Anda di halaman 1dari 32

1. What is Philosophy?

(Pengertian filsafat)

Secara etimologi filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata Philos atau

Philen yang berarti cinta, senang atau suka dan Shopos atau Shopia yang berarti bijaksana,

suci atau bersih. Dari arti kata tersebut dapat dikatakan bahwa filsafat berarti cinta

kebijaksanaan, cinta keadilan atau kebersihan. Dan orang yang berfilsafat adalah orang yang

bermaksud mencari kesucian atau kebersihan. Sedangkan secara terminology filsafat berarti

alam berpikir atau alam pikiran. Berfilsafat berarti berfikir secara mendalam (radikal) dan

sungguh-sungguh. Tujuan akhir seorang yang berfilsafat (filosof) ialah bersungguh-sungguh

memikirkan sesuatu secara mendalam untuk mendapatkan atau menemukan hakekat akan

suatu hal. Beberapa ahli memberikan pendapat mereka tentang filsafat sebagai berikut:

Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan

guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu

pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).

Aristoteles (382-322 SM). Filsafat ialah ilmu penggetahuan yang meliputi kebenaran

yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu : Metafisika, Politika, Logika, Retorika, Etika.dan

Estetika.

Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM) politikus dan ahli pidato Romawi,

merumuskan: Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha

untuk mencapainya.

Alfarabi (870-1650 SDM). Filsafat ialah ilmu penggetahuan tentang bagaimana

ujud alam yang sebenarnya.

Descartes (1590-1650). Filsafat ialah kumpulan penggetahuan dimana

tuhan,Manusia ,dan alam menjadi kajianya.


Al-Kindi (800-870 SM). Filsafat merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat

segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia.

Harun Nasution. Filsafat adalah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas

(tak terikat tradisi, dogma atau agama) dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-

dasar persoalan.

Harold Tisus. Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta, suatu

metode berfikir reflektif dan penelitian penalaran, suatu perangkat masalah, filsafat juga bisa

berarti seperangkat teori berpikir dan sistem berpikir.

Prof. Drs. Hasbullah Bakry, S.H. Filsafat ialah ilmu yang menyelidiki segala

sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat

menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal

manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

Prof. Dr. N. Driyarkara S.J. Fisafat adalah pikiran manusia yang radikal artinya

dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat “yang diterima saja”

mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar-akar dari lain-lain pandangan

dan sikap praktis.

Rene Descartes. Filsafat merupakan kumpulan segala pengetahuan dimana tuhan,

alam semesta dan manusia menjadi bahan penyelidikannya.

Francis bacon. Filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu dan filsafat

menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya

Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan :

Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat

persoalan, yaitu:
 apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)

 apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)

 sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh agama)

 Apakah yg dinamakan manusia ? (dijawab oleh antropologi )

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat sebagai dasar

(induk) dari bidang ilmu lainnya merupakan ilmu yang berusaha mengenali dan

mensistematiskan semua bidang pengetahuan sebagai sarana untuk memikirkan, memahami

dan menafsirkan secara kritis segala sesuatu yang dapat dikaji dengan indera manusia, dan

dijabarkan dalam konsep mendasar yang umumnya terdiri dari logika (pemikiran), etnis,

metafisika dan epistemology.

2. What is philosophy of science? (Pengertian filsafat ilmu)

Arti dari filsafat ilmu tidak terlepas dari kata filsafat dan ilmu. Filsafat merupakan

induk dari semua ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang bisa diindra (menjadikan alam

secara keseluruhan) sebagai objek kajiannya. Sedangkan ilmu merupakan pengetahuan

tentang suatu bidang pengetahuan yang disusun secara sistematis menurut metode-metode

tertent, misalnya ilmu hayat (Biologi) yang hanya mengkaji makhluk hidup.

Filsafat mengkaji atau menyelidiki semua kenyataan yang dikaji oleh tiap-tiap

cabang ilmu dan berusaha menyelidiki ada tidaknya keterkaitan antara kenyataan-kenyataan

tersebut. Dengan kata lain, filsafat melihat alam ini sebagai objek pemikiran sedangkan ilmu

cabang hanya mengkaji sebab akibat dan kejadian-kejadian sesuatu. Filsafat selain mengkaji

sebab akibat juga mengkaji hakekat sesuatu. Filsafat senantiasa mencari hakekat sesuatu

dengan mancari jawaban atas pertanyaan:

Apa dan siapa dia sebenarnya?


Darimana dia asalnya?

Hendak kemana dia perginya?

Filsafat melakukan pengkajian atau penyelidikan dengan menggunakan akal budi

mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum-hukum, dan sebagainya dari segala seseuatu yang

ada dialam semesta.

Sebagai tambahan, Abraham Cornelius Benjamin yang merupakan seorang ahli

filsafat asal Amerika Serikat berpendapat bahwa filsafat ilmu adalah “That philosopic

discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its

concepts and presupposition, and its place in the general scheme of intellectual discipline”.

Artinya, filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang merupakan studi

sistematis mengenai ilmu, khusunya metode, konsep dan praanggapan, serta letaknya dalam

kerangk umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.

3. What is Philosophy of Language? (Pengertian filsafat bahasa)

Filsafat bahasa merupakan bagian dari filsafat yang mengkombinasi antara ilmu

linguistik dan filsafat. Ilmu ini menyelidiki dan mempelajari kodrat dan

kedudukan bahasa dalam kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoretis

linguistik. Filsafat bahasa merupakan penyelidikan filsofis untuk mencari hakikat ilmu

pengetahuan bahasa dengan menjelaskan berbagai penggunaan tanda bahasa serta simbol

dasar komunikasi.

Kinayati Djojosuroto (2007 : 452) membagi filsafat bahasa kedalam dua bagian

yakni filsafat bahasa ideal dan filsafat bahasa sehari-hari. Dia berpendapat bahwa filsafat

bahasa merupakan bidang filsafat khusus yang membahas tentang hakikat bahasa, unsur-
unsur pembentuk bahasa, hubungan bahasa dengan pikiran manusia, hakikat bahasa sebagai

sarana komunikasi dalam kaitannya dengan kehidupan manusia.

Filsafat bahasa adalah teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para

filsuf, sementara mereka itu dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual.Filsafat

bahasa ialah usaha para filsuf memahami conceptual knowledge melalui pemahaman

terhadap bahasa.

Dalam upaya mencari pemahaman ini, para filsuf telah juga mencoba mendalami

hal-hal lain, misalnya fisika, matematika, seni, sejarah, dan lain-lain.Cara bagaimana

pengetahuan itu diekspresikan dan dikomunikasikan di dalam bahasa, di dalam fisika,

matematika dan lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat dengan hakikat

pengetahuan atau dengan pengetahuan konseptual itu sendiri.Jadi, dengan meneliti berbagai

cabang ilmu itu, termasuk bahasa, para filsuf berharap dapat membuat filsafat tentang

pengetahuan manusia pada umumnya.

Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah linguistik bertujuan

mendapatkan kejelasan tentang bahasa.Linguistik mencari hakikat bahasa.Jadi, para sarjana

bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir kegiatannya,

sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat pengetahuan

konseptual.Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan konseptual itu, para filsuf

mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek sementara agar

pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.

Filsafat bahasa merupakan (1) kumpulan hasil pikiran para filosof mengenai hahikat

bahasa yang disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan menggunakan metode

tertentu, (2) metode berpikir secara mendalam (radik), logis, dan universal mengenai hakikat
bahasa.Filsafat bahasa bisa dilihat dari dua sudut pandang.Pertama, filsafat bahasa dilihat

sebagai ilmu dan kedua, filsafat bahasa dilihat sebagai suatu metode.Jika dilihat sebagai

ilmu, filsafat bahasa mengacu pada kumpulan hasil pikiran para filsof mengenai bahasa yang

disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan menggunakan metode tertentu. Jika dilihat

sebagai metode berpikir, filsafat bahasa mengacu pada metode berpikir secara mendalam,

logis, dan universal mengenai hakikat bahasa (Hidayat, 2009 : 13).

Kajian filsafat dimanfaatkan oleh ahli bahasa untuk mengembangkan teori bahasa.

Filsafat empirisme, yang salah satu tokohnya John Lock, mempengaruhi ahli bahasa

Ferdinand de Saussure untuk mengkaji bahasa. Teori bahasa yang dikembangkan oleh

Saussure ini terkenal dengan sebutan Linguistik Struktural. Filsafat rasionalisme, yang salah

satu tokohnya Rene Descartes, mempengaruhi kajian bahasa, seperti yang dilakukan oleh

Noam Chomsky. Teori bahasa yang dikembangkan oleh Chomsky disebut Tatabahasa

Generatif Transformasional. Kajian bahasa selanjutnya mengalami perkembangan secara

terus menerus dan kini kita memiliki banyak aliran linguistik: antara lain; aliran tatabahasa

tradisional, linguistik struktural, tatabahasa generatif transformasional, tatabahasa tagmimik,

tatabahasa sistemik-fungsional.

Secara umum, objek material filsafat bahasa adalah bahasa itu sendiri. Perbedaan

filsafat bahasa dan ilmu bahasa adalah bahwa (1) filsafat bahasa mengkaji bahasa dari sudut

pandang filsafati; sedang (2) ilmu bahasa mengkaji bahasa dari sudut pandang aspek-aspek

atau unsur-unsur yang membangun bahasa mulai dari tataran fonologis, morfologis,

sintaktis, semantis dan pragmatis (Kaelan, 2009).

4. What is Analytic Philosophy of Language? (Pengertian Filsafat Bahasa Analitik)


Filsafat analitik merupakan bagian dari fisafat bahasa yang digunakan dalam ilmu

lain sebagai explanatory function yang bermakna bahwa filsafat ini menjelaskan dan

menguraikan ilmu lain dengan kata-kata yang ada dalam bahasa. Atau dengan kata lain,

filsafat analitik merupakan bahasa yang digunakan untuk menjelaskan ilmu lain.

Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis,

tajam dan tersusun. Secara terminology, filsafat analitik adalah suatu gerakan

filosof abad ke 24, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan

perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan, konsep-konsep,

ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk -bentuk yang logis supaya

menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta

atau makna-makna yang disajikan.

Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik

tentang sytax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep

dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.

Rojer Jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya t i n d a k menganalisis

berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian -bagiannya. Tepat bahwa itulah

yang dilakukan oleh para filosof analitik.

Didalam kamus popular filsafat, filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang

berpangkal pada lingkaran Aina. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau

metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiric, sehingga criteria yang

berlaku dalam ilmu eksakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat

dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak

kemungkinan adanya analogi.


Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat

analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam

pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu, aliran rasionalisme yang menekankan

otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam

pengenalan pengetahuan manusia serta aliran materialism dan kritisisme Immanuel Kant

menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa

terutama dalam pengungkapan realistas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.

5. What is Ordinary Philosophy of Language? (Pengertian Filsafat Bahasa Biasa)

Filsafat Bahasa Biasa (juga dikenal sebagai Filosofi Linguistik atau Filosofi Bahasa

Alami) adalah sekolah filosofis abad ke-20 yang mendekati masalah filosofis tradisional

yang berakar pada kesalahpahaman yang dikembangkan filsuf dengan melupakan arti kata-

kata sebenarnya dalam bahasa, dan membawanya ke dalam abstraksi dan di luar konteks.

Filsafat bahasa biasa adalah penggunaan filsafat dalam ilmu bahasa dimana bahasa

sebagai objek dari filsafat itu sendiri.Filsafat bahasa lebih menekankan pada aspek

pragmatik, yaitu bagaimana penggunaan suatu istilah atau ungkapan dapat mengandung arti..

Analisis Bahasa Biasa biasanya melibatkan "teori" filosofis yang menghindari

perhatian menyeluruh terhadap rincian penggunaan bahasa sehari-hari "biasa" non-teknis.

Dengan demikian, menurutnya, perenungan bahasa dalam penggunaannya yang normal,

dapat "membubarkan" kemunculan masalah filosofis, dan bukannya mencoba

menyelesaikannya. Untuk lebih jelasnya, lihat bagian tentang doktrin Filem Bahasa Biasa.

Filosofi Analitik Awal cenderung mengabaikan bahasa sebagai kepentingan

filosofis yang kecil, dan bahasa biasa hanya terlalu bingung untuk membantu memecahkan

masalah metafisik dan epistemologis. Filsuf analitik seperti Ludwig Wittgenstein muda,
Bertrand Russell, W.V.O. Quine dan Rudolp Carnap (1891 - 1970), semuanya berusaha

memperbaiki bahasa alami dengan menggunakan sumber daya Logika modern, dalam upaya

membuatnya lebih tidak ambigu dan akurat mewakili dunia, untuk lebih mengatasi masalah

filsafat ( Analisis "bahasa yang ideal").

Selain itu, Wittgenstein II sangat terkenal dengan semboyannya: “Makna setiap

kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung

penggunaannya dalam kehidupan”Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang

harus diperhatikan untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein

I.Pertama, filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy). Munculnya filsafat bahasa

biasa dipicu oleh kegalauan terhadap kegagalan bahasa logika dalam menjelaskan jubelan

realitas.Fakta bahwa sangat banyak model bahasa dalam kehidupan nyata sehari-hari, yang

menghasilkan makna-makna yang sangat beragam bahkan terhadap satu kata atau proposisi,

memperlihatkan betapa bahasa logika tidak mampu menjawab keinginan dasar filsafat

analitika untuk mengentaskan kerancuan makna bahasa. Batu pondasi filsafat bahasa sehari-

hari ini menganut prinsip bahwa makna kata ditentukan oleh penggunaannya.Jika filsafat

bahasa logika mengidealkan ketunggalkan makna dalam suatu kata dan proposisi

(uniformitas), sementara fakta keseharian memperlihatkan begitu banyak ragam makna yang

muncul secara nyata, maka wajarlah kalau lahirnya filsafat bahasa biasa disambut luas untuk

menjelaskan persoalan keragaman makna bahasa itu (poliformitas) Wittgenstein menyadari

bahwa kelemahan mendasar bahasa logika ialah tidak mampu menyentuh seluruh realitas

yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya

pada keanekaraman bahasa biasa dan cara penggunaannya, yang memproduksi keragaman
makna nyata. Jika dibandingkan dengan masa Wittgenstein I, era Wittgenstein II berubah

haluan dalam tiga prinsip sekaligus yaitu:

Pertama, bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan

keadaan faktualnya (state of affairs).

Kedua, bahwa kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni

menggambarkan suatu keadaan faktual.

Ketiga, setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna,

meskipun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.Lepas dari persoalan

perubahan filosofis yang sangat mendasar pada diri Wittgenstein tersebut, yang pasti melalui

Philosophical Investigations, Wittgenstein telah meletakkan pondasi besar tentang filsafat

bahasa biasa sebagai antitesis terhadap bahasa logikanya

6. What are the major topics in philosophy of language? (Topik utama dalam filsafat

bahasa)

o Makna alami (semantic:apa yang dimaksud?) keaslian makna, bagaimana makna itu

bisa diketahui

o Penggunaan bahasa (pragmatik)

o Kognisi bahasa (bahasa dan pikiran)

o Hubungan antara bahasa dan realitas (kebenaran, makna dan realitas dunia)

o Bahasa sebagai sarana dalam logika (kegiatan bernalar manusia itu dapat

dikomunikasikan kepada oraang lain dan dapat mewakili kebenaran isi pikiran

manusia)

o Konsep-konsep dasar yang dilakukan melalui analysis bahasa(Konceptual analisis)


o Kalimat dapat dipahami berdasarkan pada makna bagian-bagian dalam kalimat

(words, morphemes) beserta pemahaman tentang strukturnya (syntax, logic).

o Penelitian tentang bagaimana bahasa mempengaruhi dunia (Theories of Reference).

7. In what ways is Philosophy of Language different from Linguistic Philosophy,

Philosophy of Linguistics, Logics, and Language Philosophy?

Filsafat Bahasa adalah penerapan terhadap filsafat ilmu untuk mempelajari bahasa;

Bahasa sebagai objek penelitian. Atau, filsafat ilmu seperti yang diterapkan pada bahasa.

(Biasanya disebut filsafat bahasa biasa, oleh beberapa orang)

Filosofi Linguistik adalah pandangan bahwa masalah filosofis adalah masalah yang

dapat dipecahkan atau dibubarkan baik dengan mereformasi bahasa atau lebih memahami

bahasa yang kita gunakan saat ini.

Filsafat Linguistik adalah penerapan filsafat ilmu terhadap linguistik, atau filsafat ilmu

yang diterapkan pada linguistic terutama berkaitan dengan: materi pelajarannya, apa tujuan

teoritisnya, bentuk teori apa yang harus diambil, dan apa yang penting sebagai data.

Filsafat Linguistik adalah penerapan PoS (Philosophy of Science) terhadap linguistik,

atau PoS yang diterapkan pada linguistik terutama berkaitan dengan: materi pelajarannya;

Apa tujuan teoritisnya; Bentuk teori apa yang harus diambil; Dan yang penting sebagai data.

Selain itu, Filosofi Bahasa digunakan secara bergantian dengan Filsafat Bahasa.

Perbedaan paling mendasar antara Philosophy of Language dan Linguistic Philosophy,

Philosophy of Linguistics dengan Language Philosophy adalah terletak dari segi cakupannya,

philosophy of language menjadikan bahasa sebagai subjeknya dengan fokus perhatian dari

segi makna, yang menjelaskan apa “makna” itu, apa yang dimaksudkan pada saat

membicarakan makna, dan pemahaman kita terhadap makna tersebut.


Perbedaan yang kedua antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah linguistik

bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa atau mencari hakikat bahasa. Jadi, para

peneliti bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa adalah tujuan akhir

kegiatan, sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat

pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan konseptual, para

filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek sementara

agar memperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual.

8. Who are considered philosophers of language; and what are their major concerns or

ideas?

 John Locke (1632-1704): Sifat bahasa

John Locke merupakan salah satu filsuf Inggris yang paling terkenal di abad ke-17.

Dia memberikan kontribusi besar pada teori modern tentang pemerintahan liberal dan juga

memberikan pengaruh luar biasa pada bidang teologi, toleransi beragama, dan teori

pendidikan. Tak hanya itu, Locke juga dianggap sebagai pendiri aliran Empirisme di

Inggris. Dalam karyanya yang paling fenomenal, Essay Concerning Human

Understanding, Locke bertekad menawarkan analisis tentang pikiran manusia dan

perolehan pengetahuannya. Salah satu kutipannya kalimatnya adalah“ Ketika manusia

lahir, pikiran manusia seperti kertas kosong yang menunggu untuk ditulisi oleh

pengalaman di dunia selama hidupnya.”. Dari pernyataan itu dia menawarkan teori

empiris yang menurutnya manusia memperoleh gagasan melalui pengalamannya tentang

dunia. Pikiran kemudian dapat memeriksa, membandingkan, dan menggabungkan gagasan

tersebut dengan berbagai cara. Pengetahuan terdiri dari jenis hubungan khusus dan gagasan

yang berbeda.
Karya Locke yang paling fenomenal tersebut didedikasikan untuk bahasa. Inti

pemikirannya tentang bahasa sebagai semacam artefak, yang sifatnya ditentukan oleh apa

yang dilakukannya dan apa fungsingnya. Oleh karena itu, Locke menawarkan 8 gagasan

penting tentang sifat bahasa yang saling berkaitan satu dengan yang lain sebagai berikut:

a) (L1) The nature of language is defined by its function yang bermakna bahwa sifat

dasar/definisi bahasa yang sebenarnya ditentukan oleh fungsinya.

b) (L2) The function of language is to communicate. Fungsi dari bahasa adalah untuk

berkomunikasi dan menyampaikan maksud/tujuan.

c) (L3) What language is meant to communicate is thought. Apa yang ingin diucapkan/

disampaikan adalah apa yang kita pikirkan. Konsepsi fungsional bahasa ini digunakan

oleh Locke yang memberikan penjelasan umum tentang arti kata-kata. Ide dasarnya

adalah jika bahasa mengkomunikasikan pemikiran, maka kata-kata, menjadi

komponennya sedangkan bahasa harus mengkomunikasikan komponen pemikiran.

d) (L4) Words signify or mean the components of what they are trying to communicate.

Penandaan atau pemaknaan komponen kata adalah upaya untuk menunjukkan apa

yang ingin mereka ungkapkan. Locke berpendapat bahwa words adalah tanda atau

symbol dan signify adalah komponen dari pemikiran dan terkadang dia menggunakan

pengertian makna sebagai gantinya.

e) (L5) The components of thought are ideas. Komponen dari pemikiran adalah ide tau

gagasan. Locke berpendapat bahwa buah dari pemikiran adalah gagasan namun tak

semua orang memiliki gagasan saat berkomunikasi.

f) (L6) One person’s ideas cannot be perceived by another. Gagasan seseorang tidak

dapat dirasakan atau dilihat oleh orang lain. Yang berarti bahwa seseorang tidak akan
mampu mengetahui dan memahami gagasan orang lain tanpa adanya bunyi suara yang

diucapkan si pembicara.

g) (L7) The relation between words and what they signify or mean is arbitrary.

Hubungan antara kata-kata dan apa yang mereka tandai atau maksudkan selalu

berubah-ubah atau bersifat sewenang-wenang . Locke menyarankan bahwa kata-kata

itu secara intrinsik tidak bermakna, mereka hanya akan menjadi bermakna jika

dijadikan sebagai gagasan yang masuk akal.

h) (L8) Words are not intrinsically meaningful. Kata atau bahasa tidak selalu makna yang

pasti. Makna kata selalu disesuikan dengan konteks dan fungsinya.

 Gottlob Frege (1848-1925): Perasaan dan petunjuk (sense and reference)

Gottlob Frege merupakan ahli matematika dan filsuf Jerman yang secara luas

dianggap sebagai bapak filsafat analitik. Karyanya telah membentuk segala sesuatu yang

telah ditulis dalam filsafat bahasa dalam tradisi analitik. Morris berpendapat bahwa ada dua

alasan utama untuk hal tersebut. Pertama, filsafat bahasanya menyajikan cara yang

berterima untuk apa yang nampak paling alami dan intuitif tentang jenis pendekatan bahasa

yang ditemukan di Locke, sementara menolak dengan tegas apa yang paling dipertanyakan

mengenai hal tersebut. Dan, kedua, karyanya menawarkan prospek pendekatan yang benar-

benar sistematis terhadap makna.

Frege memiliki asumsi yang sama dengan Locke tentang bahasa dalam tiga aspek

yakni: (L1) Sifat/ dasar bahasa ditentukan oleh fungsinya, (L2) Fungsi bahasa adalah untuk

berkomunikasi; dan (L3) Apa yang ingin diucapkan/ disampaikan adalah apa yang kita

pikirkan. Namun, Frege memiliki pendapat yang berbeda tentang (L4) Penandaan atau

pemaknaan komponen kata adalah upaya untuk menunjukkan apa yang ingin mereka
ungkapkan dan (L5) Komponen dari pemikiran adalah gagasan yang dikemukakan oleh

Locke.

Karya filsafat pertama Frege (berlawanan dengan matematika atau logika) adalah

The Foundations of Arithmetic. Kata Pengantar untuk karya ini berisi dua prinsip penting

bagi filsafat bahasa Frege, yakni:

 (F1) It’s not true that all words mean or refer to ideas. Tidaklah benar bahwa semua

kata memiliki makna atau mengacu pada gagasan tertentu.

 (F2) the meaning of a word is what is known by someone who understands the word.

Arti sebuah kata adalah apa yang diketahui oleh seseorang yang mengerti kata tersebut.

Dan argumen dari asumsi itu berarti bahwa semua orang ini mengerti sebuah kata

dalam arti yang sama, meskipun mereka menghubungkan Ide yang berbeda dengan

kata; Jadi Ide harus tidak relevan dengan artinya.

Selain itu, Gottlob Frege's Frege On Sense and Reference (Über Sinn und

Bedeutung, 1892) hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode

berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika. Frege

dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan filsafat bahasa.Frege berpendapat bahwa

dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang

ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat

kebenaran suatu pernyataan.

Frege menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika,

dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah

deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Salah satu idenya yang paling berpengaruh

adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya,
dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti

dan acuan.

 Bertrand Russell (1872-1970): Prinsip Isomorph, gambaran nyata

Bertrand Russell adalah seorang filsuf dan ahli matematika ternama Britania Raya.

Dia menulis banyak buku dan brosur tentang berbagai masalah, antara lain filsafat, moral,

pendidikan, sejarah, agama dan politik. Sumbangan terbesarnya di bidang ilmiah adalah di

bidang logika matematika.

Pemikiran filosofis Bertrand Russell yaitu ia mencoba menggabungkan logika

Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumuskan oleh David Hume.

Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini,

kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut

berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomic.

Pola pemikiran Russell ini menawarkan jalan keluar untuk aliran atomisme

logik.Atomisme logik berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan

kekaburan arti.Russell menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa.Russell

mengetengahkan tentang fakta, bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan

prinsip dasarnya, yaitu: ada isomorphism (kesepadanan) antara fakta dengan bahasa, dan

dunia ini merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda. Fakta dalam pemikiran Russell

merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.

Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah maka Russell menekankan bahwa

konsep atomismenya tidak didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada

logikanya karena menurutnya logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, oleh karena

itu pemikiran Russell dinamakan ‘atomisme logis’.


Selain itu, Russell memiliki artikel yang sangat terkenal, dalam karyanya tersebut

dia berpendapat bahwa deskripsi yang pasti dilakukan dengan sangat berbeda, meskipun

mungkin pada awalnya terlihat sama. Artikel Russel ini adalah bagian dari sebuah revolusi

dalam filsafat bahasa. Dia berkomitmen terhadap dua klaim ini:

 (F3) Ordinary proper names and definite descriptions are singular terms. Nama yang

benar dan deskripsi yang pasti adalah istilah tunggal.

 (F4) Ordinary proper names and definite descriptions all have sense (as well, perhaps,

as reference). Nama yang benar dan deskripsi yang pasti semuanya memiliki arti (juga,

mungkin, sebagai referensi).

Dan hal-hal krusial tentang gagasan ‘singular terms’ yang digunakan dalam (F3)

adalah sebagai berikut:

o (ST1) The business of a singular term is to refer to an object. Bagian dari istilah

tunggal merujuk pada suatu objek.

o (ST2) A sentence containing a singular term has no truth-value if there is no object

corresponding to that singular term. Kalimat yang mengandung istilah tunggal tidak

memiliki nilai kebenaran jika tidak ada benda yang sesuai atau dirujuk oleh istilah

tunggal itu.

 Strawson: Gambaran nyata

Selain Russell, ada beberapa ahli lain yang memberikan komentar mereka tentang

gambaran nyata. Salah satunya adalah Strawson, dia mengklaim bahwa istilah semantik

yang penting sama sekali tidak diterapkan dengan benar pada kalimat, kata dan frasa

(ungkapan) dan hanya diterapkan pada penggunaan ungkapan. Jadi, kita tidak bisa

mengatakan bahwa sebuah kalimat itu benar atau salah, atau bahwa sebuah kata atau frase
mengacu pada suatu objek: hanya penggunaan kalimat yang benar atau salah, dan hanya

menggunakan kata-kata atau ungkapan rujukan, misalnya kata 'saya' bisa digunakan oleh

siapapun untuk merujuk pada dirinya sendiri. Penggunaannya oleh saya untuk merujuk

pada diri saya adalah satu penggunaan; Penggunaannya oleh Anda untuk merujuk pada diri

Anda adalah hal lain. Tapi kedua kegunaan ini menggunakan kata yang sama; Kata 'saya'

sendiri tidak bisa dikatakan merujuk pada siapapun.

 Saul Aaron Kripke (1940-): Nama yang tepat, istilah alami, sematik dari sikap

proporsional

Saul Aaron Kripke adalah seorang filsuf Amerika dan ahli logika. Dia adalah

seorang professor emeritus di Princeton dan menjadi Professor Filsafat di CUNY Graduate

Center Sejak 1960-an. Kripke adalah tokoh sentral dalam sejumlah bidang yang berkaitan

dengan logika matematika, filsafat bahasa, filsafat matematika, metafisika, dan

epistemology. Karyanya sangat mempengaruhi filsafat analitik dan kontribusinya yang

terpenting adalah sebuah deskripsi modalitas metafisika yang sekarang disebut sebagai

semantik Kripke. Kontribusi penting lainnya adalah pendapatnya tentang kebenaran

posteriori, seperti “air adalah H_2 O.

Pada bulan Januari 1970, Saul Kripke memberikan tiga kuliah di Princeton, yang

kemudian diterbitkan dalam beberapa koleksi artikel, 4 dan akhirnya menjadi sebuah buku

yang diberi judul ‘Naming and Necessity’. Buku tersebut mencoba untuk menggali lebih

dalam dan berusaha menangani perdebatan nama kata benda yang tepat dalam filsafat

bahasa. Buku tersebut juga dianggap sebagai salah satu karya filosofis terpenting abad ke-

20.
Dalam sebuah pernyataan, baik dalam gramatikal maupun leksikal, makna memiliki

kemungkinan untuk dapat ditangkap melalui logika literal, namun sebenarnya tidak semua

apa yang disampaikan secara literal telah mewakili maksud pernyataan disampaikan.

Menurut Kripke (1940), kebutuhan yang menjadi alasan suatu pernyataan muncul

merupakan gagasan metafisika. Karena makna adalah sesuatu yang tersembunyi dalam

teks, sehingga makna terkadang bisa memiliki arti berbanding terbalik dengan apa yang

termaktub dalam teks. Sebagaimana modalitas dalam suatu bahasa mengandung prasangka

(necessity), kemungkinan (posibility), dan ketidakmungkinan (impossibility).Dalam

mamahami sebuah teks, bagaimanapun peran prasangka tidak dapat diabaikan, meski

sifatnya yang abstrak, namun dalam prasangka tetap memiliki celah kebenaran nilai (truth

value gap).

Kripke memulai penelusuran makna ialah berawal dari teks.Setelah itu, makna

dasar teks disinambungkan berdasarkan relasinya dengan dunia aktual (actual world).

Makna yang telah teruji dengan realitas disertai dengan pembuktian-pembuktiannya akan

menjadi kebenaran yang disebut sebagai kebenaran posteriori. teks"kemungkinan

makna"relasi dg dunia aktual"pembuktian evidensi"kebenaran posteriori.

 Hilary Putnam: Natural-kind terms/ istilah-istilah alami

Menurut pandangan kripke, Natural-kind terms seperti “emas”, “air”, dan

“harimau” adalah penanda yang kaku. Mereka menandakan jenis yang sama di seluruh

dunia. Putnam memberikan penjelasan tentang bagaimana natural-kind termsmenjadi

perancang yang kaku yang sangat mencolok. Dalam kasus emas, kripke membayangkan

sebuah 'hipotetis' bahwa 'emas adalah substansi yang diinstansikan oleh item-item.
Putnam mengatakan bahwa ia tidak dapat membedakan antara “elms” dan

“beeches” karena ia tidak memiliki konsep mengenai perbedaan kedua pohon itu. Hal ini

sama dengan yang dikatakan oleh Kripke bahwa kebanyakan manusia memiliki

pengetahuan yang sedikit mengenai sesuatu yang berhubungan dengan sejarah penamaan

benda. Contohnya: Kebanyakan dari kita hanya tahu bahwa hewan yang kita lihat adalah

harimau berdasarkan pengetahuan kita bahwa ciri-ciri harimau yaitu kucing berkaki empat

besar seperti penampilan kucing, berwarna kuning kecoklatan dengan garis melintang yang

kehitam-hitaman dan dengan warna putih pada perutnya. Kripke kemudian mengatakan

bahwa mungkin saja terdapat hewan lain dengan ciri-ciri seperti itu dan kemudian kita

mengatakannya sebagai harimau tetapi sebenarnya itu adalah hewan yang jenisnya berbeda

dari harimau.

 Quine (1908-2000): de re and de dicto modality/ petunjuk dan sikap proporsional

Quine merupakan salah satu filsuf dan ahli logika Amerika yang terkenal pada

pertengaan abad XX. Dia memberikan pengaruh yang besar pada ajaran dan gaya bahasa di

Amerika Serikat secara khusus. Quine setuju dengan perlakuan Russell dalam gambaran

pasti dan nama yang tepat (proper name). Dia menawarkan bahwa seluruh istilah-istilah

tunggal dapat digantikan atau dikonstruksikan seperti gambaran pasti dan ini dikenal

dengan teori ekstensional.

Quine menggabungkan pendekatan Austere untuk bahasa dengan konsepsi yang

sama dengan Austere mengenai sifat dunia. Sebagai seorang ahli empiris, dia berpendapat

bahwa sifat dunia hanya dapat ditemukan melalui pengalaman, dan secara khusus di

kebanyakan ilmu sains. Dan sebagai seorang manusia, dia berpendapat bahwa kebutuhan
tidak didapatkan semata—mata dari pengalaman. Kebutuhan adalah karakteristik dari apa

yang kita (manusia) bawa ke dunia, bukan dari apa yang dunia bawa.

Quine dalam teorinya mengenai “Tiga tingkatan Keterlibatan Modal” berpendapat

bahwa modalitas (kebutuhan dan kemungkinan) adalah sesuatu yang harus didekati dengan

hati-hati. Dia mencatat 3 tahap keterlibatan: Langkah pertama aman, yang kedua bisa

dilakukan dengan aman, tapi yang ketiga, menurutnya, bisa dan harus dihindari.

Perhatikan contoh kalimat dibawah ini:

9 lebih bagus daripada 5.

Teori Quine mengenai tiga tingkatan keterlibatan modal dapat diwakili oleh tiga klaim

berbeda seperti dibawah ini.

- Pertama:

Nec ‘9 > 5’

Arti dalam bahasa inggrisnya ialah:

1e. Kalimat '9 adalah lebih besar dibandingkan 5' mengungkapkan kebenaran yang

diperlukan.

Hal yang harus diperhatikan adalah penggunaan tanda kutip karena disini kita berbicara

tentang ekspresi linguistik dalam sebuah kalimat.

- Kedua:

Nec (9 > 5)

Arti dalam bahasa inggrisnya ialah:

2e. Maka harus benar bahwa 9 lebih besar dari 5.

Hal yang harus diperhatikan disini bahwa tidak ada tanda kutip yang digunakan karena

dalam hal ini kita tidak berbicara tentang ekspresi linguistik.


- Ketiga:

(Зx) nec (x > 5)

Arti dalam bahasa inggrisnya ialah:

3e. Sesuatu harus lebih dari 5.

Hal yang harus diperhatikan disini ialah bahwa tidak ada tanda petik yang digunakan

dalam 3 atau 3e

Jadi, kesimpulannya ialah tanda kutip membangkitkan semacam nama dari apa

yang tertulis di antara kalimat tersebut.

De re:

Perhatian mendalam quine tentang kebutuhan kembali tampaknya bergantung

pada pandangan metafisiknya - pandangan tentang sifat dasar dunia. Menurut konsepsi

Humean tentang kebutuhan, kebutuhan tidak ditemukan di dunia itu sendiri, namun

diperkenalkan oleh konsepsi yang kita bawa ke dunia. Inilah dasar pemikiran bahwa

semua kebutuhan harus benar-benar menjadi dicto, mengenai cara untuk menggambarkan

dunia, dan bukan cara dunia itu sendiri.

 Davidson (1917-2003) : kenyataan dan makna

Donald Herbert Davidson adalah seorang filsuf Amerika Serikat yang menjabat

sebagai Professor Filsafat di University of California, Berkeley dari tahun 1981 hingga

2003 setelah mengajar di Universitas Stanford, Universitas Rockefeller, Universitas

Princeton, dan Universitas Chicago. Davidson dikenal akan kepribadiannya yang

karismatik dan kedalaman serta sulitnya pemikirannya.Karyanya memengaruhi berbagai

bidang filsafat dari tahun 1960-an, terutama dalam bidang filsafat pikiran, filsafat bahasa,

dan teori tindakan. Meskipun Davidson adalah seorang filsuf analitik dan sebagian besar
karyanya berasal dari tradisi tersebut, karyanya juga menarik perhatian filsuf kontinental,

terutama dalam teori literer dan bidang yang terkait.

Davidson berpikir bahwa tugas dalam bidang linguistik bukanlah terjemahan yang

radikal, tetapi interpretasi radikal. Hal ini dikarenakan oleh konsepnya tentang semantik.

Davidson memandang tugas semantik tersebut menunjukka secara eksplisit bagaimana

makna kalimat bergantung pada arti dari bagian-bagian kalimat itu sendiri.

Arti dari sebuah kalimat bergantung pada arti pada bagian-bagian kalimat itu

sendiri. Hal ini merupakan dasar dari kebenaran tentang bahasa yang juga merupakan inti

dari filsafat bahasa. Dalam beberapa topik yang sejalan, Davidson mengusulkan bahwa

karya dalam semantics memerlukan bentuk khusus. Dia menyarankan agar kita mempunyai

tujuan untuk menetapkan apa yang disebutnya dengan ‘Theories of meaning’ untuk bahasa

tertentu. Sebuah teori tentang makna bahasa tertentu bukanlah laporan umum tentang

makna yang sebenarnya. Sebaliknya, ini adalah usaha untuk menunjukkan, bahwa dengan

cara teoretikal, bagaimana makna kalimat dari bahasa tertentu bergantung pada arti dari

bagian-bagian kalimat itu sendiri.

Teori makna untuk bahasa tertentu harus menyertakan pernyataan eksplisit tentang

makna setiao ungkapan dasar dalam bahasa tertentu. Dan dari pernyataan eksplisit tentang

makna pada ungkapan dasar ini, teori makna mencoba untuk mendapatkan pernyataan

eksplisit tentang makna setiap kalimat dalam bahasa tersebut. Inilah bagaimana teori

makna untuk sebuah bahasa menunjukkan bagaimana arti sebuah kalimat bergantung pada

arti dari bagian-bagiannya.


Konsentrasi dari davidson adalah untuk menjelaskan atau menyediakan framework

yang memungkinkan untuk menjelaskan bagaimana makna setiap kalimat dalam bahasa

apapun bergantung pada makna dari setiap bagian-bagiannya.

 Paul Grice (1913-1988): Makna (Meaning)

Herbert Paul Grice adalah seorang dosen filsafat bahasa di Inggris. Tujuan utama

Grice adalah menjelaskan pengertian makna yang berlaku untuk ungkapan linguistik

(seperti kalimat, kata-kata, atau frase). Dia ingin mendefinisikan gagasan tentang makna

linguistik ini dalam istilah yang dia anggap lebih mendasar. Definisi itu sendiri cukup

kompleks, dan telah mengalami banyak pertimbangan dan revisi, sehingga apa yang

sekarang ditawarkan mungkin sebagai definisi Gricean yang masuk akal bahkan lebih

banyak lagi. Meskipun demikian, gagasan dasarnya cukup sederhana, dan mungkin tergoda

untuk berpikir bahwa beberapa versi itu harus bertahan dari semua pertimbangan yang

telah diajukan terhadap berbagai proposal terperinci yang dihasilkan dalam program

Gricean. Grice mengambil dirinya untuk mencoba memahami pengertian makna sehari-

hari, yang memiliki aplikasi yang jauh lebih luas daripada hanya pada ungkapan linguistik.

Dia memulai dengan membuat sebuah divisi dalam pengertian umum makna ini, antara apa

yang dia sebut alam dan apa yang dia sebut sebagai makna non-alami. Sebagai contoh

makna alami, kita mungkin menyarankan ini

Bintik-bintik itu berarti dia menderita campak. Dan sebagai contoh makna non-

alami, kita mungkin menyarankan ini: (2) Tiga cincin di bel berarti bus sudah penuh.

Terlepas dari kesamaan bentuk kedua pernyataan makna ini, Grice berpikir bahwa ada

sesuatu yang secara mendasar berbeda terjadi di dalamnya. Saya pikir catatan Grice

tentang perbedaan itu sedikit menyamarkan penalaran yang mendasari keseluruhan


pendekatannya terhadap makna linguistic. Di sini, sedikit berbeda, merupakan tanda dasar

perbedaan yang ditemukan oleh Grice: (i Dalam kasus makna alami, 'x berarti bahwa p'

Menyiratkan bahwa benar bahwa p (dalam kasus kami, (1) menyiratkan bahwa dia benar-

benar memiliki campak): ini tidak berlaku untuk makna non-alami (jadi, dalam kasus (2),

bel mungkin telah dibunyikan Tiga kali karena kesalahan) (ii) Dalam hal makna tidak

alami, apa yang berikut 'berarti' dapat dimasukkan ke dalam tanda petik (cincin berarti "bus

sudah penuh); ini tidak mungkin dengan makna alami (iii) Arti alami dapat dipahami

sebagai signifikansi fakta-fakta tertentu (seperti fakta bahwa dia memiliki bintik-bintik),

sedangkan makna non-alam berkaitan dengan pentingnya objek atau ciri objek tertentu.

Ketiga tanda perbedaan ini tampaknya berjalan dengan yang lain. (Iv) Pernyataan makna

non-alami dari bentuk 'x berarti tha T p menyiratkan bahwa seseorang bermaksud bahwa p

oleh X (dalam kasus (2), seseorang berarti bahwa bus itu penuh oleh tiga cincin di bel).

 Ludwig Wittgenstein (1889-1951): Teori gambar dan permainan bahasa

Ludwig Wittgenstein dilahirkan di wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889

sebagai anak bungsu dari delapan anak.Ayahnya berasal dari famili yahudi yang telah

memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama katolik.Ayahnya seorang insinyur

yang dalam jangka waktu sepuluh tahun berhasil menjadi pemimpin suatu industri baja

yang besar.

Pada Tahun 1906, Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di

Berlin. Setelah itu Ia pindah ke Inggris dan melakukan penyelidikan tentang aeronautical

selama tiga tahun. Karena tertarik kepada buku Principles of Mathematics tulisan Bertrand

Russell, ia pergi ke Cambridge untuk belajar kepada Russell, ia mendapat kemajuan pesat

dalam studi tentang logika. Setelah perang dunia I meletus, ia bergabung dengan tentara
Austria sebagai sukarelawan dan ditawan oleh tentara Italia pada tahun 1918. Setelah

dibebaskan ia mengajar di sekolah, tetapi pada tahun 1929, ia kembali ke Cambridge untuk

berkecimpung dalam filsafat. Karyanya merupakan factor penting dalam timbulnya aliran-

aliran Logical Positivism, Linguistic Analysis dan semantics.

 Jacques Derrida (1930-2004): Dekonstruksi

Jacques Derrida adalah seorang filsuf Perancis yang dianggap sebagai pengusung

tema dekonstruksi di dalam filsafat postmodern. Pemikirannya juga disampaikan melalui

filsafat bahasa. Yang menarik dari pemikiran Derrida adalah kemampuannya untuk

menggambarkan sekaligus mengubah pikiran kita tentang dunia, termasuk di dalamnya

tentang kematian, kehidupan, budaya, filsafat, sastra, dan tentang politik. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Royle, filsafat Derrida setidaknya berdasarkan pada dua

tujuan, yakni menggambarkan dan mengubah cara berpikir pembacanya ataupun

pendengarnya.

Dekonstruksi adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode itu sendiri.

Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks literatur ataupun teks sebagai

realitas, apa adanya, melainkan juga mau mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam

detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terungkapkan bisa

tampil dan justru menjadi dominan. Dalam bahasa Derrida dekonstruksi hendak

menemukan kontradiksi dan menggetarkan seluruh teks. Menurut Royle di dalam

tulisannya tentang Derrida, dekonstruksi adalah sebuah gempa yang menggetarkan seluruh

teks, dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Kemungkinan untuk

melakukan dekonstruksi sudah selalu terkandung di dalam teks itu sendiri. Kemungkinan
yang tampak seperti hantu, namun sama nyatanya seperti teks itu sendiri. Dekonstruksi itu

sendiri adalah teks.

 John Austin (1911-1960): tindak tutur

John Langshaw Austin adalah ahli filsafat bahasa berkebangsaan Britania Raya. Ia

terutama dikenal dan dikaitkan dengan teori tindak tutur (speech act) dan konsep bahwa

ujaran adalah suatu bentuk tindakan. Karyanya yang paling terkenal adalah How to Do

Things With Words dan Sense and Sensibilia.

Secara garis besar, Austin berkeyakinan bahwa dari bahasa biasa sehari-hari akan

ada banyak hal yang dapat dipelajari, mengingat banyaknya distinsi dan nuansa halus yang

dikembangkan oleh para pemakai bahasa dari generasi ke generasi dalam rangka

mengungkap segala realitas. Ia juga meyakini bahwa tidak sedikit masalah filosofis yang

akan tampak menjadi bentuk baru jika didekati dengan alat-alat yang terkandung dalam

bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, Austin berprinsip bahwa penggunaan bahasa tidak

boleh dilepaskan dari situasi konkret dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan

penggunaan bahasa tersebut. Prinsip inilah yang disebut oleh Austin dalam istilah

linguistik fenomenologis, yakni bagaimana menjelaskan fenomena melalui analisis bahasa.

(Wibowo, 2011:27)

Dalam karyanya How to Do Things with Words-lah, J.L. Austin sendiri berusaha

untuk memperincikan teori tindak tutur (speech acts) yaitu tindakan bahasa yang berperan

ketika seseorang mengucapkan suatu kalimat atau ucapan. Teori tindak tutur, yang

dilandasi oleh pemikiran mentornya, Wittgenstein, tersebut dibangun oleh Austin melalui

tesis “dalam mengatakan sesuatu, berarti kita melakukan sesuatu pula”. Pada prinsipnya

tindak tutur menggarisbawahi bahwa perkataan dan tindakan adalah sama. Tiap pernyataan
yang dituturkan mencerminkan tindakan si penuturnya itu. Dalam ungkapan lain, tindak

tutur tidak hanya mengungkapkan gaya bicara si penutur, tetapi juga merefleksikan

tanggung jawab si penutur terhadap isi tuturannya, mengingat isi tuturannya itu

mengandung maksud-maksud tertentu dalam mempengaruh pendengarnya. J.L. Austin

membagi tindak tutur ke dalam tiga jenis, yakni (1) tindak lokusi (locutionary acts), (2)

tindak ilokusi (illocutionary acts) dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary acts). Berikut

ini adalah uraiannya (Wibowo, 2011:36-37):

a) Tindak lokusi, yaitu tindak tutur si penutur dalam menyampaikan sesuatu yang pasti,

sekalipun tidak ada keharusan bagi si penutur itu untuk melaksanakan isi tuturannya.

Austin menggolongkan tindak lokusi ke dalam tiga sub-jenis:

 Tindak fonetis (phonetic acts), yakni tindak mengucapkan bunyi tertentu.

 Tindak fatis (phatic acts), yakni tindak tutur mengucapkan kosakata tertentu yang

membentuk suatu gramatika tertentu yang dikenal pula sebagai kalimat langsung.

 Tindak retis (rhetic acts), yakni tindak tutur dengan tujuan melaporkan apa yang

dituturkan si penutur, yang juga disebut sebagai kalimat tak langsung.

b) Tindak ilokusi, yakni tindak tutur si penutur yang hendak menyatakan sesuatu dengan

menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si penutur itu bertindak sesuai

dengan apa yang dituturkannya. Dengan kata lain, dalam tuturan tersebut terkandung

suatu kekuatan yang mewajibkan si penutur melaksanakan apa yang dituturkannya. J.L.

Austin membagi tindak ilokusi ke dalam lima sub-jenis:

 Verdiktif (verdictives acts), yakni tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan

yang bertalian dengan benar-salah, namun keputusan tersebut bukan keputusan

yang bersifat final.


 Eksersitif (exercitives acts), yakni tindak tutur yang merupakan akibat adanya

kekuasaan, hak atau pengaruh.

 Komisif (commissives acts), yakni tindak tutur yang ditandai oleh adanya perjanjian

atau perbuatan yang menyebabkan si penutur melakukan sesuatu.

 Behabitif (behabitives acts), yakni tindak tutur yang mencerminkan kepedulian

sosial yang bertalian dengan rasa simpati, saling memaafkan atau saling

mendukung.

 Ekspositif (expositives acts), yakni tindak tutur yang digunakan dalam

menyederhanakan pengertian atau definisi yang berasal dari referensi tertentu.

c) Tindak perlokusi, yakni efek tindak tutur si penutur bagi pendengarnya. Dalam

penegasan lain, bila tindak lokusi dan tindak ilokusi lebih menekankan pada peranan

tindakan si penutur, pada tindak perlokusi yang ditekankan adalah bagaimana respons

pendengarnya. Hal ini, menurut J.L. Austin, berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai

pemengaruh pikiran dan perasaan.

Melalui tindak tutur, J.L. Austin memang hendak menegaskan bahwa suatu analisis

terhadap ungkapan bahasa jangan hanya membatasi diri pada makna ujaran saja, tetapi juga

harus meneliti akibat yang dapat ditimbulkan oleh ujaran itu. Dalam kaitan ini, Austin

mengingatkan bahwa diperlukan suatu ‘kewaspadaan’ dalam mendengar atau membaca

suatu ungkapan bahasa, sekalipun ungkapan tersebut telah bersubyek dan berpredikat. Hal

ini agaknya amat ditekankan oleh Austin, mengingat di dalam tiap-tiap bahasa tersirat

suatu orientasi hidup dari si pengguna bahasa.


9. In what ways will your knowledge on Philosophy of Language contribute to your

professional competence as a teacher and/or as a linguist?

To the development of your

1) Professional Competence as a language teacher

2) Professional Competence as a linguist.

Sebagai seorang pendidik kita perlu mengetahui dan memperhatikan simbol-simbol

dalam memberikan informasi kepada objek yang akan diajar. Hal mendasar yang harus

diperhatikan oleh seorang guru untuk menjadi professional adalah pemahaman terhadap

teori-teori. Terdapat beberapa teori yang perlu kita diketahui sebagai berikut:

 Teori ide (Locke, Berkeley): makna adalah isi mental yang dipicu oleh tanda-tanda.

 Teori Kebenaran-Bersyarat (Frege, Tarsky, Davidson) menganggap makna sebagai

kondisi dimana sebuah ungkapan atau kalimat mungkin benar atau salah. Jadi teori ini

menjelaskan kapan suatu kalimat itu benar. Misalnya dalam kalimat “snow is white”,

kalimat ini benar jika salju yang dijelaskan tersebut memang berwarna putih karena arti

dari “snow is white” adalah salju berwarna putih.

 Teori konstruktivis (Austin) yang bisa mengubah kenyataan, teori tindak tutur. Teori

ucapan-tindakan adalah bidang pragmatik yang berkaitan dengan cara kata-kata dapat

digunakan tidak hanya untuk menyajikan informasi tetapi juga untuk melakukan

tindakan.Saat kita berbicara, kata-kata kita tidak memiliki makna dalam dan dari diri

mereka sendiri. Mereka sangat dipengaruhi oleh situasi, pembicara dan pendengar.

Dengan demikian kata-kata tidak memiliki makna sederhana.Teori ucapan bertindak

mempertimbangkan tingkat tindakan di mana ujaran dikatakan:


a) Tindakan locutionary: mengatakan sesuatu dengan makna tertentu dalam pengertian

tradisional. Ini mungkin bukan merupakan tindak tutur.

b) Tindakan illocutionary: kinerja sebuah tindakan dalam mengatakan sesuatu.

Contohnya menginformasikan, memesan, dan memberi peringatan.

c) Perlokusi tindakan: ucapan bertindakmemiliki efek terhadap perasaan, pikiran atau

tindakan baik kepada pembicara ataupun pendengar.

 Teori Referensi/ eksternalisme semantik (Putnam, S. Kripke, Burge); Artinya setara

dengan hal-hal didunia yang benar-benar terhubung dengan tanda. Dalam filsafat bahasa,

eksternalisme semantik adalah pandangan bahwa arti sebuah kata ditentukan secara

keseluruhan atau sebagian oleh faktor-faktor yang ada di luar pembicara. Menurut posisi

eksternalis, seseorang dapat mengklaim tanpa adanya kontradiksi bahwa dua pembicara

bisa berada dalam keadaan otak yang persis sama pada sebuah ucapan, akan tetapi

memiliki hal yang berbeda, yaitu panjang yang berbeda.

 Teori Verifikasi (logical positivism) (Quine-Duhem), yang berarti sebuah kalimat terdiri

dari kemampuan pendengar untuk mengenali demonstrasi kebenaran kalimat tersebut

(matematis atau empiris). Sebagian besar teori ini merupakan pandangan epistemologis.

Jika diterapkan pada makna, teori ini berpendapat bahwa ucapan memiliki makna ketika

ucapan tersebut masuk akal atau hal tersebut ditentukan oleh jenis efek yang dimiliki jika

benar. Ucapan yang tidak dapat dikonfirmasi sebagai benar atau salah tidak ada artinya.

 Teori pragmatis (CS.Pierce) arti atau pengertian sebuah kalimat ditentukan oleh

konsekuensi aplikasinya.

Setelah mempelajari teori-teori tersebut saya memperoleh pemahaman baru yang

lebih jelas tentang bahasa dan fungsinya. Bahasa sebagai alat komunikasi dimana didalamnya
mengandung unsure pesan yang ingin disampaikan kepada pendengar. Sehingga, sebagai

seorang guru saya dituntut untuk dapat dan harus menggunakan bahasa secara baik dan benar

agar pesan yang ingin saya sampaikan dapat tersampaikan dengan baik dan berterima kepada

siswa saya, tanpa adanya kesalahpahaman. Selain itu, sebagai seorang yang mempelajari

bahasa hal ini memberikan pemahaman kepada saya dalam memfilsafati bahasa secara benar

dan jelas serta memberikan kajian dan esensi baru dalam memahami dan menggunakan

bahasa.

Anda mungkin juga menyukai