS

Anda mungkin juga menyukai