Anda di halaman 1dari 91

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. FILSAFAT, FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN


Sebagai titik tolak, sebelum kita mengikuti uraian lebih lanjut baiklah kita
mengerti bahwa istilah filsafat itu mengandung pengertian sebagai berikut :
sasas
 Filsafat sebagai aktivitas pikir murni (reflective – thinking), atau kegiatan akal manusia
dalam usaha untuk mengerti secara mendalam segala sesuatu. Pengertian filsafat disini
ialah berfilsafat. Ia merupakan suatu daya atau kemampuan pikir yang tinggi dari
manusia. Bahkan berfilsafat merupakan daya dan tingkat berfikir manusia yang
tertinggi dalam usaha memahami kesemestaan (segala – sesuatu).
 Filsafat sebagai produk kegiatan berfikir. Jadi merupakan suatu wujud “ilmu” sebagai
hasil pemikiran dan penyelidikan berfilsafat itu. Dengan demikian filsafat dalam arti
kedua ini ialah sebagai satu bentuk pengetahuan terorganisasi dan memiliki
sistematika tertentu. Filsafat juga berarti satu bentuk ajaran tentang sesuatu yang
bersifat komprehensif karena itu dapat dijadikan sebagai satu “ideologi”
Pembedaan seperti diatas ini sekedar untuk memberi penjelasan bahwa filsafat bukannya
sekedar satu aktivitas pikir, satu usaha, satu proses. Melainkan mengandung kedua-
duanya, baik sebagai aktivitas ratio maupun sebagai pengetahuan yang merupakan wujud
hasil pemikiran. Artinya filsafat telah sedemikian berkembang sehingga sudah berwujud
satu ilmu tersendiri. Bahkan ajaran filsafat merupakan ideologi suatu bangsa dan negara.
Filsafat merupakan suatu Weltanschauung, suatu way of life. Suatu filsafat negara
berpengaruh pada pelaksanaan pendidikan di negara itu (tertentu). Contoh : di Indonesia
UU Pendidikan nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Bab II pasal I
ayat 2 menyatakan Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.

1. FILSAFAT
a. ARTI FILSAFAT
2

Secara etimologis pengertian ini diuraikan Brubacher sebagai berikut :


Filsafat berasal dari perkataan Yunani Philos dan sophia yang berarti cinta
kebijaksanaan atau belajar, ilmu pengetahuan. Lebih dari itu dapat diartikan cinta
belajar pada umumnya atau cinta pada kebenaran.
Bila sophia diartikan kebijaksanaan berarti ingin mengerti yang
sedalam-dalamnya (mengerti secara mendalam). Kebijaksanaan itu erat sangkut
pautnya dengan mengerti (know), dengan pengetahuan (knowledge). Mengerti yang
dimaksud adalah mengerti secara mendalam.
Menurut Socrates bahwa manusia tidak berhak atas kebijaksanaan,
karena manusia terbatas pada kemampuan yang dimiliki. Terhadap kebijaksanaan
manusia hanya berhak untuk mencintainya. Hal ini sebenarnya untuk memberikan
sindiran pada kaum Sophis yang mengaku memiliki kebijaksanaan.
Istilah kebijaksanaan, yang kata dasarnya bijaksana dan mendapat
awalan ke dan akhiran an, menggambarkan pengetahuan hakiki tentang bijaksana.
Jadi kebijaksanaan berarti hakekat perbuatan bijaksana. Perbuatan bijaksana adalah
perbuatan benar, baik, dan adil. Jadi perbuatan yang bijaksana adalah perbuatan
yang selalu menggunakan akal budinya (atas dasar pengalaman dan
pengetahuannya). Perbuatan yang demikian itu lahir dari dorongan kemauan yang
kuat, menuntut keputusan perenungan akal pikiran atas dasar pertimbangan
perasaan yang dalam.
Dalam arti etimologis dapat disimpulkan bahwa filsafat berarti:
- Cinta belajar pada umumnya
- Cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran
- Pengetahuan mengenai pengetahuan atau sebagai akar dari pengetahuan atau
juga sebagai pengetahuan terdalam.
Bagi orang awam yang tidak mendalami filsafat sebagai ilmu, tidak
tertarik untuk memperdebatkan asal kata tersebut dan yang terpenting kandungan
arti yang esensial dari kata filsafat, yaitu adanya unsur kesenangan atau kecintaan
terhadap kebijaksanaan atau kebenaran. Orang berfilsafat intinya agar semua orang
mau menjunjung tinggi kebijaksanaan atau kebenaran. Kebijaksanaan disini adalah
kebijaksanaan manusia. Dengan dasar pengetahuan filosofisnya diharapkan orang
dapat memberikan pendapat dan keputusan secara bijaksana.
Orang yang berfilsafat selalu berusaha untuk memiliki mutiara-mutiara
kebijaksanaan sebagai pedoman dan pegangan hidup sehingga filsafat mengandung
sesuatu yang dalam bagi manusia. Filsafat dipandang sebagai induk ilmu
3

pengetahuan, karena pada mulanya sebagian besar ilmu berawal dari kegiatan
berpikir.

b. PENGERTIAN FILSAFAT MENURUT PARA FILSOF


Untuk melengkapi pemahaman arti filsafat dikemukakan dari beberapa
filsof, antara lain:
1. Menutut Plato (429 – 347 SM), filsafat adalah pengetahuan yang berminat
mencapai kebenaran asli. Jadi wujud filsafat menurut Plato adalah
pengetahuan dan tujuan berfilsafat adalah mencapai kebenaran.
2. Aristoteles (348 – 322 SM) mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan
yang meliputi kebenaran, retorika, ekonomi, politik dan estetika. Wujud
filsafat menurut Aristoteles adalah pengetahuan, sedang lingkup filsafat
adalah metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.
3. Bertrand Russel mengartikan filsafat usaha untuk mendapatkan jawaban
terakhir secara kritis. Tujuan berfilsafat adalah mendapatkan jawaban terakhir
secara kritis.
4. William James mengartikan filsafat, yaitu kumpulan nama untuk menjawab
pertanyaan yang tidak terjawab dengan memuaskan (“a collective name for
question which have answered to the satisfaction all that have asked them”).
5. Al-Farabi memaknai filsafat sebagai pengetahuan tentang hakikat sebagai
kebenaran. Menurut beliau filsafat sebagai pengetahuan dan obyek filsafat
adalah alam wujud.
Dari beberapa pendapat para filsof tersebut, dapat dirumuskan bahwa
filsafat adalah upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami,
mendalami, dan menyelami secara radikal, integral, dan sistematik mengenai
segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.

c. OBYEK FILSAFAT
Obyek adalah sesuatu hal, sasaran. obyek dibedakan menjadi 2, yaitu : Obyek
Materiil dan Obyek Formal. Obyek Materiil adalah hal materinya atau hal bendanya, yaitu
sesuatu yang dipelajari atau yang diteliti. Obyek Formal adalah sudut pandang yang
ditujukan kepada obyek materiilnya. Obyek materiil yang sama bila ditinjau dari obyek
formal yang berbeda akan menghasilkan pengetahuan yang berbeda-beda.
Contoh: manusia (sebagai obyek materiil)
1. Ditinjau dari susunan tubuhnya menghasilkan ilmu anatomi.
2. Ditinjau dari ucapan menghasilkan ilmu bahasa.
3. Ditinjau dari jiwanya menghasilkan ilmu psikologi.
4. Ditinjau dari hakekatnya menghasilkan ilmu filsafat.
4

d. OBYEK MATERIIL DAN FORMAL FILSAFAT BERBEDA DENGAN OBYEK


MATERIIL DAN FORMAL ILMU KHUSUS
Obyek materiil filsafat adalah segala yang ada yang mencakup yang bersifat
kongkrit maupun abstrak. Obyek materiil yang kongkrit adalah yang adanya dalam
realitas (kenyataan), misal : manusia, tumbuhan, binatang, dsb. Yang abstrak adalah yang
adanya dalam pikiran atau kemungkinan, misalnya : ide-ide, konsep-konsep, pikiran,
kehidupan sesudah kematian, dsb. Obyek materiil ilmu khusus adalah sesuatu yang
bersifat kongkrit, misal: pertanian, ekonomi, biologi.
Obyek formal ilmu hanya mengarah kepada satu aspek saja pada ilmu itu
sendiri. Disamping itu hasilnya masih terikat ruang dan waktu. Obyek formal filsafat
sampai kepada hakekat sesuatu sehingga hasilnya tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Obyek formal filsafat adalah memandang obyek materialnya sampai hakekatnya. Obyek
material filsafat pendidikan adalah pendidikan. Obyek formal filsafat pendidikan adalah
pendidikan dipandang dari sudut filsafat.

e. METODE DALAM FILSAFAT


Sebagai suatu aktivitas pikir yang murni yang memusatkan penyelidikan
kepada segala sesuatu (tak terbatas luasnya), maka wajarlah filsafat mempunyai cara
(metode) untuk memecahkan masalah. Istilah metode berasal dari perkataan Yunani
Methodos, yang berarti:
1. Sesuatu prosedur yang dipakai untuk mencapai sesuatu tujuan (Any prosedur
employed to attain a certain end).
2. Sesuatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari
suatu materi tertentu. (Any knowing techniques employed in the process of acquiring
knowledge of given subyect matter).
3. Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur (The science wich
formulates the rules of any procedure).
Cara (metode) merupakan syarat untuk efisiensi dan efektifitas dalam usaha demi
tercapainya tujuan.
Filsafat sebagai disiplin ilmu, mempunyai metode tertentu, antara lain:
1) Metode Contemplative (perenungan)
Dalam epistimologi modern, perenungan adalah pengetahuan dari suatu obyek, yang
berlawanan dengan menikmati, melainkan sebagai sebagai kesadaran jiwa kearah
kesadaran diri sendiri.
DR. Anton Bakker : metode adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan
tertentu.
5

Merenung berarti memikirkan sesuatu atau segala sesuatu tanpa keharusan adanya
kontak langsung dengan obyeknya. Obyek perenungan dapat berupa apa saja,
misalnya tentang:
- Makna hidup
- Kematian
- Keindahan
- Surga, neraka, kebahagiaan, dsb.
Merenung ini cara yang sesuai dengan watak filsafat, yaitu memikirkan segala sesuatu
sedalam-dalamnya. Proses perenungan itu berjalan cukup lama, dalam keadaan:
- Tenang, hening, sungguh-sungguh
- Dalam kesendirian
- Kapanpun dan dimanapun
Perenungan dipakai karena obyeknya tak terbatas dan tujuannya untuk mengerti
hakikat sesuatu. Untuk mengerti sesuatu berarti kita harus menyelami sesuatu secara
mendalam.
2) Metode Speculative
Juga berarti perenungan atau merenung.
Filsafat amat wajar menggunakan metode perenungan itu. Sebab, bukan saja
obyeknya tak terbatas, melainkan juga tujuannya ialah untuk membuat dugaan-dugaan
yang masuk akal mengenai sesuatu karena pertanyaan-pertanyaan filsafat yang
diajukan para filsof sering melampaui batas-batas pengetahuan yang sudah mapan
yaitu dengan berusaha untuk menduga kemungkinan-kemungkinan lain.
Contoh :
a. Demokritos tentang teori atom.
b. Galileo Galilei yang menentang pendapat Ptolomeus tentang pusat berputarnya
benda-benda di langit.
3) Metode Deduktif dan Induktif
Karena obyeknya tak terbatas maka metode yang dipakai juga bersifat deduktif.
Berpikir deduktif ini dimulai dari realita yang bersifat umum, guna mendapatkan
kesimpulan - kesimpulan tertentu yang khusus.
Contoh klasik metode deduktif:
a. Premis Mayor : Semua manusia mengalami kematian
b. Premis Minor : Abas manusia.
c. Kesimpulan : Abas mengalami kematian.
Berpikir induktif dimulaiu dari realitas yang bersifat khusus guna mendapatkan
kesimpulan - kesimpulan tertentu yang bersifat umum
Contoh metode induktif :
a. Premis mayor : Besi dipanaskan memuai.
b. Premis Minor : Perak dipanaskan memuai.
c. Kesimpulan : Jadi semua logam dipanaskan memuai
6

Jadi metode deduktif adalah cara menarik konklusi berdasar dua kebenaran yang pasti
dan tak diragukan yang bertolak dari sifat umum ke khusus. Sedangkan metode
induktif adalah cara menarik konklusi berdasar dua kebenaran yang pasti dan tak
diragukan yang bertolak dari sifat khusus ke umum
Metode utama filsafat memang; Contemplative, Speculative, Deductive dan
Induktif. Namun ini tidak berarti filsafat tidak mempergunakan metode lain. Dalam
filsafat juga menggunakan metode metode lain, untuk mendapatkan kebenaran sesuai
dengan objek kajiannya.

2. CABANG-CABANG FILSAFAT
Dalam definisi filsafat dijelaskan bahwa obyek filsafat ialah segala sesuatu,
mencakup kesemestaan. Scope filsafat yang luas, perlu adanya sistematika atau
pembidangan filsafat, dari yang ada dibagi tetapi disini hanya dipilihkan 4 (empat)
saja yaitu sebagai berikut :

1) ONTOLOGI
Ontologi ini merupakan cabang filsafat yang menyelidiki tentang realita. Ontologi
kadang-kadang disebut/disamakan dengan metafisika (meta berarti di balik atau di
belakang, sedangkan fisika berarti alam) sedangkan maknanya adalah sesuatu yang
ada dibalik alam indera. Alam indera adalah alam yang dapat ditangkap oleh indera
manusia. Pengertian tidak dapat ditangkap bukan berarti karena sesuatu itu ditutupi
dengan sesuatu, tetati tidak dapat ditangkap dengan indera dan hanya dapat ditangkap
oleh akal, pikiran. Sehingga istilah metafisika berkaitan dengan persoalan hakekat
sesuatu. Jadi metafisika itu cabang filsafat yang membahas tentang hakekat sesuatu
yang ada. Dibalik alam nyata itu merupakan hakekat sesuatu yang tidak dapat
ditangkap manusia melalui inderanya tetapi hanya dapat ditangkap dengan akalnya.
Hakekat itu berada pada pikiran manusia, bersifat abstrak, abstraksi dari benda konkrit
dan dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar, kebenaran yang paling dalam,
kebenaran yang paling akhir, tak ada yang lebih benar.
Mengenai perwujudan (eksistensi) dari hakekat itu ada beberapa pendapat:
a. Ada yang mengatakan satu, dua, atau banyak.
b. Ada yang mengatakan hakikat segala sesuatu adalah benda (materi), ada yang
mengatakan bukan benda.
c. Bagi yang mengatakan hakikat segala sesuatu adalah air, api, jasmani, atom,
energi, dsb.
7

d. Bagi yang mengatakan hakikat sesgala sesuatu bukan materi, ada yang menyebut
ide, roh, dsb.
Ontologi sebagai ajaran tentang ada/realita mengupas tentang hakekat ada.
Misal:
 Apakah sesungguhnya realita ini; apa tujuan ada itu.
 Apakah realita yang nampak ini suatu realita materi saja.
 Apakah ada sesuatu di balik realita.
 Apakah realita itu bersifat tetap.
 Apakah realita ini terbentuk atas satu unsur (monisme) atau dua unsur (dualisme).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan ontologi atau metafisis.

Menurut Prof. I.R Poedjawijatna pembagian filsafat adalah sebagai berikut.

Ada umum, Filsafat ada – umum (Ontologia, metaohysica generalis)

Ada
Ada mutlak (filsafat – ada mutlak, theodicia)
Ada khusus alam (filsafat alam-cosmologia),

Ada tidak mutlak


- Filsafat Budi Logica

Manusia - Filsafat keindahan (estetika)


(Filsafat Antropologi)
- Filsafat tingkah laku
(ethica)

Pandangan Ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah utama dalam
pendidikan. Hal ini karena :
- Anak bergaul dengan lingkungan dan punya dorongan yang kuat untuk mengerti
semua hal.
- Anak selalu menghadapi realita, obyek pengalaman mencakup benda hidup dan
benda mati.
Dengan ontologi anak didik diajak memahami bagaimana asas-asas pandangan
religius tentang adanya makhluk-makhluk hidup yang berakhir dengan kematian,
8

bagaimana kehidupan dan kematian dapat dimengerti. Begitu pula realita alam
semesta dan eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rohani. Bahkan
bagaimana eksistensi Tuhan Sang Maha Pencipta.
Jadi anak-anak dibiasakan berpikir untuk menyelami dunia nyata. Kewajiban
pendidik melalui latar belakang ontologi ini adalah membina daya pikir yang tinggi
(dalam), kritis dan jujur.
Implikasinya pandangan ontologi dalam pendidikan adalah:
Bahwa dunia pengalaman manusia harus memperkaya kepribadian, bukan hanya alam
semesta beserta isinya dalam arti pengalaman sehari-hari, melainkan sesuatu yang
tidak terbatas yakni menyangkut fisis, spiritual, hukum-hukum kesemestaan alam
yang menentukan kehidupan manusia.

2) EPISTEMOLOGI
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menelaah asal mula, struktur, metoda dan
syahnya (validitas) pengetahuan. Yang diselidiki antara lain :
- Bagaimana syahnya suatu pengetahuan dapat dinilai
- Bagaimana pengetahuan itu mungkin
- Apa sumbangan akal dan indra
- Apa peran penginderaan
- Apa syarat-syarat pengetahuan
- Apa perbedaan antara pengetahuan apriori dengan pengetahuan eposteriori.
Epistemologi diperlukan antara lain dalam hubungannya dengan penyusunan dasar-
dasar kurikulum. Kurikulum yang diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan
pendidikan dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh siswa
dalam usahanya mengenal dan memahami pengetahuan. Theodore Brameld
mengatakan epistimologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia
memberikan kebenaran kepada murid-muridnya.

3) LOGIKA
Logika berasal dari bahasa Yunani “logos” yang dapat diartikan sebagai kata, nalar,
atau uraian. Logika adalah teori yang membicarakan tentang aturan-aturan
perbincangan (penalaran) yang lurus. Argument merupakan istilah teknis yang
digunakan dalam logika.
Argument merupakan kegiatan penalaran yang menunjukkan bukti bahwa suatu
keterangan tertentu mengikuti secara runtut dari satu atau lebih keterangan lain.
9

Keterangan-keterangan yang menurunkan keterangan tertentu disebut “premis”,


sedang keterangan yang diturunkan disebut “kesimpulan” (konklusi).
Jadi premis-premis dan kesimpulan-kesimpulan itulah yang disebut argument.
(Ali Mudhofir; 1980; hal 21)
Logika sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai ajaran berfikir
diperlukan oleh pendidikan kecerdasan. Pendidikan kecerdasan menghendaki
seseorang mampu mengutarakan pendapat dengan benar dan tepat. Untuk ini ia
memerlukan penguasaan logika dengan baik.

4) AXIOLOGI
Bidang ini membahas tentang nilai. Theodore Bramel membedakan 3 bagian didalam
axiologi, yakni :
a. Moral Conduct (tindak moral) : ini menyangkut tentang baik-buruk
tindakan/tingkah laku. Tindak moral ini dipelajari oleh ethika (ilmu tentang apa
yang baik dan yang buruk)
b. Expresi Keindahan (pola citarasa) ini dipelajari oleh esthetika. simetri
proporsi
harmoni
c. Sosial – Political Life (kehidupan sosial politik). Ini dipelajari oleh filsafat sosial
politik.
Masalah masalah axiology di atas menjelaskan dengan criteria atau prinsip tertentu
apakah yang dianggap baik dalam tingkah laku manusia. Apakah yang dimaksud
indah dalam seni. Demikian juga apakah yang benar dan diinginkan dalam
organisasi sosial kemasyarakatan dan kenegaraan.
Karena dunia nilai menjadi dasar pendidikan juga, sehingga selalu dipertimbangkan
dalam penentuan tujuan-tujuan pendidikan. Disamping itu pendidikan sebagai
fenomena kehidupan sosial, cultural dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai
(Barnadit; 1982; 21)
Implikasi :
Axiology dalam pendidikan adalah menguji dan mengintegrasikan semua nilai
tersebut dan membinanya ke dalam kepribadian anak.

3. FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN


Persamaan dan perbedaan yang khas antara ilmu filsafat yang bersifat reflektif dengan
ilmu pengetahuan pada umumnya :
 Persamaan :
1. Baik ilmu maupun filsafat merupakan pengetahuan manusia
10

2. Baik ilmu maupun filsafat berpangkal pada akal untuk mencapai suatu
kebenaran
3. Filsafat sebagai suatu ilmu dengan ilmu pengetahuan keduanya memiliki syarat
– syarat ilmiah yaitu memiliki obyek, metode, sistematik dan memiliki kriteria
kebenaran
4. Baik ilmu atau filsafat merupakan sistem pengetahuan manusia yang bersifat
rasional dan sistematis

 Perbedaan :
1. Filsafat merupakan induk ilmu pengetahuan sedangkan ilmu tumbuh dan
berkembang melalui filsafat
2. Filsafat bersifat refleksif sedangkan ilmu pengetahuan tidak refleksif
3. Filsafat bersifat spekulatif, artinya mengajukan dugaan dugaan yang rasional
yang melampaui batas – batas faktual sedangkan ilmu hanya menjelaskan fakta,
mendiskripsikan fakta dengan segala hubungannya
4. Filsafat membahas segala sesuatu secara menyeluruh (universal) sedangkan ilmu
hanya membahas pada gejala – gejala yang sangat khusus dari pembahasan yang
khusus pula
5. Ilmu hanya menjelaskan fakta terutama fakta empiris sedangkan filsafat
memahami, mengintepretasikan / menafsirkan fakta secara rasional
6. Filsafat membahas obyek secara menyeluruh , baik meliputi gejala empiris
maupun non empiris sedangkan ilmu hanya membahas gejala – gejala empiris
saja yang bersifat khusus

B. FILSAFAT PENDIDIKAN
1. PENGERTIAN
Ilmu pendidikan atau pedagogik adalah ilmu yang membicarakan
masalah-masalah umum pendidikan, secara menyeluruh dan abstrak.
Pedagogik, selain bercorak teoritis, juga bersifat praktis. Untuk yang teoritis
diutarakanlah hal-hal yang bersifat normatif, ialah menunjuk kepada stadard
nilai tertentu ; sedangkan yang praktis, menunjukan bagaimana pendidikan itu
harus dilaksanakan.
Pedagogik, sebagai ilmu pokok dalam lapangan pendidikan dan sesuai
dengan jiwa dan isinya, agar dapat memenuhi persyaratan landasan konsep dan
fungsinya, sudah barang tentu memerlukan landasan-landasan yang berasal
dari fisafat atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dengan filsafat.
Dikatakan landasan, bila filsafat melahirkan pemikiran-pemikiran yang teoris
11

mengenai pendidikan, dan memerlukan iluminasi (pencerahan) dan bantuan


penyelesaiannya dari filsafat.
Jadi filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan
jawab dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Oleh karena
bersifat filosofis dengan sendirinya filsafat pendidikan ini pada hakekatnya
adalah penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan. Dengan
kata lain filsafat pendidikan adalah persoalan-persoalan pendidikan yang
dipecahkan secara filsafat atau menggunakan pemikiran-pemikiran filsafat.

2. PENDEKATAN :
1) Filsafat pendidikan dapat terbentuk dari adanya ide-ide pendidikan. Ide-ide
pendidikan dalam sejarah fisafat yang muncul dari masa lampau hanya
berlaku di masa lampau. Tetapi ada kalanya juga berlaku dan digunakan
sebagai pegangan bagi masa sekarang, tetapi tentu saja ada gagasan-gagasan
yang tercetus pada masa sekarang dan menjadi pegangan pada waktu
sekarang pula. Dari tokoh-tokoh dalam sejarah disebutkan Plato dalam
Republik, Johan Amos Comenius dengan didactica magna, John Dewey
dengan Education and Society dan Robert Hutchkins dengan The Great
Book Learning. Ide-ide pendidikan yang terpencar dalam tulisan-tulisan itu
sebagai suatu sistem dapat disebut Filsafat Pendidikan menurut Plato, Johan
Amos Comenius, John Dewey, Hutchkins.
2) Filsafat pendidikan dapat terbentuk berdasarkan pendidikan.
Pendidikan dengan problema-problemanya dipilih yang memerlukan
jawaban secara filosofis. Filsafat pendidikan yang timbul demikian ini
biasanya bersifat terbuka untuk kemungkinan-kemungkinan baru ( Imam
Barnadit 1982:5-6)

3. FILSAFAT DAN ILMU PENDIDIKAN


Prinsip dasar yang dikemukakan oleh Thorndike ini menjadi salah
satu motor penggerak pengembangan ilmu pendidikan, yang pada waktu ini
dapat dihayati dengan pengungkapan data kuantitatif yang merupakan salah
satu dari kekayaannya. Tugas ilmu menjadi lebih Nampak hasilnya bila telah
sampai pada terjangkaunya hasil-hasil penelitian yang dimulai dengan
pengujian hipotesa, laporan serta rekomendasinya.
Disamping pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya kuantitatif seperti
tersebut di atas, ada pertanyaan lain-lain yang memerlukan jawaban yang
dapat menunjukkan hakiki dan ke arah mana pendidikan itu akan dibawa.
12

Misalnya : Untuk apakah sebenarnya sekolah itu didirikan ? Anak didik itu
ada sebagai ia berada, sedangkan masyarakat dan Negara menginginkan anak
didik terbina sesuai dengan ideology yang telah digariskan. Maka timbul
pertanyaan apakah yang seharusnya pendidik lakukan untuk memimpin anak
didik itu untuk mengujudkan tujuan di atas.
Jawaban mengenai pertanyaan pertama seharusnya berkisar pada konsep atau
landasan pikir bahwa pendidikan memerlukan suatu lembaga di luar keluarga,
yang mempunyai peranan bagi terbinanya masyarakat yang ideal. Sedangkan
untuk pertanyaan kedua diperlukan jawaban yang berupa konsep-konsep
tentang isi dan proses pendidikan yang mempertemukan potensi anak didik
dan gambaran manusia ideal menurut masyarakat dan negara itu.
Dua jenis pertanyaan mengenai pendidikan di atas bersifat filosofis yang
memerlukan jawab filosofis pula. Maka dari itu dimasukkan ke dalam bidang
filsafat pendidikan.

4. ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT YANG MEMPUNYAI VISI DALAM


PENDIDIKAN
Disamping adanya beberapa problema dengan adanya cabang filsafat
yang mempelajari problema, ada pula aliran-aliran filsafat yang mempunyai
visi tertentu dalam pendidikan. Aliran-aliran yang dimaksud antara lain :
a. Naturalisme
Naturalisme mempunyai pandangan bahwa kenyataan adalah alam
semesta fisik. Jiwa dipandang sebagai unsur materi. Filsafat naturalisme adalah
filsafat dunia, karena memandang segala sesuatu berasal dari alam dan tiada
sesuatu pun yang ada dibaliknya. Naturalisme dapat menjadi materialisme.
filsafat dunia ini, karena memandang segala sesuatu ini berasal dari alam, dan
tiada sesuatupun yang ada ini terdapat dibaliknya.
b. Matearialisme
Secara umum, materialisme berpendapat bahwa keberadaan dan
kebenaran semua yang ada di dunia ini adalah materi atau benda semata.
Bahwa segala sesuatu dalam alam ini ialah semua yang dapat diobservasi, baik
wujudnya maupun gerak dan tingkah lakunya. Berdasarkan kenyataan itu,
maka realitas semesta ini pastilah sebagai apa yang kita lihat, yakni semuanya
adalah materi, serba zat, serba benda.
Istilah ide, jiwa roh dan sebagainya, keberadaannya hanya merupakan
akibat atau bentuk dari materi. Wujud keberadaan manusia misalnya, tidak lain
adalah keberadaan jasmaninya. Istilah–istilah pikiran, perasaan, kemauan, dan
13

sebagainya hanya mepurakan perwujudan proses kejasmanian. Pikiran


merupakan aktivitas otak, benda yang ada pada kepala manusia yang terdiri
dari susunan syaraf dan kumpulan sel saraf yang jumlahnya jutaan. Istilah
perasaan tidak lain hanya
ekpresi manusia yang muncul karena keluarnya enzim tertentu. Pelopor
materialisme adalah Lamettrie ( 1709-1751), yang mengatakan bahwa manusia
itu tidak berbeda dengan binatang. Keberadaan manusia adalah jasmaninya.
Hidup (gerak) tidak akan terjadi kalau tidak ada jasmani.
Dalam hal yang menyangkut kebutuhan manusia, materialisme yang
ekstrem berpendapat bahwa semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi melalui
pemenuhan kebutuhan materi. Kebuituhan manusia untuk hidup bermasyarakat
dengan baik, untuk mewujudkan manusia yang jujur, disiplin, rajin, dan
memiliki nilai-nilai moral yang lain, harus melalui pemenuhan kebutuhan
materi.
c. Idialisme
Idealisme berpendirian bahwa kenyataan itu bersifat kerohanian. Alam
semesta ini spiritual (idea). Alam fisik ini tergantung dari jiwa universal
(Tuhan). Jadi alam ini merupakan ekpresi Tuhan. Menurut aliran ini jiwa itu
mempunyai tempat yang utama dalam susunan alam semesta ini. Dunia yang
sebenarnya berbeda dengan apa yang nampak oleh indra menusia.
Dunia beserta bagiannya harus dipandang sebagai suatu sistem. Dunia
merupakan totalitas dan bersifat spiritual. Manusia adalah makhluk yang
memiliki badan dan jiwa. Badan dan jiwa tidak merupakan kesatuan. Jiwa ada
lebih dahulu dari pada badan manusia. Hakekat manusia, sifat asasi manusia
adalah jiwanya, yakni mind. Mind ini sesungguhnya suatu entity, suatu wujud,
yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai pendorong dan penggerak
semua tingkah laku manusia. Aliran idealisme ini sudah dirintis oleh filsof
besar Plato yang mengatakan bahwa realitas atau kenyataan atau kebenaran
yang sungguh-sungguh benar adalah suatu yang disebut idea, bukan seperti
yang dapat dilihat dengan indra manusia, idea ada pada jiwa manusia atau
pikiran manusia, bersifat abstrak, universal dan abadi. Abstrak bukan berarti
tidak ada, tetapi ada, hanya tidak dapat ditangkap oleh indra manusia. Yang
ditangkap indra manusia itu justru yang semu, bukan realita.
Menurut Plato badan manusia selalu diliputi nafsu yang mengotori jiwa.
Dengan jiwa yang kotor, akan tidak dapat mengetahui secara mutlak ide
kebijaksanaan. Untuk mengetahui kebijaksanaan jiwa harus lepas dari penjara
14

badan. Untuk dapat lepas dari badan yang kotor, jiwa harus membersihkan diri
dengan berperilaku yang baik.
d. Realisme
Ini merupakan aliran filsafat yang timbul pada jaman modern dan
sering disebut seagai anak dari naturalisme. Aliran ini berpandangan banyak
obyek atau dunia luar itu adalah nyata pada sendirinya kenyataan tidak
tergantung dari jiwa yang mengetahi, tetapi hasil dari pertemuan dengan
obyeknya. Alam itu dunia materi dan merupakan obyek pengetahuan. Semua
yang rokhani itu tidak ada. Rokhani itu hanya bentuk atau fungsi dari materi.
Alam itu seperti mesin, demikian pula manusia merupakan benda alam dan
juga produk dari alam. Tokoh realisme antara lain Aristoteles
e. Pragmatisme
Aliran ini memandang bahwa sesuatu itu tidak dapat dirumuskan
sesuatu itu mutlak/kekal tetapi harus dirumuskan bahwa sesuatu itu dalam
pandangan yang relatip/tidak mutlak. Tentang realita itu sebagi suatu proses
dalam waktu, yang berarti orang yang mengetahui mempunyai peranan untuk
menciptakan atau mengembangkan hal – hal yang diketahui. Ini berarti bahwa
tindakan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan tersebut dapat
menjadi penentu untuk mengembangkan pengetahuan itu pula.
Filsafat berusaha untuk mengadakan penyelidikan mengenai hakekat
dari segala sesuatu. Hal ini berarti bahwa filsafat berusaha mempelajari mana
yang paling utama dari segala sesuatu itu. Tokoh pragmatisme adalah William
James (1842 – 1910) yang berpendapat bahwa keputusan atau pengertian itu
benar jika dalam praktek dapat digunakan.

5. PERANAN DAN FUNGSI FILSAFAT PENDIDIKAN


a) Peranan Filsafat Pendidikan
Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang teleologis
(bertujuan). Tujuan proses perkembangan itu secara alamiah ialah
kedewasaan, kematangan. Sebab potensi manusia yang paling alamiah
ialah bertumbuh menuju ketingkat kedewasaan, kematangan.
Apakah makna kedewasaan, kematangan di atas bersifat biologis-
jasmaniah, atau rokhaniah (pikir, rasa dan karsa); ataukah secara moral
dalam arti bertanggung jawab, sadar-normatif. Ataukah semuanya itu.
Persoalan ini sudah menyangkut scope dan pengertian tujuan pendidikan
yang harus didasarkan pula atas sistem nilai dan asas-asas normatif
15

suatu kebudayaan. Dengan demikian masalah tersebut sudah merupakan


bidang filsafat pendidikan.
Manusia kemudian melihat kenyataan, bahwa tidak semua manusia
berkembang sebagaimana diharapkan. Lahirlah di dalam pemikiran
manusia problem-problem tentang kemungkinan-kemungkinan
perkembangan potensi manusia itu. Apakah yang menentukan potensi yang
kodrati, faktor-faktor alam sekitar, faktor-luar, khususnya pendidikan.
Sesungguhnya adanya aktivitas dan lembaga-lembaga pendidikan
merupakan jawaban manusia atas problema itu. Karena umat manusia
berkesimpulan, dan yakin bahwa pendidikan itu mungkin dan mampu
mewujudkan dan mengaktualisasikan potensi manusia, maka pendidikan itu
diselenggarakan.
Timbulnya problem dan pikiran pemecahannya itu adalah bidang
pemikiran filsafat – dalam hal ini filsafat pendidikan. Ini berarti pendidikan
adalah pelaksanaan daripada ide-ide filsafat. Dengan kata lain ide filsafat
yang memberikan asas kepastian bagi nilai dan peranan pendidikan bagi
pembinaan manusia, telah melahirkan ilmu pendidikan, lembaga
pendidikan dan aktivitas penyelenggara pendidikan. Jadi peranan filsafat
pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan. Dalam
bentuknya yang lebih terperinci kemudian, filsafat pendidikan menjadi
jiwa dan pedoman asasi pendidikan.

b) Ide - Ide Filsafat Pendidikan yang Memberikan Asas Kepastian Bagi


Nilai dan Peranan Pendidikan
Sekedar tinjauan sejarah ide - ide filsafat pendidikan itu, antara lain
tersimpul di dalam pandangan :
1) Teori (Hukum) Empirisme
Ajaran filsafat empirisme yang dipelopori oleh John Locke (1632-
1704) mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor-
faktor lingkungan, terutama pendidikan. John Locke berkesimpulan
bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah
yang “menulisi” kertas putih itu. Teori ini terkenal dengan teori Tabula-
rasa atau teori Empirisme. Bagi John Locke faktor pengalaman yang
berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang.
Karena lingkungan itu relative dapat diatur dan dikuasai manusia, maka
teori ini besifat optimis dengan tiap tiap perkembangan pribadi.
2) Teori (Hukum) Nativisme
16

Ajaran filsafat Nativisme yang dapat digolongkan filsafat Idealisme


berkesimpulan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh
hereditas, faktor dalam yang bersifat kodrati. Tokoh Nativisme ini,
Arthur Schopenhauer (1788-1860) menganggap factor pembawaan
yang bersifat kodrat dari kelahiran, yang tak dapat diubah oleh
pengaruh alam sekitar atau pendidikan itulah kepribadian manusia.
Potensi-potensi hereditas itulah pribadi seseorang, bukan hasil
pendidikan. Tanpa potensi-potensi hereditas yang baik, seseorang tak
mungkin mencapai taraf yang dikehendaki, meskipun dididik dengan
maksimal. Seorang anak yang potensi hereditasnya rendah, akan tetap
rendah, meskipun ia sudah dewasa dan telah dididik. Pendidikan tidak
merubah manusia, karena potensi itu bersifat kodrati. Ajaran
Nativisme ini dapat dianggap aliran yang pesimistis, karena menerima
kepribadian sebagaimana adanya, tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai
pendidikan untuk merubah kepribadian.
3) Teori (Hukum) Konvergensi
Bagaimanapun kuatnya alasan kedua aliran pandangan di atas,
namun keduanya kurang realistis. Suatu kenyataan, bahwa potensi
hereditas yang baik saja, tanpa pengaruh lingkungan (pendidikan) yang
positif tidak akan membina kepribadian yang ideal. Sebaliknya,
meskipun lingkungan (pendidikan) yang positif dan maksimal, tidak
akan menghasilkan kepribadian ideal, tanpa potensi hereditas yang
baik. Oleh karena itu, perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil
proses kerjasama kedua factor, baik internal (potensi hereditas) maupun
faktor eksternal (lingkungan pendidikan). Tiap pribadi adalah hasil
proses convergensi faktor-faktor internal dan eksternal. Teori ini
dikemukakan oleh Wiliam Stern (1871-1938) dan dikenal sebagai teori
Convergensi.
Ketiga teori dasar di atas dikenal sebagai asas-asas filsafat
pendidikan aliran Empirisme, Idealisme, dan Realisme. Masing-masing
mempunyai penganut hingga sekarang dengan segala variasinya
sejalan dengan perkembangan ilmu jiwa, ilmu pendidikan dan filsafat.
Konsekwensi pandangan Nativisme, sepintas lalu mengabaikan
peranan pendidikan. Tetapi sebenarnya, sebagai aliran yang
mendasarkan perkembangan pribadi atas potensi-hereditas, maka
17

pendidikan dipusatkan pada usaha merealisasi potensi itu. Meskipun


Nativisme ini termasuk aliran Idealisme, namun Idealisme mempunyai
asas dan teori pendidikan yang bermacam-macam variasinya, misalnya
dari Plato, Kant, Hegel, Descartes, Spinoza, Libniz, Horne, dan
sebagainya.
Aliran yang secara nyata mengutamakan peranan vital
pendidikan ialah Empirisme, termasuk Progressivisme sebagai
Empirisme radikal. Hanya pendidikan khususnya, dan lingkungan yang
baik yang mampu membina pribadi ideal. Demikian pula aliran
Realisme, teori Convergensi misalnya, yang berpendirian bahwa
bagaimanapun baiknya potensi hereditas, masih harus dilengkapi dengan
lingkungan dan pendidikan yang baik untuk membina pribadi ideal.
Adanya lembaga-lembaga dan penyelenggaraan pendidikan bersumber
atas asas filsafat pendidikan. Jadi inilah peranan filsafat pendidikan yang
pokok. Sebab pada hakekatnya pendidikan dan filsafat pendidikan
adalah tak terpisahkan. Filsafat adalah menetapkan ide-ide dan
idealisme, dan pendidikan merupakan usaha merealisasi ide-ide menjadi
kenyataan, tindakan, tingkah laku, bahkan membina kepribadian. Hal ini
sesuai pula dengan pikiran yang tersimpul dalam kata Brauner dan Burn
sebagai berikut :
“ Pendidikan dan filsafat tak terpisahkan sebab tujuan pendidikan
adalah juga tujuan filsafat - kebijaksanaan; dan jalan yang ditempuh
filsafat adalah juga jalan yang dilalui pendidikan - bertanya dan
menyelidiki; yang dapat membimbing kearah kebijaksanaan “.
Ide demikian itu dikemukakan juga oleh Kilpatrick dalam buku “
Philosophy of Education ” sebagai berikut :
“ Berfilsafat dan mendidik adalah dua phase dalam satu usaha,
berfilsafat ialah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan
cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik ialah usaha merealisasi
nilai-nilai dan cita-cita itu di dalam kehidupan dalam kepribadian
manusia. Mendidik ialah mewujudkan nilai-nilai yang dapat
disumbangkan filsafat, dimulai dengan generasi muda, untuk
membimbing rakyat membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka,
18

dan dengan cara ini demi menemukan cita-cita tertinggi suatu filsafat
dan melembagakannya di dalam kehidupan mereka “.
Dari segi lain fungsi filsafat pendidikan dikemukakan oleh Kilpatric
sebagai berikut :
Filsafat pendidikan adalah menyelidiki perbandingan pengaruh-
pengaruh (i) dari filsafat-filsafat yang bersaingan di dalam proses
kehidupan dan (ii) dari kemungkinan proses-proses pendidikan dan
pembinaan watak keduanya mengusahakan menemukan pengelolaan
pendidikan yang dikehendaki untuk membina watak yang paling
konstruktif bagi kaum muda dan tua.
Secara lebih khusus dan agak detail peranan filsafat pendidikan
diuraikan oleh Prof. Brauner dan Prof. Burns dalam buku “ Problems
in Education and Philosophy, ” sebagai berikut :
Suatu komponen (sebagai) aktivitas (ber) filsafat ialah untuk
membantu tujuan-tujuan pedagogis yang dapat kita tetapkan meliputi
empat aspek yang saling berhubungan yaitu : fungsi analisa, evaluasi,
spekulatif dan integratif.
Hampir sependapat dengan uraian di atas, Prof. Brameld juga
berpendapat tentang fungsi filsafat pendidikan sebagai berikut :
Kita harus membawa filsafat guna mengatasi persoalan-persoalan
pendidikan secara efisien, jelas dan sistematis sedapat mungkin. Marilah
kita pertimbangkan dan perhatikan beberapa sifat yang lebih elementer
dari ilmu yang amat berpengaruh ini. Bertolak dari definisi dan
penjelasan kita tentang filsafat itulah kita akan pergunakan filsafat itu.

c) Persoalan Filosofis dalam Pendidikan


Sesungguhnya tak ada satu konsepsi dan ide pendidikan tanpa
dilatarbelakangi ide filsafat. Apakah yang hendak dicapai oleh
pendidikan, bagaimana konsepsi pelaksanaan pendidikan amat tergantung
kepada latarbelakang nilai-nilai filsafat. Apabila kita mencoba mengerti
persoalan-persoalan pendidikan seperti akan nyata di bawah ini.
Mengertilah kita bahwa analisa persoalan itu tak mungkin semata-mata
19

melalui analisa ilmiah. Sebab masalahnya memang masalah filosofis,


misalnya meliputi :
a. Apakah pendidikan itu bermanfaat, atau mungkin, guna membina
kepribadian manusia, atau tidak. Apakah potensi-potensi yang
menentukan kepribadian ataukah faktor-faktor luas (alam sekitar dan
pendidikan). Mengapa anak yang potensi hereditasnya relatif baik,
tanpa pendidikan dan lingkungan yang baik tidak mencapai
perkembangan kepribadian sebagaimana diharapkan. Sebaliknya,
mengapa seorang anak yang abnormal, potensi-hereditasnya relative
rendah, meskipun dididik dengan positif dan lingkungan yang baik,
tak akan berkembang normal.
b. Apakah tujuan pendidikan itu sesungguhnya ? apakah pendidikan itu
guna atau individu itu sendiri atau untuk kepentingan sosial, apakah
pendidikan itu dipusatkan bagi pembinaan manusia pribadi, ataukah
untuk masyarakatnya. Apakah pembinaan pribadi manusia itu demi
hidup yang riel dalam masyarakat dan dunia ini, ataukah bagi
kehidupan akhirat yang kekal.
c. Apakah hakekat masyarakat itu, dan bagaimana kedudukan individu
di dalam masyarakat; apakah pribadi itu independent ataukah
dependent di dalam masyarakat. Apakah hakekat pribadi manusia itu,
manakah yang utama yang sesungguhnya baik untuk dididikkan bagi
manusia, apakah ilmu , intelek akalnya , ataukah kemauan, ataukah
perasaan (akal, karsa, rasa); apakah pendidikan jasmani ataukah
rokhani dan moral yang lebih utama. Ataukah pendidikan kecakapan-
kecapakan praktis (skill), jasmani yang sehat, ataukah semuanya.
d. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ideal, apakah isi pendidikan
yang diutamakan yang relevant dengan pembinaan kepribadian
sekaligus cakap memangku suatu jabatan di dalam masyarakat.
Apakah curriculum yang luas dengan konsekwensi kurang intensif
ataukah dengan curriculum yang terbatas tetapi intensif
penguasaannya sehingga praktis.
5. Bagaimana asas penyelenggaraan pendidikan yang baik, sentralisasi
atau desentralisasi dan otonomi; oleh negara ataukah oleh swasta.
Apakah dengan leadership yang instruktif ataukah secara demokratis.
Bagaimana metode pendidikan yang efektif membina kepribadian baik
20

teoritis-ilmiah, kepemimpinan, maupun moral dan aspek-aspek sosial


dan skill yang praktis.
Tiap-tiap pendidik, seyogyanya mengerti bagaimana jawaban-
jawaban yang tepat atas problem di atas, sehingga dalam
melaksanakan fungsinya lebih mantap. Mereka yang memilih profesi
keguruan sepantasnya mengerti latar belakang kebijaksanaan stretagi
dan politik pendidikan pada umumnya, khususnya pelaksanaan system
pendidikan nasional yang menjadi tangung jawabnya. Asas kesadaran
kebenaran-kebenaran dari jawaban problema filosofis itu dari tiap-
tiap pendidik merupakan prinsip fundamental untuk keberhasilan tugas
kependidikan.
Dengan mengerti asas-asas dan nilai filosofis itu dan mendasarkan
segenap pelaksanaan pendidikan pada asas – asas tersebut, maka filsafat
pendidikan menjadi norma pendidikan. Filsafat pendidikan dengan
demikian merupakan asas-normatif di dalam pendidikan, yaitu
norma-norma filsafat yang sifatnya khusus berlaku di dalam dunia
pendidikan.
Sebagai akhir uraian tentang peranan filsafat pendidikan Professor
Brubacher dalam buku “Modern Philosophies of Education”
mengatakan sebagai berikut :
“ Filsafat pendidikan dan ilmu pendidikan dapat dipandang sebagai
bidang-bidang ilmu yang saling melengkapi. Atau lebih tepat dikatakan
sebagai aspek-aspek yang berbeda dari satu bidang ilmu yaitu bidang
inquiry (penyelidikan). Pendidik akan memerlukan keduanya”.
d) Fungsi Filsafat Pendidikan
Brubacher menulis tentang fungsi-fungsi filsafat pendidikan secara
terperinci sebagai berikut :
1. Fungsi Spekulatif
Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan
pendidikan dan mencoba merumuskannya dalam satu gambaran pokok
sebagai pelengkap bagi data-data yang telah ada dari segi ilmiah.
Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan
pendidikan dan antar hubungannya dengan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi pendidikan.
2. Fungsi Normatif
Sebagai penentu arah, pedoman untuk apa pendidikan itu. Asas ini
tersimpul dalam tujuan pendidikan, jenis masyarakat apa yang ideal
21

yang akan kita bina. Khususnya norma moral yang bagaimana


sebaiknya yang manusia cita-citakan. Bagaimana filsafat pendidikan
memberikan norma dan pertimbangan bagi kenyataan-kenyataan
normatif dan kenyataan-kenyataan ilmiah yang pada akhirnya
membentuk kebudayaan.
3. Fungsi Kritik
Terutama untuk memberi dasar bagi pengertian kritis-rasional dalam
pertimbangan dan menafsirkan data-data ilmiah. Misalnya, data
pengukuran analisa evaluasi baik kepribadian maupun achievement
(prestasi).
Bagaimana menetapkan klasifikasi prestasi itu secara tepat dengan data-
data obyektif (angka-angka, statistik).
Juga untuk menetapkan asumsi atau hipotesa yang lebih reasonable.
Filsafat harus kompeten, mengatasi kelemahan-kelemahan yang
ditemukan oleh bidang ilmiah, melengkapinya dengan data dan
argumentasi yang tak didapatkan dari data ilmiah.
4. Fungsi teori bagi praktek
Semua ide, konsepsi, analisa dan kesimpulan-kesimpulan filsafat
pendidikan adalah berfungsi teori. Dan teori ini adalah dasar bagi
pelaksanaan/praktek pendidikan. Filsafat memberikan prinsip-prinsip
umum bagi suatu praktek.
C. ORIENTASI SCOPE DAN PERANAN PENDIDIKAN
Peranan pendidikan itu dalam kehidupan manusia, lebih-lebih dalam zaman
modern ini diakui sebagai suatu kekuatan yang menentukan prestasi dan produktivitas
seseorang. Tidak ada satu fungsi dan jabatan ataupun di dalam masyarakat tanpa
melalui proses pendidikan. Seluruh aspek kehidupan memerlukan proses pendidikan
dalam arti demikian, bahwa pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam dan oleh
lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah, universitas), akan tetapi scope
pendidikan lebih daripada hanya pendidikan formal itu. Karena di dalam masyarakat
keseluruhan terjadi pula proses pendidikan, dimana antar hubungan dan interaksi
sosial mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia. Proses pendidikan yang
berlangsung di dalam kehidupan sosial yang disebut pendidikan informal ini,
bahkan berlangsung sepanjang kehidupan manusia.
Meskipun pengaruh pendidikan informal ini tak terukur dalam perkembangan
pribadi, tapi tetap diakui adanya. Secara sederhana misalnya, orang yang tak pernah
mengalami pendidikan formal, mereka yang buta huruf, namun mereka tetap dapat
hidup dan melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang sederhana. Alam dan lingkungan
22

sosial serta kondisi dan kebutuhan hidup telah mendidik mereka. Akan tetapi, yang
paling diharapkan ialah pendidikan formal yang relatif baik, dilengkapi dengan
suasana pendidikan informal yang relatif baik pula. Ini ternyata usaha pemerintah,
pendidik dan para orang tua untuk membina masyarakat keseluruhan sebagai satu
kehidupan yang sehat lahir dan batin. Sebab, krisis apapun yang terjadi di dalam
masyarakat akan berpengaruh negatif bagi manusia, terutama anak-anak, generasi
muda.
Scope dan peranan pendidikan dalam arti luas seperti dimaksud di atas,
dilukiskan oleh Prof. Rickey dalam buku “ Planning for Teaching, an Introduction to
Education” antara lain sebagai berikut :
Istilah “ pendidikan” berkaitan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan
dan perbaikan kehidupan suatu masyaraat terutama membawa warga
masyarakat yang baru (generasi muda) untuk menuanaikan kewajiban dan
tanggungjawabnya di dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses
yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja.
Pendidikan adalah suatu aktivitas sosial yang essensial yang memungkinkan
masyarakat tetap ada dan berkembang. Di dalam masyarakat yang komplek
dan modern fungsi pendidikan ini mengalami proses sosialisasi dan
melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses
pendidikan informal di luar sekolah.
Uraian ringkas di atas memberikan orientasi bagi kita bahwa pendidikan-
formal selalu berhubungan dengan pendidikan informal. Paling tidak hubungan
tersebut adalah hubungan yang wajar, yakni bahwa pendidikan di sekolah adalah
untuk mempersiapkan tenaga-tenaga yang mampu memangku suatu fungsi sosial di
dalam masyarakat.
Hubungan itu dapat pula lebih ideal, yakni pendidikan formal harus mampu
meningkatkan dan memajukan masyarakat baik dalam arti ketrampilan, berpikir,
maupun mental.
1. Ruang Lingkup Pendidikan
Untuk mengerti ruang-ruang lingkup dan peranan pendidikan ada baiknya
dikemukakan beberapa pokok pikiran yang ditulis oleh Prof. Lodge dalam buku
“ Philosophy of Education ” antara lain sebagai berikut :
Perkataan “ Pendidikan ” kadang-kadang dipakai dalam pengertian yang lebih
luas, kadang-kadang dalam arti yang lebih sempit. Dalam pengertian yang
luas, semua pengalaman dapat dikatakan sebagai pendidikan.
23

..…. Seorang anak mendidik orangtuanya, seperti pula halnya seorang murid
mendidik gurunya, bahkan seekor anjing mendidik tuannya. Segala sesuatu
yang kita katakan, pikirkan atau kerjakan mendidik kita, tak berbeda daripada
apa yang dikatakan atau dilakukan sesuatu kepada kita, baik dari benda-benda
hidup maupun benda-benda mati termasuk mahluk infrahuman (kedudukannya
dibawah derajat manusia) contohnya jam mendidik manusia untuk disiplin.
Dalam pengertian yang lebih luas ini, hidup adalah pendidikan, dan
pendidikan adalah hidup.

Selanjutnya dalam pengertian yang lebih sempit Prof. Lodge menulis antara
lain :
Dalam pengertian yang lebih sempit, “ Pendidikan ” dibatasi pada fungsi
tertentu di dalam masyarakat yang terdiri atas penyerahan adat istiadat
(tradisi) dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat
generasi berikutnya, dan demikian seterusnya.
…… dalam pengertian yang lebih sempit ini, pendidikan berarti, dalam
prateknya, identik dengan sekolah, “ yaitu pengajaran formal dalam kondisi-
kondisi yang diatur.”

2. Perbedaan Pendidikan dan Pengajaran


Disamping pembedaan arti pendidikan seperti diuraikan di atas, ada pula ahli-
ahli yang membedakan pengertian pendidikan (education) dengan pengajaran
(instruction, teaching). Istilah yang pertama dianggap sebagai lebih luas, dan
meliputi pengajaran. Sebaliknya menurut mereka ini, pengajaran hanyalah sebagian
saja daripada pengertian pendidikan. Dengan perkataan lain, scope pengertian
pendidikan, lebih luas daripada pengertian pengajaran.
Dasar pikiran ini terutama bersumber pada anggapan bahwa mendidik itu
terutama membina aspek-aspek kepribadian ( sikap, mental, moral-budipekerti,
kesadaran sosial, nasionalisme, dan sebagainya). Sedangkan mengajar, terutama
memberikan ilmu tertentu kepada anak didik. Dengan demikian nampaknya nilai
pendidikan berbeda dengan nilai pengajaran.
3. Letak Perbedaan Nilai Pendidikan
Bila dianalisa lebih lanjut, sebenarnya tiap-tiap aktivitas seseorang untuk
mendidik, tentulah ada wujud atau materi yang dididikkan. Materi yang dididikkan
ini dapat dianggap sebagai ilmu (pengetahuan). Sebaliknya setiap ilmu, sebagai
24

bahan (materi) mengandung nilai didik. Yang menjadi pertanyaan ialah seberapa
jauh kedua materi-ilmu itu-jika benar-benar berbeda-dapat membina aspek
kepribadian anak didik. Pada hakekatnya, letak perbedaan nilai pendidikan atau efek
pedagogis suatu materi-ilmu, tergantung pada tujuan yang hendak dicapai apakah
proses ilmu praktisnya (nilai ilmiahnya) atau aspek-aspek kepribadiannnya yang
hendak dipandang sebagai tujuan.

4. Nilai Formal, Material dan Praktis dalam Materi Ilmu


Dalam setiap materi ilmu yang diajarkan, selalu mengandung nilai-nilai baik
nilai formal, nilai material maupun nilai praktis. Nilai formal ialah nilai-nilai yang
membina atau membentuk kepribadian. Nilai material ialah pengetahuan atau
penguasaan atas materi ilmu itu sendiri. Dan nilai praktis ialah nilai-guna atau aspek
praktis daripada pengetahuan yang dipelajari itu didalam kehidupan, baik bagi diri
sendiri maupun bagi orang lain.
Dengan demikian, tiap ilmu mengandung ketiga nilai tertentu. Hanya tiap-tiap
ilmu itu , ada yang berat (dominan) salah satu dari ketiga nilai-nilai tersebut. Dari
uraian ini , maka nilai pedagogis suatu ilmu ada di dalam ilmu itu sendiri. Dan bukan
di dalam proses mendidik atau mengajar. Analisa ini barangkali sejalan dengan
pepatah kita : seperti padi, makin berisi makin runduk. Demikian pula seorang yang
banyak dan dalam ilmunya, akan makin bijaksana.

5. Perbedaan Mendidik dan Mengajar


Pada pihak lain, mereka menganggap proses mendidik berbeda dengan
mengajar suatu ilmu yang akan memberi pengaruh tertentu bagi anak didik. Cara-
cara yang lebih pedagogis (bersifat mendidik) jauh lebih baik, karena itu ideal,
dibandingkan dengan cara-cara yang hanya bersifat mengajar (instruction).
Metode mengajar ini meskipun ada teorinya (metodik, didaktik, metodologi) namun
cenderung merupakan “ seni “ . Itu sebabnya ada yang menyatakan “ teaching is art ”
seperti yang dikatakan oleh Gilbert Highet.
Ini berarti menjadi pendidik (educator, pedagog) lebih banyak ditentukan oleh
sifat bawaan, meskipun ilmu / teori itu tetap penting sebagai dasar. Karena suatu
praktek yang baik tentu bersumber dari teori yang baik, meskipun teori yang baik
(dikuasai) belum tentu melahirkan praktek yang baik.
Bagaimana kesimpulan kita tentang pembedaan teknis mungkin ada juga yang
menganggap perbedaan prinsipil kedua istilah itu. Bagi kita , tindakan yang bijaksana
adalah tujuan daripada pendidikan, pengajaran, tentang suatu ilmu itu diarahkan
untuk membina kepribadian anak agar mampu menunaikan kewajiban hidupnya baik
25

bagi pribadi, sosial mampu bagi nilai-nilai yang berlaku (moral). Dengan demikian
pendidikan atau pengajaran itu sebagai proses akan ditentukan oleh tujuan yang
hendak dicapai.
Dari pengertian pendidikan di atas, sekurang-kurangnya tiap pribadi manusia
terlibat dengan pengaruh pendidikan dalam arti yang lebih luas. Sebab, tiap manusia
kenyataannya sekaligus adalah warga masyarakat, dan pendidikan dalam arti luas itu
berlangsung di dalam dan oleh proses masyarakat. Bahkan menurut Lodge, “ hidup
adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup. ” dengan demikian scope
pendidikan meliputi seluruh umat manusia, sepanjang sejarah adanya manusia,
sepanjang hidup manusia. Jadi pendidikan informal ini tak terbatas, seperti pula
pengaruhnya tak terukur.

BAB II
PANDANGAN FILSAFAT TENTANG HAKEKAT MANUSIA

Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus sebagai obyek pendidikan. Manusia


dewasa yang berkebudayaan adalah subyek pendidikan dalam arti yang bertanggungjawab
menyelenggarakan pendidikan. Mereka berkewajiban secara moral atas perkembangan
pribadi anak-anak mereka, generasi penerus mereka. Manusia dewasa yang berkebudayaan,
terutama yang beprofesi keguruan (pendidikan) bertanggungjawab formal untuk
melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki
masyarakat bangsa itu.

A. Pandangan Ilmu Pengetahuan Tentang Manusia


Beberapa ahli ilmu jiwa menganalisa tingkah laku untuk mengerti kepribadian
manusia. Sedemikian luas analisa itu, sehingga melahirkan cabang ilmu jiwa yang disebut
jiwa kepribadian. Bukanlah maksud uraian ini untuk menguraikan pandangan-pandangan
tersebut dalam bagian ini. Akan tetapi, sekedar perbandingan bagaimana “ kesepakatan”
kesimpulan ilmiah dan filsafat tentang hakekat manusia, disini diuraikan analisa Sigmund
Freud tentang kepribadian.
1. Pandangan Freud tentang struktur jiwa (kepribadian) merupakan kesimpulan ilmu
pengetahuan (psikologi dalam) yang ada persamaannya dengan kesimpulan filsafat
manusia (anthropologia – metafisika ). Pokok-pokok pandangan Freud itu adalah
26

bahwa struktur jiwa merupakan satu integritas tiga lapisan, yang secara teoritis
analitis dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Bagian yang disebut das Es atau bagian dasar (the Id) . Bagian das Es ialah
bagian a-sadar yang amat berperan di dalam tingakh laku manusia. Sesuai
dengan letaknya yang paling dasar, das Es ini merupakan sumber nafsu
kehidupan , yakni hasrat biologis (libido-sexualis). Das Es ini terisolasi dari luar
dalam arti ia mementingkan diri sendiri (egocentris) yang menuntut pemuasan
tuntutan-tuntutan nafsu biologis berupa kesenangan, kepuasan (lust-principle).
Semua tuntutan das Es semata-mata demi kepuasan, tanpa mempertimbangkan
nilai-nilai sosial yang berlaku, tanpa pertimbangan baik dan buruk. Dorongan-
dorongan das Es ini sedemikian kuat dan tak terkendalikan. Karena itu jika
hasrat-hasrat itu tak terpenuhi, pemuasan belum tercapai, maka akan terjadi
ketegangan-ketegangan, konflik-konflik di dalam pribadi seseorang. Akibat ini
dapat berupa macam-macam bentuk tingkah laku yang menyimpang, dan dapat
pula berupa psychosomatic.
Konflik-konflik psikis itu terjadi karena jiwa manusia terdiri pula atas bagian-
bagian lain yang lebih sadar nilai, lebih sosial dibandingkan dengan das Es
yang a sosial dan amoral. Didorong oleh prinsip pemuasan nafsu-nafsu dasar
maka das Es ini merupakan prototype watak individualistis manusia, egoistis, a-
sosial bahkan amoral. Dan jika manusia semata-mata menuruti dorongan das Es
yang demikian, maka martabat manusia tiada berbeda dengan makhluk
alamiah yang lain. Bagian jiwa yang dinamakan das Es ini dapat dianggap
sebagai aspek individual manusia.
b. Bagian jiwa yang disebut das ich (= aku, ego). Bagian ini terletak diantara das
es dan das uber ich, jadi ditengah-tengah. Letaknya ini paralel pula dengan
sifatnya, yakni menjadi penengah antara kepentingan das es dan tujuan-tujuan
das uber ich. Dengan perkataan lain, das ich berfungsi sebagai badan sensor
antara kehendak - kehendak das es yang lust-principle dengan tujuan-tujuan das
uber ich yang normatif. Ini berarti pula das ich ini bersifat realistis dan
obyektif. Dengan adanya fungsi das ich yang realistis antara kepentingan das es
yang berprinsip pemuasan dan tujuan-tujuan das uber ich yang ethis itu, maka
pribadi seseorang akan seimbang, harmonis. Proses pertimbangan dan
keputusan das ich semata-mata demi kepentingan pribadi, terlepas daripada
prinsip-prinsip kesenangan das es dan prinsip normatif das uber ich. Akan tetapi,
fungsi das ich mampu menjadi penengah, menuju keputusan-keputusan yang
27

kompromis antara dua pola kepentingan yang bertentangan itu. Sesuai dengan
letaknya, das ich ini dapat mengerti dunia a-sadar yang a-sosial dan a-moral
daripada das es disamping juga mengerti hasrat luhur das uber ich yang ethis
dan sadar norma. Kesadaran aku yang menjadi watak das ich ini lebih bersifat
sosial bila dibandingkan dengan das es yang egoistis; tetapi das ich ini belum
ethis bila dibandingkan dengan das uber ich. Karena itu bagian jiwa yang disebut
das ich ini dapat disamakan sebagai aspek sosial kepribadian manusia.
c. Bagian atas atau das Uber Ich (superego)
Bagian ini merupaan bagian jiwa yang paling tinggi (atas) letaknya. Demikian
pula sifatnya, paling sadar norma, paling luhur. Bagian ini ialah yang lazim
disamakan dengan budinurani (consciencia, gewesen). Bagian jiwa yang disebut
superego ini tidak hanya menyadari realita sosial, melainkan juga mengerti dan
mendukung norma-norma sosial. Yakni nilai-nilai yang berlaku di dalam antar
hubungan dan antar aksi dimana setiap pribadi menjadi warga suatu masyarakat.
Setiap motif, cita-cita dan tindakan das uber ich selalu didasarkan atas asas-
asas normative itu. Superego atau das uber ich ini selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai, baik nilai etika, maupun nilai-nilai religious. Ia bersikap loyal kepada
nilai-nilai , bahkan ia membuka diri akan nilai-nilai dalam arti telah menjadi
wataknya untuk sadar nilai. Dengan demikian superego adalah bagian dari jiwa
yang paling sadar terhadap makna kebudayaan, membudaya dalam arti erutama
sadar nilai-nilai moral. Watak superego ialah susila. Dan jiwa arti susila atau
ethis itu merupakan terminologis ilmiah dan filosofis, maka dapat juga
ditafsirkan bahwa superego itu sadar nilai-nilai religious dalam arti keagamaan.
Dengan demikian adalah sudah watak kodrati atau secara apriori kepribadian
mansuia itu bersifat luhur (suci, ethis, religious). Inilah aspek asusila
kepribadian manusia ditinjau dari struktur kejiwaannya.
Berdasarkan analisis atas struktur jiwa manusia atau kepribadian itu nyatalah
bahwa tingkahlaku manusia bersumber dan ditentukan oleh ketiga bagian
tersebut. Setiap motif, cita-cita dan tingkahlaku manusia bersumber atas
dorongan-dorongan asasi ketiga bagian jiwa itu. Oleh sebabitu pengertian kita,
istimewa pendidikan, wajib diperdalam untuk lebih memahami tingkah laku atau
watak seseorang.
Secara khusus untuk tujuan-tujuan pendidikan, memahami hakekat manusia,
kepribadian, berarti mengerti kepentingan-kepentingan individu, minat cita-cita,
potensi dan identitas pribadi. Pengertian itu merupakan dasar bagai efektifnya
28

pelaksanaan proses pendidikan. Lebih daripada itu merupakan kewajiban pula


untuk menghormati martabat, kepribadian dan keunikan seseorang dalam rangka
self-realisasi.
Penyelidikan atas dasar approach demikian, dapat kita anggap sebagai
pendekatan yang elementer, sebab pusat perhatian dan titik sentral orientasi
ialah atas unsure-unsur yang membentuk manusia. Dalam psikologi modern,
elemen-elemen atau unsure-unsur itu secara keseluruhan jumlahnya akan sangat
berbeda dengan satu totalitas, satu Gestalt, suatu kesatuan. Dengan demikian
asas konstruktif Gestalt daripada unsure-unsur itulah yang lebih utama
dibandingkan dengan unsur-unsur an sich secara tersendiri.

B. Pandangan Ki Hajar Dewantara tentang Trisakti Jiwa


Sudah kita ketahui adanya tiga sifat dalam jiwa pemuda yaitu sifat bergeloranya, sifat
bertentangan (antithesen) dan sifat bercita citanya (terhadap keluhuran dan keindahan atau
kesucian). Kini baiklah kita ketahui adanuya tiga bentuk kekuatan, yang ada dalam jiwa
manusia pada umumnya. Tiga kekuatan atai “tri-sakti” jiwa itu ialah: “fikiran, rasa dan
kemauan” pendapat ilmu jiwa atau psychology ini sungguh sesuai dengan yang terkenal
pula dalam ilmu jiwa ketimuran, yang menyebutkan adanya : cipta-rasa-karsa. Apakah itu?
“Cipta” adalah daya berfikir, yang bertugas mencahari kebenaran sesuatu dengan jalan
membanding banding barang atau keadaan yang satu dengan yang lain, hingga dapat
mengetahui bedanya dan samanya. Pula dapat memperoleh ketentuan tentang mana yang
benar dan mana yang salah. Dalam proses kejiwaan ini diperlukan adanya pengalaman
pengalaman tentang kebenaran dan kesalahan yang menjadi obyek-obyek perbandingan
pula. Dapat dimengerti, bahwa pengalaman atau pengetahuan tentang akibat akibat
daripada kebenaran serta kesalahan tadi benar faedahnya guna membuat ketetapan yang
terakhir tentang kebenaran dan kesalahan pada umumnya.
Dalam gerak-geraknya fikiran atau cipta tadi, manusia berkuasa untuk berangan-angan
secara aktif dan subyektifyaitu bertindak menurut keinginannya sendiri. Jadi tidak hanya
menurut saja apa yang dianjurkan, ditekankan atau diperintahkan orang lainsungguhpun
sebuah keadaan, kejadian, atau buah-cipta orang-orang lain biasanya masuk juga dalam
fikirannya, namun semua itu menjadi bahan –bahan atau obyek – obyek perbandingan.
Adapun yang disebut “rasa” adalah gerak-gerik hati kita, yang menyebabkan kita, mau
tidak mau, merasa senang atau susah, sedih atau gembira, malu atau bangga, puas atau
kecewa, berani atau takut marah atau belas kasihan, benci atau cinta, begitu seterusnya.
Disinilah hati kitalah yang mengalami segala perasaan tadi, bukan fikiran kita. Fikiran
tidak mungkin melakukan perasaan itu. Boleh orang mencoba berfikir : “aku tidak mau
29

susah” atau “aku hendak bergembira, sepuluh menit saja”, atau menganjurkan orang yang
sedang sedih dan atau menangis untuk “jangan susah, jangan menangis” atau
menganjurkan kepada kawan kawannya “kawan kawan marilah kita bersedih hati, lima
menit saja” demikian seterusnya. Itu semua tidak mungkin. Dalam hal perasaan kita semata
mata pasif, tahu-tahu kita sudah senang sedih atau gembira., cinta atau benci begitu
seterusnya. Apabila dengan angan-angan atau fikiran (seperti tersebut di muka), kita dapat
memperoleh ketetapan tentang kebenaran atau kesalahan maka dengan kesaktian rasa
dalam jiwa kita , kita dapat memperoleh ketentuan tentang apa yang baik dan apa yang
jelek. Yaitu baik atau jelek bagi kita masing-masing. Kalau dalam soal fikiran kita dapat
melakukan perdebatan dalam kemungkinan kelaknya dalam mencapai ketetapan atau
keputusan bersama maka dalam soal perasaan tidak mungkin kita berdebat-debatan dalam
mencapai kesatuan rasa. Kebenaran atau kesalahan dapat ditetapkan, diperlihatkan, atau di
buktikan. Sebaliknya dalam hal kebaikan dan kejelekan tiap-tiap orang mempunyai
konsepsi atau penerimaan sendiri-sndiri. Kalau kita minum teh yang kental kita boleh
diperdebatkan dan kemudian ditetapkan apakah teh tadi berwarna merah atau kuning tua
(dengan memakai skala warna) akan tetapi teh tadi kurang manis atau terlampau manis, hal
itu kita masing masing mempunyai rasa sendiri-sendiri yang mungkin berlainan. Rasa
jasmani (panca indera) dalam hal ini sama keadaanya dengan rasa batin.
Sekarang tentang adanya kemauan, kesaktian jiwa manusia yang ketiga. Kemauan
atau karsa selalu timbul disamping dan seakan akan sebagai hasil buah fikiran dan
perasaan. Sebenarnya kemauan itu menjadi lanjutan daripada hawa nafsu kodrati yang ada
didalam jiwa manusia namun sudah dipertimbangkan oleh pikiran dan diperhalus oleh
perasaan, hingga tak lagi bersifat “instincten” yang mentah ataupun dorongan dorongan
kasar yang rendah. Kemauan adalah permulaan segala perbuatan dan tindakan yang pasti
dan tertentu daripada manusia yang berbudi. Sebenarnya bersatunya fikiran dan perasaan,
dan kemauan itulah yang merupakan budi manusia. Ketiga tiganya kesaktian tadi adalah
syarat-syarat mutlak untuk mewujudkan manusia susila atau makhluk yang berbudi dan
beradab.
C. Masalah Rohani dan Jasmani
Meskipun pendekatan secara elementer ini bukan tujuan penyelidikan dan
pengertian yang ideal yang hendak kita anut. Namun sebagai bahan perbandingan
untuk memperkaya pemahaman kita atas manusia, ada baiknya kita ikuti uraian
pokok-pokok pikiran masing-masing aliran.
1. Aliran Monisme
30

Monisme adalah aliran yang menganggap bahwa seluruh semesta,


makrokosmos termasuk manusia sebagai mikrokosmos, hanya terdiri atas satu
asas, satu zat. Faham yang menddasarkan wujud realita ini bersumber atau
terbentuk dari satu zat (asas tunggal, monoisme = monisme ) ini dapat
dibedakan pula antara lain :
a. Faham Materialisme
Aliran ini, berpikir amat sederhana. Mereka berpangkal atas realita
sebagaimana adanya. Bahwa segala sesuatu dalam alam ini ialah semua yang
dapat diobservasi, baik wujudnya maupun gerak dan tingkah lakunya.
Berdasarkan kenyataan itu, maka realita semesta ini pastilah sebagaimana
apa yang kita lihat, yaitu semuanya adalah materi, serba zat, serba benda.
Manusia sebagai makhluk alamiah, tiada berbeda dengan alam semesta,
makrokosmos yang materi pula wujudnya. Demikian pula halnya sifat dan
tingkah laku manusia sejalan dengan sifat dan tingkah laku alamiah, yakni
terikat dan menjadi bagian dari hukum alam. Manusia tunduk dan terlibat
dengan hukum alam sebab akibat (kausalitas), hukum obyektif. Artinya
manusia ialah makhluk reaksi, yang pola reaksinya disimpulkan sebagai satu
stimulus response. Manusia ialah satu tingkatan yang lebih sempurna
daripada evolusi alam semesta, sehingga mekanisme tingkah laku manusia
itu (stimulus-response) makin sedemikian efektif. Implikasi asas teori
demikian didalam pendidikan ialah bahwa manusia hanyalah membutuhkan
pengalaman, latihan (dril, training). Demikian pula kebutuhan-
kebutuhanmanusia di dalam pendidikan hanyalah apa yang sesuai dengan
kodrat alamiah manusia itu. Manusia memerlukan latihan untuk
ketrampilan, untuk meningkatkan efisiensi pola stimulus response itu.
Demikian pula proses belajar hanyalah proses conditioning dan
reconditioning. Materialism dalam memandang manusia sebagai makhluk
reaksi, berarti pula tidak mengakui adanya potensi-potensi insiatif dan
kreativitas. Bahkan materialism ini tidak mengakui adanya asas rohaniah
atau jiwa di dalam manusia. Psikologi mereka dinamakan ilmu jiwa tanpa
jiwa yaitu behaviorisme.
Aliran materialisme ini meliputi variasi - variasi pandangan yang
menganggap manusia sebagai unsur materialisme, mekanistis yang
kompleksitasnya terdiri atas aspek - aspek psikologis, neurologis, fisika dan
biokimia. Semua unsur tersebut bekerja di bawah satu sistem “ organisasi ”
31

yang berpusat pada central nervos system, yakni “mind”. Tetapi “ mind ”
disini lebih mendekati makna pusat susunan syaraf yang bersifat neurologis,
dan bukan psikis. Sebagai penutup pandangan materialism ini, kami kutip
uraian Brubacher :
Teori ini tak hanya bersifat materialistis, melainkan juga mekanistis. Belajar
terutama adalah masalah proses menganalisis suatu keseluruhan (totalitas)
menjadi bagian-bagian; dan proses menyusun atau membentuk hubungan
antara stimulus dengan response. Terbentuknya hubungan-hubungan
tersebut, terbinanya kebiasaan-kebiasaan, umumnya semata-mata karena
pengulangan-pengulangan.
b. Faham Idealisme
Termasuk di dalam faham atau aliran monisme yang kedua ini ialah
idealisme, spirirualisme, rasionalisme. Bagi penganut aliran ini maka fungsi
mental ialah apa yang nampak dalam tingkah laku; karena itu jasmani atau
tubuh (materi, zat) merupakan alat jiwa untuk melaksanakan tujuan,
keinginan dan dorongan jiwa (rohani, spirit, rasio) manusia.
Karena itu hakekat manusia adalah suatu kesemestaan yang merupakan asasi
manusia ialah jiwanya, yakni mind. Mind ini sesungguhnya suatu entity, suatu
wujud, yang mampu menyadari dunianya, bahkan seabagai pendorong dan
pengerak semua tingkah laku manusia. Faham idealism ini meliputi variasi -
variasi : rasionalisme, mereka yang memandang mind sebagai satu entity,
juga yang berpendapat bahwa mind itu suatu non-entity. Juga mereka yang
menganut bahwa jiwa itu ialah suatu aktivitas kesadaran. Akhirnya,
termasuk pula mereka yang berpendapat bahwa jiwa ialah “ The power to
understand things in term of the use made of them ” (5:51) artinya
kemampuan untuk mengerti segala sesuatu yang berkenaan dengan
penggunaan segala sesuatu tersebut.
Jiwa ialah asas primer yang menggerakkan semua aktivitas manusia;
sedangkan jasmani tanpa jiwa akan tiada berdaya sama sekali.
Oleh sebab itu pendidikan harus dilaksanakan berdasarkan kodrat dan
kebutuhan asas rohaniah, terutama untuk membina rasio, perasaan,
kemauan dan spirit manusia. Pendidikan, proses dan isinya harus mengarah
kepada pembinaan potensi rohaniah itu. Sebab asas rohaniah adalah
sumber potensi bagi semua kreasi manusia yang tercermin di dalam
kebudayaan. Kepribadian manusia terutama ditentukan oleh potensi
rohaniah yang dimilikinya, misalnya intelegensi. Pendidikan bukanlah
32

semata-mata faktor luar, pengalaman (empiris), melainkan amat ditentukan


oleh faktor dalam (potensi-potensi hereditas). Mengembangkan kepribadian
terutama bersumber atas perkembangan fungsi rohani seperti intelegensi,
rasio, kemauan dan perasaan.

2. Aliran Dualisme
Aliran ini melihat realita semesta sebagai sintesa kedua kategori animate dan
inanimate, makhluk hidup dan benda mati. Demikian pula manusia merupakan
kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga. Penganut aliran ini tidak
mempertentangkan realita benda mati disatu pihak, dengan makhluk hidup di
lain pihak. Adalah memang sudah kodrat alam bahwa realita benda (zat
materi) berbeda dengan asas non-materiil, yang rohaniah. Misalnya ada
persoalan : dimana letaknya mind (jiwa, rasio) dalam pribadi manusia. Mungkin
jawaban umum akan menyatakan bahwa rasio itu terltak pada otak. Akan tetapi
timbul problem, bagaimana mungkin suatu immaterial entity ( sesuatu yang
non-materiil) yang tiada membutuhkan ruang, dapat ditempatkan di dalam
sesuatu yang meteriil ( tubuh, jasmani ) yang berada di dalam ruang, wadah
tertentu. Problem lebih lanjut ialah : bagaimana sesuatu yang non-materiil
seperti rasio, pikiran dapat melaukan antaraksi dengan suatu yang materiil
seperti jasmaniah. Usaha pengertian tentang sintesa atau kesatuan rohani-
jasmaniah tidaklah untuk menjawab bagaimana proses kesatuan itu terjadi.
Pengertian tentang kesatuan itu terutama untuk menyadari, bahwa pribadi
manusia justru bukanlah sesuatu realita yang sederhana sebagaimana realita
lainnya di dalam alam semesta ini. Pribadi manusia adalah satu totalitas, sebagai
satu individu dengan kepribadian yang unik, baik sebagai umat manusia
keseluruhan dan maupun sebagai satu pribadi.
Pandangan aliran dualisme atau realisme ini secara umum mengakui adanya
potensi hereditas di samping realita lingkungan sebagai faktor luar.
Keduanya adalah satu realita yang sungguh-sugguh ada, yang dapat
dimengerti tiap manusia. Keduanya menentukan kepribadian. Penganut aliran
teori dualistis ini melaksanakan prinsip psikologi pendidikan yang meliputi :
 Asas rasional sebagai fenomena mental, atau fungsi dan aktivitas mental.
 Asas dinamis sebagai fenomena phisik, yakni aktivitas, gerak dan tingkah
laku jasmaniah.
33

Bagi aliran ini pendidikan adalah masalah latihan jiwa (mind) yakni daya-daya
jiwa. Meskipun demikian, jasmani tetap mengambil peranan aktif yang
penting dalam semua aktivitas. Dengan demikian semua aktivitas manusia
merupakan hasil kerjasama asas rohaniah dan asas jasmaniah.
Perbedaan-perbedaan antara lain aliran-aliran tersebut nampaknya amat
prinsipil. Akan tetapi kaena semuanya berusaha untuk mencari pengertian
tentang hakekat manusia itu demi tujuan pembinaan manusia itu sendiri, maka
sebagian dari mereka berusaha pula mensintesakan semua pokok-pokok ajaran
masing-masing aliran untuk tujuan pendidikan. Pikiran demikian tersimpul
dalam uraian Brubacher :
Beberapa penganut aliran realisme dan naturalis mengakui bahwa pandangan-
pandangan materialisme dan mekanisme merupakan satu-satunya jalan untuk
mengakhiri kebingungan dan perpecahan pendapat antara mereka. Kodrat atau
hakekat manusia akan tetap tinggal sebagai satu teka-teki jika manusia berpikir
atas pandangan-pandangan mentalistis, yakni ingin mengerti manusia semata-
mata melalui pernyataan-pernyataan jiwa, kesadaran dan sejenisnya. Bagi
mereka jalan satu-satunya untuk kejelasan tentang kodrat hakekat manusia
ialah melalui pandangan yang menempatkan manusia sebagai bagian dan
lanjutan daripada alam phisis. Dengan demikian pemahaman atas manusia,
melalui hukum-hukum yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alam.
34

BAB III
PANDANGAN ANTHROPOLOGI METAFISIKA

Manusia yang mempunyai potensi-potensi lahir batin, cipta, rasa dan karsa dapat
menghasilkan karya dan prestasi tertentu. Karya dan prestasi tersebut dapat terjadi karena
faktor-faktor subjektif (cinta dan pengabdian, bahkan karena alasan-alasan moral-
tanggungjawab), kewajiban, harga diri dan nilai-nilai tertentu.
Anthropologia metafisika berkesimpulan bahwa hakekat manusia merupakan integritas
kesadaran-kesadaran :
 Manusia sebagai makhluk individu
 Manusia sebagai makhluk sosial, dan
 Manusia sebagai mekhluk susila.
Inilah dimensi kesadaran manusia; atau ketiga kesadaran ini merupakan esensia martabat
manusia (the essense of human dignity). Pandangan anthroplogia metafisika di atas dapat
kita jelaskan secara ringkas sebagai berikut :
A. Manusia sebagai makhluk individu (individual being)
Kesadaran manusia akan diri sendiri merupakan perwujudan individualitas manusia.
Kesadaran diri sendiri yang dimulai dengan kesadaran adanya pribadi diantara segala
realitas adalah pangkal segala kesdaran terhadap segala sesuatu. Dengan bahasa
filsafat dinyatakan self-existence ini mencakup pengertian yang amat luas, terutama
meliputi : kesadaran adanya diri di antara semua realita, self respect, self-narcisme,
egoisme, martabat kepribadian, perbedaan dan persamaan dengan pribadi lain,
khususnya kesadaran akan potensi-potensi pribadi yang menjadi dasar bagi self –
realisasi.
Manusia sebagai individu, sebagai pribadi adalah satu kenyataan yang paling riel dalam
kesadaran manusia. Malahan ada kecenderungan bahwa manusia menganggap pusat
orientasi, melalui intropeksi dan proyeksi ( istilah dalam ilmu jiwa ) adalah dirinya
sendiri sebagai subyek. Orientasi berpikir demikian malahan diakui oleh filsafat
Existensialisme, dan anthropocentrisme secara tak langsung.
Makin manusia sadar akan diri sendiri sesungguhnya makin sadar manusia akan
kesemestaan, karena posisi manusia adalah bagian yang tak terpisahkann dari semesta.
Antar hubungan dan antar aksi pribadi itulah pula yang melahirkan konsekuensi-
35

konsekuensi seperti hak (asasi) dan kewajiban, norma-norma moral, nilai-nilai sosial,
bahkan juga nilai-nilai supernatural berfungsi untuk menusia.
Dengan demikian kesadaran manusia sebagai pribadi merupakan kesadaran yang
paling dalam, sumber kesadaran subyek yang melahirkan kesadaran yang lain.
Makna individualitas menurut Allport, menunjukkan wujud berdiri sendiri dan sifat
otonom serta sifat unik (uniqueness) tiap pribadi (personality). Dan makna personality
ialah bagaimana manusia itu dalam antar hubungan dan antar aksi dengan
lingkungannya. Personality juga berarti keseluruhan sifat dan keseluruhan phase
perkembangan manusia.
Yang dimaksud oleh kesimpulan pertama anthropologia metafisika manusia sebagai
makhluk individu, dapat kita tafsirkan sebagai meliputi kedua makna tersebut. Manusia
dengan self-existence dan self-consciousness menyadari dirinya sebagai real-self,
sebagaimana adanya; bahkan juga sebagaimana idealnya, (keinginan dan cita-citanya),
yang mendorong perkembangan manusia.
B. Manusia sebagai makhluk sosial (Social Being)
Perwujudan manusia sebagai makhluk sosial terutama nampak dalam kenyataan bahwa
tak pernah ada manusia yang mampu hidup (lahir dan proses dibesarkan) tanpa bantuan
orang lain. Orang lain dimaksud paling sedikit ialah orang tuanya, keluarganya sendiri.
Realita ini menunjukkan bahwa manusia hidup dalam kondisi interdependensi, dalam
antar hubungan dan antaraksi. Di dalam kehidupan manusia selanjutnya, selalu ia hidup
sebagai warga suatu kesatuan hidup, warga masyarakat, warga negara, warga suatu
kelompok kebudayaan, warga suatu aliran kepercayaan, warga suatu ideologi politik dan
sebagainya.
Manusia sebagai makhluk sosial di samping berarti bahwa manusia hidup bersama
(Gemeinschafts, kebersamaan), maka sifat interdependensi itu merupakan watak inherent
kesadaran sosial. Sebab, manusia tidak hanya interdependensi dalam arti materiil-
ekonomis demi kebutuhan-kebutuhan biologis jasmaniah. Melainkan lebih-lebih
mengandung makna psikologis, yakni dorongan-dorongan cinta dan dicintai, dimana
kebahagiaan terutama terletak dalam kepuasan rohani ini.
Hidup bersama dalam antar hubungan, antaraksi, interdependensi itu mengandung pula
konsekuensi-konsekuensi sosial baik dalam arti positif maupun negatif. Ideal dalam hidup
bersama itu ialah keadaan harmonis, rukun dan sejahtera. Tetapi dapat pula segi-segi
negatif antar hubungan dan antaraksi ituterjadi dalam kehidupan sosial. Keadaan positif
dan negatif ini adalah perwujudan daripada nilai-nilai dan sekaligus watak individualitas
manusia. Proses disharmoni terjadi hanyalah sebagai akibat pergeseran-pergeseran yang
36

tajam dan bahkan mungkin pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam proses antar
hubungan dan antaraksi sosial karena sifat-sifat individualitas manusia. Menyadari hal ini
secara mendalam oleh tiap-tiap pribadi dapat menghindarkan disharmoni itu. Tiap
individu harus rela mengorbankan sebagian daripada hak individualitasnya demi
kepentingan bersama. Kesadaran demikian adalah prasyarat bagi hidup bersama.
Kehidupan individu di dalam antar hubungan sosial memang tidak usah kehilangan
identitasnya. Sebab kehidupan sosial adalah realita sama riilnya dengan kehidupan
individu itu sendiri.
Urgensi kedua-duanya harus dimengerti dalam proporsi masing-masing. Kehidupan
sosial adalah realita dimana individu tiada menonjolkan identitasnya, malahan sebaliknya
tenggelam dalam kebersamaan. Yang nampak sebagai perwujudan kebersamaan ialah
identitas sosial, dengan sifat pluralistis.
Akan tetapi, meskipun demikian tidaklah berarti individu sudah lenyap, lebur di dalam
identitas sosial itu. Realita sosial kebersamaan itu tidak hanya terbentuk oleh individu-
individu. Bahkan integritas sosial itu akan goyah bilamana hak-hak individu diperkosa.
Individualitas manusia bukanlah bertentangan dengan wujud sosialitas manusia.
Melainkan individualitas itu dalam perkembangan selanjutnya akan mencapai kesadaran
sosialitas. Tiap manusia sadar akan kebutuhan hidup bersama segera setelah masa kanak-
kanak yang egosentris berakhir.
Essensia manusia sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang status
dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana tanggung jawab dan
kewajibannya di dalam kebersamaan itu. Adanya kesadaran interdependensi dan saling
membutuhkan serta dorongan-dorongan untuk mengabdi sesamanya adalah asas sosialitas
itu.
C. Manusia sebagai makhluk susila (moral being)
Asas pandangan bahwa manusia sebagai makluk susila bersumber pada kepercayaan
bahwa budi nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma.
Pendirian ini sesuai pula bila kita lihat pada analisa ilmu jiwa-dalam tentang struktur jiwa
(das Es, dan Ich dan das Uber Ich). Struktur jiwa yang disebut das Uber Ich yang sadar
nilai-nilai essensia manusia sebagai makhluk susila. Kesadaran susila (sense of morality)
tak dapat dipisahkan dengan realitas sosial, sebab, justru adanya nilai-nilai, efektifitas
nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai hanyalah di dalam kehidupan sosial. Artinya
kesusilaan atau moralitas adalah fungsi sosial. Tiap hubungan sosial mengandung
hubungan moral. Atau dengan kata-kata “Tiada hubungan susila tanpa hubungan sosial”.
37

Hubungan sosial harus diartikan dalam makna yang luas dan hakiki. Yakni hubungan
sosial-horizontal, ialah hubungan sesama antar manusia. Dan hubungan sosial-vertikal
yaitu hubungan pribadi dengan Tuhan. Hubungan sosial-vertikal ini bersifat
transcendental, hubungan rohaniah pribadi. Akan tetapi kedua antar hubungan sosial
tersebut sama-sama riil di dalam kehidupan manusia, keduanya pasti dialami semua
manusia. Hubungan sosial-vertikal sering disebut hubungan religious yang dianggap
hubungan pribadi dan bersifat perseorangan bukan masalah sosial.
Hubungan sosial-horizontal ialah hubungan sosial dalam arti biasa, maksimal ialah pada
taraf ethis atau kesusilaan (ethika, nilai-nilai filsafat, adat istiadat, hukum). Tetapi yang
jelas semua nilai-nilai itu, atau prinsip pembinaan kesadaran asas normatif itu menjadi
kewajiban utama pendidikan. Asas kesadaran nilai, asas moralitas adalah dasar
fundamental yang membedakan hidup manusia daripada hidup makhluk-makhluk
alamiah yang lain. Rasio dan budi nurani menjadi dasar adanya kesadaran moral itu. Dan
bila moralitas ditafsirkan meliputi nilai-nilai religius, maka rasio, budi nurani akan
dilengkapi pula dengan kesadaran-kesadaran supernatural yang superrasional.
Ketiga essensia tersebut di atas sebagai satu integritas adalah kodrat manusia secara
potensial. Artinya oleh kondisi-kondisi lingkungan hidup manusia potensi-potensi
tersebut dapat berkembang menjadi realita (akualisasi) atau sebaliknya tidak terlaksana.
Inilah sebabnya ada kriteria di dalam masyarakat antara pribadi yang baik, yang ideal;
dengan pribadi yang dianggap buruk a-susila, tingkah laku yang tidak dikehendaki.

BAB IV
KEBUDAYAAN SEBAGAI ISI PENDIDIKAN

Sepanjang sejarah tiap masyarakat, tiap bangsa berada di dalam proses perkembangan
kebudayaan, baik dalam arti menerima warisan-sosial dari generasi sebelumnya maupun
38

mengembangkannya, menciptakan yang baru. Bahkan tidak mustahil pula membuang unsur
kebudayaan lama yang tidak sesuai dengna kemajuan berfikir atau kebutuhan zamannya.
Manusia sebagai makhluk budaya secara alamiah (kodrat) dengan potensi kemanusiaannya itu
hidup di dalam alam-budaya secara kontinue. Manusia tak terpisahkan dengan kebudayaan,
karena kebudayaan inilah yang membedakan secara prinsipil tata kehidupan manusia daripada
kehidupan alamiah makhluk lainnya.
Manusia sebagai subyek di dalam alam semesta, bahkan menikmati semesta ini karena
potensi manusia yang melahirkan kebudayaan. Sepanjang sejarah ada manusia, generasi demi
generasi, tidak saja sebagai proses regenerasi subyek (manusia), melainkan juga sebaga suatu
proses estafet, pengoveran kebudayaan secara terus-menerus. Lembaga yang paling efekti
melaksanakan fungsi tersebut terutama pendidikan. Karena itu kebudayaan dan pendidikan
adalah aspek-aspek kehidupan manusia yang tak terpisahkan.

A. PENGERTIAN DAN SCOPE KEBUDAYAAN


Istilah kebudayaan yang disamakan dengan culture (Inggris), kultur (Jerman),
dan cultuur (Belanda) adalah suatu istilah yang mengandung pengertian yang amat
luas. Menurut Prof. Dr. H. A. Enno van Gelder “culture” berasal dari kata latin
“colore” yang berarti mengerjakan, memelihara dan memuja.
Pengertian kebudayaan (culture) sebagian sarjana Anglo Saxon
mempersamakan dengan pengertian peradaban (civiliazation) yng dilakukan oleh Dr.
Edward B. Taylor yang menulis dalam buku “Primitive Culture”:
Kebudayaan atau peradaban.... ialah suatu keseluruhan yang kompleks
yang meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istadat
dan setiap kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai warga
masyarakat.
Pendapat Dr. Ki Hadjar Dewantara seorang ahli kebudayaan dan pendidik
Indonesia, menulis :
“Menschecultuer” (adab, Ar.) itu lebih terang artinya jika diterjemahkan ke
dalam bahasa kita dengan perkataan “kebudayaan”. Perkataan ini berasal dari
“budaya” dan ini berarti buah dari budi manusia. Lalu teranglah sekarang bahwa arti
kebudayaan atau kultur kemanusiaan itu ialah semua benda buatan manusia, baik
benda batin maupun benda lahir, yang dapat timbul karena kemasakan budi manusia.
Dan pekerjaan kultural yaitu semua usaha untuk mempertinggi derajat kemanusiaan,
sedangkan pokoknya ialah veredelan budi manusia.... Menurut pengetian wetenschap,
maka kultur itu dibagi menjadi tiga jenis :
39

Ke I yang mengenai rasa kebatinan atau moral : agama, adat istiadat,


tatanegara, kesosialan dan sebagainya yang bermaksud memberi hidup yang tertib
serta damai.
Ke II, yang mengenai kemajuan angan-angan : pengajaran ilmu bahasa,
wetenschap dan sebagainya.
Ke III, yang mengenai kepandaian : pertanian, industry, perniagaan, pelayaran,
kesenian, dan lain-lain, pendek kata segala perbuatan manusia yang berguna atau
bersifat indah serta dapat bermanfaat bagi hidupnya manusia bersama. Teranglah di
situ, bahwa usaha kulturil itu ialah segala perbuatan manusia, yang timbul dari
kemasakan budinya yaiutu buah dari kecerdasan pikirannya, serta buah dari kekeuatan
kehendaknya, yaitu segala tenaganya. Jadi kultur atau kebudayaan itu nyatalah buah
dari “trisakti”nya manusia (9 : 319).
Politik pembinaan kebudayaan nasional ada baiknya kita selalu berpegang pada
asas Tri-con dari Dr. Ki Hadjar Dewantara yaitu:
1. Asas konsentrasi, bahwa pengembangan kebudayaan harus berpusat (consentrasi)
pada kebudayaan nasional, Social-heritage yang diwarisi dari generasi
sebelumnya.
2. Asas convergensi, bahwa hukum perkembangan itu ialah kerja sama antara faktor
dalam dan faktor luar.
Faktor dalam ialah sosio-kultural yang sudah berakar, sedang faktor luar ialah
menerima unsur-unsur kebudayaan luar (asing) dengan prinsip selektif. Politik
“pintu terbuka” dengan “sensor” ini baik dengan komunikasi aktif, maupun karena
pengaruh-pengaruh antar hubungan pergaulan bangsa kita dengan bangsa-bansa
lain yang kurang disadari (pasif).
3. Asas kontinuitas, bahwa perkembangan yang terpusat pada kebudayaan nasional
itu, dengan menerima kebudayaan luar secara selektif akan berlangsung terus
menerus.
Kebudayaan yang terdahulu merupakan dasar dan modal bagi pembinaan
kebudayaan seterusnya. Bahkan kebudayaan sekarang tak mungkin berkembang
sepesat adanya sekarang tanpa asas-asas yang telah dirintis oleh pendahulunya
(perintis, pioneer).

B. ILMU PENGETAHUAN (KNOWLEDGE) SEBAGAI UNSUR KEBUDAYAAN


Pendidikan dan kebudayaan adalah suatu hubungan antara proses dengan isi.
Yaitu, pendidikan ialah proses pengoperan kebudayaan dalam arti mebudayakan
manusia. Dalam masyarakat modern, dimana kebudayaan itu amat kompleks, agaknya
fungsi dan tanggungjawab pendidikan makin besar dan makin sukar. Mampukah
40

pendidikan mewariskan semua aspek kebudayaan kepada manusia dalam waktu yang
relatif terbatas ?
Pendidikan, terutama pendidikan tinggi memusatkan program aktivitasnya
pada pengoperan, pengembangan atau pembinaan ilmu dan research (penelitian). Atau
di negara Indonesia tersimpul dalam tridharma perguruan tinggi : pendidikan,
pengajaran, penelitian, pengembangan, dan pengabdian pada masyarakat.
Wujud kebudayaan menjadi isi (curriculum) pendidikan dikenal sebagai ilmu
pengetahuan (knowledge). Karena luasnya scope kebudayaan dibandingkan dengan
keterbatasan waktu, fasilitas dan tenaga pendidikan, maka demi suksesnya fungsi
pendidikan harus ada ketetapan unsur kebudayaan apa yang urgen dididikkan.
Program pendidikan dibatasi oleh tujuan yang hendak dicapai sebagai target.
Demikian pula kemampuan dan minat individual, membatasi bidang apa yang hendak
dipilih seseorang sebagai lapangan pendidikannya. Faktor-faktor inilah yang
melahirkan bidang-bidang atau jurusan-jurusan pendidikan atau keahlian seseorang.
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas berkembanglah apa yang dikenal sebagai ilmu
pengetahuan.
Pengertian knowledge (Ilmu Pengetahuan) di atas ialah meliputi semua ilmu,
apakah ilmu social, ilmu eksakta, ilmu filsafat, dan sebagainya. Sedangkan istilah
science (kadang-kadang diartikan ilmu pnegetahuan juga), telah mempunyai arti ilmu
tertentu, sebagai dijelaskan oleh “American Peoples Encyclopedia” sebagai berikut :
…..apa yang disebut science modern terdiri atas beberapa cabang ilmu
pengetahuan, tiap cabang mempunyai suatu kelompok obyek atau dengan
obyek khusus, yang semua itu dapat dikategorikan dalam tiga bidang utama
penyelidikan : matematika, ilmu alam, dan ilmu biologi.
Dewasa ini istilah science dipakai dalam arti ketiga bidang pokok diatas.
Sedangkan socal-science para ahli berbeda pendapat tentang scope dan maksudnya.
Ada ahli lain yang berpendapat bahwa social-science meliputi : sejarah, jurisprudence,
linguistik dan filsafat. Ada pula ahli lain yang menganggap social-science itu :
anthropologi-budaya, psikologi social, ekonomi, geografi (khususnya demography),
ilmu politik, hukum internasional, ilmu perbandingan agama, archeology, business
administration, public administration, sociology dan sebagaimya (28 : 17 – 068).
Ada baiknya jika tetapkan, bahwa social-science ialah ilmu-ilmu selain yang
tersimpul di dalam ilmu-ilmu eksakta.

C. KURIKULUM (CURRICULUM)
Kurikulum atau secara sederhana kita sebut isi pendidikan adalah “jalan”
terdekat untuk sampai pada tujuan pendidikan. Sebaliknya, tanpa isi pendidikan, tanpa
41

kurikulum tidak ada proses pendidikan dan pengajaran. Dengan perkataan lain, tiada
pendidikan tanpa kurikulum. Karena itu kurikulum adalah bagian yang amat penting di
dalam pendidikan.
Brubacher menguraikan kurikulum sebagai berikut :
Dengan tujuan atau arah proses pendidikan yang ditetapkan, langkah
selanjutnya sudah jelas yaitu cara-cara dan alat-alat untuk mencapai tujuan
tersebut. Di antara semua itu maka kurikulum meminta perhatian pertama.
Sesuai dengan asal pengertiannya, menurut bahasa Latin, kurikulum ialah suatu
“landasan terbang”, suatu arah yang dilalui seseorang untuk mencapai tujuan,
seperti di dalam suatu pelombaan. Bentuk pelajaran ini dimasukkan di dalam
istilah pendidikan sebagai kurikulum, atau kadang-kadang disebut bahan
pelajaran. Apapun namanya, namun kurikulum itu menggambarkan landasan di
atas maka murid dan guru berjalan mencapai tujuan pendidikan.
Nyatalah bahwa menetapkan kurikulum harus berorientasi kepada tujuan
pendidikan yang hendak dicapai.
Meskipun ilmu pengetahuan sebagai bagian dari kebudayaan yang harus menjadi
kurikulum pendidikan, namun keterbatasan waktu dan fasilitas untuk suatu tingkat
pendidikan maka harus ada skala prioritas.
Hubungan antara tujuan pendidikan dan kurikulum ialah hubungan antara tujuan
dan isi pendidikan. Suatu tujuan baru akan tercapai bila isi pendidikan tepat, relevan.
Dengan perkataan lain, hanya hanya isi yang tepat, kurikulum yang tepat yang akan
mengantarkan pendidikan mencapai tujuannya. Dalam hubungan demikian berarti pula
tujuan akan menentukan isi atau kurikulum pendidikan. Atau menurut Brubacher
hubungan kurikulum dengan tujuan pendidikan dilukiskan sebagai berikut :
Kurikulum sedemikian tergantung kepada tujuan pendidikan, dan sangat
mengejutkan bila kita akan mengetahui bahwa mempelajari kurikulum pada
hakekatnya sama dengan mencapai tujuan pendidikan itu. Dalam kenyataannya,
sedemikian erat hubungan antara tujuan pendidikan dan kurikulum, sehingga
dapat dikatakan bahwa kurikulum tak lain daripada tujuan pendidikan atau nilai-
nilai yang termaktub dalam bentuk yang luas.
Oleh karena itu kurikulum merupakan isi dan jalan untuk mencapai tujuan
pendidikan, maka sesungguhnya kurikulum yang menyangkut masalah-masalah : nilai,
ilmu, teori, skill, praktek, pembinaan sikap mental dan sebagainya. Ini berarti
kurikulum harus mengandung isi-pengalaman yang kaya demi realisasi tujuan.
Dengan perkataan lain, kurikulum harus kaya dengan pengalaman-pengalaman yang
bersifat membina kepribadian.
42

D. PROSES PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


Hubungan masyarakat dan pendidikan adalah hubungan antara subyek dengan
aktivitasnya. Fenomena dalam masa modern ini makin maju (modern) suatu
masyarakat, maka makin maju (modern) pula pendidikan yang diselenggarakan
masyarakat itu. Hubungan ini sedemikian menentukan. Artinya, masyarakat itu akan
relatif lebih maju apabila masyarakat itu aktif membina pendidikan, atau, suatu
masyarakat itu menyelenggarakan pendidikan yang maju. Fenomena juga
menunjukkan bahwa apabila suatu masyarakat mengabaikan pendidikan, maka
masyarakat itu sukar untuk maju – jika tak mau mengatakan, bahwa masyarakat
demikian tidak mungkin maju. Hubungan masyarakat sebagaimana diuraikan di atas,
adalah hubungan korelasi positif. Dapat juga hubungan demikian dinyatakan sebagai
hubungan causalitas dan teleologis. Artinya hubungan sebab-akibat, yaitu karena
masyarakat sadar dengan nilai dan peranan pendidikan, masyarakat aktif membina
pendidikan, maka masyarakat menjadi makin maju, makin baik. Hubungan teleologis
dalam hal ini berarti bahwa dengan pendidikan masyarakat bergerak (aktif) menuju
satu tujuan tertentu, satu idealisme. Maka sadar masyarakat sebagai subyek akan cita-
cita hidupnya, dan tanggungjawab sosialnya, makin aktif masyarakat itu membina
pendidikan.
Hubungan pendidikan dan kebudayaan adalah hubungan antara aktivitas dengan
isi-nya. Pendidikan ialah suatu proses, satu lembaga, satu aktivitas. Sedangkan
kebudayaan adalah, isi di dalam proses itu, isi suatu lembaga dan aktivitas pendidikan
itu. Fungsi dan misi pendidikan secara teknis ialah mengoperkan kebudayaan dari
manusia yang berkebudayaan kepada anak didik yang belum berkebudayaan. Aspek
lain dari fungsi pendidikan itu ialah mengolah kebudayaan itu menjadi sikap mental,
tingkah laku, bahkan menjadi kepribadian anak didik.
Pendidikan sebagai proses pengoperan kebudayaan, pembinaan manusia dalam
arti mendewasakan dan membudayakan manusia, berarti pendidikan tidak mungkin
tanpa kebudayaan. Karena itu, hubungan pendidikan dan kebudayaan adalah hubungan
antara aktivitas dengan isi-nya. Tak mungkin ada aktivitas (pendidikan) tanpa isi
(kebudayaan).
Pendidikan tidak hanya proses mengoper kebudayaan. Sebab hubungan
pendidikan dengan kebudayaan adalah hubungan kausalitas dan teleologis sekaligus.
Yaitu hubungan sebab akibat dan hubungan tujuan. Karena dengan adanya pendidikan
manusia berkebudayaan
43

Kebudayaan disamping sebagai kreasi dalam arti ciptaan manusia (umat manusia
sepanjang sejarah), terutama adala karya, prestasai dan achievement seorang pribadi
yang sedikit banyak terdidik. Pendidikan mempunyai fungsi rangkap untuk
kebudayaan :
- Menciptakan yang belum ada melalui pembinaan manusia yang kreatif
- Mengoperkan kebudayaan (yang sudah ada) kepda generasi demi generasi dalam
rangka proses sosialisasi pribadi manusia.

E. MANUSIA SEBAGAI PEMBINA KEBUDAYAAN

Melalui definisi kebudayaan kita mengerti bahwa kebudayaan adalah ciptaan


atau kreasi manusia. Manusia dalam arti dimaksud baik sebgaia keseluruhan umat
manusia sepanjang sejarah adanya manusia, maupun sebagai pribadi. Dengan melalui
lembaga dan proses pendidikan, kebudayaan dikembangkan yakni :
a. Dioperkan untuk dimengerti dan dikuasai, dilaksanakan oleh generasi muda.
b. Pembinaan manusia supaya mampu menciptakan kebudayaan atau unsur-
unsur kebudayaan agar mereka mampu menyesuaikan diri demi kehidupan
dalam zamannya.
Kebudayaan, materiil dan non-materiil, ilmu pengetahuan, filsafat, seni dan etika
adalah karya-cipta sebagai usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, maupun untuk
dinikmati.
Kebudayaan merupakan konsumsi rokhani dan jasmani manusia. Relasi yang
demikian ialah hubungan antara subyek dengan kreasinya dalam rangka memenuhi
kebutuhan subyek. Dengan demikian manusia secara fundamental dalam hal ini
bersifat swadaya, swadeshi, swakarya.
Proses penciptaan itu akan berlangsung terus sepanjang sejarah eksistensi
manusia. Penciptaan itu sudah tentu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam
arti konsumtif. Melainkan juga memenuhi kebutuhan ekspresif, pelahiran daya
ekspresi, daya cipta, dorongan-dorongan perkembangan kepribadian. Terwujudlah
karya-karya dalam segala bidang kebudayaan.
Prestasi-prestasi yang dicapai oleh manusia dalam menciptakan kebudayaan ini
merupakan prestasi yang menentukan nilai kepribadian, kemajuan suatu zaman.
Bahkan satu-satunya ukuran presatasi manusia ialah pada achievement kebudayaan
ini. Hal ini lebih jelas pada karya dan prestasi seseorang. Malahan ada ukuran antara
primitif dan beradab, antara maju dan terbelakang dari suatu bangsa terletak pada
wujud kebudayaan yang ada dalam masyarakat bangsa itu. Demikian pula ada yang
mengukur prestasi individu manusa apada achievement penciptaan ini, sebagai
inventor, pencipta, kreativitas, karya.
44

BAB V

FILSAFAT PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA

A. Konsep-konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara


Pendidikan diartikan sebagai daya upaya untuk memajukan bertambahnya budi pekerti

(kekuatan batin, karakter, pikiran (intellect) dan tubuh anak (Ki Hadjar Dewantara, 2011 :

14). Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa mendidik anak tidak boleh

dipisahkan dengan dunia anak, hal ini dimaksudkan agar pendidik dapat memajukan

kesempurnaan hidup anak didik. Pendidikan ialah pemeliharaan dengan sebesar perhatian

untuk mendapatkan tumbuhnya hidup anak lahir, batin menurut kodratnya sendiri. Dasar

pendidikan yang mendasarkan pada kodrat anak berarti bahwa nilai-nilai budaya bangsa

sendiri harus digunakan untuk membentuk watak dan kepribadian anak didik. Pendidikan

yang menggunakan budaya bangsa sendiri akan membawa anak didik tidak terasing

teraleniasi) dari budaya bangsanya dan akan peka terhadap aspirasi dan penderitaan

rakyatnya.
45

Mendirikan perguruan bagi anak-anak bukan hanya berarti membangun masyarakat dan

budaya bangsa, tetapi juga mewujudkan sistem pendidikan nasional. (30 Tahun Taman

Siswa, 1981: 17). Untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan Ki Hadjar Dewantara

mengajukan beberapa konsep pendidikan yaitu :


1. Tri Pusat Pendidikan.
2. Trilogi Kepemimpinan
3. Tri Na
4. Tri Nga
5. Tri Pantangan
6. Tri Kon
7. Tri Hayu

1. Tri Pusat Pendidikan


a. Sebagai pusat yang pertama adalah alam keluarga
Alam keluarga adalah proses pendidikan yang pertama dan terpenting. Dikatakan

pertama dan terpenting karena hingga kini, kehidupan keluarga selalu

mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti dari tiap-tiap manusia. Keluarga akan

mendidik anak-anak baik lahir maupun batinnya dengan sebaik-baiknya. Pendidikan

dalam keluarga, akan menempatkan orang tua sebagai guru atau pemimpin laku

adat, sebagai pengajar (pemimpin kecerdasan pikiran serta pemberi ilmu

pengetahuan) dan menjadi contoh laku kesosialan.


b. Sebagai pusat yang kedua adalah pendidikan dalam alam perguruan.
Alam perguruan merupakan institusi yang berkewajiban mengusahakan kecerdasan

pikiran (perkembangan intelektual) serta memberikan ilmu pengetahuan. Mengenai

pendidikan dalam alam sekolah Ki Hadjar Dewantara mencontohkan tokoh Johan

Henrich Pestalozzi yaitu Bapak Sistem Sekolah Modern pada zaman pertengahan,

dimana meskipun sekolah menitikberatkan kecerdasan pikiran akan tetapi hal-hal

yang baik dan perlu ditiru harus disesuaikan dengan kodrat alam dan pendidikan

keluarga ( Ki Hadjar Dewantara, 2011 : 256).


Pelaksanaan pendidikan dalam sekolah merupakan bagian proses belajar mengajar

yang sangat penting karena di alam sekolah ini anak didik harus menguasai ilmu
46

pengetahuan dan teknologi. Untuk itu Ki Hadjar Dewantara menerapkan suatu

konsep pendidikan atau sistem pendidikan yang disebut sistem among. Sistem

among adalah suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan.

Sistem among mendasarkan diri pada dua dasar yaitu :


1. Kodrat alam
Dasar kodrat alam digunakan sebagai syarat untuk mencapai kemajuan

dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.


2. Kemerdekaan
Dasar kemerdekaan digunakan sebagai syarat untuk menghidupkan dan

menggerakkan kekuatan lahir batin anak, agar dapat memiliki pribadi yang

kuat dan dapat berpikir serta bertindak merdeka.

Ki Soeratman mengatakan sistem among ini menurut berlakunya juga disebut

sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem Tutwuri Handayani ini maka setiap pamong

Tamansiswa sebagai pemimpin dalam proses belajar mengajar wajib melaksanakan

Tutwuri Handayani, ing madya mangun karsa dan ing ngarsa sung tulodho (Ki

Suratman, 1990 : 8). Sistem among merupakan sistem pendidikan yang merupakan

kesatuan organis sebagai gagasan, cara usaha dan ikhtiar untuk mewujudkan tujuan

pendidikan yang meliputi filsafat, dasar, tujuan pendidikan, peralatan metoda (cara

penyajian, suasana, guru dan murid) jadi dalam sistem among meliputi segala

kegiatan dalam perguruan secara menyeluruh sedang metode merupakan salah satu

komponen dari sistem among.

c. Sebagai pusat yang ketiga adalah pendidikan dalam alam pemuda


Dalam pendidikan alam pemuda maka peran ketua-ketua pemuda hendaknya

menjadi penasehat dengan memberikan kemerdekaan secukupnya kepada para

pemuda. Tetapi para ketua pemuda perlu bertindak jika ada bahaya yang tidak dapat

diatasi oleh para anggota pemuda.


47

Jadi dalam Tri Pusat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara menginginkan suatu

pembudayaan manusia yaitu dengan cara memasukkan anak ke dalam kebudayaan

dan memasukkan kebudayaan dalam diri anak. Proses pendidikan kebudayaan inilah

nantinya akan menghasilkan para pemimpin masa depan.

2 Trilogi Kepemimpinan

Untuk menghasilkan pemimpin yang baik dan bertanggung jawab Ki Hadjar

Dewantara mengajukan konsep Tri Logi Kepemimpinan. Trilogi kepemimpinan dalam

pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai berikut :

Tutwuri handayani mengandung pengertian seorang guru atau pamong memberikan

kemerdekaan anak untuk mengembangkan kreatifitasnya, sedang guru atau pamong

membimbing atau membina dari belakang, tidak boleh hanya mendikte. Pendidikan

kepemimpinan ini diberlakukan sampai dengan tingkat Taman Muda (Sekolah Dasar). Ing

madya mangun karso mengandung pengertian seorang guru atau pamong dapat

membawa dan memotivasi lingkungan kegiatan belajar mengajar guna meningkatkan

kualitas pendidikan (setiakawan, kompetitif, kreatif dan inovatif).

Ing ngarsa sung tulodho yang mengandung pengertian seorang guru atau pamong

wajib menjadi suri tauladan bagi siswa dalam kegiatan belajar mengajar (Dwiarso, 2012:

5).

Ki Hadjar Dewantara dengan konsep kepemimpinan ingin membudayakan sifat atau

karakter pemimpin yang ideal di masa depan untuk anak-anak didik. Karena anak-anak

adalah generasi penerus sebagai calon pemimpin bangsa Indonesia.

3. Tri Na

Ki Hadjar Dewantara memasukkan kebudayaan dalam diri anak dan memasukkan

diri anak ke dalam kebudayaan mulai sejak dini yaitu Taman Indria (balita). Konsep

belajar ini adalah Tri No yaitu nonton, niteni dan nirokke. Nonton (cognitive), nonton
48

disini adalah secara pasif dengan segenap pancaindera. Nonton dalam arti mengindrai

tingkah laku guru, baik guru formal, informal maupun non formal. Niteni (afectif) adalah

menandai, mempelajari, mencermati apa yang ditangkap panca indera dan nirokke

(psychomotor) yaitu menirukan yang positif untuk bekal menghadapi perkembangan

anak (Dwiarso, 2012 : 1). Tri Na dalam arti nonton, niteni dan nambahi berlaku bagi

siswa-siswa SMA lebih-lebih mahasiswa di perguruan tinggi. Karena nambahi

mengandung arti kreatif dan inovatif.

4. Tri Nga

Bila anak didik sudah menginjak pada pendidikan Taman Muda (Sekolah Dasar),

kemudian Taman Dewasa dan seterusnya maka konsep pendidikan Ki Hadjar

Dewantara adalah Ngerti, Ngroso lan Nglakoni Tri Nga) Model pendidikan ini

dimaksudkan supaya anak tidak hanya dididik intelektualnya saja (cognitive) istilah Ki

Hadjar Dewantara ngerti) melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (afektif)

serta nglakoni (psycomotoric). Jadi anak diharapkan setelah menjalani proses belajar

mengajar dapat mengerti dengan akalnya memahami dengan perasaannya dan dapat

menjalankan atau melaksanakan pengetahuan yang sudah didapat dalam kehidupan

masyarakat.

5. Tri Pantangan

Manusia yang dimaksud adalah manusia yang bermoral Taman Siswa yaitu mampu

melaksanakan Tri Pantangan yang meliputi tidak menyalahgunakan kewenangan atau

kekuasaan, tidak melakukan manipulasi keuangan dan tidak melanggar kesusilaan.

( Suratman, 1991 : 13).

Penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan ini antara lain tindakan kolusi dan

nepotisme yaitu mengutamakan kerabat terdekat untuk mendapat fasilitas tertentu dari

organisasi, atau melindungi kerabat tersebut bila terdapat kelemahan / kesalahan


49

tanpa sanksi yang berarti. Tindakan lain misalnya membuat kebajikan yang semata-

mata menguntungkan kroni/keluarga/golongan.

Tidak melakukan manipulasi keuangan misalnya korupsi untuk memperkaya diri

sendiri dengan mengambil uang organisasi atau menerima suap dari orang lain

sehingga merugikan organisasi. Pelanggaran ini terjadi karena kurang tertibnya

administrasi, keuangan dan tidak konsisten dalam melaksanakan prosedur akuntabilitas

keuangan.

Tidak melanggar kesusilaan, utamanya melakukan tindakan yang tidak mampu

mengatur dan mengendalikan nafsu hewani. Contoh pelanggaran semacam ini misalnya

perselingkuhan

6. Trikon

Ki Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha kemajuan seharusnya ditempuh

melalui petunjuk “Trikon” yaitu kontinyu dengan alam masyarakat Indonesia sendiri.

Artinya secara kontinyu kebudayaan harus diestafetkan atau diberikan kepada generasi

penerus secara terus menerus. Tetapi juga konvergen dengan budaya luar. Artinya

penerima nilai-nilai budaya dari luar, dengan selektif dan adaptatif dan akhirnya

bersatu dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun

tetap mempunyai kepribadian sendiri. Jadi dapat disimpulkan kebudayaan Indonesia

adalah kebudayaan yang maju tetapi tetap berkepribadian Indonesia ( Dewantara, 1994 :

371).

7. Tri Hayu
Konsep pengembangan kebudayaan Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan Konsep Tri

Hayu yang terdiri dari memayu hayuning sarira, memayu hayuning bangsa, dan memayu

hayuning manungsa bawana ). Maksudnya apapun yang diperbuat oleh seseorang

hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsa, dan
50

bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya. Perbuatan seseorang hanya

menguntungkan dirinya saja maka akan terjadi sesuatu yang sangat individualistik.
a. Memayu Hayuning Sarira
Manusia harus mampu memanfaatkan dan mengatur alam semesta dengan proses

yang berkelanjutan dan tidak dengan cara serta merta. Manusia terlebih dahulu harus

belajar menata dirinya, mengendalikan perilakunya, disiplin terhadap aturan dan

norma yang berlaku serta ajaran agama yang dianutnya, mencari jati dirinya untuk

mampu mengendalikan nafsu sehingga jiwanya tertata mencapai rahayuning jiwa.


b. Memayuning hayuning bangsa
Setelah manusia menemukan jati dirinya, sehingga sanggup mengendalikan diri dan

nafsunya manusia akan menuju pada tingkatan langkah berikutnya yaitu bagaimana

ia akan berinteraksi dengan sesamanya. Lingkungan terdekat adalah keluarga.

Bagaimana ia bias menjadi pelita, membina, menjaga, dan mengatur keluarganya

dengan baik. Pada tahapan yang lebih luas, keluarga akan menjadi anggota

masyarakat. Manusia hidup bersama, saling membantu, membina, mengasihi, saling

menjaga, dan bersama-sama berusaha keras meningkatkan kwalitas hidup serta

kesejahteraan. Selanjutnya masyarakat akan menjadi pilar berdirinya negara.

Masyarakat yang baik, tangguh dan berkwalitas akan mempunyai peran yang

sangat penting dalam membangun negara dan mewujudkan tujuan negara.


c. Memayu Hayuning Manungsa bawana)
Semangat ini mempunyai makna mengupayakan keselamatan, kebahagiaan dan

kesejahteraan hidup di dunia. Manusia tidak bisa seenaknya melakukan perusakan

alam. Manusia harus sadar bahwa keberadaan setiap individu dalam tatanan alam

raya ini tidaklah berdiri sendiri. Mereka memiliki kaitan yang erat dengan seluruh

komponen alam yang saling bergantung dalam struktur yang rapi dan bertingkat.

Falsafah tepa selira akan menciptakan lingkungan yang sejuk dan harmonis.
Jadi, Ki Hadjar Dewantara melalui Tri Hayu telah mengajarkan pendidikan yang

bersifat universal.

B. Pendidikan Pengajaran dengan Kultur


51

Ki Hajar Dewantara mengatakan antara pendidikan dan pengajaran itulah laku yang

semata-mata bersifat “ kulturil ”. Jadi orang harus memahami arti perkataan “ kultur”

karena ada hubungan antara pendidikan dengan “ kultur ”

Pengertian kultur atau kebudayaan atau kultur manusia adalah semua benda buatan
manusia, baik benda batin maupun benda lahir yang dapat timbul karena kemasakan budi
manusia. Sedang pekerjaan kulturil yaitu semua usaha untuk mempertinggi derajat
kemanusiaan, sedang pokoknya adalah budi manusia (veredelen).
Menurut Ki Hajar Dewantara cita-cita kulturil yang penting agar anak-anak kita lekas
pandai menulis, pandai berhitung, pandai menggambar, pandai berpikir, agar mereka
menjadi orang yang berbudi, menjadi manusia yang baik, yang luhur, yang dapat
bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakatnya demikian seterusnya.
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan kulturil yaitu kemajuan rokhani dan jasmani
anak-anak kita caranya dengan memelihara, memajukan hidupnya, memperbaiki jenisnya
serta memperbesar faedah dari hidupnya terhadap anak-anak kita.

Maksud pendidikan kulturil dan pengajaran kulturil :


1. Mengusahakan bertumbuhnya budi yang sebaik-baiknya. Fikiran, perasaan, dan
kamauan haruslah ketiga-tiganya dicerdaskan.
a. Tentang pendidikan pikiran tidak usah dibahas, karena sudah jelas, bahkan
sekarang cenderung hanya pendidikan pikiran.
b. Tentang pendidikan perasaan- dalam ilmu pendidikan ada 2 jenis :
1) Pendidikan etis adalah jalur pendidikan yang mengarah kepada kehalusan
hidup, kebatinan atau pendidikan moril.
2) Pendidikan aesthetis yaitu pendidikan kesenian bermaksud menghaluskan
perasaan terhadap segala benda lahir yang bersifat indah. Aesthetika
mengajarkan kesenian misalnya : musik, tari, dan kesenian lain yang sudah
lazim. Yang belum lazim tapi sekarang sudah banyak diajarkan yaitu
kesenian tari, tonil dll. Tentang pendidikan kemauan yaitu memberikan
kesempatan pada murid-murid untuk berbuat, karena berbuat, bertenaga, anak-
anak lalu tidak hanya berpikir saja tetapi membiasakan mewujudkan
kemauannya untuk berbuat, bertenaga dan bekerja. Kalau orang dulu di timur
seperti kita untuk menguatkan kemauan dengan berpuasa, berjalan, bertapa,
dsb.
Dalam perguruan maka menurut ilmu pengetahuan mempunyai 3( tiga ) macam :
52

1) Yang mengenai moril atau kebatinan yakni agama, hidupnya rakyat di dalam
negeri, aturan perikehidupan sosial, adat istiadat karena yang bisa menimbulkan
tertib dan damai.
2) Yang mengenai kemajuan, angan-angan yaitu : pengajaran bahasa, kesusasteraan
dan pengetahuan lainnya.
3) Yang mengenai kepandaian atau kecakapan manusia yaitu bercocok tanam,
pekerjaan tangan, industri, perdagangan, pelajaran kesenian dll.
Jadi jelaslah disini bahwa maksud dari kultur yaitu berdaya upaya untuk memperbaiki
segala dasar-dasar kebatinan (bakat) segala kekuasaan atau kepandaian dan segala
kekuatan yang ada dalam hidup manusia, perbaikan yang dimaksud harus harmonis
(patut, runtut, laras) dan sempurna, matang, dan masak ( Ki Hajar Dewantara, 2011 :
318-324).
C. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
1. Konsep Kihadjar Dewantara Tentang Pendidikan
a. Konsep Ki Hadjar Dewantara tentang Tri pusat pendidikan yaitu Pendidikan

Keluarga, Pendidikan di Sekolah (Formal) dan Pendidikan Masyarakat.

Pendidikan sekolah menggunakan sistem among yaitu bahwa sistem among yang

berjiwa kekeluargaan bersendikan dua dasar yaitu :


1. Kodrat alam sebagai syarat kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-

baiknya.
2. Kemerdekaan sebagai syarat menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir

dan batin anak, agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berfikir

serta bertindak merdeka.


Pada bagian lain dikatakan bahwa kodrat alam merupakan batas perkembangan

potensi kodrati anak didik dalam proses perkembangan kepribadiannya.

Perkembangan yang sesuai dengan kodrat alam akan berjalan lancar dan wajar.

Karena pada hakikatnya manusia itu sebagai makhluk adalah satu dengan

kodrat alam. Manusia atau anak tidak bisa lepas dari kehendakNya, tetapi akan

bahagia jika dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung

kemajuan. Kemajuan tersebut seperti bertumbuhnya tiap-tiap benih suatu

pohon yang kemudian berkembang menjadi besar dan akhirnya hidup dengan
53

keyakinan bahwa dharmanya akan dibawa hidup terus dengan tumbuhnya lagi

benih-benih yang disebarkan.


Jadi dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewatara atas dasar kodrat alam, berarti

bahwa pengetahuan dan kepercayaan manusia itu mempunyai kemampuan-

kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah yang

bersifat menekan atau mengancam manusia itu sendiri. Oleh karena itu Ki

Hadjar Dewantara menentang pendidikan yang bercorak otoriter, karena hal itu

akan menyebabkan kesulitan dalam pencapaian tujuan pendidikan.


b. Dasar kemerdekaan mengandung pengertian sebagai karunia Tuhan Yang Maha

Esa kepada manusia dengan memberikan hak untuk mengatur dirinya sendiri

(zelfbeschikkingsrecht) dengan mengingati syarat tertib damainya (orde en

vrede) hidup masyarakat. Menurut Priyo Dwiarso Siswa harus memiliki jiwa

merdeka dalam arti merdeka lahir dan batinnya serta tenaganya, jiwa merdeka

ini sangat diperlukan sepanjang zaman agar bangsa Indonesia tidak didikte

negara lain. Sistem among melarang adanya hukuman dan paksaan kepada

anak didik karena akan mematikan jiwa merdekanya, mematikan kreatifitasnya

(Dwiarso, 2010: 6).


Konsep jiwa merdeka ini merupakan kebebasan untuk berfikir bagi anak didik,

karena merupakan motor penggerak dalam usahanya untuk mengalami

kemajuan secara progress. Anak didik diberikan kebebasan berpikir guna

mengembangkan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang ada dalam dirinya agar

tidak terhambat oleh orang lain.


c. Pendidikan adalah usaha kebudayaan.
Menurut Ki Hadjar Dewantara yang dimaksud pendidikan adalah memberi

bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak didik agar dalam garis-

garis kodrat pribadinya serta pengaruh-pengaruh lingkungan, mendapat

kemajuan hidup lahir batin. (Suratman, 1987 : 11). Sedang kebudayaan

adalah buah budi manusia sebagai hasil perjuangannya terhadap pengaruh alam
54

dan jaman atau kodrat dan masyarakat. Budi adalah jiwa yang sudah matang,

sudah cerdas. Oleh karena itu sanggup menciptakan budi manusia yang

mempunyai dua sifat istimewa yaitu luhur dan halus, maka segala ciptaan budi

senantiasa mempunyai sifat luhur dan halus juga. Jadi kebudayaan merupakan

suatu proses perkembangan secara dinamis mengenai kemenangan perjuangan

hidup manusia terhadap alam dan jaman.


Konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan sebagai usaha kebudayaan

yang mengatakan bahwa kemajuan atau progress menjadi inti perkataan bahwa

beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan merupakan

bagian-bagian utama dari kebudayaan. Bagi Ki Hadjar Dewantara ilmu

pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan adalah disamping ilmu yang

umum yaitu ilmu hayat, antropologi, psikologi, dan ilmu alam maka kesenian

merupakan bagian yang penting dalam kurikulum pendidikan.

2. Pandangan Ki Hadjar Dewantara Tentang Pengetahuan

Pandangan pengetahuan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah bagaimana anak didik

memperoleh pengetahuan. Sesuai dengan teori Ki Hadjar Dewantara tentang Tri No

untuk prasekolah dan Tri Nga setelah Sekolah Dasar ke atas berarti pengetahuan

didapatkan anak didik dengan nonton (cognitif). Nonton disini menonton secara pasif

dengan segenap panca indera, selanjutnya niteni (afectif) adalah menandai,

mempelajari, mencermati apa yang ditangkap panca indera kemudian nirokke

(psikomotor) yaitu menirukan yang positif untuk bekal menghadapi perkembangan

anak. (Dwiarso, 2012 : 1). Sedangkan untuk Sekolah Dasar ke atas bahwa

pengetahuan didapatkan dengan Tri Nga yaitu ngerti (kognitif) dengan akal, ngrasa

(afectif) yaitu merespon, menghargai, menjunjung nilai-nilai dan nglakoni

(psychomotor) yaitu bertindak secara terpimpin. Bagi tingkat yang lebih tinggi lagi
55

terutama yang sudah mempunyai kemampuan analisis maka Tri Na pengertiannya

adalah nonton, niteni dan nambahi.

Menurut Ki Hadjar Dewantara mengetahui adalah fakta yang ditangkap oleh

pengalaman yaitu panca indera. Setelah ditangkap panca indera kemudian masuk ke

dalam jiwa, dalam jiwa diolah oleh trisakti jiwa yang unsur-unsurnya adalah cipta,

rasa dan karsa. Jadi pengetahuan merupakan aktualisasi cipta, rasa dan karsa yang

hasilnya berupa budaya. Budaya ini ada yang bersifat budaya lahir dan ada yang

bersifat budaya batin. Budaya lahir berupa teori-teori, konsep-konsep tentang

pengetahuan. Sedang budaya batin berupa cara berpikir, cara merasa, dan cara

bertindak. Jadi pandangan Ki Hadjar Dewantara lebih lengkap karena pengetahuan itu

adalah hasil cipta, rasa dan karsa apabila dibandingkan dengan teori pragmatisme.

3. Konsep Ki Hadjar Dewantara Tentang Belajar


Pandangan belajar Ki Hadjar Dewantara Nampak pada konsep mengenai Tri

Pusat Pendidikan. Bahwa anak didik harus tidak semata-mata belajar di sekolah

tetapi juga dalam keluarga dan masyarakat (dalam alam pemuda). pendidikan alam

keluarga akan mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin yang meliputi jasmani

dan rohaniya. Keadaan keluarga sangat mempengaruhi perilaku pendidikan, terutama

tolong menolong dalam keluarga, menjaga saudara yang sakit, kebersamaan dalam

menjaga kebersihan, kesehatan, kedamaian dan kebersamaan dalam berbagai

persoalan sangat diupayakan dalam keluarga. Dalam alam keluarga orang tua dapat

menanamkan segala benih kebatinan yang sesuai dengan kebatinannya sendiri, ke

dalam jiwa anak. Ini adalah hak orang tua yang paling utama dan tidak boleh dicegah

orang lain. Jadi orang tua berperan sebagai guru (pemimpin laku adab), sebagai
56

pengajar (pemimpin kecerdasan serta pemberi ilmu pengetahuan) dan menjadi contoh

laku kesosialan.
Selanjutnya dalam alam perguruan, yang merupakan institusi yang berkewajiban

mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) serta memberikan ilmu

pengetahuan. Tetapi menurut Ki Hadjar Dewantara agar pendidikan alam perguruan

tidak hanya mementingkan intelek sehingga bersifat zakelijk atau tak berjiwa, yang

akan berpengaruh kuat terhadap tumbuhnya egoisme dan materialisme maka Ki

Hadjar Dewantara sangat menggarisbawahi pendapat Pestalozzi yang mengatakan

bahwa pendidikan intelektual harus disesuaikan dengan kodrat alam dan pendidikan

keluarga. Sedang pendidikan alam pemuda atau dalam masyarakat, dimana para

pemuda mendidik dirinya sendiri. Kesempurnaan pendidikan dalam masyarakat akan

terwujud apabila orang-orang yang berkepentingan yaitu orang tua, tokoh-tokoh

masyarakat, guru-guru dengan anak/pemuda bersatu paham misal dalam bidang

agama, bidang politik, dalam kebangsaan, maka cukuplah sistem Tri Pusat

Pendidikan itu akan tercapai.

Terwujudnya Tri Pusat Pendidikan akan melahirkan calon-calon pemimpin bangsa

ini yang berkarakter ing ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karsa dan tut wuri

handayani. Para pemimpin yang diidealkan Ki Hadjar Dewantara ini dimasa depan

akan menghasilkan pemimpin yang tangguh karena merupakan pemimpin yang

disiplin terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan masyarakatnya.

Pemimpin yang demikian itu tidak akan melakukan penyalahgunaan wewenang

atau kekuasaan, tidak akan melakukan manipulasi keuangan atau korupsi dan tidak

akan melanggar kesusilaan.

Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang belajar mengatakan dalam salah satu

dasar yang digunakan dalam sistem among yaitu kemerdekaan. Secara paedagogis

kemerdekaan merupakan syarat untuk membantu perkembangan segala potensi anak


57

didik tanpa tekanan dan hambatan. Dengan demikian akan memungkinkan

perkembangan pribadi yang kuat pada anak didik yang kuat. Anak didik dengan

bawaan kodratnya diberikan kebebasan atau kemerdekaan untuk mengatasi sendiri

masalah-masalah yang dihadapi. Jadi pendidik hanya tutwuri handayani, kecuali

masalah-masalah yang dihadapi anak didik akan membahayakan anak didik itu

sendiri, baru pendidik akan mengambil alih tindakan terhadap permasalahan-

permasalahan tersebut.

Konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai belajar tersebut didasarkan pada

kepercayaan bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan

dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau

mengancam manusia itu sendiri.

Hanya saja pada sistem tutwuri handayani, Ki Hadjar Dewantara berbeda dengan

aliran filsafat pendidikan progressivisme karena apabila kebebasan anak didik dalam

menyelesaikan masalah-masalah ternyata mengancam anak didik itu sendiri maka

pendidik boleh mengambil permasalahan-permasalahan tersebut.

Pandangan tentang belajar Ki Hadjar Dewantara juga tampak teori Konvergensi

pada teori terbuka rasa dari John Loeke mengatakan bahwa anak lahir seperti kertas

putih. Para pendidik berwenang membentuk karakter seseorang (bukti pendidikan

lingkungan memberikan bentuk dan karakter manusia).

Sementara teori Nativisme/teori negatife yang mengatakan bahwa faktor

hereditas (bawaan) anak didik yang menjadikan karakter manusia tumbuh menjadi

manusia yang ideal. Teori ini berasal dari Arthur Schopenhaver pendidik maupun

lingkungan tidak mengubah apapun.


Sedang teori Convergensi yang memandang anak didik tumbuh memiliki

karakter yang ideal karena disamping pembawaan atau hereditasnya tetapi karena
58

usaha dari pendidikan dan lingkungan. Teori ini oleh Ki Hadjar Dewantara dinamakan

Teori Dasar dan Ajar.

4. Konsep Ki Hajar Dewantara tentang Kebudayaan

Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan merupakan salah satu usaha pokok

untuk memberikan nilai-nilai kebatinan, yang ada dalam hidup rakyat yang

berkebudayaan, kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa

“pemeliharaan” akan tetapi juga dengan maksud “memajukan” serta

“memperkembangkan” kebudayaan, menuju kea rah keluruhan hidup kemanusiaan

(Dewantara, 2011 : 344). Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan bangsa

sendiri mulai dari Taman Indria, anak-anak diajarkan membuat pekerjaan tangan,

misalnya : topi (makuto), wayang, bungkus ketupat, barang-barang hiasan dll, dengan

bahan dari rumput atau lidi, bunga dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar anak

jangan sampai hidup terpisah dengan masyarakatnya ( Dewantara, 2011 : 276).

Metode permainan yang masih terdapat di desa-desa, dimaksudkan untuk

melatih ketangkasan, melihat, mendengar dan bertindak sebagai latihan panca indera.

Banyak permainan anak-anak yang berupa tarian, sandiwara-sandiwara yang amat

sederhana, tetapi cukup mengandung bahan-bahan untuk pendidikan, misalnya seni

suara, tari dan drama. Drama dari cerita-cerita rakyat seperti Timun Emas, Bawang

Putih, Jaka Kendil maupun cerita-cerita wayang purwo.

Untuk anak-anak yang sudah besar misalnya Taman Dewasa atau Sekolah

Menengah Pertama dan Taman Madya atau Sekolah Menengah Atas akan diberikan

pelajaran olah gending. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat dan memperdalam

rasa kebangsaan. Tari Serimpi dan tari bedoyo diberikan kepada anak didik karena

merupakan kesenian yang amat indah yang mengandung rasa kebatinan, rasa kesucian

dan rasa keindahan. Gadis-gadis kraton jaman dulu diwajibkan mempelajari Tari
59

Serimpi. Disamping tari Serimpi juga diajarkan sandiwara atau drama yang dalam

istilah Jawa disebut tonil, misalnya : Srandul, Reog, Kethoprak, Wayang,

Langendriyan, Langen Wanara, Langen Asmara Suci dll ( Dewantara, 2011 : 347-

348).

Frobel dan Montessori adalah tokoh-tokoh pendidikan anak-anak yang banyak

berpengaruh pada pandangan-pandangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Bagian

lain Ki Hadjar Dewantara mengatakan kesenian yang kita pakai sebagai alat

pendidikan dalam Taman Siswa tetap bermaksud mempengaruhi perkembangan jiwa

anak-anak kearah keindahan pada khususnya, namun keindahan di dalam

rangkaiannya dengan keluhuran dan kehalusan sehingga layak bagi hidup manusia

yang beradab dan berbudaya. Jadi ada perkembangan jiwa anak “ dari natur ke

kultur” ( Dewantara, 2011 : 353 ).

Bila kita cermati konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara didasarkan pada

kebudayaan yang diwariskan merupakan kebudayaan yang telah teruji oleh segala

zaman, kondisi dan sejarah.

Nilai-nilai budaya Jawa dalam keraton maupun dalam masyarakat Jawa juga

merupakan nilai-nilai budaya yang sudah teruji oleh waktu dan sejarah bahkan

masih ada sampai sekarang. Nilai-nilai tersebut bukan berarti statis tetapi juga

mengalami kemajuan. Ki Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha kemajuan

ditempuh melalui petunjuk “Trikon” yaitu kontinyu dengan alam masyarakat

Indonesia sendiri. Artinya secara kontinyu kebudayaan harus diestafetkan atau

diberikan kepada generasi penerus secara terus menerus. Tetapi juga konvergen

dengan budaya luar. Artinya penerima nilai-nilai budaya dari luar, dengan selektif

dan adaptatif dan akhirnya bersatu dengan alam universal, dalam persatuan yang

konsentris yaitu bersatu namun tetap mempunyai kepribadian sendiri. Jadi dapat
60

disimpulkan kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang maju tetapi tetap

berkepribadian Indonesia ( Dewantara, 1994 : 371).

Nilai-nilai budaya yang digunakan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan

adalah nilai-nilai budaya yang telah teruji oleh waktu yaitu yang adanya sejak beliau

dilahirkan yaitu pada masa Adipati Paku Alam III yaitu tahun 188. Jadi merupakan

nilai-nilai budaya sekitar abad ke-18.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan Ki Hadjar

Dewantara merupakan kovergensi antara nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dengan

teori-teori barat yang ada dalam filsafat pendidikan progresivisme terutama pandangan

Pestalozi dan filsafat pendidikan esensialisme yang mendasarkan nilai-nilai masa

lampau yang sudah mapan. Sedangkan budaya sebagai alat pendidikan Ki Hadjar

terpengaruh dari Frobel dan Montessori sebagai tokoh pendidikan anak-anak. Ki

Hadjar Dewantara dengan cermat dn harmonis menyatupadukan semua itu dengan

menggunakan teori Tri Kon.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakekat pendidikan menurut Ki

Hadjar Dewantara adalah memasukkan kebudayaan ke dalam diri anak dan

memasukkan anak ke dalam kebudayaan supaya anak menjadi makhluk yang insani.

BAB VI

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Pengantar
Perkembangan dan perubahan dalam lapangan pendidikan menumbuhkan tantangan agar
para pendidik mempunyai sikap tertentu yang telah bersendikan atas pendirian tertentu pula.
Menurut Theodore Brameld dalam bukunya. “Philosophies of Educations in Cultur
Perspektif” bahwa pemikiran dunia filsafat pendidikan dapat diketahui melalui aliran – aliaran
filsafat pendidikan seperti : Progresivisme, Essensialisme, Perenialisme dan
Rekonstruksionisme. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa ada kemungkinan-
kemungkinan seperti sikap konsevatip, bebas dan modifikatif, regressif, atau radikal
rekontruktif.
61

Penjabaran dari sikap-sikap tersebut dalam pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Menghendaki pendidikan yang pada hakekatnya progressif. Tujuan pendidikan
hendaklah diartikan sebagai rekontruksi pengalaman yang terus-menerus.
Pendidikan hendaklah bukan menyampaikan pengetahuan kepada anak didik untuk
diterima saja, melainkan yang lebih penting dari itu adalah:
melatih kemampuan berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli.Yang dimaksud
dengan berpikir adalah penerapan cara- cara ilmiah seperti mengadakan analisa
( penyelidikan thd. sesuatu untuk mengetahui keadaan sebenarya ), mengadakan
pertimbangan, dan memilih di antara beberapa alternatif yang tersedia.
Semua itu diperlukan oleh pendidikan agar orang yang melaksanakan dapat maju
atau mengalami suatu progress. Dengan demikian orang akan dapat berbuat sesuatu
dengan inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian sesuai dengan tuntutan dari
lingkungan.
Pendidikan dari Progresivisme ini penekanannya membina manusia dan warga
negara yang hidup di atas asas- asas filosofis sesuai dengan tuntutan- tuntutan masa
depan umat manusia.Sekolah adalah sebagai lembaga yang merupakan wadah
pembinaan anak yang paling efektif.
Progresivisme memandang bahwa pendidikan dianggap mampu mengubah dan
menyelamatkan manusia demi masa depan yang lebih baik.
Aliran ini disebut Progressivisme karena selalu meninjau dan mendasarkan
konsepnya ke depan. Hal-hal yang sudah lampau tidak mesti menentukan bagi
jalannya pendidikan sekarang dan yang akan dating. Progressivesme sangat
dipengaruhi oleh aliran filsafat: Naturalisme ( Suatu faham yang yang meyatakan
bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta ini dan bukan kenyataan
spiritual ) dan Pragmatisme ( Suatu aliran filsafat yang berpandangan bahwa
kebenaran segsla sesuatu terletak pada kegunaan praktis ).
2. Pandangan yang menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai dan
norma hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai dan norma tersebut
sudah teruji dan tahan hidup lama.Menginginkan agar manusia kembali pada
kebudayaan lama, karena kebudayaanlama telah memberi kebaikan pada manusia.
Tugas Pendidikan adalah:
sebagai perantara atau pembawa “nilai” yang ada di dalam “gudang” di luar ke jiwa
anak didik.Ini bearti bahwa anak didik itu perlu dilatih agar mempunyai
kemampuan absorbsi ( daya serap ) yang tinggi. Menginginkan agar manusia
kembali pada kebudayaan lama. Hal ini karena kebudayaan lama telah memberi
kebaikan pada manusia.
Dengan demikian pendidikan itu harus mendasarkan atas hal-hal yang bersifat
esensial dari kebudayaan.
62

Aliran tersebut dikenal dengan nama: Esensialisme. Aliran tersebut sangat


dipengaruhi oleh Idialisme( Suatu faham yang menyatakan bahwa kenyataan yang
sebenarnya adalah spiritual . Jadi realita itu sama dengan ide/ gagasan.) dan
Realisme.
3. Pandangan yang menghendaki bahwa pendidikan harus kembali pada jiwa yang
menguasai abad pertengahan (tahun 100 – 1600). Jadi pendidikan harus berdasar
atas:
buah pikiran yang terbaik dan sifatnya sangat hakiki dan dapat dipergunakan
sepanjang masa, tak terikat oleh waktu dan tempat.
Hal itu dilakukan karena pendidikan jaman sekarang dikatakan sudah tidak jelas
pada pangkal tolaknya dan tujuannya.
Pandangan/aliran tersebut disebut: Perenialisme.
Perenialisme didukung oleh Idealime dan Realisme terutama oleh Plato, Aristoteles
dan Thomas Aquinas.
4. Pandangan yang menghendakai agar anak didik dapat ditingkatkan kemampuannya
untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan
perkembangan masyarakat sebagai akibat majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan penyesuaian seperti itu anak didik akan tetap berada dalam
suasana aman dan bebas. Aliran ini disebut Rekontruksionisme. Aliran tersebut
dipengaruhi oleh aliran filsafat: Pragmatisme, Realisme dan Naturalisme.

B. Penjelasan dari masing-masing konsep/aliran.


1. PROGRESIVISME.
Progressive berkembang dalam permulaan abada 20 terutama di Amerika Serikat.
Progressivisme lahir sebagai pembaharuan dalam filsafat pendidikan terutama sebagai
lawan terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan konvensional yang diwarisi abad 19.
Essensia yang terkandung dalam ajaran filsafat Progressivisme ialah dalam namanya
sendiri yaitu progressive. Progres (= berkembang maju) -> yang berarti perubahan
dalam semua realita (mendasarkan konsepnya ke depan).Jadi yang didambakan oleh
Progresivisme adalah menciptakan perubahan untuk mencapai kemajuan.Suatu
kemajuan baru dianggap progresivitas jika membawa kemajuan.
Pandangan Progressivisme dianggap sebagai… the liberal road to culture”( “ kebebasan
untuk menuju kearah kebudayaan ) dalam arti bahwa liberal dimaksudkan sebagai sifat
fleksibel( lentur dan tidak kaku ), berani, toleran dan bersikap terbuka, serta ingin
mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan pengalaman. Arti liberal juga bearti
menghormati manusia sebagai subyek dalam hidupnya, yakni subyek yang memiliki
kemerdekaan.Jadi makna The liberal Road of culture maksudnya nilai- nilai yang dianut
bersifat fleksibel terhadap perubahan,toleran, terbuka sehingga menuntut selalalu maju
bertindak secara konstruktif, inovatif, reformatif , efektif dan dinamis.Filsafat
63

Progressivisme telah memberi sumbangan yang besar dalam dunia pendidikan, dimana
telah meletakkan dasar- dasar kemerdekaan, kebebasan kepada peserta didik. Anak
didik diberi kebebasan untuk megembangkan bakat, kreativitas, kemampuan tanpa
dihambat oleh orang lain.Progresivisme disebut sebagai naturalisme, yang punya
pandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta ini ( yakni
dunia yang nampak ini bukan kenyataan spiritual dan supernatural ).
Naturalisme dapat menjadi materialisme, karena memandang bahwa jiwa manusia
dapat menurun kedudukannya menjadi dan mempunyai hakikat seperti unsur
materi.
Progressivisme menganggap pendidikan sebagai cultural transisi. Ini berarti bahwa
pendidikan dianggap mampu merubah dalam arti:membina kebudayaan baru yang

dapat menyelamatkan manusia bagi hari depan yang lebih baik. Pendidikan adalah
lembaga yang mampu membina manusia untuk menyesuiakan diri dengan perubahan-
perubahan budaya dan tatanan jaman.Menurut Progresivisme,pendidikan harus
membawa kemajuan,tidak konservatif dan otoriter.Pendidikan harus memperhatikan
kemampuan-kemampuan dasar manusia yang merupakan motor penggerak bagi
kemajuan dirinya.
Progresivisme berpijak pada aliran filsafat Pragmatisme, yaitu aliran yang berpendapat
bahwa kebenaran segala sesuatu ada pada kegunaan praktisnya.Atas dasar
pandangaanya ini, Pragmatisme memandang, bahwa :
1. Realita bukanlah semesta atau ide yang sifanya abstrak, tetapi merupakan sesuatu
yang berupa proses, bukan sesuatu yang tetap.
2. Hakikat sesuatu dipandang dari segi kegunaannya.
3. Tak ada pengetahuan yang tetap.
4. Manusialah yang menjadi penentu pengembangan pengetahuan.
Penyumbang pikiran dalam pengembangan Progresivisme,antara lain :Francis
Bacon( telah menanamkan metode experiment ),John Locke ( terkenal teorinya
Empirisme ),Rousseau( yang meyakini kebaikan kodrat manusia dan juga menghormati
perkembangan alamiah manusia ) ,Kant dan Hegel.Bacon menanamkan metotde
eksperimen.John Locke menyumbang gagasan ttg.kemerdekaan yang menghormati hak
azasi,Rousseau meyakini ttg.kodrat manusia yang dapat berbuat baik,Kant memuliakan
martabat manusia.Sedangkan Hegel peletak dasar penyesuaian manusia dengan alam
dan masyarakat bersifat dinamis dalam proses penyesuaian dan perubahan yang tak
pernah berhenti.
a. Ciri-ciri utama Progressivisme.
64

1. Mempercayai manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan untuk


menghadapi dunia dan lingkungan hidup yang multi komplek dengan skil dalam
kekuatannya sendiri. Dengan kemampuan tersebut manusia mampu memecahkan
semua problem secara intelegen/cerdas; berakal.Kemampuan yang ada pada diri
manusialah yang menjadi penggerak kemajuan.
Pendidikan dipandang mampu mengubah dan menyelamatkan manusia demi masa
depan.Tujuan pendidikan selalu diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman
yang terus menerus dan bersifat progresive.Dengan demikian,
progresif( kemajuan ) merupakan sifat positif dari aliran tsb.Progresivisme
memandang segala sesuatu ke depan. Di sini pendidikan tak hanya
menyampaikan pengetahuan, tetapi yang penting adalah melatih kemampuan
pikir dengan memberi rangsangan yang tepat. Tugas utama dalam pendidikan
adalah mempertinggi kecerdasan anak. Hal ini karena kecerdasan dipandang
alat untuk menguasai alam.
2. Sebagai ajaran filsafat, Progressivisme punya dua watak:
a. Negative and diagnosic yang berarti bersikap anti terhadap otoriterisme dan
absolutism (=tindakan sewenang/berkuasa sendiri dan bersifat mutlak) dalam
segala bentuk baik yang kuno maupun yang modern mencakup semua bidang
kehidupan (agama, moral, politik, dan ilmu pengetahuan ).
Dalam pendidikan Progressivisme tak menyetujui pendidikan yang bersifat
otoritras dan absolute. Karena pendidikan yang demikian tak akan dapat
mengembangkan potensi manusia.Pada hal kemampuan tersebut menjadi mesin
penggerak manusia dalam usahanya mencapai kemajuan.
b. Positive dan Remedial( membetulkan ) , yaitu suatu pernyataan dan
kepercayaan atas kemampuan manusia sebagai subyek yang memiliki potensi-
potensi alamiah untuk menghadapi dan mengatasi semua problem kehidupan.
Kemampuan/potensi alamiah tersebut merupakan modal untuk maju ke
depan/mendorong menuju kemajuan.
3. Karena progress/kemajuan menjadi inti perhatian, maka ilmu-ilmu yang mampu
menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan.
Kelompok ilmu tersebut antara lain:
a. Ilmu hayat dari ilmu ini diperoleh kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk
yang berjuang untuk mempertahankan kehidupan dengan mengatasi rintangan-
rintangan yang dihadapi.
b. Anthropologi dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang
mempunyai sejarah lama yang dapat hidup bersama saling pengaruh
mempengaruhi dan bermasyarakat serta berbudaya.
c. Psikologi, dari ilmu tersebut dapat dipelajari bahwa manusia adalah makhluk
berpikir yang mempunyai paham mengenai diri sendiri, lingkungan dan
65

pengalaman (makhluk yang mempunyai keistimewaan dari pada makhluk lain,


karena manusia punyai kecerdasan).
d. Sedangkan ilmu alam dan ilmu yang sejenis menunjukkan bahwa dengan
penguasaan ilmu tersebut manusia mampu menguasai/ mengetahui sifat- sifat
alam, menguasai, mengatur sebagian darinya.
Atas dasar tinjauan tersebut jelas bahwa Progressivisme memilih beratkan pada
kemajuan/progress. Progres dapat berlangsung atas dasar pengalaman manusia
yang terus menerus.
Pengalaman yang membawa progress (kemajuan) adalah pengalaman yan
berhasil.
Jadi bagi progress sesuatu ide/cita itu tak cukup diakui sebagai hal-hal yang
ada, tetapi dapat diwujudkan dalam praktek dan membawa ke arah
kemajuan.
4. Progressivisme kadang-kadang disebut dengan nama yang berbeda- beda seperti:
4.1. Instrumentalisme karena aliran ini menganggap bahwa potensi intelegensi
(Inteligensi ini merupakan kemampuan bertingkah laku tidak secara rutine dan
kebiasaan yang buta, tetapi kemampuan untuk menafsirkan suatu alternatif
dengan berbagai kemungkinan) manusia sebagai kekuatan utama manusia
yang dapat dipandang sebagai alat (instrumen) untuk menghadapi tantangan
dan probleman dalam kedepan. Intelegensi dipandang sebagai alat untuk hidup,
untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian / alat untuk
memecahkan problem kehidupan.
4.2. Experimentalisme berarti aliran ini menyadari dan mempraktekkan asas
ekseperimen (percobaan) untuk menguji kebenaran suatu teori. Percobaan yang
dilakukan untuk membuktikan apakah suatu ide, teori atau pandangan itu benar
atau tidak.
Percobaan tersebut memberi pengalaman pada manusia terhadap hal yang nyata.
4.3. Environmentalisme. Disebut demikian aliran tersebut menganggap bahwa
lingkungan hidup mempengaruhi perubahan kepribadian. Lingkungan hidup
dengan tantangan yang ada di dalamnya mendorong manusia untuk berjuang,
berkembang demi hidupnya.Lingkungan hidup dipandang sebagai medan
berjuang menghadapi tantangan dalam hidup, baik lingkungan fisik maupun
sosial.
4.4. Pragmatis sebab azas utama dalam kehidupan manusia ialah untuk tetap survis
terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis; melihat segala sesuatu
dari segi kegunaan praktisnya.Secara umum Progressivisme mendasarkan pada
aliran Pragmatisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa kebenaran segala
sesuatu ada pada praktisnya.
4.5. Naturalisme. Ini karena Progresivisme mempunyai pandangan bahwa kenyataan
yang sebenarnya adalah alam semesta ini
66

b. Pandangan Progressivisme terhadap realita/ ontologi.


Pandangan mengenai realita khususnya mengenai methapisika adalah kabur/tak jelas.
Hal ini karena pandangan yang dipegang teguh Progressivisme adalah:
bahwa sesuatu itu tidak dapat dirumuskan secara mutlak/kekal; tetapi harus
dirumuskan bahwa sesuatu itu bersifat tak mutlak/realtif.
Kenyataan baru bearti bila ada faedahnya.
Jadi seandai kita ingin mengetahui methapisika, mengenai alam, maka yang
diperhatikan terutama adalah proses dari pada alam itu.
Berhubung dengan itu, maka Progressivisme menganggap bahwa:
pengalaman menurut Progresovisme sebagai realita kehidupan manusia dalam
ontologi sesungguhnya mencari dan menghadapi secara langsung suatu realita dan
pengalaman merupakan kunci untuk mengetahui realitas (key – concept). -> kunci
pengertian manusia atas segala sesuatu. Pengalaman menyangkut penderitaan,
kesedihan, kebodohan ,halangan, cinta ,dsb.nya yang merupakan realita hidup. Ini
merupakan realita dalam mana manusia hidup sampai mati.
Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika hidup ( rithme hidup), hidup adalah
perjuangan, tindakan dan perbuatan. Dalam mengisi pengalaman ini manusia
punya peranan yang jauh di atas makhluk lain karena manusia memiliki kecerdasan,
ingatan dan kemampuan lain yang tak dimiliki makhluk lain.Jadi pengalaman itu
sifanya dinamis dan temporal ( selalu berkembang, tak sama seperti yang dicapai
yang lalu ).
Asas ontologi Progresivisme didasarkan pada pengalaman adalah suatu dalil
yang bersumber dalam teori Evolusi.Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup
adalah tindakan- tindakan dan perubahan.Manusia akan tetap hidup dan
berkembang jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan ia berani
bertindak.
Pengalamnan dalam arti di atas mengandung sifat-sifat sebagai berikut :
a. Pengalaman dinamis. Hal ini karena realita itu menuntut tindaka- tindakan yang
dinamis yang bersifat alternatif.
b.Pengalaman temporal, artinya pengalaman itu selalu berubah dari waktu ke waktu,
berkembang dan sama sepert yang dicapai yang lalu.
67

c.Pengalaman itu spatial, terjadi di suatu tempat tertentu dalam lingkungan hidup
manusia.
d.Pengalaman itu plurlistis. Ini karena subyek yang mengalami pengalaman itu,
menangkapnya dengan rasa,karsa dan pikir serta panca inderanya. Sehingga
pengalaman itu memang bersifat pluralis.

c. Pandangan Progressivisme mengenai Pengetahauan.


Tinjauan mengenai realita di atas memberikan petunjuk bahwa
pragmatisme/progressivisme lebih mengutamakan pembahasan mengenai
epistimologi dari pada metafisika. Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai:
Kecerdasan/ akal dan pengalaman.Akal adalah alat bagi manusia untuk memperoleh
pengetahuan. Pengetahuan yang harus dimiliki anak adalah pengetahuan yang
berhubungan dengan pengalaman anak.Pengalaman pada hakikatnya adalah
perbuatan. Jadi bukan pengalaman yang abstrak. Keduanya tak dapat dipisahkan.
Untuk mengetahaui teori pengetahuan diperlukan tinjauan mengenai istilah-istilah
sebagai berikut:
1. Induktif, adalah usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan mengambil dari hal
yang khusus lebih dahulu dan kemudian diambil penarikan kesimpulan umum.Atau
cara menarik konklusi yang bersifat umum dari hal-hal yang kusus.Induksi
berangkat dari pengamatan dan pengetahuan indrawi yang berdasarkan
pengalaman.
2. Deduktif, artinya suatu pengetahuan yang diperoleh yang berlandaskan ketentuan
umum yang berupa dalil atau pangkal duga. Pragmatisme mengutamakan cara
induktif.
3. Rasional berasal dari kata rasio yang berarti akal, Dalam epestimologi resional
berarti pandangan bahwa akal itu instrumen utama bagi manusia untuk memperoleh
pengetahuan.
4. Emperik adalah suatu padanngan bahwa persepsi pancaindera adalah media yang
memberikan jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan.
Dalam hal ini bagi Progressimise alat utama manusia untuk mencapai pengetahuan
adalah kecerdasan. Kecerdasan merupakan faktor yang sangat menentukan adanya
hubungan antara manusia dengan lingkungan, baik lingkungan yang berwujud
fisik maupun kebudayaan/ manusia.Pengetahuan menurut Progressivisme
merupakan hasil aktivitas tertentu yang diperoleh manusia melalui pengalaman
langsung atau melalui buku- buku.
Cacatan: Pengetahuan yang sudah memberikan daya guna bagi manusia oleh
Progressivisme disebut kebenaran.
Jadi dalam mencari ilmu pengetahuan lebih menekankan pada pendekatan
induktif, rasional dan empirik.
68

Timbul pertanyaan. Pengetahuan yang bagaimanakah yang harus diberikan pada anak
didik ?.Jawabnya adalah : bukan pengetahuan yang abstrak, tetapi yang berhubungan
dengan pengalaman anak.
Bagi Progresivisme pengetahuan punya arti dalam kehidupan apabila bersifat
operasional dan berguna bagi kehidupan.
d. Pandangan Progressivisme tentang Nilai
Bagi Progresivisme nilai tak ada yang mutlak.Mendasarkan nilai Empiris (sesuatu
harus dicocokkan dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat), tak mengakui/tak
menaruh perhatian terhadap nilai-nilai yang non Empiris seperti nilai- nilai
supernatural, nilai agama yang bersumber dari wahyu Tuhan. Soal nilai tak dapat
dipisahkan dengan realita,nilai harus diuji secara empirik.
Progresivisme memandang nilai/norma bukan sebagai ide murni dan harus diuji secara
empirik,yaitu dicocokkan dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Nilai lahir
dari keinginan perasaan dan watak manusia.Nilai itu menurut Progresivisme bersifat
relatif, temporal dan dinamis.
Yang menjadi pandangan Progressivisme tentang nilai adalah nilai yang bersifat
instrinsif (terkandung didalamnya). Oleh karena itu nilai yang bersifat instrinsik itu
baru diketahui kesungguhannya apabila:
dapat terbukti dalam praktek dan dalam kenyataan Dan nilai yang dapat terbukti dalam
praktek itu disebut:
nilai instrumental (nilai yang berguna dalam kehidupan manusia)

Catatan: Tiap nilai yang berguna di dalam kehidupan manusia ialah nilai
instrumental. Sesuatu itu bernilai karena dapat mengantarkan manusia kepada
tujuan. Misalnya vitamin/obat adalah bernilai instrumental, sebab dapat
mewujudkan kesehatan.Kesehatan dapat mendatangkan kesejahteraan.
Di samping itu ada juga nilai sosial dan nilai individu.
Kedua nilai tersebut hanya dapat dibedakan saja tak dapat dipisah-pisahkan. Hal ini
karena suatu nilai yang kita perkirakan bersifat individual tidak jarang menunjukkan
sifat sosialnya.
Misal:
Orang yang sehat itu sebenarnya orang tersebut merasakan nilai tersebut (sehat)
bukan hanya dirinya sendiri. Sebab dengan baiknya kesehatan seseorang itu secara
tidak langsung juga menambah kesehatan masyarakat.
Jadi dua macam nilai tersebut dapat dibedakan, tetapi sukar dipisahkan. Dengan
demikian Progresivisme cenderung untuk meniadakan pemisahan tentang
pengertian, nilai instrinsik dan instrumental serta individual dan sosial. Juga
berpendapat bahwa nilai itu tidak bersifat mutlak
Karena Progresivisme didukung oleh naturalime, maka dalam bidang etika
menekankan pada segi kegunaan.Sesuatu dipandang benar bila berguna bagi
kehidupanengandung kebaikan, terutama berguna bagi manusia.
69

Suatu nilai berguna bila dapat menghatarkan manusia kesuatu tujuan, misal vitamin
bernilai instrumental karena dapat mewujudkan kesehatan.
Bagi Progresivisme nilai/norma arus duji secara empirik, dicocokkan dengan
kenyataan daam masyarakat.

e. Pandangan Progressivisme tentang Pendidikan dan Belajar.


Menurut Progresivisme pendidikan harus membawa kemajuan dan pendidikan harus
memperhatikan kemampuan dasar manusia yang merupakan penggerak bagi kemjuan.
Progresivisme berpendapat bahwa anak didik mempunyai potensi yang berupa akal
yang berguna untuk menghadapi masalah/ problem. Kemampuan anak tersebutlah
yang harus dikembangkan.
1. Pandangan Progressivisme tentang belajar bertumpu pada pandangan bahwa anak
didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk
lain.
Kelebihannya : anak memiliki akal/kecerdasan. Ini merupakan kelebihan
potensial dibanding dengan makhluk lain.Potensi tsb.berguna untuk
menghadapi dan memecahkan problem kehidupan. Konsekuensinya : harus tidak
ada pemisahan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah harus dapat
mengembangkan kreativitas anak.
Sehubungan dengan itu usaha untuk meningkatkan kecerdasan anak adalah tugas
utama dalam lapangan pendidikan, karena kecerdasan mempunyai peranan utama
dan menentukan bagi perkembangan anak. Dan sebagaimana telah diketahui,
mempertinggi kecerdasan berarti:
menggunakan sepenuhnya lingkungan, maka dari itu meningkatkan kecerdasan
anak tidak lain adalah:
mengetahui problema yang ada di lingkungan dan mengetahui bagaimana
memecahkan problema tersebut. Problema yang ada di masyarakat antara lain:
kenakalan remaja, pengangguran, narkoba dan sebagainya.
2. Progressivisme menganggap bahwa anak mengalami belajar yang edukatif dan
belajar yang mis-educatif.
Belajar yang edukatif adalah:
belajar yang secara bijaksana ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang secara
konstruktif, yang nilainya dan syarat-syaratnya ditentukan berdasar konsepsi
yang jelas/terang.Misal belajar di sekolah. Sekolah merupakan wadah
pembinaan anak yang paling efektif jika didasarkan prinsip pendidikan yang
tepat.Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk mini.
Sekolah ini menggambarkan keadaan dan kebutuhan masyarakat.
Sedang belajar yang mis-edukatif adalah belajar yang mengandung sifat-sifat
berlainan dengan sifat belajar yang edukatif.
Misal:
Konsepnya tak jelas, prosesnya juga sukar dikuasai.
Dengan demikian Progresivisme berpendapat bahwa belajar yang baik tidak cukup
berlangsung di sekolah saja.
70

3. Menurut Progresivisme , sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah wadah


pembinaan anak yang paling efektif. Di sekolah ini puat kegiatannya adalah untuk
melatih dan menyempurnakan inteligensinya.
f. Pandangan Progressivisme tentang Kurikulum.
Kurikulum menurut Progressivisme disebut dengan experiment, sedangkan isinya
harus berfungsi sebagai pengalaman yang educatif.
Kurikulum yang baik adalah yang punya nilai educative.Jadi sekolah yang baik ialah
yang memperhatikan sungguh-sungguh semua jenis belajar yang membantu
murid,pemuda dan orang dewasa untuk berkembang.
Kurikulum yang baik ialah seperti fungsi suatu laboratorium. Jadi bersifat
experiment (disini guru dan murid dapat melakukan suatu percobaan secara
continue).
Kurikulum yang bersifat experiment itu didasarkan atas pendirian bahwa:
kurikulum yang baik itu curriculum yang didasarkan atas pengalaman  ini artinya
apabila perlu kurikulum dapat dirubah sesuai dengan kebutuhan.Oleh karena itu
sifat kurikulumna juga bersifat fleksibel ( disesuaikan dengan kebutuhan )
Di samping itu Progresivisme tak menghendaki adanya mata pelajaran
terpisah,melainkan harus diusahakan menjadi satu unit atau integrasi.
Jadi jelasnya:
Kurikulum harus bersifat flesibel yang sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan tidak
bersifat konvensional (kebiasaan kelaziman, adat) yang seolah-olah kurikulum itu
sekali ditetapkan tak dapat diubah/direvisi. Fleksibel disini dalam arti dapat
membuka adanya peninjauan dan penyempurnaan,untuk disesuaikan dengan
kebutuhan dan tuntutan.Di samping itu kurikulum yang fleksibel juga memberi
kemungkinan untuk disesuaikan sifat dan kebutuhan anak. Kurikulum yang
bersifat fleksibel tersebut yang sangat disukai Progressivisme. Sedangkan isi
kurikulum harus berfungsi sebagai pangkal educative adalah kurikulum yang disusun
atas dasar teori dan metode yang diciptakan oleh: William Kilpatrick (AS).Oleh
kilpatrik ditekankan bahwa kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun merupakan
kegiatan yang sangat dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing
( belajar untuk bekerja ). Progresivisme tidak menghendakiadanya mata pelajaran
yang terpisah, melainkan harus diusahakan menjadi satu unit dan ter-integrasi.
Progresvisme memandang bahwa segala sesuatu berasaskan fleksibelitas. Ini tercermin
pandagannya mengenai kuirkulum sebagai pengalaman yang: edukatif, bersifat
eksprerimental,membuka peninjauan dan penyempurnaan untuk disesuaikan
dengan kebutuhan.
Pengalaman edukatif adalah pengalaman apa saja yang digariskan dalam pendidikan
yang setiap proses belajar dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak.
Catatan : Tentang pendidikan Progresivisme terbatas pada keduniawiaan. Hal ini
karena hidup menurut Progresivisme terbatas pada hidup di dunia.
71

Agar kita dapat membandingkan dengan faham- faham lama mengenai kurikulum ini,
perlu kiranya diketahui adanya beberapa macam kurikulum, yakni :
1.Organisasi dalam sesuatu mata pengetahuan tertentu.Organisasi ini sebagai kesatuan
yang berdiri sendiri- sendiri untuk tiap- tiap mata pengetahuan tersebut.
2.Korelasi antara dua atau lebih matapelajaran, misal antara ilmu bumi dan sejarah.
3.Pengelompokan dan integrasi antara pengetahuan- pengetahuan yang saling
berhubungan dalam lapangan pengetahuan yang luas.
4.Core Curikulum.
5.Kurikulum yang berpusat pada pengalaman, yaitu yang melepaskan semua garis
mata pelajaran dan menekankan kepada unit- unit.

1. ESENSIALISME .

A. Ciri-ciri Utama:
Esensialisme mempunyai tinjauan yang berbeda dengan Progressivisme mengenai
kebudayaan dan pendidikan. Kalau Progressivisme beranggapan/ berpandangan bahwa
banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel (mencala) dan nilai-nilai itu selalu
berubah dan berkembang, Essensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam itu kurang
tepat. Pandangan Progressivisme itu dapat menyebabkan keadaan pendidikan menjadi kurang
stabil; serba tidak menentu yang pada hakekatnya sukar untuk dikontrol dan diawasi.
Oleh karena itu Essensialisme menghendaki agar pendidikan berlandaskan atas nilai-nilai
yang dapat mendatangkan kestabilan, agar dapat terpenuhi maksud tersebut, maka nilai-nilai
dan norma tersebut harus dipilih nilai dan norma yang sudah hidup ber-abad-abad dan tahan
lama serta teruji oleh waktu (bersifat konservatif).Jadi Esensialisme menghendaki agar
pendidikan bersendikan atas nilai-nilai dan norma-norma yang hakiki ( esensial) dalam
budaya dan nilai dan norma tsb.telah ter-uji oleh jaman dan tahan uji.
Pandangan Esensialisme terhadap manusia adalah bahwa manusia adalah makhluk
budaya dan juga mahluk rasional( manusia sebagai anamal rational ).Manusia selalu
berada di tengah budaya dan ia aktif ber-interaksi dan berpartisipasi dengan nilai dan
norma. Nilai yang diperhatikan adalah nilai yang telah menunjukkan kemantapan dan tahan
uji.Maksudnya nilai dan norma tsb. telah terbukti tangguh. Contohnya bila di negara kita
adalah perumusan Pancasila sebagai norma dan nilai dapat disepakati karena telah ada sejak
ber-abad- abad.
Esensialime itu muncul pertama kali merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan
dogmatisme abad pertengahan ( th 100 – 1600 ) .Maka, disusunlah konsepsi yang sistematis
dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta , yang memenuhi tuntutan zaman
modern.
72

Pemikir- pemikir besar yang dianggap sebagai peletak dasar asas- asas filsafat aliran ini
adalah : Plato ( peletak dasar Idealisme ), Aritoteles ( peletak dasar Realisme ).

Pendukung dari Esensialisme adalah: Idialisme modern( Idealisme modern mempunyai


pandangan bahwa relita adalah sama dengan ide- ide. Di balik dunia fenomental ini ada jiwa
yang tak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmsos) dan Realisme
modern ( airan ini titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik), sumbangan
kedua aliran tersebut ekletik tak lebur menjadi satu, tidak melepaskaan sifat masing-
masing.Idealisme modern berpijak pada bermacam hal di lingkungan yang dekat pada
manusia, mengembangkan realita yang tidak “ melambung tinggi “.Idealis yang dianut adalah
idealis yang obyektif ( kenyataan yang ada adalah sama dengan ide ). Demikian pula dengan
realisme modern, yang antara lain bersendikan atas data mekanistis dan pandangan
evolusionis dari alam, memandang realita sebagai kenyataan yang serba obyektif.Istilah
realisme obyektif bearti suatu pandangan sistematis daripada dunia physis dan natural
dantempat manusia didunia.Ada dua lapangan ilmu pengetahuan yang berpengaru atas
realisme obyektif, yaitu : physika dan biologi.
Esensialisme adalah teori modern, yang tidak menyetujui simbolisme mutlak abad
pertengahan yang dogmatis.Esensialisme berusaha untuk menyusun konsepsi yang sistematis
dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang dapat memenuhi tuntutan dan
kebutuhan jaman modern.
Gerakan Ensensialisme muncul pada 1930 0leh Isac Kandell, Bagley.

B. Pandangan Essensialisme tentang Realita.


Karena Essensialisme merupakan perpaduan dari Idealisme dan Realisme, maka pandangan
tentang realitasnya juga tak lepas dari dua aliran filsafat tersebut.
Dari Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita (kenyataan) adalah
sama dengan ide-ide (substansi gagasan-gagasan)atau hal yang berkualitas spiritual. Oleh
Idealisme dinyatakan bahwa dibalik dunia fenomental ini ada jiwa yang tak terbatas yaitu
Tuhan yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai yang berpikir berada
dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta
73

gagasan- gagasannya, manusia dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan
sendiri.
Dari Realisme: titik berat tinjauannya adalah alam dan dunia fisik.Hakikat
kenyataan adalah “ hal “ atau benda. Jadi bukan sesustu yang dilepaskan dari
pemiliknya.Dalam pendidikanpun realisme berpendapat bahwa pendidikan itu pada
hakikatnya merupakan upaya untuk mengembangkan potensi yang ada dan dimiliki anak
didik menjadi optimal. Bila Idealisme pandangan bersifat spiritual.
Realisme memandang bahwa realita sebagai kenyataan yang obyektif /kenyataan ada
pada sendirinya dan manusia dapat menginsyafi kenyataan alam tergantung dari pada
kemampuan usahanya. Bila usahanya benar maka dia akan mampu mencapai keobyeknya dari
pada kebenaran. Jiwa diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambar dari dunia fisik.
Pada abad 15 dan 16 dua aliran tersebut bertemu dan bersama-sama mempunyai
perhatian yang sejenis terhadap perkembangan kebudayaan dan masyarakat yang pada waktu
itu menampakkan sifat keduniawian, materialistik dan proses industrialisasi. Untuk
menghadapi perkembangan tersebut maka kedua aliran tersebut menyusun kepercayaan yang
dapat menjadi penuntun manusia dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan tersebut.
Kerpercayaan yang disusun diusahakan tahan lama, kaya akan isi dan punya dasar yang kuat.
Konsep yang berasal dari Realisme banyak dipengaruhi oleh dua lapangan ilmu
pengetahuan :
a. Phisika dan ilmu-ilmu yang sejenis yang telah diletakkan oleh Newton (dengan
percobaan untuk mengetahui rahasia dunia). Dari alam fisik ini dapat dipahami
adanya tata yang jelas, misalnya adanya daya tarik bumi, dsb
b. Biologi, ini ditapsirkan atas teori evolosi dari Charles Darwin. Oleh Darwin
dinyatakan bahwa setiap makhluk hidup di dunia mengalami perkembangan yang
teratur mengikuti hukum mekanis (otomatis menurut kerja mesin).Hukum mekanis
ini suatu teori yang menyataan bahwa dunia sendir berjalan atas dasar sebab – akibat,
tarikan dan tekanan dari pada mesin yang amat besar. Dunia dianggap sebagai mesin,
karena dapat bergerak terus-menerus daipada kekuatannya sendiri. .Demikian pula
manusia adalah makhluk hidup yang mengalami perkembangan yang berlangsung
dengan teratur dan beproses menurut hukum mekanis. Dalam hal meneruskan
kelangsungan hidupnya di dunia, pada manusia berlaku / berlangsung:
Struggle for life dan Struggle for existence.Atau
Survival of the fittest dan Struggle for existence. Dalam perjuangan hidup akan
diseleksi oleh alam dan tinggalahyang kuat yang dapat menyesuaikan diri dengan
alam.
Istilah survival of the fittest itu berasal dari Herbert Spencer yang melukiskan hasil
perjuangan untuk mempertahankan hidup/ kelangsungan hidup.
Jadi realita menurut realism diartikan atas dasar pandangan yang: mekanis dan
evolosionistis (suatu pandangan bahwa segala bentuk kehidupan berkembangan
74

secara lambat dari bentuk sederhana ke arah yang lebih sempurna


/rumit).Pandangan tersebut juga merupakan pandangan Essensialisme.
Tokok Realisme yang lain antara lain Thomas Hobbes. Beliau seorang filsuf empiris.
Dikatakan bahwa pengetahuan yang benar adalah yang dapat dijangkau oleh
indera.Persentuhan dengan dunia luar dengan indera menjadi pangkal dan sumber
pengetahuan.
Dari Idealisme.
Pandangan yang digunakan adalah:
konsep tentang kosmologi yang optimis dan sesuai dengan prinsipnya bahwa
kenyataan ini sama dengan ide-ide. Dengan demikian kenyataan tertinggi adalah
bersifat spiritual.
Oleh Hegel dinyatakan bahwa yang mutlak adalah roh (jiwa). Roh ini menjelma
pada alam. Roh tersebut mempunyai inti yang disebut idea atau berpikir.
Kemanusiaan merupakan bagian dari idea yang mutlak, yaitu Tuhan.
Ciri lain penafsiran idealisme tentang penafsiran sistem dunia tersimpan dalam
pengertian makrokosmos dan mikrokosmos.
Makrokosmos menunjuk kepada keseluruhan alam semesta, dalam arti susunan
dan kesatuan kosmis, jadi kosmologi. Mikro kosmos menunjuk kepada faktor
tunggal pada tingkat manusia (individu tersendiri, terpisah dari
keseluruhan).Manusia merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari alam
semesta. Pengertian tentang makrokosmos dan mikrokosmos merupakan dasar
pengertian hubungan spiritual Tuhan dengan manusia. Eksistensi Tuhan tak terlepas
dari eksistensi alam semesta termasuk pula eksistensi manusia.Tuhan mengatur alam
semesta ini.
Idealisme pada jaman sekarang memperkembangkan ide mikrokosmis ini kepada aku atau
pribadi.
Jadi sintesa ide Idealisme dan Realisme tentang realita bearti Esensialisme
mengakui adanya realita yang obyektif disamping konsep- konsep yany spiritual ( tak
dapat diterangkan dengan akal atau ajaib ) dan transendental ( sukar dipahami ) serta
supernatural ( hal yang sukar diterangkan dengan akal atau ajaib ). Realita manusia, alam
semesta dan budaya menurut Esensialisme adalah realita yang integral. Semuanya berada
dalam proses evolosi, perubahan menuju kesempurnaan.

C.Pandangan Essensialisme tentang Pengetahuan.


C.1. Pandangan Realisme yang mengarahkan pada prinsip mekanis dan evalosionistis
juga digunakan sebagai dasar dalam membahas pengetahuan. Jadi boleh dikatakan benar
salah suatu pengetahuan harus ditinjau dari sudut kebendaan.Jadi manusia mengetahui
realita didalam dan melalui jasmani. Pikiran itu menurut Realisme adalah jasmani
sifatnya.Kita dapat hanya mengetahui sesuatu bila kita mengamati sesuatu. Bearti kita perlu
menggunakan indera kita. Misal dalam pemahaman tentang jiwa manusia. Realisme
75

menumbuhkan aliran-aliran psikologi yang dikenal dengan nama assosiasi, behaviarisme dan
konektiorisme.Menurut Assosiasi gagasan atau isi jiwa adalah asosiasi daripada unsur- unsur,
yang semuanya itu merupakan atom- atom dari pada pengamatan.Sedang Behaviorisme
menyatakan bahwa kehidupan mental itu tercermin pada tingkah laku ( behavior ) dan pula
dinyatakan bahwa berpikir adalah proses syarat otot.Kehidupan manusia semata-mata
ditentukan oleh hukum alam.Sedang konektionisme menyatakan bahwa semua makhluk
termasuk manusia, tingkah lakunya ditentukan oleh pola- pola hubungan antara stimulus dan
respon. Hukum yang menentukan adalah : the lawof exercise dan the law of effect. Ketiga
aliran tersebut berprinsip pada stimulus dan respon – jadi bersifat mekanistis.Jadi disini
Realisme menafsirkan manusia dalam rangka hukum alam,demikian pula aktivitas pikir
manusia dianggap sebagai satu mekanika. Pengetahuan bersumber pada pengalaman dan
kenyataan yang ada disekelilingnya. Jadi pengetahuan harus diperoleh dari dunia luar
dengan metode induktif. Metode ini dimulai dengan usaha untuk menemukan
pengetahuan dan kebenaran yang bersifat kusus, ber-angsur- angsur sampai kepada
kesimpulan- kesimpulan yang sifatnya umum.
Oleh Realisme pendidikan dipandang sebagai upaya pengembangan potennsi yang ada
dan dimiliki peserta didik menjadi optimal.
C.2. Dari Idealisme.Menurut Idealisme bahwa rokhani manusia adalah kunci kesadaran
tentang realita.Manusia mengetahui sesuatu hanya melalui jiwa /ide/ jiwa. Aliran filsafat ini
pandangannya tentang pengetahuan bersendi pada pengertian bahwa:
a. Manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul
dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
b. Jasmani merupakan subjek jiwa.
c. Sebagai akibat dari b perikehidupan yang bersifat kejiwaan itu ditempatkan lebih tinggi
dari pada hal yang bersifat kejasmanian.
Maka daripada itu pengetahuan yang bersifat spiritual dan kejiwaan juga punya
kedudukan yang tinggi dari pada yang bersifat phisik/kejasmanian
Menurut Idealisme pendidikan bertujuan pencapaian manusia yang berkepribadian dan
memiliki kehidupan kerokhanian yang tinggi dan ideal..
Jadi Idealisme menekankan bahwa rokhani adalah kunci kesadaran tentang
realita.Esensialisme memandang manusia sebagai animal rational.

D. Padangan Essensialisme tentang nilai.

Baik idealisme maupun Realisme mencari nilai yang sifatnya turun- temuruan.
Dari Idealisme:
Tuhan merupakan sumber nilai terakhir dan tertinggi. Jadi pandangan Idealime
tentang nilai berdasar hukum moral ( bahwa tiap manusia harus selalu melakukan
sesuatu yang oleh semua manusia tindakan itu wajib dilakukan dimana dan kapanpun.
Misal tindakan: rendah hati, bijaksana, menghormati orang lain, rasa malu,
jujur,dsb. ).Perbuatan – perbuatan tersebut adalah menjadi keharusan bagi kita. Nilai
yang sesungguhnya adalah nilai yang melekat pada exsisten ( pengertian adanya
76

sesuatu ) itu dan nilai yang yang demikian bersifat ideal.Jadi Idealisme menekankan
adanya nilai yang tetap dan idealistik.
Dari Realisme:
Menurut Realisme kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual lebih dahulu,
melainkan tergantung atau bagaimana keadaan bila dihayati oleh subyek tertentu dan
tergantung dari lingkungan. Jadi disini sikap subyek (yang menghayati nilai) ikut
menentukan hakekat nilai. Disini tingkah laku dan ekspresi perasaan juga
mempunyai hubungan dengan kualitas baik atau buruk.
Contoh: Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara yang
membutuhkan suasana tenang, harus bersikap formal dan teratur. Untuk itu perasaan-
perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan terhadap pakaian resmi-
menunjukkan keindahan baik pakaian dan seragam tersebut.
Menurut Realisme lingkungan turut menentukan soal baik atau buruk. Hal ini karena
manusia selalu berhubungan dengan lingkungan.
E. Pandangan Essensialisme tentang Pendidikan.
Menurut Essensialisme pendidikan dipandang sebagai pemeliharaan kebudayaan
(Education as Cultural Concervation). Karena dalil tersebut maka aliran tersebut
dianggap sebagai “ Concervative road to culture “, yakni aliran yang ingin kembali
pada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikannya bagi
manusia.Pendidikan dari Esensialisme mendasarkan pada nilai-nilai yang esensial
yaitu nilai yang telah teruji oleh waktu atau oleh jaman dan sejarah.
Bagi Idealisme tujuan pendidikan adalah sebagai pencapaian manusia yang
berkepribadian mulia dan memiliki taraf kehidupan kerokhanian yang edeal/tinggi.
Sedang Realisme menyatakan bahwa perhatian yang utama dalam pendidikan adalah
apa yang ada pada peserta didik.
Yang ingin dibina oleh Esensialisme melalui pendidikan adalah:
kebajikan,kejujuran,sikap hormat,tahu kewajiban dan pengabdian.
Sedang tujuan pendidikan dari Esensialisme adalah:
membentuk pribadi yang bahagia didunia dan diakherat.
Bila Esensialisme ditinjau dari sejarahnya nampak jelas bahwa timbulnya
Esensialisme mempunyai sifat yang negative dan positif.
Sifat negative karena aliran ini berusaha menghindarkan diri dari cara berpikir dari
sifat pendidikan abad pertengahan ( th. 100 sampai 1600 ) yaitu sifat yang otoriter dan
absolut.
Sifat positip meski menghindarkan diri dari semua keadaan abab pertengahan, aliran
Esensialisme berusaha untuk mengisi dan menciptakan hal-hal baru yang sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan.
Tokoh-tokoh pendidikan Esensialisme yang menciptakan/mengajukan hal-hal
yang baru dan menyebarkan aliran Esensialisme, antara lain :
1. Desiderius Eramus (hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16 atau th. 1466
– 1536 dan seorang Humanis asal Belanda). Beliau hidup dalam jaman kontradiksi
alam pikiran, yakni alam pikiran abad pertengahan yang dogmatis dengan alam
pikiran yang humanis, hidup dengan kebebasan dan harga diri. Berontak terhadap
77

pandangaan hidup yang berpijak pada “dunia lain”. Tokoh ini berusaha agar
kurikulum di sekolah bersifat humanities (bersifat kemanusiaan, bila humanisme
adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-
citakan pergaulan yang lebih baik) dan dapat diikuti oleh kaum tengah dan
Aristokrat.
2. Johan Amos Comenius. Beliau hidup pada 1592 – 1670 dan merupakan seorang
realis yang dogmalis. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang diajarkan pada
anak melalui indera, karena indera adalah pintu gerbang jiwa. Realis yang
dogmatis. Belajar harus melalui pengamatan. Tugas pendidik membina kesadaran
manusia akan alam semesta untuk menuju Tuhan.
3. John Locke (1632 – 1704) tokoh dari Inggris dan dikenal sebagai pemikir dunia. Ia
mengatakan bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan
kondisi.Beliau juga mendirikan sekolah kerja untuk anak-anak miskin. Beliau
merupakan peletak dasar pendidikan modern yang mengutamakan peran vital
dari pada lingkungan dalam rangka penyesuaian manusia kepada alam semesta
yang natural dan super natural. Menurut Jonh Lock pendidikan harus selalu dekat
dengan situsi dan kondisi.John Locke adalah tokok Realis.
4. Johan Henrich Pestalozi (1746 – 1827) Ia mengatakan bahwa manusia mempunyai
hubungan transendental (hubungan yang bersifat kerokhanian) dengan Tuhan.
Segala sesuatu berasal dari Tuhan oleh Tuhan dan menuju Tuhan. Manusia secara
kodrati baik. Menjadi jelek karena pendidikan yang salah.
5. Friederich Frobel (1782 – 1852) Pandangannya bersifat transendintal
( transendental maksudnya sukar dipahami; bersifat kerokhanian atau diluar
kesanggupan manusia ). Ia berpendapat bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan dan
merupakan bagian dari alam ini.Frobel memandang bahwa anak sebagai makhluk
yang berekspresi kreatif. Dalam pendidikan anak harus diarahkan kearah kesadaran
diri sendiri. Anak dibiasakan aktif.
Tujuan pendidikan secara umum dari Esensialisme adalah membetuk pribadi yang
bahagia didunia dan si akherat.
Yang ingin dibina melalui pendidikan menurut Esensialisme adalah : sifat
kebajikan,kejujuran,sikap hormat,tahu kewajiban dan pengabdian.

F. Pandangan Esensialisme tentang Belajar.

Intinya: Proses belajar menurut Essensialisme adalah:


- Melatih jiwa yang potensial yang sudah ada.Proses belajar sebagai proses
absorption ( menyerap ) apa yang berasal dari luar.Yaitu dari warisan- warisan sosial
yang disusun di dalam kurikulum tradisional dan guru berfungsi sebagain perantara
antara bahan yang telah ditentukan berdasar standar dengan murid sebagai
penerima.Sedang peran sekolah adalah berfungsi mendidik warganegara agar hidup
sesuaidengan prinsip dan lembaga sosial yang ada di masyarakat.Sedang peran guru
78

adalah sebagai perantara antara bahan yang telah ditentukan berdasar standardengan
murid sebagai penerima.
- Tujuan pendidikan membentuk pribadi bahagia di dunia dan akherat.
Proses belajar dipandang sebagai proses penyerapan apa yang berasal dari luar,yaitu
dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurikulum dan guru berperan
sebagai perantara.Jadi dalam belajar anak dituntut aktif untuk mengerti dan
menguasai “sesuatu “ Dalam bejar perlu ditekankan pada disiplin mental.
Jadi belajar menurut Ensensialisme adalah menerima dan mengenal dengan sungguh –
sungguh nilai – nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan
dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya.
F.1. Pandangan dari Idealisme:
Dengan pengertian macro dan micro kosmos dapat ditarik kesimpulan bahwa Idealis
sebagai filsafat hidup selalu ber-orientasi pada pribadi individual yang menitik
beratkan pada pengertian aku. Dalam belajar mula-mula harus memahami akunya
sendiri terus bergerak keluar memahami dunia yang lebih luas , dari mikrokosmos
menuju makrokosmos.
Microcosmos adalah cerminan dari pada macrocosmos, sedang macrocosmos lebih
luas dan lebih sempurna dari pada microcosmos.
Ini berarti:
Microsmos selalu bertenden/berkecenderungan untuk lebih memahami dan
mengetahui tentang macrosmos -> itulah prinsip belajar (disini anak harus aktif ->
Belajar pada hakekatnya adalah pemahaman dari hal yang sempit kearah yang
lebih luas (mengetahui akunya sendiri) yang selanjutnya meluas menuju pada
macrokosmos).Jadi belajar menurut Idealisme dimulai dengan pribadi sebagai subyek
yang kreatif.Individu mulai memahami dirinya,ini dilakukan untuk dapat mengerti
antar hubungan dengan sesuatu dalam makrokosmos. Jadi Idealis memberikan
tekanan pada prinsipnya bahwa belajar itu adalah realisasi diri sendiri.
Menurut Idealis hakikat anak adalah makhluk spiritual.
F.2. Pandangan dari Realisme.
Menurut Realisme belajar meliputi proses pengenalan kepada warisan-warisan masa
lampau ( nilai-nilai , moral )sebagi dasar penafsiran bagi realita sekarang.Jadi belajar
adalah menerima dan mengenal dengan sungguh- sungguh nilai- nilai sosial oleh
angkatan yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan
berikutnya.
Pandangannya didasarkan pada dua doktrin dan dua doktrin tersebut dapat digunakan
untuk bersikap pada anak.
Doktrin tersebut:
a. Doktrin tentang jiwa
b. Doktrin desterminisme
Ad. Doktrin tentang jiwa:
Dasar pikirannya:
Manusia mempunyai superioritas terhadap obyek-obyek lain dan hal ini karena
manusia memiliki akal budi dan kehidupan mental. Hidup dibagi dua:
79

a. aktivitas
b.isi
Karena itu dalam belajar harus dijamin bahwa jiwa anak harus bergerak se olah-olah
merupakan tindakan. Dalam tindakan ini yang berperan adalah kehendak dan
perasaan. Isi dalam pelajaran harus diberi bahan-bahan yang sesuai yang dapat
diungkap anak (jadi disesuaikan dengan perkembangan anak).
Ad. Doktrin tentang determinisme
Menurut Realisme ada dua macam determinisme ( Determinisme adalah faham yang
menganggap setiap kejadian/ tindakan, merupakan konsekuensi kejadian sebelumnya
dan diluar kemauan ).
1. Determinisme mutlak ada dalam alam ini terdapat kekuatan-kekuatan/ keadaan
yang tak dapat dibantah/dihalang-halangi.
Dalam hal belajar menunjukkan bahwa belajar adalah mengenal hal yang tak
dapat dihalangi-halangi adanya, jadi harus ada permasalahan, ini perlu diikuti
oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.
Contoh gejala-gejala yang mutlak:
- keteraturan perjalanan matahari
- letak kawasan yang sekaligus membawa perbedaan kawasan yang sekaligus
membawa perbedaan jenis sifat musim terhadap gejala tersebut manusia harus
menyesuaikan. (belajar tak lain adalah menyesuaikan terhadap yang ada).
2. Determinisme terbatas, artinya dalam alam ini terdapat kekuatan yang bersifat
causatif artinya:
Kekuatan yang timbul semata-mata atas dasar sebab-akibat.
Karena sebab-akibat dapat dibuat bila sebab berubah, akibat juga berubah.
Oleh karena itu manusia mempunyai kemampuan berinisiatif/ mengadakan
pengawasan terhadap keadaan yang demikian.
Ini berarti bahwa belajar itu dapat ditingkatkan dari sifat mengetahui kearah
mengawasi dan ber-inisiatif (jiwa harus aktif)
Pandangan belajar tercermin dari teori-teori konekstivisme, Behaviorisme.
Dengan demikian Realisme menekankan bahwa dalam belajar individu
harus aktif.

G. Pandangan Esensialisme tentang Kurikulum.


G.1.Pandangan Idealisme:
Menurut Idealisme kurikulum harus bersendi pada prinsip yang ideal dan
spiritual.Penekanannya di bidang psikologi yakni pembentukan watak,
disiplin,pengawasan. Di samping itu kurikulum disesuaikan keburtuhan anak dan
kurukulum yang disusun harus dapat melatih daya- daya jiwa yang sudah ada.
Foundamen tunggal dari pada kurikulum yaitu:
-watak manusia dan ciri-ciri masyarakat yang ideal.
Segala kegiatan yang dilakukan dalam pendidikan kehendanya disesuaikan dan
ditunjukkan kepada yang serba baik. Dengan demikian aktivitas anak tidak terkekang.
Semua yang ideal baik yang berisi dari manifestasi dari:
intelek, emosi dan kemauan. Jadi ketiga hal tsb menjadi sumber dari kurikulum.
80

Berhubung dengan hal tersebut kurikulum hendaknya berisi tentang:


- Ilmu pengetahuan
- Kesenian
- Dan segala hal yang dapat menggerakkan kehendak manusia.
Disini kurikulum harus benar-benar dapat membentuk -watak dengan alat disiplin dan
pengawasan. Maka pelajaran satu dengan yang lain hendaknya tidak terpisah – Jadi
kurikulum itu seolah-olah seperti rumah yang tersusun secara rapi. Kurikulum tidak
perlu banyak menyajikan pengetahuan dan pengalaman.
Kurikulum yang dikehendaki Esensialisme adalah kurikulum yang tidak terlalu
banyak menyajikan pengetahuan atau pengalaman. Intinya kurikulum bersifat
core-curikulum ( kurikulum inti yakni menyajikan materi yang pokok-pokok saja).
G.2. Pandangan dari Realisme tentang Kurikulum.
Pertama-tama yang menjadi perhatian adalah susunan kurikulum. Susunan yang
dikehendaki adalah:
Susunan yang secara sistematis yaitu disusun dari yang mudah ke yang sukar, dari
yang sederhana ke hal yang kompleks. Jadi susunan harus runtut. Jadi kurikulum
Realisme terdiri atas serangkaian bahan yang mulai dari sederhana ke hal yang
komplek.
Misal: dalam hal matematika dan bahasa, semula diberikan dasar-dasar yang
fundamental yang selanjutnya meningkat hingga pelajaran tersebut berisi bagian-
bagian yang menggunakan angka dan bahasa sebagai dasar.

H. Tujuan umum pendidikan aliran Esensialisme adalah membentuk pribadi


bahagia di dunia dan akherat.
Isi pendidikan ditetapkan berdasar kepentingan efektivitas pembinaan kepribadian
yang mencakup ilmu pengetahuan yang harus dikuasai dalam kehidupan. Jadi
kurikulumnya bagaikan miniatur dunia yang dapat dijadikan sebagai ukuran
kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
Peranan sekolah menurut Esensialisme adalah berfungsi untuk mendidik warga negara
supaya hidup sesuai dengan prinsip- prinsip dan lembaga sosial yang ada di
masyarakat.

2. PERENIALISME

1. Menurut Perenialisme penididkan pada abad 20 dipandang kacau( kekacauan dalam


bidang moral, sosial , maupun intelektual ) karena tidak menentu mengenai dasar dan
arah tujuannya serta cara untuk mencapainya.
2. Kekacauan tersebut disebabkan oleh sifatnya yang relatif dan mudah berubah.
3. Oleh karena itu perlu pendidikan dicarikan dasar yang kokoh, yakni dengan jalan
“kembali kepada kebudayaan lampau” yang dianggap ideal ( regresive road to
cultural ).Dengan demikian Perenialisme mencari pegangan dari masa lalu, yaitu apa
yang menjadi pegangan hidup orang pada jaman dulu yang sekarang masih berfungsi
81

sebagai pegangan hidup. Yang dimaksud jaman dahulu adalah masa kebesaran para
filsof sebelum Masehi dan masyarakat Eropa pada jaman pertengahan.Ada dua
macam pegangan yang diperlukan manusia, yakni kepercayaan yang bersumber
pada Tuhan dan kepercayaan hasil ratio.Esensi kepercayaan Perenialisme adalah
berpegang pada nilai dan norma yang bersifat abadi/ kekal.
4. Pendidikan dipandang sebagai jalan/proses mengembalikan keadaan manausia
sekarang seperti dalam kebudayaan yang dimaksud.Pendidikan menurut
Perenialisme harus dapat mengembalikan manusia pada kebudayaan masa
lampau yang dianggap ideal ( regressiv road to culture atau kembali atau mundur
kepada kebudayaan masa lampau yang masih ideal )’
5. Kebudayaan yang dimaksud (4) adalah kebudayaan kuno (masa kebesaran para
filsof terkenal pada masa sebelum tahun Masehi antara th 600 S.M sampai 500
sesudah Masehi) dan kebudayaan abad pertengahan(zaman berkembangnya agama-
agama besar).Motivasi yang mendorong Perenialisme kembali ke masa silam
itu,bukan suatu sikap nostalgia,sikap mengenang nilai-nilai lampau yang
agung.Melainkan untuk membina kembali kepercayaan yang teguh kepada nilai-
nilai asasi abad pertengahan yang prktis dan vital bagi abad 20.Prinsip yang
diambil yang bersifat umum dan ideal adalah yang berhubungan dg.ilmu
pengetahuan,realita dan moral yang punya peran penting bagi pembangunan
kebudayaan abad 20 ini.Prinsip tersebut bersifat aksiomatis ( sesuatu yang diterima
sebagai kebenaran ). Prinsip ini tidak terikat oleh waktu dan tetap berlaku dalam
perjalanan sejarah.Perenialsme menekankan agar kita terus mempelajari dengan
saksama methafisika, logika, dan estetika, karena ilmu inilah yang menjadi inti
dari pada kebudayaan abad 20.Untuk mempelajari inti tersebut kita harus
mempelajari dengan saksama pendirian – pendirian Plato, Aristoteles dan Thomas
Aquinas.
Perenialisme memandang manusia sebagai “ personal conciousness “ ( kesadaran
pribadi ) yang memiliki kemampuan daya cipta terbatas, dan Tuhan sebagai yan
Maha Kesadaran Mutlak ( Absolut Conciousness ).

6.Latar Belakang Sejarah .

Tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Perenialisme


adalah:
-Plato (427 – 347 SM ); Aristoteles ( 483-322. SM, Ia berpendapat bahwa tujuan
pendidikan adalah mencapai kebahagiaan. Untuk mencapai tujuan tsb, aspek pisik,
intelek dan emosi harus dikembangkan secara seimbang).Kedua tokok tersebut
dipandang dapat mewakili peradaban kuno.
-Thomas Aquinas ( 1225 – 1274 ). Sedangkan Thomas Aquinas dipandang wakil
abad pertengahan.
7. Watak umum Perenialisme tersimpul dalam makna istilah yang menjadi nama aliran
ini. Istilah “Perenial” berarti “abadi”. Dengan demikian essensi atau inti
kepercayaan Perenialisme ialah:
82

“Nilai-nilai, norma-norma yang bersifat kekal abadi”. Jadi kita perlu kembali
kepada asas kebudayaan silam yang abadi. (mendasarkan ajaran Plato, Aristoteles
dan Thomas Aquinas).

Jadi esensi filsafat Perenialisme adalah berpegang pada nilai- nilai atau norma- norma
yang bersifat abadi.
Plato ( 427 – 347 SM ),adalah filsuf idealis, yang memandang dunia idea sebagai
dunia kenyataan ( Menurut Plato ide adalah realitas. Oleh karena itu filsafatnya
dipandang beraliran idealis yang realistis ), dikenal juga ajaran tentang
masyarakat/Negara yang ideal. Ajarannya tersimpul dalam buku: Republik.Dalam
buku tersebut Plato mengemukakan pandangan spekulatif tentang masyarakat.Plato
berkesimpulan bahwa suatu masyarakat / Negara akan stabil dan adil sejahtera
apabila setiap w.n. melaksanakan funfsi sosianya sesuai dengan tingkat
kedudukan dan sesuai dengan kemampuan pribadinya.Hanya mereka yang paling
bijaksana dan paling baik yang pantas menduduki kepemimpinan
tertinggi.Kelompok tsb.adalah mereka yang memiliki potensi pikir yang
tinggi.Sebaliknya,orang yang tidak bijaksana,tidak cendekiawan harus berada
pada posisi paling bawah( sebagai pekerja,rakyat jelata. Pada kelompok ini( kelas
rendah/ bawah ) menurut Plato adalah orang-orang yang hidupnya didorong oleh
nafsu.Dan bagi mereka yang sedang,biasa berada diatara kelas atas dan
bawah,yakni dipandang sebagai kelas menengah (mereka ini adalah kelompok
prajurit,pengusaha ).Kelompok menengah ini oleh Plato dikategorikan orang-
orang /manusia yang kemaunnya kuat.
-Aristoteles (384 – 322 SM).
Beliau merumuskan prinsip-prinsip ajarannya sebagai norma kehidupan.Ajaran
Aristoteles tersimpul dalam karyanya yang berjudul : “Etika dan Politika “
Etika membimbing tingkah laku manusia pribadi dalam hubunga dengan
sesama. Politika membimbing kehidupan bernegara atas prinsip-prinsip hukum
konstitusional yang membatasi nafsu subyektif kaum penguasa atas kaum yang
diperintah.Aristoteles mengatur antar hubungan penguasa dengan yang
diperintah,sebagai” prototype”demokrasi.

Thomas Aquinas.

Tokok terkemuka pada abad pertengahan adalah Thomas Aquinas.Filsafatnya


mempersatukan pandangan Aristoteles dan pandangan Kristen.Ia mengajarkan
dibalik substansi badan – jiwa, material-spiritual, terdapat kerajaan kepercayaan yang
tidak sepenuhnya diperkirakan oleh pertimbangan – pertimbangan rasional.
Kepercayaan tsb.tak lain adalah wahyu dan iman kepercayaan.Dalam mengikuti
Ajaran Plato dan Aristotees , ia memberikan bahwa manusia di dunia, pertama- tama
adalah persiapan hidup diakherat. Akan tetapi Thomas tidak menganggap bahwa
hidup di dunia ini tidak penting.
83

Menurut Thomas segala yang ada diciptakan Tuhan, tergantung pada Tuhan dan
kembali ke Tuhan.Pengetahuan manusia berasal dari wahyu, juga pengalaman dan
ratio.
Berhubung dengan itu maka sifat dari pada Perenialisme adalah regressif ( regressive
road to culture atau kembali / mundur kepeda kebudayaan lama yang masih ideal ).
Disebut demikian karena berusaha mengembalikan konsepsi ttg pendidikan kepada
konsep- konsep yang lama yang masih ideal
Istilah Perenialisme kata asalnya adalah perenial yang bearti terus ada tidak ber-akhir
(abadi ) Jadi mudah dimengerti bahwa konsep- konsep Perenialisme thd
berbagailapangan itu selalu menggunakan dasar- dasar yang sangat hakiki yang
sedapat mungkin terus ada dari jaman ke jaman.

8.*Pandangan Perenialisme ttg.Ontologi.

Perenialisme berpendapat bahwa “ realita itu bersifat universal,bahwa realita itu ada dimana
saja dan sama di setiap waktu “; Menurut Perenialisme, kenyataan itu ada dibalik alam dan
kenyataan tertnggi itu bersifat kedamaian ( spiritual ) yakni berada pada Tuhan.
Konsep dasar ontologi Perenialisme bersendikan atas pengertian-pengertian sebagai berikut
atau Ontologi dari pada Perenialisme antara lain terdiri dari pengertian- pengertian sebagai
berikut :
1. Benda individual( adalah benda yang nampak dihadapan kita yang dapat ditangkap dengan
indera,seperti batu,kerbau,dsb.yang nampak bentuk dan warnanya.
2. Essensi -> wujud hakiki dari realita( ensensi ini merupakan
kualitas yang menjadikan benda itu lebih intrinsik sebagaihalnya.Inti / essensi sesutu itu
hanya ditangkap dengan pikiran lepas dari hal yang kongkrit.
Misal,bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir.Kedudukan esnsi lebih
penting dari pada badannya.
3. Aksident.(Ada secara kebetulan;keadaan kusus yang dapat ber-ubah dan sifatnya kurang
penting.Misal,hari ini Johan berpakain bagus,dsb
4. Asas teleologis; realita cenderung bergerak dari potensial menuju aktualitas -> Biji
cenderung tumbuh dst.Segala yang ada itu mengandung penuh tujuan.
Yang menjadi titik perhatian adalah akhir teringgi dan terakhir dari realita.Itu semuanya
terletak dibalik dunia yang sifatnya penuh kedamaian, supernatural.
Jadi kenyataan / realita menurut Perenialisme ada dibalik alam.Kenyataan tertinggi itu
bersifat kedamaian / spiritual. Kedamaian itu tak lain adalah Tuhan sendiri.

9* Pandangan Perenialisme tentang Pengetahuan.

Perenialisme berpendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian


antara pikir dengan benda-benda.Yang disebut dengan benda adalah hal-hal yang adanya
bersendikan atas prinsip – prinsip keabadian.Perhatian yang utama ttg.kebenaran adalah
mengenai esesnsi dari sesuatu.
Pengetahuan dipandang mengandung kebenaran bila dapat memiliki evidensi-diri sendiri (self
– evident). Self – evident adalah asas pembuktian tentang realita dan kebenaran sekaligus.
84

Self evident merupakan bukti yang ada pada diri itu sendiri; jadi bukti tidak pada materi atau
realita yang lain.
Self eviden itu azas untuk pengetahuan; artinya pengetahuan benar ialah buktinya ada di
dalam pengetahuan atau kebenaran ilmu itu.
Misal pengetahuan tentang Tuhan, eksistensi Tuhan, ialah bersifat self –evidence.
Ini artinya adanya Tuhan tak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain, sebab Tuhan itu self
evidence.

10* Pandangan Perenialisme tentang nilai/ norma.

a. Menitik beratkan pada hal-hal yang bersifat spiritual; menerima nilai universal dan abadi.
b. Tuhan merupakan sumber nilai dan oleh karenanya nilai tsb.bersifat teologis.Ukuran baik
buruk berasal dari Tuhan.
Jadi pandangan Perenialisme terhadap nilai adalah bersifat spiritual dan Tuhan adalah sumber
nilai.Oleh Perenialisme ditekankan bahwa manusia dalam hidupnya harus berusaha mencapai
kebahagiaan tertinggi, sedang kebaikan tertinggi adalah nilai yang merupakan kesatuan
dengan Tuhan.Dalam hidupnya manusia harus berbuat kebajikan.

Menurut Aristoteles bahwa kebajikan itu ada dua ( 2 ) kelas kebajikan, yaitu :
a. Kebajikan Intelektual. Kebajikan ini didapat melalui pengajaran.Ini merupakan
kebajikan rational.
b. Kebajikan moral. Kebajikan ini didapat melalui kebiasaan – kebiasaan.

11* Pola dasar Pendidikan Perenialisme.

Hal ini sangat dipengaruhi oleh:


a. Plato.
Beliau berpendapat bahwa esensi realita, epistimologi dan aksiologi ialah manifesto dari idea
(yang sifatnya supernatural). Dengan demikian ketertiban sosial hanya mungkin bila idea itu
menjadi standar, asas normatif dalam tata pemerintahan. Tujuan pendidikan adalah:
membina pemimpin yang sadar mempraktekkan asas normatif dalam kehidupan. Atau
melatih pemimpin – pemimpin yang dapat mengakui dan melaksanakan tuntutan
kebajikan .
Gambaran pelaksanaan ide Plato itu dilukiskan dalam buku “Republik”. Dalam buku tersebut
program pendidikan dilaksanakan dari lahir sampai usia 50 tahun (Jangka waktu tersebut
dibagi menjadi tahapan- tahapan sbb. : a. Usia sampai 20 th.dengan pusat perhatian
pengajaran musik,gimnastik,membaca,menulis,berhitung dan kemiliteran ;b.dari usia 20
sampai 30 th.dipusatkan pada ilmu pasti dan IPA;c.dari 30 sampai 35 th.pada filsafat, filsafat
dipandang penting, karena sangat diperlukan buat golongan elit, yang akan punya peran
85

penting dalam negara, d. dari 35 sampai 50 th pada pengalaman-pengalaman praktis dalam


masyarakat. )
- Psikologi Plato mengajarkan bahwa manusia secara kodrati memiliki 3
potensi:
nafsu, kemauan dan pikiran.

Ketiga potensi tersebut menjadi asas kepribadian manusia, watak


manusia -> karena itu struktur social juga didasarkan atas dasar pandangan pandangan
kepribadian tersebut.
1). Manusia yang besar potensi pikirnya, ialah manusia kelas pemimpin, kelas sosial tertinggi.
2). Manusia yang dominan kemauannya ialah manusia prajurit/kelas menengah.
3). Manusia yang dominan nafsunya ialah kelas pekerja, rakyat jelata.
Jadi pendidikan harus ber-orientasi pada asas psikologi tersebut,agar kebutuhan yang ada
pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi.

b. Aristoteles.
- Ia lebih mendekatkan pada dunia realita.
- Ia lebih menitik beratkan pembinaan berpikir melalui media ilmu pengetahuan.
- Pembinaan kebiasaan merupakan hal yang mendasari terutama kesadaran disiplin atau
moral -> ini harus dimulai sejak dini.Jadi semenjak usia muda anak perlu ditanamkan
aturan- aturan moral. Hal ini dapat menjadi fondamen penting bagi perkembangan
anak.Aturan- aturan moral lebih mudah ditanamkan pada anak pada tahun- tahun muda.
- Ia ingin mengembangkan individu secara bulat/totalitas (menyangkut aspek jasmani, emosi,
intelek).Tujuan pendidikan menurut Aristoteles adalah kebahagiaan. Unrutk mencapai
tujuan tsb.aspek jasmani,intelek dan emosi harus dikembangkan secara
seimbang,bulat,dan totalitas.

c. Thomas Aquinas ( 1225 – 1274 )


Tujuan pendidikan sebagai usaha mewujudkan kapasitas (potensi) yang ada dalam
individu agar aktif dan nyata.Jadi pendidikan menurut tokok ini adalah menarik atau
menuntun kemampuan-kemampuan anak yang masih “ tidur” menjadi aktif dan
nyata.Tuntunan yang berasal dari guru kepada anak didik berupa pengajaran,yang
berfungsi membantu anak agar dapat berkembang.
-Peran guru: memberi bantuan pada anak untuk berpikir jelas.Tuntunan / bantuan yang berasal
dari guru kepada anak didik berujud pengajaran, yang berfungsi membantu anak untuk
berkembang.Menurut Thomas Aquinas tugas guru adalah mengajar dalam arti memberikan
batuan kepada anak yang mudah terpengaruh. Belajar melalui kata- kata adalah lebih berharga
dar pada melalui indera. Kata-kata adalah simbul- simbul yang isinya intelekgibel.
Dan membantu perkembangan potensi- potensi yang ada pada anak untuk berkembang.
Pola pikir Thomas bersifat religius. Ia berpendapat bahwa Tuhan adalah pencipta
segala sesuatu di dunia ini. Tuhan adalah maha baik dan segala sesuatu yang menyertai adalah
baik.
86

Thomas Aquinas menerima hakikat rokhani – jasmai berdasar teori hilomorfisme dari
Aristoteles, tetapi mendasarkan pada iman kepercayaan dan wahyu.

12.* Pendapat Perenialisme tentang Belajar.

Titik tolak belajar adalah bahwa manusia adalah makhluk rasional.Rasionalitas itu sifat
umum manusia. Titik tolak kemampuan manusia adalah kemampuan pikirnya. Belajar adalah
persoalan latihan dan disiplin mental.Materi hanya sebagai alat untuk mengembangkan
kemampuan dasar anak.Kalau kemampuan anak telah berkembang maka anak akan mampu
menghadapi dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Belajar bahasa melalui kata: Bahasa -> sebab bahasa lambang isi yang dapat dipahami.Yang
diutamakan dalam belajar :
a. Mengutamakan mental dan disiplin jiwa.
b. Menekankan asas berpikir dan kemerdekaan.
Dalam belajar dikembangkan berpikir logis, deduktif, induktif.
Manusia dipandang sebagai makhluk rasionalis.

Sifat Rational d/p manusia ini melahirkan konsep dasar tentang kebebasan dengan rationya
manusia dapat mencapai kebebasan dari berbagai belenggu yang dapat menurunkan martabat
seperti:
kebodohan ; keragu-raguan
Jadi dengan senjata yang bersifat rational manusia dapat menghilangkan rintangan yang
dihadapi, maka ia (manusia) menjadi: merdeka
Belajar menurut Perenialisme dibedakan menjadi 2:
A. Belajar karena pengajaran.Disini guru tak hanya memberi penerangan dan
pengetahuan tetapijuga menunjukkan implikasi dari mata pelajaran yang diberikan.
B. Belajar karena penemuan sendiri.Disini anak tak memerlukan guru.Jadi atas dasar
kemampuan peserta didik sendiri.Belajar dengan cara ini sangat diutamakan.
Menurut Perenialisme belajar dilakukan sebagai persiapan untuk hidup.

13* Pandangan Perenialisme tentang Kurikulum.

Kurikulum bersifat subject centeret yakni kurikulum yang berpusat pada mata
pelajaran. Materi harus uniform dan universal.
Kurikulum merupakan alat untuk mengembangkan akal dan ingatan( memory ).
A. Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak kearah kemasakan. Masak disini
berarti hidup akalnya. Dalam belajar memorisasi tak dikesampingkan. Memorisasi diperlukan
karena benih-benih yang diberikan guru dapat berada dengan baik dalam jiwa sebelum dapat
berakar dan tumbuh.Bimbingan kearah kemasakan dimulai di Sekolah dasar.
B. Sekolah Dasar harus memberikan pendidikan dan pengetahuan yang serba
dasar.Perenialisme berpendapat bahwa pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di
dalam masyarakat.Latar belakang teori yang yang dipegang adalah: seorang anak adalah
bersifat potensial, maka kewajiban pendidikan adalah mempersiapkannya kearah kemasakan,
yaitu hidup akalnya. Pelajaran yang penting dan mendasar:
87

membaca ; menulis ; berhitung.Pelajaran tsb, memberi dasar anak mendapatkan


pengetahuan yang lain.

Tugas SD adalah: pendidikan watak dengan tekanan: kebajikan-kebajikan moral. Untuk


itu diperlukan penanaman dan latihan yang memadai.
A. Pendidikan Menengah berfungsi meningkatkan peranan pendidikan dasar dengan
meningkatkan program pendidikan umum. Disini diperlukan bahasa asing kuno seperti
bahasa latin dan Yunani, Logika, grammar; matematika. Serta bahasa modern. Ini
untuk memperkenalkan pada dunia yang luas.
B. Pendidikan Tinggi yang ideal menurut Perenialisme adalah:
PT yang mirip pada abad pertengahan. Semua yang diberikan harus bersendi pada
filsafat.
Tujuan pendidikan tinggi: untuk mencapai kebajikan intelektual.
Kurikulumnya: filsafat ; ilmu pengetahuan alam ; ilmu Pengetahuan Sosial
Dari uraian tsb. dapat disimpulkan bahwa kurikulum Perenialisme itu ada 2 tingkat
kurikulum, yakni :
1. Kurikulum untuk tingkat Sekolah Rendah dan Menengah.
2. Kurikulum untuk Perguruan Tinggi dan Pendidikan Orang Dewasa..
Catatan:
1. Perenialisme dipandang sebagai:
“REGRESSIVE ROAD TO CULTURE”
Yakni jalan kembali, atau mundur kepada kebudayaan masa lampau (yakni mendasarkan
kepada budaya masa lampau yang ideal, yang telah ter-uji dan tangguh.

2. Pendidikan dipandang sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan manusia


sekarang seperti dalam budaya yang ideal.
(EDUCATION AS CULTURAL REGRESSION)

3. Azas filsafat perenialisme bersumber:


A. Theologis (dari ajaran Thomas Aquinas)
B. Berpegang pada ide dan cita-cita Plato dan Aristoteles

4. Kurikulum merupakan alat untuk mengembangkan akal dan memori (ingatan)


-Kurikulum harus meliputi pengalaman langsung maupun tak langsung

5. Tentang Belajar:
-Titik tolaknya: manusia makhluk Rasionalis
-Belajar adalh persoalan latihan dan disiplin mental pribadi dan sosial, yang tersimpul
dalam bukunya: Etika dan Politik
-Etika membimbing t.l. pribadi dalam hubungannya dengan sesama.
-Politik membimbing kehidupan bernegara atas dasar prinsip hukum konstituasional yang
membatasi nafsu subyektif.
88

Aristoteles mengajarkan prinsip yang disebut hylo morphism (Hylo = ZAT,


MATER ;MORPHISM= Form, Bentuk, Asas, Kehidupan)

Thomas Aquinas (1`225 – 1274),Pola pikirnya religius.

Ia menerima prinsip -Tuhan adalah pencipta segala sesuatu


hakekat rohani dan - Tuhan itu maha baik dan segala sesuatu yang
jasmani Hylomorpisme menyertai Tuhan adalah baik
Tapi berdasar: -Manusia perlu kepercayaan yang mendasarkan
Iman, kepercayaan - Iman dan wahyu

6. Pandangan Perenialisme tentang Realita


a. Kenyataan menurut Perenialisme:
-bersifat universal
-ada dibalik alam
-kenyataan tertinggi itu bersifat kedamaian/spiritual. Ia adalah Tuhan

3. REKONSTRUSIONISME.

Sebenarnya, aliran ini sepaham dengan aliran Perenialisme dalam menghadapi krisis
kebudayaan modern.Bedanya cara yang dipakai berbeda dengan yang ditempuh oleh
perenialisme.Perenialisme memilih jalan kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan,
maka Rekonstruksionisme berusaha membina suatu kosensus yang paling luas dan paling
munkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Untuk mencapai tujuan itu Rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua
orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu
tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka, melalui lembaga dan proses pendidikan, aliran ini
ingin merombak tata sususnan lama, dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
sama sekali baru.
Tujuan tersebut hanya mungkin diwujudkan melalui usaha bersama dan bekerjasama
semua bangsa didunia.Pengikut aliran ini percaya bahwa bangsa-bangsa di dunia ini telah
tumbuh kesadaran dan sepakat menciptakan satu dunia baru dengan kebudayaan baru, di
89

bawah satu kedaualatan dunia serta di bawah pengawasan mayoritas umat manusia.Itulah ide-
ide yang tersimpul dalam aliran Rekonstruksionisme.
Tampaknya, hari depan bangsa- bangsa, yaitu suatu dunia yang diatur dan diperintah
oleh rakyat secara demokratis, bukan oleh satu golongan saja.Trnyata, cita- cita sebagaimana
yang diinginkan aliran ini tidak hanya teori, melainkan menjadi kenyataan dan terlaksana
dalam praktek.Hanya melalui usaha bersama dan bekerjasama antar bangsa, dapat diwujudkan
satu dunia yang memiliki potensi- potensi teknologi.Usaha tersebut diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran dalam bidang- bidang kesehatan, keamanan,
jaminan hukum, dan peningkatan jalur- jalur ekonomi dan perdagangan antar negara, tanpa
membedakan warna kulit, agama, dan negara besar dan kecil.
Dengan singkat, dapat dikemukakan bahwa aliran ini ( Rekonstruksionisme ) bercita-
cita untuk mewujudkan suatu dunia di mana kedaulatan dalam pengayoman serta kedaulatan
dan otorita international.Ailra ini, juga berita- cita mewujudkan dan melaksanakan satu
sintesis, yakni perpaduan ajaran agam Kristen dengan demokrasi, teknologi modern dalam
satu kebudayaan yang dibina bersama oleh bangsa- bangsa di dunia.

RANGKUMAN.

Secara konsepsi, progresivisme bersifat evolusinistis dan percaya pada anggapan


tentang adanya kemampuan manusia untuk mengadakan perubagan- perubahan. Esensialisme
bersifat conservatif. Perenialisme bersifat regresif, sedangka rekonstruksionisme bersifat
radikal.
Progresivisme berpendapat bahwa karena adanya peranan sebagai pembawa
kemajuan, beberapa ilmu modern adalah inti kebudayaan.Sedangkan dalam merintis dan
mengalami kemajuan manusia dibantu oleh jiwa dan akalnya..
Pengalaman merupakan sarana utam bagi manusia untuk mengetahui adanya realita,
dan ini ada pada manusia mempunyai kemampuan- kemampuan yany lebih tinggi kualitasnya
dibanding makhluk- makhluk lain didunia.Dengan pengalaman pengetahuan dapat
dihimpun.Dengan kecerdasannya manusia dapat menggunakan metode yang tepat.
Progresivisme berpendapat bahwa nilai itu tidak bersifat mutlak.
Tugas utama pendidikan menurut Progresivisme adalah mempertinggi kecerdasan, karena
kecerdasan mempunyai peranan utama dan menentukan perkembangan anak didik.Di
samping itu pendekakn thd. anak didik harus menyeluruh, meliputi jiwa- raga dan lingkungan
sekitarnya.
Belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.Yang penting adalah menciptakan
belajar yang edukatif dengan maksud untuk mempercepat tercapainya tujuan pendidikan.
Menurut Progresivisme kurikulum itu bersifaf eksperimental, sedangkan isinya harus
berfungsi sebagai pengalaman yang educatif.Oleh karena pengalaman semacam ini dapat
berlangsung baik di dalam maupun di luar kelas, maka kurikulum dengan metode
pendidikannya perlu menghindarkan diri dari sifat- sifat yang konvensional.
Esensialisme menghendaki agar landasan pendidikan adalah nilai- nilai yang esensial,
yaitu yang telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun dan telah turun temurun dari zaman ke
zaman, dengan mengambil zaman Renaisans sebagai permulaan.
90

Pendukung aliran tsb. adalah Idealisme dan Realisme.Keduanya mempunyai sifat


perseptif terhadap perkembangan dan tuntutan masyarakat dan kebudayaan modern.
Idealisme modern dengan berpijak bermacam hal di lingkungan yang dekat pada
manusia.Demikia Realisme modern, yang antara lain bersendikan atas data mekanistis dan
pandangan evolusionistis dari alam, memandang kenyataan yang serba obyektif.
Pandangan mengenai pengetahuan dari idealisme, tersusun berdasarkan sikap
optimisme kosmis, yaitu berpijak pada pandangan mengenai makrokosmos dan mikrokosmos.
Belajar pada hakikatnya adalah pemahaman diri dari yang serba sempit ke arah yang
lebih luas.Untuk ini peranan instrospeksi sangat penting.Sedangkan Realime pandangan
filosofis mengenai pengetahuan didasari pengaruh Behaviorisme, Assosianisme dan
Konektionisme.Hal ini menyebabkan timbulnya sikap bahwa adanya pengetahuan bersumber
pada pengalaman dan kenyataan tentang segala sesuatu di sekeliling manusia.
Tentang nilai, baik Idealisme maupun Realisme mencari nilai atas dasar yang sifatnya
turun temurun. Idealisme berpendapat bahwa Tuhan adalah sumber terakhir dan tertinggi dari
nilai.Pada Realisme sikap subyek ( yang menghayati nilai ), dipandang ikut menentukan
hakikat nilai.Ini bearti bahwa dalam prosen ini ada keikutsertaan dari lingkungan.
Oleh Idealisme dikatakan bahwa dalam proses belajar anak tidaklah pasif.Menurut
Idealisme belajar itu tidak lain adalah realisasi diri.
Tentang kurikulum. Esensialisme menekankan bahwa kurikulum harus : kaya akan isi
dan sesuai dengan jaman.Pada Idealisme menekankan faktor- faktor psikologis, pembentukan
watak, disiplin, pengawasan dsb. Sedangkan Realisme menghendaki kurikulum disusun atas
dasar sistematika yang runtut.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan- kepercayaan aksiomatis zaman kuno
dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman
sekarang.Sikap ini bukanlah nostalgia ( rindu akan hal- hal yang sudah lampau semata- mata )
tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan – kepercayaan tsb. berguna bagi abad
sekarang.
Menurut Perenialisme kenyataan dan kenyataan tertinggi itu berada dibalik alam.
Kenyataan tertinggi itu bersifat penuh kedamaian dan supernatural. Ia adalah Tuhan sendiri.
Konsep konsep dasar ontologi dari Perenialisme bersendikan atas pengertian –
pengertian yang pasti seperti benda individual, esensi, aksiden dan substansi.
Pandangan mengenai nilai dari Perenialisme adalah bersifat spiritual. Tuhan adalah
sumber nilai.
Tokok yang berperan dalam perkembanga Pernialisme adalah Plato, Aristoteles dan
Thomas Aquinas.
Belajar, menurut Perenialisme adalah latihan mental dan disiplin jiwa. Manusia pada
hakikatnya adalah makhluk rationalistis. Maka tujuan belajar adalah mengembagkan berpikir
logis, deduktif dan induktif.
Tugas pendidik adalah menuntun anak didik ke arah kemasakan.
Bimbingan ke arah kemasakan dimulai di sekolah dasar, yang berfungsi sebagai
persiapan, dan memberikan pengetahuan dasar dan latihan dasar.
Pendidikan menengah berfungsi untuk lebih meningkatkan peranan pendidikan dasar
dengan meningkatkan program pendidikan umum.
91

Perguruan tinggi yang ideal , menurut perenialisme adalah yang diselenggarakan mirip
dengan perguruan tinggi pada abad petengahan. Pendidikan dan kegiatannya bersendi pada
filsafat.

Anda mungkin juga menyukai