Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berfilsafat kerap dianggap kegiatan yang hanya dilakukan para arif


bijaksana. Oleh pikir hampir selalu dihubungkan dengan para cerdik cendikia,
kaum terpelajar, dan mereka yang punya waktu luang. Orang awam, atau rakyat
kebanyakan, seolah-oleh sama sekali tidak berfilsafat. Mereka dianggap kurang
berfikir. Hal itu bisa dimaklumi, karena orang awam hanya berpikiran untuk
memenuhi kebutuhannya saja tanpa memikirkan atau merenungkan suatu
peristiwa, mereka terlalu sibuk memikirkan hal lain untuk itu. Filsafat dan ilmu
adalah dua kata yang saling terkait, baik secara subtansial maupun secara historis
karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan
ilmu memperkuat keberadaan filsafat.
Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang merefleksi, radikal dan
intergal mengenail hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu merupakan
penerusan dalam pengembangan filsafat pengetahuan (epistemologi), sebab
“pengetahuan ilmiah” tidak lain adalah a higher level dalam perangkat
pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita terapkan dalam
kehidupan sehari-hari. (Koento, 1994: 18)
Menurut Koento Wibisono ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan
menampakkan diri secara dimensional, yaitu ilmu sebagai masyarakat, sebagai
proses, dan sebagai produk. Ilmu sebagai masyarakat menunjukkan adanya
sekelompok elite yang dalam kehidupannya sangat mendambakan imperatives
yang oleh R. Merto disebut universalisme, komunalisme, desinterestedness dan
skeptisisme yang teratur. Ilmu menggambarkan aktivitas masyarakat ilmiah yang
dengan aktivitasnya seperti ekspedisi, penelitian, seminar, eksperimentasi, dan
sebagainya sebagai aplikasi dalam mencari dan menemukan suatu hasil yang
secara pragmatis hendak dicapai. Adapun ilmu sebagai produk menunjukkan
hasil-hasil berupa karya ilmiah, teori, paradigma, beserta hasil terapannya berupa
teknologi.
Filsafat disebut-sebut sebagai induk segala ilmu oleh para filosof. Sebab,
dari filsafat lah ilmu-ilmu modern dan kontemporer berkembang, sehingga
manusia dapat menikmati ilmu dan buahnya sekaligus yaitu teknologi. Awalnya
dilsafat terbagi pada teoretis dan praktis. Psikologi juga merupakan cabang ilmu
dari filsafat. Perkembangan ini dapat diibaratkan sebuah pohon dengan cabang
dan ranting yang semakin lama semakin rindang.
Sama seperti filsafat, pada dasarnya psikologi sudah menyentuh semua
aspek yang ada di kehidupan manusia, karena psikologi penting bagi kehidupan
kita yang selalu berhubungan dan bersama dengan orang lain. Psikologi
dibutuhkan atau dipelajari dalah kehidupan sehari-hari, karena meminjam

1
ungkapan Bertens (1993), dapat disebut utilitarisme, yaitu suatu sikap yang
menjadi ciri khas masyarakat modern. Dalam masyarakat tradisional dahulu sikap
ini tidak dikenal ataupun kalau dikenal hanya kebetulan dan insidental, bukan
sistematis dan menyeluruh. Utilitarisme menekankan hubungan antara “means”
dan “end”, antara sarana dan tujuan. Kita harus mempergunakan sarana tertentu,
jika ingin mencapai suatu tujuan. Dalam pembahasan anatara filsafat dan
psikologi sering kali kita menemukan kata jiwa dan badan atau hal-hal yang
berkaitan dengan kerohanian dan kejasmanian. Pertanyaan kongkrit mengenai
hubungan kerohanian dan kejasmanian saja sudah memperlihatkan kebingungan
dengan masalah, apahak mesti dirumuskan sebagai soal “badan dan jiwa”, ataukah
sebagai masalah body and mind (Campbell, 1984)?
Selama ini ilmu jiwa memaknai kata “psikologi” yang betapa sukarnya
mengenal jiwa manusia yang sifatnya abstrak. Wajarlah jika Thomas Alva Edison
berkata “My mind is incapable of conceiving such a thing as a soul.” Pikiran saya
tidak mampu untuk memahami hal seperti jiwa. Meskipun begitu, satu-satunya
cara yang dapat dilakukan adalah mengobservasikan perilakunya, walapun
perilaku tidak merupakan cerminan jiwa secara keseluruhan.
Dari uraian penjelasan latar belakang di atas maka saya tertarik untuk
membuat judul makalah Hubungan Filsafat Ilmu dengan Psikologi.

1.2 Tujuan Penulisan

Dari latar belakang yang telah diurangkan di atas maka tujuan penulisan
adalah sebagai berikut,
1. Menjelaskan apa pengertian, objek kajian, tujuan dan kegunaan Filsafat Ilmu.
2. Mendiskripsikan apa pengertian, objek kajian, dan manfaat Psikologi.
3. Memaparkan apa hubungan filsafat ilmu dengan psikologi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Filsafat Ilmu

1. Pengertian Filsafat Ilmu

Pengertian filsafat ilmu, dalam sejarah perkembangan pemikiran


kefilsafatan antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda,
dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Pengertian
filsafat dapat ditunjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan secara
terminologi.
a. Filsafat Secara Etimologi
Kata filsafat, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy
adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosopia terdiri
dari kata philen yang berati cinta (love) dan sophia yang berarti
kebijaksanaan (wisdom), sehingga dalam arti yang sedalam-dalamnya.
Dengan demikian seorang filsuf adalah pecinta dan pencari
kebijaksanaan. Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Phytagoras
(582-496 SM). Arti filsafat pada saat itu belum jelas, kemudian
pengertian filsafat itu diperjels seperti banyak dipakai sekarang ini dan
juga digunakan oleh Socrates (470-399 SM) dan para filsuf lainnya.
(Lasiyo dan Yowono, 1985, 1)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat
menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab, asal dan hukumnya. (Bakhtiar, 1997, 7)
b. Fisafat Secara Termonologi
Secara terminologi adalah arti yang dikandung oleh filsafat.
Dikarenakan batasan dari filsafat itu banyak maka sebagai gambaran
perlu diperkenalkan beberapa batasan.
1) Plato
Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang
mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang
asli.
2) Aristoteles
Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang
meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmi-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika
(keindahan).
3) Al Farabi

3
Filsuf arab ini mengataka bahwa filsafat adala ilmu (pengetahuan)
tentang hakikat bagaimana alam maujud yang sebenarnya.
4) Rene Descrates
Menurut Descrates, filsafat adala kumpulan semua pengetahuan di
mana Tuhan, alam dan manudia menjadi pokok penyelidikan.
5) Immanuel Kant
Menurut Kant, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi
pangakal dari semua pengetahua yang di dalamnya tercakup
masalah epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab
persoalan apa yang dapat kita ketahui.
6) Langeveld
Mahaguru Rijks-Uversiteit Utrecht ini berpendapat bahwa filsafat
adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir dan yang
menentukan, yaitu masalah-masalah mengenai makna keadaan,
Tuhan, keabadian dan kebebasan.
7) Hasbullah Bakry
Menurut Bakry, ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala
sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan
juga manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu. (Hamami, 1976)
8) N. Driyarkara
Filsuf Indonesia ini berpendapat bahwa filsafat adalah perenungan
yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebab “ada dan berbuat”,
perenungan tentang kenyataan (reality) yang sedalam-dalamnya
sampai ke “mengapa” yang penghabisan.
9) Notonagoro
Notonegoro berpendapat bahwa filsafat itu menelaah hal-hal yang
menjadi objek dari sudut intinya yang mutlak dan yang terpendam,
yang tetap dan tidak berubah, yang disebut hakikat.
10) Ir. Poedjawijatna
Menurut Poedjawijatna, filsafat adalah ilmu yang berusaha untuk
mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu
berdasarkan pikiran belaka. (Lasiyo dan Yuwono, 1985)
Adapun beberapa pengetian pokok tentang filsafat menurut kalangan
filosof adalah sebagai berikut,
1) Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta
lengkap tentang seluruh realitas.
2) Upaya untuk melukiskan hakikat akhir dan dasar serta nyata.
3) Upaya untuk menentuka batas-batas dan jangkauan pengetahuan:
sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.

4
4) Penyelidikan kritis atas mengadaian-pengadaian dan pernyataan-
pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5) Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda mlihat apa yang
anda katakan dan untuk mengatakkan apa yang anda lihat. (Bagus,
1996, 242)
Adapun Ali Mudhofir (1996) memberikan arti filsafat sangat beragam,
yaitu sebagai berikut,
1) Filsafat sebagai suatu sikap
Filsafat adalah suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta.
Sikap secara filsafat adalah sikap menyelidiki secara kritis, terbuka,
toleran dan selalu bersedia meninjau suatu problem dari semua sudut
pandang.
2) Filsafat sebagai suatu metode
Filsafat sebagai suatu metode, artinya cara berpikir secara mendalam
(reflektif), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara
hati-hati dan teliti. Filsafat berusaha untuk memikirkan seluruh
pengalaman manusia secara mendalam dan jelas.
3) Filsafat sebagai kelompo persoalan
Banyak persoalan abadi yang dihadapi manusia, dan para filsuf
berusaha memikirkan dan menjawabnya. Beberapa pertanyaan yang
diajukan pada masa lampau telah dijawab secara memusakan.
4) Filsafat sebagai sekelompok teori atau sistem pemikiran
Sejarah filsafat ditandai dengan pemunculan teori atau sistem
pemikiran yang terlekat pada nama-nama filsuf besar seperti Socrates,
Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Spinoza, Hegel, Karl Marx,
August Comte, dan lain-lainnya.
5) Filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa da penjelasan makna
istilah, kebanyakan filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan
arti suatu istilah dan pemakaian bahasa. Beberapa filsuf mengatakan
bahwa analisis tentang arti bahasa merupakan tugas pokok filsafat dan
tugas analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi filsafat. Para filsuf
seperti G.E Moore, B. Russell, L. Wittgenstein, G. Ryle, J.L.Austin
dan yang lainnya berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah
menyingkirkan berbagai kekaburan dengan cara menjelaskan arti
istilah atau ungkapan yang dipakai dalam ilmu pengetahuan dan
dipakai dalam kehidupan sehari-hari. mereka berpendirian bahwa
bahasa merupakan laboratorium para filsuf, yaitu tempat menyemai
dan mengembangkan ide-ide.
6) Filsafat merupakan usaha untuk memperoleh pandangan yang
menyeluruh, filsafat mencoba menggabungkan kesimpilan dari
berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu pandnagan
dunia yang konsisten. Para filsuf berhasrat meninjau kehidupan tidak

5
dengan sudut pandang yang khusus sebagaimana dilakukan oleh para
ilmuwan. Para filsuf memakai pandangan yang menyeluruh terhadap
kehidupan sebagai suatu totalitas. Menurut para ahli filsafat spekulatif
(yang dibedakan dengan filsafat kritis) dengan tokohnya C.D.Broad,
tujuan filsafat adalah mengambil alih hasil-hasil pengalaman manusia
dalam bidang keagamaan, etika dan ilmu pengetahuan, kemudian hasil-
hasil tersebut direnungkan secara menyeluruh. Dengan cara ini
diharapkan dapat diperoleh beberapa kesimpulan umum tentang sifat-
sifat dasar alam semesta, kedudukan manusia di dalamnya serta
pandangan ke depan. Para filsuf seperti Plato, Aristoteles, Thomas
Aquinas, Hegel, Bergson, John Dewey, dan A.N. Whitehed termasuk
filsuf yang berusaha untuk memperoleh pandangan tentang hal – hal
secara komprehensif.
Dapat ditarik kesimpulah bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan
gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dan suatu
fenomena.
Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu” adalah
“sesuatu” itu adanya. Filsafat adalah usaha untuk mengetahui segala sesuatu.
“ada” (being) merupakan implikasi dasar. Jadi segala sesuatu yang
mempunyai kualitas tertentu pasti adalah “ada”.

2. Objek Kajian Filsafat Ilmu

Objek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian


atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai
objek, yang dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal.
a. Objek Material Filsafat
Objek material filsafat adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan
penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek material juga
adalah hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin
ilmu. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret ataupun
hal yang abstrak.
Objek material dari filsafat ada beberapa istilah dari para cendekiawan,
namun semua itu sebenarnya tidak ada yang bertentangan.
1) Mohammad Noor Syam berpendapat, “Para ahli menerangkan
bahwa objek filsafat itu dibedakan atas objek material dan objek
materiil filsafat; segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada,
baik materiil konkret, psikis maupun nonmateriil abstrak, psikis.
Termasuk pula pengertian abstrak-logis, konsepsional, spiritual dan

6
nilai-nilai. Dengan demikian, objek filsafat tidak terbatas.” (Noor
Syam, 1981, 12)
2) Peodjawijatna berpendapat, “Jadi, objek material filsafat ialah ada
dan yang mungkin ada. Dapatkan dikatakan bahwa filsafat itu
keseluruhan dari segala ilmu yang menyelidiki segala sesuatunya
juga?” dapat dikatakan bahwa objek filsafat yang kami maksud
adalah objek materialnya – sama dengan objek material dari ilmu
seluruhnya. Akan tetapi, filsafat tetap filsafat dan bukan
merupakan kumpulan atau keseluruhan ilmu.” (Poedjawijatna,
1980, 8)
3) Oemar Amir Hoesin berpendapat, masalah lapangan penyelidikan
filsafat adalah “karena manusia mempunyai kecendrungan rendah
berpikir tentang segala sesuatu dalam alam semesta, terhadap
segala yanga ada dan menungkinkan ada. Objek sebagaimana
tersebut adalah menjadi objek material filsafat.”
4) Louis O. Kattsoff berpendapat, “Lapangan kerja filsafat itu bukan
main luasnya, meliputi segala pengetahuan manusia serta segala
sesuatu apa saja yang ingin diketahui manusia.” (Salam, 1988, 39)
5) H.A. Dardiri berpendapat, objek material filsafat adalah segala
sesuatu yang ada baik yang ada dalam pikiran, ada dalam
kenyataan maupun ada dalam kemungkinan.” Kemudian apakah
gerangan segala sesuatu yang ada itu?
Segala sesuatu yang ada dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Ada yang bersifat umum
b) Ada yang bersifat khusus.
Ilmu yang menyelidiki tentang hal ada pada umumnya disebut
ontologi. Adapun ada yang bersifat khusus dibagi menjadi dua,
yaitu ada yang mutlak dan ada yang tidak mutlak. Ilmu yang
menyelidiki ada yang bersifat multak disebut theodicea. Ada yang
tidak bersifat mutlak dibagi lagi menjadi dua, yaitu alam dan
manusia. Ilmu yang menyelidiki manusia disebut antropologi
metafisik dan ilmu yang menyelidiki alam disebut kosmologi.
(Dardiri, 1986, 13 – 14)
6) Abbas Hamami M. Berpendapat, “sehingga adalah filsafat objek
materiil itu adalah ada yang mengatakan, alam semesta, semua
keberadaan, masalah hidup, masalah manusia, masalah Tuhan, dan
lainnya. Karena untuk menjadikan satu pandapat tentang tumpuan
yang berbeda akhirnya dikatakan bahwa segala sesuatu yang ada
lah yang merupakan objek meteriil.” (Hamami, 1979, 5 – 6)
Setelah menerpong berbagai pendapat dari para ahli di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa objek material dari filsafat sangat luas mencankup
segala sesuatu yang ada.

7
b. Objek Formal Filsafat
Objek formal, yaitu sudut pandangan yang ditujukan pada
bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu atau sudut
dari mana objek material itu disorot. Objek formal suatu ilmu tidak
hanya memberi keutuhan sautu ilmu, tetapi pada saat yang sama
membedakannya dari bidang – bidang lain. Suatu objek material dapat
ditinjau dari berbagai sudur pandangan sehingga menimbulkan ilmu
yang berbeda – beda. Misalanya, objek materialnya adalah “manusia”
dan manusia ini ditinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda
sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia diantaranya
psikologi, antropologi, sosiologi dan sebagainya.
Objek formal filsafat, yaitu sudut pandangan yang
menyeluruh, secara umum sehingga dapat mencapai hakikat dari
objek materialnya. (Lasiyo dan Yuwono, 1985, 6).
Oleh karena itu, yang membedakan anatara filsafat dengan
ilmu-ilmu lainnya terletak dalam objek material dan objek formalnya.
Kalau dalam ilmu-ilmu lain objek materialnya membatasi diri,
sedangkan pada filsafat tidak membatasi diri. Adapun objek
formalnya membahas objek materialnya itu sampai ke hakikat atau
esensi yang dihadapinya.

3. Tujuan Filsafat Ilmu

Tujuan filsafat ilmu adalah:


a. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita
dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
b. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di
berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang proses
ilmu kontenporer secara historis.
c. Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami
studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang
ilmiah dan nonilmiah.
d. Mendorong para calon ilmuwan dan iluman untuk konsisten dalam
mendalami ilmu dan mengembagkannya.
e. Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu
dan agama tidak ada pertentangan. (Bahktiar, 2014, 20)

4. Keguanaan Filsafat Ilmu

Keguanaan filsafat dapat dibagi menjadi dua, yakni kegunaan


secara umum dan secara khusus. Kegunaan secara umum dimaksudkan
manfaat yang dapat diambil oleh orang yang belajar filsafat dengan

8
mendalam sehingga mampu memecahkan masalah-masalah secara kritis
tentang segala sesuatu. Kegunaan secara khusus dimaksudkan manfaat
khusus yang diambil untuk memecahkan khususnya suatu objek di
Indonesia. Jadi, khusus diartikan terikat oleh ruang dan waktu. Menurut
sebagian filsuf, kegunaan secara umum dari filsafah adalah:
a. Plato merasakan bahwa berpikir dan memikirkan adalah hal yang
nikmat luar biasa sehingga filsafat diberi predikat sebagai keinginan
yang maha berharga.
b. Rene Descrates yang termashur sebagai pelopor filsafat modern dan
pelopor pembaharuan dalam abad ke 17 terkenal dengan ucapannya
cogito ergo sum (karena berpikir maka saya ada). Tokoh ini
mempertanyakan segala-galanya, tetapi dalam keadaan serba
memertanyakan itu ada satu hal yang pasti, bahwa aku bersangsi dan
bersangsi berarti berpikir. Berfilsafat berati berpangkal kepada suatu
kebenaran yang fundamental atau pengalaman yang asasi.
c. Alfred North Whitehead seorang filsuf modern merumuskan filsafat
sebagai berikut: “Filsafat adalah kesadaran dan pandangan jauh ke
depan dan suatu kesadaran akan hidup, dan kesadaran akan
kepentingan yang memberi semangat kepada seluruh usaha
peradaban.”
d. Maurice Merleau Ponty seorang filsuf modern eksistensialisme
mengatakan “Jasa dari filsafat adalah terletak pada sumber
penyelidikannya, sumber itu adalah eksistensi dan dengan sumber itu
kita bisa berpikir tentang manusia.” (Salam, 1988, 110 – 111)
Selain kegunaan secara umum, filsafat juga dapat berguna secara khusus
dalam lingkungan sosial budaya Indonesia. Franz Magnis Suseno (1991)
menyebutkan ada lima kegunaan, yaitu sebagai berikut,
a. Bangsa Indonesia berada di tengah-tengah dinamika proses
modernisasi yang meliputi banyak bidang dan sebagaian dapat
dikemudikan melalui kebijakan pembangunan. Menghadapi tantangan
modernisasi dengan perubahan pandangan hidup, nilai dan norma itu
filsafat membantu untuk mengambil sikap sekaligus terbuka dan kritis.
b. Filsafat merupakan sarana yang baik untuk menggali kembali
kekayaan kebudayaan, tradisi dan filsafat Indonesia serta untuk
mengaktualisasikanya. Filsafatlah yang paling sanggup untuk
mendekati warisan rohani tidak hanyaa cera verbalistik, melainkan
secara evaluatif, kritis dan reflektif sehingga kekayaan rohani bangsa
dapat menjadi modal dalam pembentukan terus-menerus indentitas
modern bangsa Indonesia.
c. Sebagai kritik ideologi, filsafat membangun kesanggupan untuk
mendeteksi dan membuka kedok ideologis berbagai bentuk

9
ketidakadilan sosial dan pelanggran terhadapp martabat dan hak asasi
manusia yang masih terjadi.
d. Filsafat merupakan dasar paling luas untuk berpartisipasi secara kritis
dalam kehidupan intelektual bangsa pada umumnya dan dalam
kehidupan intelektual di universitas dan lingkungan akademis
khususnya.
e. Filsafat menyediakan dasar dan sarana sekaligus lahan untuk berdialog
di antara agama yang ada di Indonedia pada umumnya dan secara
khusus dalam rangka kerja sama antar agara dalam membangung
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

2.2 Psikologi

1. Pengertian Psikologi

Secara etomologis, istilah psikologi berasal dari bahasa Yunani


yaitu, dari kata psyche yang berarti “jiwa”, dan logos yang berarti
“ilmu”. Jadi secara harfiah, psikologi berati ilmu jiwa, atau ilmu yang
mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan.
Begitulah untuk rentang waktu yang relatif lama, terutama
ketika psikologi masih merupakan bagian atau cabang fari filsafat,
psikologi diartikan seperti pengertian tersebut. “Pada masa lampau,”
demikian karena Paul Mussen dan Mark R. Rosenzweig dalam buku
mereka, Psychology an Introduction, “psikologi diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata
mind berubah menjadi behavior (tingkah laku), sehingga psikologi
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
(Mussen dan Rosenzweig, 1975: 5)
Sementara ahli memang kurang sependaat bahwa psikologi
sama dengan ilmu jiwa walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu
sama. W.A Gerunga adalah salah satu di antara para ahli psikologi yang
tidak sepedapat. Menurutnya,
a. Ilmu jiwa itu merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan
yang dikenal taip-tiap orang sehingga kami pun menggunakannya
dalam artian yang luas dan telah lazim dipahami orang. Adapun kata
psikologi merupakan sitilah ilmu pengetahuan, suatu istilah yang
scintific, sehingga kami pergunakanuntuk menunjukkan pengetahuan
ilmu jiwa yang bercorak ilmiah tertentu.
b. Ilmu jiwa kami gunakan dalam arti yang luas dari pada istilah
psikologi. Ilmu jiwa meliputi segala pemikitan, pengetahuan,
tanggapan dan juga segala khayalan dan spekulasi mengenai jiwa itu.
Psikologi meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh

10
secara sistematis dengan metode-metode ilmiah yang memenuhi
syarat-syaratnya, seperti yang dimufakati para sarjana psikologi pada
zaman sekarang ini. istilah ilmu jiwa menunjukkan ilmu jiwa pada
umumnya, sedangkan istilah psikologi menunjukkan ilmu jiwa yang
ilmiah menurt norma-norma ilmiah modern. (Gerungan, 1987: 1)
Dari kutipan panjang ini, dapat diambil kesimpulan bahwa apa
saja yang disebut ilmu jiwa belum tentu psikologi, sebaliknya apa yang
disebut psikologi itu juga termasuk ilmu jiwa.
Para ahli modern belakangan ini memang tidak lagi mengartikan
psikologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejal kejiwaan, sebab
apa yang dimaksud dengan jiwa itu tidak ada seorang pun yang tahu
persis. Thomas A. Edison (1847 – 1931) pernah berujar, “My mind is
incapable of conceiving such a thing as a soul” (pikiran saya tidak
mampu untuk memahami hal seperti jiwa). Ini disebabkan jiwa yang
mengandung arti sangat abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Akan
tetapi, pembicaraan sacara lebih mendalah dan khusus mengenai jiwa,
walaupun tetap berkaitan dengan raga, agaknya tidak terelakkan dalam
kegiatan berpikir. Plato dapat disebut orang pertama yang memulai studi
tentang objek yang lebih khusus ini. (Rahardjo, 1996: 261)
Dalam teorinya tentang “Pengingatan – Kembali”, Plato
mengapungkan dua proposisi (Ash-Shadr, 1993: 27-28). Pertama, jiwa
sudah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih tinggi dari pada
alam materi. Kedua, pengetahuan rasional tidak lain adalah pengetahuan
tentang realitas-realitas yang tetap di alam yang lebih tinggi, yang oleh
Plato disebut archetypes.
Plato dengan dua proposisi di atas, jelas menekankan lebih
pentingnya jiwa daripada raga dalam kehidupan manusia. Dengan kata
laian, tubuh mempunyai nilai yang lebih rendah dari jiwa. Akan tetapi,
jiwa pun bisa rusak juga, dan kerusakan itu berasal dari badan. Muridnya,
Aristoteles, mempunyai pendapat yang berbeda dengannya. Ia melihat
manusia dalam kesatuan badan-jiwa. Namun, pandangannya juga
mengandaikan adanya badan dan jiwa yang berbdea, namum dalam
asensinya menolak pandangan yang dualistis.
Menjelang abad modern, dalam kurun pencerahan Eropa Barat,
tokoh yang tampil dalam penbahasan dualisme jiwa-badan adalah Rene
Descrates (1595-1650) yang terkenal dengan ungkapan “Cogito Ero
Sum” (saya berpikir, karena itu saya ada).
Berbeda dnegan Plato, yang melihat hubungan jiwa dan badan
sebagai pembagian fungsi antara badan sebagai kapal dan jiwa sebagai
nahkodanya yang mengemudikan dan memimpin, Descrates melihat
kesaling terkaitannya, yaitu jiwa pada hakikatnya mengaah ke badan.
Kalau badan sakit, jiwa turut merasakannya. Akan tetapi jiwalah yang

11
memberi kesadaran dan arti pada badan dan menunjukkan adanya “aku”.
Keduanya berbeda, namun saling berkaitan. Badan dilukiskannya sebagai
mesin yang walaupun ada subtansinya, belum bisa dibilang manusia jiwa
tidak ada jiwanya yang bisa mengatakan “aku”. Dan perkataan “aku” ini
lahir ketika subtansi itu mulai berpikir.
Definisi psikologi berikut ini menunjukkan bergamnya pendapat
para ahli tentang psikologi.
a. Ernest Hilgert (1957) dalam bukunya Introduction to Psychology:
“Psychology may be defined as the science that studies the behavior
of men and other animal” etc. (Psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia dan hewan lainnya.)
b. George A. Miller (1974: 4) dalam bukunya Psychology and
Comunnication: “Psychology is the scince that ettempts to describe,
predict, and control mental and behavioral event” (Psikologi adalah
ilmu yang berusaha menguaraikan, meramalkan, dan mengendalikan
peristtiwa mental dan tingkah laku)
c. Clifford T. Morgan (1961:2) dalam bukunya Introduction to
Psychology, “Psychology is the science of human ad animal
behavior” (psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia dan hewan).
d. Robert S. Woodworth dan Marquis D.G (1957: 7) dalam bukunya
Psychology: “Psychology is The scienctific studies of individual
activities relation to the inveronment” (psikologi adalah suatu ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu dalam
hubungannya dengan alam sekitarnya).
Dari definisi di atas menunjukkan rentangan makna psikologi
dalam berbagai prespektif. Jelas, jika kita perhatiakan, belum ada
kesepatakan tentang cakupan psikologi.

2. Objek Kajian Psikologi

Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun, tidak dapat dibalik


bahwa kumpulan pengetahuan itu adalah ilmu. Kumpulan pengetahuan
dapt disebut ilmu apabila memiliki syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat
yang dimaksud adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang
ilmu, baik ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memiliki kedua objek
tersebut.
Objek material adalah sesuatu yang dibahas, dipelajarai dan
diselidiki (Sastropoetro, 1987: 117 / Mudhofir, 1996: 6), atau suatu unsur
yang ditentukan (Sunarjo, 1991: 40), atau sesuatu yang dijadkan sasaran
pemikiran. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret
(misalnya kerohanian, nilai-nilai, ide-ide). Gerungan (1987: 42) merinci

12
objek metarial pada fakta-fakta, gejala-gejala atapun pokok-pokok yang
nyata dipejari dan diselidiki oleh ilmu pengetahuan.
Istilah objek material ini kerap disamakan atau ditumbuhkan
dengan pokok persoalan (subject matter). Pokok persoalan ini perlu
diberdakan atas dua arti (Mudhofir, 1996: 7). Arti pertama, pokok
persoalan dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual.
Misalnya, penelitian tentang atom termasuk bidang fisika, penelitian
tentang klorofil termasuk penelitian botani dan biokimia, penelitian
tentang bawah sadar termasuk bidang psikologi. Arti kedua, pokok
persoalan alam dimaksudkan sebagai kumpulan pertayaan pokok yang
saling berhubungan. Anatomi dan fisiologi keduanya bertalian dengan
struktur tubuh. Anatomi mempelajari fungsinya. Kedua ilmu tersebut
dapat dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama, namun juga dapat
dikatakan berbeda. perbedaan ini dapat diketahui apabila dikaitkan
dengan corak pertanyaan yang diajukan aspek yang diselidiki dari tubuh
tersebut. Anatomi mempelajari tubuh dalam aspek yang statis, sedangkan
fisiologi mempelajari tubuh dalam aspeknya yang dinamis.
Objek formal adala cara memandang, cara meninjau yang
dilakukan oleh seorang peneliti terhadap objek materialnya serta ptrinsip-
prinsip yang digunakannya. Jadi, “sudut dari mana objek material itu
disoroti disebut objek formal” (Poedjawijatna, 1991: 41)
Dengan demikian kita bis amenyimpulkan bahwa objek
formallah yang membedakan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang
lain. Satu objek material dapat ditinjau dari sudut pandangan pandangan
sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia, di antaranya:
psikologi, antropologi, sosiologi, komunikasi. Ilmu yang mempelajari
jiwa manusia dan tingkah lakunya adalah psikologi, ilmu yang
mempelajari berbagai jenis manusia dan semua aspek dari pengalaman-
pengalaman manusia adalah antropologi. (Ember & Ember, 1981: 3)
Ilmu yang mempelajari manusia dalam ikatan kelompok adalah
sosiologi dan ilmu yang mempelajari pernyataan antarmanusia adalah
ilmu komunikasi.
Dari uraian di atas, jelas bahwa suatu objek formal dipunyai
oleh satu bidang saja. artinya, tidak mungkin ada dua atau lebih ilmu
pengetahuan yang mempunyai objek formal yang sama. Jika ada ilmu
yang mempunyai objek formal yang sama, kedua ilmu tadi pada dasarnya
sama pula.
Objek formal suatu ilmu dapat dilihat dari batasan atau definisi
ilmu tersebut. Dengan kata lain, objek formal suatu ilmu adalal definisi
dari ilmu itu.psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri, apabila
dihubungkan dengan syarat-syarat untuk bisa disebut ilmu, dapat
memenuhi syarat pertama, yaitu psikologi mempunyai objek tertentu.

13
Psikologi mempunyai objek material yaitu manusia dan objek formal
atau sudut pandang keilmuannya, yaitu dari segi tingkah laku manusia.
Objek tersebut bersifat empiris.

3. Manfaat Psikologi

Dengan mempelajari psikologi, berarti ada usaha untuk mengenal


manusia. Mengenal berarti dapat memahami, berarti pula kita dapat
menguaraikan dan menggambarkan tingkah laku dan kepribadian manusia
beserta aspek-aspeknya. Dengan mempelajari psikologi, kita berusaha
mengetahui aspek-aspek keribadian (personality traits). Salah stau sikap
keribadian itu, misalnya sikap ketebukaan, yaitu terbuka terhadap dunia luar,
bersedia memahami perasaan orang lain. Dan sikap ini bersifat menetap serta
menjadi ciri bagi orang yang bersangkutan, yang merupakan sifat yang unik,
yang individual dari orang tersebut.

14
BAB III
HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN PSIKOLOGI

3. 1. Psikologi sebagai Bagian dari Filsafat


Pada zaman sebelum Masehi, jiwa manusia sudah menjadi topik
pembahasaan para filsuf. Saat itu para filsuf sudah membicarakan aspek-
aspek kejiwaan manusia dan mereka mencari dalil, pengertian, serta
berbagai aksioma umum, yang berlaku pada manusia.
Ketika itu, psikologi memang sangat dipengaruhi oleh cara – cara
berpikir filsafat dan terpengaruh oleh filsafatya sendiri. Hal tersebut
dimungkungkinkan karena para ahli atau para ahli filsafat waktu itu juga
ahli psikologi.
Sebelum tahun 1879, jiwa dipelajari oleh para filsuf dan para ahli
ilmu faal (fisiologi), sehingga psikologi dianggap sebagai bagian dari kedua
ilmu tersebut. (Fauzi, 1997: 14).
Selain pengaruh dari ilmu faal, psikologi juga dipengaruhi oleh satu
hal yang tidak peneuhnya berhubungan dengan ilmu faal, meskipun masih
erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, yaitu hipnotisme. (Dirgagunasa,
1996: 30)
Menurut singgih Dirgagunasa, hipnotisme timbul karena
kepercayaan bahwa dalam alam ini terdapat kekuatan – kekuatan yang
misterius, yaitu magnetisme. Paracelus (1493-1541), seorang ahli mistik,
menunjukkan bahwa dalam tubuh manusia terdapat magnet yang – sama
halnya dengan bintang-bintang di langit – dapat mempengaruhi tubuh
manusia melalui pemancaran yang menembus angkasa. Dalam hubungan
itu, Van Helmont (1577-1644) mengemukakan doktrin animal magnetism,
yaitu “Cairan yang bersifat magnetis dalam tubuh manusia dapat
dipancarkan untuk mempengaruhi badan, bahkan jiwa orang lain.”
(Dirgagunarsa, 1996: 36)
Para ahli ilmu filsafat kuno, seperti Plato (429-347 SM) dan
Aristoteles (384-322 SM), telah memikirkan hakikat jiwa dan gejala-
gejalanya. Pada zaman kuno, tidak ada spesialisasi dalam lapangan
keilmuan, sehingga boleh dikatakan bahwa semua ilmu tergolong dalam apa
yang disebut filsafat itu. Sementara ahli filsafat ada yang mengatakan bahwa
filsafat adala induk ilmu pengetahuan.
Sebagai induk ilmu pengetahuan, filsafat adalah ilmu yang mencari
hakikat sesuatu dengan menciptakan pertanyaan dan jawaban secara terus-
menerus sehingga mencapai pengertian yang hakiki tentang sesuatu. Masa
itu belum ada pembuktian-pembuktian empiris, melainkan berbagai teori
dikemukakan berdasarkan argumentasi logika belaka. Psikologi benar-benar
masih merupakan bagian dari filsafat dalam arti yang sebenarnya.

15
Filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala
sesuatu dengan mendalam mengenai Ketuhanan, alam semesta, dan
manusia, sehingga menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikat
dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia setelah mencapai
pengetahuan itu. (Bakry, 1971: 11)
Pada abad pertengahan, psikologi masih merupakan bagian dari
filsafat, sehingga obejknya tetap hakikat jiwa, sementara metodenya masih
menggunakan argumentasi logika.
Uraian oleh para filsuf abad pertengahan umumnya berkisar seputar
ketubuhan dan kejiwaan. Berbagai pandangan mengenai ketubuhan dan
kejiwaan dapat digolongkan menjadi dua hal yaitu:
1. Pandangan bahwa antara ketubuhan dan kejiwaan (antara aspek psikis
dan fisik) tidak dapat dibedakan karena merupakan suatu ketubuhan.
Pandangan ini disebut monism.
2. Pandangan bahwa ketubuhan dan kejiwaan pada hakikatnya dapat
berdiri sendiri, meskipun disadari bahwa antara kejiwaan dan
ketubuhkan merupakan suatu kesatuan. Ini disebut dualism.
(Dirgagunarsa, 1996: 17)

3. 2. Hubungan Psikologi dengan Filsafat


Filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya, filsafat memang
berangkat dari apa yang dialami manusia, karena tak ada pengetahuan jika tidak
bersentuhan lebih dahulu dengan indra, sedangkan ilmu yang hendak menelaah
hasil pengindraan itu tidak mungkin mengambil keputusan dengan menjalankan
pikiran, tanpa menguraikan dalil dan hukum pikiran yang tidak mungkin
dialaminya. Bahkan ilmu dengan amat tenang, menerima sebagai kebenaran
bahwa pikiran manusia itu ada serta mampu mencapai kebenaran, dan tidak
pernah diselidiki oleh ilmi, sampai di mana dan bagaimana budi manusia dapat
mencapai kebenaran itu.
Sebaliknya, filsafat pun memerlukan data dari ilmu. Jika, filsafat manusia
hendak menyelidiki manusia itu serta hendak menentukan apakah manusia itu, ia
memang harus mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam hal ini, ilmu yang
bernama psikologi akan menolong filsafat sebaik-baiknya denga hasil
penyelidikannya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan sangat pincang
dan mungkin jauh dari kebenaran jika tidak menghiraukan hasil psikologi.
(Poedjawijatna, 1991)
Dalam berbagai literatur disebutkan, sebelum menjadi disiplin ilmu yang
mandiri psikologi memiliki akar-akar yang kuat dalam ilmu kedokteran dan
filsafat yang hingga sakarang masih nampak pengaruhnya. Dalam ilmu
kedokteran, psikologi berperan menjelaskan apa-apa yang terpikir dan terasa oleg
organ-organ biologis (jasmaniah). Adapun dalam filsafat yang sebenarnya

16
merupaka “ibu kandung” psikologi, psikologi bereperan serta dalam memecahkan
masalah-masalah rumit yang berkaitan dengan akal, kehendak, dan pengetahuan.
Bruno, seperti yang dikutip Syah (1995: 8), membagi pengertian
psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama,
psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “roh”. Kedua psikologi adalah ilmu
pengetahuan mengenai “kehidupan mental”. Ketiga, psikologi adalah ilmu
pengetahuan mengenai “tingkah laku” organisme.
Pengertian pertama merupakan definisi yang paling kuno dan klasik
(bercita rasa tinggi dan bersejarah) yang berhubungan dengan filsafat Plato dan
Aristoteles. Mereka menganggap bahwa kesadaran manusia berhubungan dengan
rohnya. Oleh karena itu, studi mengenai kesadaran dan proses mental manusia
merupakan bagian dari studi tentang roh.

17
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Sebagai induk ilmu pengetahuan, filsafat adalah ilmu yang mencari
hakikat sesuatu dengan menciptakan pertanyaan dan jawaban secara terus-
menerus sehingga mencapai pengertian yang hakiki tentang sesuatu. Masa itu
belum ada pembuktian-pembuktian empiris, melainkan berbagai teori
dikemukakan berdasarkan argumentasi logika belaka. Psikologi benar-benar
masih merupakan bagian dari filsafat dalam arti yang sebenarnya.
Pengertian filsafat ilmu, dalam sejarah perkembangan pemikiran
kefilsafatan antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda, dan
hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Pengertian filsafat dapat
ditunjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan secara terminologi. Selain itu
banyak pula para ahli filsuf yang memberikan pengertian filsafat menurut sudut
pandang mereka, dengan pokok pikiran tentang filsafat menurut mereka. Sehingga
dapat ditarik kesimpulah bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal
sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-gejala atau
fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dan suatu fenomena. Hakikat adalah
suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu” adalah “sesuatu” itu adanya. Filsafat
adalah usaha untuk mengetahui segala sesuatu. “ada” (being) merupakan
implikasi dasar. Jadi segala sesuatu yang mempunyai kualitas tertentu pasti adalah
“ada”.
Sama halnya dengan ilmu pengetahuan yang lain filsafat juga memiliki
objek kajian, objek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian
atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek
dalam filsafat dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal.
Objek material filsafat adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau
pembentukan pengetahuan itu. Objek material juga adalah hal yang diselidiki,
dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Objek material mencakup apa
saja, baik hal-hal konkret ataupun hal yang abstrak. Objek formal, yaitu sudut
pandangan yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan
pengetahuan itu atau sudut dari mana objek material itu disorot.
Filsafat juga memiliki tujuan dalam pengilmuannya, yaitu mendalami
unsur-unsur pokok ilmu, memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan
kemajuan ilmu di berbagai bidang, menjadi pedoman bagi para dosen dan
mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk
membedakan persoalan yang ilmiah dan nonilmiah, mendorong para calon
ilmuwan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan
mengembagkannya, mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan
antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.

18
Keguanaan filsafat dapat dibagi menjadi dua, yakni kegunaan secara
umum dan secara khusus. Kegunaan secara umum dimaksudkan manfaat yang
dapat diambil oleh orang yang belajar filsafat dengan mendalam sehingga mampu
memecahkan masalah-masalah secara kritis tentang segala sesuatu. Kegunaan
secara khusus dimaksudkan manfaat khusus yang diambil untuk memecahkan
khususnya suatu objek di Indonesia. Jadi, khusus diartikan terikat oleh ruang dan
waktu.
Secara etomologis, istilah psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu,
dari kata psyche yang berarti “jiwa”, dan logos yang berarti “ilmu”. Jadi secara
harfiah, psikologi berati ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-
gejala kejiwaan. Selain itu banyak para ahli psikologi yang memberikan pendapat
mereka tentang definisi psikologi dari sudut pandang mereka.
Sama hanya dengan filsafat psikologi juga memiliki objek kajian, yaitu
objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dibahas,
dipelajarai dan diselidiki atau suatu unsur yang ditentukan atau sesuatu yang
dijadkan sasaran pemikiran. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal
konkret (misalnya kerohanian, nilai-nilai, ide-ide), sedangkan objek formal adala
cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap
objek materialnya serta ptrinsip-prinsip yang digunakannya. Jadi, “sudut dari
mana objek material itu disoroti disebut objek formal”.
Dengan mempelajari psikologi, berarti ada usaha untuk mengenal
manusia. Mengenal berarti dapat memahami, berarti pula kita dapat menguaraikan
dan menggambarkan tingkah laku dan kepribadian manusia beserta aspek-
aspeknya. Adapun dalam filsafat yang sebenarnya merupaka “ibu kandung”
psikologi, psikologi bereperan serta dalam memecahkan masalah-masalah rumit
yang berkaitan dengan akal, kehendak, dan pengetahuan.

4.2. Saran
Berdasarkan uraian diatas dapat kita ambil pelajaran tentang bagaimana
hubungan antara Filsafat Ilmu dengan Psikologi, dengan mempelajari dan
mengetahui tentang hal tersebut diharapkan dapat berkontribusi dalam
perkembangan ilmu pengetahuan kedepanya, ini diharapkan dapat menjadi sarana
pembelajaran yang baik dan mengambil hikmah yang manfaat untuk kita terapkan
di kehidupan sekarang, dapat dilihat pula hubungan yang bersinergi antara Filsafat
dan Psikologi, yang mampu bersanding damai dalam membuat Peradaban
Keilmuwan. Bagi kita muslim abad 21 selayaknya mampu mengambil hikmah
positif dan tidak menganggap bahwa ilmu merupakan hal yang sederhana.
Melainkan menjadikan ilmu sebagai sarana kita untuk terus berkembang dan
mengembangkan diri dengan cara menambah wawasan keilmuan.

19
Diharapkan dengan adanya pembahasan ilmu seperti ini dapat membuka
pikiran para mahasiswa yang lain dalam meneliti hal yang masih belum peneliti
sekarang lakukan, membuat mereka berpikir untuk menguraikan lebih jauh dan
mempelajari apa itu Filsafat Ilmu dan Psikologi, serta apa hubungan keduanya.
Sehingga dapat membuka wawasan baru dalam ilmu pengetahuan dan menjadikan
mereka memiliki pemikiran lebih kritis dalam menelaah suatu disiplin ilmu.

20
DAFTAR PUSTAKA

Koento Wibisono. 1994. ‘Ilmu Pengetahuan Kelahiran dan Perkembangan,


Klasifikasi serta Strategi Pengembangannya’ dalam Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya, Editor M. Thoyibi. Muhammadiyah Unversiitas
Press, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Campbell, K. 1984. Body And Mind. Unversitas of Norte Dame Press, Norte
Dame, Indiana.
Lasiyo dan Yuwono. 1985. Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta: Liberty.
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Wacana Ilmu.
Hamami M., Abbas. 1976. Filsafat (Suatu Pengantar Logika Formal – Filsafat
Pengetahuan). Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramadia Pustaka Utama.
Noor Syam, Muhammad. 1981. Pengatar Tinjauan Pancasila dari segi Filsafat.
Malang: Laboratorium Pancasila IKIP Malang.
Poedjawijatna. 1980. Pembimbing Ke Arah Alam Fislafat. Cetakan kelima.
Jakarta: Pembangunan.
Salam, Burhanuddin. 1988. Pengantar Filsafat. Cetakan kedua. Jakarta: Bina
Aksara.
Dardiri, H.A. 1986. Humaniora, Filsadat dan Logika. Jakarta: Rajawali.
Bakhtiar, Amsal. 2014. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali.
Salam, Burhanuddin. 1988. Logika Formal (Fisalat Berpikir). Jakarta: Bina
Aksara.
Mussen, Paul dan Mark R. Rosenzweig. 1975. Psychology an Introduction. D.C.
Health and Company. London.
Gerungan, W.A. 1987. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco.
Rahardjo, M. Dawam. 1996. Ensiklopedi Al – Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep – Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina.
Ash-Shadr, Muhammad Baqir. 1993. Falsafatuna, Pandangan Muhammad Baqir
Ash-Shadr terhadap Perbagai Aliran Filsafat Dunia, Penerjemah M. Nur
Mufid bin Ali. Bandung: Mizan.
Hilgert, Ernest. 1957. Introduction to Psychology. New York: Harcourt, Brace
and Company.
Miller, George A. 1974. Psychology and Communication. Washington DC, USA:
Voice of America.
Morgan, Clifford T. 1961. Introduction to Psychology. London: McGrawHil
Company.
Woodworth, R.S., Marquis. 1957. Psychology. New York: Henry Haltz & Co.
Sastropoetro, R.A. Santoso. 1987. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan
Disimplin dala Pembangunan Nasional. Bandung: Alumni.
Mudhofir, Ali. 1996. “Pengenalan Filsafat,” dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu
Fakultas Filsafat UGM (ed.) Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

21
Sunarjo, Djonaesih S. 1991. Pengantar Ilmu Komunikasi, jilid 1. Yogyakarta:
Liberty.
Ember, Carol R dan Melvin Ember. 1981. “Perkenalan dengan Antropologi,”
dalam T.O Ihromi (ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT
Gramedia.
Fauzi, Ahmad. 1997. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Media.
Dirgagunasa, Singgih. 1996. Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara Sumber
Widya.
Bakry, Hasbullah. 1971. Sistematik Filsafat. Jakarta: Widjaja.

22

Anda mungkin juga menyukai