Anda di halaman 1dari 278

BAB I

PENGENALAN FILSAFAT ILMU

A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ilmu

Kata “filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata philoshopia

(Latin), philosophy (Inggris), Philisophic (Jerman, Belanda, Prancis),

filsafah (Arab). Semua istilah itu tersebut dari philein yang berarti

“mencintai”, sedangkan philos yang berarti “teman, kawan, sahabat”.

Selanjutnya istilah sophos yang berarti “bijaksana”, sedangkan shopia

yang berarti “kebijaksanaan”.

Ada dua arti secara etimologis dan filsafat yang berbeda. Pertama, apabila

istilah filsafat mengacu pada asal kata philien dan shopos. maka artinya

mencintai hal-hal yang bersifat kebijaksana (kebijaksana dimaksud sebagai

kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan

Sophia, maka artinya adalah teman/kawan/sahabat kebijaksanaan

(kebijaksanaan dimaksudkan sebagai kata benda).

“Filsafat” yang dijabarkan dari perkataan “philosophia” dari bahasa

Yunani tersebut yang berarti : “cinta akan kebijaksanaan” (love of

wisdom). Menurut tradisi, Phithagoras dan Sokrateslah yang pertama-tama

meyebut diri sebagai “philosophos”, yaitu sebagai protes terhadap kaum “

Shopist” , kaum terpelajar pada waktu itu yang menamakan dirinya “

bijaksana”, padahal kebijaksanaan mereka itu hanya semu saja.


Sebagai protes terhadap kesombongan mereka, maka Sokrates lebih suka

menyebut diri “pecinta kebijaksanaan”, artinya orang yang ingin

mempunyai pengetahuan yang luhur (shopia) itu. Mengingat keluhuran

yang dikejarnya itu, maka ia tidak mau berkata bahwa ia telah mempunyai,

telah memiliki atau menguasainya.

Namun ini sudah semestinya, sebab dalam filsafat orang tidak pernah akan

mengatakan selesai belajar, karena luas dan dalamnya filsafat itu orang

tidak dapat menguasainya dengan sempurna.

Selama manusia masih hidup dalam dunia ini, harus berusaha untuk

mengejarnya. Lebih baik dikatakan bahwa orang ingin menguasainya,

dengan menyebut diri “filsuf” saja.

Menurut sejarah, Pythagoras (572-497 SM) adalah orang yang pertama

kali memakai kata philosophia ketika beliau ditanya apakah ia seorang

yang bijaksana, maka Pythagoras dengan rendah hati menyebut dirinya

sebagai philosophos, yakni pencinta kebijaksanaan ( lover of wisdom ).

Banyak sumber yang menegaskan bahwa sophia mengandung arti yang

lebih luas daripada kebijaksanaan. Artinya ada berbagi macam, antara lain:

(1)Kerajinan, (2) Kebenaran pertama, (3) Pengetahuan yang luas, (4)

Kebajikan intelektual, (5) Pertimbangan yang sehat, (6) Kecerdasan dalam

memutuskan hal-hal yang praktis. Dengan demikian asal mula kata filsafat

itu sangat umum, yang intinya adalah mencari keutamaan mental (the

pursuit of mental excellence).

Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam

berpikir. Berfilsafat artinya berpikir. Namun, tidak semua berpikir berarti


berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah

semboyan mengatakan bahwa: Setiap manusia adalah filsuf. Semboyan ini

benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi, secara umum

semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah

filsuf.

Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan

sungguh-sungguh dan mendalam.

Tegasnya: Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan

memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain:

Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat

kebenaran segala sesuatu.

Mohamad Hatta mengemukakan pengertian apa filsafat itu lebih baik tidak

dibicarakan lebih dulu. Nanti, bila orang telah banyak membaca atau

mempelajari filsafat, orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa

filsafat itu menurut konotasi filsafat yang ditangkapnya. Langeveld juga

berpendapat begitu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia

maklum apa filsafat itu: dan makin dalam ia berfilsafat, akan makin

mengerti ia apa filsafat itu. Poedjawijatna menyatakan bahwa kata filsafat

berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani,

bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya ialah

philosophia. Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan kata

majemuk yang terdiri atas philo dan sopbia. philo, artinya cinta dalam arti

yang luas, yaitu ingin, dank arena itu lalu berusaha mencapai yang

diinginkan itu; sophia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian


yang mendalam. Jadi, menurut namanya saja filsafat boleh diartikan ingin

mencapai pandai, cinta pada kebijakan. (Dr. Ahmad Tafsir: 4)

1. Filsafat Sebagai Ilmu

Dikatakan filsafat sebagai ilmu karena dalam pengertian filsafat

terkandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu: Bagaimanakah, mengapakah,

ke manakah dan apakah.

Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang dapat ditangkap atau

yang tampak oleh indra. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya

bersifat kausalitas (sebab akibat).

Pertanyaan ke mana menanyakan tentang apa yang terjadi di masa lampau,

masa sekarang, dan masa yang akan datang. Jawaban yang diperoleh ada

tiga jenis pengetahuan, yaitu :pertama, pengetahuan yang timbul dari hal-

hal yang selalu berulang-ulang (kebiasaan), yang nantinya pengetahuan

tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman. Ini dapat dijadikan dasar untuk

mengetahui apa yang akan terjadi. Kedua, pengetahuan yang timbul dari

pedoman yang terkandung dalam adat istiadat/kebiasaan yang berlaku

dalam masyarakat. Dalam hal ini tidak dipermasalahkan apakah pedoman

tersebut selalu dipakai atau tidak. Pedoman yang selalu dipakai disebut

hukum. Ketiga, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai

(hukum) sebagai suatu hal yang dijadikan pegangan. Tegasnya,

pengetahuan yang diperoleh dari jawaban kemanakah adalah pengetahuan

yang bersifat normative.

Pertanyaan apakah yang menayakan tentang hakikat atau inti mutlak dari

suatu hal. Hakikat ini sifatnya sangat dalam (radix) dan tidak lagi bersifat
empiris, sehingga hanya dapat dimengerti oleh akal. Jawaban atau

pengetahuan ini kita akan mengetahui hal-hal yang sifatnya sangat umu,

universal, abstrak.

Dengan demikian, kalau ilmu-ilmu yang lain (selain filsafat) bergerak dari

tidak tahu kepada tahu, sedangkan ilmu filsafat bergerak dari tidak tahu

kepada tahu selanjutnya kepada hakikat.

Untuk mencari / memperoleh pengetahaun hakikat, haruslah dilakukan

dengan abstraksi, yaitu suatu perbuatan akal untuk menghilangkan

keadaan, sifat-sifat yang secara kebetulan (sifat-sifat yang tidak harus

ada/aksidensia), sehingga akhirnya tinggal keadaan / sifat yang harus ada

(mutlak) yaitu substansial, maka pengetahuan hakikat yang diperolehnya.

2. Filsafat Sebagai Cara Berfikir

Berfikir secara filsafat dapat diartikan sebagai berfikir yang mendalam

sampai kepada hakikat, atau berfikir secara global (menyeluruh), atau

berfikir yang dilihat dari berbagai sudut pandang pemikiran atau sudut

pandang ilmu pengetahuan.

Berfikir yang demikian ini sebagai upaya untuk dapat berfikir secara tepat

dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini harus memenuhi

persyaratan :

a. Harus Sistematis

Pemikiran yang sistematis ini dimaksudkan untuk menyusun suatu

pola pengetahuan yang rasional. Sistematis adalah masing-masing

unsur saling berkaitan satu dengan yang lain secara teratur dalam suatu

keseluruhan. Sistematika pemikiran seorang filsuf bayak dipengaruhi


oleh keadaan dirinya, lingkungan, pendidikan, dan sistem pemikiran

yang mempengaruhi.

b. Harus Konsepsional

Secara umum istilah konsepsional berkaitan dengan ide (gambar) atau

gambaran yang melekat pada akal pikiran yang berada dalam

intelektual. Gambaran tersebut mempunyai bentuk tangkapan sesuai

dengan riilnya. Sehingga maksud dari konsepsional tersebut sebagai

upaya untuk menyusun suatu bagan yang terkonsepsi (jelas). Karena

berfikir secara filsafat sebenarnya berfikir tentang hal dan prosesnya.

c. Harus Koheren

Koheren atau runtut adalah unsur-unsurnya tidak boleh mengandung

uraian-uraian yang bertentangan satu sama lain. Koheren atau runtut

didalamnya memuat suatu kebenaran logis. Sebaliknya, apabila suatu

uraian yang didalamnya tidak memuat kebenaran logis, maka uraian

tersebut dikatakan sebagai uraian yang koheren.

d. Harus Rasional

Yang dimaksud dengan rasional adalah unsur-unsurnya berhubungan

secara logis. Artinya, pemikiran Filsafat harus diuraikan dalam bentuk

yang logis, yaitu suatu bentuk kebenaran yang mempunyai kaidah-

kaidah berfikir (logika).

e. Harus Sinoptik

Sinoptik artinya pemikiran filsafat harus melihat hal-hal menyeluruh

atau dalam kebersamaan secara integral.

f. Harus mengarah kepada pandangan dunia


Yang dimaksud adalah pemikiran filsafat sebagai upaya untuk

memahami semua realitas kehidupan dengan jalan menyusun suatu

pandangan (hidup) dunia, termasuk di dalamnya menerengkan tentang

dunia dan semua hal yang berada di dalamnya.

3. Filsafat Ilmu

Cabang filsafat yang membahas masalah ilmu adalah filsafat ilmu.

Tujuannya mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara

bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Jadi, filsafat ilmu adalah

penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk

memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan

ilmiah itu sendiri. Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science

(teori ilmu), dan science of science(ilmu tentang ilmu).

Namun sebenarnya berbicara mengenai filsafat ilmu sulit untuk

memberikan suatu batasan yang positif. Banyak pendapat yang memiliki

makna serta penekanan yang berbeda tentang filsafat ilmu. Menurut Prof.

Dr. Conny R. Semiawan, dkk. (1988) untuk menetapkan dasar pemahaman

tentang filsafat ilmu sangat bermanfaat untuk menyimak empat titik

pandang dalam filsafat ilmu, yaitu sebagai berikut :

a. Pandangan yang menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah perumusan

world-views yang konsisten dengan dan pada beberapa pengertian

didasarkan atas teori-teori ilmiah yang penting. Menurut pandangan

ini, merupakan tugas dan filsuf ilmu untuk mengolaborasikan

implikasi yang luas dari ilmu.


b. Pandangan yang mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu

eksposisi dari presuppositions dan predispositions dari para ilmuwan.

Filsuf ilmu mungkin mengemukakan bahwa para ilmuwan menduga

(presuppose) alam tidak berubah-ubah, dan terdapat suatu keteraturan

di alam sehingga gejala alam yang tidak begitu kompleks cukup

didapat oleh peneliti. Sebagai tambahan, peneliti mungkin tidak

menutupi keinginan deterministic para ilmuwan lebih dari hukum

statistic, atau pandangan mekanistik lebih dari penjelasan teleogik.

Pandangan ini cenderung mengasimilasikan filsafat ilmu dengan

sosiologi.

c. Pandangan yang mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu

disiplin yang di dalamnya konsep dan teori tentang ilmu dianalisis dan

diklasifikasikan. Hal ini berarti memberikan kejelasan tentang makna

dari berbagai konsep seperti partikel, gelombang, potensial, dan

kompleks di dalam pemanfaatan ilmiah.

B. Definisi Filsafat dan Filsafat Ilmu

1. Definisi Filsafat

Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni :

a. Segi Semantik : perkataan filsafat berasal dari kata Arab falsafah,

yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang berarti philos =

cinta, suka (loving), dan Shopia = pengetahuan, hikmah (wisdom).

Jadi, Philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada

kebenaran. Maksudnya setiap orang yang berfilsafat akan menjadi


bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut

Philoshopher, dalam bahasa Arabnya failasuf Pecinta pengetahuan

ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan

hidupnya, atau dengan perkataan lain, mengabdikan dirinya pada

pengetahuan.

b. Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti

“alam pikiran” atau “alam berfikir”. Berfilsafat artinya berfikir.

Namun, tidak semua berfikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah

berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan

mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini

benar juga, sebab semua manusia berfikir. Akan tetapi, secara

umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia

berfikir adalah filsuf.

Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan

sungguh-sungguh dan mendalam.

Tegasnya : Filsafat adalah hasil akal seorang manusia mencari dan

memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata

lain : Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh

hakikat kebenaran segala sesuatu.

Karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil

kalau banyak di antara para ahli filsafat memberikan definisnya secara

berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf

barat dan Timur di bawah ini :


a. Plato (427 SM – 347 SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur

murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan : Filsafat adalah

pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang

berminat mencapai kebenarannya yang asli).

b. Aristoteles (384 Sm – 322 SM ) mengatakan : Filsafat adalah ilmu

pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya

terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, Etika, ekonomi,

politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala

benda).

c. Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43 SM) Politikus dan ahli pidato

Romawi, merumuskan : Filsafat adalah pengetahuan tentang

sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.

d. Al-Farabi (wafat 950 M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu

Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam

maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

e. Immanuel Kant (1724 – 1804 M), yang sering disebut raksasa pikir

Barat, mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala

pengetahuan yang mencangkup di dalamnya tiga persoalan, yaitu :

- Apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika).

- Apakah yang boleh kita kerjakan? (dijawab oleh etika).

- Sampai dimanakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi).

f. Prof. Dr. Fuad hasan, guru besar Psikologi UI, menyimpulkan :

Filsafat adalah suatu ikhtisar untuk berfikir radikal, artinya mulai

dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak
dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu

filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan

yang universal.

g. Drs. H, Hasbullah Bakry merumuskan, Ilmu Filsafat adalah ilmu

yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai

ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat

menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh

yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap

manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

h. Konsep Prancis Bacon, filsafat merupakan induk agung dari ilmu-

ilmu, dan filsafat menangani semua pengetahuan sebagai

bidangnya.

i. Konsep Jhon Dewey, sebagai tokoh pragmatisme, berpendapatan

bahwa filsafat haruslah dipandang sebagai suatu pengungkapan

mengenai perjuangan manusia secara terus-menerus dalam upaya

melakukan penyesuaian berbagai tradisi yang membentuk budi

manusia tehadap kecenderungan-kecenderungan ilmiah dan cita-

cita politik yang baru dan tidak sejalan dengan wewenang yang

diakui. Tegasnya filsafat sebagai suatu alat untuk membuat

penyesuaian-penyesuian di antara yang lama dan yang baru dalam

suatu kebudayaan.

j. N. Driyarkara

Filsafat adalah perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-

sebab-sebab ada dan berbuat perenungan tentang kenyataan


(reality) yang sedalam-dalamnya, sampai ke ‘mengapa’ yang

penghabisan.

k. Notonagoro

Filsafat itu menelaah hal-hal yang menjadi objeknya dari sudut

intinya yang mutlak dan yang terdalam, yang tetap dan yang tidak

berubah, yang disebut hakikat.

l. Konsep Rene Descartes, filsafat merupakan kumpulan-kumpulan

segala pengetahuan, dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi

pokok penyelidikannya.

m. I.R. Poedjawijatna, filsafat ialah ilmu yang berusaha mencari sebab

sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan atas pikiran

belaka.

Perlu diketahui bahwa filsafat tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lain dalam

objek material yang diselidiki yaitu mengenai semua yang ada : manusia,

alam dan Tuhan. Adapun yang beda adalah objek formalnya yaitu segi

atau sudut dari materi yang diselidiki. Yang menjadi objek formal dari

filsafat ialah hal-hal yang menyangkut hakikat, sifat dasar arti atau makna

terdalam dari sesuatu itu. Misalnya mengenai manusia, yang dipersoalkan

ialah mengenai apa hakikat manusia itu. Tentu saja bukan ha-hal yang

dapat dijangkau dengan pengamatan indra, tetapi lama sekali hanya dapat

dicapai dengan kemampuan rasio, rasa dan logika. Sebab tentang hakikat

sesuatu bukanlah mengenai hal yang sifatnya empirik.


Mengenai tujuan filsafat bahwa dengan mengetahui sesuatu yang tidak

hanya dari segi yang lahiriah, tetapi juga yang hakiki, akan memperluas

cakrawala pandang kita tentang sesuatu itu. Dengan itu kita dapat

menempatlan diri kita di tengah-tengah keberadaan lain secara tepat.

Sebab keberadaan kita sebagai manusia bukanlah keberadaan yang pasif.

Kita harus tanggap dan menanggapi dengan apa yang berbeda di sekeliling

kita. Pendeknya dengan filsafat kita tahu tentang diri kita sendiri dan tahu

tentang diri yang lain yaitu alam sekitar dan Tuhan, dengan itu kita dapat

menyesuiakan hidup kita dengan cara yang tepat.

2. Definisi Filsafat Ilmu

The Liang Gie mendefiniskan filsafat ilmu adalah segenap pemikiran

refleksi terhadap persoalan mengenai segala hal yang menyangkut

landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan

manusia.

Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

a. Filsafat Ilmu dalam arti luas : menampung permasalahan yang

menyangkut hubungan ke luar dari kegiatan ilmiah, seperti:

1. Implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat

ilmiah;

2. Tata susila yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu;

3. Konsekuensi pragmatik-etik penyelenggara ilmu dan

sebagainya.

b. Filsafat ilmu dalam arti sempit : menampung permasalahan yang

bersangkutan dengan hubungan ke dalam yang terdapat di dalam


ilmu, yaitu yang menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-

cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah. (Beertling,

1988)

Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang pengertian filsafat ilmu

dapatlah kiranya dirangkum tiga medan telaah yang tercangkup di dalam

filsafat ilmu. Ketiganya itu adalah sebagai berikut.

a. Filsafat ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap metode yang

digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap lambang yang digunakan

dan terhadap struktur penalaran tentang sistem lambang yang

digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan untuk mengkaji ilmu

empiris dan yang juga ilmu rasional, juga untuk membahas studi

bidang etika dan estetika, studi kesejarahan, antropologi, geologi,

dan sebagainya. Dalam hubungan ini yang terutama sekali ditelaah

ihwal penalaran dan teorinya.

b. Filsafat Ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai

dasar-dasar konsep, sangka wacana, dan postulat mengenai ilmu

dan upaya untuk membuka tabir dasar keempirisan, kerasionalan,

dan pragmatisan. Aspek filsafat ini erat hubunganya dengan hal

ihwal yang logis dan epistemologis. Jadi, peran filsafat ilmu disini

berganda. Pada sisi pertama, filsafat ilmu mencangkup analisis

kritis terhadap anggapan dasar, seperti kuantitas, kualitas, waktu,

ruang, dan hukum. Pada sisi yang lain filsafat ilmu mencangkup

studi mengenai keyakinan tertentu, seperti keyakinan mengenai


dunia ‘sana’, keyakinan mengenai keserupaan di dalam alam

semesta, dan keyakinan mengenai kenalaran proses-proses alami.

c. Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi

yang beraneka macam yang ditunjuk untuk menetapkan batas yang

tegas mengenai ilmu tertentu. (Hartono Kasmadi, dkk., 1990: 17-

18)

Tempat kedudukan filsafat ilmu ditentukan oleh dua lapangan

penyelidikan filsafat ilmu berikut :

a. Sifat pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan

erat dengan epistemology yang mempunyai fungsi menyelidiki

syarat-syarat pengetahuan manusia dan bentuk-bentuk pengetahuan

manusia.

b. Menyangkut cara-cara mengusahakan dan mencapai pengetahuan

ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan logika

dan metodologi. Ini berarti cara-cara mengusahakan dan

memperoleh pengetahuan ilmiah berkaitan erat dengan susunan

logis dan metodologis serta tata urutan berbagai langkah dan unsur

yang terdapat dalam kegiatan ilmiah pada umumnya.

Baik bidang pertama dan kedua di atas dibahas dalam filsafat ilmu

umum. Adapun dalam filsafat ilmu khusus membicarakan kategori

serta metode yang digunakan dalam ilmu atau dalam kelompok

ilmu tertentu seperti kelompok ilmu alam, ilmu masyarakat, ilmu

teknik dan sebagainya. (Beerling, 1988)


C. Objek dan Metode Filsafat Ilmu

1. Objek Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu sebagai halnya dengan bidang-bidang ilmu yang lain, juga

memiliki objek material dan objek formal tersendiri.

a. Objek Material Filsafat Ilmu

Objek material adalah objek yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh

suatu ilmu atau objek yang dipelajari oleh suatu ilmu itu. Objek

material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu

pengetahuan yang telah disusun dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya secara umum.

b. Objek Formal Filsafat Ilmu

Objek formal adalah sudut pandang dari masa sang subjek menelaah

objek materialnya. Setiap ilmu pasti berbeda dalam objek formalnya.

Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan,

artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem

mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu itu

sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa

fungsi pengetahuan itu bagi manusia? Problem inilah yang dibicarakan

dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan

ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

Landasan ontologis pengembangan ilmu, artinya titik tolak penelaahan

ilmu pengetahuan didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang

dimiliki oleh seorang ilmuwan. Sikap atau pendirian filosofis secara garis

besar dapat dibedakan ke dalam dua mainstream, aliran besar yang sangat
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu meterealisme dan

spiritualisme . Matererialisme adalah suatu pandangan metafisik yang

menganngap bahwa tidak ada hal yang nyata selain materi. Spiritualisme

adalah suatu pandangan metafisika yang menganggap kenyataan yang

terdalam adalah roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam.

Perkembagan ilmu berdasarkan pada meterialisme cenderung pada ilmu-

ilmu kealaman dan menganggap bidang ilmunya sebagai induk bagi

perkembangan ilmu-ilmu lain. Dalam perkembangan ilmu modern, aliran

ini disuarakan oleh positivisme, sedangkan spiritualisme cenderung pada

ilmu-ilmu kerohanian dan menganggap bidang ilmunya sebagai wadah

utama bagi titik tolak pengembangan bidang-bidang ilmu lain.

Jadi, alasan onotologis ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara

pandang ilmuwan terhadap realitas. Manakala realitas yang dimaksud

adalah materi, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu empiris. Manakala

realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, lebih terarah pada ilmu-ilmu

humaniora.

Landasan epitermologis pengembangan ilmu, artinya titik tolak

penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas cara dan prosedur dalam

memperoleh kebenaran. Dalam hal ini yang dimaksud adalah metode

ilmiah. Metode ilmiah dalam garis besar dibedakan kedalam dua

kelompok, yaitu siklus empiris untuk ilmu-ilmu sosial-humaniora. cara

kerja metode siklus empiris meliputi observasi, penerapan metode induksi,

melakukan eksperimentasi (percobaan), verifikasi atau pengujian ulang


terhadap hipotesis yang diajukan, sehingga melahirkan sebuah teori.

Adapun cara kerja metode linier meliputi langkah-langkah antara lain

persepsi, yaitu penangkaran indrawi terhadap realitas yang diamati,

kemudian disusun sebuah pengertian (konsepsi), akhirnya dilakukan

prediksi atau peramalan tentang kemungkinan yang akan terjadi dimasa

depan.

Landasan aksiologis pengembangan ilmu merupakan sikap etis yang harus

dikembangkan oleh seorang ilmuwan, terutama dalam kaitannya dengan

nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Dengan demikian, suatu aktivitas

ilmiah senantiasa dikaitkan dengan kepercayaan, ideologi yang dianut oleh

masyarakat atau bangsa, tempat ilmu itu dikembangkan. (Rizal

Mustansyir, dkk., 2001).

Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum (heran, takjub), merasa

tidak puas, meras ingin tahu, dan merasa ragu-ragu. Pada tahap awalnya

kekaguman atau keheranan itu terarah kepada gejala-gejala alam.

Misalnya: gempa bumi, hujan, banjir, melihat laut yang sangat luas.

Orang yang heran berarti dia merasa tidak tahu, atau dia menghadapi

persoalan. Persoalan inilah yang ingin diperoleh jawabannya oleh para

filsuf. Dari mana jawaban itu dapat diperoleh? jawaban diperoleh dengan

melakukan kontemplasi, yakni berfikir dan merenung sedalam-dalamnya,

melakukan refleksi, yaitu berfikir tentang pikirannya sendiri atau

intropeksi (mawas diri). Dalam hal ini tidak semua persoalan itu mesti

persoalan filsafat. Persoalan filsafat berbeda dengan persoalan nonfilsafat.


Perbedaannya terletak pada materi dan ruang lingkupnya. Ciri-ciri

persoalan filsafat adalah sebagai berikut:

a. Bersifat umum, artinya persoalan kefilsafatan tidak bersangkutan

dengan objek-objek khusus dengan kata lain sebagai besar masalah

kefilsafatan berkaitan dengan ide-ide besar.

b. Tidak menyangkut fakta. Dengan kata lain persoalan filsafat lebih

bersifat spekulatif. Persoalan-persoalan yang dihadapi melampaui

batas-batas pengetahuan ilmiah, Pengetahuan ilmiah adalah

pengetahuan yang menyangkut fakta.

c. Bersangkutan dengan nilai-nilai (values), artinya persoalan-persoalan

kefilsafatan bertalian dengan penilaian baik nilai moral-etika, estetika,

agama, dan sosial. Nilai dalam pengertian ini adalah suatu kualitas

abstrak yang ada pada sesuatu hal.

d. Bersifat kritis, filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap

konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya diterima begitu saja.

e. Oleh suatu ilmu tanpa pemeriksaan secara kritis.

f. Bersifat sinoptis, artinya persoalan filsafat mencangkup struktur

kenyataan secara keseluruhan. Filsafat merupakan ilmu yang

membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan.

g. Bersifatimplikatif, artinya kalau sesuatu persoalan kefilsafatan sudah

dijawab, maka dari jawaban tersebut akan memunculkan persoalan

baru yang saling berhubungan.


Jawaban yang dikemukakan mengandung akibat-akibat lebih jauh

yang menyentuh kepentingan-kepentingan manusia (Tim Dosen

Filsafat Ilmu UGM, 1996: 11 – 12).

Berfikir kefilsafatan memilikikarakteristik tersendiri yang dapat dibedakan

dari ilmu lain. Beberapa ciri berfikir kefilsafatan dapat dikemukakan

sebagai berikut :

a. Radikal, artinya berfikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai

hakikat atau substansi yang dipikirkan.

b. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum

manusia. Kekhususan berfikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak

pada aspek keumumannya.

c. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi

pengalaman manusia.

d. Koheren dan konsisten (runtut) Koheren artinya sesuai kaidah-kaidah

berfikir logis. Konsisten artinya taat asas, tidak mengandung

kontradiksi.

e. Komprehensif, artinya pendapat yang merupakan urian kefilsafatan itu

harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya

maksud atau tujuan tertentu.

f. Komprehensif, artinya mencangkup atau menyeluruh. Berfikir secara

kefilsafatan merupakan usaha unutk menjelaskan alam semesta secara

keseluruhan.
g. Bebas, artinya sampai batas-batas luas, pemikiran filsafati boelh

dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari

prasangka-prasangka sosial, historis, cultural, bahkan religious.

h. Bertanggung jawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang

yang berfikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil

pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri

(Mustansyir dan Munir, 2001 : 5).

Kedelapan cirri berfikir kefilsafatan ini menjadikan filsafat cenderung

berbeda dengan cirri berfikir ilmu-ilmu lainnya, sekaligus menempatkan

kedudukan filsafat sebagai bidang keilmuan yang netral, terutama cirri

ketujuh.

2. Metode Filsafat ilmu

Untuk dapat memperoleh ilmu salah satu yang harus dipahami oleh

seorang ilmuwan adalah mengetahui cara apa yang harus gunakan? Ilmu

dapat digali atau dicari menggunakan prosedur yang disebut sebagai ilmu,

karena ilmumerupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus

memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu dalam

mendapatkan ilmu yang dimaksudkan adalah metode ilmiah. Metode

dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara mengetahui sesuatu, yang

mempunyai langkah-langkah yang sistematik.

Seperti telah diketahui bahwa berfikir adalah kegiatan mental yang

menghasilkan suatu pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi

mengenai cara bekerja pikiran tersebut. Dengan cara bekerja ini


pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-

karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat

rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengatahuan yang

disusunnya merupakan pengetahuan yang benar dan kebenarannya dapat

dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, metode ilmiah dalam

pelaksanaannya menggunakan langkah-langkah yang melibatkan dua cara

berfikir yaitu cara berfikir dedukatif dan cara berfikir induktif dalam

membangun tubuh pengetahuan.

Proses kegiatan ilmia, menurut Ritchie Calder yang dikutip oleh Jujun

(1988), dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Dengan pengamatan

ini tentu saja di benak kita akan muncul pertanyaanlain : Mengapa

manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau kita dapat mencermati lebih

jauh, ternyata bahwa kita mulai mengamati objek tertentu tersebut kalau

kita mempunyai perhatian tertentu pula terhadap objek tersebut. Menurut

John Dewey (1933), perhatian yang dimaksudkan adalah suatu masalah

atau kesukaran yang dirasakan jika jita menemukan Mengapa pertanyaan

ini muncul karena oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris yang

menimbulkan berbagai ragam permasalahan. Dengan kata lain, dapat

disimpulkan bahwa karena ada masalah maka proses kegiatan berfikir

dimulai, dank arena masalah ini dari sunia empiris, maka proses berfikir

tersebut diarkan pada pengamatan objek yang bersangkutan, yang

berekstensi dalam dunia empiris juga.

Manusia memiliki masalah dan berusaha mencari emecahannya bukanlah

sesuatu barang yang baru, karena sejak manusia berada di muka bumi
masalah tersebut sudah ada. Namun dalam menghadapi masalah ini maka

manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda sesuai dengan cara

perkembangan berfikir mereka. Karena masalah yang dihadapiny adalah

nyata maka ilmu mencari jawabannya juga apada dunia nyata. Ilmu

dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apa pun teori yang

menjembatani anatar keduanya. Teori yang dimaksud di sini adalah

penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut.

Teori merupakan abstraksi inteletual di mana pendekatan secara rasional

digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan

suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang

dijelaskan. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap

harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. Di

sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris

dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah.

Langkah-langkah sebagai alur berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah

dapat dijabarkan dalam suatu prosedur yang mencerminkan tahapan-

tahapan dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berfikir ilmiah yang berintikan

logico-hypotetici-verifikatif ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah

sebagai berikut :

a. Rumusan masalah,ini merupakan langkah pertama dalam etode ilmiah

berisi pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya

dan dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait di dalamnya.

b. Menentukan khasanah pengetahuan ilmiah, ini merupakan langkah

kedua metode ilmiah berisi kumpulan informasi-informasi ilmiah


yang digali melalui berbagai literature ilmiah, jurnal ilmiah, diskusi

ilmiah, wawancara dengan narasumber atau pakar bidang keilmuan

terkait dengan permsalahan yang akan carikan solusi pemecahannya.

c. Penyusunan kerangka berfikir dalam penyusunan hipotesis, ini

merupakan langkah ketiga dalam metode ilmiah berisi argumentasi

yang dibangun berdasarkan khasanah ilmu pengetahuan ilmiah yang

diambil sebagai landasan teori sehingga dapat menjelaskan hubungan

yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan

membentuk konstelasi permasalahan atau hubungan antara variable

bebas dan variable terkait. Karena berfikir ini disusun secara rasional

berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya

dengan memperhatikan fakto-faktor empiris yang relevan dengan

permasalahan.

d. Penyusunan hipotesis, ini merupakan langkah keempat dalam metode

ilmiah berisi jawaban sementara atau dugaan sementara terhadap

pertanyaan yang diajukan dalam perumusan masalah, sedangkan

rumusan hipotesis ini materi yang dibuat berupa kesimpulan dari

kerangka berfikir yang dikembangkan.

e. Penguji hipotesis, ini merupakan langkah kelima dalam metode ilmiah

berisi kegiatan pengumpulan fakta atau data-data empiris yang

relevan dengan hipotesis yang diajukan, kemudian dilakukan analisis

menggunakan uji statistic, sedangkan hasilnya dapat disajikan sebagai

data untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang

mendukung tersebut atau tidak.


f. Penarikan kesimpulan, ini merupakan langkah keenam dalam metode

ilmiah berisi penilaian apakah hipotesis yang diajukan berdasarkan

data yang ditemukan di lapangan diterima atau ditolak. Bila dalam

proses pengujian terdapat fakta-fakta yang cukupdan mendukung

hipotesis maka hipotesis yang diajukan dapat diterima. Sebaliknya,

bila data-data yang dikumpulkan dari lapangan ternyata tidak

mendukung hipotesis yang diajukan maka hipotesis yang diajukan

ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian

dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persayaratan

keilmuan, yaitu mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten

dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarnnya.

Pengertian kebenaran di sini baru ditafsirkan secara pragmatis, artinya

bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan

sebaliknya. Untuk lebih jelasnya langkah-langkah metode ilmiah ini

dapat dijelaskan melalui gambar berikut ini.


RUMUSAN
MASALAH

KHASANAH Koheri PENYUSUNAN


PENGETAHUAN KERANGKA
ILMIAH Deduktif BERFIKIR

RUMUSAN
HIPOTESIS

Pragmatisme

Korespondensi

Induktif

DITERIMA DITOLAK

PENGUJIAN
HIPOTESIS

Metodwe Ilmiah (Sumber. Jujun SISTEM (1988:129)

Seluruh langkah diatas harus ditempuh agar suatu penelaahan ilmu

dapat disebut ilmiah. Meskipun langkah-langkah ini secara konseptual

tersusun dalam urutan yang teratur, dimana langkah-langkah yang satu

merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya, namun dalam

pelaksanaannya sering terjadi lompatan-lompatan. Artinya, hubungan

antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat

secara simetris melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian

ilmiah yang tidak semata-mata mengandalkan penalaran, melainkan


juga imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi bahwa langkah yang satu

bukan saja merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya, namun

sekaligus juga landasan bagi koreksi bagi langkah yang lain. Dengan

jalan ini diharapkan dapat ditemukan pengetahuan baru yang bresifat

konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya, serta teruji

kebenarannya secara empiris. (Maman Rahman : 128)

D. Cabang-Cabang Filsafat Dan Kegunaan Filsafat

1. Cabang-Cabang Filsafat

Telah kita ketahui bahwa filsafat adalah sebagai induk yang mencangkup

semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-

ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat.

Mula-mulanya matematika dan fisika melepaskan diri, kemudian diikuti

oleh ilmu-ilmu lain. Adapun psikologi baru pada akhir-akhirnya ini

melepaskan diri dari filsafat, bahkan di beberapa institute, psikologi masih

terpaut dengan filsafat.

Setelah filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati,

tetapi hidup dengan corak baru sebagai “ilmu istemewa” yang

memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.

Yang menjadi pertanyaan ialah: apa sajakah yang masih merupakan bagian

dari filsafat dalam coraknya yang baru ini? Persoalan ini membawa kita

kepada pembicaraan tentang cabang-cabang filsafat.


Ahli filsafat biasanya mempunyai pembagian yang berbeda–beda.

Coba perhatikan sarjana-sarjana filsafat sebagai berikut:

a. H. De Vos menggolongkan filsafat sebagai berikut:

1) Metafisika,

2) Logika,

3) Ajaran tentang ilmu pengetahuan,

4) Filsafat alam,

5) Filsafat kebudayaan,

6) Filsafat sejarah,

7) Etika,

8) Estetika, dan

9) Antropologi.

b. Prof. Albuerey Castel membagi masalah-masalah filsafat menjadi

enam bagian, yaitu:

1) Masalah teologis (thelogical problem),

2) Masalah metafisika (metaphysical problem),

3) Masalah epistemology (epistemological problem),

4) Masalah etika (ethical problem),

5) Masalah politik (political problem), dan

6) Masalah sejarah (historical problem).

c. Dr. Richard H. Popkin dan Dr. Avrufn Astroll dalam buku mereka,

Philosophy Made Simple, membagi pembahasan mereka ke dalam

tujuh bagian (siction), yaitu:


1) Section I Ethics (Etika),

2) Section II Political Philosophy (Filsafat Politik),

3) Section III Metaphysics (Metafisika),

4) Section IV Philosophy of Religion (Filsafat Agama),

5) Section V Thery of Knowledge (Teori Pengetahuan),

6) Section VI Logics (Logika),

7) Section VII Contempory Philosophy,

d. Dr. M.J. Langeveld mengatakan :Filsafat adalah ilmu kesatuan yang

terdiri atas tiga lingkungan masalah :

1) Lingkungan masalah keadaan (metafisika manusia, alam, dan

seterusnya).

2) Lingkungan masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori

pengetahuan, dan logika).

3) Lingkungan masalah nilai (teori nilai etika, estetika yang bernilai

berdasarkan religi).

e. Aristoteles, murid Plato, mengadakan pembagian secara konkret dan

sistematis menjadi empat cabang, yaitu :

1) Logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.

2) Filsafat teoritis. Cabang ini mencakup :

- ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata

ini,

- ilmu matematika yang mepersoalkan benda-benda alam dalam

kuantitasnya,
- ilmu matefisika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu.

Inilah yang paling utama dari filsafat.

3) Filsafat praktis. Cabang ini mencakup :

- ilmu etika, yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam

hidup perorangan;

- ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran

dalam keluarga (rumah tangga);

- ilmu politik, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran

didalam negara.

4) Filsafat poetika (Kesenian)

Pembagian Aristoteles ini merupakanpermulaan yang baik sekali

bagi perkembangan pelajaran filsafat sebagai suatu ilmu yang dapat

dipelajari secara teratur. Ajaran Aristoteles sendiri, terutama ilmu logika,

hingga sekarang masih menjadi conto-contoh filsafat klasik yang dikagumi

dan diperguanakan.

walaupun pembagian yang satu tidak sama dengan pembagian ahli-

ahli lainnya, kita melihat lebih banyak persamaan dari pada perbedaan.

Dari pandangan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa filsafat dalam

coraknya yang baru ini mepunyai beberapa cabang, yaitu matefisika,

logika, etika, estetika, epistemology, dan silsafat-filsafat khusus lainnya.

a. Matefisika : filsafat tentang hakikat yang ada dibalik fisika, hakikat

yang bersifat transenden, diluar jangkauan pengalaman manusia.

b. Logika : filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.


c. Etika : filsafat tentang perilaku yang baik dan buruk.

d. Estetika : filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelak.

e. Epistemollogi : Filsafat tentang ilmu pengetahuan.

f. Filsafat-filsafat khusus lainnya : filsafat agama, filsafat manusia,

filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan

sebagainya.

Seperti telah dikatakan, ilmu filsafat itu sangat luas lapangan

pembahasannya. Yang ditujunya ialah mencari hakikat kebenaran dari

segala sesuatu, baik dalam kebenaran berfikir (logika), berperilaku (etika),

maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (matematika). Matra

persoalannya menjadi apakah sesuatu itu hakiki (Asli) atau palsu ( maya).

Dari tinjauan diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam tiap-

tiap pembagian sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini lapangan-

lapangan yang paling uatama dalam ilmu filsafat selalu berputar disekita

logika, matefisika, dan etika.

2. Kegunaan Filsafat

Menurut Horold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha untuk memahami

alam semesta, maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah control,

dan tujuan seni adalah kreatifitas, kesempurnaan, bentuk keindahan

komunikasi dan kebijaksanaan (understanding and wisdom)

Dr. Qemar A. Hosein mengatakan : Ilmu member kepada kita

pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan


kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang

tersusuntertib, akan kebenaran.

S. Takdir Alisyahbana menulis dalam bukunya : Pembibing ke filsafat.

Matefisika, filsafat itu memberikan ketenangan pikiran-pikiran dan

kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Dalam tujuannya yang

tunggal (yaitu kebenaran) itulah letaknya kebenaran, kemuliaan, malahan

bangsawan filsafat diantara kerja, manusia, yang lain. Kebenaran dalam

arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya bafinya, itulah tujuan yang

tertinggi dan satu-satunya. Bagi manusia, berfilsafat itu berarti mengatur

hidup seinsyaf-insyafnya, senetral-netralnya dengan perasaan

tanggungjawab, yakni tanggungjawab terhadap dasar hidup yang sedalam-

dalamnya, baik Tuhan, alam, ataupun kebenaran.

Randhakrishnan dalam bukunya, History of Philoshopy menyebutkan

Tugas filsafat bukannya sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita

hadapi, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif,

menerapkan nilai, menerapkan tujuan menentukan arah dan menuntun

pada jalan baru. Filsafat hendaknya menghilhamkan keyakinan kepada kita

untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan

penggolongan-golongan berdasarkan nation , ras dan keyakinan

keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada

artinya ini sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya

maupun dalam semangatnya.


Stusi filsafat harus membantu orang-orang untuk membagun yakinan

keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat

mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal saja kepercayaan

tersebut tidak tergantung kepada konsepsi, yang prailmiah, yang usang,

yang sempit, dan yang dogmatis. Urusan (concerns)utama agama adalah

harmoni, pengaturan, ikatan pengabdian, kedamaian, kejujuran,

pembebasan, dan Tuhan.

berbeda dengan pendapat Soemadi Suryabrata, yaitu pembelajaran filsafat

adalah memperajamkan pikiran maka H. De Vos berpendapat bahwa

filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus diletakkan dalam

kehidupan sehari-hari. Orang mengharapkan bahawa filsafat akan

memberikan kepadanya dasar-dasar pengetahuan, yang dibutuhkan untuk

hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus

hidup agar dapat menjadi manusia yang baik dan bahagia.

dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari

hakikat kebenaran sesuatu, baik dlam logika (kebenaran berfikir), etika

(berperilaku), maupun matefika (hakikat keaslian).

Sekarang ada pertanyaan : Apa faedahnya mempelajari filsafat? Atau

dengan kata lain : Apa manfaatnya mempelajari filsaat?

Manfata mepelajari filsafat ada bermacam-macam. namun sekurang-

kurangnya ada 4 macam faedah, yaitu :


a. Agar terlatih berfikir serius

b. Agar mampu memahami filsafat

c. Agar mungkin menjadi ahli filsafat

d. Agar menjadi warga negara yang baik

Berfilsafat ialah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu

dengan menggunakan pemikiran secara serius. Kemampuan berfikir

serius diperlukan oleh orang biasa, penting bagi orang-orang biasa,

penting bagi orang-orang penting yang memegang posisi penting salam

membngun dunia. Plato menghendaki kepala negara seharusnya filsuf.

Kemampuan berfikir serius itu, mendalam adalah salah satu cirrinya, tidak

akan dimiliki tanpa melalui latihan. Belajar filsafat merupakan salah satu

bentuk latihan untuk memperoleh kemampuan berfikir serius.

Kemampuan ini akan memberikan kemampuan memecahkan masalah

secara serius, menemukan akar persoalan yang terdalam, menemukan

sebab, terkahir satu penampakan.

Meskipun isi filsafat tidak perlu bagi setiap orang. Akan tetapi, orang-

orang ingin berpatisipasi di dalam membangun dunia perlu mengetahui

ajaran-ajaran filsafat. Mengapa ? Sudah disebut sebelum ini, dunia

dibentuk oleh dua kekuatan : agama dan atau filsafat. Jika kita tahu

filsafatnya, kita akan tahu tentang manusianya. Yang dimiliki oleh

manusia dan filsafat. Filsafat itu sendiri adalah bagian penting atau inti

kebudayaan.
Dengan uraian di atas jelasnya bagi kita bahwa sevara konkret manfaat

mempelajari filsafat adalah :

a. Filsafat menolong mendidik, membangun diri kita sendiri: dengan

berfikir lebih mendalam, kita mengalami dan menyadari kerohanian

kita. Rahasia hidup yang kita selidiki justru memaksa kita berfikir,

untuk hidup dengan sesadar-sadarnya, dan memberikan isi kepada

hidup kita sendiri.

b. Filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan

memecahkan persoalan-persoalan dalah hidup sehari-hari. Orang

yang hidup secara dangkal saja, tidak mudah melihat persoalan-

persoalan, apalagi melihat pemecahannya. Dalam filsafat kita dilatih

melihat lalu apa yang menjadi persoalan, dan ini merupakan syarat

mutlak untuk memecahkannya.

c. Filsafat memberikan pandangan yang luas, membendung akuisme dan

akusemtrisme (dalam sgala hal hanya melihat dan mementingkan

kepentingan dan kesenangan si aku).

d. Filsafat merupakan latihan untuk berfikir sendiri, hingga kita tak

hanya ikut-ikutan saja, membuntut pada pandangan umum, percaya

akan setiap semboyan dalam surat-surat kabar, tetapi secara kritis

menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai pendapat

sendiri, berdiri sendiri, dengan cita-cita mencari kebenaran.

e. Filsafat memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri

(terutama dalam etika( maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan lainnya,

seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebaginya.


Ditengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai

semakin menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat ilmu sangat

diperlukan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, para ilmuwan akan

menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap ke dalam sikap

arogansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap keterbukaan

diri di kalangan ilmuwan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan

mengarahkan seluruh potensi yang dimilikinya untuk kepentingan imat

manusia.

Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat

ilmu secara umum mengandung manfaat sebagai berikut.

a. Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga

orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya seorang

ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri,

sehingga dapat menghindari diri dari sikap solipsistic, yakni

mengnggap hanya pendapatnya yang paling benar.

b. Filsafta ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik

asumsi dan metode keilmuwan. sebab kecenderungan yang terjadi di

kalangan para ilmuwan menerapkan suatu metode ilmiah tanpa

memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang

diperlukan di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai

dengan struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya.

c. Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode

keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat


dipertanggungjawabkan secara logis-rasional, agar dapat dipahami

dan dipergunakan secara umum.

Implikasi mempelajari filsafat ilmu seperti yang diuraikan Rizal

Mustansyir, dkk., (2001) adalah sebagai berikut.

a. Bagi seseorang yang mempelajari filsafat ilmu diperlukan

pengetahuan dasar yang memadai tentang ilmu,baik ilmu alam

maupun ilmu sosial, supaya para ilmuwan memiliki landasan berpikir

bijak yang kuat. Ini berarti ilmuwan sosial perlu mempelajari ilmu-

ilmu kealaman secara garis besar, demikian pula seorang ilmu

kealaman perlu memahami dan mengetahui secara garis besar tentang

ilmu-ilmu sosial. Denagn demikian antara ilmu yang satu dengan

lainnya saling menyapa, bahkan dimungkinkan terjalinnya kerja sama

yang harmonis untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusian.

b. Menyadarkan seorang ilmuwan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir

“menara gading”, yakni hanya berfikir murni dalam bidangnya tanpa

mengaitkannya dengan kenyataan yang ada di luar dirinya. Padahal

setiap aktivitas keilmuwan nyaris tidak dapat dilepaskan dari konteks

kehidupan sosial kemsyarakatan.

E. RUANG LINGKUP FILSAFAT

Kita telah mengetahui bahwa filsafat merupakan induk dari segala ilmu

yang mencangkup ilmu – ilmu khusus. Tetapi dalam perkembangan

berikutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri sari

induknya yakni filsafat.


Dalam sejarah ilmu yang mula-mula melepaskan diri dari filsafat. Adalah

matematika dan fisika. Ini terjadi pada zaman Renaissance (abad XVI M).

Kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lainnya untuk memisahkan diri dari

induknya. Psikologi menjadi ilmu yang terlepas dari filsafat pada masa

belakangan ini saja. Bahkan sampai sekarang masih ada beberapa

institute, yang mengaitkan psikologi dengan filsafat.

NAmun karena filsafat sebagai induk dari ilmu-ilmu lainnya, pengaruhnya

sampai saat ini masih terasa. Seperti orang yang memperoleh doctor

dalam ilmu fisika, psikologi, dan sebagainya, diberi gelar Ph.D (Docktor

of Philosopy). Padahal Ph.D seharusnya hanya digunakan untuk materi

filsafat saja.

Setelah filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata filsafat tidak

mati tetapi hidup dengan corak tersendiri, yakni sebagai ilmu yang

memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.

Yang menjadi pertanyaan adalah : apa saja yang masih merupakan bagian

dari filsafat dalam corak yang tersendiri ini? Dari persoalan inilah

membawa kita kepada pembicaraan tentang cabang-cabang filsafat. Bagi

ahli filsafat biasanya mempunyai pembagian yang berbeda-beda.

Sebagaimana pendapat mereka dibawah ini :

1. Prof. Alburey Castel, membagi masalah-masalah filsafat kepada lima

bagian:

a. Theological Problem (Masalah Teologis);

b. Metaphisical Problem (Problem Metafisika);

c. Eoistecal Problem (Masalah Etika);


d. Political Problem (Masalah Politik);

e. Historical Problem (Masalah Sejarah).

2. Dr. M.J Langeveld menyatakan bahwa filsafat dapat diberikan sebagai

satu kesatuan yang terdiri dari tiga lingkungan masalah :

a. Lingkungan masalah-masalah keadaan (seperti metafisika manusia,

alam, dan seterusnya).

b. Lingkungan masalah-masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori

pengetahuan, dan logika).

c. Lingkungan masalah-masalah nilai (teori nilai, etika, estetika dan

nilai yang berdasarkan agama).

3. H. De Vos menggolongkan filsafat sebagai berikut :

a. Metafisika

b. Logika

c. Ajaran tentang ilmu pengetahuan

d. Filsafat Alam

e. Filsafat Kebudayaan

f. Filsafat Sejarah

g. Filsafat Etika

h. Aestika, dan

i. Antripologi.

4. Dr. Richrad H. pophin dan dr. Avrum Astroll membahas filsafat

dengan membagi menjadi tujuh bagian (section), yaitu :

a. Section I Ethies (Etika)

b. Section II Political Philossophy (Filsafat Politik)


c. Section III Metaphisics (Metafisika)

d. Section IV Philosophy of Religion (Filsafat Agama),

e. Section V Thery of Knowledge (Teori Pengetahuan),

f. Section VI Logics (Logika),

g. Section VII Contempory Philosophy(Filsafat Kontemporer)

Demikian pembagian filsafat yang dilakukan oleh para, ahli pada dewasa

ini. Kemudian sebagai bahan perbandingan kami petikkan beberapa ahli

filsafat, bahkan sebagai tokohnya dalam membagi filsafat sebagai cakupan

pemebahasannya yaitu :

1. Al – Kindi (wafat 893 M), ahli pikir pertama dalam filsafat Islam

membagi filsafat dalam tiga lapangan :

a. Ilmu fisika, merupakan tingkatan yang terendah.

b. Ilmu matematika, tingkatan tengah.

c. Ilmu Ketuhanan, tingkat tertinggi.

2. Al – Farabi (870 -850M), filsuf Scholastik, pengulas Aristoteles. Ia

membagi filsafat ke dalam dua lapagan:

a. Filsafat teori (Al – Falsafah An NadzariiyahI), mengetahui sesuatu

yang ada dengan tanpa tuntutan pengalaman. Lapangan ini

meliputi : Ilmu Matematika, Ilmu Fisika, dan Ilmu Metafisika.

b. Filsafat Praktik (Al – Falsafah Al – Amaliyah), mengetahui sesuatu

dengan keharusan melakukan dengan moral dan melahirkan tenaga

untuk melakukan bagian-bagiannya yang baik. Seperti ilmu

akhlak, ilmu politik dan ilmu mantik (logika).


3. Ibnu sina |(980-1037M), seorang dokter, ahli kimi adan filsuf besar

dalam islam, membagi filsafat kedalam dua bagian, yaitu :

a. Filsafat teori dan

b. Filsafat praktik

Kedua filsafat itu dihubungkan dengan Tuhan. Dasarnya diambil dari

syariat Tuhan dan kelengkapannya diperoleh dengan tenaga akal.

4. Aristoteles, mengadakan pembagian secara konkret dan sistematis

menjadi empat cabang, yaitu :

a. Logika, ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.

b. Filsafat teoritis. Cabang ini mencangkup :

1) Ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata.

2) Ilmu matematika yang mempersoalkan benda-benda alam

dalam kuantitasnya.

3) Ilmu metafisika yang mempersoalkan tentang hakikat segala

sesuatu. Ini adalah yang paling utama dari filsafat.

c. Filsafat praktis. Cabang ini mencangkup :

1) Ilmu etika, yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam

hidup perseorangan.

2) Ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran

dalam keluarga (rumah tangga)

3) Ilmu politik yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam

negara.

d. Filsafat Poetika (Kesenian)


Pembagian Aristoteles ini merupakan permulaan yang baik sekali bagi

perkembangan pelajaran filsafat sebagai suatu ilmu yang dapat

dipelajari secara teratur. Ajaran Aristoteles sendiri terutama logika

hingga sekarang measih menjadi contoh – contoh filsafat klasik yang

dikagumi dan dipergunakan.

Dari pembagian yang dilakukan oleh para ahli filsafat itu, baik para

ahli sebelum zaman Renaissance maupun sesudahnya mempunyai

cirri-ciri yang sama, meski ada beberapa perbedaan namun apabila

diteliti akan kita dapati lebih banyak persamaannya. Dari pandangan

para ahli tersebut, terutam sesudah zaman Renaissance dapatlah

disimpulkan bahwa filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai

beberapa cabang, yaitu : Metafisika, Logika, Etika, Estetika,

Epistomologi, Politik dan filsafat-filsafat khusus lainnya.

1) Matefisika : filsafat tentang hakikat yang ada dibalik fisika, hakikat

yang bersifat transenden, diluar jangkauan pengalaman manusia.

2) Logika : filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.

3) Etika : filsafat tentang perilaku yang baik dan buruk.

4) Estetika : filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelak.

5) Epistemollogi : Filsafat tentang ilmu pengetahuan.

6) Politik, filsafat tentang al-hal yang berkaitan dengan undang-

undang atau negara.


7) Filsafat-filsafat khusus lainnya adalah seperti : filsafat sejarah,

filsafat hukum, filsafat teologi atau agama, filsafat ekonomi,

filsafat manusia, filsafat alam dan filsafat-filsafat lainnya.

Sebagaimana dikatakan bahwa bahasan filsafat sangat luas

cakupannya. Poin yang utama ditujunya adalah mencari hakikat

kebenaran segala sesuatu. Baik dalam kebenaran berfikir (logika),

kebenaran tingkah laku (etika) maupun dalam mencari hakikat sesuatu

yang ada dibalik alam nyata (metafisika), sehingga persoalannya

adalah apakah sesuatu itu hakiki (benar) atau maya (palsu).

Apabila disimak dari pendapat para ahli diatas, maka dapatlah kita

simpulkan bahwa pembagian filsafat sejak zaman Aristoteles hingga

dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam filsafat

senantiasa berputar sekita logika, etika dan metafisika. Sedangkan

cabang-cabang filsafat lainny antara para ahli dari yang satu dengan

yang lainnya saling berbeda-beda dalam cakupan pembhasannya.

Pembagian filsafat berdasar pada strutur pengetahuan filsafat yang

berkembang sekarang ini, terbagi menjadi 3 bidang, yaitu filsafat

sistematis, filsafat khusus, dan filsafat keilmuan.

1. Filsafat sistematis, terdari dari :

a. Metafisika

b. Epistemologi

c. Metodologi
d. Logika

e. Etika

f. Estetika

2. Filsafat khusus, terdiri dari :

a. Filsafat Seni

b. Filsafat Kebudayaan

c. Filsafat Pendidikan

d. Filsafat Sejarah

e. Filsafat Bahasa

f. Filsafat Hukum

g. Filsafat Budi

h. Filsafat Politik

i. Filsafat Agama

j. Filsafat Kehidupan

k. Filsafat Nilai

3. Filsafat Keilmuan, terdiri dari :

a. Filsafat Matematika

b. Filsafat Ilmu – ilmu Fisik

c. FilsafatBiologi

d. Filsafat Linguistik

e. FilsafatPsikologi

f. Filsafat Ilmu-ilmu sosial

Penyusunan menurut struktur secara menyeluruh dalam bidang

filsafat ini oleh The Liang Gie diharapkan akan membantu dalam
rangka menyusun kurikulum dan pengajaran filsafat pada pendidikan

tinggi di Indonesia, agar dalam studi filsafat para lulusannya memiliki

pengetahuan sesuai dengan pengembangan zaman.

Dalam studi filsafat untuk memhaminya secara baik paling tidak kita

harus mempelajari 5 bidang pokok, yaitu :Metafisika, Epistemologi,

Logika, Etika dan Sejarah Filsafat.

1. METAFISIKA

Metafisika merupakan cabang filsafat yang memuat suatu bagian dari

persoalan filsafat yang :

a. Membicarakan tentang prinsip-prinsip yang paling universal.

b. Membicarakan sesuatu yang bersifat keluarbiasaan (beyond

nature).

c. Membicarakan karakteristik hal-hal yang sangat mendasar, yang

berada di luar pengalaman manusia (immediate experience).

d. Berupaya menyajikan suatu pandangan yang komprehensif tentang

segala sesuatu.

e. Membicarakan persoalan-persoalan seperti : hubungan akal

dengan benda, hakikat perubahan, pengertian tentang

kemerdekaan, wujud Tuhan, kehidupan setelah mati dan lainnya.

Metafisika ini suatu cabang filsafat yang paling sulit dipahami

terutama bagi pemuda belajar filsafat. Pada umumnya filsafat

kontemporer yang orientasinya pada pengetahuan ilmiah, terdapat

metafisika lebih skeptic.


2. EPISTEMOLOGI

Epistemologi lazimnya disebut teori pengetahuan yang secara umum

membocarakan mengenai sumber-sumber, karakteristik dan kebenaran

pengetahuan. Persoalan epistemology (teori pengetahuan) berkaitan

erat dengan persoalan metafisika. Bedanya, persoalan epistemology

berpusat pada : apakah yang ada yang di dalamnya memuat :

a. Problem asal pengetahuan (origin)

b. Apakah sumber-sumber pengetahuan ?

c. Dari mana pengetahuan yang benar, dan bagaimana kita dapat

mengetahui?

d. Problem penampilan (appearance)

e. Apakah yang menjadi karakteristik pengetahuan ?

f. Apakah dunia rill di luar akal, apabila ada dapatkah diketahui ?

g. Problem mencoba kebenaran (verification)

h. Bagaimana membedakan antara kebenaran dan kekeliruan?

3. LOGIKA

Logika adalah bidang pengetahuan yang memepelajari segenap asas,

aturan, dan tata cara penalaran yang betul (correct reasoning).

Pada mulanya logika sebagai penegtahuan rasional (episteme). Oleh

Aristoteles logika disebutnya sebagai analitika, yang kemudian

dikembangkan oleh para ahli Abad Tengah yang disebut tradisonal.


Mulai akhir abad ke-19, oleh George Boole logika tradisional

dikembangkan menjadi logika modern, sehingga dewasa ini logika

telah menjadi bidang pengetahuan yang amat luas yang tidak lagi

semata-mata bersifat filsafati, tetapi bercorak teknis dan ilmiah.

Logika modern saat ini berkembang menjadi logika perlambang,

logika kewajiban, logika ganda-nilai, logika intuisionistik, dan

berbagai sistem logika tidak baku.

4. ETIKA

Etika atau filsafat perilaku sebagai satu cabang filsafat yang

membicarakan tindakan manusia, dengan penekanan yang baik dan

yang buruk. Terdapat dua hal permasalahan, yaitu yang menyangkut

tindakan maka etika disebut sebagai filsafat praktis; sedangkan jatuh

pada baik-buruk maka etika disebut filsafat normative.

Dalam pemahaman etika sebagai pengetahuan mengenai norma baik-

buruk dalam tindakan mempunyai persoalan yang luas. Etika yang

demikian ini mempersoalkan tindakan manusia yang dianggap baik

yang harus dijalankan, dibedakan tindakan buruk – jahat yang

dianggap tidak manusiawi. Sejalan dengan ini, etika berbeda dengan

agama yang didalmnya juga memuat dan memberikan norma baik

buruk dalam tindakan manusia. Karena, etika mengandalkan pada

rasio semata yang lepas dari sumber wahyu agama yang dijadikan

sumber ilahi, dan etika lebih cenderung bersifat analitis daripada

praktis. Sehingga etika adalah ilmu yang berkerja secara rasional.


Sementara dari kalangan non filsafat, etika sering digunakan sebagai

pola bertindak praktis (etika profesi), misalnya bagaimana

menjalankan bisnis yang bermoral (dalam etika bisnis).

5. SEJARAH FILSAFAT

Sejarah filsafat adalah laporan peristiwa yang berkaitan dengan

pemikiran filsafat. Biasanya sejarah filsafat ini memuat berbagai

pemikiran filsafat (yang beraneka ragam) mulai dari zaman pra-

Yunani hingga zaman modern. Juga, dengan mengetahui pemikiran

filsafat para ahli pikir (filsuf) ini akan didapat berbagai ragam

pemikiran dari dahulu hingga sekarang. Dalam sejarah filsafat akan

diketahui pemikiran-pemikiran yang genius hingga pemikiran tersebut

dapat mengubah dunia, yaitu dengan ide-ide atau gagasan-gagasannya

yang cemerlang.

Menurut The Liang Gie (2000), bahwa lingkup filsafat ilmu dari para

filsuf dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Peter Angeles

Menurut filsuf ini, filsafat ilmu mempunyai empat bidang

konsentrasi yang utama :

a. Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan metode

ilmu, berikut analisis, perluasan, dan penyusunannya untuk

memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cepat.


b. Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam

ilmu berikut struktur perlambangannya.

c. Telaah mengenai saling kaitan diantara berbagai ilmu.

d. Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-

hal yang berkaitan dengan penyerapan dan pemahaman

manusia terhadap realitas, identitas teoretis, sumber dan

keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan.

2. Cornelius Benjamin

Filsuf ini membagi pokok soal filsafat ilmu dalam tiga bidang

berikut,

a. Telaah mengenai metode ilmu, lambang ilmiah, dan struktur

logis dari sistem perlambangan ilmiah. Telaah ini banyak

menyangkut logika dan teori pengetahuan, dan teori umum

tentang tanda.

b. Pejelasan mengenai konsep dasar, praanggapan, dan pangkal

pendirian ilmu, berikut landasan-landasan empiris, rasional,

atau pragmatis yang menjadi tempat tumpuannya. Segi ini

dalam banyak hal berkaitan dengan metafisika, karena

mencakup telaah terhadap berbagai keyakinan mengenai dunia

kenyataan, keseragaman alam, dan rasional dari proses

alamiah.

c. Aneka telaah menganai saling kait dinatara berbagai ilmu dan

implikasinya bagi suatu teori alam semesta seperti misalnya,

idealism, meterialisme, atau pluralism.


3. Marx Wartofsky

Menurut filsuf ini rentangan luas dari soal-soal intersisipliner

dalam filsafat ilmu meliputi :

a. perenungan menganai konsep dasar struktur formal, dan

metodologi ilmu

b. Persoalan-persoalan ontology dan epistemology yang khas

bersifat filsafati dengan pembahasan yang memadukan

peralatan analitis dari logika modern dan model konseptual

dari penyelidikan ilmiah.

4. Ernest Nagel

Dari hasil penyelidikan filsuf ini menyimpulkan bahwa filsafat

ilmu mencakup tiga bidang luas :

a. Pola logis yang ditunjukkan oleh penjelasan dalam ilmu

b. Pembuktian konsep ilmiah

c. Pembuktian keabsahan kesimpulan ilmiah


BAB II

FILSAFAT, PENGETAHUAN DAN ILMU

A. SUMBER FILSAFAT

Di dunia Barat yang mula-mula berfilsafat adalah orang-orang Yunani.

Apa yang menggerakkan mereka berfilsafat? Plato mengatakan bahwa

filsafat mulai dengan ketakjuban, dengan keheranan. Hanya manusia yang

dapat takjub, yang jadi subjek. Keheranan menyatakan diri dalam

pertanyaan yang menyatakan itu adalah manusia. Yang ditanyakan segala

sesuatuyang dihadapinya yang belum jelas. Maksud pertanyaan:

menjelaskan kenyataan untuk memperoleh kebenaran. MEngingini

kebenaran adalah gerak asli pikiran manusia.

Berbicara tentang ketakjuban, kanak-kanaklah yang hidup dengan

keheranan dengan mengajukan bermacam pertanyaan kepada ibunya,

ayahnya, neneknya, kakaknya, dan lain-lain. Kenapa matahari tiap pagi

terbit dan tiap malam hilang? Kenapa temannya, yang kemarin masih

main-main dengan gembira dengan dia, sekarang mati? Apa itu mati?

Kenapa berbohong itu berdosa? Kenapa bapak si Ali jahat? Kenapa induk

ayam itu sayang kepada anaknya, seperti ibunya sayang kepadanya?

Pertanyaan itu tidak habis-habisnya. Banyak yang tidak terjawab oleh

orang tuanya. Untuk menutupi ketaktahuan, si orang tua memarahi si

anak, karena katanya bertanya yang tidak-tidak.

Sikap keheranan kanak-kanak itu tidak b anyak bedanya dengan sikap

filsuf. Juga bentuk pertanyaan tidak banyak beda. Matahari terbit dan
terbenam teratur. Tenaga apa yang mengatur itu? Hukum alam! Apa itu

hukum alam?Kenapa makhluk hidup itu mesti mati! Apa itu hidup, apa itu

mati? Kenapa agama menghukum kebohongan dengan dosa, sedangkan

kaum politik dan kaum komunis tidak memandang dosa? Kenapa

seseorang itu jahat? Karena bakat, pendidikan atau lingkungannya.

Siapakah yang menentukan itu semua? Apakah mansuai itu sendiri yang

menentukan, atau tenaga di luar manusia? Kenapa hewan mempunyai

naluri?

Perbedaan anak-anak dan filsuf adalah dalam reaksi keheranan itu. Anak-

anak sekadar ingin mendapat jawaban dari lingkungan atas pertanyaanya.

Kalau pertanyaan tidak terjawab atau kalau ibunya marah atas

pertanyaannya, ia tidak akan dilanjutkan. Tetapi filsuf ingin mencari

jawaban itu sendiri, karena jawaban yang sudah ada disangsikannya. Patric

mengatakan :

“Manakala kebenaran mereka menjadi sungguh-sungguh dan

penyelidikan menjadi sistematis, mereka menjadi filsuf”

Di antara yang ada diapakah yang bertanya? Benda, tanaman dan hewan

terlalu kurang untuk bertanya. Tuhan terlalu sempurna untuk bertanya.

Hanya manusialah yang tukang Tanya. Ada-ada saja yang ditanyakannya.

Manusia selalu berada dalam suasana untuk melahirkan pertanyaan.

Secara umut pertanyaan itu dijawab oleh pengtahuan indra. Secara khusus

oleh ilmu. Secara terkhusus lagi oleh filsafat.

Dalam tiap ruang dan waktu ada pertanyaan-pertanyaan yang minta

dijawab oleh filsafat. Maka sejarah filsafat menghidangkan kepada kita


jawaban yang berbeda-beda atas pertanyaan itu ke itu juga. Apa itu

manusia? Apa itu alam? Apa itu hukum? Apa itu hidup? Apa maksud dan

tujuannya? Siapa yang menentukan nasib? Siapakah Tuhan itu? Apa guna

suatu perkara? Berapa nilainya? Apa hakikatnya? Bagaimana yang

semestinya? Apa yang terlarang?

Filsafat sesungguhnya adalah tafsirankenyataan. Manusia dalam tiap

kurun dan di negegri masing-masing menghadapi kenyataan-kenyataan

pokok yang sama yang dibentuk oleh kemanusiaan. Disamping perbedaan

lahir manusia, ada persamaan batin, yakni tabiat ali. Tabiat itu milik tiap

manusia, membentuk kemanusiaan, menghadapi soal-soal yang sama.

Maka filsafat memberikan interpretasi atas soal-soal itu, yang membentuk

pandangan dunia dan sikap hidup serta tujuan hidup.

Keheranan membentur jalan pikiran. Pertanyaan menghentikan gerak

pikir. Jalan pikiran menjadi terhalang. Yang membentur jalan pikiran

itulah yang disebut oleh orang Yunani dengan proballomai,yangmenjadi

problem dalam bahasa Inggris, diindonesianisasi dengan problema. Dalam

bahasa Indonesia kita temukan kata masalah, yang dipandang ekuivalen

dengan problema. Hanya manusia yang menghadapi problema, karena

kenyataan tidak jelas. Maka timbul pertanyaan. Pertanyaan ini dijawab.

Terhadap jawaban itu waktu lain atau ruang lain diajukan lagi pertanyaan.

Pertanyaan ini dijawab. Jawaban ini dinyatakan lagi. Demiakianlah

seterusnya sejarah filsafat dan sejarah ilmu dalam geraknya mencari

kebenaran.
Pertanyaan itu menjadi hak manusia dankewajiban manusia. Manakala

hak itu tidak dipergunakannya atau kewajiban itu itu tidak dijalankannya,

dan dari Tuhan ialah pertanyaan.

Karena yang membedakan manusia dari benda, tanaman dan hewan, dan

dari Tuhan ialah pertanyaan ini.

Mereka yang menjawab pertanyaan dengan jawaban yang sudah tersedia

(warisan, tradisi, anggapan umum, pengetahuan yang dipelajari) tidak

menghadapi masalah. Filsuf yang menhayati masalah gelisah berpikir,

karena gerak pikir itu menempuh jalan petualangan. Tetapi ia adalah

pemberani, karena denagn sadar menerjunkan pemikirannya ke dalam

avontur.

Apabila kita menanyakan tentang sesuatu, tandanya kita telah mengetahui

sedikit tentang itu. Orang tidak mengetahui sama sekali tentang sesuatu

itu, tidak mungkin merumuskan pertanyaan. Berapa jumlah watt yang

diperlukan untuk menghidupkan televise? Tanda kita telah mengetahui

sedikit tentang televise. Manusia di zaman batu tidak akan mungkin

melakukan pertanyaan itu.

Karena itu, tujuan pertanyaan ialah penjelasan tentang sesuatu yang telah

diketahui dengan samar-samar. Di samping itu pertanyaan diajukan,

manakala oaring mau atau percaya akan menemukan jawabannya. Kalau

kita tidak percaya akan dapat menemukannya, pertanyaan itu tidak ada

gunanya. Sia-sia bukan? karena itu dalam ajaran islam dilarang orang

menanyakan bentuk atau rupa Tuhan, karena dipercayai jawabannya tidak

akan mungkin ditemukan.


Kalau di zaman purba filsafat mulai dengan keheranan, maka di zaman

modern, mulai dengan Descartes, ia bisanya mulai dengan kesangsian.

Apes yang dikatakan sangsi, atau bimbang, atau ragu? Sutan Takdir

Alisjahbana mengatakan, bahwa sangsi itu adik dari tidak eprcaya.

Kedudukan kesangsian adalah antara dan tidak percaya.

Ada tiga sikap pikiran manusia dalam menghadapi segala sesuatu. Yang

pertama ia percaya, kedua ia tidak percaya, ketiga ia sangsi. Pada sikap

yang pertama dan kedua pikiran itu tidak bekerja. Kalau kita percaya pada

sesuatu atau tidak percaya, maka kita tidak berpikir. Bila orang mulai

berpikir? Kalau ia percaya tidak dan tidak percaya pun tidak. Maka ia

berpikir untuk sampai kepada kepercayaan atau tidak percaya. Ketika ini

dicapai, berhentilah ia berpikir.

Kesangsian juga mneyatakan diri dalam bentuk pertanyaan. Apakah benar

hujan itu berasal dari atas? Benarkah persenyawaan H dan O itu

disebabkan hukum alam? Apakah hukum alam itu hanya merupakan sifat

ataukah ketentuan Tuhan? Selama ada tanda tanya dalam pikiranjalnnya

terbentur. Maka bekerjalah pikiran untuk melenyapkan tanda tanya.

Ketika tanda tanya lenyap, pikiran sampai ketempat pemberhentian yang

berbentuk percaya atau tidak percaya.

Kata yang berasal dari bahasa asing untuk sangsi ialah skeptic (skeptic).

Dari kata itu terbentuk istilah yang menunjuk pengertian paham, yakni

skeptisisme, berarti:

1. Selama orang tidak dengan kritis membahas anggapan-anggapannya,

bertolak dari pengingkaran kebenaran, karena ini memberikan nilai


yang sama kepada semua pendapat, jadi mengingkari secara dagmatis

(seperti, kaum Sufis dalam kurun plato)

2. Cenderung untuk kritik; kritik adalah tidak memberikan nilai yang

sama pada semua pendapat, ia memisahkan yang benar dari yang tidak

benar dalam pendapat; percaya bahwa yang satu lebih baik dari pada

yang lain, merupakan tahap sebelum mencapai kebenaran.

Dalam filsafat lama skeptisisme marupakan aliran filsafat, dalam filsafat

modern ia merupakan sumber atau pangkal filsafat. Kesangsian yang

radikal yang dianut oleh kaum skeptic dahulu menolak kebenaran.

Kesemuanya ini adalah mimpi, maya, tipuan, keduastaan pikiran atau

panca indra belaka, kata mereka.

Zeno membuktikan betapa gerak itu sesungguhnya tidak ada. Gerak tidak

lain tipuan pandangan kita. Gerak itu sesungguhnya diam. Apa yang

dikatakan diam? Apabila suatu benda pada suatu waktu berada disuatu

tempat, dikatakanlah ia diam. Sebuah bola kita gulingkan kedinding.

Waktu yang dipakai untuk sampai kedinding ½ menit. Seperseratus menit

yang pertama ia ada pada suatu tempat, seperseratus menit yang kedua

ditemapt lain, demikianlah seterusnya sampai didinding. Jadi, pada tiap

waktu ia ada pada satu tempat. Karena bola itu pada tiap waktu berada

pada suatu tempat berartilah bahwa bola itu diam. Maka gerak sama

dengan diam. Ternyata manusia tidak logis berfikir.

Patagoras mendalilkan : Manusialah ukuran segala sesuatu. Tangkapan

pancaindra manusia berubah-ubah, pikirannya dan pandangannya berbeda-


beda. Masing-masing menyatakan dialah yang benar. Maka kebenaran

yang satu berbeda dengan kebenaran yang lain, yang bertantangan dengan

yang itu. Diantara kebenaran yang banyak itu manakah sesungguhnya

yang benar. maka kaum Sufis, terutama Potagorasdan Gorgias sangsi akan

kebenaran.

Pascal menyangsikan, bahwa manusia akan dapat mengetahui apa

sebenarnya dunia itu. Manusia itu sendiri masih merupakan teka-teki,

marupakan rahasia bagi dirinya sendiri, yang tidak mungkin terkaji

olehnya. “ Masakan itu dapat mengaji dunia?” tanya Pascal.

Puncak paham keangsingan itu kurun Yunani kita temui pada Pyrho dan

pengikut-pengikutnya. Mereka disebut kaum skeptic. Dasar berpijak

skpetitisme Pyrho untuk mengingkari pendapat yang pasti, terkenal

dengan sepuluh ungakapan semu (tropen) yang disusun oleh Pyrho

sendiri:

1. Objek yang sama menimbulkan pada berbagai subjek kesan dan

tanggapan pancaindera yang berbeda beda.

2. Manusia berbeda rohaniah dan jasmaniah, sehingga objek itu

menyatakan diri berbeda-beda yang seorang dari pada orang lain.

3. Berbagai pacaindra kadang-kadang menimbulkan tanggapan berbeda,

bahkan pancaindra yang satu, bergantung pada keadaan, bahkan

pancaindra yang satu, bergantung pada keadaan yang lain (missal: gyla

itu putih kata mata, manis kata lidah. Mana yangbenar? Kalau

keduanya benar, bukankah kebenaran itu hanya satu?)


4. KEsan kita atas objek dipengaruhi oleh keadaan rohaniah dan

jasmaniah yang berbeda-beda (missal: kopi yang saya minum tiap pagi

saya rasa manis, menjadi pahit ketika saya sakit).

5. Kesan atas otak bergantung pada tempatnya dari kita (missal: rel kereta

aoi yang sejajar, kelihatannya bertemu di batas pemandangan, dari jauh

barang itu kecil dan kabur).

6. Kesan sampai kepada kita melalui saluran (pengaruh udara, cahaya,

dan warna). (Misal: fatamorgana adalah permainan udara dan cahaya

saja).

7. Sifat objek tidak tetap, bergantung pada ukuran, suhu, gerak,

kecepatan, warna atau bertukar dengan ini semua.

8. Kesan objek berbeda-beda, bergantung pada segar atau sudah lama,

biasa atau luas biasanya (Misalnya : ketika ayah meninggal saya

menangis; sekarang ketika ingat akan kematian itu saya tidak merasa

apa-apa lagi; hilang karena biasa).

9. Sifat objek hanya relasi yang satu dengan yang lain, ia dapat bertukar

saban waktu (missal: yang tuan tunjuk sebagai sebelah kiri, bagi saya

sebelah kanan; yang bagi kaum komunitas baik, bagi kaum agama

jahat).

10. Kebiasaan, hukum, tanggapan agama dan anggapan berbagai orang

dan bangsa berbeda-bedam sehingga kebenaran dan ketepatan tentang

segala sesuatu tidak dapat dikatakan.

Dengan dalil-dalil Pyrho dan pengikut-pengikutnya menyangsikan segala

kebenaran.
Tetapi kesangsian radikal akhirnya bunuh diri. Apabila orang

menyangsikan tiap-tiap kebenaran, akhirnya ia percaya juga pada

kebenaran. Akhirnya ia harus berkata, hanya inilah kebenaran, yaitu

kebenaran itu tidak ada.

Apabila semuanya tidak benar, ia harus pula mengakui bahwa apa yang

diucapkannya itu (“Semuanya tidak benar”) juga tidak benar. Apabila apa

yang diinginkan si penyangsi itu tidak benar, maka skeptisime bunuh diri.

Terpaksa juga ia akhirnya mengakui adanya kebenaran.

Pada filsaafat lama, kesangsian itu merupakan akhir filsafat sehingga

terbentuklah aliran kesangsian. Pada filsafat modern ia merupakan awal

filsafat. Tiap kebenaran disangsikan lagi, sampai pada satu titik dimana

kesangsian itu lenyap. Ditemukanlah kebenaran, berhentilah kebenaran,

tersusunlah sistem pengetahuan yang menghasilakan kebenaran dengan

berfikir, yaitu suatu filsafat. Kant mengatakan, kesangsian tidakmungkin

keadaan yang tetap. Ia hanya dahan dan tempat berpijak sementara untuk

mencapai tingkat kebenaran yang lebih tinggi.

Maka bagi filsafat modern kesangsian itu merupakan sumber filsafat.

Tanpa sangsi, orang tidak berfikir. Tanpa berfikir filsafat tidak lahir.

Tanpa berfikir ilmu pun tak mungkin terbentuk.

Tiap penemuan dimulai dengan tanda tanya. Tanda tanya menunjukkan

gejala kesangsian. Apa yang menyebabkan air membeku? Pertanyaan ini

merangsang budi berfikir, tangan bekerja. Ditemukanlah hukum


pembekuan air. Mungkinkah manusia membikin sendiri es, dengan

membekukan air menurut kehendaknya? Pikiran bergerak lagi, tangan

bekerja lagi. Diperdapatlah lemari es. Apakah manusia tidak mungkin

terbang? Diperdapatlah pesawat udara. Apakah benar bulan tidak

mungkin didatangi, seperti anggapan selama ini? Maka sarjana-sarjana

Amerika membikin Apollo untuk membuktikan anggapan itu tidak benar.

Bagaimana mewujudkan kedamaian, kebahagian dan milik yang merata,

kenikmatan hidup di dunia, membina keselamatan setelah mati?Siapakah

yang menentukan nasib, manusia atau Tuhan?Benrkah ada Tuhan itu?

Benarkah kejahatan itu ada, benarkah pula ada kebajikan? Bagaimanakah

seharusnya menyusun sosial, ekonomi, politik, kesenian? Pertanyaan-

pertanyaan itu merangsang pemikiran filsafat mencari jawaban.

Berpikirlah ia hati-hati dan sistematis tentang masalah-masalah

fundamental yang mengenai diri kita sendiri, laku perbuatan dan dunia

dalam mana kita hidup dan akhirat yang merupakan ujung kehidupan.

Terbentuklah beragam aliran filsafat, sebanyak filsuf yang

memikirkannya. Apabila kita menyangsikan suatu aliran filsafat, maka

kita punberpikir untuk menyusun alasan-alasan tentang ketidak

benarannya di smaping menyusun pengetahuan baru, yang kita naggap

benar.Terbentuklah pulalah suatu filsafat. Filsuf berikutnya mungkin

menyangsikan pula filsafat kita itu, paling tidak menganggapnya kurang

sempurna, maka lahir lagi filsafat.


Demikianlah sejarah filsafat adalah sejarah perkembangan pikiran

manusia. Dapat pula ia dikatakan sejarah kesangsian manusia dalam

usahanya mencari kebenaran dari kebenaran.

Jalan sejarah filsafat tidak selalu luas. Kadang-kadang ia berbelok

kembali ke belakang. Teori yang sudah ditinggalkannya, diulanginya

kembali dengan pandangan atau tafsiran baru. Tidak demikian sejarah

ilmu, yang selalu bersifat maju. Teori yang sudah ditinggalkannya, tidak

akan dijamah lagi. Kenapa demikian? Suatu teori ilmu ditinggalkannya,

untuk selama-lamanya karena terbukti oleh riset dan / atau eksperimen

tidak benar. Suatu teori filsafat yan mula-mula dianut, ditinggalkan,

karena tidak lagi memuaskan akal. Suatu teori filsafat yang sudah lama

ditinggalkan mungkin saja dibangkitkan kembali dengan tafsiran baru,

sehingga diterima oleh akal.

Dan dalam sejarah pengetahuan, manusia itu, filsafat dan ilmu. Itu

selaluberdampingan, bahkan berkaitan. Marilah kita khususkan pembicara

mengenai filsafat dan ilmu, hubungannya, perbedaan, dan persamaannya.

B. FILSAFAT, ILMU, KEBUDAYAAN, DAN AGAMA

1. FILSAFAT DAN ILMU

Dalam kurun filsafat Yunani dan filsafat Islam memang kabur batas filsafat

dan ilmu. Sekarang pun ada yang memandangnya semikian. Dalam subbab A

sengaja kita membagi pengetahuan yang bersumber dari pada manusia dalam

tiga jenis, untuk memperjelas batas tu. Dalam pasal ini kita perdalam
pembahasan tentang perbedaan antara kedua itu (tanpa lupa menyinggung segi

persamaannya), di samping menelaah peranan filsafat bagi ilmu.

Untuk dapat memahami perbedaan antara filssafat dan ilmu, harus terjawab

terlebih dahulu: apa itu filsafat?, dan apa itu ilmu? Pertanyaan pertama telah

dijawab oleh subbab B. Maka sekarang yang harus kita jawab pertanyaan

kedua.

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab (alima) dan berarti pengetahuan.

Pemakaian kata itu dalam bahasa Indonesia kita ekuivalenkan dengan

istilahscience. Science berasal dari bahasa Latin; scio, scire, yang juga berarti

pengetahuan.

Ilmu adalah pengetahuan. Tetapi ada berbagai pengetahuan. Dengan

“pengetahuan ilmu” dimaksud pengetahuan yang pasti, eksak dan betul-betul

terorganisasi. Jadi pengetahuan yang berasaskan kenyataan dan terususn baik.

Apa isi pengathuan ilmu itu? Ilmu (Latin; Science) mengandung tiga kategori

isi; hipotesis, teori dan dalil hukum. Ilmu merupakan perkembangan lanjut

dan mendalam dari pengetahuan indra. Kalau pengetahuan indra menjawab

pertanyaan apa yang dialami oleh pancaindra, adalah pertanyaan ilmu yang

berbunyi “bagaimana” dan “apa sebabnya atau mengapa”. Pertanyaan

pertama dijawab oleh kajian ilmiah, dengan melukis gejala-gejala perkara,

yang ditanyakan. Pertanyaan kedua dijawab oleh hubungan kausal (hubungan

sebab-akibat) tentang perkara yang ditanyakan. Apa sebabnya, apa akibatnya.

Hubungan sebab-akibat tidak dapat ditangkap oleh pancaindra. Maka perlulah


dilakukan penelitian. Data yang dihasilkan oleh penelitian itu dianalisis dan

disimpulkan secara logis.

Ilmu haruslah sistematis dan berdasarkan metodologi dan ia berusaha

mencapai generalisasi. Dalam kajian ilmiah, kalau data yang baru terkumpul

sedikit atau belum cukup, maka ilmuwan membina hipotesis. Hipotesis ialah

dugaan pikiran berdasarkan sejumlah data. Hipotesa memberi arah pada

penelitian dalam menghimpun data. Data yang cukup sebagai hasil

penelitiandihadapkan pada hupotesis.Kalau data itu mensahihkan (valid)

hipotesis, maka hipotesis menjadi tesis, atau hupotesis menjadi teori. Kalau

teori mencapai generalisasi yang umum, menjadi dalillah ia. Dan kalau teori

memastikan hubungan sebab-akibat yang serba tetap, maka is menjadi hukum.

Ada bermacam-macam jenis ilmu :

a. Ilmu praktis. Ia tidak hanya kepad ahukum umum atau abstraksi, tidak

hanya terhenti pada teori, tapi menuju kepada dunia kenyataan. Ia

mempelajari hubungan sebab-akibat untuk diterapkan dalam alam

kenyataan.

b. Ilmu praktis normative, Ia member ukuran-ukuran (kriterium) dan norma-

norma.

c. Ilmu praktis positif. Ia memberikan ukuran atau norma yang lebih khusus

daripada ilmu praktis normative. Norma yang dikaji ialah bagaimana

membuat sesuatu atau tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencapai

hasil tertentu.
d. Ilmu spekulatif ideografis. Ilmu spekulatif yang tujuannya mengkaji

kebenaran objek dalam wujud nyata dalam ruang dan waktu tertentu.

e. Ilmu spekulatif-nomotetis. Ia bertujuan mendapatkan hukum umum atau

generalisasi substantive.

f. Ilmu spekulatif-teoretis. Ia bertujuan memahami kausalitas. Tujuannya

memperoleh kebenaran dari keadaan atau peristiwa tertentu.

Baik ilmu ataupun filsafat sama-sama mencari pengetahuan dan pengetahuan

yang dicari itu ialah pengetahuan yang benar. Dalam segi ini maksud kedua-

duanya sama. Tetapi dalam persamaan itu ada perbedaan. Pengetahuan ilmu

melukiskan,sedangkan pengetahuan filsafat menafsirkan.

BErtolak dari sifat pelukisan itu, Arthur Thomson mendefinisikan ilmu

sebagai “pelukisan fakta-fakta pengalaman secara lengkap dan konsisten

dalam istilah-istilah sesederhana mungkin.”

Ilmuwan dalam studinya tentang sekelompok fenomena melakukan tiga tahap

kerja :

a. Mula-mula sekali ia menghimpun fakta-fakta atau data dari objek studinya.

Apabila fakta-fakta atau data sudah cukup terkumpul, ia melangkah pada

tahap berikutnya.

b. Pelukisan fakta-fakta, dengan jalan

1) Membentuk definisi dan pelukisan umum.

2) Melakukan analisis tentang fakta-fakta itu.

3) Mengklasifikasikan fakta-fakta itu.


Setelah fakta-fakta terlukiskan, sampailah ia pada tahap terakhir:

c. Penjelasan fakta-fakta, dengan jalan:

1) Menentukan sebab-sebab (dengan menentukan hal-hal yang

mendahului peristiwa).

2) Merumuskan hukum (dengan penentuan keserba-tetapan peristiwa).

Teori kebenaran dari ilmu ditentukan oleh tingkatnya yang empat jumlahnya:

a. Hipotesis atau dugaan pikiran. Ilmuwan mulai dengan hipotesis. Duggan

pikiran itu diuji dengan fakta-fakta atau data-data itu mungkin

menyokong hipotesis itu, tapi mungkin pula membatalkan.

b. Apabila fakta-fakta menyokong, mulai tahap kerja ilmiah yang pertama

dan kedua.

c. Pada tahap ketiga, manakala hukum belum dipastikan, ilmuwan

menyimpulkan teori, yakni hipotesa-hipotesis yang bertaut atau logis,

yang sudah diuji oleh data-data. Teori adalah anggapan kebenaran yang

kuat, sepanjang pengalaman dan penjelasan ilmuwan tentang fakta-fakta,

tempat berpijak teori itu. Apabila ditemukan pengalaman atau fakta baru,

atau fakta yang selama ini tidak diperhitungkan, dapat jatuh teoriyang

dipegang selama ini. Maka orang membangun teori baru. Jadi, teori

mungkin mengandung kebenaran, tapi tidak pasti benar. Karena itu

mungkin terjadi perubahan teori, atau berbagai teori tentang persoalan

yang sama. Mungkin saja suatu teori ditinggalkan, digantikan oleh teori

baru.
d. Apabila penjelasan fakta-fakta sampai pada kepastian hukum yakni

hukum alam, sampai ilmu ke tinggi yang tertinggi, dan sampai pulalh ia

pada ujung kerjanya.

Ilmuwan menghadapkan masalah tertentu. Dari gejala masalah itu yang

diketahuinya, ia menyusun hupotesis. Diarahkan oleh hipotesis iyu ia

melakukan penelitian untuk menghimpun data-data cukup tentang masalah

tersebut. Data-data itu dihadapkannya pada hipotesis. Kalau data-data itu

menyokong hipotesis, maka hipotesis itu sehih. Dengan demikian ia

meningkat menjadi teori. Apabila timbul masalah selanjutnya dan ilmuwan

tidak mampu mengumpulkan data-datanya baik karena faktorkonkret yang

dapat diteliti tidak ada (misalnya tentang nilai), atau masalah itu belum dapat

diteliti maka kajian ilmu sampai ke batas kemampuannya, kajian selanjutnya

diserahkan kepada filsafat.

Ilmu menggali pengetahuan dari fakta-fakta dan merumuskan pengetahuan itu

dalam bentuk teori atau hukum. Karena pengetahuan itu sesuai dengan

faktanya, maka pengetahuan yang digali dan dinyatakannya itu adalah benar.

Jelaslah betapa inherennya ilmu dengan fakta, yaitu fakta yang dialami.

Fakta yang belum ditafsirkan jadi bersifat murni disebut data. Data inilah

yang dihimpun oleh riset dan atau eksperimen. Sedang pelukisnya,

penjelasan dan kesimpulannya jadi tugas pikiran. Riset dan eksperimen

adalah kerja tangan. Berfikir adalah kerj aotak. Karena itu, ilmu merupakan

hasil kerja sama otak dan tangan. Pengetahuan indra hasil dari kerja

pencaindra, sedangkan filsafat hasil dari kerja berfikir saja.


Setelah terjawab “ apa itu ulmu? “ barulah kita dapat memperbandingkan

dengan filsafat.

Bukan saja ilmu, tapi juga filsafat mencari pengetahuan yang pasti, eksak,

teratir, dan tersusun. Tetapi kepastian dan keeksakan pengetahuan filsafat

tidak mungkin diuji seperti pengetahuan ilmu. Yang pertama, tersusundari

hasil riset dan eksperimen. Maka riset dan eksperimen pula yang menguji

kebenaran pengetahuan ilmu.Yang kedua, hasil dari berpikir radikal,

sistematis, dan universal.Maka keradikalan, kesistematisan dan keuniversalan

pemikiran pula yang dapat menguji kebenaran penetahuan filsafat.

Kebenaran ilmu adalah sepanjang pengalaman, sedangkan kebenaran filsafat

sepanjang pemikiran.

Di samping itu, filsafat tidak puas dengan pengetahuan yang tertentu, eksak

dan tertentu, bidang-bidang khusus. Sedangkan filsafat mencari pengetahuan

dari semua segi dan bidang menyeluruh. Ilmu mempelajari unsure-unsur

alam; benda-benda mati sja, tanaman, hewan, manusia saja, bumi saja, bulan,

matahari, dan bintang saja. Filsafat mengingini pengetahuan tentang seluruh

alam. Ilmu mempelajari segi-segi tertentu kehidupan. Filsafatmempelajari

kehidupan menyeluruh. Ilmnu mempelajari jurusan-jurusan tetentu tentang

hukum: hukum adat, hukum criminal dan perdata, hukum moden, hukum,

dagang, hukum laut, hukun internasional, hukum negara, dan lain-lain.

Filsafat mempelajari asas dari segala hukum, maksudnya, tujuannya, nilainya,

asalnya. Bahkan ialah yang menyelesaikan pengetahuan tentang pangkal


bertolak dari ilmu itu. Apa itu hukum? Kalau ilmu hukum bertolak dari

kerjanya hukum, sebagai pengertian yang sudah tertentu, adalah filsafat

hukum mempersoalkan pengertian itu, menentukannya, untuk selanjutnya

dipergunakan oleh ilmu hukum.

Akal tidak puas dengan himpunan fakta, pelukisan dan penjelasannya. Ia

menngingini pula penjelasan umum, tentang fakta-fakta itu, dari mana asal

mulanya, siapa yang menggerakkannya, apa maksudnya, apa tujuannya, apa

maknanya dan berapa nilainya. Ilmu hanya memberikan penjelasannya pada

filsafat. Perhatian ilmu terpusat pada “bagaiman adanya”. Tentang

“bagaimana seharusnya” adalah tugas filsafat untuk menentukannya.

Ilmu adalah pelukisan fakta pengalaman dengan lengkap dan secara konsisten

(lihat, Perenggan 34). Apa fakta itu? Ilmu menjawab: sesuatu yang langsung

diamati dan tidak ditafsirkan. Pengamatan itu biasanya melalui salah satu

indra kita, misalnya mata, telinga atau tangan. Mungkin juga data itu

merupakan sesuatu yang kita amati secara batiniah, misalnya perasaan atau

emosi. Dengan demikian jelaslah bahwa ilmu dibangun di atas fakta yang

merupakan dat-indra.

Data-indra itu tentulah subjektif, seperti telah dibahas oleh Pyrho (lihat,

Perenggan 30). Apakah ilmu subjektif asas-asasnya? Serta merta kaum

ilmuwan dengan nada keras berteriak: Bukan! Ilmu adalah satu-satunya di

dunia yang dibangun diatas realitas objektif yang kukuh, tidak atas data –

indra. Ilmu menceritakan kepada kita tentang barang-barang yang objektif


sebagaimana adanya, dan sebagaimana adanya sebelum manusia makhluk

yang menyusun ilmu.

Kaum ilmuwan menyatakan bahw ailmu tersusun atas realitas objektif yang

kukuh, sedangkan kita sama-sama mengetahui bahwa realitas itu

diperolehnya melalui organ-organ indranya. Jadi melalui data-indra ilmuwan.

Timbullah masalah apa sesungguhnya data-indra itu dan bagaimana

hubunganya dengan barang-barang yang riil di dunia ini. Ini tidak

dibicarakan ilmuwan. Ia pergunakan kata data dan bertolak dari situ.

Filsufnya yang mempersoalkan dat itu, yan membawa dia ke lapangan

epistemology dalam filsafat, yaitu teori pengetahuan yang membicarakan

asal, berlakunya dan hubungannya dengan pengalaman manusia.

Ilmu dapat kita bagi dua: ilmu murni (pure science), yang bersifat teoti; dan

ilmu terapan (applied science), yang bersifat praktik.

Bagi umum pengertian ilmu itu terarah kepada yang kedua, yaitu alat yang

harus diterapkan untuk meningkatkan kekuasaan menusia aras alam.

Kekuasaan itu dijalnkan dengan teknologi. Teknologi ialah ilmu teknik

(ketukangan) yang mempergunakan ilmu-ilmu eksaknya (fisika, aljabar, ilmu

ukur, ilmu kimia, dan statistiknya).

Ilmu Terapan adalah lanjutan dari ilmu teori. Penemuan-penemuan besar

dalam ilmu didapat oleh orang-orang yang tidak langsung mempunyai

perhatian pada aplikasinya yang praktis. Mereka digerakkan oleh perhatian

ilmiah semata-mata. hanya digairahkan oleh pengetahuan yang sungguh-


sungguh menghasrati kebenaran. Nah, ilmu teori inilah yang berhubungan

rapat dengan filsafat. Dalam kehidupan sehari-hari umumnya kita tertarik

pada hal-hal yang praktis. Untuk itu kita bertanya kepada ilmu terapan.

Tetapi kadang-kadang timbul pertanyaan dalam hati kita apa makna, apa

guna, tujuan dan nilai tindakan itu; apa makna, tujuan, guna dan nilai hidup

kita, dan dunia kita. Ketika itu kita bertanya pada filsafat.

Hubungan filsafat dengan sekarang sampai kita pada pembicaraan hubungan

filsafat dan ilmu menurut pandangan kaum filsuf sekarang. Pandangan itu

terbagi dua :

a. Hubungan erat antara keduanya. Perkembangan ilmu harus bersama-

sama dengan filsafat, bahkan ada yang menyamakan filsafat dengan ilmu.

b. Filsafat tidak berkaitan dengan ilmu. Ia otonom dan tidak mau diperalat

oleh ilmu.

Pandangan yang pertama dianut dunia universal Eropa umumnya, semenjak

akhir abad ke-19. Filsuf-filsuf mempelajari hasil ilmu. Berdasarkan ilmu itu

ia membentuk pandangan-pandangan atau teori filsafat. Pernyataan filsafat

harus berdasarkan fakta-fakta penelitian ilmiah. Tanpa pendasaran demikian

pernyataan itu tidak bernilai. Ada pula filsuf yang berpendapat bahwa

kewajiban filsafat ialah membentuk fundamen ilmu, melakukan analisis-

analisis logis metode-metode yang dipakai ilmu. Dengan demikian, hakikat

filsafat ialah riset epistemology. Filsafat diminta untuk member laporan atau

sintesis hasil yang dicapai flsuf yang beranggapan, ruang gerak filsafat sudah

begitu sempit, bahkan mungkin lenyap, andaikata ia tidak menyatukan diri


dengan ilmu. Kencenderungan kepada ilmu ini terutama ditemukan dalam

lingkungan filsafat Anglo – Amerika dengan aliran-aliran positivesme logis,

atomisme logis dan aliran-aliran analitis.

Pandangan kedua menganggap bahwa filsafat itu otonom. Dengan demikian

tidak ada hubungan antara filsafat dan ilmu, bahkan keduanya itu saling

tantang. Bukanlah tugas filsafat untuk jadi alat ilmu, menyelidiki pengertian-

pengertian kritis dasar ilmu atau memperhatikan dan menyimpulkan hasil-

hasilnya. Kaum filsufnya antara lain kaum irasional, intuisi, dan eksdidtensi.

Pengertian-pengertian yang dipakai oleh filsafat berbeda dengan yang dipakai

oleh ilmu. Masing-masing misalnya mempergunakan kata-kata ruang, waktu,

tenaga, zat roh, sebab, akibat, hukum alam, kuantitas, kualitas, dan lain-lain

dengan mengisikan pengertian-pengertian yang berbeda. Pendapat atau teori

filsafat karena itu tidak dapat diverifikasi atau dibatalkan oleh ilmu.

Kencenderungan tidak ilmiah itu dalam kurun ini berpusat di Eropa Barat

dengan aliran-alirannya yang penting fenomenologi, personalisme,

eksistensialisme, neohegelianisme. Yang jadi pusat perhatiannya bukanilmu,

tapi manusia. Ilmu adalah pengetahuan abstrak dan objektif dan tidak

esensial, kata Kierkegaard. Kita harus kembali, katanya, kepada pengetahuan

yang subjektif, konkret dan esensial, sehingga mengindahkan eksistensi yang

sungguh-sungguh.

Mengenai pertentangan kedua paham ini, Asikin Arif member ulasannya:


“Sebenarnya kedua pendirian itu tidak berdasarkan fakta. Pemikiran-

pemikiran yang menyangkal bak hidup filsafat kecuali kalau berdasarkan

ilmu, toh memakai bahasa filsafat dalam serangan mereka terhadap

filsafat. Sebaliknya filsuf-filsuf yang yakin akan kedudukan filsafat yang

bersifat otonomi itu mempunyai pendapat, sengaja atai tidak, ilmu

dipengaruhi filsafat. Hubungan antara filsafat dan ilmu sebenarnya

menyerupai proses bolak-balik (wisselwerking). Perkembangan ilmiah

tidak eprnah irrelevant untuk pemikiran filsafat. Tiap-tiapperubahan

besar dalam hasil-hasilatau metode-metodeilmu dengan sendirinya

mempunyai konsekuensi terhadap perkembangan filsafat. Ini tidak

berarti, semua filsafat harus merupakan filsafat ilmu (philosophy of

science).

2. Filsafat dan Kebudayaan

Untuk memahami hubungan filsafat dengan kebudayaan, haris terjawab

pertanyaan berikut terlebih dahulu. Apa itu kebudayaan?

Jawaban para ahli budaya dan budayawan terhadap pertanyaan tersebut

beragam sekali. Kluckhohn dan Kroeber menghimpun definisi-definisi yang

dapat dikumpulkannya dalam buku mereka Culture : A Critical Reiview and

Definition.Mereka sampai pada jumlah 160 definisi.

Titik persamaan definisi-definisi yang dirumuskan oleh ahli-ahli ialah

manusia. Berdasarkan definisi-definisi itu dapat disimpulkan bahwa soal

kebudayaan adalah soal manusia. Maju selangkah lagi dapat kita katakana,
bahwa manusialah yang berkebudayaan. Apakah makhluk-makhluk lain,

hewan maisalnya, tidak berkebudayaan? Serempak definisi-definisi itu

menyimpulkan : Tidak!

Kenapa manusia berkebudayaan tapi hewan tidak? KArena manusia memiliki

sesuatu yang esensial yang tidak ada pada hewan. Manusia mempunyai roh

atau jiwa, yang menyatakan diri pada berpikir dan merasa rohaniah. Hewan

memang mempunyai otak tapi otaknya tidak berpikir. Ia mempunyai hati,

tapi aktivitasnya tidak membentuk rasa rohaniah. Rupanya kehidupan

batiniah atau rohaniahlah yang merupakan pangkal kebudayaan.

Ilmu tentang manusia yang diistilahkan orang dengan antropologi terbagi dua.

Apabila kita memandang menusia dari segi jasmaniahnya, maka kita

memasuki lapangan antropologi fisik. Tetapi kalau ia kita pandang dari segi

rohaniahnya, kita memasuki medan antropologi kebudayaan atau

dipendekkan orang dengan antropologi budaya.

Soal roh Apa yang dikatakan Roh? Sekalipun ilmu telah melonjak tinggi ke

ruang angkasa luar dan menghujam dalam kapitala bumi, namuns edikit

sekali yang diketahuinya tentang roh itu. Al-Qur’an sudah 14 abad yang lalu

memperingatkan, urusan roh adalah urusan Tuhan. Kepada manusia hanya

diberikan pengetahuan sedikit tentang itu. Pengatahuan yang sedikit itulah

yang dimiliki ilmu sampai dewasa ini.

Yang banyak diketahui tentang roh ialah pernyataan. Dalam garis besarnya ia

menyatakan diri pada pikiran dan perasaan dalam pengertian luas. BErtolak
dari pikiran dan perasaan ini mungkin kita menambahkan satu definisi lagi

pada kebudayaan, memperbanyak jumlah besar definisi lagi apada yang

sudah ada. Kita dapat dimaafkan dengan penambahan ini, karena manusia itu

demikian kompleks, sehingga kebudayaan yang diciptakannya dapat

dipandang dari berbagai-bagai segi, atau penekanan aspek-aspel tertentu.

Definisi yang kita rumuskan ini dipadang dari segi rohaniahnya, khususnya

pikiran dan perasaan. Suatu kebudayaan ialah cara berpikir dan cara merasa,

yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia,

yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu. Cara

berpikir dan cara merasa itu menyatakan diri dalam cara berlaku dan cara

berbuat. Dengan demikian definisi itu diperpendek: cara berlaku berbuat

dalam kehidupan. Kependekan ini dapat diperpendek lagi: Cara hidup (way

of life). Jadi, kebudayaan meliputi seluruh kehidupan manusia. Kehidupan

jelas dapat memperpegangi apa-apa itu kehidupan, ia dapat kita bagi dalam

sejumlah segi atau faset. Segi kehidupan yang kita maksud identitas dengan

apa yang diistilahkan oleh antropologi: cultural universal (cultural ubiversal).

Dengan cultural ubiersal, yaitu segi-segi kebudayaan yang universal

ditemukan dalam tiap kebudayaan. Ada bermacam teori tentang pembagian

cultural universal.

Kuntjaraningrat misalnya membagi kebudayaan dalam tujuh faset, yaitu:

peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan

sistem-sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, ilmu

pengetahuan dan religi.


Beals dan Hoijer membaginya lima: teknologi, ekonomi, organisasi sosial,

religi dan kebudayaan lambang.

Montagu membaginya lebih banyak, yaitu 12: pola-pola komunikasi, bentuk-

bentuk materiil, pertukaran barang-barang dan jasa, bentuk-bentuk milik,

kelamin dna pola-pola family, sosial, pemerintah, praktik religi dan magis,

mitologi dan filsafat, ilmu, kesenian dan rekreasi. Dari perbandingan teori-

teori cultural universal itu dapat pula kita membagi kebudayaan dalam tujuh

faset atau cabang kebudayaan, yakni: sosial, ekonomi, politik, ilmu dan

teknik, seni , kebudayaan. Tetapi bagi Islam agama bukanlah kebudayaan.

Tentang ini akan kita bahas dalam pasal berikutnya.

Cara berlaku-berbuat sebagai pernyataan cara berpikir-merasa itu ada yang

masuk ke dalam faset sosial, ekonomi, politik, ilmu dan teknik, seni, filsafat

atau agama. Kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial merupakan

masyarakat. Antara masyarakat dan kebudayaan terjalin saling hubung adan

saling pengaruh pengaruh yang ketat sekali. Masyarakat adalah wadah

kebudayaan. Masyarakat adalah kelompok besar manusia dalam mana hidup

terjaring kebudayaan yang diamalkan oleh kelompok itu sebagai kebudayaan

mereka.

Ruang dan waktu menentukan kebudayaan. Berbeda ruang, berbeda

kebudayaan. Berlainan waktu, berlainan pula kebudayaannya.

Cara berpikir dan cara merasa itu membentuk cara hidup (cara bergaul, cara

berhubungan antara seseorang yang lain, cara berumah tangga, cara


berekonomi, cara mengatur masyarakat, cara berseni, dan lain-lain). Cara

hidup itu berisikan cara bertindak, cara berlaku atau cara berbuat. Orang

melakukan sesuatu karena sesuatu itu dipandangnya benilai dan ia

meninggalkan suatu perbuatan karena dianggapnya tidak bernilai. Dengan

demikian jelaslah, cara hidup itu dibentuk oleh nilai-nilai. Suatu masyarakat

memilih dan membentuk cara hidup tertentu berdasarkan nilai-nilai yang

dihayatinya. Kalau masyarakat meninggalkan laku perbuatan yang selama ini

mereka amalkan, dikatakanlah bahwa masyarakat itu mengalami pergeseran

nilai. Kalau unsur–unsur kebudayaan yang diamalkan oleh bangsa Indonesia

digantikannya dengan unsure-unsur kebudayaan Barat, dikataknlah terjadi

pergantian nilai dalam masyarakat Indonesia.

Dipandang dari segi nilai itu mengertilah kita kenapa Sultan Takdir

Alisyahnbana memandang kebudayaan sbagai “konfigurasi nilai”. Susunan

nilai yang membentuk kebudayaan itu menurut Takdir ialah nilai-nilai: Ilmu,

ekonomi, solidaritas, agama, seni dan kekuasaan. Ilmu dapat diidentikkan

dengan teori, ekonomi dengan teknologi (aktifitas ekonomi besetumpu atas

teknologi), kekuasan dengan politik, dan solidaritas berkaitan dengan sosial.

Dipandang dari teori pola kebudayaan sejagat, jenis nilai takdir itu sama

dengan “cultural universal”.

Demikianlah secara ringkas jawaban terhadap apa itu kebudayaan.

Cara berpikir dan cara merasa merupakan kebudayaan batiniah, sedangkan

manisfetasinya dalam bentuk cara berlaku dan cara berbuat atau cara hidup
adalah kebudayaan lahiriah. Produk cara berlaku-berbuat itu yang berbentuk

benda disebut kebudayaan materil.

Cara berpikir merasa membentuk sikap jiwa atau mentalitas. Mungkin juga

dikatakan mentalitas atau sikap jiwa itu menyatakan diri dalam cara berpikir

dan cara merasa. Sikap jiwa itu adalah batiniah. Lahiriah ia menjelma

sebagai sikap hidup dan pandangan hidup serta tujuan hidup.

Apabila kita perbandingkan definisi kebudayaan dan definisi filsafat,

keduanya bertemu dalam hal berpikir:

Kebudayaan adalah cara bepikir. Sedangkan berfilsafat ialah bepikir secara

sistematis, radikal dan universal. Berpikir demikian berujung pada sikap

jiwa. Manifestasi sikap jiwa itu seperti telah disinggung diatas ialah sikap

hidup dan pandangan dunia (worl view) serta tujuan hidup.

Dengan demikianlah jelaslah, betapa filsafat itu mengendalikan cara berpikir

kebudayaan. Di belakang tiap kebudayaan selalu kita temukan filsafat.

Perbedaan kebudayaan dapat dipulangkan kepada perbedaan filsafat.

Kebudayaan bersahaja diatur oleh adat. Adat disusun oleh nenekmoyang.

Nenekmoyang itu (lihat, perenggan 5) berfungsi sebagai filsuf bagi

kebudayaan bersahaja. Kebudayaan komunis dikendalikan oleh pandangan

dan sikap hidup historis materialisme atau materialisme sosilogi Marx. Cara

hidup suatu masyarakat agama berpedoman pada ajaran penganjur atau nabi –

Nya, yang dapat dipandang senagai filsuf masyarakat itu. Cara hidup suatu

kurun dipengaruhi oleh ahli-ahli pikir kurun itu.


Kehidupan materialisme dalam dunia Barat, yaitu memandang materi lebih

berharga daripada nilai-nilai rohaniah, kuat dipengaruhi oleh filsafat

materialisme. Filsafat ini mengalami masa jayanya dalam abag ke – 19 di

Erpoa Barat di bawah pimpinan Lamettrie, Vogt, Moleschott, Buchner, Haek-

el, Oswald. Pengaruhnya masih terasa dalam abad ke – 20 ini dalam bentuk

kehidupan materialis.

Sekularisme yang merupakan pandangan dunia dan sikap hidup Barat dapat

dipulangkan kepada filsafat duniawi Feurbach dalam abad ke – 19.

Kehidupan negara diatur dan dikendalikan oleh undang-undang. Mika

Nietzsche berdalil, filsafat sejati ialah pemerintah, yang mentapkan undang-

undang. Jadi kedudukan filsafat terhadap kehidupan masyarakat adalah

seperti pemerintah terhadap negara.

Filsafat Pancasila mengatur dan mengendalikan kehidupan Republik

Indonesia. Dalam negara ini hidup bangsa Indonesia berkebudayaan

Indonesia, yang berasaskan Pancasila. Republik Indonesia mengatur dan

mengendalikan kebudayaan yang hidup dalam wilayahnya. Dan Republik itu

sendiri diatur dan dikendalikan oleh filsafat Pancasila, demikian pula

kebudayaan Rusia dan Cina diatur dan dikendalikan oleh filsafat komunisme.

Rusia dengan filsufnya Lenin, murid filosof Marx, dan Cina dengan filsufnya

Mao Tse Tung, juga murid Marx.


3. Filsafat dan Agama

Untuk membahas hubungan filsafat dengan agama dan peranannya terhadap

agama, harus diselesaikan terlebih dahulu pengertian agama. Apa itu agama?

Apabila kita kaji etimologinya, kata agama membawa kita kepada bahasa

Sanskerta. Akar kata a-gam-a ialah gam, yang berarti pergi atau berjalan.

Sanskerta adalah bahasa Indo Jerman. Dalam bahasa Belanda, dan Inggris

(kedua-duanya juga bahasa-bahasa Indo Jerman), kiat temukan kata “ga”

(Belanda = gaan, dan Inggris = go) yang serumpun dengan gam dan berarti

sama. Dengan ditambah dengan awalan a dan akhiran a,gam menjadi

agama, yang berarti jalan. Jalan kemana? Dalam agama Hindu, tentu jalan ke

Nirwana.

Kata jalan dengan makna yang sama kiat temukan pula dalam peristilaham

Islam: syariat, thariqab, shirathal mustaqim (jalan luru). Dalam peristilahan

Cina: Tao; dalam peristilahan Jepang: Shinto;dalam agama Budha: jalan

delapan. Tuhan Nasrani, Yesus, berkata kepada pengikut-pengikutnya:

“Ikutlah Jalanku.” Memang kalau didalami makna agama-agama, umumnya

kita temukan jalan pada batinnya.

Kata agama dalam Indonesia kabur dan kacau pengertiannya. Umumnya ia

diekuivalenkan orang dengan religi (religion) kata religi sebagai istilah ilmu

telah tertentu artinya.

Paling kurang ada empat cirri yang ditemukan pada tiap religi.

a. Percaya kepada yang Kudus.

b. Melakukan hubungan dengan yang Kudus itu dengan ritus (upacar),

kultus (pemujaan), dan permohonan.


c. Doktrin tentan Yang Kudus dan hubungan itu.

d. Biasanya ada cirri yang ke – 4, yaitu sikap hidup yang ditumbuhkan oleh

ketiga cirri tersebut.

Apabila yang Kudus itu dipercayai sebgai pribadi, yakni Tuhan (God), maka

kata religi dalam bahasa Belanda berubah menjadi godsdient(kebaktian

kepada Tuhan).

Di tengah-tengah kekaburan dan kekacauan pengertian agama baiklah kita

identikkan agama itu dengan religi, sehingga keempat ciei tersebut manjadi

pertanda pula bagi agama.

Apakah agama itu masuk kebudaayn atau tidak, terdapat pertikaian antara

ilmu dan Islam. Sepanjang kita bicara tentang agama Islam, adalah agama itu

bukan bagian kebudayaan Islam. Tetapi kalau bicara tentang agama bukan-

Islam, Islam dapat menerima teori ilmu. Hal ini baru dapat dipahami setelah

menelaah agama-agama yang ada atau pernah ada.

Ada dua kategori agama (lihat, Perenggan 1):

a. Agama budaya (yang disebut oleh kepustakaan Barat dengan natural

religion).

b. Agama langit (disebut oleh kepustakaan tersebut dengan revealed

religuion).

Agama budayalah yang lahir dalam kebudayaan. Kalau agama ini tumbuh di

bumi, adalah agama langit diturunkan dari langit. Yang pertama dibentuk
oleh filsafat masyarakat (tentu dirumuskan oleh filsuf masyarakat itu, apakah

ia sebagai pemimpin masyarakat atau penganjur agama). Sedangkan yang

kedua di bentuk oleh wahyu Tuhan.

Di antara banyak perbedaan antara kedua jenis agama itu, ada sejumlah

perbedaan pokok, yang dapat menunjukkan kepada kita, apakah suartu agama

jenis yang pertama atau kedua.

Ciri-ciri agama budaya.

a. Tidak disampaikan oleh Nabi atau Rasul Tuhan, tidak dapat dipastikan

kappa lahirnya.

b. Tidak memiliki Kitab Suci yang diwariskan oleh Nabi/ Rasul Tuhan.

Kalau Ada Kitab Suci yang diwariskan oleh penganjurnya, isi kitab itu

mengalami perunahan-perubahan dalam perjalan sejarah agama itu.

c. Sistem merasa dan berpikir agama inheren dengan sistem merasa dan

berpikir tiap segi kehidupan (faset kebudayaan) masyarakat.

d. Berubah dengan mentalitas masyarakat yang menganutnya.

e. Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama tidak tahan terhadap kritil akal;

mengenai alam nyata dibuktikan ilmu kekeliruannya; mengenai alam

gaib, tidak termakan oleh akal.

f. Konsep kebutuhannya bukan serba-esa Tuhan.

Ciri-ciri agama langit

a. Disampaikan oleh Rasul Tuhan (Utusan Tuhan), dengan pasti dapat

dinyatakan waktu lahir agama.


b. Memiliki Kitab Suci yang diwariskan Rasul Tuhan dengan isi yang serba-

tetap.

c. Sistem merasa dan berpikirnya tidak inheren dengan sistem merasa dan

berpikir tiap segi kehidupan (faset kebudayaan) masyarakat yang

menganutnya, bahkan dikendaki sistem merasa dan berpikir faset

kehidupan, takluk atau mengarah kepada sistem berpikir dan merasa

agama.

d. Tidak berubah dengan perubahan mentalitas masyarakat yang

menganutnya, sebaliknya justru mengubah mentalitas penganutnya.

e. Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama tahap terhadap kritik akal;

mengenai alam nyata, manakala ilmu sampai ke ujung perkembangannya,

terbukti kebenarannya ajaran itu; mengenai alam gaib terterima oleh akal.

f. Konsep ketuhanan serba-esa-Tuhan.

Dengan pembangian agama-agama dalam dua jenis ini, adalah ilmu benar

sepanjang yang dimaksudnya agama budaya. Islam pun benar, sepanjang

yang dimaksudkannua agama langit.

Setelah terjawab apa itu agama, baru dapat kita telaah hubungan filsafat dan

penerapannya terhadap agama.

Yang mengenai agama budaya, jelas seklai betapa agama itu dilahirkan oleh

filsafat. Agama-agama bersahaja dilahirkan oleh filsafat masyarakat

bersahaja itu tentang dunia gaib, alam dan manusia, hidup dan mati,

ketakutan dan harapan manusia dan akhirat. Pada agama Tao jelas seklai

pengaruh filsafat Lao Tze. Agama Kong Hu Cu, diebntuk oleh filsuf Kong
Hu Cu. Antara agama Shinto dan filsafat bahasa Jepang jelas sekali saling-

hubung dan saling-pengaruhnya.

Inti soal agama dan sasaran utamanya ialah alam gaib. Alam gaib bukanlah

lapangan ilmu, yang dengan riset dan eksperimennya menghimpun fakta.

Dari alam gaib tidak mungkin digali fakta. Kalaumungkin, ia bukan lagi

alam gaib, tapi alam nyata.

Soal agama adalah soal hati. Budi di sini hanya pelengkap. Dalam agama

budaya, budi itu bahkan diabaikan atau diperbudak oleh hati. DAlam agama

langit, budi itu menerangi hati, dan mengontrolnya agar jangan tergelincir

kepada khayalan dan dongeng dalam mengartikan, memahami dan

mengamalkan agama itu.

Karena tidak ada fakta yang akan diperpegangi budi, diandalkannya kerja atas

tenaganya sendiri, yaitu logika. Dan ketika budi itu memepergunakan sifat-

sifat sistematis, radikal dan universal dalam berpikirnya, maka budi itu telah

memasuki filsafat dalam mengartikan, menafsirkan, menjelaskan, mengulas

agama. Filsafat itu, karena dikaitkan dengan agama, mejadi filsafat agama.

Filsafat agama bertolak dati yang gaib, yang diperpegangi oleh hati,

membawanya dengan berpikir ke alam budi. Tuhan yang Maha Gaib,

penunjukan-Nya secara gaib atas seseorang menjadi Rasul-Nya, penurunan

wahyu-Nya secara gaib, dan wahyu-wahyu itu sendiri yang berasal dari Yang

Maha Gaib, yang memberi peringatan, memberi petunjuk dan menceritakan

tentang yang gaib, dan lain-lain kesemuanya itu dibenarkan oleh hati,
sehingga menjadi kepercayaan, selanjutnya dibawa berpikir oleh budi,

sehingga dapat diterima oleh nudi itu.

Berbeda fungsi budi dalam agama budaya daripada agama langit.Dalam

agama budaya, hasil budi itu menjadi agama. Dalam agama langit,

kepercayaan agama yang diwahyukan dibawa kealam budi. Pemikiran budi

itu yang sistematis, radikal dan universal tentang wahyu membentuk filsafat

agama.

Bertolak dari definisi filsafat, adalah takrif filsafat agama : sistem kebenaran

tentang agama sebagai hasil berpikir secara radikal, sistematis dan universal.

Dasar-dasar agama yang dipersoalkan dipikiran menurut logika (teratur dan

disiplin) dan bebas. Ada dua bentuk filsafat agama, yakni filsafat agama pada

umumnya ada filsafat sesuatu agama.

Bentuk yang pertama dihasilkan oleh pemikiran dasar-dasar agama secara

anakitik dan kritik, dengan membebaskan diri dari ajaran-ajaran agama dan

bukanlah tujuannya untuk membenarkan suatu agama. Apa itu agama? Dari

mana asalnya? Apa maksud dan tujuannya? Apa gunanya? Betapa nilainya?

Bentuk yang kedua adalah hasil pemikiran dasar-dasar suatu agama secara

analitik dan kritik, dengan tujuan memberikan alasan-alasan rasional untuk

membenarkan agama itu, setidak-tidaknya menguraikan bahwa ajaran agama

itu tidalha mustahil dan tidak berlawanan dengan logika. Dalam pembahasan

orang mengingatkan diri pada ajaran-ajaran agama itu. Tugas filsafat di sini
sesungguhnya ialah membawa ajaran-ajaran agama itu kea lam budi,

sehingga ia secara rasional dapat dipahami.

Dasar-dasar agama itu merupakan pokok-pokok kepercayaan atau konsep

tentang ketuhanan, alam, manusia, baik dan buruk, kejahatan hidup dan mati,

dunia dan akhirat, hubungan manusia dengan Tuhan, roh, dan lain-lain. Pada

Islam dasar-dasar itu disebut Arkanul Iman, Tiang-tiang Iman, terdiri atas

enam sila:

a. Yakin kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

b. Yakin kepada Malaikat-malaikat.

c. Yakin kepada Kitab-kitab Suci.

d. Yakin kepada Rasullah0rasulullah.

e. Yakin kepada akhirat.

f. Yakin kepada kadar, yang baik dan yang buruknya berasal dari Tuhan.

Yakin kepada Allah akibat logisnya yakinkepada Malaikat-malaikat yang

diciptakan Allah untuk tugas-tugas tertentu. Salah satu tugas malaikat (Jibril)

menyampaikan wahyu, yang membentuk Kitab Suci.

Dengan yakin kepada Kitab-kitab suci diyakini pulalah dasar0dasar atau

pokok-pokok selanjutnya yang ditentukan Tuhan melalui wahyu-wahyunya

dan diterangkan serta diteladani oleh Rasul-rasul-Nya melalui Sunnah

Hadisnya.

Dialog yang abadi terkandung dalam konfrontasi filsafat dan agama. Agama

mengejek filsafat, bahwa setelah beribu-ribu tahun filsafat itu mencari


kebenaran, yang ditemukannya hanya kebenaran semu,. Tiap saat ia mengira

mendapat kebenaran, untuk disangsikan, dikritik dan ditinggalkannya lagi,

mencari kebenaran yang sesungguhnya. Lihat kami, kata agama. Kami

percaya, titik. Dengan demikian kami tidak membuang-buang waktu untuk

berpikir mencari kebenaran, yang setelah diperdapat ditinggalkan lagi, karena

ternyata tidak benar. Ketahuilah, budi manusia itu nisbi. Ia tidak akan

mungkin dapat mendapat kebenaran yang sesungguhnya. Hatilah yang

mampu menangkap kebenaran yang sejati.

Filsafat menjawab dengan ejekan pula. Kami ingin kebenaran yang kami

usahakan dengan tenaga kami sendiri. Kami tidak seperti anak kecil, yang

mudah percaya saja tentang apa yang dikatakan kepadanya. Dan

sesungguhnya kegembiraan itu bukan terletak pada kebenaran itu sendiri, tapi

dalam mencari.

Filsafat agama datang mengetengahi. Sebagai orang agama, filsuf itu

percaya, hasl penghayatan hatinya. Sebagai filsuf, ia mempersoalkan

kepercayaan itu mengangkatnya ke alam budi, sehingga secara rasional dapat

didudukkan.

Ajaran Islam tentang pembagian alam, dapat pula dipandang sebagai

mengetengahi konfrontasi anatara filsafat dan agama, bahkan antara ilmu,

filsafat ilmu, filsafat dan agama. Islam membagi alam dalam tiga kategori:

alam nyata, alam gaib idhafi, dan alam gaib hakiki.


a. Alam nyata, yang dapat diamati, diriset dan dieksperimen adalah lapangan

ilmu;

b. Alam gaib idhafi (gaib nisbi), yaitu alam yang masuk ke dalam

pengalaman manusia, tapi masih belum berhasil ilmu meriset atau

mengeksperimen, masuk ke dalam lapangan filsafat. Ketika kenisbian

gaibnya terbuka oleh ilmu, maka ia masuk medan ilmu;

c. Alam gaib hakiki, yaitu alam yang tidak akan mungkin diamati, diriset

atau dieksperimen oleh manusia (misalnya tujuan akhir alam, peristiwa

sesudah mati, alam akhirat), masuk lapangan agama.

Untuk dapat termakan oleh akal, agama dapat meminta pada filsafat untuk

menerangkan, mengulas atau menafsirkannya pada budi.

Persamaan lain antara filsafat dan agama lain, masing-masing merupakan

sumber nilai, terutama nilai-nilai etika. Perbedaannya lagi dalam hal ini,

nilai-nilai etika filsafat merupakan produk akal, sedangkan nilai-nilai agama

dipercayai sebagai ditentukan oleh Tuhan. Pada agama budaya sesungguhnya

ia masih produk akal juga. Pada agama langitlah baru dapat dikatakan

sebagai ketentuan Tuhan, sepanjang dipercayai bahwa agama langit dibentuk

oleh wahyu, sedangkan agama budaya dilahirkan oleh filsafat.

Apabila dibahas ajaran tiap agama. selalu kita temukan penentuan nilai-nilai

baik dan buruk. Dalam Islam ini amat tegas digariskan. Terkenal sarinya

“amar ma’ruf nabi munkar”, menyuruh kepada kebaikan, mencegah dari

kejahatan.
Dalam Islam nilai etika itu tidaklah hanya dua seperti tingkat-tingkat nilai

pada agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan pada umumnya. Melalui

Syari’at yang terdiri dari lima hukum Islam menggariskan lima tingkat nilai.

Hukum wajib mengandung nilai; baik; hukum sunah: setengah baik; hukum

mubah, jaiz atau harus: netral nilai atau hampa nilai; hukum makhurh

mengandung hukum setengah buruk; dan hukum haram berisikan nilai buruk.

Mengamalkan yang wajib oleh Tuhan. Mengamalkan yang sunah mungkin

mendatangkan kenaikan, karena dianjurkan. Mengamalkan yang jaiz, mubah

atau harus tidak memberi menfaat, juga tidak mendatangkan mudarat, karena

itu dilarang oleh Tuhan.

Laku perbuatan baik mendapat nilai pahala, sebaliknya laku perbuatan buruk

memperoleh nilai dosa. Nilai pahala itu baru terwujud di akhirat dalam

benruk surge. Sebaliknya nilai dosa dalam bentuk neraka.

Nilai-nilai etika filsafat berubah-ubah menurut ruang dan waktu seirama

dengan perubahan cara berpikir dan merasa manusia. Ia nisbi sekali.

Sedangkan nilai-nilai etika agama (agama langit) mengatasi ruang dan waktu,

abadi, bahkan mengatasi peralihan dunia kepada akhirat. Ia mutlak, karena

berasal dari Yang Mutlak pula. Dan pembalasan laku perbuatan etika

menurut agama itu, adalah pasti.

Baik filsafat, ataupun agama menentukan norma-normabaik dan buruk.

Perbedaan besar antara filsafat dan agama, antara suatu filsafat dengan filsafat

lain, antara suatu agama dengan agama lain ialah, mana-manakah yang baik

itu dan mana-mana pulakah yang buruk itu. PErbedaan-perbedaan inilah


yang membedakan filsafat dan agama, antara filsafat dan filsafat dan antara

agama dan agama.

C. Teori, Aliran, dan Jenis-jenis Pengetahuan

1. Teori Pengetahuan

Berbicara tentang teori pengetahuan, idealism mengemukakan pandangannya,

bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indra tidak pasti dan tidak

lengkap, karena dunia hanyalah merupakan tiruan belaka, sifatnya maya

(bayangan), yang menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya. Pengatahuan

yang benar hanya merupakan hasil akal belaka, karena akal bisa membedakan

bentuk spiritual murni dari benda-benda di luar penjelmaan material.

Demikian menurut Plato, idealism metafisika percaya, bahwa manusia dapat

pengetahuan tentang realitas, karena realitas pada hakikatnya spiritual,

sedangkan jiwa manusia merupakan bagian dari substansi spiritual tersebut.

Hegel menguraikan konsep Palto tentang teori pengatahuan dengan

mengatakan, bahwa pengetahuan dikatakan valid, sepanjang sistematis maka

pengatahuan manusia tentang realistas adalah benar dalam arti sistematis.

Dalam teori pengathuan dan kebenaran, idealism merujuk pada rasionalisme

dan teori koherensi. Teori koherensi didasari oleh pendapat bahwa item-item

particular pengatahuan menjadi signifikan apabila dilihat dalam konteks

keseluruhan. Oleh karena itu, semua ide dan teori harus divalidasi

sehubungan dengan koherensinya (keseuaiannya) dalam pengembangan

sistem pengetahuan yang tidak ada sebelumnya.


Seperti yang dikemukakan di atas, bahwa teori pengatahuan idealism adalah

rasionalisme. Dalam hal ini Henderson (dalam Sadulloh, 2003: 98)

mengemukakan, bahwa:

The rationalistat argue that our sense give us but the raw material from

which knowledge comes. Knowledge, say the, is not to be found in sense-

perception of particulars but in concept, in principle, which our sense

cannot possibly furnish us; the main itself is active, an organizer and

systematize of our sensory experience. For the rationalist, mathematic

furnishes the corret pattern for thought.

Jadi, rasionalisme mendasari, teori pengetahuan idealisme mengemukakan,

bahwa indra kita hanya memberikan materi mentah bagi pengetahuan.

Pengetahuan tidak ditemukan pengalaman indra, melainkan dari konsepsi

dalam prinsip-prinsip sebagai hasil aktivitas jiwa. Jiwa manusialah yang

mengorganisasi pengalaman, indra. Matematika melengkapi pola berpikir

manusia. Dengan matematika manusia mampu mengembangkan inteleknya.

Sains fisik tidak akan berkembang tanpa menggunakan matematika. Indra

dapat menipu manusia yang berpikir, tidak sesuai antara pengamatan sebagai

laporan indra dengan kenyataan. Apalagi pengamatan indra bisa dipengaruhi

oleh ilusi, halusinasi, dan fantasi.

Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah

pengetahuan iru benar atau salah, yaitu : (1) teori korespondensi, (2) teori

koherensi, (3) teori pragmatisme.


a. Teori korepondensi (correspondence theory)

Menurut teori korespondensi, kebenaran merupakan persesuaian antara fakta

dan situasi nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan

dalam pikiran dengan situasi lingkungannya. Teori ini paling luas diakui oleh

kaum realis.

Saya berpendapat, bahwa Pulau Jawa merupakan pulau yang terdapat

penduduknya di Indonesia. Pendapat saya itu benar bukan karena bersesuaian

dengan pendapat orang lain sebelumnya, atau karena diterima oleh banyak

orang, melainkan karena bersesuaian dengan kenyataan yang sebenarnya. Ini

merupakan cirri dari ilmuwan yang selalu mengecek atau mengontrol pikiran-

pikirannya dengan data-data atau penemuan-penemuan (Sadulloh, 2003: 33-

34).

b. Teori koherensi (coherence theory)

Menurut teori koherensi, kebenaran bukan persesuaian antara pikiran dengan

kenyataan, melainkan kesesuaian secara harmonis antara pendapat/pikiran

kita dengan pengatahuan kita yang telah dimiliki. Teori ini pada umumnya

diakui oleh kaum idealis.

Pengertian persesuaian dalam teori ini berarti terdapat kosistensi (ketetapan,

sehingga teori ini disebut juga teori konsistensi) yang merupakan cirri logis

hubungan antara pikiran-pikiran (ide-ide) yang telah kita miliki satu dengan

yang lain. Kalau kita menerima pengetahuan baru, Karen apengetahuan

tersebut sesuai dengan pengetahuan yang kita miliki, atau apabila kita
melepaskan pendapat lama, karena pendapat baru tersebut lebih bertautan

secara harmonis dengan keseluruhan pengalaman dan pengetahuan kita.

Bentuk yang paling sederhana dari teori koherensi adalah menurut adanya

konsistensi formal dalam sistem. Misalnya dari rumus-rumus dalam

matematika orang dapat membangun suatu sistem salam geometeri. Sistem

ini dapat diakui sebagai suatu sistem yang benar, jika yang menjadi dasar

kebenaran dalam sistem adalah adanya konsistensi dengan hukum-hukum

berpikir formal terntentu. Kaum idealis cenderung untuk memperluas sistem

konsistensi ini dngan memasukkan semua pengalaman yang bersifat

konsisten dalam dirinya. Plato, Hegel, Brandleyd, dan Royce, memperluas

prinsip-prinsip konsistensi dengan memasukkan sistem jagad raya (alam

seemesta), sehingga pikiran yang benar dan setiap bagian sistem kebenaran

berkaitan dengan kenyataan secara keseluruhan dalam jagad raya (alam

semesta), dan memperoleh makna/arti dalam keseluruhan tersebut.

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, kebenaran merupakan sistem dalil-dalil yang

konsisten secara timbale balik, dan setiap dalil memperoleh kebenarannya

dalam keseluruhan sistem.

Beberapa kritik diberikan pada teori ini, diantaranya : Pertama, kita tidak

dapat membangun sistem keterpaduan (coberent system)yang salah. Teori ini

tidak dapat membedakan antara kebenaran yang konsisten dengan kekeliruan

yang konsisten. Para pengkritik menunjukkan, bahwa banyak sistem pada

masa lampau secara logis konsisten, tetapi secara fakat ternyata kemuadian

salah (contohnya, pertentangan antara sistem geometrikdengan sistem


heliosentris telah menimbulkan korban ilmuwan benar, yaitu Galileo

Galilei).Kedua, teori ini bersifat rasionalistis dan intelektialistis, dan hanya

mementingkan hubungan-hubungan logis antara dalil-dalil. Sebagai

akibatnya, teori ini gagal memperlengkapi tes/pengujian yang memadai

terhadap pikiran dari pengalaman sehari-hari. Teori ini hanya cocok untuk

matematika murni, teori ini tisak cocok untuk menguji kebenaran berdasarkan

fakta (Sabdulloh, 2003: 34-35).

c. Teori pragmatisme (pragmatism theory)

Menurut teori pragmatisme, kebenaran tidak bisa bersesuaian dengan

kenyataan, sebab kita hanya bisa mengetahui dari pengalaman kita saja. di

lain pihak, menurut pragmatisme, teori koherensi adalah formal dan rasional,

pragmatisme berpendirian, bahwa mereka tidak mengetahui apa pun

(agnostic) tentang wujud, esensi, intelektualitas, rasionalitas. Oleh karena itu,

pragmatisme menentang otoritarianisme, intelektualisme, dan rasionalisme.

Penganut pragmatisme merupakan penganut empirismeyang fanatic untuk

memberikan interpretasi terhadap pengalaman. Menurut pragmatism, tidak

ada kebenaran yang mutlak dan abadi. Kebenaran itu dibuat dalam proses

penyesuaian manusia.

Schiller (dalam Sadulloh, 2003: 35), pengikut pragmatisme di Inggris

mengemukakan, bahwa kebenaran merupakan suatu bentuk nilai, artinya

apabila kita menyatakan benar terhadap sesuatu, berarti kita memberikan

penilaian terhdapnya. Istilah benar adalah suatu pernyataan yang berguna,

sedangkan istilah salah merupakan pernyataan yang tidak berguna.


Seseorang menyatakan, bahwa pendapatnya benar karena telah memenuhi

kepentingannya. Dapat terjadi seseorang menyatakan benar, tetapi suatu saat

ia menyatakan pendapatnya itu salah, karena pendapatnya itu sudah tidak

berguna, tetapi hanya dapat memenuhi kepentingannya. Tetapi dalam hal ini

tidak berarti, bahwa benar dan salah merupakan yang bersifat individual.

Kebenaran merupakan hasil sosial, artinya sebagai hasil hubungan sosial.

Kebenaran individual dikontrol atau dikoreksi di bawah pengaruh sosial,

sampai akhirnya kebenaran itu diterima secara umum.

Menurut pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria

apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau

tidak. Artinya, pernyataan itu dikatakan benar kalau memiliki kegunaan

praktis dalam kehidupan manusia. Suatu teori, pendapat, atau hipotesis

dikatakan benar apabila menghasilkan jalan keluar dalam praktik, atau

membuahkan hasil-hasil yang memuaskan.

Para pendukung pragmatisme cenderung memberikan tekanan pada tiga

pendekatan, yaitu:

1) Bahwa sesuatu itu dikatakan benar apabila memuaskan atau memenuhi

keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan manusia. Kepercayaan akan

kebenaran bukan hanya memberkan kepuasan bagi seluruh sifat dasar

manusia, melainkan juga memberi kepuasan selama jangka waktu

tertentu.

2) Bahwa sesuatu itu benar apabila dapat dikaji kebenarannya secara

eksperimen. Pengujian kebenaran ini selaras dengan semangat dan


praktik sains modern, baik dalam laboratorium, maupun dalam kehidupan

sehari-hari. Begitu suatu kebenaran atau ketidakbenaran muncul, maka

kita hendaknya mencoba dan mengadakan pembuktiannya.

3) Bahwa sesuatu itu benar apabila membantu dalam perjuangan hidup bagi

eksistensi manusia. Instrumentalisme Dewy menekankan fungsi bagi

kehidupan dari ajaran-ajaran serta ide-idenya (Sadulloh, 2003:35-36).

Untuk mencapai kebenaran, kaum pragmatis berpaling pada metode sains

(ilmiah). Sebab, metode ini dianggapnya berfungsi dan berguna menafsirkan

gejala-gejala alam. Kriteria pragmatism banyak digunakan oleh ilmuwan

untuk menentukan kebenaran ilmiah dalam jangka waktu tertentu, karena

seperti yang telah dikemukakan diatas, bai pramatisme tidak ada kebenaran

mutlak dan abadi.

2. Aliran-aliran dalam masalah pengetahuan

Persoalan pengetahuan yang bertalian dengan sumber-sumber

pengetahuan, dijawab oleh aliran-aliran berikut :

a. Rasionalisme, berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber

pada akal. Akal memperoleh bahan lewat indra untuk kemudian diolah

oleh akal, sehingga menjadi pengetahuan. Rasionalisme mendasarkan

metode diskusi, yaitu cara memperoleh kepastian melalui langkah-

langkah metodis yang bertitik tolak dari hal-hal yang bersifat umum

untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.

Rene Descartes membedakan tiga ide yang ada dalam diri manusia,

yaitu : (1) innate ideas adalah ide-ide yang dibawa manusia sejak lahir,
(2) adventious ideas adalah ide-ide yang berasal dari luar manusia, (3)

factitious ideas adalah ide-ide yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri.

Semboyan Descartes adalah cogito ergo sum yang artinya saya

berpikir, maka saya ada dan de imnibus dubitandum yang artinya

ragukan segala sesuatu itu.

b. Empiritisme, berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat

indra. memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, untuk

kemudiankesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia,

sehingga menjadi pengalaman. Pengetahuan yang berupa pengalaman

terdiri dari atas penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang

bermacam-macam.

c. Realisme, adalah aliran yang menyatakan bahwa objek-objek

pengetahuan yang diketahui adalah nyata dan dirinya sendiri. Objek-

objek tersebut tidak tergantung pada yang mengetahui, yang mencerap

atau tidak tergantung pada pikiran. Pikiran dan dunia luar saling

berinteraksi, akan tetapi interaksi ini tidak mempengaruhi sifat dasar

dunia. Dunia tetap ada sebelum pikiran menyadari dan tetap ada

setelah pikiran berhenti menyadarinya.

d. Kristisisme, adalah aliran yang berusaha menjawab persoalan

pengetahuan dengan tokohnya Immanuel Kant. Titik tolak Kant adalah

ruang dan waktu sebagai kedua bentuk pengamatan. Akal menerima

bahan-bahan pengetahuan dari empiri (dari indra sebagai empiri

ekstern dan dari pengalaman sebagai empiri intern). Bahan-bahan

yang berupa empiri tersebut masih kacau. Kemudian akal mengatur


dan menertibkab dalam bentuk pengamatan, yakni ruang dan waktu.

Bahan-bahan empiri tersebut ditempatkan yang satu sesudah yang lain.

Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan, sedangkan olah akal

merupakan pembentukannya ( Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 1996 :

24-25).

Persoalan pengetahuan yang menekankan pada hakikat pengetahuan, dijawab oleh

aliran-aliran berikut ini :

a. Idealisme, berpendirian bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental

ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subjektif. Pengetahuan

merupakan gambaran subjektif tentang kenyataan. Pengetahuan tidak

menggambarkan kebenaran yang sesungguhnya atau pengetahuan tidak

memberikan gambaran yang tepa tentang hakikat sesuatu yang berada

diluar pikiran manusia.

b. Empirisme, berpendirian bahwa hakikat pengetahuan adalah berupa

pengalaman. David Hume termasuk dalam aliran empirisme radikal

menyatakan, bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada sensasi-sensasi

(ruang indra). Pengalam merupakan ukuran terakhir dari kenyataan.

William James menyatakan, bahwa pernyataan tentang fakta adalah

hubungan diantara benda-benda, sama banyaknya dengan pengalaman

khusus yang diperoleh secara langsung dengan indra.

c. Positivisime, berpendirian bahwa kepercayaan-keparcayaan yang dogmatis

harus digantikan dengan pengetahuan yang faktawi. Apapun yang berada

diluar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh


perhatian pada dunia ini. Sikap negative pasitivisme terhadap kenyataan

yang diluar pengalaman telah mempengaruhi berbagai bentuk pemikiran

modern : pragmatism, instrumentalisme, naturalism ilmiah dan

behaviorisme.

d. Pragmatisme, tidak mempersoalkan hakikat pengetahuan melainkan

menanyakan apa guna pengetahuan tersebut. Daya pengetahuan hendaklah

dipandang sebagai sarana bagi pembuatan.

C.S Pierce menyatakan, bahwa yang penting adalah pengaruh apa yang dapat

dilakukan sebuah idea atau suatu pengetahuan dalam suatu rencana.

Pengetahuan kita tidak lain merupakan gambaran yang kita peroleh tentang

akibat yang dapat kita saksikan. Nilai dari suatu pengertian atau suatu

pengetahuan bergantung pada penerapan yang nyata dalam masyaakat.

Pengetahuan yang dimiliki manusia dikatakan benar tidak karena pengetahuan

itu mencerminkan kenyataan, melainkan dikatakan benar kalau dapat

membeuktikan manfaatnya bagi umum.

William James menyatakan, bahwa ukuran kebenaran sesuatu hal itu

ditentukan oleh akibat praktisnya. Sesuatu pengertian tidak pernah benar,

tetapi pengertian hanya dapat menjadi benar.Ukuran kebenaran hendaknya

dicari dalam tingkatan seberapa jauh manusia sebagai pribadi dan secara

psikis merasa puas.

John Dewey menyatakan, bahwa tidak perlu mempersoalkan kebenaran suatu

pengetahuan, melainkan sejauh mana kita dapat memecahkan persoalan yang

timbul dalam masyarakat. Bagi John Dewey, kegunaan atau kemanfaatan


untuk umum hendaknya menjadi ukuran, sedangkan daya untuk mengetahui

dan daya untuk berpikir merupakan sarana. Bukan pengetahuan itu sendiri

yang benar, tetapi pengetahuan itu baru menajdi benar dalam rangka proses

penerapannya. Dengan demikian pengetahuan bersifat dinamis, karena harus

sesuai peristiwa-peristiwa yang silih berganti dan yang mencerminkan hakikat

alam semesta ini (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 1996: 25).

3. Jenis-jenis pengetahuan

Manusia berusaha mencari pengetahuan dan kebenaran, yang dapat

diperolehnya dengan melalui beberapa sumber:

a. Pengetahuan wahyu (reveald knowledge)

Mansuia memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu yang

diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Tuhan telah memberikan pengetahuan

dan kebenaran kepada manusia pilihannya, yang dapat dijadikan petunjuk bagi

manusia dalam kehidupannua. Wahyu merupakan firman Tuhan.

Kebenarannya adalah mutlak dan abadi. Pengetahuan wahyu bersifat

eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar manusia.

b. Pengetahuan intuitif (intuitive knowledge)

Pengetahuan intuitif diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri, pada saat ia

menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif muncul secara tiba-tiba dalam

kesadaran manusia.Mengenai proses kerjanya, manusia itu sendiri tidak

menyadarinya. Pengetahuan itu sebagai hasil penghayatan pribadi, sebagai


hasil eksperi dari keunikan dan individualitas seseorang, sehingga validitas

pengetahuan ini bersifat sangat pribadi.

Pengetahuan intiuitif disusun dan diterima dengan kekuatan visi imajinatif

dalam pengalaman pibadi seseorang. Kebenaran yang muncul/tampak dalam

karya seni merupakan bentuk pengetahuan intuitif, seperti karya penulis besar

Shakespeare, Muhammad Iqbal, Al Gazali, dan yang lainnya yang berbimcang

tentang kebenaran nurani manusia, merupakan hasil karya intuisi.

Kebenaran tersebut tidak akan dapat diuji dengan observasi, perhitungan, atau

eksperimen, karena kebenaran intuitif tidak hipotesis. Tulisan-tulisan mistik,

autobiografi, dan karya esai merupakan refleksi dari penegatahuan intuitif.

Dalam pengertian secara umum, intuisi merupakan metode untuk memperoleh

pengetahuan tidak berdasarkan penalaran rasio,pengalaman, dan pengamatan

indra. Dalam filsafat ada paham yang disebut intuisionisme. Intuisionisme

merupakan paham yang menganggap bahwa dengan intuisi manusia bisa

memperoleh kebenaran yang hakiki. Kaum intuisionis berpendapat, bahwa

manusia mempunyai kemampuan khusus, yaitu cara khusus untuk mengetahui

yang tidak terikat pada indra mnaupun penalaran intelektual. Pengetahuan

yang diperoleh secara intuisi bukan pengetahuan yang berasal dari diri kita

yang bersifat dangkal melainkan berasal dari dalam diri kita sendiri.

Menurut kaum intuisionis, dengan intuisi kita bisa mnegetahui diri kita

snediri, mengetahui karakter perasaan dan motif orang lain, kita mengetahui

dan memahami hakikat yang sebenarnya tenatng waktu, gerak, dan aspek-
aspek fundamental di dalam jagad raga (alam semester) ini. Dengan intuisi

kita dapat menangkap kenyataan yang konkret.

Pengehatuan intuitif sulit dikembangkan, karena validitasnya sangat pribadi,

dan memiliki watak yang tidak komunikatif, khusus untuk diri sendiri,

subjektif, tidak terlukiskan, sehingga sangat sulit untuk mengetahui seseorang

memilikinya atau tidak.

c. Pengetahuan rasional (rational knowledge)

Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh dari latihan

rasio/akal semata, tidak disertai dengan observasi terhadap peristiwa-peristiwa

factual. Prinsip logika formal dan matematika murni merupakan paradigma

pengetahuan rasional, yang kebenarannya dapat ditunjukkan dengan

pemikiran abstrak. Prinsip pengatahuan rasional dapat diterapkan pada

pengalaman indra, tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indra.

Rasionalisme adalah aliran dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk

memperoleh pengetahuan dankebenaran. Rasionalisme berpandangan, bahwa

akal merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan. Akal manusia

memiliki kemampuan untuk mengetahui kebenaran alam semesta, yang tidak

mungkin dapat diketahui melalui observasi. Menurut rasionalisme,

pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran hukum “sebab-akibat”,

karena peristiw ayang tidak terhingga dalam kejadian alam tidak mungkin

diobservasi.

Rasionalime memberikan kritik terhadap empirisme, bahwa :


1) Metode empiris tidak member kepastian, tetapi hanya sampai pada

probabilitas yang tinggi.

2) Metode empiris, dalam sains maupun dalam kehidupan sehari-hari,

biasanya bersifat sepotong-sepotong (piece meal).

Menurut pengakuan kaum rasionalis, mereka mencari kepastian dan

kesempurnaan secara sistematis. Penelitian mereka dalam matematika,

khusus geometri, mencoba tidak mempercayai pengalaman, melainkan

hanya berdasarakan suatu penalaran. Menurut mereka, penalaran

memadai untuk menyusun aksioma-aksioma dasar yang universal

memungkinkan kita dapat mengambil kesimpulan khusus dari aksioma

tersebut.

Aksioma merupakan “self evident”, dan dapat dipercaya, bebas dari

pengalaman. Oleh karena itu, pengalaman tidak mungkin dapat membuktikan

bahwa aksioma itu salah. Aksioma akan memberikan dasar bagi semua

pengetahuan dankepercayaan. Kesimpulannya : bersifat mandiri, yaitu suatu

kesatuan yang bersistem.

d. Pengetahuan empiris (empirical knowledge)

Pengetahuan empiris diperoleh atas bukti pengindraan dengan pengelihatan,

pendengaran, dan sentuhan indra-indra lainnya, sehingga kita memiliki konsep

dunia di sekitar kita. Paradigma pengetahuan empiris adalah sains, yang

hipotesis-hipotesis sains diuji dengan observasi atau dengan eksperimen.


Aliran yang menjadikan empiris (pengalaman) sebagai sumber pengetahuan

disebut empirisme. Empirisme merupakan aliran dalam filsafat yang

membicarakan pengetaghuan. Empirisme beranggapan, bahwa pengetahuan

dapat diperoleh melalui pengalaman, dengan jalan observasi, atau

pengindraan. Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan,

sehingga merupakan sumber dari pengetahuan manusia. Apa yang kita

ketahui berasal dari segala apa yang kita dapatkan melalui alat indra.

Pengalaman merupakan proses interaksi antara manusia dengan

lingkungannya. Pengalaman tidak hanya sekedar dunia fakta, melainkan

termasuk pula dunia penelitian, yang dalam pengertian ini termasuk dunia

sains.

Pengalaman bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal, melainkan

melibatkan akal sebagai bagaian integral dari pengalaman. Dalam sains

modern, para ahli sain menaruh perhatian pada control observasi dan

eksperimen, tidak semata-mata pada persepsi indra secara umum dari

pengalaman akan selalu bersifat sementara, dan dimulai dari bentuk hipotesis.

Oleh karena itulah, teori atau hukum –hukum yang diperoleh melalui

pengalaman setiap saat dapat berubah dan dapat diubah, sesuai dengan hasil

temuan baru yang berdasarkan pengalaman pula.

e. Pengetahuan otoritas (authoritative knowledge)

Kita menerima suatu pengetahuan itu benar bukan karena telah mengeceknya

di luar dari diri kita, melainkan telah dijamin oleh otoritas (suatu sumber yang

berwibawa, memiliki wewenang, memiliki hak) di lapangan. Kita menerima


pendapat orang lain, karena ia adalah seorang pakar dalam bidangnya.

Mislanya, kita menerima petuah agama dari seorang kiai, karena beliau

merupakan orang yang sangat ahli dan mengeusai sumber ajaran agama islam,

tanpa harus kita mengecek dari sumber aslinya (Quran dan Sunnah).

Kita sering mengutamakan pandangan kita dengan menguntip dari

ensiklopedia atau hasil karya tulis para pakar yang terkenal. Pada zaman

kerjaan, sabda raja merupakan petuah yang dianggap benar tidak salah karena

raja merupakan manusia yang paling berkuasa (Sadulloh, 2003: 30 – 33).

D. Metode Ilmiah

Kata metode berasal dari kata Yunani “meta” = jalan; “bados” = melalui;

“meta+bados” = sepanjang jalan. Jadi metode adalah jalan yang harus

ditempuh untuk mencapai suatu tujuan atau “cara bekerja” menurut aturan-

aturan atas dasar objeknya. Dengan demikian maka ada :

1. Metode untuk mengajar

2. Metode untuk belajar

3. Metode untuk mendidik, dan sebagainya.

Dalam mengajar ilmu pengetahuan, metode adalah cara bekerja menurut

aturan-aturan yang berdasarkan pada objeknya, untuk mencapai suatu

kebenaran. Bedanya dengan logika formal ialah bahwa logika formal itu

mengajar cara-cara bekerja yang berdasar pada “kodeat budi sebagai kekuatan

mengenal” untuk mencapai suatu kebenaran. Jadi berdasarkan subjek yang

mengenal. Oleh karena metode itu berdasarkan pada objeknya, maka secara
teoritis, jumlah metode itu paling sedikit sama dengan jumlah kategori-

kategori (golongan-golongan) ilmu pengetahuan.

1. Guna Metode

Dengan adanya metode ini orang-orang berarti terikat pada peraturan-

peraturan dalam usaha mencapai suatu kebenaran. Dengan “keterikatan” ini

orang berarti tidak dapat bertindak semau-maunya, tidak tenggelam dalam

situasi kebetulan saja, tetapi segala sesuatu selalu diarahkan kepada tujuannya.

Jadi ada pilihan waktu dan keadaan yang tepat, bekerja dengan efektif dan

efisien.

Kladisikasi Metode
Untuk menemukan
a. Metode
Untuk mengajarkan

Ilmu pengetahuan
b. Metode
Autoritas (kepercayaan)

Empiris
c. Metode

Rasional

Konstruksi
d. Metode
Sisematisasi
a. Metode untuk menemukan itu biasanya berjalan secara induksi, yaitu

dengan memperhatikan fakat-fakta yang bersifat khusus, akhirnya dapat

ditemukan kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan

metode untuk mengajarkan, biasanya berjalan secara deduksi, yaitu

dimulai dari mengemukakan aksioma-aksioma atau dalil-dalil dulu

(bersifat umum), kemudian mengurai sampai pada masalah-masalah yang

khsusu. Tetapi baik metode untuk menemukan maupun metode untuk

mengajarkan, kedua-duanya memerlukan induksi dan deduksi.

b. Metode ilmu pengetahuan itu berdasarkan pada pembuktian-pembuktian

dengan akal, dan berpangkall pada evidensi interna, artinya keterangan –

benderangan yang kita tangkap itu terdapat dalam barang itu sendiri.

Metode autoritas (kepercayaan) itu berdasarkan pada pernyataan orang

lain. Kita menerima pernyataan itu sebagai benar, sebab kita tahu bahwa

yang menyatakan itu adalah tahun perkaranya. Jadi berdasarkan pada

pengetahuan dan kejujuran orang lain, bukan berdasarkan evidensi yang

“nersinar” dari barang itu sendiri.

Metode autoritas dapat menjadi metode ilmu pengetahuan yaitu apabila

budi kita dapat menujukkan alasan-alasan yang cukup kuat, sehingga budi

kita menerima kebenaran itu, sebab memang terdorong oleh kebenaran,

tidak hanya percaya saja. Jadi penerimaan kebenaran itu beradasarkan

evidensi eksterna.

c. Metode empiris ini berdasarkan pada “empiri” (pengalaman). Metode ini

biasanya dipakai dalam ilmu pengetahuan alam kodrat. Adapun caranya


yaitu dengan menyelidiki kejadian-kejadian kodrat itu, dan penyelidikan

inilah yang dipakai sebagai ukuran.

Metode rational ini berpangkal pada faktrum-faktrum dan berjalan dengan

pertolongan deduksi atau induksi menurut syarat-syarat logis-rational.

d. Metode kontruksi dan sistematisasi.

Ini adalah suatu usaha menggampangkan atau memudahkan penyusun

menjadi sistem-sistem dan teori-teori. (Bdk., Soekarto, tt)

2. Metode Kebimbangan

Orang tidak bimbang terhadap sesuatu kebenaran tetapi bertindak seolah-olah

bimbang terhadap suatu kebenaran itu. Tindakan ini tidak lain kecuali

bermaksud untuk memeriksa hal itu dengan lebih seksama. Dengan tindakan

yang demikian itu orang lalu dapat mengakui kebenaran itu, semata-mata

sebab menangkap evidendinya.

Akan tetapi orang tidak dapat berpangkal pada kebimbangan umum, artinya

mulai dari bimbang terhadap segala-galanya.

Adapun sebabnya adalah sebagai berikut :

a. Kebimbangan umum itu sebenarnya tidak mungkin.

b. Orang yang tenggelam dalam kebimbangan umum, mustahil dapat keluar.

Jadi kalau semua premis iu berupa kebimbangan, maka konklusinya pun akan

berupa kebimbangan pula. Maka apabila orang bimbang tentang segala-

galanya, berarti tidak dapat mempunyai premis-premis tertentu. konklusinya

pun akan berupa kebimbangan.


Analisis dan Sintesis

Cara kerja yang umum bagi semua adalah analisis dan sintesis. Hal ini

menunjukkan dua buah pekerjaan budi yang pokok dalam rangka menyelami

objeknya, yaitu mengurai dan menyatukan kembali. Mengurai (menganalisis)

berarti membagi-bagi sesuatu (onjek) yang “complex”, ke dalam bagian-

bagian yang “simplex”.

Pembagian dapat dilakukan secara :

a. Experimental barangnya yang utuh itu dibagi-bagi sungguh-sungguh

dalam realitasnya.

b. Rasional bila pembagian itu hanya dilakukan di dalam budi saja (secara

teorrtis).

Bila dikatakan menganalisis kalau budi itu berjalan dari “akibat” ke “sebab-

sebabnya”, dari hal-hal yang “khusus” ke hal-hal yang lebih “umum”.

Sintesis berarti penyatuan barang-barang yang terpisah menajdi suatu

keutuhan. Budi dikatakan mensintetis apabila proses pemikirannya berjalan

dari barang-barang yang “tunggal (individual) ke barang-barang yang “susun”

(complex), dari “bagian-bagian” ke “keutuhan-keutuhannya”, dari “sebab-

sebab” ke “akibat-akibatnya”.

Adapun analisis itu harus dilakukan menurut “hukum-hukum pembagian”,

yaitu :
a. Adekuat / lengkap, jika semua bagian-bagain dikumpulkan kembali,

sedang jumlahnya tidak kurang, tidak lebih dari keutuhannya.

b. Memecah dalam bagian-bagian yang tidak saling mengandung, artinya

bagian-bagiam itu slaing bertentangan.

c. Berdasarkan satu garis artinya berdasarkan fundamen atau dasar yang

sama.

Analisis dan sintesis dapat dlakukan sebagai control antara yang satu dengan

yang lain. (Bdk., Soekarto, tt)

3. Metode dalam Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan adalah kumpulan-kumpulan mengenai suatu hal tertentu

(objek), yang merupakan kesatuan yang sistematis (struktur organis) dan yang

memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan (bersarkan

metode) dengan menunjukkan sebab-sebab hal itu.

Ilmu pengetahuan itu mencari yang umum dan yang mutlak. Yang umum,

sebab-sebab dan hukum-hukum yang berlaku pada umumnya artinya tidak

hanya berlaku bagi satu atau dua individu atau kejadian-kejadian saja. Jadi,

ilmu pengetahuan itu mencari yang umum pada barang. Yang mutlak, sebab-

sebab dan hukum-hukum itu adalah realitas-realitas yang mutlak secara

metaphysic, physis atau moral. Tanpa yang mutlak itu dunia dengan kejadian-

kejadiannya, dan perbuatan-perbuatan manusia, tidak dapat kita mengerti.


Akan tetapi meskipun demikian, ilmu pengetahuan memperhatikan yang tidak

mutlak dan yang individual juga. Dari yang yidak mutlak dan yang hanya

individual itu, kita peras mutlaknya dan umumnya.

4. Metode Ilmu pengetahuan Alam Kodrat

Di dalam membahas metode dalam ilmu pengetahuan, di situ hanya dibatasi

pada pembahasan tentang metode dalam ilmu pengetahuan alam kodrat.

Sebab metode dalam ilmu pasti danmetode-metode dalam ilmu pengetahuan

tentang perbuatan manusia, akan dibahas dalam masalah yang lain.

Ilmu-ilmu alam kodrat itu mencari sebab-sebab dan hukum-hukum yang

berlaku umum dalam seluruh alam kodrat jasmani. Ilmu ini disebut juga ilmu-

ilmu pengetahuan empiric, sebab berpangkal pada empiric (pengalaman), dan

berpegang pada empiri sebagai kriterium.

Material : gejala-gejala dari seluruh alam


kodrat jasmani
Objeknya

Formal : sebab-sebab dan hukum-huku,


umum dari gejala itu.

Ilmu pengetahuan itu disebut juga ilmu pengetahuan induktif, sebab berjalan

dari kejadian-kejadiab yang individual ke hukum-hukumnya yang umum.

Ilmu pengetahuan alam kodrati ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


a. Ilmu pengetahuan alam kodrat yang anorganis:

1) Fisika : mempelajari sifat-sifat umum dari benada-benda jasmani

(materi) itu.

2) Kimia : mempelajari struktur dari benda-benda jasmani (materi) itu.

b. Ilmu pengetahuan Alam kodrat yang organis. Yaitu mempelajari tentang

gejala-gejala yang khusus terhadap pada benda-benda hidup (ilmu

pengetahuan biologis).

Adapun ilmu pengetahuannya melalui empat fase sebagai berikut:

a. Observasi (pengamatan)

Setiap ilmu pengetahuan empiris selalu dimulai dengan pengamatan-

pengamatan yang saksama, untuk mengenal dan mnegukur dengan tepat

gejala-gejala yang ada. Biasanya alat indra kita itu tidak mampu untuk

mengadakan pengamatan-pengamatan yang begitu teliti, maka dari itu kita

sering menggunakan alat-alat pembantu pengamatan seperti: mikroskop,

teleskop, fotografi, thermometer, dan lain sebagainya. Untuk melakukan

pekerjaan itu dengan semsetinya dituntut juga syarat-syarat rasional dan

moral (ingin tahu, ketajaman budi, kesabaran, dan tidak berat sebelah).

b. Hipotesis

Setelah kejadian-kejadian dikonstantir, kemudian orang mencari hukum-

hukum yang dianutnya, dan mencari hubungan gejala-gejala itu satu sama

lain. Jadi orang berusaha menerangkan kejadian-kejadian itu.

Pada umumnya orang menggunakan pertolongan suatu hipotesis yang

untuk sementara dapat member keterangan.


1) Syarat-syarat apriori bagi hipotesis

Penemuan itu harus ditimbulkan oleh kejadian-kejadian itu.

Demikian pula tidak boleh mengandung kontradiksi di dalamnya.

Akan tetapi bertentangan dengan hipotesis-hipotesis lain, yang dulu

sudah diketemukan, boleh. Bahkan dengan adanya pertentangan itu,

ilmu pengetahuan mungkin mendapat kemajuan.

Bisanya hipotesis-hipotesis yang baru memberi keterangan-keterangan

yang lebih baik daripada hipotesis yang dahulu.

Hipotesis baru sederhana, tidak berbelit-belit. Akan tetapi tidak

mudah menetapkan, mana yang sederhana dan mana yang berbelit-

belit itu.

2) Tugas hipotesis

Hipotesis itu untuk member keterangan buat sementara, selama belum

diketemukan keterangan yang sesungguhnya. Hipotesis memudahkan

pekerjaan, Karen amempermudah menemukan alat-alat yang

semsetinya harus diguanakan dan mempermudah menemukan metode-

metode yang harus ditempuh. Hipotesis meolong untuk menyusun

kejaian-kejadian yang dialami.

Menurut Daude Bernard (dalam, Soekarto, tt), tanpa hipotesisi orang

hanya dapat menimbun-nimbun pengalaman-pengalaman dengan sia-

sia.

c. Eksperimen (percobaa)

Setelah orang menemukan hipotesis, maka segera diadakan penelitian,

apakah hipotesis itu benar atau salah. Dengan hipotesis orang menerima
(buat sementara) bahwa ada hubungan yang tetap antara gejala yang satu

dengan gejala yang lain, atau sebagai sebab dan akibat, atau sebagai dua

gejala yang selalu berturut-turut. Kemudian orang mengadakan

percobaan, apakah kalau A (suatu gejala) diubah, B (gejala yang lain)

berubah pula dan apakah perubahan pada B itu selaras dengan perubahan

pada A.

Di dalam pelaksanaan hal ini orang seharusnya telah memiliki “sebab

dasar” yang diterimanya bahwa “hukum-hukum alam kodrat itu tetap” atau

“dalam kondisi-kondisi yang sama, sebab-sebab yang sama tentu

menimbulkan akibat-akibat yang sama pula”. Untuk melakukan

percobaan-percobaan dengan seksama, orang memikirkan bermacam-

macam prosedurnya, antara lain :

1) One group method

2) Equivalent group method

3) Rotation group method

4) Tabel-tabel Bacon : Percobaan – Anti percobaan – Mutasi percobaan

5) dan sebagainya.

d. Induksi

Seperti disebutkan di atas, induksi itu untuk merumuskan atau membuat

suatu formula dari hukum-hukumnya. Bagi ilmu pengetahuan empiris,

maka induksi ini berjalan dari kejadian-kejadian atau faktun-faktum yang

individual atau khusus sampai pada kesimpulan-kesimpulan atau hukum-

hukum.

Induksi ini dibedakan sebagai berikut :


1) Induksi Lengkap

Apabila faktum-faktum itu komplit, tanpa ada yang ditinggalkan,

semua diteliti, kemudian ditarik kesimpulan atau hukum umumnya.

Ini jarang dilakukan.

2) Induksi tidak lengkap

Apabila faktum-faktum itu tidak tidak komplit, tetapi atas dasar

kesamaan-kesamaan yang hakiki, maka budi secara intuitif segera

dapat menarik kesimpulan atau hukum umumnya. Ini yang biasa

dilakukan.

Observasi dan eksperimen dilakukan untuk mengenal gejala-gejala dengan

tepat dan saksama, sedang hipotesis dan induksi membuat rumusan dari

hukum-hukumnya.
BAB 3

DASAR-DASAR PENGETAHUAN

A. Definisi dan cirri-ciri Ilmu Pengetahuan

1. Definisi Ilmu Pengetahuan

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang

berasal dari bahasa Latin scientia dari bentuk kat kerja scire yang berarti

mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan selanjutnya pengertian ilmu

mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap pengetahuan

sistematik. Dalam bahasa JErman wissenschaft.

The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas

penelaah yang mnecari penjelasan suatu metode untuk memperoleh

pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai

seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang mnejelaskan berbagai

gejala yang ingin dimengerti manusia.

Aktivitas

Ilmu

Metode Pengetahuan

Dalam bagan tersebut memperlihatkan bahwa ilmu harus diusahakan dengan

aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu,


dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang

sistematis.

Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat terwujud penelaah (study), penyelidikan

(inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau pecarian (search).Oleh

karena itu, pencarian biasanya dilakukan berulang kali, maka dalam dunia

ilmu kini dipergunakan istilah research(penelitian) untuk aktivitas ilmiah

yang paling berbobot guna menemukan pengetahuan baru.

Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencangkup beragai tindakan

pikiran, pola kerja, atat langkah, dan cara teknis untuk memperoleh

pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada.

Metode yang berkaitan dengan pola procedural meliputi pengamatan,

percobaan, pengukuran, survey, deduksi, induksi, analisi, dan lain-lain.

Berkaitan dengan tata langkah meliputi penentuan masalahm, perumusan

hipotesis (bila perlu), pengumpulan data, penurumusan kesimpulan, dan

pengujian hasil. Yang berkaitan denga berbagai teknis meliputi daftar

pertanyaan, wawancara, perhitungan, pemanasan, dan lain-lain. Yang

berkaitan dengan aneka alat, meliputi timbangam, meteran, perapian,

computer dan lain-lain.

Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para

ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau

disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan


maupun para filsuf pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah

sesuatu kumpulan pengetahuan yang sistematis.

Adapun menurut Bahm (dalam Koento Wibisono, 1997) definisi ilmu

pengetahuan melibatkan paling tidak enam macam komponen, yaitu masalah

(problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (aktivity), kesimpulan

(conclusion), dan pengaruh (effects).

a. Masalah (Problem)

Ada tiga karakteristik harus dipenuhi untuk menunjukkan bahwa suatu

masalah bersifat scientific, yaitu communicability, the scientific attitude,

dan the scientific method. Communicability berarti masalah adalah

sesuatu untuk dikomunikasikan. The scientific attitude paling tidak

memenuhi karakteristik curiosity, speculativeness, willingness to be

objective, willingness to suspend judgment, dan tentativty. The scientific

method berarti masalah harus dapat diuji (testabe).

b. Sikap (Attitude)

Karaketeristik yang harus dipenuhi antara lain :

Curiosity berarti adanya rasa ingin tahu tentang bagaimana sesuatu ide

ada, bagimana sifatnya, fungsinya, dan bagaimana sesuatu dihubungkan

dengan sesuatu yang lain.

Speculativeness. Secientist harus mempunyai usaha dan hasrat untuk

mencoba memecahkan masalah, melalui hipotesis-hipotesis yang

diusulkan
Willingness to be objective,hasrat dan usaha untuk bersikap dan bertindak

objektif merupakan hal yang penting bagi seorang scientist.

Willingness to suspend judgment, ini berarti bahwa seseorang scientist

dituntut untuk bertindak sabar dalam mengadakan observasi, dan bersikap

bijaksana dalam menemukan kebijakan berdasarkan bukti-bukti yang

dikumpulkan karena apa yang diketemukan masih serba tentative.

c. Metode (Method)

Sifat scientific method berkenaan dengan hipotesis yang kemudian diuji.

Esensiscience terletak pada metodenya. Sciencesebagai teori, merupaka

sesuatu yang selalu berubah. Berkenaan dengan sifat metode scientific,

para scientist tidk selalu memiliki ide yang (pasti) yang dapat ditunjukkan

sebagai sesuatu yang absolute atau mutlak.

d. Aktivitas (Activity)

Science adalah sesuatu lahan yang dikerjakan oleh para scientist, melalui

apa yang disebutscientific research, terdiri atas dua aspek, yaitu

individual dan sosial. Dari aspek individual, scienceadalah aktivitas, yang

dilakukan oleh seseorang. Adapun dari aspek sosial, science has become

a vast institutional undertaking. Scientist menyuarakan kelompok orang-

orang ‘elite’, danscience merupakan a never ending journey, atau a never

ending effort.

e. Kesimpulan (Conclusions)

Science lebih sering dipahami sebagai a body of kwoledge. Body dari

ideide ini merupakan science itu sendiri. Kesimpulan yang merupakan

pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah adalah tujuan


dari science, yang dikhiri dengan pembenaran dari sikap, metode, dan

aktivitas.

f. Beberapa Pengaruh (Effects)

Sebagian dari apa yang dihasilkan melalui science pada gilirannya

member berbagai pengaruh. Pertimbangannya dibatasi oleh dua

penekanan, yaitu pertama, pengaruh ilmu terhadap ekologi, melalui apa

yang disebut dengan applied science, dan kedua, pengaruh ilmu terhadap

alam dalam masyarakat serta membudayakan nya menjadi berbagai

macam nilai.

2. Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan

Ciri pengetahuan ilmiah antara lain adalah persoalan dalam ilmu itu penting

untuk segera dipecahkan dengan maksud untuk memperoleh jawaban. Dalam

hal ini ilmu muncul dari adanya problema dan harus dari suatu problema,

tetapi problema itu telah diketahuinya sebagai suatu persoalan yang tidak

terselesaikan dalam pengetahuan sehari-harinya.

Di samping itu, setiap ilmu dapat memecahkan masalah sehingga mencapai

suatu kejelasan dan kebenaran, walaupun bukan kebenaran akhir yang abadi

dan mutlak. Kemudian bahwa setiap jawaban dalam masalah ilmu telah

berupa kebenaran harus dapat diuji oleh orang lain. Pengujiannya baik

dengan pembenaran atau penyangkalan. Hal ini juga bahwa setiap masalah

dalam ilmu harus dapat dijawab dengan cara penelaahan atau penelitian

keilmuan yang seksama, sehingga dapat dijelaskan dan didefinisikan.


Dengan menilik persoalan keilmuan pada dasarnya masalah yang terkandung

dalam ilmu selalu harus merupakan suatu problema yang telah diketahui atau

yang ingin diketahuinya, kemudian ada suatu penelitian agar dapat diperoleh

kejelasan tentunya dengan mempergunakan metode yang relevan untuk

mencapai kebenaran yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. (Abbas

Hammami Mintaredja, 1980)

Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie (1987)

mempunyai 5 ciri pokok :

a. empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan

percobaan;

b. sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan

pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur;

c. objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan

dan kesukaan pribadi;

d. analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya

ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat,

hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu;

e. verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.

Adapun Daoed Joesoef (1987) menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu

pada tiga hal, yaitu pokok, proses, dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai

produk, yaitu pengetahuan yang telah dietahuai dan diakui kebenarannya oleh

masyarakat ilmuawan.
Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang

mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji,

dan dibantah oleh seseorang.

Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya, kegiatan kemasyarakatan yang

dilakukan demi pertemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana yang

kita kehendaki sebagai adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki.

Metode ilmiah yang khas dipakai dalam proses ini adalah analisis rasional,

objektif, sejauh mungkin ‘impersoanl’ dari masalah-masalah yang didasarkan

pada percobaan dan data yang dapat diamati.

Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindak-

tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan

yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme yang

teratur.

Van Meslen (1985) mengemukakan ada delapan cirri yang menandai ilmu,

yaitu sebagai berikut.

a. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang

secara logis koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode)

maupun harus susunan logika.

b. Ilmu pengertahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan

tanggungjawab ilmuwan.

c. Universalitas ilmu pengetahuan.


d. Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi

oleh prasangka-prasangka subjektif.

e. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah

yang bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat

dikomunikasikan.

f. Progresivitas, artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat sungguh-

sungguh, bila mengandung pertanyaan menimbulkan problem baru lagi.

g. Kritis, artinya tidak ada teori yang definitive, setiap teori terbuka bagi

suatu peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.

h. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakansecara perwujudan kebertautan

antara teori dengan praktik.

Mohammad Hatta, menfinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur

tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama

tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut

bagunannya dari dalam. Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau

keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman

dengan istilah sederhana. (Amsal Bakhtiar, 2004:15)

Demi objektivitas ilmu, ilmuwan harus bekerja dengan cara ilmiah. Sifat

ilmiah dalam ilmu harus dapat diwujudkan, apbila dpenuhi syarat-syarat yang

intinya adalah :

a. Ilmu harus mempunyai ibjek, ini berarti bahwa kebenaran yang hendak

diuangkapkan dan dicapai adalah persesuaian anatara ilmu pengetahuan

da objeknya.
b. Ilmu harus mempunyai metode, ini berarti bahwa untuk mencapai

kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi.

c. Ilmu harus sitematik, ini berarti bahwa dalam memberikan pengalaman,

objeknya dipadukan secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur.

d. Ilmu bersifat universal, ini berarti bahwa kebenaran yang diuangkapkan

oleh ilmu tidak mengenai sesuatu yang bersifat khusus, melainkan

kebenaran itu berlaku umum. (Hartono Kasmadi, dkk., 1990:8-9)

Disamping itu yang perlu disadari, yakni ilmu bukanlah hal yang statis,

melainkan bergerak dinamis sesuai dengan pengembangan yang diusahakan

oleh manusia dalam mengungkapkan tabir alam semesta ini. Usaha

pengembangan tersebut mempunyai arti juga bahwa kebenaran yang telah

diuangkapkan oleh ilmu tertentu adalah kebenaran yang masih terbuka untuk

diuji.

B. Penalaran dan logika

1. Penalaran

Manusia dalah makhluk yang diberi kemampuan berpikir merasa, melihat,

mendengar, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakannya diperoleh atau

bersumber pada pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan

berpikir, merasa, melihat dan mendengar. Penalaran menghasilkan

pengetahuan yang dikaitkan dengan berpikir dan tidak dikaitkan dengan

perasaan, dalam hal ini seorang ahli fisika yaitu Pascal menyatakan bahwa

ternyata hati juga mempunyai logikanya sendiri. Dalam hal ini perlu

diketahui juga logikanya kita dasari bahwa tidak semua kegiatan berpikir itu
didasarkan pada penalaran. Artinya, penalaran adalah kegiatan berpikir yang

memiliki karakteristik tertentu dalam menentukan suatu kebenaran. Dengan

singkat dapat dinyatakan bahwa penalaran dapat didefinisikan sebagai suatu

proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan

yang benar.

Berpikir seperti yang telah dijelaskan adalah suatu kegiatan akal manusia

untuk menentukan pengetahuan yang benar. Pertanyaannya adalah apakah

yang dimaksud dengan benar? kata benar itu sendiri ternyata setiap orang

memiliki pengertian yang tidak sama. Oleh karena itu, kegiatan berpikir yang

dapat menghasilkan pengetahuan yang benar juga mempunyai cara atau

aturan yang berbeda-beda. jadi setiap jalan pikiran manusia mempunyai apa

yang disebut dengan criteria kebersamaan, dan criteria kebenaran ini juga

merupakan landasan bagi proses bahwa penalaran merupakan proses

penentuan kebenaran, dimana setiap kebenaran sesuai dengan criterianya

masing-masing.

Penalaran bagi suatu proses berpikir didasarkan dua hal utama, yaitu logis

dan analitis. Logis sebagai salah satu cirri penalaran mempunyai logika

masing-masing. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bawa penalaran adalah

suatu berpikir logis, dimana berpikir logis adalah suatu kegiatan berpikir

menurut suatu pola tertentu atau logika adalah suatu pola atau logika

tertentu. Perlu diketahui bahwa berpikir logis itu memiliki konotasi yang

bersifat jamak (pural) dan bukan tunggal (singular).Kegiatan berpikir

dikatakan logis bila ditinjau dari logika tertentu, dan tidak logis bila ditinjau
dari logika yang lain. Hal ini sering dikatakan sebagai kekacauan penalaran

yang disebabkan ketidak konsistenan dalam mempergunakan pola pikir

tertentu.

Anlitis adalah cirri dari penalaran, yaitu kegiatan berpikir yang mendasarkan

diri pada suatu analisis. Sedangkan kerangka berpikir yang dipergunakan

untuk analisis adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya,

penalaran ilmiah suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah,

sedangkan penalaran yang lain tentunya akan menggunakan logikanya

masing-masing. Sifat analitis dari penalaran ini, bila dikaji lebih jauh

merupakan konsekuensidari adanya pola berpikir tertentu. Artinya, tanpa

adanya pola berpikir tertentu tersebut maka tidak akan pernah ada kegiatan

analisis, sebab anailisis pada hakikatnya adalah suatu kegiatan berpikir

berdasarkan langkah-langkah tertentu pula. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, bahwa tidak semua kegiatan bepikir didasarkan pada proses

penalaran, dengan demikian dapat dikatakan bahwa cara berpikir yang tidk

masuk ke dalam penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitis. Dengan

kata lain, dalam proses berpikir kita dapat membedakan mana berpikir yang

menggunakan penalaran dan yang bukan menggunakan penalaran.

Manusia dalam melakukan kegiatan berpikir tidak selalu didasarkan pada

penalaran, namun ada juga kegiatan berpikir yang didasarkan pada perasaan

dan intuisi. Berpikir yang didasarkan pada perasaan dan instuisi disebut

dengan kegiatan berpikir non-analitis. Artinya, berpikir nonanalitis adalah

suatu kegiatan berpikir yang tidak didasarkan pada pola kegiatan berpikir
tertentu. Kegiatan berpikir intuitif dalam kehidupan masyarakat ternyata

memiliki peranan yang penting dalam cara berpikir nonanalitis, yang

kemudian sering dikaitkan dengan perasaan. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa ada dua cara berpikir masyarakat dalam menemukan

pengetahuan yang benar, yaitu dengan cara berpikir analitis (penalaran) dan

berpikir nonanalitis (intuisi dan perasaan).

a. Prinsip-prinsip Penalaran

Prinsip-prinsip penalaran ada empat yang terdiri atas tiga prinsipdari

Aristoteles dan satu prinsip dari Georgo Leibniz.

Prinsip penalaran dari Aritoteles adalah :

1) Prinsip identitas. Prinsip ini dalam istilah Latin ialah principium

identitatis. Prinsip identitas berbunyi : “sesuatu hal adalah sama

dengan halnya sendiri”. Dengan kata lain: “sesuatu yang disebut p

maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”.

2) Prinsip kontradiksi (principium contradictionis).

Prinsip kontradiksi berbunyi : “sesuatu tidak dapat sekaligus

merupakan hal itu dan bukan hal itu pad awaktu yang bersamaan”,

atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar dan

tidak benar pad saat yang sama”. Dengan kata lain “sesuatu tidaklah

mungkin secara bersamaan merupakan p dan non-p”.

3) Prinsip eksklusi tertii (principium exdusi tertii), yakni prinsip

penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan

ketiga.
Prinsip eksklusi tertii berbunyi: “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal

tertentu atau bukan hal tertentu mak tidak ada kemungkinan ketiga

yang merupakan jalan tengah”. Dengan kata lain: “sesuatu x mestilah

p atau non-p tidak ada kemungkinan ketiga”. Arti dari prinsip ini

ialah dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin

kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu

yang dapat dimilikinya, sifat p atau non-p.

4) Di smaping ketiga prinsip yang dikemukakan oleh Aritoteles di atas,

seorang filsuf Jerman Leibniz menambah satu prinsip yang

merupakan pelengkap atau tambahan bagi prinsip identitas, yaitu

prinsip cukup alasan (principium rationis sufficientis), yaitu

berbunyi: ”suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hak tertentu hal

tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-

tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”. Dengan kata lain:

“adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup,

demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”. (Noor Ms

Bakry, 1983)

b. Penalaran Proposisi Kategoris

Penalaran adalah suatu proses penarikan kesimpulan dari satu atau lebih

proposisi. Penalaran ada sua, yakni penalaran langsung dan tidak

langsung. Penalaran langsung adalah penalaran yang didasarkan pada

sebuah proposisi kemudian disusul proposisi lain sebagai kesimpulan

dengan menggunakan tertii yang sama. Ada dua penalaran langsung

yakni penalaran oposisi dan penalaran edukasi. Adapun penalaran tidak


langsung adalah penalaran yang didasarkan atas dua proposisi atau lebih

kemudian disimpulkan. Kedua penalaran yakni penalaran langsung dan

tidak langsung ini untuk mengolah proposisi kategoris. Oleh karena itu,

sebelum membahas mengenai penlarannya harus dibahas dahulu

pengertian proposisi kategoris.

Proposisi kategoris adalah suatu pernyataan yang terdiri atas hubungan

dua tertii sebagai subjek dan predikat serta dapat dinilai benar atau salah.

Di dalam proposisi ini, Predikat (P) menerangkan Subjek (S) tanpa

syarat. Proposisi ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu kategoris kuantitas

dan kategoris kualitas. Kategoris kuantitas berisikan dua hal sebagai

berikut: universal (P menerangkan semua S, missal semua anak SD itu

rajin), dan particular (P menerangkan sebagian S, missal sebagiananak

SD itu miskin). Sementara kategoris kualitas terdiri dari dua macam:

positif (P dipersatukan dengan S melalui kata penghubung yang bersifat

mengakui (affirmative), contoh: Kambing adalah binatang, dan negative

(P dan S dihubungkan dengan kata penghubung yang bersifat

mengingkari (menegaskan) missal pacar Adi bukan Sinta)).

Jadi unsur-unsur dalam proposisi kategoris adalah

1) Term sebagai subjek: yaitu hal yang diterangkan dalam pernyataan, yang

sering disimbolkan dengan ‘S’.

2) Term sebagai predikat: yaitu hal yang menerangkan dalam pernyataan,

yang sering disimbolkan dengan ‘P’.


3) Kopula: hal yang mengunggkapkan adanya hubungan antara subjek dan

predikat, dapat mengiyakan atau mengingkari predikat, dapat mengiyakan

atau mengingkari, yang menunjukkan kualitas pernyataan.

Misalnya: semua mahasiswa ikut ujian. Dalam contoh ini kualitas

pernyataan adalah mengiyakan atau afirmatif, karena redikat (ikut ujian)

mengiyakan subjek (semua mahasiswa). Semua mahasiswa tidak ikut

ujian. Ini berarti kualitas pernyataan mengingkari (negative) karena

predikat (tidak ikut ujian) emngingkari subjek (semua mahasiswa).

4) Kuantor. pembilang yang menunjukkan lingkungan yang dimaksukdan

oleh subjek, dapat berbentuk universal atau particular, yang sekaligus juga

menunjukkan kuantitas pernyataan.

Misalnya: Semua karyawan masuk kerja. Contoh ini kuantitasnya adalah

universal. Sebagian karyawan tidak masuk kerja. Contoh ini kuantitasnya

adalah particular.

Dalam proposisi kategoris, jenis proposisi kategoris kuantitas dan kualitas

kemudian digabungkan. Hasil pengabungan kedua jenis proposisi kategoris

ini akan menghasilkan empat proposisi kategoris, yakni sebagai berikut.

1) Proposisi Universal Afirmatif, yakni proposisi yang kuantitasnya

universal dan kualitasnya afirmatif. Proposisi ini dilambangkan dengan

Proposisi ‘A’, diambil dari huruf yang pertama dari kata Latin affirmo

yang berarti mengiyakan . Contoh: Semua mahasiswa mengikuti ujian.

2) Proposisi Universal Negatif, yakni proposisi yang kuantitasnya universal

dan kualitasnya negative. Proposisi ini dilambangkan dengan Proposisi


‘E’, diambil dari huruf kedua dari kata Latin Nego yang berarti

mengingkari. Contoh: Semua karyawan tidak masuk kerja.

3) Proposisi Partikular Afirmatif, yakni proposisi yang kuantitasnya

particular dan kualitasnya afirmatif. Proposisi ini dilambangan dengan

Proposisi ‘I’, diambil dari huruf keempat dari Latin afirmatif yang berarti

mengiyakan. Contoh: Sebagian Sarjana Hukum adalah Politikus.

4) Proposisi Partikular Negatif, yakni proposisi yang kuantitasnya particular

dan kualitasnya negative. Proposisi ini dilambangkan dengan Proposisi

‘O’, diambail dari huruf keempat kata Latin Nego yang berarti

mengingkari. Contoh: Sebagian gadis Bali tidak bisa menari.

2. Logika

uah dari berpikir adalah pengetahuan. Berpikir adalah suatu proses, proses

berpikir ini biasa disebut bernalar. Dalam bernalar manusia melakukan

proses berpikir untuk berusaha tiba pada pernyataan batu yang merupakan

kelanjutan runtut dari pernyataan lain yeng telah diketahui (The, 1999: 21).

Pernyataan yang telah diketahui itu disebut pangkal pikir (premis), sedang

pernyataan baru yang diturunkan dinamakan simpulan (conclusion). Menjadi

pernyataan berikutnya adalah: apakah pernyataan atau pengetahuan yang

dihasilkan melalui penalaran itu mempunyai dasar kebenaran? Untuk

menjawab hal itu maka perlu dilacak, apakah proses berpikir atau penalaran

yang dilakukan itu telah dilakukan melalui suatu cara tertentu dan kemudian

sampai kepada cara penarikan simpulan yang sahih (valid) sesuai dengan

cara tertentu tersebut? Cara penarikan simpulan ini disebut sebagai logika.

Terdapat berbagai cara penarikan simpulan, namun dalam dunia keilmuan,


secara garis besar dapat dibedakan menajdi dua jenis cara penarikan

simpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif.

Logika iduktif adlah suatu cara penarikan simpulan pada suaty proses

berpikir dengan menyimpulkan sesuatu yang bersifat umum dari berbagai

kasus yang bersifat individual. Suatu penalaran dengan logika induktif

dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai

ruang ligkup yang khas dan terbatas sebagai argumentasi dan kemudian

diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Dari fakta pengamatan

didapatkan kenyataan bahwa sebatang besi jika dipanaskan akan memuai,

demikian juga dengan sebatang tembaga, alumunium dan berbagai batang

logam yang lain. Berdasarkan kenyataan-kenyataan individual ini dapat

ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum yakni semua logam jika

dipanaskan akan memuai.

Logika deduktif adalahs uatu cara penarikan simpulan pada suatu proses

berpikir yang sebaliknya dari logika induktif. Dalam proses berpikir ini dari

pernyataan yang bersifat umum ditarik simpulan yang bersifat khusus.

Penarikan simpulan deduktif biasanya menggunakan pola pikir silogismus.

Sebagai seorang pelopor dalam logika deduktif, Aristoteles mengajarakan

silogismus kategoris yang tersusun dari tiga buah proposisi kategoris

(Poespoprodjo, 1999: 206). Berdasarkan alur logika deduktif di atas dapat

dibuat contoh silogismus kategoris sebagai berikut:

a. Semua logam jika dipanaskan akan memuai (Premis mayor)

b. Besi termasuk logam (Premis minor)


c. Maka jika besi dipanaskan akan memuai (Konklusi)

Silogismus kategoris menjadi cara untuk menyelidiki identitas atau diversitas

dua konsep objektif dengan memperbandingkannya dengan konsep ketiga

secara berurutan.

Kelompok lain dari ragam silogismus adalah silogimus hipotesis.

Silogismus hipotesis dibagi ke dalam tiga jenis, yakni:

a. Silogismus kondisional, yakni silogismus yang premis mayornya adalah

preposisi kondisional.

Contoh :

- Apabila Tuti rajin belajar, ia akan lulus ujian.

- Tuti rajin belajar

- Maka Tuti akan lulus ujian.

b. Silogismus disjungtif. Silogismus yang premis mayornya berbentuk

preposisi disjungtif.

Contoh :

- Kamu atau saya yang pergi berlomba

- Kamu tidak pergi

- Maka sayalah yang pergi.

c. Silogismus konjungtif, silogismus yang premis mayornya berbentuk

suatu preposisi konjungtif.

Contoh :

- Tidak diizinkan seorang mahasiswa kuliah di dua perguruan

tinggi negeri dalam waktu bersamaan.


- Si Amir kuliah di perguruan tinggi negeri X

- Maka si Amir tidak kuliah di perguruan tinggi negeri Y.

Logika sebagai sarana berpikir ilmiah akan member suatu “jaminan”

(assurance) bahwa pengetahuan yang didapatkan sebagai hasil penarikan

simpulan atau konklusi itu adalah sahih. Logika menuntun dan menjaga

proses berpikir itu tehindar dari kekeliruan-kekeliruan, sehingga dengan

demikian kecermatan dalam berpikir dapat dicapai.

C. Sumber Pengetahuan

Eksistensi manusia sangat dibatasi oleh ruang, waktu dan syarat-syarat lain

yang dibawa oleh kodratnya. Pada suatu waktu seorang manusia tidak dapat

secara fisik hadir dalam dua tempat yang agak berjauhan. Persitiwa-peristiwa

penting yang terjadi di tempat lain kerapkah tidak dapat kita selesaikan

karena kondisi-kondisi tertentu menghalang-halangi kita. Bahkan peristiwa-

peristiwa penting yang terjadi secara serempak di tempat tinggal kita sendiri

tidak dapat dua-duanya kiat kunjungi secara bersama-sama.

Akan tetapi dengan cara-cara tertentu manusia dapat melampaui batas ruang,

waktu dan syarat-syarat yang lain. Manusia mulai mendegarkan berita-berita,

mengumpulkan informasi-informasi, dan memeriksa data-data yang telah

terkumpulkan dari peristiwa-peristiwa yang tidak ia alami sendiri. Demikian

juga segala sesuatu yang dapat ia alami sendiri ia himpun dan ia renungkan,

ia olah dan ia simpulkan sehingga menjadi pengetahuan yang makin tepat dan

lebih mantap. Persoalan yang muncul tentang bagaimana proses


terbentuknya pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dapat diperoleh

melalui cara pendekatan apriori maupun aposteriori. Pengetahuan yang

diperoleh memalui pendekatan apriori adalah pengetahuan yang diperoleh

tanpa melalui proses pengalaman, baik pengalaman yang bersumber dari

pancaindra maupun pengalaman batin atau jiwa. Sebaliknya, pengetahuan

yang diperoleh melalui pendekatan aposteriori adalah pengetahuan yang

diperolehnya melalui informasi dari orang lain atau pengalaman yang telah

ada sebelumnya.

Sumber pengetahuan yang dibangun berdasarkan logika deduktif dan induktif

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah suatu proses penalaran yang

dibangun berdasarkan premis-premis yang berupa pengetahuan yang benar.

Permasalahan yang muncul adalah bagaimana kita dapat memperoleh

pengetahuan yang benar tersebut? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini,

terlebih dahulu kita harus dapat mendefinisikan apa itu pengetahuan dan apa

itu benar? Menurut Mundiri (2001) pengetahuan adalah hasil dari aktivitas

mengetahui, yaitu tersingkapnya suatu kenyataan kedalam jiwa sehingga

tidak ada keraguan terhadapnya. Pendapat lain menyatakan bahwa

pengeatahuan adalahs egala sesuatu yang diketahui oleh manusia. Kita benar,

menurut Jujun S Suriasumantri (1998) dapat didefinisikan sebagai pernyataan

tanpa ragu!. Artinya, “ketidakraguan” adalah syarat mutlak bagis seseorang

untuk dapat dikatakan “mengetahui”. Contohnya, kita mengetahui bahwa

bilangan lima lebih benar dari bilangan empat danlebih kecil dari bilangan

enam, manakala kita menyakini akan kenyataan itu, meskipun guru kita atau

orang lain yang kita anggap pandai mengatakan sebaliknya, namun kita pasti
tetap akan mempertahankan pendirian kita terhadap kebenaran tersebut. Bila

pendapat yang berlawanan itu menyebabkan kita timbul keraguan, hal ini

menunjukkan bahw akita belum memahami secara pasti konsep yang terkait

dengan bilangan lima.

“Mengetahui” seperti yang telah dijelaskan di atas, dapat diartikan sebagai

segala sesuatu yang dapat kita tangkap di dalam jiwa baik yang terkait dengan

benda, seperti kursi, buku, rumah atau mengenai peristiwa-peristiwa yang

mneyertai benda-benda tersebut, misalnya melayang, mendidih , pasang,

meledak, rusak, atau mengenai sifat-sifat dan keadaan benda seperti, panas,

wangi, mahal, gelap, dan lain sebagainya.

Untuk mendpatkan penegatahuan yang benar ada dasarnya ada dua sumber

utama yang perlu diketahui oleh setiap manusia, yaitu berdasarkan rasio dan

pengalaman manusia. Pengetahuan yang diperoleh melalui sumber rasio,

kebenarannya hanya didasarkan pada kebenaran akan pikiran semata,

pendapat ini dikembangkan oleh para rasionalis, sedangkan orang yang

menganut paham ini disebut dengan istilah kaum rasionalisme. Sebaliknya,

orang yang berpendapat bahwa sumber pengatahuan diperoleh melalui

pengalaman, kebenaran pengetahuan hanya didasarkan pada fakta-fakta yang

ada di lapangan, sedangkan orang yang menganut paham ini disebut kaum

empirisitze.

Kaum rasionalisme seperti yang te;ah dijelaskan diatas, untuk dapat

memperoleh pengetahuan yang benar dilakukan dengan menggunakan

penalaran, sedangkan logika yang digunakan adalah logika deduktif. Premis-


premis yang digunakan dalam proses penalaran diperoleh melalui ide-ide

yang menurut anggapan dasarnya jelas dan dapat diterima. Priinsip semacam

ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum manusia beruusaha memikirkannya

sehingga orang yang menggunakan logika deduktif dalam setiap pemecahan

masalah yang dihadapi dikenal dengan nama idealisme.

Masalah utama yang muncul dari cara berpikir yang demikian ini adalah

mengenai criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang

menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Misalnya, suatu ide

mungkin si A menyatakan bahwa hal itu sudah jelas dan dapat dipercaya,

namun menurut si B hal itu belum tentu jelas dan dapat dipercaya.

Pertanyaannya adalah mengapa ide yang sama ditanggapi secara berbeda

oleh orang yang berbeda? Untuk dapat menjawab permasalahan ini perlu

dijelaskan berdasarkan latar belakang dari kedua orang tersebut.

Contohnya, si B dalam menyusun sistem pengetahuan sama sekali berbeda

dengan pengetahuan si B menggunakan ide lain yang menurut si B hal itu

merupakan prinsip yang jelas dapat dipercaya, sedangkan si A tidak sama

ide yang dikembangkan, hal ini yang memunculkan perbedaan satu dengan

yang lain. Bagi kaum rasionalis permasalahan utama yang dihadapi adalah

penilaian terhadap kebenaran premis-premis yang digunakan untuk

penalaran deduktif. Karena premis yang digunakan bersumber pada

penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbatas dari pengalaman,

maka penilaian semacam ini tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, melalui

penalaran rasional akan mendapatkan bermacam-macam pengetahuan

mengenai suatu objek tertentu tanpa adanya suatu adanya consensus yang
dapat diterima oleh semua pihak. Pengetahuan yang bersumber dari

pemikiran rasional semacam ini cenderung bersifat solipsistic (hanya

benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berbeda dalam benak orang

yang berpikir tersebut) dan bersifat subjektif.

Kaum empiris, mempunyai pendapat yang berbeda dengan kaum

rasionalis terkait dengan sumber pengetahuan. Bagi kaum empiris

pengetahuan manusia itu dapat diperoleh bukan dari penalaran yang

bersifat rasional yang bersifat abstrak, namun diperoleh melalui

pengalaman yang konkret. Mengapa demikian, para kaum empiris

beranggapan bahwa gejala-gelajala ilmiah yang terjadi di muka bumi ini

adalah bersifat konkret dan dapat dinyakatakan melalui tangkapan

pancaindra manusia. Gejala-gejala itu bila kita kaji lebih jauh, ternyata

memiliki beberapa karakteristik tertentu, misalnya gelaja alam yang

muncul ternyata memiliki pola yang teratur mengenai suatu kejadian

tertentu. Contohnya, suatu logam bila dipanaskan akan memuai, langit

mendung diikuti dengan turunnya hujan, dan lain sebagainya. Oleh karena

itu, pengalaman manusia akan membuahakan pengetahuan mengenai

berbagai gejala alam yang mengikuti pola-pola tertentu. Selain itu, kita

dapat melihat adanya karakteristik lain yaitu adanya kesamaan dan

penanggulangan, misalnya berbagai jenis logam bila kita panaskan pada

suhu tertentu ternyata mengalami proses memuai. Hal ini memungkinkan

kta untuk melakukan generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi

dialam semesta ini. Artinya, dengan menggunakan penalaran deduktif


maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum melalui

pengamatan terhadap gelaja-gejala fisik yang bersifat individual.

Masalah utama yang muncul dalam penyusunan pengetahuan secara

empiris ini adalah bahwa pengetaahuan yang dikumpulkan itu cenderung

untuk menjadi kumpulan fakta-fakta. Kumpulan fakta tersebut belum tentu

bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat

kontrasiktif. Kumpulan suatu fakta atau kaitan antara berbagai fakta,

belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sitematis;.

Dalam hal ini Einstein mengingatkan kepada kita bahwa tidak terdapat

metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu

ilmu.

Kaum empiris beranggapan bahwa dunai fisik adalah nyata karena

merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindra manusia. Hal ini bahwa

kita pada dua persoalan penting. ‘Pertama’ apabila kita mengetahui

apabila ada dua fakta yang nyata, misalnya rambut keriting dan mata lebar,

bagaimana kita merasa ada kaitan yang pasti mengenai hubungan antara

kedua fakta tersebut? Apakah rabut keriting dan mata lebar mempunyai

kaitan satu sama lain dalam hubungan kausalitas? Sekiranya kita

mengatakan todak, bagaimana sekiranya penalaran indukktif membuktikan

sebaliknya? Pertanyaan ini mengingatkan kepada kita bahwa hunungan

antara berbagai fakta tidaklah nyata sebagaimana yang kita perkirakan.

Oleh Karena itu, harus terdapat suatu kerangka pemikiran yang member

latar belakang mengapa X mempunyai hubunngan dengan Y, sebab kalau


tidak, maka pada hakikatnya semua fakta dalam dunia fisik bisa saja

dihubungkan dalam kaitan kausalitas.

Masalah kedua adalah menganai hakikat pengalaman yang dijadikan

sebagai cara dalam menemukan pengetahuan dan pancaindra sebagai alat

untuk menangkapnya. Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud

dengan pengalaman? Apakah hal ini merupakan stimulus pancarindar?

Ataukah persepsi? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindra

sebagai alat untuk menangkap gejala fisik yang nyata, maka seberapa jauh

kita dapat mengandalkan pencarindra tersebut?

Kaum empiris ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang

meyakinkan mengenai hakikat pengalaman itu sendiri. Pancaindra

mempunyai banyak kekurangan dan hal ini bukan merupakan sesuatu yang

baru bagi kita lagi. Pancaindra manusia kemampuannya sangat terbatas

dan lebih penting pancaraindra manusia bisa melakukan kesalahan.

Contoh, apa yang kita lihat sehari-hari adalah sebagaimana tongkat lurus

yang sebagian terendam didalam air akan kelihatan menjadi bengkok.

Haruskah kita mempercayai terhadap kenyataan semacam ini sebagai

dasar untuk menyusun pengetahuan?

Sumber pengetahaun selain dapat diperoleh memalaui rasionalisme dan

empirisme, ternyata masih ada cara lain yang perlu kita ketahui yaitu

intuisi dan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berpikir untuk mendapatkan

pengetahuan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Contohnya,

seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba


saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Jawaban atas

permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan

kebenaran yang membukakan pintu. Atau bisa jua, intuisi ini bekerja

dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu

permasalahan ditentukan tidak pada saat orang tersebut secara sadar

sedang memikirkan mencari permasalahan yang sedang mereka hadapi.

Suatu masalah yang sedang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda

karena menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul dalam benak kita suatu

jawaban yang lengkap. Kita merasa yakin memang itulah jawaban yang

kita cari namun kita tidak dapat menjelaskan bagaimana caranya sampai

kita ke sana.

Intuisi merupakan kegiatan berpikir yang bersifat personal dan tidak bisa

diramalkan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur,

maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisif dapat

dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam

menemukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Dengan

deemikian, kegiatan intuitif dan analitik dapat bekerja saling membantu

dalam menemukan kebanaran. bagi Maslow dalam Jujun (1988) intuisi ini

merupakan pengalaman puncak (peak experience).Intuisi menurut

Neitzsche merupakan inteligensi yang paling tinggi.

D. Kriteria dan cara penemuan kebenaran

1. Kriteria Kebenaran
Hukum-hukum, asas-asas, dan patokan-patokan logika pembimbing akal

manusia menempuh jalan yang paling efisien untuk menjaga

kem,ungkinan salah dalam berpikir. Lantas apakah arti benar itu? Benar

menurut Randall & Bucher dalam Mundari (2001) pada dasarnya adalah

penyesuaian antara pikiran dan kenyataan. Benar menurut Jujun (1988)

adalah pernyataan tanpa ragu. Contohnya, kita akan berkata bahwa

proposisi-proposisi berikut adalah salah : batu hitam tenggelam dalam air

raksa; batu lebih ringan daripada kapuk; matahari terbit dari barat,

Sebaliknya kita mengakui kebenaran dari proposisi-proposisiberikut ini :

Bumi bergerak mengelilingi matahari; Napoleon adalah panglima perang

yang ulung; Besi lebih berat daripada air tawar. Apakah dasar kita

menentukan demikian itu? Tidak lain dan tidak nukan adalah sesuai

tidaknya proposisi-prosposisi itu dengan kenyataan sesungguhnya.

Untuk mennetukan kebanaran suatu pengetahuan ada tiga teori yang

dapat dijadikan sebagai criteria, yaitu :

a. Teori koherensi (teori kebenaran saling berhubungan)

b. Teori korespondensi (teori kebenaran saling berkesesuaian), dan

c. Teori pragmatism (teori kebenaran konsekuensi kegunaan)

(Jujun, 1988; dan Sudarsono, 2001).

Pertama, teori kebenaran yang didasarkan pada teori koherensi secara

sederhana dapat disimpukan bahwa suatu proposisi (pernyataan) dianggap

benar bilamana pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten atau

saling berhungan dengan pernyataan-peryataan sebelumnya yang dianggap


benar. Bila kita menganggap bahwa “semua makhluk hidup pasti akan

mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua konsiten dengan

pernyataan yang pertama.

Kedua, teori kebenaran yang didasarkan pada teori korespondesi, dimana

penggugas utamanya adalah Bernard Russell (1872-1970). bagi penganut

teoro korespondensi ini maka suatu penyataan dikatakan benar bila materi

pengetahuan yang dikandung pernyataan tersebu saling berkesesuaian

dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika

seseorang mengatakan bahwa “Tugu monas ada di ibu kota Jakarta” maka

pernyataan adalah benar sebab pernyataan itu dengan objek yang bersifat

faktual yakni Jakarta yang memang temat berdirinya monument tugu

monas. Apabila ada orang yang mengatakan bahwa “ Tugu monas di

Semarang” maka pernyataan ini adalah tidak benar sebab tidak terdapat

objek yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Dengan demikian maka

secara factual “ Tugu monas ada di Jakarta bukan di Semarang”

Teori kebenaran baik koherensi maupun korespondensi keduanya

dipergunakan untuk membangun pola berpikir secara ilmiah. Teori

koherensi dipergunakan sebagai proses penalaran teorestis yang

didasarkan pada logika untuk proses pembuktian secara empiris dalam

bentuk pengumpulan data-data yang mendukung suatu pernyataan tertentu

yang telah dibuat sebelumnya.

Ketiga, teori kebenaran yang didasarkan pada teori pragmatism. Teori ini

dicetuskan oleh Peirce (1939-1914) dalam sebuah makalah yang terbit


pada tahun 1878 yang brejudul “how to make our dear”. Bagi orang yang

menganut pragmatism ini menyatakan kebenaran suatu pernyataan diukur

dengan criteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam

kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan dikatakan benar, jika

pernyataan tersebut atau konsekuensi dari pernyataan tersebut mempunyai

kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Sekiranya ada orang yang

menyatakan sebuah teori X tersebut kemudian dikembangkan pendidikan,

dam dengan teori X tersebut kemudian dikembangkan teknik Y dalam

meningkatkan kemampuan belajar siswa. maka teori X dianggap benar,

sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan.

Pragmatisme bukanlahh suatu aliran filsafat yang mempunyai doktrin-

doktrin filsafati melainkan teori dalam penemuan criteria kebenarab

sebagaimana disebutkan diatas. Kaum pragmatis berpaling pada metode

ilmiah sebagai metode mencari pengetahuan tentang ala mini yang

dianggap fungsional dan berguna bagi penafsiran gejala-gejala alamiah.

Kriteria pragmatism ini juga dipergunakan oleh para ilmuwan dalam

menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara

teoritis maka pernyataan makalah yang sekarang diaggap benar suatu

waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan pada permasalahan

semacam ini, maka ilmuwan bersifat pragmatis ; selama pernyataan ini

funsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan ii dianggap benar;

sekiranya pernyataan ini tidak lagi bersifat demikian, disebabkan

perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka

pernyataan yang lama harus ditinggalkan, pengetahuan ilmiah memang


tidak berumur panjang. Seperti yang telah diugkapkan dalam sebuah

pengumpulan pendapat dikalangan ahli-ahli fisika, bahwa teori tentang

partikel tidak berumur lebih dari empat tahun.

2. Cara Penemuan Kebenaran

Dalam penggunaan kata “pengetahuan” dan “ilmu” dari apa yang kita

tangkap dalam jiwa kita harus berhati-hati. Pengetahuan(knowledge)

sudah puas dengan “menangkap tanpa ragu” kenyataan sesuatu, sedang

ilmu (science) menghendaki penjelasan lebih lanjut dari sekedar apa yang

dituntut oleh pengetahuan. Misal, si Buyung mengetahui bahwa

pelampung kailnya selalu terapung di air, ia akan membantah jika

dikatakan gabus pelampung itu tenggelam. Kejadian inilah yang disebut

dengan “pengetahuan” baginya. Manakala ia mengetahui bahwa BJ (berat

jenis) pelampung lebih kecil dengan BJ air dan ini mengakibatkan

pelampung itu selalu terapung, maka hal itu menjadi “ilmu” baginya.

Seseorang tahu betul saat-saat laut pasang dan surut, sehingga ia dapat

mengambil manfaat bagi kehidupannya. Tetapi selama ia ketahui tidak

pernah menebus keterangan tentang sebab terjadinya peristiwa itu, yakni

daya tarik bulan yang mangakibatkan air laut di sebagian belahan bumi ini

pasang, selama itu pula ia hanya merupakan pengetahuan baginya.

Manusia akan puas apabila ia dapat memperoleh pengetahuan mengenai

apa yang dipermasalhkan dan lebih puas lagi apabila pengetahuan yang

diperoleh itu adalah pengetahuan yang benar. Oleh karena itu manusia,

selalu ingin mencari dan memperoleh pengetahuan yang benar (Cholid


Narbuko dan Abu Ahmadi, 1997). Untuk dapat memperoleh pengetahuan

yang benar pada dasarnya ada dua cara yang dapat ditempuh oleh manusia

yaitu dengan cara nonilmiah dan cara ilmiah. Menurut ahli filsafat

pengetahuan yang benar pada mulanya diperoleh melalui cara nonilmiah di

banding dengan cara ilmiah, hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya

pikir manusia.

Pendekatan ilmiah menuntut dilakukannya cara-cara atau langkah-langkah

tertentu denga peraturan tertentu pula agar dapat dicapai pengetahuan yang

benar. Namun, tidak semua orang suka melewati tata tertib pendekatan

ilmiah itu untuk sampai pada pengetahuan yang benar mengenai hal yang

dipertanyakannya. Bahkan di kalangan masyarakat awam untuk

memperoleh pengetahuan yang benar lebih baik suka menggunakan

pendekatan nonilmiah.

a. Cara Penemuan Kebenaran Nonilmiah

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan manusia untuk memperoleh

kebenaran melalui cara nonilmiah, di antaranya adalah :

1) Akal sehat (common sence)

2) Prasangka

3) Pendekatan intuisi

4) Penemuan kebetulan dan coba-coba

5) Pendekatan otoritas ilmiah dan pikiran kritis


Untuk lebih jelasnya dari beberapa pendekatan nonilmiah tersebut satu

persatu dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Akal sehat (common sence)

Akal sehat menurut Counaut yang dikutip Kerlinger (1973) adalah

serangkaian konsep dan bagan yang memuaskan untuk penggunaan

praktis yang digeneralisasikan dan hal-hal yang khusus. Bagan konsep

adalah seperangkat konsep yang dirangkaikan dengan dalil-dalil

hipotesis dan teori walaupun akal sehat yang berupa konsep dan bagan

itu dapat menunjukkan hal yang benar, namun dapat menyesatkan.

Sebagai contoh, pada abad ke-19 menurut akal sehat yang diyakini

oleh banyak pendidikan. Tetapi ternyata penemuan ilmiah membantah

kebenaran akal tersebut. Pada umumnya kal sehat banyak digunakan

oleh orang awam dalam mempersoalkam sesuatu.

2) Prasangka

Penemuan pengetahuan yang dilakukan melalui akal sehat kebanyakan

diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukannya. Hal ini

menyebabkan akal sehat mudah berubah menjadi prasangka. Orang

yang sering tidak mampu mengendalikan keadaan yang juga dapat

terjadi pada keadaan yang lain. Ia seringkali cenderung melihat

hubungan antara dua hal sebagai hubungan sebab akibat yang langsung

dan sederhana. Dengan akal sehat orang cenderung ke arah perbuatan

generalisasi yang terlalu dipaksakan, sehingga hal itu menjadi suatu

prasangka.

3) Pendekatan Intuitif
Dalam pendekatan intuitif orang menentukan pendapat mengenai

sesuatu hal yang berdasarakan atas “pengetahuan” yang langsung atau

di dapat dengan cara cepat melalui proses yang tidak disadari atau

tidak dipikirkan terlebih dahulu. Dengan untuitif oaring memberikan

penilaian tanpa didahului kesuatu renungan. Pencapaian pengetahuan

semacam itu kebenarannya sukar dipercaya. Metode semacam itu

biasanya disebut dengan pendekatan “apriori”. Dalil-dalil yang

diperoleh dengan “apriori” mungkin cocok dengan penalaran, namun

belum tentu cocok dengan pengalaman atau data empiris.

4) Penemuan Kebetulan dan Coba-coba

Penemuan secara kebetulan dan coba-coba banyak, di antaranya yang

snagat berguna. Penemuan secara kebetulan diperoleh tanpa

direncana, tidak pasti, dan melalui langkah-langkah yang sistematik

dan terkendali. Misalnya, seseorang anak terkurung dalam kamar

sedangkan pintunya terkunci, ia binggung, kebetulan ia melihat jendela

kamar tidak terkunci, ia kemudian keluar kamar melalui jendela.

Penemuan kebetulan dan coba-coba (trial and error) pengetahuan yang

diperoleh tanpa kepastian akan diperoleh suatu kondisi tertentu atau

pemecahan masalah. Pemecahan masalah terjadi secara kebetulan

biasanya tidak efektif dan tidak terkontrol. Contoh: percobaan yang

dilakukan Pavlov terhadap gorilla yang ada di dalam sangkarnya, di

dalam sangkar gorilla diberi tongkat dan di luar sangkar ditaruh pisang.

Karena selera ingin meraih pisang tersebut dan tanganya ternyata tidak

dapat menjangkau pisang tersebut, kemudian ia mencoba-


cobamenggunakan tongkat yang ada di sampingnya. Dengan usaha

coba-coba itu akhirnya pisang yang berada di luar sangkar dapat diraih.

5) Pendapat otoritas ilmiah dalam pikiran ilmiah

Otoritas ilmiah biasanya dapat diperoleh seseorang yang telah

menempuh pendidikan formal tertinggi, misalnya Doktor atau sesorang

yang mempunyai pengalaman professional atau kerja ilmiah dalam

suatu bidang cukup banyak (seorang professor).

Pendapat mereka biasanya sering diterima tanpa harus diuji, karena

dipandang benar apa yang mereka katakana. Namun, pendapat otoritas

ilmiah tidak selamanya benar, bila pendapat dikemukakan tersebut

tidak didasarkan pada hasil penelitian, namun hanya didasarkan pada

pikiran logis semata.

b. Cara Penemuan Kebenaran Ilmiah

Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah berupa kegiatan

penelitian ilmiah dan dibangun di atas teori-teori tertentu. Kita semua

mengetahui bahwa teori berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu

penelitian yang dilakukan secara sistematis dan terkontrol berdasarkan atas

data-data empiris yang ditemukan di lapangan. Teori yang ditemukan

dapat diuji keajekan dan kejituan internalnya. Artinya, jika penelitian

ulang dilakukan langkah-langkah yang serupa pada kondisi yang sama

akan diperoleh hasil yang sama atau hampir sama. Pendekatan ilmiah akan

menghasilkan kesimpulan seerupa bagi hampir setiap orang. Karena

pendekatan tersebut tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi maupun oleh

perasaan, dan cara penyimpulannya objektif bukan subjektif.


Dengan pendekatan ilmiah itu orang berusaha untuk memperoleh

kebenaran ilmiah , yaitu pengetahuan benar yang kebenarannya terbuka

untuk diuji oleh siapa yang menghendaki untuk mengujinya. Cara ilmiah

ini merupakan syarat mutlak untuk menemukan suatu ilmu, yang harus

berfikir secara ilmiah, maka ada tiga tahapan berpikir yang harus dilalui,

yaitu : a) skpetik, b) analitik, dan c) kritis.

1) Skpetik

Ciri berpikir ilmiah pertama ini ditandai oleh cara orang, di dalam

menerima kebenaran informasi atau pengetahuan tidak langsung

diterima begitu saja, namun dia berusaha untuk menanyakan fakta-

fakta atau bukti-bukti terhadap setiap pernyataan yang diterimanya.

2) Analitik

Ciri berpikir ilmiah kedua, ditandai oleh cara orang dalam melakukan

setiap kegiatan, ia selalu berusaha menimbang-nimbang setiap

permasalahan yang dihadapinya, mana yang relevan, dan mana yang

menjadi masalah utama da sebagainya. Dengan cara ini maka jawaban

terhadap permasalahan yang dihadapi akan dapat diperoleh sesuai

dengan apa yang kita harapkan.

3) Kritis

Ciri berpikir ilmiah ketiga ditandai dengan orang yang selalu berupaya

mengembangkan kemampuan menimbang setiap permasalahan yang

dihadapi secara objektif. Hal ini dilakukan agar semua data dan pola

pikir yang diterapkan data selalu logis.

E. Ilmu, Teknologi, dan Seni


Setiap manusia dan berhasrat memperoleh pengetahuan yang sempurna, yang

dapat dijangkau dengan pengamatan yang cermat, pemeriksaan yang teliti,

penalaran yang luas, dengan berpikir yang sedalam-dalamnya, tentang

kenyataan yang sebenar-benarnya. Manurut Paryana Suryadipura (1958)

bahwa kenyataan yang sebenarnya itu dinamakan hakikat. Kegiatan hasrat

memperoleh hakikat, ialah berpikir dengan landasan yang benar. Berpikir

dengan landasan yang benar membutuhkan tarekat, dengan deemikian

mencari hakikat ialah bukan memikirkan sesuatu tentang kenyataan yang

dapat disaksikan dengan kemampuan pancaindra saja, melainkan berpikir

mengenai hubungan antara kenyataan yang ada dengan keseluruhanya,

terhadap semesta alam, dan dengan pusat asasnya (yang mutlak/Sang

Pencipta). Hubungan yang demikian dinamai ma’rifat.

Secara fundamental manusia sebagai animal educable juga mempunyai

berbagai kebutuhan, sehingga ada dorongan sebagai upaya pemenuhannya.

Memang, pada momen-momen tertentu manusia menunjukkan kemiripan

infrahuman untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri. Namun demikian

adanya rasionalitas menjadikannya sebagai suprahuman yang pengendali

makhluk lain (Poespoprodjo W., 1987). Pembedaan keduanya terletak kepada

kemampuan intelek rasionalitas dan rohaninya. Intelek merupakan hal yang

penting, karena misalnya adanya pengertian yang merupakan syarat mutlak

untuk bahagia. Manusia hanya merasa senang kalau mengerti kesenangan,

seseorang hanya dapat memiliki sesuatu jika mengerti. Tanpa pengertian, tak

ada kepunyaan yang formal, kesusilaan, kemerdekaan, kemandirian rohani.


Mengerti yang intelek menuntun pencapaian hakikat ilmu berdasarkan tarekat

untuk menuju pemahaman yang ma’rifat.

Rasionalitas adalah proses refleksi perenungan sistematis dari pengalaman

konkret, sensitive, yang mampu menyusun konklusi signate berupa

pengertian langsung secara sadar, yang sangat padat dengan informasi.

Namun demikian secara exercite, pengertian yang tidak langsung diperoleh

dengan mengadakan eksplorasi dari pengalaman yang padat informasi

tersebut, dan kemudian memastikannya. Pencarian kepastian inilah yang

berhubungan dengan ilmu tentang prisip, yang mempelajari dan

mempertanyakan secara radikal segala realitasmelalui sebab-,isabab terakhir,

melaui asas-asasnya guna memperoleh pandangan insight yang tepat

mengenai realitas menggunakan logika yang berupa kritis pikiran dan

pemikiran manusia. Logika adalah kondisi dan tuntutan fundamental

eksistensi ilmu, sedangkan ilmu itu berupa pembuktian secara ilmiah tentang

pengetahuan untuk menjelaskan gejala-gejala dan fenomena alam yang

normative, komunakisme, serta bersifat disenterestedness yang skeptis.

Norma ilmu bersifat universalisme yang tidak tergantung ras, warna kulit, dan

internasonal. Komunalisme, artinya bahwa sesuatu ilmu adalah berupa hasil

uji suatu pengetahuan tersebut menjadi milik umum. Disenterestedness yang

berlawanan dengan propaganda kepentingan golongan, dan skreptisisme yang

tidak begitu saja menerima kebenaran apapun datang darimanapun. Ilmu

dapat dipandang sebagai produk, sebagai proses, dan sebagai paradigm ethika

pada kenyataanya amat rumit untuk diurai, dan pada dasarnya bersifat
misterius dengan taraf pemahaman terhadap kebenaran ilmu itu sendiri yang

provisional. Artinya, ilmu mempunyai kemampuan untuk meprediksi sesuatu

dasar penemuan berlandaskan pengembangan lohika, sehingga formulasi

dengan klasifikasi yang sahih. Kemampuan meramal dari suatu ilmu yang

berperan sebagai sarana pencapaian ideology denga segala konsekuensinya

yang berwujud teknologi.

Teknologi adalah kemampuan menerapkan suatu pengetahuan dan

kepandaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan suatu produk, yang

berhubungan dengan seni, yang brelandaskan pengetahuan eksakta

berdasarkan pada aplikasi dan implikasi pengetahuan itu sendiri (Kamus

Besar Bahasa Indonesia, 1989). Dengan demikian, teknologi adalah ilmu

terapan yang telah dikembangkan lebih lanjut, dan meliputi perangkat keras

dan perangkat lunak yang merupakan manifestasi atas kekuasaan alam,

manusia dan kebudayaannya (Paul W. Devore, 1980).

Seni, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), adalah merupakan

keahlian membuat karya yang bermutu, dilihat dari segi kehalusannya,

keindahannya, dan lain sebagainya. Sesuatu dikatakan indah apabila

mengandung tiga faktor utama, yaitu (1) faktor kesempurnaan, (2) faktor

keharmonisan, dan (3) sinar kecemerlangan. Kesempurnaan berupa hasil

karya ciptaan manusia yang memiliki nilai standar, baik kelengkapan,

keutuhan maupun bentuk yang dapat menimbulkan rasa indah, yang

diciptakan sendiri oleh person individual dengan hasil menjadi milik bersama,

untuk dapat dinikmati secara komunal dalam komunitas yang berupa


kelompok organism (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling

berinteraksi disuatu daerah tertentu, mempunyai karakteristik tertentu, serta

masyarakat tertentu. Keharmonisan merupakan adanya unsure keserasian,

keselarasan, dan kesesuaian komposisi antarorgan/ komponen satu dengan

lainnya, dengan berdasar criteria subjektif yang melekat padanya. Adapun

sinar kecemerlangan berupa nilai-nilai yang indah / elok dari perpaduan

unsure mampu memunculkan sesuatu yang luar biasa berhubungan dengan

nilai rasa seseorang. Dengan demikian, seni adalah wujud dari kesanggupan

akal budi manusia untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi/luar biasa

dan bermanfaat.

Ilmu, teknologi dan seni sebagai produk menjadi milik manusia. Artinya

ilmu, teknologi dan seni didapat melalui pola pemikiran analogi ilmiah

dengan menggunakan meuode keilmuan yang runtut membawa kearah titik

temu pada suatu konklusi yang bersifat nisbi, namun terhindar dari dekadensi

silang pendapat fundamental dikalangan bagi para ilmuwan dalam kurun

waktu sehingga terbuka untuk memungkinkan adanya pembuktian dan

pengujian akan kebenarannya. Konklusi yang dimaksud sebagai tarhet

orientasi pengetahuan, berupa formulasi rumusan yang berisi pernyataan

berdasar cara pandang masyarakat keilmuan terhadap suatu objek, ditinjau

dari sisi kemanfaatannya.

Ilmu, teknologi dan seni sebagai proses memandang manusia merupakan

unsure pelaku dalam memahami arti hidup bagi kehidupannya. Hal ini

menuntun setiap indivisu untuk dihargai taraf eksistensi sebagai subjek


pergaulan kemasyarakatan. Ilmu adalah sistem kegiatan sosial, ataupun

kegiatan dalam sosial berkembanglah ilmu pengetahuan untuk mencapai

tujuan masing-masing subjek. Pemahaman individu sebagai subjek

kehidupan senantiasa berusaha memahami fenomena alam semesta termasuk

manusia di dalam perilakunya, baik sebagai perseorangan maupun sebagai

kelompok rumpun individu yang berupa masyarakat. Dengan demikian,

metode keilmuannya bercirikan rasionalitas objektif yang bernalar. Menurut

Yuyun S.Sumantri (1984), bahwa kegiatan keilmuan itu sejauh mungkin

harus impersonal dengan penganalisaan masalah-masalah terutama

didasarkan atas percobaan dan data pengamatan. Penalaran ilmu, teknologi

dan sebi sebagai apa adanya yang mampu mendorong menuju titik

permahaman tanpa didahului praduga atensius yang diharapkan.

Aplikasi dan implikasi ilmu terapan ke dalam kancah teknologi dan seni

berupa prasana maupun sarana kegiatan sosial; membawa dampak

menjunjung nilai budaya normative bagi kehidupan manusia dengan

kemanusiaannya. Ilmu, teknologi dan sebi sebagai paradigm etika yang

mempunyai nilai-nilai bagi kemaslahatan umat berkubang pada kepentingan

ilmu, tekonolgi dan seni itu sendiri. Antara ilmu, teknologi dan seni terhadap

adaptasi kebudayaan merupakan buah budi manusia dengan dinamika

hidupnya, terhadap korelasi yang bersifat timbale balik, sehingga

pengembangan dan penerapan perlu pengarahan dan penilaian dengan standar

norma. Dapatlah dikatakan bahwa, menurut pandangan critical interactionist

memberikan pengarahan dan penilaian yang dimaksud dengan norma itu


melalui pengembangan dialogis berdasarkan factual dan nilai-nilai dari

manusia sebagai objek maupun subjek.

Ilmu, teknologi dan seni yang tergolong sains, merupakan natural sciences

berorientasi terhadap pengetahuan tentang kealaman, adalah cara pandang

mengenai pemnafaatan alam dengan segala isinya yang berifat materialis.

Menurut Mundzirin Yusuf (1998), bahwa ilmu pengetahuan kealaman dapat

dibagi menjadi: (1) ilmu kehidupan, yaitu ilmu pengetahuan mengenai

makhluk hidup di alam, (2) ilmu kebendaan (physical science), yang

membahas benda mati di alam, dan (3) teknologi dan seni, yaitu ilmu tentang

penerapan ilmu pengetahuan untuk memenuhi suatu tujuan yang sesuai

dengan kehendaknya. Ilmu pengetahuan atau ilmu itu sendiri, dalam hal ini

dirumuskan sebagai himpunan sebab-akibat yang disusun secara sistematis

berdasarkan pengamatan, percobaan, dan penalaran, dengan terlebih dahulu

diawali rasa ingin tahu tentang sesuatu sebagai langkah pemahaman gejala

alam semesta. Pengamatan dilakukan dengan cara mencermati atau

mengadakan pengukuran yang hasilnya berupa sekumpulan data dan fakta.

Percobaan bertujuan untuk menimbulkan gejala pada kondisi yang

dikendalikan. Sesuatu yang terkumpul berupa data hasil pengamatan dan

percobaan dianalisis menggunakan metode ilmiah agar diperoleh simpulan

yang masuk akal, dan disebut penalaran.


BAB 4

FILSAFAT ABAD MODERN

A. Renaissance

Istilah Renaissance berasal dari bahasa Perancis yang berarti kebangkitan

kembali. Oleh sejarawan istilah tersbut digunakan untuk menunjukkan

berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa.

Orang yang mula-mula menggunakan istilah tersbut adalah Jukes Michelet,

Sejarawan Perancis terkenal. Menurutnya Renaissance ialah periode enemuan

manusia dan dunia dan ukan sekedar sebagai kebangkitan kembali yang

merupakan permulaan kebangkitan modern. Bila dikaitkan dengan keadaan

Renaissance masa antara zaman pertengahan dengan zaman modern yang

dapat dipandang sebagai masa perlihan, yang ditandai oleh terjadinya

sejumlah kekacauan dalam bidang pemikiran. Di satu pihak terdapat

astrologi, kepercayaan yang bersangkutan dengan dunia hitam, perang-perang

agama, dan sebagainya, dan di lain pihak muncullah ilmu pengetahuan alam

modern serta mulai berpengaruhnya suatu perasaan hidup baru dan pada saat

itu muncullah usaha-usaha penelitian empiris yang lebih giat yang pada

akhirnya memunculkan sains bentuk baru.

Awal mula dari suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari Descartes

(1596-1650) untuk memberikan kepada filsafat suatu bangunan yang baru.

Memang dalam bidang filsafat, zaman Renaissance kurang menghasilkan

karya penting bila dibandingkan dengan bidang seni dan sains. Namun
diantara perkembangan itu terjadi pula perkembangan dalam bidang filsafat.

Descartes sering disebut sebagai tokoh pertama filsafat modern.

Sejak itu, dan juga telah dimulai sebelumnya, yaitu sejak, permulaan

Renaissance, sebenarnya Individualisme dan Humanisme telah dicanangkan.

Descartes memperkuat ide-ide ini. Humanisme dan Indovidualisme

merupakan cirri Renaissance yang penting Humanisme ialah pandangan

bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya. Ini suatu pandangan

yang tidak menyenangkan bagi orang-orang yang beragama. Oleh karena

zaman itu sering juga disebut sebagai zaman Humanisme, maksudnya manusia

diangkat dari abad pertengahan.

Pada abad pertengahan itu manusia dianggap kurang dihargai sebagai

manusia. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari Gereja (Kristen), bukan

menurut ukuran yang dibuat oleh manusia. Humanisme menghendaki ukuran

haruslah manusia. Karena menusia mempunyai kemampuan berpikir, maka

Humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan mengatur

dunianya.

Jadi, cirri utama Renaissance ialah Humanisme, Individualisme, lepas dari

agama (tidak mau diatur oleh agama, Empiris, dan Rasionalisme.Hasil yang

diperoleh dari waktu itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat

berkembang bukan pada zaman Renaissance itu, melainkan kelak pada zaman

sesudahnya (Zaman Modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil

empiris itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat

Humanisme itu. Ini kelihatan dengan jelas kelak pada zaman


modern.Rupanya setiap gerakan pemikiran mempunyai kecenderungan

menghasilkan yang positif, tetapi sekaligus yang negative. Apa tidak mungkin

gerakan pemikiran itu hanya menimbulkan yang positif saja? Mungkin.

Contohnya gerakan Muhammad yangmengajarkan Islam; gerakan Kant juga.

Jadi, zaman modern filsafat didahului oleh zaman Renaissance. Sebenarnya

secara esensial zaman Renaissance itu, dalam filsafat, tidak berbeda dari

zaman Modern. Ciri-ciri filsafat Renaissance ada pada filsafat modern.

Tokoh pertama filsafat modern adalah Descartes. Pada filsafat kita

menemukan cirri-ciri Renaissance tersebut. Ciri itu antara lain ialah

menghidupkan kembali Rasionalisme Yunani (Renaissance), Individualisme,

Humanisme, lepas dari pengaruh agama lain-lain. Sekalipun demikian, para

ahli lebih senang menyebut Descartes sebagai tokoh Rasionalisme.

Descartes mengetahui bahwa tidak mudah untuk meyakinkan tokoh-tokoh

Gereja bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal). Karena waktu itu mereka

telah yakin bahwa dasar filsafat haruslah Iman. Untuk menuntun pemikiran

mereka Descartes menyusun metode yang berisi argument-argumen. Metode

Descartes itu terkenal dengan sebutan Cogito Descartes.

B. Rasionalisme

Sebagaimana disebutkan bahwa Descartes adalah tokoh pertama dalam filsafat

modern. Ia sebagai orang aliran rasionali. Rasionalisme adalah faham filsafat

yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk


memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalis, suatu pengetahuan

diperoleh dengan cara berpikir.

Para tokoh aliran Rasionalisme di antaranya adalah Descartes (1596-1650M),

Spinoza (1632-1677 M) dan Leibniz (1646-1716M).

Aliran Rasionalisme ada duamacam yaitu dalam bidang agama dan dalam

bidang filsafat. Dalam bidang agama aliran Rasionalisme adalah lawan dari

autoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Sedangkan

dalam bidang filsafat Rasionalisme adalah lawan dari Empirisme dan sering

berguna dalam menyusun teori pengetahuan. Hanya saja Empirisme

mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan jalan mengetahui objek

Emprisime, maka Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh

dengan cara berpikir, pengetahuan dari Empirismedianggap sering

menyesatkan. Adapun alat berpikir adalah kaidah-kaidah yang logis.

Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes.

Tentu saja pertanyaan ini bermaksud, menyederhanakan permasalahan. Kata

modern disini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang

mempunyai corak yang amat berbeda, bahkam berlawanan, dengan corak

filsafat pada abad pertengahan Kristen. Corak utama filsafat modern yang

dimaksud di sini ialah dianutnya kembali Rasionalisme seperti pada masa

Yunani Kuno. Gagasan itu, disertai oleh argument yang kuat, diajukan oleh

Descartes. Oleh karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga disebut

bercorak Renaissance. Apa yang lahir kembali itu? Ya, Rasionalisme Yunani
itu yang harus diamati di sini ialah apakah konsekuensi Rasionalisme pada

masa Yunani akan terulang kembali.

Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand

Russel, anggapan itu memang benar. Kata Bapak diberikan kepada Descartes

karena ialah orang pertama pada Zaman Modern yang membangun filsafat

yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan

akliah. Dialah orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun

argumentasi yang kuat yang distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat

haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang

lainnya.

Menurut catatan, Descartes adalah orang Inggris. Ayahnya anggota parlemen

Inggris. Pada tahun 1612 M Descartes pergi ke Prancis. Ia taat mengerjakan

ibadah menurut ajaran agama Katolik, tetapi ia juga menganut Galileo yang

pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh Gereja. Dari tahun 1629 M

sampai tahun 1649 M ia menetap di Belanda.

Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada abad pertengahan, yang tergambar

dalam ungkapan credo ut intelligam itu, telah membuat para pemikir takut

mengemukakan pemikiran yang berbeda dari pendapat tokoh gereja. Apakah

ada filsuf yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang dicengkeram

oleh iman abad pertengahan itu? Tokoh itu adalah Descartes.

Menurutnya kepastian itu tidak tergantung dari objek yang dipelajari karena

hal yang dialami bisa berubah sewaktu-waktu. Begitulah yang terjadi bahwa
metode Descartes mengembangkan aturan universal dari pikiran manusia dan

tidak mewahyukan dari dunia yang dipelajari. Bagi Descartes hal itu dianggap

mungkin karena roh kita mempunyai idea innata, ide yang sudah ada waktu

kita lahir. Berdasarkan idea innata ada aturan dari pikiran yang logis kita

mencapai pengetahuan yang pasti. Aturan yang logis itu ialah jangan

menerima hala yang tidak eviden, uraikanlah persoalan menjadi unsure-unsur

persoalan, suusnlah pikiran mulai dengan yang sederhana naik sampai yang

lebih sukar dan menjadi yakin bahwa ada aturan dan corak juga kalau corak

itu dilihat. Kesatuan dan universalitas ilmu pengetahuan ialah kesatuan dan

universalitas dari roh manusia. Formalisme dari logika abstrak tidak berguna

bagi ilmu. Ilmu pengetahuan berdasar intuisi dari subjek pengatahuan yang

hanya mengaku benar hal yang menampakkan dirinya dalam ide yang nyata

dan jelas les idees daires et distinct. Jelas artinya sifat objek yang dengan

terang menampakkan dirinya, idea distinct ialah ide yang diuraikan sampai

unsure yang terakhir.

Descartes mencari suatu dasar bagi metode itu. Bagaimana saya bisa tahu

bahwa hal yang menampakkan dirinya dengan jelas pada mata rohani ialah hal

yang betul-betul terdapat dalam dunia luar, bagaimana saya tahu bahwa itu

bukan impian?

Untuk menjajaki sesuatu yang dianggap benar itu, Descartes mengandalkan

metode keraguan. Metode keraguan itu bukanlah tujuannya. Tujuan metode

ini bukanlah untuk mempertahankan keraguan. Sebaliknya, metode ini

bergerak dari keraguan menuju kepastian.Keraguan Descartes hanya


ditunjukan untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang dapat diaragukan dari

sesuatu yang tidak dapat diragukan. Ia sendiri tidak pernah meragukan bahw

aia mampu menemukan keyakinan yang berasa di balik keraguan itu, dan

menggunakannya untuk membuktikan suatu kepastian di balik sesuatu.

1. Spinoza (1632-1677 M)

Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677 M.

Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama

Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia hidup

dipinggiran kota Amsterdam. Baik Spinoza maupun Leibniz ternyata

mengikuti pemikiran Descartes itu. Dua tokoh dalam metafisika mereka, dan

mereka berdua juga mengikuti metode Descartes. Tiga filsuf ini, Descartes,

Spinoza, dan Leibniz, biasanya dikelompokkan kedalam satu mazhab, yaitu

Rasionalisme.

Secara selintas permasalah metafisika modern tetap sama dengan masalah

metafisika pada masa pra-Socrates, yaitu: Berupa substansi yang ada? Apa

itu? Apa beda yang satu dari yang lain? Bagaimana setiap substansi (atau

sesuatu) itu berinteraksi? Bagaimana substansi itu muncul? Apakah alam

semesta mempunyai permulaan?

Persoalan-persoalan ini memang persoalan lama. Thales bahkan sudah

mempersoalkan sebagai dari pertanyaan itu. Akan tetapi, bila dipikir-pikir,

memang masih adakah pertanyaan metafisika selain itu?


Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sebenarnya dapat

diduga, ia pasti menggunakan cara yang sekurang-kurangnya sama rumitnya

dengan cara yang disgunakan oleh Descartes, orang yang memang diikutinya.

Dugaan kita memang benar. Ia menggunakan deduksi metafisika ala

Descartes. Ia mulai meletakkan definisi-definisi, aksioma-aksioma, proposisi-

proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian (penyimpulan) berdasarkan

definisi, aksioma, atau proposisi itu. Cukup rumit juga.

2. Leibniz (1646-1716 M)

Gottfried Eilhelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 M dan meninggal pada

tahun 1716 M. Ia filsuf Jerman, matematikawan, fisikawan, sejarawan. Lama

menjadi pegawai pemerintahan, manjadi atase, pembantu pejabat tinggi

negara. Pusat metafisikanya adalah ide tentang substansi yang dikembangkan

dalam konsep monad.

Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza,

alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya kepada sebab, sementara

substansi pada Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara

sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan

Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya.

Kita lihat bahwa hanya ada satu substansi. Leibniz berpendapat bahwa

substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad.Setiap

monad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang (supermonad dan

satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah Pencipta monad-monad


itu.Maka karya Leibniz tentang ini diberi judul Monadology (studi tentang

monad) yang ditulisnya tahun 1714. Ini adalah singkatan metafisika Leibniz.

C. Idealisme

Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik

hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealism

diambil dari kata ide yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Pandangan ini telah

dimiliki oleh Plato dan pada filsafat modern dipelopori oleh J.G. Fichte,

Sckelling, dan Hegel.

Idealisme mempunyai argument epistemology tersendiri. Oleh karena itu,

tokoh-tokoh teisme yang mengjarkan bahwa materi bergantung kepada spirit

tidak disebut idealis karena meraka tidak idealism. Mereka menggunakan

argument yang mengatakan bahwa objek-objek fisik pada akhirnya adalah

ciptaan Tuhan; argument orang-orang idealis mengatakan bahwa objek-objek

fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.

Idealisme secara umum selalu berhubungan dengan Rasionalisme. Ini adalah

mazhab epistemology yang mengajarkan bahwa pengeahuan apriori atau

deduktif dapat diperoleh manusia dengan akalnya. Lawan Rasionalisme

dalam epistemology ialah empirisime yang mengatakan bahwa pengatahuan

bukan diperoleh lewat rasio (akal), melainkan melalui pengalaman empiris.

Orang-orang empirisme amat sulit menerima paham bahwa semua realitas

adalah mental atau bergantung kepada jiwa atau roh karena pandangan itu

melibatkan dogma metafisik.


Plato Bering disebut sebagai seorang idealis sekalipun idenya tidak khusus

(spesifik) mental, tetapi lebih merupakan objek universal (mirip dengan

definisi pada Aristoteles, pengertian umum pada Socrates). Akan tetapi, ia

sependapat dengan idealism modern yang mengajarkan bahwa hakikat

penampakan (yang tampak) itu berwatak (khas) spiritual. Ini terlihat dengan

jelas pada legenda manusia guanya yang terkenal. Pandangan ini

dikembangkan oleh Platinus.

1. J.G. Fichte (1762-1914 M)

Johann Gottlieb Fichte adalah filsuf Jerman. Ia berlajar teologi di Jena pada

tahun 1780-1788 M. Berkenalan dengan filsafat Kant di Leipzig 1790 M.

Berkenalan ke Konigsberg untuk menemui Kant dan menulis Critique of

Revelation pada zaman Kant. Buku itu dipersembahkannya kepada Kant.

Pada tahun 1810-1812 M ia menjadi rector Universitas Berlin.

Filsafatnya disebut Wissenchaftslebre (ajaran ilmu pengetahuan). Dengan

melalui metoda deduktif Fichte mencoba menerangkan hubungan Aku (Ego)

dengan adanya benda-benda (non-Ego). Karena Ego berpikir, mengiakan diri

maka terlahirlah non-Ego (benda-benda). Dengan secara dialektif (berpikir

dengan metoda: tese, anti tese, sintese) Fichte mencoba menjelaskan adanya

benda-benda.

Tese: Ego atau Aku meneguhkan diri bahwa ia ada. Antitese: meneguhkan

diri sebagai ada baru mungkin jika Ego (Aku) membedakan diri dengan yang

non-Ego (benda-benda), jika Ego meneguhkan adanya yang non-Ego.


Sintesa: Oleh karena Ego sekarang tidak lagi tunggal, maka Ego dalam

kesadarannya berhadapan dengan suatu dunia. Perbedaan dan kesatuan telah

memasuki pengalamannya. Keduanya, Ego dan non-Ego (dunia), bukanlah

dualism yang mutlak, sebab itu hanyalah merupakan aktivitas atau perbuatan

Ego yang menciptakan.

Secara sederhana dialektika Fichte itu dapat diterangkan sebagai berikut:

manusia memandang objek benda-benda dengan indranya. Dalam mengindra

objek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang ada dihadapinya. Maka

berjalanlah proses inteletualnya untuk membentuk dan mengabstrasikan objek

itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa realitas merupakan buah hasil aktivitas pikir

subjek. Pandangan dia mengenai etika adalah bahwa tugas moral manusia

didasarkan atas pikiran bahwa manusia berkewajiban menghargai dirinya

sebagai makhluk yang bebas dan bahwa ia senantiasa berbuat dengan tidak

memperkosa kebebasan orang lain.Fichte menganjurkan supaya kita

memenuhi tugas, dan hanya demi tugas. Tugaslah yang menjadi pendorong

moral. Isi hukum moral ialah berbuatlah menurut kata hatimu.

Bagis seorang idealis, hukum moral ialah setiap tindakan harus berupa

langkah menuju kesempurnaan spiritual. Itu hanya dapat dicapai dalam

masyarakat yang anggotan-anggotanya adalah pribadi yang bebas

merealisasikan diri mereka dalam kerja untuk masyarakat. Pada tingkat yang

lebih tinggi, keimanan dan harapan manusia muncul dalam kasih Tuhan.
2. F.W.S. Schelling (1775-1854 M)

Friedrich Willem Joseph Schelling telah mencapai kematangan sebagai filsuf

pada waktu itu ia masih amat muda. Pada tahun 1798 M, ketika usianya baru

23 tahun, ia telah manjadi guru besar di Universitas Jena. Sampai akhir

hidupnya pemikirannya selalu berkembang. Namun, kontinuitasnya tetap ada.

Pada periode terakhir dalam hidupnya ia mencurahkan perhatiannya pada

agama dan mistik.Dia adalah filsuf idealis Jerman yang telah meletakkan

dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan Idealis Hegel. Ia pernah menjadi

kawan Fichte. Bersama Hichte dan Hegel, Schelling adalah idealis Jerman

yang terbesar. Pemikirannya pun merupakan mata rantai antara Fichte dan

Hegel.

Seperti Fichte, Schelling mula-mula berusaha mengembangkan jalan yang

dilalui intelek dalam proses mengetahui, semacam epistemology. Fichte

memandang alam semesta sebagai lapangan tugas manusia dan sebagai basis

kebenaran moral, Schelling membahas realitas lebih objektif dan menyiapkan

jalan bagi Idealis absolute Hegel. Dalam pandangan schelling, realitas adalah

identik dengan gerakan pemikiran yang berevolusi secara dialektis. Akan

tetapi, ia berada dalam berbagai hal dari Hegel. Pada Schelling, juga pada

Hegel, realitas adalah proses rasional evolusi dunia menuju realisasi berupa

satuan ekspresi kebenaran terakhir. Kita dapat mengetahui dunia secara

sempurna dengan cara melacak roses logis perubahan sifat dan sejahtera masa

lalu. Tujuan prose situ adalah suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna.

Schelling menyebut proses ini identitas absolute, Hegel menyebutkan ideal.


Pada bagian-bagian akhir hidupnya Schelling membantah panteisme yang

pernah dianutnya. Ia menjadi voluntaris dan melancarkan kritik terhadap

semua bentuk Rasiopalisine. Alam semesta ini, katanya, tidak pernah

dibayangkan sebagai sistem rasional. Sejak tahun 1809 M ia berusaha

mengembangkan metafisika epirisisme. Disini ia memperlihatkan bahwa

susunan rasional adalah kontruksi hipotesis yang memerlukan pembuktian

nyata, baik pada alam maupun pada sejarah. Ia juga menambahkan bahwa

kategori agama pada akhirnya merupakan pernyataab yang lebih berarti

daripada realitas yang lain.

Reese (1980: 511) menyatakan bahwa filsafat Schelling berkembang melalui

lima tahap :

a. Idealis subjektif

Pada tahap ini ia mengikut pemikiran Fichte

b. Filsafat alam

Pada tahap ini ia menerapkan prinsip atraksi dan repulse dalam berbagai

problem filsafat dan sains. Alam dilihatnya sebagai vitalisstic, self-

creative, dan motivasi oleh suatu proses dialektif.

c. Idealisme transcendental atau Idealisme objektif. Filsafat alam dilengkapi

oleh suatu kesadaran absolute dalam sejarah. Filsafatnya tentang seni

memperlihatkan pendapatnya itu. Ia menyatakan bahwa seni merupakan

kesatuan antara obejektof dan objek, roh dan alam. Tragedi dipandang

sebagai tubrukan antara keharusan dengan kebebasan, didamaikan oleh


kesediaan menerima hukuman secara jantan. Hukuman itu

memperlihatkan kesediaan kita menerima realitas dan idealitas.

d. Filsafat Identitas

Yang absolute itu pada tahap ini menjadi lebih penting kedudukannya,

dipandang sebagai identitas semua individu.

e. Filsafat Positif

Pada tahap terakhir ini pemikirannya menekankan nilai mitologi dan

mengakui perbedaab yang jelas antara Tuhan dan alam semesta. Pada

tahap ini mengikuti sebagian pemikiran Jacob Boerne dan Neo Platonisme.

(Dr. Ahmad Tafsir, 133)

Dalam filsafatnya ia mengatakan, jika kita memikirkan pengetahuan (objek

pemikiran, kita akan selalu membedakan antara objek yang diluar dan

penggambaran objek-obejk itu secara subjektif itu kemudian menjadi sasaran

pemikiran kita.

Tentang manusia dan alam sebagai yang kita ketahuinya, Schelling

menggambarkan bahwa ketika orang mengadakan penyelidikan ilmiah tentang

alam, subjek (jiwa, roh) mengajukan pertanyaan pada alam, sedangkan alam

dipaksa untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Bahwa

alam dapat menjawab pertanyaan itu, ini berarti bahwa alam itu sendiri bersifat

akal atau ide. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa alam tidak lain

adalah roh/ jiwa yang tampak, sedangkan roh adalah alam yang tidak tampak.

Disini alam yang objektif dan alam yang subjektif mewujudkan satu kesatuan.
Pandangan Schelling tentang alam diperkuat dengan teori tentang Aku Yang

Mutlak mengobjektifkan dirinya dalam alam yang ideal, jadi alam sebagai

yang diciptakan merupakan penampakan dari alam yang menciptakan.

Filsafat Schelling dapat diringkaskan sebagai berikut ini : Bahwa Yang Mutlak

atau Rasio Mutlak adalah Identitas Murni atau Indeferensi, dalam arti tidak

mengenal perbedaan antara yang subjektif dengan objektif. Yang Mutlak

menjelmakan diri dalam dua potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan

ideal (gambaran alam yang subjektif dan subjek). Yang mutlak sebagai

Identitas Mutlak menjadi sumber roh (subjek) dan alam (objek) yang subjektif

dan yang objektif, yang sadar dan yang tak sadar. Tetapi Yang Mutlak itu

sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang objektif dan bukan pula

yang subjektif, sebab Yang Mutlak adalah Identitas Mutlak atau Indeferensi

Mutlak.

Dengan mengikuti logika-tiga Fichte (tesis-anti-tesis-sintetis), ia

menerapkannya pada alam dan sejarah. Dari sini Schelling membangun tiga

tahap sejarah :

a. Masa primitive yang ditandai oleh dominasi nasib,

b. Masa Romawi yang ditandai oleh reaksi aktif manusia terhadap nasib, ini

masih berlangsung hingga sekarang, dan

c. Masa datang yang akan merupakan sistematis dua masa itu yang akan

terjadi sevara seimbang dalam kehidupan; disana yang actual dan yang

ideal akan bersintesis.


3. G.W.F Hegel (1770-1031 M)

George Wilhem Friendrich Hegel lahir pada tahun 1770 M di Stuttagart. Ini

adalah tahun-tahun Revolusi Prancis yang terkenal itu (1789 M), juga

merupakan tahun-tahun bergabungnya kesustraan Jerman. Lensing, Goethe,

dan Schiller hisup pada periode ini juga. Friendrich Holderlin, sastrawan puisi

Jerman terbesar, adalah kawan dekat Hegel, juga lahir pada tahun 1770 M,

sama dengan pengarang lagu yang kondang, Beethoven. Di Universitas

Tubingen ia belajar teologi, tahun 1791 M ia memperoleh gelar doctor dalam

bidang teologi. Oleh karena itu karya Hegel yang mula-mula adalah mengenai

agama Kristen, seperti The Life Of Jesus dan The Spirit Of Charistianity.

Tahun 1801 M ia bergabung dengan Schelling di Universitas jena menjadi

pengajar mata kuliah Filsafat. Pada waktu inilah ia menuliskan sistemnya

yang dibuatnya sebagai jawaban atas posisi Kant. Oleh karena itu, pengaruh

Kant ada pada Hegel. Akan tetapi, Hegel tidak pernah menjadi pengikut Kant;

perbedaab antara keduanya lebih besar daripada perbedaan Plato dan

Aristoteles. hegel tidak akan menemukan metode dialektikanya tanpa

memulainya dari dialektika transendal yang dikembangkan oleh Kant dalam

Critique Of Pure Reason. Sekalipun demikian, filsafat hegel amat berbeda

dari filsafat Kant terutama tentang keterbatasan akal.

Idealisme di Jerman mencapai puncaknya pada masa Hegel. Ia termasuk salah

satu filsuf Barat yang menonjol. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep (Geists

(roh, spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Ia berusaha

menggabungkan Yang Mutlak itu dengan Yang Tidak Mutlak. Yang Mutlak
itu roh (jiwa), menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan

dirinya. Roh itu dalam intinya Ide. Artinya : berpikir. Dalam sejarah

kemanusiaan sadarlah roh ini akan dirinya. Demikian kemanusiaan merupakan

bagian dari Ide Mutlak, Tuhan sendiri. Idea yang berpikir itu sebenarnya

adalah gerakan yang menimbulkan gerak lain. Gerak ini menimbulkan tesis

yang dengan sendirinya menimbulkan gerak yang bertantangan, arti tesis.

Adanya tesis dan arti tesisnya itu menimbulkan teisi dan ini merupakan tesis

baru yang dengan sendirinya menimbukan arti tesisnya dan munculnya

sintesis baru pula. Demikian proses roh atau ide yang disebut Hegel;

Dialektika. Proses itulah yang menjadi keterangan untuk segala kejadian.

Prose situ berlaku menurut hukum akal. Sebab itu yang menjadi aksioma

Hegel : apa yang masuk akal (rasional) itu sungguh riil, dan apa yang sungguh

itu masuk akal.

D. Empirisme

Empirisme adalah salah satu aliran yang menekankan peranan pengalaman

dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan

mengecilkan peranan akal. istilah Empirisme diambil dari bahasa Yunani

empiria yang berarti mencoba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin,

Empirisme adalah lawan Rasionalisme.

Untuk memahami inti filsafat Empirisme perlu memahami dulu dua cirri

pokok Empirisme yaitu mengenai makna dan teori tentang pengetahuan.


Filsafat Empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran

positive logis (logical positivisme) dan filsafat Ludwig Wittegestein. Akan

tetapi, teori makna akan empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran

pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai

gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pettern) jumlah yang

dapat diindra, dan hubungan kuasalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.

Teori yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diirigasikan sebagai berikut.

Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap

kejadian tentu mempunyai sebab, dasar-dasar matematika, dan beberapa

prinsip dasar etika, dan kebenaran –kebenaran itu benar dengan sendirinya

yang dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang memperoleh lewat istitusi

rasional.

Empirisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan istitusi rasional.

Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat

observasi jika ia kebenaran aposteori.

Diantara tokoh dan pengikut aliran Empirisme adalah Fransis Bacon, Thomas

Hobbes, John Lock, dan lainnya.

1. Franciz Bacon (1210 – 1292 M)

Menurut Fancis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenranya adalah

pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia

fajta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan

haruslah dicapai oleh metode deduktif. Dari gogma-dogma diambil


kesimpulan, itu tidak benar, haruslah kita sekarang memperhatikan yang

konkret mengelompokkan , itulah tugas ilmu pengetahuan.

2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)

Manurut Thimas Hobbes berpendapat bahwa pengalaman indrawi sebagai

permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat dsentuh dengan

indralah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain

hanyalah merupakan penggabungan data-data indrawi belaka.

Pengikut Thomas Jobbes verpendapat bahwa pengalaman indrawi sebagai

permulaan segala pengenalan. hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan

indralah yang indralah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual

(rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data-data indrawi belaka.

Pengikut aliran Empirisme yang lain diantarabta : Jhon Locke (1632-1704 M),

David Hume (1711-1776 M), Gerge Berkeley (1665-1753M).

3. John Locke (1632-1704 M)

Ia adalah filsuf Inggris yang banyak mempelajari agama Kristen. Filsafat

Licke dapat dikatakan arti metafisika. ia menerima keraguan sementara yang

diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak institusi yang digunakan oleh

Descartes. Ia juga menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya

dengan generalisasi berdasarkan pengalaman jadi induksi. Bahkan Locke

menolak juga akal (reasen) . Ia hanya menerima pemikiran matematis yang

pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.


Buku Locke, Essay Cocerming Human Understanding (1689 M), ditulis

berdasarkan satu premix, yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman.

Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan ide untuk konsep tentang sesuatu

yang berada dibelakang pengalaman, tidak ad aide yang diturunkan seperti

yang diajarkan oleh Plato. Dengan kata lain, Locke menolak adanya innate

ide; termasuk apa yang diajarkan Descartes, Dear and Distinct Idea.

Adequante idea dari Spinoza, truth of reason dari Leibniz, semuanya

ditolaknya. Yang innate (bawaan) itu tidak ada. Inilah argumentnya.

a. Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak

ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu

seperti ditempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya kedunia

ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana

pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa

bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu

pengertian asli.

b. Persetujuan umum adalah argument yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang

dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate ide justru saya jadikan

alasan untuk mengatakan ia tidak ada.

c. Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate ide.

d. Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga

tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate ide justru

saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada.


e. Tidak juga dicetakkan (distempel) pada jiwa sebab pada anak idiot, ide

yang innate itu tidak ada padahal anak normal dan anak idiot sama-sama

berpikir.

Ia mengatakan bahwa apa yang dianggapkan substansi ialah pengertian

tentang objek sebagai idea tentang objek itu yang dibentuk oleh jiwa

berdasarkan masukan dari indra. Akan tetapi, Locke tidak berani menegaskan

bahwa ide itu adalah substansi obyek, substansi kita tidak tahu.

Persoalan substansi agaknya adalah persoalan metafisika sepanjang masa;

Berkeley dan Hume masih juga membicarakannya.

4. David Ilinze (1711 – 1776 M)

Solomon menyebut Hume sebagai ultimate skeptic, skeptic tingkat tertinggi.

Ia dibicarakan di sini sebagai seorang skeptic dan terutama sebagai seorang

empiria. Menurut Bertrans Russel, yang tidak dapat diragukan lagi pada

Hume ialah ia seorang skeptic. Buku Hume, Treatise of Human Nature (1739

M), ditulisnya tatkala ia masih muda, yaitu tatkala ia berumur dua puluh

tahunan bagian awal. Buku itu tidak banyak menarik perhatian orang,

karenanya Hume pindah ke subjek lain, lalu ia menjadi seorang yang terkenal

sebagai sejarawan. Kemudian pada tahun 1748 M ia menulis buku yang

memang terkenal, An Enquiry concerning Human Understanding.Baik buku

Treatis maupun buku Enquiry kedua-duanya menggunakan metode

Empirisme, sama dengan John Locke. Sementara Locke hanya sampai pada
ide yang kabur yang tidak jelas berbasis pada sensasi (khususnya tentang

substansi dan Tuhan), Hume lebih kejam.

5. Herbert Spencer (1820 – 1903 M)

Filsafat Herbert Spencer berpusat pada teori evolusi. Sembilan tahun sebelum

terbitnya karya Darwin yang terkenal, The Origin of Species (1859 M),

Spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi. Empirismenya

terlihat jelas dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut

Spencer, kita hanya dapat mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala.

Memang besar di belakang gejala-gejala itu ada suatu dasar absolute, tetapi

yang absolute itu tidak dapat kita kenal. Secara prinsip pengenalan kita hanya

menyangkut relasi-relasi antara gejala-gejala. Dibelakang gejala-gejala ada

sesuatu yang oleh Spencer disebut yang tidak diketahui (the great

unknowable). Sudah jelas, demikian Spencer, metafisika menjadi tidak

mungkin.

Apakah materi itu? Demikian Spencer bertanya. Kita mendeduksimateri

menjadi atom-atom, kemudian atom kita bagi menjadi lebih kecil sampai

akhirnya pada unsure yang tidak dapat dibagi lagi karena kecilnya. Akan

tetapi, bagian yang terkecil itu tidak dapat dipahami. Jadi, ruang dan waktu

pada akhirnya adalah dua objek yang tidak dapat kita ketahui. Gerak pun

demikian keadaannya karena gerak itu berada dalam ruang dan waktu. Jika

kita memikirkan terus materi, maka yang akan ditemukan pada akhirnya ialah

tenaga (force).Akan tetapi, apa tenaga itu? Berangkat dari objek fisik, menuju

kepada kejiwaan, lalu kita sampai pada jiwa dan kesadaran, disini kita
menemui suatu teka-teki yang lebih besar daripada sebelumnya. Akhirnya

Spencer mengatakan: Ide-ide keilmuan pada akhirnya adalah penyajian

realitas yang tidak dapat dipahami. Inilah yang dimakdus dengan the great

unknowanble, teka-teki besar.

E. Kantiasnisme (Immanuel Kant: 1724 – 1804 m)

Immanuel Kant lahir pada tahun 1724 M di konisbergen , Prusia, Jerman.

Sejak kecil ia tidak meninggalkan desanya kecuali beberapa waktu singkat

untuk mengajar di desa tetangganya.

Pemikiran-pemikiran Kant yang terpenting di antaranya ialah pemikirannya

akal murni. Menurutnya bahwa dunia luar itu kita ketahui hanya denagn

sensasi, dan jiwa bukanlah sekadar tenula rasa tapi jiwa merupakan alat yang

positif, memilih dan merekontruksi hasil sensasi yang masuk itu dikerjakan

oleh jiwa dengan menggunakan kategori yakni mengklasifikasikan dan

mempersepsikannya ke dalam ide.

Sensasi-sensasi masuk melalui alat indra. Ada lima alat indra. Melalui indra

itu kemudian masuk ke otak, lalu objek itu diperhatikan, kemudian disadari.

Sensasi-sensasi masuk ke otak melalui saluran-saluran tertentu yaitu hukum-

hukum. Karena hukum-hukum itulah maka tidak semua stimulus yang

menrupa alat indra sapat masuk ke otak. Penangakapan itu telah diatur oleh

persepsi sesuai dengan tujuan. Tujuan inilah hukum-hukum itu.

Jam hidup selalu berdetak, namun kita tidak mendengarnya. Akan tetapi detak

yang sama, bahkan lebih rendah, akan didengar bila kita memang bertujuan
ingin mendengarnya. Ada stimulus dua dan tiga; Anda memberi respon lima

bila Anda bertujuan menjumlahkannya, enam bila Anda mnegalikannya. Jadi,

hubungan-hubungan sensasi itu tidak terbentuk sekadar karena ada tujuan.

Inilah hukum itu. Jadi, tujuan itulah yang memilih dan mengarahkan

penggunaan sensasi dan pemikiran, tujuan jiwa.

Menurutnya, jiwa (mind) yang memberi arti terhadap stimulus itu mengadakan

seleksi dengan menggunakan dua cara yang amat sederhana. Pesan-pesan

(dari stimulus) disusun sesuai dengan ruang tempat) datangnya sensasi, dan

waktu terjadinya sensasi itu.Mind itulah yang mengerjakan, yang

menempatkan sensasi dalam ruang dan waktu, menyifatinya dengan ini atau

itu, sekarang atau nanti. ruang dan waktu adalah alat persepsi. Oleh karena

itu, ruang dan waktu itu apriori.

Persoalan pokok di sini ialah bagaimana mind itu berkerja. Ternyata pada

sumber lain ditemukan bahwa mind itu tidak diterangkan. Ruang dan waktu

itu apriori karena ia harus ada sekalipun tidak dapat dipahami. Karena ruang

dan waktu apriori, maka hukum-hukum yang ada dalam ruang dan waktu

haruslah apriori, absolute, harus bukan kemungkinan. Inilah matematika.

Sekarang, matematika dpat dibebaskan dari gangguan Skeptisme Hume.

Hukum-hukum matematika adalah hukum-hukum yang berada di dalam ruang

dan waktu. Jiwa (mind) tersebut bekerja aktif menyusun sensansi-sensasi

yang kacau secara intuitif. Dengan demikian cara kerjanya tidak dapat

dijelaskan secara pasti, dan yang terjadi adalah perjalanan dari perjalanan

indrawi ke perjalanan pemikiran.


Kesimulannya ialah indra hanya mengetahui penampakan; ia dapat dipegang

bila dasar-dasarnya apriori. Menurut Kant, dasar apriori itu ada pada sains itu.

Akan tetapi, indra (sains) terbatas. Akal atau filsafat lebih canggihh

ketimbang sains karena dapat mencapa konsepsi. Akan tetapi akal juga

terbatas. Di sinilah buku Critique kedua mulai berbicara.

Kant bertanya : Bila sains dan akal tidak dapat diandalkan dalam mempelajari

agama, maka apa selanjutnya? Kata Kant : Moral. Nah, tentang moral inilah

pada dasarnya isi buku Critique kedua ini.

Apa moral itu? Moral adalah kata hati, suara hati, perasaan, suatu prinsip yang

apriori, absolut. Ia merupakan suatu realita yang amat mengherankan dalam

hati manusia, perasaan yang tidak dielakkan, menentukan ini benar atau salah.

Kita boleh saja mengadakan tawar menawar, tetapi perasaan itu tetap saja

pada posisinya : menetukan. Cobalah perhatikan agi hari kita telah

menetapkan suatu rencana.

Penyelesaian, sore hari ternyata kita menghadapi pilihan, dan membuat

penyelesaian yang lain. Kata hati itu memberi perintah; itulah yang

menyebabkan kita mengadakan peimilihan kembali. Kata hati itu suatu

categorical imperative, perintah tanpa syarat yang ada di dalam kesadaran

kita. Kata hati itu memerintah. Perintah itu ialah perintah untuk berbuat

sesuai dengan keinginan universal, yaitu suatu hukum kewajaran. Apa itu?

Hukum kewajaran itu adalah hukum universal. Kita mengetahuinya bukan

karena memikirnya, melainkan dengan perasaan tiba-tiba; kita merasakan

bahwa kita harus menghindari perbuatan yang bila dilakukan oleh semua
orang akan mengakibatkan kehidupan masyarakat menjadi tidak mungkin.

Apakah saya akan menghindarkan diri dari hukuman karena bohong? Padahal,

tatkala saya akan berbohong, bahkan sebelumnya, saya tahu bahwa hukum

universal mengadakan bahwa berbohong itu jahat. Ada kesadaran dalam diri

saya, saya tidak boleh berbohong sekalipun menghasilkan keuntungan bagi

saya, atau bagi orang lain. Moral yang kita miliki itu absolute.

F. Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunan) yang berarti tindakan,

perbuatan. Kata ini sering sekali diucapkan orang yang biasanya dipahami

dengan pengertian praktis. Memang pengertian tersebut tidak jauh dari arti

yang dimaksud dalam aliran filsafat ini. Kata pragmatism sering sekali

diucapkan orang. Orang-orang menyebutkan kat itu dalam pengertian praktis.

Jika orang berkata, Racncangan ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah

rancangan ini kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari

pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan

keseluruhan pengertian pragmatisme.

Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa criteria

kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi

kehidupan nyata.

Oleh sebab itu, kebenaran sifatnya menjadi relative tidak mutlak. Mungkin

sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi
masyarakat tertentu, tetapi terbuka berguna bagi masyarakat yang lain. Maka

konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.

Filsuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James

dan John Dewey.

1. William James (1842 – 1910 M)

James lahir di New York City pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr.

Ayahnya adalahs eorang yang terkenal, yang berkebudayaan tinggi, pemikir

yang kreatif. Henry James, Sr. merupakan kepala rumah tangga yang

memang menekankan kemajuan inteltual. Ia mengembangkan anka-anaknya

secar luas sedapat-dapatnya dengan kebebasan dan individitalisme, dan ia pun

memberikan ide-idenya serta pengalamannya yang penting kepada anak-

anaknya. Karena William James mempunyai kemungkinan berkembang

secara luar biasa. Selainkaya, keluarganya memang dibekali dengan

kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan

humanisme dalam kehidupan mengembangkannya. Ayah james

mengembangkannya mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, hidup

James penuh dengan masa belajar yang diterangi dengan usaha kreatif untuk

menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.

Pendidikan formalnya yangmula-mula tidak teratur. Ia mendapat tutor

berkebangsaan Inggris, Prancis, Swiss, Jerman, dan Amerika. Akhirnya ia

memasuki Harvard Medical School pada tahun 1864 dia memperoleh Ph.D-

nya pada tahun 1869. Akan tetapi, ia kurang tertarik pada praktik
pengobatan; ia lebih menyenangi fungsi alat-alat tubuh. Oleh karena itu, ia

kemudian mengajarkan anatomi dan fisiologi di Harvard. Tahun 1875

perhatiannya lebih tertarik pada psikologi dan fungsi pikiran manusia. Pada

waktu inilah ia menggabungkan diri dengan Peirce, Chauncy Wright, Oliver

Wendel Holmes, Jr., dan lain-lain tokoh dalam Metaphysical Dub untuk

berdiskusi dalam masalah-masalah filsafat dengan topic-topic metoda ilmiah

agama dan evolusi. Di sinilah ia mula-mula mendapat pengaruh Pleirce

dalam metoda pragmatisme.

Pandangan filsafatnya, di antaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang

mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas akal

yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita

anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah,

karena di dalam praktik, apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh

pengalaman berikutnya.

Nilai konsep atau pertimbangan kita, bergantung kepada akibatnya, kepada

kerjanya. Artinya, bergantung pada keberhasilan perbuatan yang disiapkan

oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar bila bermanfaat bagi

pelakunya, memperkaya hidup dan kemungkinan-kemungkinannya.

Menurut James, dunia tidak dapat diterangkan dengan berpangkal pada satu

asas saja. Dunia adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling

bertentangan. Tentang kepercayaan adanya suatu realitas cosmis lebih tinggi

itu merupakan nilai subjektif yang relative, sepanjang kepercayaan itu

memberikan kepadanya suatu hiburan rohani, penguatan keberanian hidup,


perasaan damai, keamanan dan sebagainya. Segala macam pengalaman

keagamaan mempunyai nilai yang sama, jika akibatnya sama-sama

memberikan kepuasan kepada kebutuhan keagamaan.

Filsafat pada mulanya, sampai kapan pun mereka usaha menjawab pertanyaan

yang penting-penting. Orang telah berusaha menjawab pertanyaan itu dengan

indra. (empirisme dalam artian yang datar), dengan akal (rasionalisme dalam

artian yang datar), dan dengan rasa (intuisionisme, juga dalam artian yang

datar). Ketiga isme itu mempunyai banyak varian pandangan di dalamnya.

James mencoba menjawab pertanyaan kepada isme pertama dan ingin

menggabungkannya dengan isme kedua. Penggabungan yang dilakukannya

dinamakan pragmatism, meminjam nama yang sudah digunakan orang

sebelum dia. Akan tetapi, sayang, penggabungan itu gagal.

James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang

mempraktikkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang

Amerika sekarang. Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab

terhadap generasi Amerika sekarang adalah William James dan John Dewey.

Apa yang paling merusak dalam filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut

pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum

semua kebenaran belum final. Ini berakibat subjektivisme, induvidualisme,

dan dua ini saja belum cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam

kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.

2. John Dewey (1859 M)


Sebagai pengikut filsafat pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas

filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak

boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak

ada faedahnya. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan

mengolahnya secara kritis.

Menurunkan tidak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan

berubah. Jika mengalami kesulitan, segara berpikir untuk mengatasi kesulitan

itu. Maka dari itu berpikir tidak lain dari pada alat (instrument)untuk

bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya

mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk

mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah

metoda induktif. Metoda ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengatahuan

fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.

Tentang Istilah Pragmatisme

Secara umum pragmatisme berarti hanya ide (pemikiran, pendapat, teori)

yang dapat dipraktikkan yang benar dan yang berguna. Ide-ide yang hanya

ada di dalam ide (seperti ide pada Playo, pengertian umum pada Socrate,

definisi pada Aristoteles), juga kebimbangan terhadap realitas objek indra

(pada Descartes), semua nonsense bagi pragmatisme. Yang ada ialah apa

yang riil ada; demikian kata James tatkala ia membantah Zeno yang

mengaburkan arti gerak.


G. Eksistensialisme

Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dar kata dasar exist. Kata exist

itu sendiri adalah bahada Latin yang artinya: ex; keluar dan sister; berdiri.

Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.

Dalam membuat definisi eksistensialisme kaum eksistensialis tidak sama

tentang apa yang dimaksud sebenarnya dengan eksistensialisme. Namun

demikian ada sesuatu yang dapat disepakati oleh mereka yaitu sama-sama

menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.

Filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang

dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti

katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema

sentral. Ini adalah satu ragam filsafat. Tokoh-tokoh yang dapat digolongkan

ke dalam filsafat eksistensi telah banyak terdapat sebelum lahirnya filsafat

eksistensialisme. Adapun yang dimaksud dengan filsafat eksistensialisme,

rumusnya lebih sulit daripada eksistensi. Sejak muncul filsafat eksistensi,

cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan filsafat, tetapi

belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal menghadapkan

manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.

Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun modern, manusia itu

pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang

materialisme tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti

halnya kayu dan batu. Akan tetapi, materialisme bahwa pada akhirnya, jadi
pada prinsipnya, pada dasarnya, manusia hanyalah sesuatu yang material;

dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya memang

manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon, tetapi pada

eksistensinya manusia sama saja dengan sapi, pohon, atau batu. dilihat dari

segi keneradaannya juga sama. Nah, di sinilah bagian ajaran materialisme itu

dihantam oleh eksistensialisme.

Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain

tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi,

cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami

beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia

menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu.

Manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu di antaranya ialah ia

mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini? Artinya ialah

bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari, yang sadar.

Barang-barang yang disadarinya disebut objek.

Lalu, dimana kesalahan materialisme: Ren Le Senne seorang

eksistensialisme, merumuskan kesalahan materialism itu secara singkat:

kesalahan itu ialah detotalisasi.De artinya memungkiri, total artinya seluruh.

Maksudnya, memungkiri manusia sebagai keseluruhan. Pandangan tentang

manusia seperti pada materialisme itu akan membawa konsekuensi yang amat

penting. Lahirnya eksistensialisme merupakan salahs atu dari konsekuensi

itu.
Ada beberapa tokoh filsafat eksistensialisme, diantaranya yaitu: Martin

Heidegger, J.P. Sartre dan Gabriel Marcel.

1. Martin Heidegger (1905 M)

Menurut Martin Heidegger bahwa keberadaan hanya akan dapat dijawab

melalui jalan antologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia

dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metoda untuk ini adalah metoda

fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu.

Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya

manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang

beradanya manusia, mengambil tepat di tengah-tengah dunia sekitarnya.

Keberadaan manusia disebut Desein (berada di sana, di tempat). Berada

artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk itu manusia harus keluar

dari dirinya dan berdiri di tengah-tengah segala yang berada.Desein manusia

disebut juga eksistensi.

Keberadaan manusia yaitu berada di dalam dunia maka ia dapat memberi

tempat kepada benda-benda yang disekitarnya, ia dapat bertemu dengan

benda-benda itu dan dengan manusia-manusia lain, dapat bergaul dan

berkomunikasi dengan semuanya.

Sebenarnya benda-benda pada dirinya tidak mewujudkan dunia. Sebab benda-

benda itu tidak dapat saling menjamah. Karena manusia berada di dalam

dunia, maka ia seibu dengan dunia,mengerjakan dunia, atau mengusahakan


dunia dan sebainya yang oleh Heidegger dirangkum dalam kata besorgen

(memelihara).

Keberadaan manusia (desein) juga metsien (berada bersama-sama). Karena itu

manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini

bersandar pada tiga hal asasi yaitu : Befindichkeit (kepekaan), Versteben

(memahami), dan Rede (Kata-kata, bicara).

Kepekaan diungkapkan dalam bentuk perasaan : senang, kecewa atau takut.

Perasaan itu timbul karena kebersamaannya dengan yang lain, ia dihadapkan

pada dunia sebagai nasib, dimana sekaligus menghayati kenyataan eksistensi

kita serba terbatas.

Yang dimaksud mengerti atau memahami, ialah bahwa manusia dengan

kesadaran akan beradanya di antara keberadaan lain-lainnya harus berbuat

sesuatu untuk menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada

dirinya bagi memberi arti dan manfaat pada dunia dalam kemungkinan-

kemungkinannya.

Dengan begitu manusia dengan pengertiannya, merencanakan dan

merealisasikan kemungkinan-kemungkinan sendiri, dam sekaligus juga

kemungkinan-kemungkinan dunia.

Bicara adalah asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan

berkomunikasi bagi manusia. Secara apriori manusia telah memiliki daya

untuk berbicara. ia mengungkapkan diri. Pengungkapannya adalah suatu

pembiratahuan dalam rangka rencana yang diarahkan ke arah tertentu.


Menurut Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya sendiri; ia ia

dilemparkan ke dalam keberadaan. Tetapi, walau manusia keberadaannya

tidak mengadakan sendiri bahkan merupakan keberadaan yang terlempar,

manusia tetap harus bertanggung jawab atas keberadaannya itu. Manusia

Harus merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya, akan tetapi dalam

kenyataannya tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah fakta keberadaan

manusia, yang timbul dari Geworfenhied atau situasi terlemparnya itu.

Kepekaan diungkapkan dalam suasana batin di dalam perasaan dan emosi. Di

antara suasana batin atau perasaan-perasaan itu yang terpenting ialah rasa

cemas (angst). Latar belakang kecemasan ini adalah pengalaman umum yang

menjadikan kita tiba-tiba merasa sendirian, dikepung oleh kekosongan hidup,

di mana kita merasa bahwa seluruh hidup kita tiada artinya.

Oleh karena itu maka dalam hidup sehari-hari manusia bereksistensi, tidak

yang sebenarnya. Akan tetapi justru karena itu manusia memiliki

kemungkinan untuk keluar dari eksistensi yang tidak sebenarnya itu, keluar

dari belenggu oleh pendapat orang banyak dan menemukan dirinya sendiri.

Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya itu menghadapi

hidup yang semu, hidupnya orang banyak. Ia tidak menyatukan hidupnya

sebagai satu kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah cara

bereksistensi yang sebenarnya guna mencapai eksistensi yang sebenarnya.

Inilah cara menemukan dirinya sendiri. Disinilah orang akan mendapatkan

pengertian atau pemikiran yang benar tentang manusia dan dunia.


2. J.P. Sartre

Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 M dan meninggal pada tahun

1980 M. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928 M.

Setelah tamat dari sekolah itu, pada tahun 1929 M ia mengajarkan filsafat di

beberapa Lycees, baik di Paris maupun di tempat lain. Dari tahun 1933

sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francais di

Berlin dan di Universitas Freiburg. Tahun 1938 M novelnya yang berjudul La

Nausee, dan Le Mur terbit pada tahun 1939 M. Sejak itu muncullah karya-

karyanya yang lain dalam bidang filsafat.

Menurut Sartre eksistensi manusia menfahului esensinya. Pandangan ini amat

janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esesinyalebih dulu sebelum

kebenarannya. Bagaimana sebenarnya yang dimaksud oleh Sartre? Filsafat

eksistensiakliasme membicarakan cara berada di dunia ini, terutama cara

berada manusia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-

wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya khusus

ada pada manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang,

tetumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat disebut

bereksistensi. Filsafat eksistensialisme mendapatkan manusia ke dunianya

dan menghadapkan manusiakepada dirinya sendiri.

Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya.

Hal ini berbeda dari tetumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya

mendahului eksistensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. Di

dalam filsafat Idealisme, wujud nyata (existence)dianggap mengikuti hakikat


(essencenya). Jadi hakikatnya manusia mempunyai cirri khas tertentu, dan

cirri itu menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain. Oleh karea itu,

dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya mendahului esensinya. Dan

formula ini merupakan prinsip utama dan pertama di dalam filsafat

eksistensinya.

3. Gabriel Marcel

Dalam filsafatnya menyatakan, bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi

bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia memiliki kebebasan yang

bersifat otonom. Dalam pada itu ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh

kerjasamanya. Dari luar ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam ia

dikuasai oleh jasmaninya. Dalam pertemuannya dengan manusia lain,

manusia mungkin bersikap dua macam. Yang lain itu merupakan objek

baginya, jadi sebagai dia, mungkin juga merupakan yang ada bagi aku. Aku

ini membentuk diri terutama dlam hubungan aku-engkau ini. Dalam

hubungan ini kesetianlah yang menentukan segala-galanya. Jika aku, percaya

kepada orang lain, maka setialah aku kepada orang itu, dan kepercayaan ini

menciptakan diri aku itu. Setia itu hanya mungkin karena orang merupakan

bagian dikau yang mutlak (Tuhan). Kesetian yang menciptakan aku ini pada

akhirnya berdasarkan atas partisipasi manusia kepada Tuhan.

Manusia bukanlah mutlak yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses).

Ia selalu mengahadapi objek yang harus diuasahakan, sebab seperti yang

tampak dalam hubungannya dengan orang lain.


Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak

ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara tidak

berada. Oleh karena itu, manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut

kepada kematian. Namun sebenarnya kemenangan kematian itu hanyalah

semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetian itulah yang memberikan

harapan guna mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetian ada

kepastian, bahwa ada Engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang

menerobos kematian. Adanya harapan menunjukkan, bahwa kemenangan

kematian adalah semu.

Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini

menunjukkan adanya Engka Yang Tertinggi (The Supreme) , yang tidak dapat

dijadikan objek manusia. Engkau Tertinggi inilah Allah, yang hanya dapat

ditemukan di dalam penyerahan seperti hanya kita menemukan di dalam

sesame kita dalam penyerahan dan dalam keterbukaan dan partisipasi dalam

berada yang sejati.

H. Positivisme

Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif

sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan

filsafat dan ilmu pengetahuan.

Tokoh aliran positivisme adalah Auguste Comte (1798-1857 M). Ia

berpendapat bahwa indar iru amat penting dalam memperoleh pengetahuan,

tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan


eksperimen.Kekeliruan indra akan dapat dikoreksi lewat eksperimen.

Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas yang diukur

dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan kiloan, dan

sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi

panas, ketika panas. Kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali,

panas,tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah

kemajuan sains benar-benar dimulai.

Jadi, pada dasranya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri

sendiri. Ia hanya menyempurnakan Empirisme dan Rasionalisme yang

bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah

(scientific method)dengan memasukan eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi,

pada dasarnya positivisme itu sama dengan Emprisime plus Rasionalisme.

Hanya saja pada Empirisme menerima pengalaman batinlah sedangkan pada

positivisme membatasi pada perjalanan objektif saja.

Menurut Auguste Comte, perkembangan pemikiran manusia baik perorangan

maupun bangsa melalui tiga zaman ; yaitu zaman teologis, metafisis dan

zaman positif.

Pertama :zaman teologis, zaman dimana manusia percaya bahwa di belakang

gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan

gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologis ini dibagi lagi tiga periode.
Periode pertama dimana benda-benda dianggap berjiwa (animism). Periode

kedua manusi percaya pada dewa-dewa (politeisme).Periode ketiga percaya

pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa (Monoteisme).

Kedua zaman metafisis, kekuatan yang adikodrati diganti dengan ketentuan-

ketentuan abstrak.

Ketiga zaman positif, yaitu ketika orang tidak lagi berusaha mencapai

pengatahuan tentang yang mutlak baik teologis maupun metafisis. Sekarang

orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapatinya

dengan pengamatan dan akalnya. Tujaun tertinggi dari zaman ini akan

tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu

fakta yang umum saja.

Hukum tiga tahap ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh

umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap peserorangan. Umpamanya

sebagai kanak-kanak adalah seoarang telog, sebagai pemuda menjadi

metafisis, dan sebagai orang dewasa ai adalah seorang fisikus.

Urutan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan tersusun demikian rupa,

sehingga yang satu selalu mengandalkan semua ilmu yang mendahuluinya.

Dengan demikian, Comte menempatkan deretan ilmu pengetahuan dengan

urutan sebagai berikut : ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan

sosialogi.

I. Matrialisme
Aliran filsafat materialism memandang bahwa reliatas seluruhnya adalah

materi belaka. Tokoh aliran ini adalah Ludwig Freuebach (1804-1879 M).

Menurutnya hanya alamlah yang ada. Manusia adalah alamiah juga.

Dalam pandangan matrealisme, baik yang kolot maupun yang modern,

manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu.

Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia dama dengan

benda seperti kayu dan batu. Akan tetapi, materialism mengatakan bahwa

pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, manusia hanyalah

sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut

bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon,

tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi. Nah, di sinilah

bagian ajaran materialism itu dihantam oleh eksistensialme.

Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain

tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapid an pohon juga. Akan tetapi,

cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami

beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia

mengahadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu.

Manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia

menegrti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini? Artinya ialah

manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-

barang yang disadarinya disebut objek.

Lalu, di mana kesalahan materialism? Rene Le Senne, seorang eksistensialis,

merumuskan kesalahan materialism iru secara singkat : keslahan itu ialah


detotalisme. De artinya memungkiri, total artinya seluruh. Maksudnya,

memungkiri manusia sebagai keseluruhan. Pandangan materialism itu belum

mencakup manusia secara keseluruhan. Pandangan tentang manusia seperti

pada materialism itu akan membawa konsekuensi yang amat penting.

Lahirnya eksistensialisme merupakan salah satu dari konsekuensi itu.

Yang terpenting bagi manusia bukan akalnya, tetapi usahanya, sebab

pengetahuan hanyalah alat agar usaha manusia berhasil. Kebahagian manusia

dapat dicapai di dunia ini. Oleh karena itu agama dan metafisika harus

ditolak. Menurut dia agama timbul dari sifat egoism manusia mendambakan

kebahagian. Apa yang tidak ada pada manusia tetapi didambakannya,

digambarkan sebagai kenyataan yang ada pada para dewa. Karena itu dewa

sebenarnya merupakan keinginan manusia. Bahwa ada banyak dewa yang

bermacam-macam, itu disebabkan karena manusia memiliki bermacam-

macam keinginan.

J. Marxisme

Marxisme adalah aliran filsafat yang ditunjukkan kepada ajaran Karl Marx

(1818-1883 M). Aliran Marxismelahir dari suatu pertemuan dari tempat-

tempat Karl Marx dalam sejarah ide-ide dan suatu detik sejarah perjuangan

kelas-kelas yaitu kelahiran gerakan buruh. Pokok pemikiran Marx diambi;

dari ajaran filsafat Hegel dan Filsafat Feurbach. Dari Hegel dimabil metoda

dialektikanya dan mengenai sejarah, sedang dari Feurbach diambil teori

materialismenya.
Ajaran Filsafat Marx disebut juga materialisme dialektik, dan disebut juga

materialisme historis. Disebut sebagai materialisme dialektik karena

peristiwa kehidupan yang didominasi oleh keadaan ekonomis yang materiil

itu berjalan melalui proses dialektika, tese, antitese dan sentise.Mula-mula

manusia hidup dalam keadaan komunitas asli tanpa pertentangan kelas,

dimana alat-alat produksi menjadi milik bersama (tese). Kemudian timbul

milik pribadi yang menyebabkan adanya kelas pemilik (kaum kapitalis) dan

kelas tanpa milik (kaum proletar yang selalu bertentangan (antitese). Jurang

antara kaum kaya (kapitalis) dan kaum miskin (proleter) semakin dalam.

Maka timbullah krisis yang hebat. Akhirnya kaum proleter bersatu

mengadakan revolusi perebutan kekuasaan. Maka timbullah diktaktor

proletariat dan terwujudlah masyarakat tanpa kelas di mana alat-alat produksi

menjadi milik masyarakat atau negara (sintese).

Adapun Marxisme disebut materialisme historis, karena menurut teorinya,

bahwa arah yang ditempuh sejarah sama sekali ditentukan oleh

perkembangan sarana-sarana produksi yan materiil. Ke manakah arah

sejarah? Marx berkeyakinan bahwa seluruh sejarah manusia menuju ke suatu

keadaan ekonomis tertentu yaitu komunisme, dimana milik pribadi diganti

menjadi milik bersama. Baru keadaan itulah kebahagian bangsa manusia

tercapai. Perkembangan manusia sejarah ini akan berlangsung secara mutlak

dan tidak mungkin dihindarkan. Tetapi manusia dapat mempercepat proses

ini dengan aksi revolusioner berdasarkan kesadaran. Dengan kata lain,

perjuangan kelas secara mutlak dilakukan untuk mencapai masyarakat

komunis.
Marx beranggapan bahwa dalam masyarakat komunis dengan sendirinya

agama akan lenyap, karena agama merupakan ekspresi kepapan manusia.

Agama, adalah candu rakyat, demikian kata Marx.

K. Anti Teisme atau Ateisme

Anti Teisme merupakan aliran filsafat yang ingin mewujudkan sejarah

manusia tanap Tuhan. Tokoh filsafat aliran ini adalah Friedrich Nietzche

(1844-1890 M). Tuhan dan agama menurutnya dipandang sebagai formula

jahat yang diterapkan dalam setiap fitnah melawan manusia di dunia.

Pokok-pokok filsafatnya di antaranya mengenai kehendak manusia, manusia

sempurna, dan kritik terhadap agama (Kristen). Pokok-pokok fl\ilsafatanya

sebagai berikut :

Pertama, kehendak untuk berkuasa merupakan dasar dan sumber tingkah laku

manusia. Kehendak untuk berkuasa memasuki semua bidang kegiatan

manusia: kesadaran hidup, prewujudan nilai-nilai agama, kebudayaan dan

lainnya. Kehendak untuk berkuasa bahkan merupakan kenyataan yang benar

akan dunia ini. Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa, lain tidak.

Kehendak untuk berkuasa ini tampak dalam ilmu pengetahuan. Dengan ilmu

pengetahuan, manusia ingin menyelidiki dunia untuk menemukan kenyataan

dunia yang menjadi. Dengan ilmu, semua yang ada diubah ke dalam bentuk-

bentuk yang pasti. Maka ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai

penjelmaan alam menjadi konsep-konsep, dengan tujuan untuk menguasai

alam.
Tentang agama juga dinyatakan sebagai perwujudan kehendak untuk

berkuasa. Semua agama hakikatnya berasal dari kehendak untuk berkuasa.

Karena kehendak untuk berkuasa ini tidak dapat dipenuhi dengan kekuatan

manusia sendiri, maka manusia menyerahkan usahanya kepada pribadi yang

lebih tinggi. Manusia lari kepada Tuhan yang Maka Kuasa, karena ia sendiri

tidak dapat mengalahkan kekuatan yang dihadapinya.

Kedua: Bagi Nietzche manusia yang ideal adalah Superman. Dengan

superman kehendak untuk berkuasa atas dunia menjadi sempurna. Sejarah

akan mencapai kesudahannya pada kehendaknya pada kehadiran manusia

Superman ini. Superman adalah manusia yang menegtahui bahwa Tuhan

telah mati, bahwa tidak ada sesuatu pun yang melebihi atau mnegatasi dunia

ini. Superman akan muncul bila manusia telah mempunyai keberanian untuk

mengubah system nilai, untuk menghancurkan nilai-nilai yang ada terutama

nilai Kekristenan. Sesuadah itu manusia yang kuat yang berani

mengahncurkan nilai-nilai yang lama, harus menciptakan dan menyusun

nilai-nilai yang melebihi nilai sebelumnya.Kehendak untuk kuasa yang

menjelma dalam semua nilai akan mengarah kepada Superman, akan

merupakan personifikasinya. Superman tampil di dunia ini seperti Caesar

dari Romawi Kuno, Napoleon dari Perancis, Geothe dari Jerman, dan

sebagainya.

Ketiga;Kritik terhadap agama Kristen. Walapun Nietzsche terdidik di

lingkungan Kristen, namun akhirnya ia mnejadi filsuf aties yang paling


ekstrim. Kritik terhadap agaman Kristen mencapai puncaknya dalam bukunya

Anti Kristus.

Agama Kristen dinyatakan sebagai lambang pemutarbalikan nilai-nilai, sebab

jiwa Kristiani menolak segala yang alamiah, dan memusuhi segala yang

nafsani. Pengertian Allah menurut agama Kristen adalah pengertian yang

paling rusak dari segala pengertian tentang Allah, sebab Allah dipandang

sebagai Allah anak-anak piatu, janda-janda dan oprang-orang sakit, Allah

dipandang sebagai roh yang bertentangan sekali dengan hidup ini. Jiwa

Kristiani adalah jiwa yang tidak memberi penguasaan dan kebangsawanan.

Semua itu dibongkar sehingga ditimbulkan nilai-nilai baru, moral tuan.

Bagi Nietzsche peristiwa yang paling menonjol dalam sejarah di Barat pada

zaman modern adalah bahwa Allah sudah mati. Dimaksudkan dengan itu

ialah bahwa kepercayaan Kristiani akan Allah sudah layu dan hamper tidak

mempunyai peranan riil lagi. Dan Nietzsche merasa terpanggil untuk

meweujudkan sejarah baru tanpa Tuhan.

Jika Allah sudah mati, Allah Kristiani dengan segala perintah dan larangan

sudah tidak merupakan rintangan lagi, itu berarti bahwa dunia sudah terbuka

untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lahi kepada

sesuatu di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup, tetapi harus setia

terhadap dunia ini.


BAB 6

ETIKA KEILMUAN

A. Pengantar

Ilmu berupaya mengunggkap realitas sebagaimana adanya, sedangkan moral

pada dasarnya adalah petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan

manusia. Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternative untuk

membuat keputusan politik dengan berkiblat kepada perimbangan moral.

Ilmuwan mempunyai tanggung jawab professional, khusunya di dunia ilmu

dan dalam masyarakat ilmuwan itu sendiri dan mengenai metodologi yang

dipakainya. Ilmuwan juga memikul tanggung jawab sosial, yang bida

bedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya, dan tanggung jawab

moral yang lebih luas cangkupannya.

Ilmu dan moral termasuk ke dalam genus pengetahuan yang mempunyai

karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga

komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang

disusunya. Komponen tersebut adalah ontology, epistemology, dan aksiologi.

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Buku IA Filsafat Ilmu,

1984/1985:88)

Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang

mnejadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek

penelaahan tersebut. Epistemology merupakan asas mengenai cara bagaimana

materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubh


pengetahuan.Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan

yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.

Agar mendapat pengertian yang jelas mengenai kaitan antara ilmu dan moral

maka kajiannya harus didekati dari ketiga komponen tiang penyangga tubuh

pengetahuan yakni ontology, epistemology, dan aksiologi. Namun sebelum

sampai pendekatan dari ketiga hal tersebut dibahas dahulu tentang anatar

etika, moral, norma dan kesusilaan, kemudian pengertian dan ciri-ciri ilmu.

Bahasa ditutup dengan bagaimana sikap ilmiah yang harus dimiliki seorang

ilmuwan.

IStilah sains merupakan alih bahasa dari “science” yang berasal dari bahasa

Latin’scire’, artinya “to know”.Dalam arti sempit, sains diartikan ilmu

pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif. Dalam bahasa

Indonesia sehari-harii orang salah kaprah menerjemahkan kata science

menjadi “ilmu”. Mengapa dikatakan salah kaprah? Karena arti “ilmu” dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud: 1988) memiliki di\ua pengertian.

Pertama, ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang sesuatu bidang

yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat

digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan

tersebut, seperti : ilmu hukum, ilmu pendidikan, I;lmu ekonomi, ilmu kimia,

dan sebagainya.Kedua, ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian,

tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat,

ilmu akhlak, ilmu tauhid, ilmu batin, ilmy lahir, ilmu sihir, dan sebagainya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud : 1988), ditemukan juga

kata “sains”, yang artinya : (1) ilmu teratur (sistemati) yang dapat diuji atau

dibuktikan kebenarannya; (2) ilmu yang berdasarkan kebenaran atau

kenyataan semata (fisika, kimia, biologi).

Jadi, mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tidak dapat

mengalihbahasakan kata “science” dengan kata “ilmu”, karena ilmu

membahsa dan membicarakan segala macam pengetahuan yang dapat dimiliki

manusia, baik pengetahuan lahir maupun pengetahuan batin, termasuk

masalah-masalah yang transcendental dan metafisik. Sedangkan sains hanya

membicarakan segala sesuatu yang nyata yang dapat disentuh oleh panca

indra. Sains sama sekali tidak berurusan dengan hal-hal yang transendetal dan

metafisik. Oleh karena itu, kata “science” lebih tepat dialihbahasakan dengan

kata “sains” walaupun kata sains yang tertulis dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia tersebut seolah-olah hanya berkaitan dengan sains fisik. Padahal

terdapat juga sains sosial seperti sosilogi, psikologi, antropologi, psikologi

sosial, dan seterusnya.

Menurut Titus (Dalam Sadulloh, 2003;43), sains artinya sebagai common

sense yang diatrur dan diorganisasi, mnegadakan pendekatan terhadap benda-

benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode obeservasi yang

teliti dan kritis. Menurut Ashley Montagu (dalam Sadulloh, 2003:43/44),

sains merupakan pengetahuan yang disusun, yang berasal dari

pengamatan,studi, dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan prinsip

tentang hal yang sedang dipelajari.


1. Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasi atau kesatuan

pengetahuan yang terorganisasi.

2. Suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia

empiris, yaitu dunia terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang ada

prinsipnya dapat diamati oleh panca indra manusia.

Selanjutnya Sikun Pribadi (dalam Sadulloh, 2003:44) mengemukakan

pengertian sains (ia menyebutkan ilmu pengetahuan) sebagai berikut :

“ Objek pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode

pendekatannya berdasarkan pengalaman (experience) dengan

menggunakan berbagai cara seperti observasi, eksperimen, survey,

studi kasus, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman itu diolah oleh

pemikiran atas hukum logika yang tertib. Data yang dikumpulkan

diolah dengan cara analitis, induktif, kemudian ditentukan relasi-

relasi antara data-data, dinataranya relasi kausalitas. Konsepsi-

konsepsi dan relasi-relasi disusun menurut suatu sistem tertentu yang

merupakan suatu keseluruhan yang terintegrasi. Keseluruhan

integrasi ini kita sebut ilmu pengetahuan”.

Setiap aktivitas ilmiah tertentu bertolak dari konsep, karena konsep

merupakan sebuah struktur pemikiran. Sontag (Dalam Mustansyir dan

Munir, 2001:138) menyatakan, bahwa setiap pembentukan konsep selalu

terikat empat kmponen, yaitu : kenyataan (reality), teori (theory), kata-kata

(words), dan pemikiran (thought). Kenyataan (reality) hanya akan

merupakan sebuah misteri manakala tidak diungkapkan kedalam bahasa.


Teori merupakan tingkat pengertian tentang sesuatu yang sudah teruji,

sehingga bisa dipakai sebagai titik tolak bagi pemahaman hal lain. Kata-

kata merupakan cerminan ide-ide yang sudah divervalisasi pemikiran

merupakan produk akal manusia yang diekspredisikan kedalam bahasa.

kesemuanya itu yang akan membentuk pengertian dari manusia,

pengertian ini dinamakan konsep. gaston Bachelard (Dalam Mustansyir

dan Munir, 2001:139) menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu

prosuk pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum,

hukum pemikiran dengan dunia luar. Atau dengan kata lain, ilmu

pengetahuan mengandung dua aspek, yaitu subjektif dan objektif,

sekaligus memerlukan kesamaan diantara keduanya.

B. Antara Etika, Moral, Norma dan Kesusilaan

Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak

kesusilaan aau adat. Secara terminology etika adalah cabang filsafat yang

membicarakan tingkah laku perbuatanmanusia dalam hubungannya

dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia

yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-

kata dan sebaginya. Adapun motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai.

Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah

yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak

dapat dinilai baik buruk.

Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan

etika normative. Etika deskriptis hanya melukiskan, menggambarkan,

mencerminkan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak


mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika.

Adapaun etika normative sudah memberikan penilaian yang baik dan yang

buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normative dapat dibagi

menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-

prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati

dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum,

etika pergaulan, etika dalam pekerjaan dan sebagainya. (Sunoto, 1982:6)

Moral berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau

cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-

hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk

perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian

sistem nilai yang ada.

Frans magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran

moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan

tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi

manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang

dalam kedudukan yang berwenang, seperti orangtua dan guru, para

pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan

sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis

dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah

ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada

ditingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan

etika melaikan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu,

atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab


berhadapan dengan berbagai ajaran moral. (Frans magnis Suseno,

1987:14)

Norma adalah alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa segitiga,

kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma

diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu

masyarakat pasti berlaku normaumum, yaitu norma sopan santun, norma

hukum, dan norma moral.

Arti Kesusialaan

Leibniz seorang filsuf pada zaman modern berpendapat bahwa kesusilaan

adalah suatu “menjadi” yang terjadi didalam jiwa. Perkembangan dari

nafsu alamiah yang gelap sampai kepada kehendak yang sadar, yang

berarti sampai kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap,

disebabkan oleh aktivitasjiwa sendiru. Segala perbuatan kehendak kita

sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah

terkandung sebagai benih dalam nafsu alamiah yang gelap. (Harin

Hadiwijono, 1990:44-45)

Oleh karena itu, tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan

perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan

dengan batin kita.

Akibat pandangan itu orang hanya dapat berbicara tentang kehendak yang

baik dan jahat. Kehendak baik ialah jka perbuatan kehendak berwujudkan

suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas

dari actual. kehendak jahat ualah jka perbuatan kehendak diikat oleh

gagasan yang tidak jelas.


Manurut Fisuf Herbert Spencer, pengertian kesusialaan dapat berubah,

diantaranya bangsa berbagai pengertian kesusialaan sama sekali berbeda-

beda. Pada zaman negara militer, kebijakan kaprajurutan yang dihormati,

sedangkan pada zaman negara industry hal itu dianggap hina. Hal ini

sebabkan oleh kemakmuran uyang dialami pada zaman industry bukan

didasarkan atas perampasan dan penaklukan. melainkan atas kekuatan

berprosuksi.

penerapan dari ilmuu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi

etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada

proses perkembagan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tanggungjawab etis, merupakan sesuatu yang menyangkut kegaiatn

maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. dalam hal ini berarti

ilmuwandalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus

memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan

ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan

generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu

pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan

memperkokoh eksitensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi

manusia.

Tanggungjawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga

tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dimasa-masa lalu, sekarang maupun apa

akibatnya bagi masa depan berdasarkan keputusan bebas mansuia dalam

kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan


teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu antara baik alam

maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggungjawab untuk selalu

menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan

merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia

secara utuh.(Achmad Charris Zubair, 2002)

Tanggungjawab atis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan

ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia.

Akan tetapi, harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau

tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia

yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam

hubungan dengan lingkungannya mampu sebagai makhluk yang

bertanggungjawab terhadap Khaliknya.

Jadi sesuai dengan pendapat Van Melsen (1985) bahwa perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan

keberadaan manusia tergantung pada manusia itu sendiri. karena ilmu

pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan

manusia dalam kebuidayaannya. Kemajuan dibidang teknologi

memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni

kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang

buruk dan yang baik. Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi

adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-sungguh

mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan

teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia saja,


tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreativitas manusia itu

sendiri .

C. Dimensi Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologi

1. Dimensi Ontologis

Kata dimensi digunakan menunjukkan sudut pandang terhadap sesuatu,

dari sudut kepentingan apa kita mengkaji ilmu pengetahuan. Dimensi

keilmuwan siartikan sebagai pilihan kita bagaimana memandang, melihat,

atau mengkaji ilmu pengetahuan, misalnya apakah kita akan melihat ilmu

pengetahuan dari sudut (a) substansinya atau apanya (b) cara memperoleh,

mengembangkan, dan menggunakannya, atau (c) kita akan melihat

manfaat dan nilainya. Pembedaan sudut pandang tersebut hanyalah sebagai

perbedaan kehendak, karena ketiga sudut pandang itu pada praktik

berpikirnya tidak terpisahkan. Pada saat kita mempelajari substansi

sesuatu tidak terlepas dari keinginan untuk melihat bagaimana cara

memperoleh, mengembangkan, meggunakannya, dan apa manfaat yang

dapat dipelajari tersebut. Semua hal itu tidak terlepas dari pengamatanstudi

filsafat ilmu pengetahuan. Apakah manfaat studi ini bagi calon mahasiswa

calon ilmuwan? Apakah ruginya jika studi ini diabaikan mahasiswa?

Istilah “antologi” berasal dari kata Yunani “ onta” yang berarti sesuatu “

yang sungguh-sungguh ada”, “kenyataan yang sesungguhnya”, dan

“logos” yang berarti “studi tentang”, “studi yang membahas sesuatu”

(Angeles, 1.981). Jadi antologi adalah studi yang membahas sesuatu yang

ada. Secara sungguh-sungguh ontology juga diartikan sebagai metafisika


umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar dari kenyataan

yang terdalam, ontology membahas asas-asas rasional dari kenyataan

(Kottsoff, 1986).

Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya, meliputi

yang ada sebagai wujud konkret dan abstark, indrawi, maupun tidak

indrawi. Objek formal ontologi adalah memberikan dasar yang paling

umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan Tuhan. Titik

tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling

dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya.

Dengan demikian, ontology berarti sebagai suatu usaha intelektual untuk

mendiskripsikan sifat-sifat umum dari kenyataan, suatu usaha untuk

memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan, studi entang sifat

pokok kenyataan dalam aspeknya yang paling umum sejauh hal itu dapat

dicpai, teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan (Mudhofir,

1998).

Fungsi atau manfaat dalam mempelajari ontology antara lain : Pertama,

berfungsi sebagai refelksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-

konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat ilmu. Diantara ansumsi dasar

keilmuwan antara lain : Pertama, dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui

bahwa dunia ini benar ada. Kedua, dunia empiris itu dapat diketahui oleh

manusia dengan pancarindra. Ketiga, fenomena yang terdapat didunia ini

berhubungan dengan lainnya secara kausal (Anshari, 1987:20). Ilmu tidak

mampu merefeksikan postulat-postuat, asumsi-asumsi, prinsip, dalil, dan


hukum sebagai pikiran dasar keilmuwan dalam paradigmanya. Dalam hal

ini ontology dapat membantu kita untuk merefleksikan eksistensi suatu

disiplin keilmuwan tertentu.

ontology menjadi penting sebab, pertama, kesalahan suatu asumsi, akan

melahirkan teori, metodologi kelimuwan yang salah pulan. sebagai contoh,

ilmu ekonomi dikembangkan atas dasar postulat bahwa “ manusia adalah

serigala bagi manusia lainnya”, dan asumsi bahwa hakikat manusia adalah

“homo ekonomikus”makhluk yang serakah (Sastra ratedja, 1988), maka

asumsi ini akan mempengaruhi teori dan metode yang didasarkan atas

keserakajhan manusia tersebut. Padahal kebenaran asumsi tersebut secara

ontologism masih diragukan, namun sebagai ilmu, asumsi tersebut

berterima tanpa pengujian. Kedua, ontology membantu ilmu untuk

menyusun suatu pandangan dunia yang , integral, komprehensif, dan

koheren. Ilmu dengan cirri khasnya mengkaji hal-hal yang khusus untuk

dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharapkan dapat memperoleh

gambaran tentang objek telaahnya, namun pada kenyataanya kadang hasil

temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan yang parsial dan terpisah-

pisah. Ilmuwan dalam hal ini tidak mampu menginteregrasi pengetahuan

tersebut dengan pengetahuan lain. Ketiga, ontology membantu

memberikan masukan informasi untuk mengatasi permasalahan yang tidak

mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Pembagian objek kajian ilmu

satu dengan lainnya kadang menimbulkan berbagai permasalahan, di

antaranya ada kemungkinan terjadinya konflik perebutan bidang kajian,

misalnya ilmu bioetika itu masuk disiplin etika atau disiplin biologi.
Kemungkinan lain adalah justru terbukanya bidang kajian yang sama

sekali belum dikaji oleh ilmu apa pun. Dalam hal ini ontology berfungsi

membantu memetakan batas-batas kajian ilmu. Dengan demikian

berkembanglah ilmu-ilmu yang dapat diketahui manusia itu dari tahun ke

tahun atau dari abad ke abad.

2. Dimensi Eistimologi

Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).

Istilah epistemology berasal dari kata bahasa Yunani ‘episteme’ yang

artinya pengetahuan, dan ‘logos’ yang artinya teori. Jadi, epistemology

dapat didefinisikan sebagai dimensi filsafat yang mempelajari filsafat yang

mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan.

Secara sederhana disebutkan saja sebagai bagaimana cara mempelajari,

mengembangkan dan memanfaatkan ilmu bagi kemaslahatan manusia.

Dalam kepustakaan Indonesia dan wacana yang ada di masyarakat istilah

pengetahuan sering dikacaukan dengan istilah ilmu (science).

Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi yang tepat kedua istilah itu.

Selain itu karena orang menfasirkan kedua istilah itu bersifat umum yang

digunakan oleh anggota masyarakat tanpa dikaitkan dengan pengertian

dasar kedua istilah tersebut. Orang menyebut ilmu alih-alih engetahuan

atau sebaliknya. Misalnya ilmu sosial, padahal ilmu-ilmu sosial. Ilmu

kepolisian, padahal ilmu-ilmu kepolisian.


Untuk menyebut suatu “kesatuan pengetahuan” sebagai ilmu dibutuhkan

persyaratan tertentu, karena secara epistemology ilmu merupakan sebagai

dari pengetahuan yang memiliki persyaratan metodologi tertentu, yaitu

disusun dengan cara-cara tertentu agar ilmu memiliki paradigm keilmuan

yang telah diakui masyarakat keilmuan tertentu pula. Maka ilmu disebut

juga suatu disiplin. Sebagai suatu disiplin postulat tertentu, memiliki

asumsi, prinsip-prinsip yang jelas (PPs YNJ, 1986)

Epistemologi menjadi dasar pijakan dalam memberikan legitimasi bagi

suatu “ilmu pengetahuan” untuk diakui sebagai disiplin ilmu, dan

menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu. Dengan demikian

epistemology juga memberi kerangka acuan terhadap pengembangan ilmu

pengetahuan.

Aspek epistemology yang penting di dalam pengembangan pengetahuan

adalah metodologi keilmuan. Pengetahuan pada umumnya dan ilmu pada

khususnya merupakan produk dari sebuah proses. Proses mempunyai

tempat yang penting karena akan menentukan kualitas dari produk, selain

mempengaruhi pula apakah jalan kepada aoutpuit akan lebih mudah atau

lebih susah.Metodologi merupakan jaminan kualitas suatu produk.

Bahkam metodologi itu menjadi jaminan legitimasi suatu produk. Oleh

karena itu metodologi juga menjadialat atau wahana pertanggungjawaban

dan penilaian kualitas dari produk. Maka dewasa ini metodologi menjadi

penting sekali.
Persoalan tentang apa seharusnya diketahui telah lama menjadi persoalan.

Sebagai contoh, adanya pertentangan besar antara idealisme dengan

realisme. Idealisme yang pada zaman Yunani diwakili oleh Plato

menyakini bahwa pengathuan yang sungguh-sungguh adalah dunia ide.

Dengan kata lain, dunia riil yang konkret adalah pengetahuan yang semu,

hanya merupakan ‘Copy’ dunia ide. Sebaliknya, realism memandang

bahwa dunia yang sesungguhnya dapat dikeathui karena dapat diresap

dengan indra.

Pengetahuan yang berdasarkan ide (idealism) mengandung implikasi

pendekatan yang rasionalistis. Rasionalisme, menganut pendekatan

rasional. Sifat idealism lebih menekankan proses berpikir deduktif yang

terimplikasi dalam premis-premis, yaitu premis mayor, premis minor dan

simpulan. Realisme menganur pendekatan empiric. Pengetahuan yang

berdasarkan empiris memandang pengetahuan itu adalah kenyataan dan

menganut pendekatan berpikir induktif, sehingga untuk mencapai

kebenaran, pengetahuan didasarkan realitas konkret yang parsial.

Kedua pendekatan yang antagonistic itu berlanjut terus dalam sejarah

filsafat walaupun aliran kritisme mencoba menengahinya. Kritisme

memandang bahwa abik pengetahuan rasional maupun pengetahuan

empiric adalah benar dalam batas-batas tertentu. Untuk maksud itu,

kritisme mencoba memunculkan suatu tesis baru yang lebih memihak ke

rasionalistik, sehingga ukuran-ukuran kebenarannya pun lebih didasarkan

pada otonom rasio.


Fenomena epistemology realisme tampak pada adanya ilmu pengetahuan

yang lebih menekankan aspek empiric. Akibatnya, mucul pandangan apa

yang disebut pandangan yang bersifat pragmitis. Kegunaan atau yang

dirasakab dampaknya secara fisik, merupakan ha utama untuk

dikembangkan. Kehidupan materialistis yang pragmatis itu menjadi

model dala kehidupan.

Walupun demikian pragmitisme tidak sepenuhnya diambil begitu saja,

karena perbedaan budaya. Akibatnya proses adopsi ilmu pengetahuan

tidak sepenuhnya mengambil tradisi masyarakat ilmiah Barat, melainkan

lebih cenderung mengambil ilmu sebagai suatu produk. Untuk Indonesia

khususnya diperlukan landasan epistemology baru yang dapat mewadahi

secara proposional pemikiran empiris modern yang cenderung humanisme

sekuler, dan landasan epistemology humanistic religious yang dapat

membantu memandang realitas secara lebih komrehensi dalam

menyelesaikan persoalan masa kini sesuai dengan budaya bangsa.

Landasan epistemology ilmu menyangkut cara berpikir keilmuan

berkenaan dengan criteria tertentu agar sampai pada kebenaran ilmiah.

Dengan kata lain, yang dibicarakan dalam epistemology ilmu adalah suatu

proses berpikir ilmiah. Sesuai dengan perkembangannya, ilmu

berkembang melalui taraf berpikir sebagai berikut : (a) ilmu rasional, (b)

ilmu rasional empiric, dan (c) ilmu rasional emp[irik eksperimental.

Dalam rangka ilmu-ilmu modern, cara Dalam rangka ilmu-ilmu modern,


cara berpikir ilmiah berkenaan dengan kritertia ilmu rasional empiric atau

ilmu rasional empiric eksperimental.

Proses berpikir ilmiah yang rasional-empirik atau rasional empiric

eksperimental dicoba dilukiskan dengan diagram pada halaman berikut.

Diagram itu menujukkan alur berpikir yang bermula dari kebutuhan

mengatasi permasalahan kemasyarakatan, diatas secara teoretis dari

berbagai landasan teori yang relevan melalui proses argumentasi, lalu

jawaban diuji melalui data empiric yang sahih dan terpecaya. Proses

tersebut apakah eksplisit seperti itu tidak tetap dilalui. Seperti pandangan

epistemology naturalistic, apabila secara teoretis tidak dapat ditentukan

bagaimana prediksi produk yang diharapkan (secara teoretis pula, dengan

kata lain hipotesis), maka jawaban itu adanya secara terlepas.

Ilmu-ilmu modern pernah terlepas dari masyarakat karena kebangkitan dan

suksesnya justru dalam rangka memecahkan permasalahan

kemasyarakatan. Salah satu implikasi dari perkembangan ilmu kemudian

adalah terbentuknya pola berpikir ilmiah dalam masyarakat. Hasil penting

perkembangan ilmu di dunia Barat menjadi penghantar terbentuknya

kebudayaan modern dalam proses modernisasi/pembangunan nasional.

MElihat keberhasilan modernisasi itulah berbagai negeri (bukan Barat)

mengadopsi pembangunan nasional. Disinilah akan dapat ditekankan

relevansi apakah yang bisa diambil dalam wacana landasan epistemology

ilmu bagi masalah actual. Salah satu di antaranya adalah urgensi

membudayakan cara berpikir ilmiah dalam masyarakat. Budaya berpikir


ilmiah tiada lain adalah dalam mengatasi masalah secara disiplin

menggunakan proses deduktif-induktif.

Ilmu “seharusnya” digunakan untuk mengatasi permsalahan

kemasyarakatan, misalnya permasalahan pembangunan, baik pisik maupun

karakter bangsa. Pelaksanaan pembangunan dilaksanakan oleh kelompok

birokrat dengan sistem kinerja tertentu. Apabila kelompok ilmuwan

berada diluar sistem tersebut, maka apa yang dihasilkan sulit dimanfaatkan

dalam pelaksanaan suatu kinerja pembangunan atau kebutuhan untuk

mengatasi permasalahan kemasyarakatn secara ilmiah. Seperti diketahui

bersama pembangunan di Indonesia memberikan keberhasilan dan kiranya

sekaligus lebih banyak kegagalan, salah satu sebabnya terletak dalam

ketidakcocokan cara bepikir, tradisonal mistis dalam masyarakat

Indonesia. Hasil-hasil pembangunan dengan cara berpikir ilmiah sebagai

sarananya dirasakan misalnya dalam bidang-bidang: pertanian,

pengobatan, keluarga berencana, pariwisata, dan lain-lain. MEskipun

keberhasilan tersebut sering disertai oleh partisipasi masyarakat, namun

tidaklah terbantah bahwa aspek mobilitas masih jauh lebih kuat.

Lemahnya partisipasi masyarakat tidak lain adalah disebabkan oleh kurang

dan tidak terbiasa berpikir ilmiah.

Tentu saja cara berpikir ilmiah bukanlah satu-satunya jalan dalam

memecahkan masalah kemasyarakatan. DAlam hal ini, di lain pihak perlu

diangkat sekaligus cara berpikir ketimuran dalam memecahkan semesta

persoalan, misalnya tidak semata-mata rasional melainkan dengan


mengendepankan cita rasa religious-spiritual yang seharusnya menjadi

kekuatan penting masyarakat kebangsaan. Sementara itu, cara berpikir

mistis/’klenik’ (Jawa) perlu ditinggalkan dengan cara berpikir ilmiah.

Produk ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat diiringi teknologi

yang semakin tampak menarik menyilaukan mata telinga dan mata hati

karena langsung terasa manfaatnya: mempermudah dan memperenak

hidup kesehatian manusia. Namun dampak negatifnya pun sangat kuat

antara lain pemusnahan missal alam dan pelecehan kodrat manusiawi

(human nature, nature humana). Berlanjutnya dan merembetnya dampak

negative itu tidak boleh dibiarkan di tanah air. Dibutuhkan suatu

epistemology yang berbeda baik epistomolgi yang rasional maupun

empirisme eksperimental yang perlu dlengakapi dengan misalnya

epistemology humanistic religious.

3. Dimensi Aksiologi

Secara erimologis aksiologis berasal dari kata aksios yang berarti nilai dan

logos berarti ilmu atau teori. Aksiologi sebagai teori tentang nilai

membahas tentang hakikat nilai, sehingga disebut Filsafat Nilai. Persoalan

tentang nilai apabila dibahas secara filsafati akan lebih memperhatikan

persoalan tentang sumber nilai (Lihat Sri Soeprapto: 1). Dalam definisi

yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan membahas nilai-

nilai yang memberi batas-batas bagi pengembangan ilmu.

a. Problematik dalam Aksiologi


Dalam Filsafat Ilmu terjadi banyak kesibukan dalam menghadapi

pertanyaan apakah ilmu bersifat bebas nilai atau tidak. Suatu tanggapan

disebut pertimbangan nilai (value judgement) jika di dalamnya orang

mengatakan bahwa sesuatu hal baik atau tidak, positif atau negative, atau

apakah sesuatu hal layak untuk diutamakan dibandingkan dengan hal yang

lain. Ini berarti hal tersebut terikat oleh asas moral keilmuan.

Konsiten dengan asas moral dalam pemilihan objek penelaahan ilmiah,

maka penggunaan pengetahuan ilmiah mempuanyai asas moral tertentu

pula. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk

kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu dapat dimanfaatkan

sebagai sarana dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan

memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia dan

kelestarian/keseimbangan alam. Salah satu alasan untuk tidak

mencampuri masalah kehidupan adalah kekhawatiran bahwa hal ini akan

menganggu keseimbangan kehidupan.

Secara epistemologis, ilmu memang disusun dan dikembangkan sedikit-

demi sedikit secara atomistic, namun untuk kepentingan manusia tersebut

maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun itu dimiliki dan

dipergunakan secara holistic, komunal, dan universal (Suriasumantri,

1983). Manusia memiliki ilmu pengetahuan bukan secara parsial

melainkan secara menyeluruh. Komunal berarti bahwa ilmu merupakan

pengetahuan yang menajdi milik bersama, setiap orang berhak

memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya, sesuai dengan asas


kebersamaan. Universal berarti ilmu tidak memiliki konotasi parokhiyal

seperti ras, ideology atau agama.

Kadangkala kita mendengar orang mengajukan alasan mengapa ilmu tidak

bebas nilai, tidak objektif, yaitu karena seorang ilmuwan mengadakan

penyaringan di antara segenap hal yang dapat diselidiki, dan tidak

memperhatikan hal lainnya, sekurang-kurangnya ridak secara tugas

memperhatikannya. Berdasarkan atas alasan tersebut kadang-kadang

ditarik kesimpulan yang berlebihan. Dengan perkataan lain pertanyaan

mengenai syarat-syarat terjadinya pengetahuan tidaklah sama dengan

pertanyaan mengenai ukuran-ukuran untuk menetapkan apakah

pengetahuan itu otentik atau tidak. Hal yang demikian tidak selamanya

diperhatikan secara benar dalam pembicaraan mengenai keadaan bebas

nilai yang dipunyai oleh ilmu.

b. Fungsi Aksiologi

Aksiologi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi

perkembangan kehidupan manusia yang negative sehingga ilmu

pengetahuan dan teknlogi (IPTEK) tetap berjalan pada jalur kemanusiaan.

Oleh karena itu, daya kerja aksiologi (1) menjaga dan memberi arah agar

proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki, maka perilaku

keilmuan perlu dilakukan secara dengan penuh kejujuran dan tidak

berorientasi pada kepentingan langsung. (2) dalam pemilihan objek

penelaahan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat

manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri


permasalahan kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatic,

arogansi kekuasanaan dan kepentingan politik. (3) pengembangan ilmu

pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan taraf hidup yang

memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan,

kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.

c. Aksiologi dan Nilai

Diskursus yang terjadi diantara para filsuf yaitu apakah ilmu pengetahuan

itu bersifat bebas atau terikat nilai. Aliran logis positivistic menganggap

bahwa ilmu pengetahuan haruslah bebas nilai. Mengaitkan antara ilmu

dengan nilai akan mnegurangi kadar objektivitas ilmiah dari ilmu.

Persoalan nilai dianggap merupakan sesuatu yang sifatnya subjektif-

emosional. Hal-hal yang sifatnya subjektif harus disingkirkan agar

validitas kebenaran yang objektif dapat dipertanggungjawabkan. Sesuatu

dikatakan benar apabila dapat diukur, ditakar dan ditimbang.

Pendapat aliran dualisme mengatakan bahwa sebelum mengambil

keputusan, apakah ilmu itu bebas nilai atau terikat nilai, lebih dahulu ilmu

harus didudukan kembali pada kedudukan ilmu itu sendiri. Imu menurut

aliran dualisme dapat dibagi menjadi dua kelompok taitu, apakah termasuk

dalam ilmu eksak atau masuk dalam ilmu kerohanian. Apabila masuk

dalam kelompok ilmu eksak maka tidak perlu dikaitkan dengan nilai,

karena ilmu eksak sudah mempunyai hukum-hukumnya sendiri sehingga

tidak perlu dikaitkan dengan pertimbangan di luar disiplin ilmunya.

Dalam matematika, mislanya 1 + 2 = 3 tidak perlu menimbang-nimbang


dengan nilai di luar matematika itu sendiri (misalnya : nilai etis, estetis

arau religious). Namun, dikotomi tentang ilmu eksak dengan ilmu

kerohanian dewasa ini sulit untuk dituntut pertanggungjawaban ilmiahnya.

Pendapat yang muncul diera kontemporer ini adalah baik ilmu eksak

maupun ilmu-ilmu sosial apalagi kerohanian tidak mungkin bebas nilai.

Ilmu eksak, misalnya matematika pun tidak bersifat bebas nilai. Ilmuwan

yang ahli dibidang matematika pun terikat oleh nilai-nilai seperti

kejujuran, kebenaran dan lain sebagainya. Ilmu walau bagaimanapun juga

dipergunakan oleh manusia,sehingga harus tetap menghargai nilai-nilai

kemanusiaan. Arogansi keilmuan akan menciptakan makhluk yang merasa

menjadi dewa sebelum ia menjadi manusia. Ilmu merupakan suatu bentuk

aktivitas intelektual yang bergerak bukan tanpa tujuan. Aktivitas kegiatan

ilmiah selalu diarahkan untuk dapat dipelajari fenomena yang ada dialam

semesta. Setelah manusia berhasil memahami fenomena alam semesta,

kemudian mendiskripsikan secara benar. Setelah mampu mendiskripsikan

secara benar diharapkan ilmu dapat menentukan hukum-hukumnya.

Setelah itu kemudian diharapkan dapat dibuat prediksi secara tepat.

Dengan kemampuan memprediksi secara tepat maka ilmu dapat

dipergunakan sebagai sarana mengontrol dan mengendalikan

lingkungannya. Hal itu akan bermanfaat bagi kehidupan manusia

diantaranya manusia dapat membuat rencana tentang hidup dan kehidupan

yang lebih bermakna. Pandangan semacam itu merupakan sikap manusia

terhadap nilai.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi diera kontemporer

menunjukkan adanya spesialisasi-spesialisasi yang sempit. Filsafat sebagai

awal dan dasar dari segala ilmu mulai ditinggalkan satu per satu oleh anak-

anaknya. A.Comte memisahkan diri daribidang filsafat kemudian

membuat ilmu baru yang sosiologi. Hal ini diikuti oleh bidang-bidang

ilmu lainnya, dan yang terakhir memisahkan diri dengan bidang filsafat

adalah psikologi.

D. Hubungan Antara Nilai dan Budaya

Pembahasan tentang masalah nilai, perlu lebih dahulu dibedakan antara

objek bernilai, subjek yang meilai, dan nilai sebagai konsep ukuran

(Rescher, 1969:8). Konsep ukuran menyangkut masalah baik-buruk,

indah-jelek, benar-salah, adil-lalim. Nilai sebagai konsep ukuran

memungkinkan subjek melakukan penilaian atas objek yang dihadapi.

Subjek yang melakukan penilaian pada dasarnya melakukan upaya

menerapkan ukuran atas objek yang dinilai.

Para ahli kebudayaan berpandangan bahwa membahas tentang kebudayaan

harus didasarkan pada petunjuk keyakinan tentang baik-buruk, benar-

salah, serta indah-jelak (Brameld, 1957:12). hal-hal yang berhubungan

dengan penilaian sesungguhnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari kebudayaan. hal ini dapat dipahami dengan meyimak fenomena

kehisupan manusia. Ketika seorang anak lahir dan berkembang menjadi

dewasa, hisup dalam lingkungan budaya tertentu. Situasi demikian,

disadari ataupun tidak, siana dikenalkan dengan pelbagia tata nilai dan

yang akan tertanammelalui proses sosialisasi atau inkulturasi dari orangtua


atau lingkungan pergaualannya. Nilai yang tertanam pada sianak akan ikut

berpengaruh dalam proses penilaian.

Faktor budaya berpengaruh dominan dalam proses penilaian. Hal ini dapat

dilihat dalam kehidupan, bahwa cara penilaian sesame warga masyarakat

dari lingkungan budaya yang sama atas objek yang sama, maka hasilnya

kurang lebih sama. Wisnu Trihanggoro (1994:50) memberikan contoh

tentang kesamaan konsep ukuran nilai yang terjadi dalam masyarakat,

misalnya kesamaan ukuran nilai sesame orang Jawa dalam menilai

unggah-ungguh, sesame orang Batak menilai keterusterangan, sesame

orang Minang menilaimatralineal, dan sebagainya. Kondisi demikian

tentunya akan tejadi sebaliknya apabila objek yang sama dinilai oleh

orang-orang yang datang dari lingkungan budaya yang berbeda.

Nilai sebagai konsep ukuran yang diyakini seseorang merupakan bagian

dari kebudayaan. KOnsep ukuran tersebut tidaklah bebas dari penilaian.

Konsep ukuran nilai sekaligus juga merupakan objek bernilai yang

potensial untuk dinilai. Hal ini membawa konsekuensi ahwa penilaian

seseorang pada dasarnya merupakan penilaian yang bersifat sementara.

Suatu ketika seseorang dapat memutuskan hasil penilaian atas dasar

konsep ukuran yang telah diyakininya, namun hasil penilaian itu akan

berubah seiring dengan berubah atau berkembangnya konsep ukuran yang

diyakininya. Hasil penilaian seseorang memangdapat berubah, tetapi tidak

berarti bahwa seseorang tidak mempunyai pendirian. Sangat berbahaya

justru apabila sesorang teap mempertahankan nilai lama yang telah

diyakininya, sedangkan nilai baru yang lebih baik telah hadir.


Kenyataan demikian justru harus disadari agar seseorang mau terbuka,

terus-menerus mengadakan dialog degan lingkungan, dengan sistem

keyakinan yang dianut, dengan hasil penilaian yang telah dibuat dengan

budaya atau nilai-nilai baru yang hadir. Dialog dengan lingkungan akan

memunculkan suatu pemahaman yang lebih jaya atas objek-objek bernilai

dan konsep ukuran yang diyakini juga akan lebih kaya.

Ilmu pengetahuan merupakan eksplisitasi realitas yang diketahui manusia.

Usaha menyingkapkan realitas berarti usaha membuka tabir yang

menutupi kebenaran. Manusia mempunyai alat-alat untuk mencapai

kebenaran, sehingga kebenaran dapat diraih. Alat-alat tersebut terdiri dari

kemampuan-kemampuan sebagai berikut :

1. Indra, merupakan kemampuan untuk mengkap kebenaran realitas

secara fisik dan bersifat parsial.

2. Naluri, sebagai kemampuan untuk mempertahankan hisup dan

kelangsungan kehidupan itu sendiri.

3. Akal, merupakan kemampuan untuk memahami hubungan sebab-

akibat dari keputusan, kejadian atau peristiwa. Manusia mempunyai

pengetahuan akali yang dikembangkan dalam tiga jenis, yaitu

pengetahuan biasa yang bersifat elementer, pengetahuan ilmiah yang

bersifat empiric, dan pengetahuan bersifat filsafatim yaitu usaha untuk

mengungkap hakikat realitas. Pembagian ini sudah memberikan

gambaran mengenai kedudukan flsafat diantara ilmu pengetahuan

manusia. Meskipun filsafat merupakan salah satu cabang ilmu

pengetahuan, tetapi filsafat ilmu “berbeda” dengan cabang ilmu


pengetahuan lain. Cabang ilmu pengetahuan lain tersebut

dikembangkan oleh manusia untuk mencari pemahaman langsung

yang dapat diterapkan dalam kehisupan. Filsafat pada prinsipnya

merupakan kegiatan refelktif dan dimaksudkan sebagai upaya untuk

memasuki tahap lebih lanjut dari kegatan ilmu pengetahuan lain yang

bersifat empiric. Tujuannya ialah memperoleh kebenaran mendasar

dan menemukan maknanya. Filsafat merupakan eksplitasi hakikat

kehidupan yang meliputi hakikat manusia itu sendiri, hakikat alam

semesta, bahkan hakikat Tuhan. Filsafat mempunyai tempat dan

kedudukan khusus dalam lingkungan ilmu pengetahuan. Filsafat tidak

hanya terbatas pada salah satu bidang atau taraf realitas, melainkan

meliputi semua bidang dan semua matra yang teliti oleh cabang ilmu-

ilmu lain. Ilmu-ilmu pengetahuan yang lain bersifat khusus, sementara

filsafat bersifat umum. Fungsi akal adalah untuk menyempurnakan

kebenaran yang tertangkap indra dan naluri.

4. Rasa, merupakan daya kemampuan khas manusia yang berupa

khayalan atau secara konkret sebenarnya merupakan kemampuan

untuk menangkap harmoni dan keindahan realitas. Apabila

dimanfaatkan dengan benar, maka imajinasi rasa bersama akal-rational

dapat membuat manusia menjadi kratif. Daya kemampuan ini jelas

pada pengembangan aspe-aspek konkret kebudayaan manusia.

5. Karsa, merupakan daya kemampuan khas manusia untuk memahami

martabat kemanusiaannya sebagi makhluk kerohanian yang mengatasi

kepentingan jasmaniah. karsa manusia dapat mendorong tingkah laku


manusia sebagai makhluk kearah nilai kebaikan. Apabila akal, rasa,

dan karsa bekerjasama dengan optimal, maka manusia akan dapat

mencapai kebenaran transenden, yaitu kebenaran yang sesuai dengan

kenyataan (realitas).

Pengetahuan yang didapatkan oleh indra merupakan tingkat terandah

dalam membangun pemahaman manusia atas kebenaran, karena hanya

mampu mengakap sebagian dari kebenaran realitas. Pengetahuan yang

dihasilkan oleh akal berkenjang lebih tinggi, karena menangkap kebenaran

relitas secara lebih lengkap sampai pada tingkat pengetahuan tertinggi

yang dapat diraih oleh manusia. rasa dan karsa sangat berguna untuk

memberikan pertimbangan ketika hasil-hasil temuan pengetahuan akal

akan dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. bentuk-bentuk konkret

pengetahuan sebagai alat-alat keteknikan membutuhkan bantuan imajinasi

rasa. Pemanfaatan alat-alat keteknikan agar tidak menurunkan martabat

manusia membutuhkan bantaun karsa yang berpedoman kepada nilai

kebaikan.

Pertimbangan nilai sangat berpengaruh pada penentuan tujuan ilmu

pengetahuan dan kegiatan ilmiah pada umumnya. Berdasarkan

pertimbangan nilai yang diperhatikannya, maka pandangan para ilmuwan

dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu :

1. para ilmuwan yang hanya menggunakan satu pertimbangan nilai yaitu

nilai kebenaran dan dengan mengesampingkan pertimbangan-

pertimbangan nilai-nilai hidup yang lain, yaitu nilai etik, dan religious
akan sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai.

Prinsip tentangilmu pengetahuan bebas nilai akan menjadikan

kebenaran sebagai satu-satunya ukuran dan segala-galanya bagi

seluruh kegiatan ilmiah, termasuk penetuan tujuan bagi ilmu

pengetahuan. The Liang Gie menunjukkan beberapa pandangan

ilmuwan yang berprinsip bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai,

yaitu (Gie, 1984):

a. Jacob Bronowski yang berpendapat :

“ The end of science is to discover what is true about the world.

The activity if science is directed to seek the truth, and it is judged

by the criterion of being true to the fact” (Tujuan pokok ilmu

adalah mencari sesuatu yang benar tentang dunia. Aktifitas ilmu

diarahkan untuk melihat kebenaran, dan hal ini dinilai dengan

ukuran pembenaran fakta-fakta).

b. Victor Reisskop yang berpendapat :

“The primary aim of science is not in application. It is in gaining

insights into the cause and laws governing natural processes”.

(Tujuan pokok ilmu ini bukan pada penerapan, tujuan ilmu aadalah

mencapa kaidah-kaidah tentang proses-proses ilmiah).

c. Carl G Hempel dan Paul Oppenhiem yang berpendapat :

“ To explain yhe phenomena in the world of experience to answer

the question’why?’ rather than only the question ‘what?’, is one of

the foremost objective of all rational inquiry and especially,

scientific researah in its various branches shrives to go beyond a


mere description of the phenomena it investigas”. (Menjelaskan

fenomena dalam dunia pengalam, menjawab pertanyaan

‘mengapa?’ daripada semata-mata pertanyaan’apa?’ merupakan

salah satu dari tujuan-tujuan utama semua penyelidikan rasional,

dan khususnya penelitian ilmiah dalam aneka cabang berusaha

melampaui sekedar hanya suatu pelukisan mengenai pokok saolnya

dengan menyelidiki suatu penjelasan mengenai fenomena yang

diselidiki).

d. Maurice Richter yang berpendapat :

“The goal of science, as commoly recognized today, involver the

acquisition of systematic, generalized knowledge concerning the

natural world; knowledge which help man to understand nature, to

predict natural event and to control natural forces”. (Tujuan ilmu

sebagaimana biasanya diakui dewasa ini meliputi perolehan

pengetahuan yang digeneralisasi, disistematisasi mengenai dunia

alamiah; pengetahuan yang membantu manusiauntuk memahami

alam, meramalkejadian-kejadian alamiah dan mengendalikan

kekuatan-kekuatan alamiah).

Para ilmuan memang harus menaati cirri-ciri dan langkah-langkaj dari

metode ilmiahnya, sehingga hasilnya dan tujuan yang ingin

dicapainya juga tetap mencerminkan cirri-ciri pokoknya, yaitu bersifat

empiric. Pada garis besarnya tujuan pokok ilmu pengetahuan dalah

merupakan kaidah-kaidah baru atau penyempurnaan kaidah-kaidah

lama tentang dunia kealaman. Peluang untuk memasukkan nilai-nilai


lain diluar nilai kebenatan dalam kegiatan ilmiah memang tidak

dimungkinkan.

2. Para ilmuwan yang memandang sangat perlu dimasukkannya

perimbangan nilai-bilai etik, kesusilaan dan kegunaan untuk

melengkapi pertimbangan nilai kebenaran, yang akhirnya sampai pada

prinsip, bahwa ilmu pengetahuan harus taut (gayut) nilai. Beberapa

pandangan yang berprinsip, bahwa ilmu pengetahuan harus taut nilai,

yaitu :

a. Francis Bacon berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah

kekuasaan, lebih lanjut dijelaskan mengenai tujuan ilmu bahwa

tujuan yang sah dan senyatanyan dari ilmu-ilmu ialah sumbangan

terhadap hidup manusia dengan ciptaan-ciptaan baru (Gie, 1984).

b. Daoed Yoesoef (1986) berpendapat bahwa ilmu pengetahuan

memang merupakan suatu kebenaran tersendiri, tetapi otonomi ini

tidak dapat diartikan bahwa ilmu pengetahuan tiu bebas nilai.

c. Soeroso H. Prawirohardjo (1986) menunjukkan pandangan

beberapa ilmuwan yang berdasarkan pada prinsip, bahwa ilmu

pengetahuan harus taut nilai, yaitu :

1) Myrdal berpendapat bahwa ilmu ekonomi telah menjadi terlalu

matematik, stern dan tidak realistic. Objektivitas ilmiah yang

secara ketat nilainya sebagai mitos, karena dibalik teori-teori

ekonomi terdapat nilai-nilai etik.

2) Bacaan berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial harus mempunyai

komitmen pada usaha untuk mmebangun dunia dan


merumuskan metode-metode yang cocok untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan ,asyarakat yang mendesak.

3) Peursen mengemukakan, bahwa dalam meninjau

perkembangan ilmu pengetahuan secara menyeluruh tidak

lepas dari tiga pembahasan yaitu teori pengetahuan , teknik,

dan etik. Lebih lanjut, ketiga persoalan ini harus dibahas secara

bersama, karena teori pengetahuan melahirkan teknik, dan

teknik bersetuhan langsung dengan pertimbangan nilai etik.

Bersama dengan itu Puersen juga mengajukan pendapatnya,

bahwa pengetahuan lebih berkuasa daripada etik. Pengetahuan,

teknk, dan etik adalah tiga unsure yang tidak dapat dipisahkan.

Ketiganya berhubungan jalin menjalin saling mempengaruhi.

Ketiganya merupakan sambung menyambung, artinya bahwa

kewibawaan ilmu pengetahuan dilaksanakan di dalam dunia

teknik. Puersen berpendapat bahwa teknik tidaklah lahir secara

kebetulan saja, tetapi merupakan konsekuensi dari adanya teori

pengetahuan. Kenyataannya pemanfaatan teknologi hampir

meliputi seluruh segi kehidupan manusia. Dengan demikian

dapat dimengerti kalau teknik secara langsung berhubungan

dengan permasalahan sosial, kebudayaan, dan etik. Dominasi

teknik terhadap kehidupan masyarakat semakin nyata, sehingga

tidakmenutup kemungkinan bagi berbagaiakibat negative yang

ditimbulkannya. Memang demikian dengan teknik, manusia

dapat memanfaatkan kekuatan dam, akan tetapi dengan teknik


juga daya-daya hidup dalam masyarakat ditentukan.

Bagaimanapun teknik adalah sarana bagi manusia untuk

memenuhi keperluan hidupnya, maka dari itu teknik tidak

dapat melepaskan diri dari komitmen moral (Peursen, 1985).

Dengan demikian pertimbangan nilai etik tidak dimaksudkan

untuk mengubah cirri-ciri dalam metode ilmiah, tetapi

dimaksudkan untuk melatarbelakangi kebijakansanaan

penentuan masalah dan penerapan hasil-hasil ilmu

pengetahuan. Secara lebih terinci Van Peursen berpendapat

sebagai berikut :

… Betul bahwa ilmu merupakan sistem dalam suatu konteks.

Tidak betul bahwa ilmu dilarutkan dalam konteks itu, betul

bahwa fungsi ilmu berubah sesuai dengan lingkungan budaya

dan konstelasi sosial. Dalam arti ini ilmu harus sanggup

mengakui pengaruh timbal balik dari peneliltian. Namun

demikian jangan sampai larut, karena ilmu justru merupakan

imbangan yang berharga menghadapi ideology. Apabila ilmu

diserap oleh ideology, hilanglah kemungkinan akan kritik diri.

Ketegangan antara yang satu dengan yang lain hendaknya

dipertahankan, karena dapat menjernihkan kedua belah pihak”

(Peursen, 1985).

Dengan demikian dapat dijelaskan, bahwa hanya dengan

menjaga jarak antara ilmu ideology, maka pertimbangan etik

bagi ilmu pengetahuan menjadi mungkin untuk dilaksanakan

yaitu demi kepentingan masyarakat. Dalam lingkungan

budaya dan konstelasi sosial politik tertentu, pertimbangan


ilmu dapat saja berubah, tetapi tidak pada sistem ilmu itu

sendiri. Harus ada pembatasan, pada saat mana ilmu bebas

nilai dan saat bagaimana taut nilai.

Pengembangan ilmu pengetahuan ternyata memerlukan dua

pertimbangan yaitu pertimbangan dari segi ilmu yang statis

dan segi ilmu yang dinamik. Soemargono (1983) berpendapat,

bahwa segi statis ilmu adalah cirri sistem yang tercermin

dalam metode ilmiah, sedangkan segi dinamikanya adalah

semacam pedoman, asas-asas yang perlu diperhatikan oleh

para ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya.

Metode ilmiah merupakan landasan tetap yang menjadi

kerangka pokok atau pola dasarnya, sedangkan pertimbangan

nilai-nilai yang menjadi latar belakang kegiatan ilmiah

merupakan segi pertimbangan ilmiah merupakan segi

pertimbangan aksilogi. Pertimbangan aksiologi di samping

meliputi nilai kebenaran yang menjadi ukuran pokok dan tetap

bagi ilmu pengetahuan juga meliputi nilai kebaikan dan nilai

keindahan kejiwaan (Notonegoro).

Pandangan para ilmuwan tentang pentingnya pertimbangan

nilai memang dapat dibedakan menjadi dua kelompok, namun

keduanya tidak saling bertentangan. Pertimbangan nilai etik

dan kemanfaatan tidak dimaksudkan untuk mengubah cirri-ciri


metode ilmiah, melainkan untuk menjadi kepentingan

masyarakat.

Landasan ontologism dari ilmu pengetahuan adalah analisis

tentang objek materi dari ilmu pengetahuan. Objek materi

ilmu pengetahuan adalah hal-hal atau benda-benda empiris.

Landasan epistemology dari ilmu pengetahuan adalah analisis

tentang proses tersusunnya ilmu pengetahuan. Ilmu

pengetahuan disusun melalui proses yang disebut metode

ilmiah (keilmuan).

Landasan aksiologi dari ilmu pengetahuan adalah analisis

tentang penerapan hasil-hasil temuan ilmu pengetahuan.

Penerapan ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk memudahkan

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan keluhuran hidup

manusia.

E. Peranan Ilmu Terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional

Kata kebudayaan bersal dari kata Sanskerta Buddhayah, yaitu bentuk jamak

dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat

diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sarjana lain yang

mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari perkataan budi-daya,

yang berarti daya dar budi. Oleh karena itu, mereka membedakan budaya dari

kebudayaan. Demikian budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta,

karsa, dan ras itu. (Koentjaraningrat, 1986)


Definisi kebudayaan dari para ahli sangat beragam, sehingga pemilihan

definisi kebudayaan yang tepat sangat sukar. Berikut ini beberapa pengertian

kebudayaan dari para ahli baik dari budayawan Indonesia ataupun dari luar

Indonesia.

1. Koentjaraningrat

Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

2. Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia

terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat)

yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai

rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai

keselamatan dan kebahagaian yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

3. Sutan Takdir Alisyabbana

Sutan Takdir Syabbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah menifestasi

dari cara berpikir sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas sebab

semua laku dan perbuatan tercakup di dalamnya dan dapat diungkapkan pada

basis dan cara berpikir termasuk di dalamnya perasaan karena perasaan juga

merupakan maksud dari pikiran.


4. A.L. Kroeber dan C. Kluckbohn

A.L. Kroeber dan C. Kluckbohn dalam bukunya Culture, A Critical Review of

Concepts dan Definisitions mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi

atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya.

5. Malinowski

Malinowski menyebutkan bahwa kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan

atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan itu

menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya guna memenuhi kebutuhan

manusia akan keselamatannya maka timbul kebudayaan yang berupa

perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu, seperti

lembaga kemasyarakatan. (Supartono Widyosiswoyo, 1996)

Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu

kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Dengan

adanya unsure tersebut, kebudayaan di sini lebih mengandung makna totalitas

dari sekedar penjumlahan unsure-unsur yang terdapat di dalamnya. Oleh

karena itu, dikenal adanya unsure-unsur yang universal yang melahirkan

kebudayaan universal. Menurut C. Kluckbohn ada tujuh unsure dalam

kebudayaan universal, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem

organisasi kemasyarakatan , sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian

hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, serta kesenian. (Supartono

Widyosiswoyo, 1996).
Untuk memahami bagaimana peranan ilmu terhadap pengembangan

kebudayaan nasional perlu diketahui dahulu tentang pengertian kebudayaan

nasional, kebudayaan nasional dan manusia Indonesiam, dan peranan ilmu

terhadap kebudayaan nasional.

1. Pengertian Kebudayaan Nasional

Dalam Kamis Besar Bahasa Indonesia istilah kebudayaan diartikan sebagai:

a) hasil kegiatan dan penciptaan batin (akan budi) manusia seperti

kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, dan b) keseluruhan pengetahuan

manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan

serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.Sementara

itu kebudayaan nasional diartikan sebagai kebudayaan yang dianut oleh semua

warga dalam suatu negara. Artinya, keseluruhan cara hidup cara berpikir, dan

pandangan hidup suatu bangsa yang terekspresi dalam seluruh segi

kehidupannya dalam ruang dan waktu tertentu.

Menurut Prof. Nugroho Notosusanto, kebudayaan nasional adalah kebudayaan

daerah dan kebudayaan kesatuan. Bagi bangsa kita, kesadaran kearah

perwujudan kebudayaan nasional berakar dalam pengalaman historia bangsa

kita, yakni kesadaran akan persamaan nasib, kesatuan, yang mencapai

puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sumpah pemuda tanggal 28

Oktober 1928 merupakan cerminan kesadaran nasional yang pada dasarnya

bersumber pada kesadaran akan persamaan kebudayaan. (Rafael Raga Martin,

2000:60)
Dengan rumusan lain bisa dikatakan bahwa kebudayaan nasional adalah

paduan seluruh lapisan kebudayaan bangsa Indonesia, yang mencerminkan

semua aspek perikehidupan bangsa. Kebudayaan nasional adalah totalitas

berdasarkan aspek kerohanian bangsa dan segala sesuatu yang dihasilkan oleh

manusia Indonesia sekarang. Dengan perkataan lain, kebudayaan nasional

adalah kepribadian manusia Indonesia dalam wujudnya berupa pandangan

hidup, cara berpikir, dan sikap terhadap pelbagian aspek kehidupan bangsa.

Kepribadian inilah yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.

Dari pendapat di atas secara sederhana kebudayaan nasional sebagai puncak

kebudayaan daerah. Oleh karena itu, unsure-unsur kebudayaan seperti bahasa,

kesenian, agama, dan adat istiadat dari pelbagian suku bangsa di dalam

wilayah nusantara hendaknya dilestarikan dan diangkat menjadi unsure-unsur

kebudayaan nasional.

2. Kebudayaan Nasional dan Manusia Indonesia

Masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri, yang adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 hanya mungkin terwujud bila seluruh

upaya pembangunan nasional berpijak pada landasan budaya yang dinamis.

Dinamis atau tidaknya kebudayaan nasional akan tampak dari mampu atau

tidaknya kebudayaan tersebut merangsang pertumbuhan serta perkembangan

segala kekuatan aktif-kreatif yang dimiliki manusia dan masyarakat Indonesia.

Jadi yang dibutuhkan adalah suatu ruang kebudayaan yang memungkinkan

manusia Indonesia secara bebas mengekspresikan atau mengaktualisasikan

diri dalam pelbagian bentuk. Dengan demikian kebudayaan nasional


hendaknya menjadi bagian manusia untuk berprasangka atau mengambil

inisiatif untuk menyatakan pendapat baik secara lisan maupun secara tertulis,

untuk berkreasi dalam pelbagian bidang kehidupan, khususnya dalam bidang

ilmu dan teknologi modern yang merupakan syarat dasar bagi terwujudnya

kemajuan dan kemakmuran.

Namun membangun kebudayaan Indonesia modern tentu tidak dilakukan

dengan mengabaikan unsure-unsur budaya tradisional, warisan budaya bangsa

yang begitu kaya. Proses pembentukan kebudayaan nasional modern harus

berdasarkan-pijak pada unsure-unsur budaya tradisional. Jika tidak, cepat atau

lambat, kita akan kehilangan jati diri keindonesian kita.

Kebudayaan nasional modern bukanlah suatu kebudayaan yang lain sama

sekali, yang dicangkok dari luar pada tubuh kebudayaan tradisional yang

selama ini menjadi dasar kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.

Kebudayaan nasional modern haruslah merupakan hasil sintetis kreatif antara

pelbagian unsure-unsur kebudayaan tradisional seperti seni, bahasa, agama,

dan arsitektur tradisional. Maka suatu proses dialektif yang bersifat kreatif

sangat diperlukan agar arah perkembangan kebudayaan nasional tidak

melenceng dari tujuan sesungguhnya, yakni memberikan identitas

keindonesiaan pada diri setiap manusia Indonesia sekaligus sebagai tali

perekat persatuan kesatuan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk.

Pentingnya makna kebudayaan nasional disini sebagai faktor yang dapat

mencegah menajamnya polaritas kebudayaan kedalam beragam komunitas,

yang justru bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itu
kejelasan sosok dan kesatuan bangsa. Untuk itu kejelasan sosok dan identitas

kebudayaan nasional merupakan suatu keharusan. Dengan demikian,

kebudayaan nasional dapat diharapkan menjadi kerangka referensi bagi setiap

manusia Indonesia dalam mengidentifikasi dirinya. (Rafael Raga Maran, 2000

: 57-58)

3. Peranan Ilmu Terhadap Kebudayaan Nasional

Dalam pengembangan kebudayaan nilai kritis, rasional, logis, objektif,

terbuka, menjunjung kebenaran dan mengabdi secara nasional sangat

diperlukan. Dalam menghadapi dunia modern sekarang ini diperlukan cara-

cara yang terkandung dalam nilai-nilai ilmiah.

Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalag perubahan dari

kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional kearah situasi kebudayaan

yang lebih mencerminkan aspirasi tujuan nasional. Langkah-langkah yang

sistematik menurut Endang Daruni Asdi (1991) adalah sebagai berikut.

a. Ilmu dan kegiatan keilmuan disesuaikan dengan kebudayaan yang ada

dalam masyarakat kita, dengan pendekatan edukatif dan persuasive dan

menghindari konflik-konflik, bertitik tolak dari reinterpretasi nilai yang

ada dalam argumentasi keimuan.

b. Menghindari scientism dan pendasaran terhadap akal sebagai satu-satunya

sumber kebenaran.

c. Meningkatkan integritas ilmuwan dan lembaga keilmuan, dan

melaksanakan dengan konsekuen kaidah moral kegiatan keilmuan.


d. Pendidikan keilmuan sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Etika

dalam kegiatan keilmuan mempunyai kaidah imperative.

e. Pengembangan ilmu disertai pengembangan bidang filsafat. Filsafat ilmu

hendaknya diberikan dipendidikan tinggi. Walaupun demikian kegiatan

ilmiah tidak berarti lepas dari control pemerintah dan control masyarakat.

Stategi kebudayaan merupakan upaya bagaimana menangani kebudayaan

khususnya di Indonesia yang beragam budaya. Untuk mengetahui hal tersebut

perlu diketahui lebih dahulu apa sebenernya fungsi kebudayaan nasional,

kemudian bagaimana strategi kebudayaan dari pada ahli budaya di Indonesia.

a. Fungsi Kebudayaan Nasional

Kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi pokok, yaitu pertama, sebagai

pedoman dalam membina persatuan san kesatuan bangsa bagi masyarakat

majemuk Indonesia. Dengan kata lain, fungsi pertama kebudyaan Indonesia

adalah memperkuat jati diri kita sebagai bangsa. Kedua sebagai pedoman

dalam penagmbilalihan dan pengembangan ilmu teknologi modern.

Menurut Koetjaraningrat fungsi kebudayaan nasional adalah, Pertama,

sebagai sistem dan perlambang yang memberi identitas kepada warga negara

Indonesia. kedua sebagai sistem gagasan dan perlambangan yang dipakai oleh

semua warga negara Indonesia yang beraneka ragam untuk saling

berkomunikasi . Maksudnya untuk memperkuat rasa solidaritas.

Dari Pendapat diatas tampak bahwa kebudayaan nasional merupakan sarana

pemberi identitas bangsa, wahana komunikasi, dan penguat solidaritas, serta


pedoman ahli ilmu dan teknologi. Agar kebudayaan nasional dapat berfungsi,

sebagaimana terungkap diatas, diperlukan sistem demokratisai budaya, yakni

suatu sistem yang mendukung kebebasan dan otonomi manusia serta lembaga-

lembaga sosial yang mengatur kehidupan masyarakat. Melalui sistem

demokrasi budaya diharapkan akan tercipta perluasan dan penyempurnaan

kelembagaan sosial agar mampu menghadapi perubahan dan perluasan

lingkungan interaksi sosial. Perluasan interaksi sosial akan dikaitkan erat

dengan rekayasa norma dan nilai budaya tradisional dan modern untuk

menopang perluasan bentuk hubungan sosial baru yang kemudian dapat

dilembangkan. Untuk itu lembaga-lembaga kehidupan seperti religi, bahasa,

seni, politik, ekonomi, dan sosial, dan ilmu pengetahuan perlu didukung

pertumbuhannya. (Rafael Raga Maran, 2000 : 62-63).

b. Strategi Kebudayaan di Indonesia

Menurut Sutan Takdir Alisyahbana, kebudayaan nasional Indonesia yang

disebutnya Kebudayaan Indonesia Raya harus diciptakaan sebagai sesuatu

yang baru dengan mengambil banyak unsure dari kebuadayaan Barat. Unsur

tersebut antara lain adalah teknologi, orientasi ekonomi, keterampilan

berorganisasi, dan ilmu pengetahuan. Adapaun Sanusi Pane berpendapat

bahwa kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus

mementingkan kerohanian, perasaan, dan gotong-royong. Oleh karena itu,

manusia Indonesia tidak boleh melupakan sejarahnya. (Supartono

Widyosiswoyo, 1996).
Untuk dapat menciptakan kebudayaan nasional Indonesia sebagai kegiatan

dan proses demi kejayaan bangsa dan negera diperlukan adanya strategi yang

tangguh. Manurut Slamet Sutrisno ada lima langkah strategu, yakni sebagai

berikut :

a. Akulturasi berarti pencampuran dua atau lebih kebudayaan yang dalam

pencampurannya masin-masing unsurnya lebih tampak.

b. Progresif berarti maju. Progresivitas dalam kebudayaan mengandung

pengertian bahwa kebudayaan harus bergerak maju sehingga harus

mnegarah ke masa depan. Oleh karena itu, budaya teknologi dan

pemikiran tentang ekonomi yang telah banyak kita peroleh dari bangsa

asing harus diterapkan dan dikembangkan demi kejayaan budaya masa

depan.

c. Sistem pendidikan di Indonesia harus mampu menanamkan kebudayaan

sosial. Oleh karena itu, nilai-nilai pelajaran sejarah kebudayaan yang

sifatnya humaniora perlu diberikan kepada pelajar maupun mahasiswa

agar mereka memperoleh pengertian yang benar dan tepat tentang

kebudayaan.

d. Kebijaksanaan bahasa nasional, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa

resmi di Indonesia, melalui bahasa nasional tersebut telah dilakukan

komunikasi yang baik dan efektif dalam menunjang persatuan.

e. Sosialisasi Pancasila sebagai dasar negara melalui Pendidikan Moral

Pancasila di sekolah dasar, menengah, dan mata kuliah Pancasila di

perguruan tinggi.
Selain kelima langkah tersebut perlu satu langkah lagi yang esensial, yakni

mengikuti rakyat sebab rakyat yang merupakan sumber kekuatan, rakyat

merupakan pendukung kebudayaan, dan untuk rakyat juga semua ini

dilakukan. Dari kehidupan rakyatlah dapat diperoleh sumber budaya atau

ilham bagi pencipta kebudayaan sehingga kebudayaan yang diciptakan dapat

mengakar pada rakyat. Dengan rakyat sebagai pendukung budaya,

kebudayaan dapat lebih lestari dalam kehidupan bermasyarkat.


Bab 7

ILMU, TEKNOLOGI DAN SENI

A. Dimensi Ilmu, Teknologi dan Seni

Setiap manusia berpikir dapat berhasrat memperoleh pengetahuan yang

sempurna, yang dapat dijangkau dengan pengamatan yang cermat,

pemeriksaan yang teliti, penalaran yang luas, dengan berpikir yang sedalam-

dalamnya, tentang kenyataan yang sebenar-benarnya. Menurut Paryana

Suryadipura (1958) bahwa, kenyataan yang sebenarnya itu dinamai hakikat.

Kegiatan hasrat memperoleh hakikat, ialah berpikir dengan landasan dasar

yang benar membutuhkan tarekat, dengan demikian mencari hakikat ialah

bukan memikirkan sesuatu tentang kenyataan yang dapat disaksikan dengan

kemampuan pancaindra saja, melainkan berpikir mengenai hubungan antara

kenyataan yang ada dengan keseluruhannya, terhadap semesta alam, dan

dengan pusat asasnya (Yang Mutlak/ Sang Pencipta). Hubungan yang

demikian dinamai ma’rifat.

Secara fundamental manusia sebagai animal educable juga mempunyai

berbagai kebutuhan, sehingga ada dorongan sebagai upaya pemenuhannya.

Memang, pada momen-momen tertentu manusia menunjukkan kemiripan

dengan makhluk infrahuman untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri.

Namun demikian, pengendali mahkluk lain (Poespoprodjo W., 1987).

Pembedaan keduanya terlatak kepada kemampuan intelek rasionalitas dan

rohaninya. Intelek merupakan hal yang penting, karena misalnya adanya


pengertian yang merupakan syarat mutlak untuk bahagia. Manusia hanya

merasa senang kalau mengerti kesenangannya, seseorang hanya dapat

memiliki sesuatu jika mengerti. Tanpa pengertian, tidak ada kepunyaan yang

formal, kesusilaan, kemerdekaan, dan kemandirina rohani. Mengertiyang

intelek menuntun pencapaian hakikat sesuatu ilmu berlandaskan tarekat untuk

menuju pemahaman yang ma’rifat.

Rasionalitas adalah proses refleksi perenungan sistematis dari pengalaman

konkret sensitive, yang mampu menyusun konklusi signate berupa pengertian

secara sadar, yang sangat padat dengan informasi. Namun demikian secara

exercite, pengertian yang tidak langsung diperoleh dengan mengadakan

eksplorasi dari pengalaman yang padat informasi tersebut, dan kemudian

memastikannya. Pencarian kepastian inilah yang berhubungan dengan ilmu

tentang prinsip, yang mempelajari dan mempertanyakan secara radikal segala

realitas melalui sebab-musabab terakhir, melalui asa-asanya guna memperoleh

pandangan insight yang tepat mengenai realitas, menggunakan logika yang

berupa analisis kritis pikiran dan pemikiran manusia. Logika adalah kondisi

dan tuntutan fundamental eksistensi ilmu, sedangkan ilmu berupa

pembuktiaan secara ilmiah tentang pengetahuan untuk menjelaskan gejala-

gejala dan feomena alam yang normative, komunalisme, serta bersifat

disinterestedness yang skeptisis.

Norma ilmu bersifat inibersalisme yang tidak tergantung pada ras, warna kulit,

dan internasional. Komunalisme, artinya bahwa sesuatu ilmu adalah berupa

hasil uji suatu pengetahuan tersebut menjadi milik umum. Disinterestedness


yang berlawanan dengan propaganda kepentingan golongan, dan skeptisisme

tidak begitu saja dipandang sebagai prosuk, sebagai proses, dan sebagai

paradigm etika pada kenyataannya amat rumit untuk diurai, dan pada dasarnya

bersifat misterius dengan taraf pemahaman terhadap kebenaran ilmu itu

sendiri yang provisional. Artinya mempunyai kemampuan untuk memprediksi

sesuatu dasar penemuan berlandaskan pengembangan logika, sehingga

senantiaasa terbuka untuk diuji dan dibatalkan oleh penemuan formulasi

dengan klasifikasi yang salih. Kemampuan meramal sari suatu ilmu yang

berperan sebagai sarana pencapaian ideology dengan segala konsekuensinya

yang berwujud teknologi.

Teknologi adalah kemampuan menerapkan suatu pengetahuan dan kepandaian

membuat sesuatu yang berkenaan pengetahuan dengan suatu produk, yang

berhubungan dengan seni, yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta

berdasarkan pada aplikasi dan implikasi pengetahuan itu sendiri (Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 1959). Dengan demikian, teknologi adalah ilmu terapan

yang telah dikembangkan lebih lanjut, dan meliputi perangkat keras dan

perangkat lunak yang merupakan manifestasi atas kekuasaan alam, manusia

dan kebudayaannya (Paul W. Devote, 1980).

Seni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), adalah merupakan

keahlian membuat karya yang bermutu, dilihat dari segi kehalusannya,

keindahannya, dan lain sebagainya, Sesuatu dikatakan indah apabila

mengandung tiga faktor utama, yaitu (1) faktor kesempurnaan, (2) faktor

keharmonisan, (3) sinar kecemerlangan. Kesempurnaan berupa hasil karya


cipta manusia yang memiliki standar, baik kelengkapan, keutuhan mati pun

bentuk yang dapat menimbulkan rasa indah, yang diciptakan sendiri oleh

person individual dengan hasil menjadi milik bersama, untuk dapat dinikmati

secara komunal dalam komunal dalam komunitas yang berupa kelompok

organism (orang dan sebagainya) yang hisup dan saling berinteraksi disuatu

daerah tertentu, mempunyai karakteristik tertentu, serta masyarakat tertentu.

Keharmonisan merupakan adanya unsure keserasian, keselarasan, dan

kesesuaian komposisi antarogam/komponen yang satu dengan yang lainnya,

dengan berdasar criteria subjektif yang melekat padanya. Adapun sinar

kecemerlangan, berupa nilai-nilai yang indah/elok dari perpaduan unsure

mampu memunculkan sesuatu yang luar biasa berhubungan dengan nilai rasa

seseorang. Dengan demikian, seni adalah wujud dari kesanggupan akal busi

manusia untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi/luar biasa dan

bemanfaat.

Ilmu, teknologi, dan sen sebagai prosuk menjadi milik manusia. Artinya ilmu,

teknologi, dan seni didapat melalui pola berpikir analogi ilmiah dengan

menggunakan metode keilmuan yang runtut membawa kearah titik temu pada

suatu konklusi yang bersifat nasbi, namun terhindar dari dekadensi silang

pendapat fundamental dikalangan bagi para ilmuwan dalam kurun waktu,

sehingga terbuka untuk memungkinkan adanya pembuktian dan pengujian

akan kebenarannya. Konklusi yang dimaksud sebagai target orientasi

pengetahuan, berupa formulasi rumusan yang berisi pernyataan berdasarkan

cara pandang masyarakat keilmuan terhadap suatu objek, ditinjau dari sisi

kemafaatannya.
Ilmu, teknologi dan seni sebagai proses memandang manusia merupakan

unsure pelaku dalam memahami arti hidup bagi kehidupannya. Hal ini

menuntun setiap indivisu untuk dihargai taraf eksistensi sebagai subjek

pergaulan masyarakat. Ilmu adalah sistem kegiatan sosial, ataupun dalam

kegiatan sosial berkembanglah ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan

masing-masing subjek. Pemahaman individu sebagai subjek kehidupan

senantiasa berusaha memahamifenomena alam semesta termasuk manusia

didalam perilakunya, baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok

rumpun individu yang berupa masyarakat. Dengan demikian, metode

keilmuannya bercirikan rasionalitasobjektif yang bernalar. Menirit Yuun S.

Sumantri (1984), bahwa kegiatan keilmuan itu sejauh mungkin harus

impersonal dengan penganalisisan masalah-masalah terutama didasarkan atas

percobaan dan data pengamatan. Penalaran ilmu, teknologi dan seni sebagai

apa adanya yang mampu mendorong menuju titik pemahaman tanpa didahului

praduga atensius yang harapkan.

Aplikasi dan implikasi ilmu terapan ke dalam kancah teknologi dan seni

berupa prasarana maupun sarana kegiatan sosial, membawa dampak

menjunjung nilai budaya normative bagi kehidu[an manusia dengan

kemanusiannya. Ilmu, teknologi dan seni sebagai paradigm etika yang

mempunyai nilai-nilai bagi kemaslhayan umay berkubang pada kepentingan

ilmu, teknologi dan seni itu sendiri. Antara ilmu, teknologi dan seni terhadap

adaptasi kebudayaan merupakan buah budi manusia dengan dinamika

hidupnya, terdapat korelasi yang bersifat timbale balik, sehingga

pengembangan dan penerapan perlu pengarahan dan penerapan perlu


pengarahan dan penilaian dengan standart norma. Dapatlah dikatakan bahwa,

menurut pandangan critical intercationist memberikan pengarahan dan

penilaian yang dimaksudkan dengan norma itu melalui pengembangan

dialogis berdasar factual dan nilai-nilai dari manusia sebagai objek maupun

subjek.

Ilmu, teknologi dan seni yang tergolong sains, merupakan natural sciences

berorientasi terhadap pengetahuan tentang kealaman, adalah cara pandang

mengenai pemanfaatan alam dengan segala isinya yang bersifat materialis.

Menurut Mundzirin Yusuf (1998), bahwa ilmu pengetahuan kealaman dapat

dibagi menjadi : (1) ilmu kehidupan, yaitu ilmu pengetahuan mengenai

makhluk hidup di alam, (2) ilmu kebendaan (physical sciences), yang

membahas benda mati di alam, dan (3) teknologi dan seni, yaitu ilmu tentang

penerapan ilmu pengetahuan untuk memenuhi suatu tujuan yang sesuai

dengan kehendaknya. Ilmu pengetahuan itu atau ilmu itu sendiri, dalam hal

ini dirumuskan sebagai himpunan sebab-akibat yang disusun secara sistematis

berdasarkan percobaan dan pengamatan, penalaran, sengan terlebih dahulu

diawali rasa ingin tahu tentang sesuatu sebagai langkah pemahaman gejala

alam semesta. Pengamatan dilakukan dengan cara mencermati atau

mengadakan pengukuran yang hasilnya berupa sekumpulan data dan fakta.

Percobaan bertujuan untuk menimbulkan gejala pada kondisi yang

dikendalikan. Sesuatu yang terkumpul berupa data hasil pengamatan dan

percobaan dianalisis menggunakan metode ilmiah agar diperoleh simpulan

yang masuk akal, dan disebut penalaran.


B. Peranan Filsafat Ilmu dalam Penjelajahan Ilmu Pengetahuan,

Teknologi dan Seni

Berdasarkan pada hakikat ilmu tentang perlunya kewaspadaan

perkembangannya bagi kemaslahatan manuisa, berorientasi pada tiga

klasifikasi yaitu sebagai produk, sebagai proses, dan paradigm etika yang

secara akumulatif menimbulkan fenomena bagi umay pada dewasa ini.

Kehadiran akan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sebagai pemenuhan

kebutuhan kontemporer adalah merupakan sesuatu hal yang penting, padahal

ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dapat membantu untuk mempermudah

pemahaman mema’rifati adanya kekuasaan di atas segala-galanya bagi insane

sebagai pelaksanaan kekhalifahan.

Menurut Zalbawi Soeyoeti (1997), bahwa fenomena paling memilukan yang

dialami umat tersebut, dikarenakan kurang paham terhadap sumber ilmu

secara kafah, sehingga pengalaman dan penghayatan menjadi kurang tepat,

dipengaruhi oleh adanya kepentingan. Padahal sebenarnya justru untuk

menguasai ilmu pengatahuan, teknologi dan seni bermakna luas dengan

menulis berserta melakukan penelitian, sehingga dapat menemukan formulasi

baru yang mangkus dan sangkil bagi kehidupan sibjek dan objek ilmu itu

sendiri. Pemahaman ilmu, teknologi dan seni yang serampangan menjadikan

orientasi terhadfap materialis terlalu kuat, sehingga mungkin mampu

menjerumuskan pandangan untuk tidak memuat unsure-unsur ilmu

pengetahuan, teknologi dan seni, yang bermakna menuntun kepada

pengembangan amal ilmiah. Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni adalah


semua yang diketahui manusia sebagai pengetahuan yang teruji secara ilmiah

menjadi ilmu, sehingga manusia disebut sebagai homo sapiens. Kemampuan

berpikir inilah yang dapat ditranformasikan ke dalam bentuk lambang-

lambang, untuk dikomunikasikan sebagai simbol/formula tertentu. Teknologi

dan seni adalah ilmu bagi kesejahteraan manusia sebagai animal symbolicitm.

Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terus berkembang sesuai dengan

perubahan peradaban, dan di dunia modern saat ini ilmu telah mengalami

perubahan-perubahan dalam peragainya. Aplikasi dan implikasi ilmu

pengetahuan masyarakat ilmuwan dalam kegiatannya bukan raja dipengaruhi

oleh Weltanscabuung dan perspektif religious, serta politik sang ilmuwan,

melainkan juga telah dibayangi ilmu itu sendiri dalam hakikatnya sebagai

kekuasaan yang berkiatan dengan fungsinya sebagai sarana untuk mengubah

dunia, sehingga dikenal dengan adanya ilmu dasar dan ilmu terapan yang

keduanya bertumpu penganalisisan data pengamatan dan percobaan secara

impersonal.

Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam kurun perkembangannya sangat

didambakan lantaran besarnya manfaat yang dapat diperoleh bagi manusia

dari padanya, namun demikian sering dirasa dampak ilmu, teknologi dan seni

yang kadang merusak atau melunturkan nilai-nilai budaya yang dijunjung

tinggi. Kebudayaan modern bericirkan dominasi ilmu pengetahuan, teknologi

dan seni yang mampu menciptakan kritis identitas diri yang mengkhawatirkan,

yang cenderung merasakan alienasi budaya di masyarakatnya sendiri. Kritis

identitas, artinya kehilangan konsep jati diri karena masuknya peradaban di


luar dirinya yang membawa perubahan tata nilai normative kea rah perubahan

subjektif.

Ilmu dan pengetahuan juga komplementer, pemahaman yang lebih lengkap

tentang hakikat sesuatu relitas dapat dicapai melalui perpaduan antara ilmu

dan pengetahuan. Manusia sebagai pelaku, maka sering disebut juga homo

faber, yaitu makhluk yang membuat alat, dan kemampuan membuat alat

tersebut dimungkinkan oleh pengetahuan. Jaringan struktur-struktur logika

yang amat luas, yang dilalui proses pembangunan suatu teori lewat model dan

lambang-lambang yang merupakan abstraksi dan penyederhanaan realitas

yang hendak dijelaskan oleh teori tersebut, membuat ilmu menjadi terbatas

dan sempit tempat cakupannya.

Ahli ilmu alam menyelidiki proses secara alami dan menyusun hukum yang

bersifat umum mengenai alam, dan tidak bermaksudmengubah alam, ataupun

harus setuju dan tidak setuju dengan proses tersebut. Penyusun hanya berharap

bahwa pengetahuan mengenai gejala fisik kealaman akan memungkinkan bagi

insane memanfaatkan proses alam itu, dengan demikian apabila astonom

sebagai disiplin ilmu, yang merumuskan suatu kesimpulan dasar mengenai

orbit tata surya tersebut, maka tidak akan mengharapkan bahwa planet itu

akan memberikan reaksi terhadap teori yang membahasnya.

C. Teknologi dan Seni

Ilmu dasar yang disebut juga sebagai basic science atau fundamental science

merupakan landasan kajian ilmiah yang bersifat asasi, serta merupakan bagian
kajian untuk mengembangkan secara keseluruhan merupakan kajian untuk

pengembangan secara keseluruhan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.

Pengembangan ilmu dari dasar kemaslahatan umat dikenal dengan istilah ilmu

terapan atau applied science. Tujuan yang terkandung didalamnya adalah

untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang berguna untuk mengatasi

kesulitan yang dihadapi umat manusia. Artinya jangkauan yang dicapai untuk

mengetahui lebih banyak dan memahami lebih mendalam tentang kealaman

dengan segenap isinya. Pencapaian ilmu dasar mempu memberi gambaran

tentang berbagai macam alternative/simpulan yang bersifat nisbi, selanjutnya

aplikasi dan implikasinya digunakan untuk memecahkan persoalan praktis

merupakan bagian kajian ilmu terapan.

Hasil-hasil yang dicapai kegiatan ilmu terapan dapat ditranformasikan

kedalam bentuk pengembangan, berupa pengolahan bahan, penciptaan

peralatan, penetuan langkah kegiatan, dan juga cara-cara pelaksanaan yang

ditempuh untuk menghasilkan sesuatu sesuai dengan tuntutannya. Bentuk

pengembangan ini yang disebut teknologi, sehingga banyak kesepakatan para

ilmuwan yang menyebut teknologi sebagai penerapan ilmu. Artinya, teknolgi

adalah kemampuan menerapkan ilmu dasar yang berlandaskan pengetahuan

ilmu eksakta yang berdasarkan proses teknis. Teknologi atau biasa dinamai

ilmu teknik, adalah pengetahuan dan kepandaian membuat sesuatu yang

berkenaan dengan hasil/produk (industry, bangunan, mesin, tari, lagu, lukisan

dan lain-lain), ataupun beberapa suatu cara yang dipandang sebagai

kepandaian untuk membuat sesuatu atau melakukan sesuatu yang

berhubungan dengan seni. Menurt Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989),


bahwa seni adalah merupakan keahlian membuat karya yang bermutu, dilihat

dari segi kehalusannya, keindahannya, dan lain sebagainya. Teknologi dan

seni merupakan wujud nyata dari suatu karya insane yang berlandaskan

aplikasi ilmu terapan kedalam kancah hidup sehari-hari, yang berupa

prasarana maupun sarana kegiatan sosial, membawa dampak menjunjung

tinggi atas nilai budaya normative bagi kehidupan manusia dengan

kemanusiaannya.

Jadi ilmulah yang melahirkan teknologi dan seni, atau teknologi dan seni

dalah penerapan ilmu dasar untuk memecahkan masalah guna mencapai suatu

tujuan tertentu. Dengan demikian, teknologi dan seni bersifat subjektif, artinya

tujuan dan manfaatnya terhantung pada penguasa teknologi dan seni, yang

pada dasarnya harus diikuti norma moral etika kemasyarakatan yang luas.

Francis Bacon mengatakan bahwa, ilmu adalah kekuasaan, maka teknologi

dan sebi merupakan alat kekuasaan itu. Kekuasaan ilmu, teknologi dan seni

berlaku atas alam, manusia, dan kebudayaannya, sehingga dikenal adanya

ilmu alamiah dan amal alamiah. Ilmu amaliah dan amal alamiah diartikan,

sebagai ilmu harus diamalkan dengan setiap amalan harus bersifat ilmiah,

maka kaitan diantara keduanya mempunyai efek total yang mekanik.

Pengembangan ilmu, teknologi, dan seni terjadi pada saat adanya alumulasi

budaya yang berdasarkan pengembangan kebudayaan didalam kehidupan

sosial, sehingga pada diri manusia muncul (1) pengembangan konsep dirinya

bergerak dari seorang pribadi yang bergantung kearah pribadi yang mandiri,

(2) manusia akan mengakumulasikan berbagai macam pengalaman yang


didapatkan menjadi sumber belajar yang berkembang, (3) kemampuan

penalaran manusia meningkat berorientasi pada tugas perkembangan peranan

sosial yang dibawa, dan (4) orientasi terhadap alam semesta bergeser dari

orientasi yang objektif menuju subjektif untuk melakukan suatu aktivitas-

aktivitas tertentu guna mencapai tujuan. Pengembangan ilmu, teknologi, dan

seni terdapat tingkatan yang melandasinya, yaitu berupa invention, discovery,

innovation, dan development.

Jenjang tingkatan invention, berupa proses mental kreativitas manusia yang

mana pengetahuan dan pengalama digabungkan dalam waktu yang relative

lam untuk menghasilkan suatu yang sebelumnya tidak ada dan yang

disampaikan dengan sajian secara berulang-ulang berkenaan dengan ilmu

kealaman, sosial kemasyarakatan, dan bersifat normative. Discovery¸adalah

merupakan proses observasi dengan pengenalan sifat-sifat dan karakteristik

dari pada kejadian atau gejala-gejala yang berkaitan dengan alam kebendaan

yang bersifat materialistic tetapi tidak dikenal sebelumnya. Inovation, suatu

bentuk proses menjernihkan dan meningkatkan apa yang telah diciptakan

ataupun segala sesuatu yang telah ditetapkan, berdasarkan kaidah ilmu dasar

yang ada. Proses yang lebih komplek atau bersifat akumulatif dari berbagai

disiplin ilmu berupa developmental, adalah proses menggunakan metode dan

prosedur yang dikenal atau menciptakan metode dan prosedur dengan tujuan

mengembangkan / membeberkan suatu penemuan ilmu dasar dengan beserta

penerapannya, atau pembaruan dari konsep semula yang menuntun

kepenerapan komersial, bersifat aplikatif. Dengan demikian, pengembangan

ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dpat dipandang sebagai suatu


kemampuan insane untuk melihat dan membentuk kombinasi-kombinasi baru

dari pada unsure-unsur kaidah yang sudah ada sebelumnya, atau antara

formula rumusan ilmu yang nisbi, yang diberikan dan dapat diterapkannya

dalam pemecahan masalah yang dihadapi umat manusia.

Prinsip dasar reorganisasi ataupun pembaruan ilmu pengetahuan, teknologi,

dan seni berkoelasi dengan perkembangan kebudayaan sejalan dengan

kebutuhan hidup sebagai kekhalifahan insane di muka bumi. Manusia sebagai

makhluk hidup tertinggi di dunia ini, hidupnya sangat tergantung pad sumber

daya alam yang ada di sekitarnya, hal ini sebagai wujud nyata interaksi

manusia dan lingkungannya. Sebagai kebutuhan dasar, misalnya berupa

kebutuhan udara setiap hari, air untuk minum, mandi, cuci dan lain

sebagainya. Kebutuhan yang lain berupa makanan yang terdiri atas flora dan

fauna, juga tempat tinggal yang dimulai dari pohon, gua, dan sekarang

berbentuk rumah dan pemukiman. Selama hidupnya manusia perlu

membuang kotoran yang tidak diperlukannya kembali ke lingkungan. Limbah

udara kembali ke udara, limbah cair kembali ke hidrosfer, limbah padat

kembali ke tanah/litosfer.

D. Visi Ilmu di Indonesia

Visi adalah wawasan ke depan yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu.

Visi bersifat intuitif yang menyentuh gati dan menggerakkan jiwa untuk

berbuat. Visi tersebut merupakan sumber insiprasi, motivasi, dan kreativitas

yang mengarahkan proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan

bernegara menuju masa depan yang dicita-citakan. Penyelenggaraan


kehidupan berbangsa dan bernegara, dioreientasikan kearah perwujutan visi

tersebut karena pada hakikatnya hal itu merupakan penengasan cita-cita

bersama seluruh rakyat.

Bagi bangsa Indonesia strategi pengembangan ilmu pengetahuan yang paling

tepat menurut Koento Wibisono (1994) ada dua hal pokok, yaitu visi dan

orientasi filosofiknya diletakkan pa nilai-nilai Pancasial didalam menghadapi

masalah-masalah yang harus dipecahkan sebagai data atau fakta objektif alam

kesatuan integrative.

Visi dan orientasi operasionalnya diletakkan pada dimensi-dimensi berikut :

1. Teleogis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan hanya sekedar sara yang

emmang harus kita pergunakannya untuk mencapai suatu teleos (tujuan),

yaitu sebagaimana merupakan ideal kita untuk mewujudkan cita-cita

sebagaimana tercantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang dasar

1945.

2. Etis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan harus kita operasinalkan untuk

meningkatkan harkat dan martabat manusia. Manusia harus berada pada

tempat yang sentral. Sifat etis ini menuntut penerapan ilmu pengetahuan

sevara bertanggungjawab.

3. Integral atau integrative, dalam arti bahwa penerapan ilmu pengetahuan

untuk meningkatkan kualitas manusia, sekaligus juga diarahkan untuk

meningkatkan kualitas struktur masyarakatnya, sebab manusia selalu

hidup dalam relasi baik dengan sesame maupun dengan masyarakat yang
menjadi anjangnya. Peningkatan kualitas manusia harus terintegrasikan

kedalam masyarakat yang juga harus ditingkatkan kualitas strukturnya.

Dalam visi ilmu diatas perlu refeksi anjuran-anjuran bagaimana membangun

pemikiran ilmiah di Indonesia. Prof T. Jacob (dalam A.H Mintaredja, 1990)

menganjurkan bahwa dalam rangka mengimbangi perkembangan ilmu dan

teknologi yang cenderung mengancam otonomi manusia, para ilmuwan

selayaknya jika memperhatiakn agama, etika, filsafat, dan sejarah ilmu.

Kemudian Prof. Poespoprojo menyarankan bahwa bagi seorang sarjana, lebih-

lebih calon doctor, harinya sudah terlalu siang untuk tidak tahu hakikat ilmu,

posisi ilmu dalam semesta tahu dan pengetahuan manusia. Abbas hamami

Mintaredja juga menyarankan agar ilmu dapat lebih aktif dan mampu

berfungsi sebaaimana mestinya, maka hal-hal yang cukup mendasar yang

perlu mendapat perhatian antara lain :

1. Ilmu harus mampu mewadahi kebudayaan masyarakat karena dengan

memperhatiikan kebudayaan masyarakat, ilmu diharapkan dapat

berkembang persis seperti yang dikehendaki masyarakat.

2. Adanya keinsafan tidak melulu kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya

untuk memperoleh kebenaran.

3. Pendidikan moral (etika) dan etika Pancasila serta moral keagamaan syarat

mutlak bagi moral para ilmuwan agar memiliki etika professional yang

seimbang.

4. perlunya pendidikan filsafat, khususnya filsafat ilmu atau epistemology

bagi pendidikan tinggi.


Pembangunan nasional adalah upaya bangsa untuk mencapai tujuan

nasionalnya sebagaimana yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945.

Pada hakikatnya Pancasila sebagai paradigm pembangunan mengandung arti

bahwa segala aspek pembangunan harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

Negara dalam rangka mewujudkan tujuanya melalui pembangunan nasional

untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dikembalikan pada dasar-

dasar hakikat manusia. Oleh karena itu, pembangunan nasional harus meliputi

aspek jiwa yang mencakup akal, rasa dan kehendak, aspek raga, aspek

indivisu, aspek mahkluk sosial, aspek pribadi dan juga aspek kehidupan

ketuhanannya.

Dalam upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan

martabatnya maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi

(IPTEK). Pancasila telah memberikan dasar nilai-nilai bagi pengembangan

iptek demi kesejahteraan hidup manusia. Pengembangan iptek sebagai hasil

budaya manusia harus didasarkan pada moral ketuhanan dan kemanusiaan

yang adil dan beradap. Oleh karena itu, pada hakikatnya sila-sila Pancasila

harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir, serta basis moralitas bagi

pengembangan iptek.
BAB 8

ILMU DALAM PERSEPEKTIF KEMASLAHATAN HIDUP INSANI

A. Ilmu dan Moral

Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan, akhlak

atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib

nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hisup

(Poespoprodjo, 1986;BP-7;1993;Soegito,2002). Kata moral dalam bahasa

Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat,

etika sangat menkankan pendekatan yang kritis dalam melihat dan mengumuli

nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang

penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang

timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu.

Etika adalah sebuah refeksi kritis dan rasional menganai nilai dan moral yang

menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hisup manusia, baik

secara pribadi maupun sebagai kelompok. Etika adalah perwujudan dan

pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai,

sedangkan moral adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana

kita harus hidup. Keduanya berfungsisama yaitu memberi orientasi bagaimana

dan kemana kita harus melangkah dalam hisup ini. Bedanya, bahwa

moral/moralitas ;angsung mengatakan “Inilah caranya Anda melangkah”.

Sedangkan etika justru mempersilahkan : Apakah saya harus melangkah


dengan cara itu?, dan “ Mengapa harus dengan cara itu?” (Suseno,

1987;Salam, 1996).

Moral adalah sebuah pranata seperti halnya agama, politik, bahasa dan

sebagainya yang sudah ada sejak dahulu kala dan diwariskan secara turun-

temurun. Sebaliknya, etika adalah skap kritis setiap pribadi dan kelompok

masyarakat dalam meralisasikan moralitas itu. Oleh karena itu, moralitas dapat

saja sama, tetapi sikap etis bisa saja berbeda antara satu orang dengan orang

lainnya dalam masyarakat yang sama, atau antara nasyarakat yang satu dan

masyarakat yang lainnya.

realitas tidak dipungkiri bahwa peradaban manusia melalui ilmu yang terus

digali dan akan terus digali sangat berkembang dengan pesat. Berkat kemajuan

pada bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia dapat dipenihi karena

dapat dilakukan secara cepat dan lebih miah, seperti kebutuhan kesehatan,

transportasi, komunikasi, pemukiman, pendidikan, hiburan dan rekreasi.

Walau demikian, apakah dengan ilmu manusia selalu mendapat kebahagiaan

dan mendapat berkah; terbebas dari malapetaka, kutuk, dan kesengsaraan;

terlepas dari kekhawatiran dan kecemasan itu?

Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaikan dengan

sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau

ada keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang,

sehingga penemuan ilmu bukan saja ditunjukkan untuk menguasau alam

melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan dan untuk

menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering


melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk

kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan

manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya

harus menyensuaikan diri dengan ilmu. Ilmu tidak lagi berfungsi sebagai

sarana yang memberikan kemudahan dan berkah kepada manusia, melainkan

dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang

ironis harus dibayar mahal oleh manusia karena kehilangan sebagaian arti dari

status kemanusiannya. Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak

bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas

kemanusiaan dan kebahagiannya (Surisumantri, 1999).

Revolusi genetika, seperti kemajuan reproduksi dan rekayas manusia oleh

manusia adalah sebuah contoh dari pengaruh pesatnya ilmu. Konsekuensinya,

ilmu bukan saja menimbulkan dehumanisasi, namun kemungkinan mengibah

hakikay kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, ilmu bukan lagi

merupakan sarama yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,

melainkan juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.

Menghadapi realitas fenomena hidup seperti itu, ilmu yang pada awal dan

hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan

hal-hal yang bersifat seharusnya. Apa hakikat ilmu, mengapa manusia perlu

ilmu, dan bagaimana ilmu harus dimanfaatkan, kemana ilmu harus diarahkan,

dimana batas kewenangan penjelajahan ilmu? Boleh jadi, pada zamannya

Copernicus, Galileo, dan ilmuwan seangkatannya, pertanyaan-pertanyaan

tersebut tidak ada urgensinya. Tetapi bagi ilmuwan yan hidup dalam abad
kedua puluh satu, yang telah mengalami dua kali perang dunia ditambah

dengan prang intervensi Amerika ke Irak dan yang hidup dibayangi oleh

kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat

dihindarkan. Konsekuensinya, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu,

para ilmuwan hendaknya berpaling pada hakikat moral : redefinisi,

restrukturisasi, dan resposisi ilmu penting dilakukan.

Pada gilirannya. filsafat ilmu sibuk menghadapi berbagai pertanyaan : apakah

ilmu bersifat bebas nilai, dapat bebas nilai, atau seharusnya bebas nilai?

Menghadapi pertanyaan tersebut terungkap pelbagai masalah mengenai

perbedaan antara penyelenggaraan ilmu dan penerapan ilmu: antara

mengusahakan ilmu dan melakukan dengan menggunakan ilmu; antara ilmu

untuk ilmu dan ilmu untuk kepentingan masyarakat. untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu menelusuri saat pertumbuhan ilmu,

seperti yang dipaparkan oleh Suriasumantri (1999). Sebenarnya sejak

pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral, namun

dalam perspektif yang berbeda dan gradasi yang berbeda pula. Ketika

Copernicus mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan

bahwa bumi yang berputar mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya, maka

timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran

agama) yang berkonotasi metafisika. Secara metafisika ilmu ingin

mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat

keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pertanyaan (nilai) yang terdapat

dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuwan di antaranya agama. Timbullah

konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada
pengadilan inkuisisi Galileio pada tahun 1633. Galileo (1564 – 1642), oleh

pengadilan agama tersebut dipaksa untuk mencabut pertanyaannya bahwa

bumi berputar mengelilingi matahari.

Pengadilan inkuisisi Galileo, selama kurang lebih dua setengah abad

mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya

mencerminkan pertanrungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di

luar bidang keilmuwan dan ajarn-ajaran di luar bidang keilmuwan. Dalam

kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan

penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan : Ilmu yang Bebas

Nilai Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para

ilmuwan mendapatkan kemenangan. Setelah itu, ilmu memperolwh otonomi

dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana

adanya. Konflik seperti itu, bukan saja terjadi dalam ilmu-ilmu alam, namun

juga terjadi dalam ilmu-ilmu sosial yang dicoba oleh berbagai ideology

mempengaruhi metafisik keilmuwan.

Ketika ilmu mendapatkan keleluasan mempengaruhi dirinya berupa

pengembangan konseptual yang bersifat kontemplatif, Persoalan nilai dan

moral muncul kembali, ketika sampai pada penerapan konsep-konsep ilmiah

yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa tekonologi.

Bertrand Ruseell menyebut perkembangan, ini sebagai peralihan ilmu tahap

“kontemplasi ke manipulasi”.
B. Hubungan Etika, Moral, Norma dan Kesusilaan

Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya, sedangkan

moral pada dasarnya adalah petunjuk apa yang seharusnya dilakukan manusia.

Hasil-hasil kegiatan keilmuwan memberikan altenatif untuk membuat

keputusan politik dengan berkiblat pada pertimbangan moral. Ilmuwan

mempunyai tanggung jawab professional, khusunya di dunia ilmu dan dalam

masyarakat ilmuwan itu sendiri dan mengenai metodologi yang

dipakainya.Ilmuwan juga memikul tanggung jawab sosial, yang bisa

dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya, dan tanggung

jawab moral yang lebih luas cangkupannya.

Ilmu dan moral termasuk ke dalam jenis pengetahuan yang mempunyai

karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga

komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang

disusunya. Komponen tersebut adalah ontology, epistemology, dan aksiologi.

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Buku IA Filsafat Ilmu, 1984/1985:

88).

Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang

menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek

penlaahan tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana

materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan.

Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang tela

diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.


Agar mendapat pengertian yang jelas mengenai kaitan antara ilmu dan modal

maka kajiannya harus dikekati dari ketiga komponen tiang penyangga tubuh

pengetahuan yakni ontology, epistemology, dan aksiologi. Namun sebelum

sampai pendekatan dari ketiga hal tersebut dibahas dahulu tentang antara

etika, moral, norma dan kesusilaan, kemudian pengertian dari cirri-ciri ilmu.

bahasan ditutup dengan bagaimana sikap ilmiah yang harus dimiliki seorang

ilmuwan.

Etika berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat.

Secara terminology etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah

laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang

dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut

perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata, dan sebagainya. Adapun

motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang

dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang

dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.

Menurut Sunoto (1982) atika dibagi menjadi etika deskriptif dan etika

normative. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan

apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana

seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun etika normative sudah

memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan

yang tidak. Etika normative dapat dibagi menjadi etika umum dan etika

khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah

nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus
pelaksanaan prinsip-prinsip umu, seperti etika pergaulan, etika dalam

pekerjaan, dan sebaginya. (Sunoto, 1982:6)

Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores berarti adat atau cara

hisup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada

sedikit pernedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang

sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.

Frans Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran

moral adalah ajaran, wejangan, khutbah, peraturan lisan atau tulisan tentang

bagaimana manusia harus hisup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang

baik. Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan

yang berwenag, seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan

agama, dan tulisan para bjak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral,

tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan

pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi,

etika dan ajaran tidak berada ditingkat yang sama. Yang mengatakan

bagaimana kita harus hisup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau

mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap

yang bertanggungjawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. (Frans

magnis Suseno, 1987:4)

Norma adalah tukang kayu atau tukang batu yang berupa segitiga. Kemudian

norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis

tengah pengarah atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti
berlaku norma umum, yaitu norma soapn santun, norma hukum, dan norma

moral.

Leiniz seorang filsuf pada zaman Modern berpendapat bahwa kesusilaan

adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi dalam jiwa. Perkembangan dari

nafsu alamiah yang gelap sampai pada kehendak yang sadar, yang berarti

sampai pada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan

oleh aktivutas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita sejak semula telah

ada. Apa yang benar-benar nafsu alamiah yang gelap. (Harun Hadiwijono,

1990:44-45)

Oleh karena itu, tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan

itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita.

Akibat pandangan ini orang hanya berbicara tentang kehendak yang baik dan

jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak mewujudkan suatu bagian

dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan actual.

Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan yang tidak

jelas.

Menurut filsuf Herbert Spencer, pengertian kesusialaan dapat berubah,

diantara bangsa berbagai pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-beda.

Pada zaman negara militer, kebijakan keprajuritanlah yang dihormati, sedang

pada zaman negara industry hal itu dianggap hina. hal ini disebabkan

kemakmuran yang dialami pada zaman industri bukan didasarkan atas

perampasan dan penaklukan, melainkan atas kekuatan berproduksi.


Penerapan dar ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis

sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh proses

perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggungjawab

etis, merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun kegunaan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat

manusia, martabat manusia, menjaga keimbangan ekosistem,

bertanggungjawab atas kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang,

dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi

adalah untuk mengembangkan dan memperoleh eksistensi manusia bukan

untuk menghancurkan eksistensi manusia.

Tanggungjawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga

tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dimasa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya

bagi masa depan berdasarkan keputusan bebas manusia dalam kegiatannya.

Penemuan-penemuanbaru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti ada

yang mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja

memiliki tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkan

dalam perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksitensi manusia secara

utuh. (Achmad Charris Zubair, 2002)

Tanggunjawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu

pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Akan


tetapi, harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak

dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang

seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungan

dengan lingkungan maupun makhluk yang bertanggungjawab atas Khaliknya.

Jika sesuai dengan pendapat Van Melsen (1985) bahwa perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi menghambat ataupun meningkatkan keberadaan

manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan

teknologi dilakukan oleh mansuai dan untuk kepentingan manusia dalam

kebudayaannya. Kemajuan dibidang teknologi memerlukan kedewasaan untuk

mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, dan teknologi adalah

menyediakan bantuan agar manusia dapat bersunguh-sungguh mencapai

pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan

saja sarana untuk mengembangkan diri manusia saja, tetapi juga merupakan

hasil perkembangan dan kreativitas manusia itu sendiri.

C. Tanggungjawab Ilmuwan

Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggunjawab atas perbuatan sosial, maka hal

itu berarti (1) ilmu telah mengakibatkan perubahan sosial dan juga (2) ilmu

bertanggungjawab atas sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggungjawab

tersebut bersangkut paut dengan masa lampau dan juga masa depan. Yang

perlu diperhatikan ialah bahwa apa yang telah terjadi sebenarnya tidak multak

harus terjadi dan apa yang bakal terjadi tidak perlu terjadi; hal itu semata-mata

bergantung kepada keputusan manusia sendiri. Tanggung jawab ilmu atas

masa depan pertama-tama menyangkut usaha agar segala sesuatu yang


terganggu oleh campur tangan ilmu bakal dipulihkan kembali. Campur tangan

ilmu terhadap masa depan bersifat berat sebelah, karena sekaligus tertuju

kepada kesimbangan dalam alam terhadap keteraturan sosial. Gangguan

terhadap keseimbangan alam itu misalnya adalah pembasmi kimiawi terhadap

ham tanaman, sistem pengairan, dan seterusnya. Tetapi pelu diingat bahwa

keberatsebalahan itu sebenarnya bukan hanya karena tanggug jawab ilmu saja,

melainkan juga oleh manusia sendiri. Tetapi gangguan oleh manusia itu justru

tidak mengikutsertakan ilmu. Jauh sebelum tercipta ilmu, manusia sudah bisa

melakukan gangguan terhadap alam berakibat erosi tanah.

Memulihkan kembali apa saya sudah dirusakkan oleh campur tangan manusia

tidaklah menjadi bagian terpenting dalam tanggung jawab ilmu. Bahkan jika

ilmu menemukan bahwa keteraturan alam dan keteraturan masyarakat dapat

dipengaruhinya (dapat berubah karena pengaruhnya), maka ilmu senantiasa

berusaha untuk mempengaruhi alam dengan perubahan yang menuju kea rah

perubahan yang sebaik-baiknya. Masalah etis yang timbul adalah : bagaimana

menyelesaikan “ketegangan” antara realitas yang ada dan realitas yang

seharusnya ada yang tidak dapat berlangsung secara otomatis.

Adalah cukup beralasan apabila orang berbicara tentang tanggung jawab ilmu

untuk menunjukkan adanya tanggung jawab manusia (khususnya yang

berkecimpung dalam bidang ilmu itu), walaupun tanggung jawab manusia itu

tidak langsung juga cukup beralasan untuk mendalamu masalah ini. Adalah

mengherankan juga apabila ilmu sama sekali tidak mengawali langkahnya

dengan mencari jalan untuk mengubah keteraturan alam dan untuk mengubah
masyarakat yang dilakukan secara eksplisit. Dan pada mulanya sama sekali

tidak jelas pula bahwa perubahan seperti itu nakal terjadi.

Untuk memahami ikhwal tanggung jawab manusia tersebut, kiranya baik juga

diketengahkan dengan singkat alam pikiran Yunani Kuno. Menurut alam

pikiran Yunani kuno, ilmu adalah theoria, sedangkan keteraturan alam dan

keteraturan masyarakat selalu menurut kodrat ilahi.

Keteraturan adalah orde. Menurut alam pikiran Yunani, orde sudah ada atau

sudag ditetapkan. Manusia tidak bertanggung jawab atas keteraturan secara

menyeluruh secara menyelutuh, tetapi manusia justru ada di dalam keteraturan

itu. Di dalam keteraturan alam itu, manusia mempunyai kedudukan yang

unik. Manusia diharuskan untuk menyadari kedudukanya itu. Manusia juga

diharuskan untuk bertindak sesuai dengan kesadaran tersebut. Ini berarti

bahwa ditengah-tengah keteraturan alam itu, manusia masih memiliki ruang

untuk bergerak dan bertindak. Gerak dan tindakannya tetap ada di dalam

lingkup keteraturan alam. Ruang gerak dan bertindak itu mewujudkan sistem-

sistem etis. Itulah sebabnya, maka dalam alam pikiran Yunani kuna terdapat

pandangan bahwa ada hubungan yang erat antara alam dan etika. Demikian

erat hubungan antara dan etika, sehingga tumbuh keyakinan dalam alam

pikiran Yunani kuno itu bahwa alam adalah hukum etis.

Konsekuensi pandangan bahwa hukum alam sama seperti hukum etis adalah

pandangan sebagai berikut : manusia tidak tunduk kepada hukum alam karena

manusia adalah makhluk alamiah. Namun hal itu tidak berlaku sangat mutlak.

Manusia masih “memberikan peluang sedikit” untuk tunduk kepada alam.


Tunduknya manusia kepada hukum alam justru disebabkan oleh peran

manusia dalam keteraturan yang terlihat pada aktivitas instingnya.

Dalam konteks tersebut, pengertian tentang physis dalam bahasa Yunani dapat

diikuti. Kata itu mempunyai arti alam, tetapi juga berarti hakikat atau juga

berarti esensi. Di dalam alam terdapat keteraturan yang tidak dapat diubah. Di

dalam alam terdapat benda-benda dengan “dirinya sendiri”. Benda-benda

yang memiliki jati diri itu mempunyai posisi di dalam orde tersebut. Manusia

dapat mengetahui hakikat orde setiap benda dengan jati dirinya masing-

masing. Sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat orde tersebut

adalah ilmu. Ilmu itu tugasnya adalah untuk mengetahui lebih dalam lagi

hakikat orde.

Setelah mengetahui posisi manusia di tengah-tengah orde, selanjutnya adalah

menemukan hakikat jati diri manusia. Manusia mempunyai hakikat bahwa di

dalam dirinya ada “keserentakan” yang mencakup titik tolak aktivitas manusia

dan titik tujuan yang harus diwujudkan dengan aktivitas itu. Selanjutnya,

timbul permasalahan mengenai tanggung jawab manusia. Tanggung jawab

manusia pada dasarnya ternyata sangat terbatas. Tanggung jawab manusia

terbatas pada perwujudan hakikat keberadaannya di dalam ruang bergerak dan

bertindak di dalam orde alam. Ruang gerak dan bertindak itu sebagaimana

sudah disebutkan, sangat terbatas. Dalam hubungan ini, ilmu memberikan

sumbangan yang cukup besar. Dengan demikian, ikhtisar pandangan Yunani

kuno dicoba untuk dibuat.


Anggapan tentang tanggung jawab manusia yang berkenaan dengan kegiatan

keilmuwan itu senantiasa berkembang terus. Dari perkembangan tersebut

dapat dilacak dan disimpulkan bahwa ternyata tanggung jawab manusia

tersebut tidak meliputi segala-galanya. Manusia menginsyafi bahwa

penerapan ilmu di dalam praktis adalah tanggung jawabnya. Tetapi tanggung

jawab itu disadari setelah muncul sesuatu dari hasil penerapan ilmu itu. Hasil

penerapan ilmu itu barulah disadari setelah ilmu dilaksanakan; dan ternyata

bahwa penerapan ilmu untuk masa berikutnya bakal membutuhkan tanggung

jawab baru. Jadi dalam perjalanan praktis tersebut, manusia melihat hadirnya

tanggung jawab baru. Terhadap tanggung jawab baru itu, manusia agaknya

juga dituntut untuk bertanggungjawab. Misalnya, jika hasil penerapan ilmu itu

terjadi perubahan masyarakat itu menjadi tanggungjawabmanusia yang

menerapkan ilmu itu. Tapi perubahan dalam masyarakat itu berakibat

munculnya masalah tanggungjawab baru.

Tanggungjawab ilmu terhadap perubahan alam dan perubahan masyarakat

senantiasa muncul sebagai hasil pelaksanaan tanggung jawab yang

sebelumnya. Berhubungan dengan hal itu, tidak mengherankan apabila

konsepsi-konsepsi yang asli tetap bernilai. Konsepsi-konsepsi asli yang tetap

relevan sejak dari dahulu hingga sekarang adalah melekatnya sifat tanpa

pamrih pada ilmu. Pemeraktifan ilmu adalah demi ilmu. Ilmu berkembang

untuk mencapai tujuan secara insentif, yaitu : tercapainya kebenaran.

Untuk mencari kebenaran yang hakiki, salah satu kegiatan praktis adalah

eksperimen. Dampak eksperimentasi itu terlihat pada perkembangan dewasa


ini, yakni : tanggungjawab yang melekat pada ilmu semakin luas adanya.

Bahkan semakin jelas bahwa tanggungjawab ilmu tersebut berkembang

menjadi pengabdian nyata. Pengabdian yang dimiliki oleh ilmu bukanlah

pengabdian yang netral, melainkan pengabdian yang diwarnai oleh etis. Corak

etis tersebut menandai pencaharian kebenaran yang filsofis, yaitu kebenaran

yang memang menjadi asal muasalnya.

Corak pengabdian nyata dimikili oleh ilmu atau corak etis kegiatan ilmiah itu

bermacam-macam dan tidak terbatas pada penerapan-penerapan konkret ilmu

bagi manusia. Corak etis kegiatan ilmiah mempunyai jangkauan yang luas.

Luasnya jangkauan itu terlihat pada ihwal menyadari kedudukan manusia.

jadi, tanggungjawab yang dimaksudkan dalam kupasan ini menyangkut (1)

penerapan nilai-nilai etis setepat-tepatnya bagi ilmu didalam kegiatan praktis,

dan (2) upaya penemuan sikap etis yang tepat, sesuai dengan ajaran tentang

manusia dalam perkembangan ilmu.

Anda mungkin juga menyukai