Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDEKATAN TES BAHASA

PENGANTAR

Setelah membaca dan mendiskusikan materi Pendekatan Tes Bahasa ini, peserta
diklat diharapkan memiliki wawasan umum tentang berbagai pendekatan tes bahasa
yang memberikan landasan filosofis pengembangan perangkat penilaian
pembelajaran bahasa Indonesia. Untuk mencapai kompetensi dasar tersebut,
peserta diklat perlu menguasai beberapa indikator berikut.
(1) Menjelaskan perkembangan pendekatan tes bahasa.
(2) Menjelaskan karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan tradisional.
(3) Menjelaskan karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan diskret.
(4) Menjelaskan karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan integratif.
(5) Menjelaskan karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan pragmatik.
(6) Menjelaskan karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif.

URAIAN MATERI
A. Pendahuluan
Tes bahasa dan pengajaran bahasa merupakan dua kegiatan yang
berhubungan secara erat. Yang pertama merupakan bagian dari yang kedua. Tes
bahasa dirancang dan dilaksanakan untuk memperoleh informasi mengenai hal ihwal
yang berkaitan dengan keefektifan pengajaran bahasa yang dilakukan. Apabila
pengajaran bahasa dilakukan dengan tujuan, misalnya, untuk meningkatkan
kemampuan membaca, maka kegiatan pengajaran bahasa dititikberatkan pada
tugas-tugas untuk meningkatkan kemampuan membaca. Selanjutnya, tes bahasa
yang dirancang dan diselenggarakan untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa itu
adalah tes kemampuan membaca. Informasi yang didapatkan dari penyelenggaraan
tes bahasa itu dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar tujuan pengajaran
membaca itu dicapai.
Sebagai suatu kegiatan yang bertolak dari bahasa, tes bahasa dan
pengajaran bahasa tidak terlepas dari pengaruh bermacam-macam pendekatan
yang berkembang di dalam linguistik maupun ilmu-ilmu yang terkait dengan
linguistik, seperti sosiolinguistik dan psikolinguistik. Seluruh penyelenggaraan
pengajaran bahasa, termasuk di dalamnya tes bahasa, dirancang atas dasar
pendekatan yang ada dalam linguistik. Cara suatu bahasa dipahami dan disikapi
menurut suatu pendekatan tertentu dalam linguistik, sosiolinguistik, ataupun

1
psikolinguistik, berpengaruh pula dalam penentuan tujuan pengajaran, strategi
pengajaran, pemilihan bahan pengajaran, pemilihan tujuan dan isi tes bahasa, dan
penentuan jenis dan bentuk tes bahasa. Singkatnya, apabila di dalam linguistik atau
sosiolinguistik, dan psikolinguistik terdapat perubahan trend ke suatu pendekatan
tertentu, maka “gema” perubahan itu akan mempengaruhi pula dunia pengajaran
bahasa dan termasuk di dalamnya tes bahasa.

B. PERKEMBANGAN PENDEKATAN TES BAHASA


Sampai saat ini telah ada beberapa ahli tes bahasa yang secara khusus
membahas perkembangan pendekatan tes bahasa. Beberapa ahli tes bahasa itu
adalah Spolsky (1978;1981), Oller (1979), Hinofotis (1981), Masden (1983), Weir
(1990), dan Brown (1996). Mereka telah berupaya menyajikan suatu sejarah
perkembangan pendekatan tes bahasa mulai dari masa pelahiran sampai dengan
masa perkembangan mutakhirnya. Apabila diklasifikasikan, terdapat tiga sudut
pandang yang berbeda yang digunakan sebagai dasar perkembangan itu, yakni (1)
segi keilmiahan yang mendasari tes bahasa (lihat Spolsky (1978;1981), Hinofotis
(1981), dan Masden (1983)), (2) segi dominasi keilmuan yang mempengaruhi tes
bahasa (lihat Spolsky (1978;1981), Weir (1990), dan Brown(1996)), dan (3) segi
orientasi pandangan tentang hakikat bahasa (lihat Oller (1979)).
Tabel 1 berikut ini menyajikan ringkasan perkembangan pendekatan tes
bahasa dari keenam ahli tes bahasa tersebut di atas.

Tabel 1 Perkembangan Pendekatan Tes Bahasa dari berbagai Ahli

Spolsky (1978;1981) Oller (1979) Hinofotis Masden Weir (1990) Brown


(1981) (1983) (1996)
 pendekatan pra-  diskret  periode  tahap  era  gerakan
ilmiah atau  integratif pra- intuitif psikometrik prailmiah
pendekatan  pragmatik ilmiah  tahap -  gerakan
tradisional  periode ilmiah strukturalis strukturlis-
 pendekatan struktural  tahap  era psikometrik
modern atau is- komu psikolingui  gerakan
pendekatan psikomet nikatif stik integratif -so
struktural- rik sosiolingui siolinguistik
psikometrik  periode stik  gerakan
 pendekatan pasca integratif komunikatif
modern atau psiko- -so
linguistik- siolinguis
sosiolinguistik tik

2
Istilah periodisasi dihindari mengingat bahwa pelahiran pendekatan dalam tes
bahasa sering terjadi secara simultan, tidak selalu kronologis, serta kecenderungan
pemakaian satu pendekatan dengan pendekatan yang lain kerap kali terjadi dalam
kurun waktu bersamaan di beberapa tempat yang berbeda di dunia ini. Walaupun
juga tidak dapat dipungkiri bahwa ada satu atau dua pendekatan yang muncul
sebagai akibat ketidakpuasan atas pendekatan yang terdahulu, namun begitu,
karena fokus perhatian dalam makalah lebih pada aspek perkembangan pemikiran
yang mendasari pelahiran masing-masing pendekatan serta hal-hal yang
mempengaruhinya, dan bukan pada pembabakan waktu pemakaian tes bahasa yang
memiliki karakterisitik yang sama, maka kajian tentang pelahiran pendekatan tes
bahasa hingga tahap sekarang lebih memakai istilah perkembangan.
Perkembangan pendekatan tes bahasa dimulai dengan pola pikir pra-ilmiah.
Tes bahasa dalam periode ini hanya mendasarkan diri pada intuisi, kesan dan
subjektivitas guru, dan tidak mendasarkan diri pada bidang keilmuan lain seperti
psikologi dan linguistik. Pada perkembangan awal ini, tes bahasa yang dilakukan
disebut dengan Pendekatan Tradisional.
Pada perkembangan berikutnya, pendekatan tes bahasa mulai mendasarkan
diri pada bidang-bidang keilmuan terkait seperti strukturalisme dalam linguistik,
audiolingualisme dalam pengajaran bahasa, behaviorisme dan atau kognitivisme,
serta psikometrik, dalam bidang psikologi. Perkembangan pemikiran dalam bidang
linguistik dan psikologi ini di satu pihak, dan perkembangan pemikiran dalam model
pengajaran bahasa di pihak lain, telah mendorong lahirnya Pendekatan Diskret dan
Pendekatan Integratif dalam tes bahasa. Guru-guru bahasa di kelas mulai
merancang tes, menyusun bentuk-bentuk tes, menyelenggarakan tes, dan mengukur
hasil tes dengan menggunakan prinsip-prinsip baru yang ditemukan dan
dikembangkan dalam linguistik, psikologi, dan pengajaran bahasa.
Yang terakhir, seiring dengan berkembangnya pemikiran dalam bidang
psikolinguistik dan sosiolinguistik, serta pendekatan komunikatif dalam pengajaran
bahasa, maka pendulum dalam atmosfir penyelenggaraan tes bahasa mulai
bergeser kembali. Tes bahasa yang berkembang adalah tes bahasa dengan
Pendekatan pragmatik dan Pendekatan komunikatif yang merupakan
pengembangan lebih lanjut dari pendekatan integratif. Dua pendekatan ini, untuk
saat ini, dianggap sebagai pendekatan mutakhir dalam penyelenggaraan tes bahasa.

3
1. Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional adalah istilah yang dipergunakan untuk mengacu
pada penyelenggaraan (baca: perencanaan dan pelaksanaan) tes bahasa yang
cenderung mengadopsi prinsip bahwa tes bahasa dititikberatkan pada tes
tatabahasa dan terjemahan. Latar belakangnya adalah adanya pengaruh
mainstream pengajaran bahasa yang dikenal dengan sebutan metode tatabahasa-
terjemahan (grammar translation method). Metode ini, seperti yang dikemukakan
oleh Richards dan Rogers (1988:3-4), memiliki prinsip-prinsip pengajaran antara lain:
(a) mempelajari bahasa asing adalah mempelajari bahasa dengan tujuan agar
dapat membaca kesusasteraannya; (b) membaca dan menulis adalah fokus utama
pengajaran, © ketepatan dalam penerjemahan sangat ditekankan, dan (d)
tatabahasa harus diajarkan secara deduktif, yakni beranjak dari kaidah-kaidah lalu
menuju pada contoh-contoh ilustrasinya.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka pendekatan tes bahasa yang
berkembang pada saat itu mengisyaratkan pemakaian karya sastra. Karya sastra
dalam hal ini dianggap merupakan pemakaian bahasa yang ideal dari penuturnya
sehingga evaluasi terhadap penguasaan bahasa seseorang dengan menggunakan
tes bahasa dilakukan dengan menggunakan teks karya sastra. Kemudian bentuk tes
bahasa yang dikembangkan adalah penerjemahan dan atau penulisan esai. Dalam
perkembangannya, tes bahasa dengan prinsip-prinsip, model, dan karakter seperti
ini disebut pendekatan esai dan terjemahan.
Selain terjemahan dan penulisan esai, pada tes bahasa model ini terdapat
juga bentuk tes tatabahasa yang memuat pertanyaan-pertanyaan tentang bahasa
dan bukan tentang penggunaan bahasa. Urgensi keberadaan tes tatabahasa ini di
dalam pendekatan esai terjemahan adalah untuk menunjang kemampuan testi dalam
keakuratannya penerjemahan teks karya sastra dan penulisan esai.
Pengembangan model tes bahasa yang disebut dengan pendekatan esai
terjemahan itu, oleh Spolsky (1978;1981) dinamai Pendekatan Tradisional, oleh
Masden (1983) disebut sedang berada dalam tahap intuitif, atau periode pra-ilmiah
menurut Hinofotis (1981). Ada beberapa alasan yang diajukan berkaitan dengan
penamaan “tradisional” dan bersifat “intuitif”, serta “pra-ilmiah” itu. Pertama, pada
perkembangan awal ini tes bahasa diselenggarakan tanpa berdasarkan pada teori
linguistik dan psikologi tertentu. Tes bahasa hanya mengacu pada model pengajaran
tatabahasa terjemahan yang juga tidak memiliki dasar linguistik dan psikologi.
Kedua, tidak ada upaya dari para guru bahasa untuk memenuhi kriteria reliabilitas
dan objektivitas suatu tes bahasa. Selain itu, juga tidak digunakan metode-metode
statistik parametrik untuk pengolahan hasil-hasil tesnya. Ketiga, pendekatan ini

4
ditandai dengan model pemikiran yang intuitif, otoriter dan elitis (lihat juga van Els,
dkk). Hal ini tampak dalam penilaian terhadap performansi testi yang hanya
mengandalkan pada subjektivitas satu orang, yakni guru. Kebenaran penilaian
terhadap performansi testi terletak sepenuhnya pada guru yang mengajar bahasa
tersebut. Sebab asumsinya adalah siapa saja yang mengajar bahasa dianggap
mampu menyelenggarakan tes bahasa, termasuk di dalamnya merancang dan
membuat tes, melaksanakan tes, dan menilai hasil tes.

2. Pendekatan Diskret
Dalam pendekatan ini, istilah diskret oleh Savignon (1983) digunakan untuk
menggambarkan dua aspek yang berbeda dalam tes bahasa, yakni (1) isi atau
tugas, dan (2) model jawaban dan penyekoran jawaban. Dari segi isi atau tugas, tes
dengan pendekatan ini menyangkut satu aspek kebahasaan saja pada satu
kesempatan pengetesan, misalnya aspek fonologi, morfologi, sintaksis, atau kosa-
kata saja. Tiap satu butir soal hanya dimaksudkan untuk mengukur satu aspek
kebahasaan saja. Dari segi model jawaban, tes dengan pendekatan ini berupa
penjodohan (matching), benar-salah (true-flase), pilihan ganda (multiple choiche),
atau mengisi kotak kosong yang disediakan dengan jawaban yang sudah tersedia
pada kolom lain. Dari segi penyekoran jawaban, model jawaban yang seperti itu
sangat memudahkan guru atau korektor dalam memberikan penilaian. Penyekoran
berdasarkan model jawaban seperti itu memiliki reliabilitas yang sangat tinggi.
Dengan bantuan komputer misalnya, penyekoran jawaban hampir 100% tidak
diragukan lagi keakuratannya. Cara-cara baru seperti ini dalam penyusunan dan
pelaksanaan tes bahasa oleh Brown (1980) disebut menggunakan prosedur-
prosedur ilmiah.
Pendekatan diskret ini secara jelas mengadopsi prinsip-prinsip umum dalam
strukturalisme, behaviorisme, dan audiolingualisme. Dari strukturalisme, prinsip yang
diambil adalah (1) bahasa itu tuturan lisan dan bukan tulisan, dan (2) bahasa itu
merupakan suatu sistem. Pertama, prinsip bahwa bahasa itu tuturan lisan telah
menyadarkan para ahli tes bahasa bahwa tuturan lisan adalah bahasa yang pertama
dan utama dari manusia. Karya sastra yang selama ini diagung-agungkan sebagai
satu-satunya sumber pengetesan bahasa akhirnya disadari hanyalah rekonstruksi
dari pemakaian bahasa yang sesungguhnya. Keyakinan baru akan prinsip ini
kemudian membongkar kebiasaan lama pengetesan bahasa yang melulu hanya
menggunakan karya sastra semata. Kedua, prinsip bahwa bahasa itu merupakan
sistem menunjukkan bahwa bahasa dipandang memiliki sub-sub unit yang saling
berhubungan membentuk suatu struktur, mulai dari tingkat bunyi, kata, dan kalimat.

5
Dari prinsip ini diaplikasikan pengukuran kemampuan bahasa seseorang dapat
dilakukan dengan mengukur pengetahuannya tentang bahasa melalui
penguasaannya tentang aspek-aspek bahasa secara terpisah dan sendiri-sendiri.
Dari audiolingualisme dan behaviorisme, diperoleh prinsip bahwa belajar
bahasa itu diasumsikan melalui penguasaan dengan pembiasaan terhadap elemen-
elemen bahasa dan belajar kaidah-kaidah dengan mengkombinasikan elemen-
elemen itu mulai dari fonem ke morfem, lalu ke kata, ke frasa, dan ke kalimat
(Richards dan Rogers, 1988:51). Selain itu, karena deskripsi bahasa itu dimulai dari
tingkat fonologi dan diakhiri pada tingkat kalimat, maka urutan ini juga dianggap
sesuai dalam belajar-mengajar bahasa, dan terutama dalam tes bahasa.
Berdasarkan prinsip-prinsip strukturalisme dan audiolingualisme, serta
ditambah dengan psikometrik, yakni penerapan matematika dan statistik untuk
pengukuran, yang berkembang pesat pada tahun 1930’an, dan atas jasa dari Robert
Lado yang mengaitkan ketiga bidang tersebut dalam tes bahasa Diskret, maka tes
diskret mulai menggeser peran tes esai-terjemahan atau tes tradisional yang kurang
lebih telah 100 tahun berjaya dalam dalam dunia tes bahasa di Eropa. Pada
perkembangan ini, tes bahasa dengan Pendekatan Diskret mengalami
perkembangan yang sangat pesat seiring dengan menyebarluasnya pengajaran
bahasa Inggris di Amerika dengan Pendekatan Audiolingual, yang memakai dasar
dan asumsi dari linguistik Struktural yang lebih dahulu berkembang di sana.
Tes diskret yang dikembangkan ini memiliki beberapa karakteristik yang
berbeda dengan tes tradisional. Secara lebih rinci perbedaan-perbedaan karakteristik
itu dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut ini yang mencerminkan pergeseran pendulum
tes dari tradisional ke tes diskret.
Tabel 2 Karakteristik Tes Tradisional dan Tes Diskret

Tes Tradisional Tes Diskret


1. bentuk tes esai-terjemahan 1. bentuk tes jawaban pendek dan tes
2. bersifat subjektif memilih
3. bahan tes berupa karya sastra 2. bersifat objektif
tes tidak memperhatikan tingkat kesulitan, 3. bahan tes berupa komponen-
aspek validitas dan reliabilitas komponen bahasa dan berbahasa
4. tes ini hanya memakai intuisi guru 4. tes disusun dengan memperhatikan
dalam penilaian tingkat kesulitan, validitas dan
5. tes ini disusun hanya berdasarkan minat reliabilitas
dari guru dan tidak berdasarkan 5. tes ini memakai kriteria acuan
pendekatan tertentu dalam linguistik, penilaian yang jelas
psikologi, dan psikometrik 6. tes diskret disusun berdasarkan
prinsip-prinsip dalam linguistik
struktural, pendekatan audiolingual,
psikologi behavioris dan psikometrik

6
Selain keenam ciri tes diskret yang langsung dapat dikontraskan dengan tes
tradisional, beberapa kekhususan tes diskret dapat dijelaskan di sini, antara lain:
tes ini hanya mengetes satu aspek kebahasaan pada satu waktu. Tiap satu butir
soal hanya dimaksudkan untuk mengukur satu aspek kebahasaan, misalnya
fonologi, morfologi, sintaksis, atau kosa kata. Hal ini didasari pandangan bahwa
kompetensi bahasa testi dapat diukur dengan melihat tingkat penguasaannya
terhadap masing-masing komponen itu secara “one point (of grammar) at a time”
(lihat Oller, 1979:37).
Kedua, tes diskret menurut Oller (1979) ternyata tidak hanya menyangkut
aspek kebahasaan saja, tetapi juga menyangkut aspek kemampuan berbahasa. Tes
diskret dapat dilaksanakan untuk mengukur kemampuan berbahasa seperti
berbicara, menyimak, membaca, atau menulis secara terpisah-pisah. Itu berarti,
dalam tes diskret kemampuan berbahasa yang diukur hanyalah satu kemampuan
dalam satu waktu dan kemampuan yang lainnya diabaikan.
Berkaitan dengan hal itu, Oller (1979:175) menggambarkan ranah tes diskret
tentang aspek-aspek kebahasaan yang dapat diujikan pada empat kemampuan
berbahasa seperti yang terdapat dalam Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Skema Representasi Analisis Komponen Bahasa Pada Kemampuan
Berbahasa

Input-Output
MODE
Sensory-Motor RECEPTIVE PRODUCTIVE
MODALITY
Listening Speaking
AUDITORY/
ARTICULATORY Phon- Structure Vocab-
ology ulary Phon- Structure Vocab-
ology
ulary
Reading Writing

VISUAL/ Graph- Structure Vocab- Graph- Structure Vocab-


MANUAL ology ulary ology ulary

Banyak bentuk tes diskret kebahasaan yang dapat dikembangkan


berdasarkan Tabel 2 ini. Pertama adalah tes bunyi bahasa. Tes bunyi bahasa dapat
berupa: mengenal bunyi bahasa, membedakan bunyi bahasa, melafalkan bunyi
bahasa, melafalkan kata-kata, melafalkan pasangan kata, melafalkan rangkaian
kalimat, dan membaca teks.
Kedua adalah tes kosa kata. Tes ini bertujuan untuk mengungkapkan
penguasaan kosa kata testi, baik secara pasif reseptif maupun aktif produktif. Tes ini

7
meliputi: menunjukkan benda berdasarkan kata yang disebutkan, memperagakan
berdasarkan kata yang disebutkan, memberikan padanan kata, memberikan sinonim
kata, memberikan lawan kata, dan melengkapi kalimat.
Ketiga adalah tes tatabahasa. Tes ini meliputi pembentukan kata,
pembentukan frasa, dan pembentukan kalimat. Variasi bentuk tes ini antara lain (a)
pada pembentukan kata: menunjukkan asal kata, membentuk kata turunan,
menyesuaikan bentuk kata; (b) pada pembentukan frasa: menyusun kata-kata,
melengkapi kata menjadi frasa, membentuk frasa, menjelaskan makna frasa; (c)
pembentukan kalimat: mengenal kalimat, membentuk kalimat, menyusun kalimat,
dan mengubah kalimat.
Banyaknya variasi jenis tes yang muncul dalam pendekatan diskret, sebagai
alternatif terhadap tes esai-terjemahan, mulai membuka cakarawala pandang para
ahli tes bahasa. Banyak yang mendukung pendekatan baru ini, namun banyak pula
yang mengkritiknya. Secara umum, dukungan terhadap tes diskret ini diarahkan
pada kecocokannya untuk mengukur kompetensi linguistik dan keunggulannya
dalam mendiagnosis kesulitan belajar bahasa, khususnya dalam tahap awal proses
belajar bahasa (lihat Cornell, 1981). Dari segi para pengkritiknya, van Els dkk.
(1984:321) menyatakan ada banyak argumen yang dikemukakan untuk menolak tes
diskret ini, antara lain:
(a) kemampuan bahasa itu lebih daripada sekedar penjumlahan dari
komponen-komponen bahasa yang terpisah;
(b) tidak mungkin mengumpulkan suatu sampel yang representatif dari
semua komponen-komponen bahasa;
(c) tidak mungkin menilai atau menaksir sumbangan dari komponen-
komponen bahasa secara individual pada kemampuan bahasa yang utuh;
(d) sangat tidak bermakna mengisolasi komponen-komponen bahasa itu dari
konteksnya masing-masing.

3. Pendekatan Integratif
Seiring dengan populernya Pendekatan Diskret, yang dikenal juga sebagai
masa gerakan ilmiah atau struktural-psikometrik dalam tes bahasa, muncul suatu
pendekatan baru dalam tes bahasa yang mengoreksi Pendekatan Diskret.
Pendekatan baru tersebut oleh Carroll (1961) disebut pendekatan integratif. Jika
dalam pendekatan diskret, aspek-aspek kebahasaan dan kemampuan berbahasa itu
diperlakukan secara terpisah, maka dalam pendekatan integratif aspek-aspek
bahasa dan kemampuan berbahasa itu dicakup secara bersamaan. Dasar pemikiran

8
yang diacu dalam penyusunan tes integratif adalah bahasa itu merupakan suatu
integrasi dari bagian-bagian terkecil yang membentuk bagian-bagian yang lebih
besar, dan pada akhirnya merupakan bentukan terbesar yang berupa bahasa.
Menurut Oller (1979) jika dalam tes diskret hanya diujikan satu aspek
kebahasaan saja pada satu waktu, maka dalam tes integratif berusaha diukur
beberapa aspek kebahasaan secara bersamaan. Prinsip ini sesuai dengan
pandangan psikologi Gestalt yang intinya “bahwa tingkah laku itu dipelajari sebagai
kesatuan yang tidak terpisahkan atau “gestalts” (lihat Richards, dkk, 1993).
Berdasarkan pandangan ini, maka tes integratif tidak secara khusus
mengeteskan salah satu aspek kebahasaan seperti fonologi, morfologi, sintaksis,
atau kosa kata, atau salah satu dari kemampuan berbahasa seperti membaca,
menulis, berbicara, atau menyimak, melainkan sebuah tes dalam satu waktu meliputi
beberapa aspek kebahasaan dan kemampuan berbahasa sekaligus. Pada tes
integratif, terdapat penggabungan dari aspek-aspek terkecil itu ke dalam satu butir
tes. Penggabungan itu dapat terjadi antar bagian dalam kemampuan bahasa atau
berbahasa, atau bagian dalam kemampuan bahasa dengan bagian lain dalam
kemampuan berbahasa.
Tes bahasa dengan pendekatan integratif melakukan pengukuran
penguasaan kemampuan berbahasa atas dasar penguasaan testi terhadap
gabungan antara beberapa komponen bahasa dan kemampuan berbahasa.
Mengubah bentuk suatu kalimat menjadi bentuk kalimat yang lain, misalnya, tidak
saja menuntut kemampuan testi tentang pengetahuan struktur kalimat, melainkan
juga memerlukan penguasaan perubahan bentuk kata, dan bahkan makna kata yang
merupakan bagian dari penguasaan kosa kata.
Dalam perkembangannya, pendekatan integratif mendapatkan kritikan yang
cukup keras berkaitan dengan masih berkutatnya tes ini pada pengetesan
kompetensi bahasa atau menurut Widdowson (1984:3) lebih berorientasi pada
usage dan bukan use. Di samping itu, pendekatan ini juga melupakan peran konteks
dalam komunikasi yang senyatanya dan masih bersifat artifisial.

4. Pendekatan Pragmatik
Tes integratif yang berkembang sebagai reaksi terhadap pendekatan
struktural psikometrik pada dasarnya hanyalah pelibatan beberapa aspek
kebahasaan atau ketrampilan berbahasa dalam tes yang diujikan pada saat yang
bersamaan. Tes integratif yang demikian seringkali sulit dibedakan secara tegas
dengan tes diskret, khususnya tes diskret yang melibatkan konteks kalimat. Selain
itu, tes integratif yang dikembangkan pada periode itu masih terisolasi dari konteks

9
komunikasi yang nyata dan masih berkutat pada pengetesan kompetensi bahasa.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika bidang psikolinguistik dan sosiolinguistik
mulai menancapkan pengaruhnya, tes bahasa mengalami perkembangan yang
cukup mendasar. Prinsip yang semula diyakini dalam pendekatan tes integratif
bahwa “bahasa itu merupakan suatu integrasi dari bagian-bagian terkecil yang
membentuk bagian-bagian yang lebih besar, dan pada akhirnya merupakan
bentukan terbesar yang berupa bahasa” dipertajam lagi oleh temuan dalam
psikolinguistik mengenai unitary competence, yakni kompetensi bahasa yang ada
dalam diri seseorang tidak dapat dipisah-pisahkan atas kompetensi linguistik dan
non-linguistik.
Implikasi dari teori unitary competence ini kemudian mengukuhkan
pandangan bahwa bahasa itu merupakan suatu kesatuan padu, yang oleh Vollmer
(1981) dan Vollmer (dalam Hughes dan Porter (eds.), 1983) disebut sebagai one
dimensional. Prinsip ini tidaklah sama dengan penjumlahan keseluruhan komponen
bahasa seperti yang dianut dalam tes integratif. Selain itu, juga tidak sesuai dengan
prinsip tes diskret yang memperlakukan bahasa secara terpisah-pisah atas
komponen-komponennya. Dalam hal ini ada “sesuatu” yang hilang yang merupakan
sifat alami bahasa jika bahasa diperlakukan terpisah-pisah atau diskret atas
komponen-komponennya, atau bahasa diperlakukan sebagai kumpulan dari
komponen-komponen yang terpisah atau integratif.
Menurut Read (dalam Weir, 1990:4) kontribusi sosiolinguistik tampak dalam
orientasi ke kompetensi komunikatif di dalam tes bahasa. Kompetensi komunikatif ini
merupakan perluasan dari kompetensi ala Chomsky yang hanya mengacu sebagai
pengetahuan aturan-aturan pembentukan kalimat gramatikal. Kompetensi
komunikatif ini dimaknai sebagai kompetensi untuk menggunakan kalimat-kalimat itu
secara tepat dalam konteks-konteks yang berbeda.
Pengaruh sosiolinguistik dalam tes bahasa ini tampak dalam pemaknaan ciri
integratif yang melekat pada tes integratif itu. Carrol (1972) memaknai ciri integratif
itu secara fungsional, yakni “focus on the total communicative effect”. Oller (1979),
berkaitan dengan ciri integratif yang seperti itu, memperkenalkan istilah pragmatik
untuk pendekatan terhadap tes bahasa yang mengukur seberapa baik testi
mempergunakan elemen-elemen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang
nyata, termasuk semua kendala yang umumnya ada pada penggunaan bahasa
sehari-hari. Menurut Djiwandono (1996:12) Pendekatan Pragmatik mengaitkan
bahasa dengan penggunaan senyatanya, yang melibatkan tidak saja unsur-unsur
kebahasaan seperti kata-kata, frasa, atau kalimat, melainkan unsur-unsur di luarnya
juga, yang selalu terkait dalam setiap bentuk penggunaan bahasa.

10
Bentuk tes bahasa dengan pendekatan pragmatik yang ditawarkan oleh Oller
(1979:39) adalah dikte dan tes cloze. Termasuk perkembangan terbaru dari dua tes
itu, yakni tes graduated dictation atau dikte berjenjang dari Kaga (dalam Porter dan
Upshur, 1991) dan tes C dari Klein-Braley dan Raatz (1984). Sesuai dengan
pandangan yang dianut terhadap bahasa, keempat tes ini dianggap memenuhi ciri-
ciri pragmatik. Keempat tes itu selalu menggunakan wacana yang mengandung
konteks, bukan semata-mata kalimat atau kata-kata lepas.
Namun dalam perkembangannya, pendekatan pragmatik dari Oller (1979)
dengan tes dikte dan tes cloze, serta bentuk pengembangannya seperti tes C
banyak mendapat kritikan dari ahli-ahli lain seperti Morrow dan Carroll (lihat Weir,
1990:6-10) dan Jafarpur (1995). Morrow menyatakan bahwa tes dikte dan tes cloze
yang diusulkan Oller (1979) pada dasarnya masih menekankan pada kemampuan
(kompetensi) kebahasaan daripada performansi aktual. Dengan kata lain, dua tes itu
pada dasarnya bergantung pada pengetahuan sistem bahasa daripada kemampuan
untuk melakukan sistem itu dalam latar yang sebenarnya.
Sementara itu, Carroll sampai pada kesimpulan yang sama, yakni tes yang
diusulkan Oller (1979) pada dasarnya masih bersandar pada usage. Tugas-tugas
yang diberikan tidak menunjukkan komunikasi interaktif yang sesungguhnya dan
performansi berbahasa testi yang sesungguhnya belum teruji. Tugas-tugas
komunikasi yang ada masih bersifat artifisial, ada manipulasi, ada rekayasa, dan ada
kontrol.
Berbeda dengan Morrow dan Carroll, Jafarpur (1995) melihat bahwa tes
pragmatik seperti tes Cloze dan tes C ini kelihatan lebih sebagai teka-teki daripada
suatu tes kemampuan berbahasa. Lebih parah lagi, tes C lebih banyak dilihat
sebagai tes mengeja dan hanya cocok untuk anak-anak.

5. Pendekatan Komunikatif
Karena Pendekatan Pragmatik bagaimanapun juga masih dipandang banyak
memiliki kekurangan dan masih terjebak pada aspek usage dan bukan use dalam
pengetesan bahasa, maka Savignon (1972; 1985); Morrow (1981), dan Carroll
(1983) mengembangkan tes bahasa yang lebih komunikatif. Tes bahasa yang benar-
benar komunikatif adalah tes bahasa yang mengukur performansi testi dalam
komunikasi yang sesungguhnya yang di dalamnya tercermin kompetensi gramatikal,
kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategik (lihat Canale dan Swain,
1980). Menurut Brown (1996), Savignon adalah orang pertama yang menganjurkan
tes yang seperti itu. Dia menganjurkan pengukuran kemampuan komunikasi testi
dengan tes langsung (direct test) dalam empat konteks komunikatif yang berbeda-

11
beda, yakni diskusi, mencari atau menggali informasi, melaporkan, dan deskripsi.
Sementara itu Morrow (1981) mengajukan beberapa aspek yang harus ada dalam
tes bahasa yang komunikatif, yakni berdasarkan pada interaksi, segi
ketakteramalan data, konteks situasi maupun konteks linguistik, tujuan,
performansi, keotentikan, dan berdasar pada tingkah laku.
Dalam Pendekatan Komunikatif ini, peranan konteks diperluas, yakni dengan
memperhatikan unsur-unsur yang mengambil bagian dalam terwujudnya suatu
komunikasi yang baik. Oleh karena perlu dalam tes bahasa dengan pendekatan
komunikatif perlu diadakan apa yang oleh Carroll (1983:19) disebut analisis
kebutuhan komunikatif, yang terdiri atas: identifikasi partisipan, tujuan komunikasi,
latar, pola interaksi, dialek, aktivitas-aktivitas kejadian, dan sebagainya.
Apa yang dikemukakan oleh Savignon (1972; 1985); Canale dan Swain
(1980), Morrow (1981), dan Carroll (1983) di atas dapat digunakan sebagai indikator
penting untuk melihat seberapa komunikatifnya suatu tes bahasa itu. Dalam tes
bahasa, penerapan pendekatan komunikatif menurut Djiwandono (1996) berdampak
terhadap beberapa segi penyelenggaraannya, terutama jenis dan isi wacana yang
digunakan, kemampuan berbahasa yang dijadikan sasaran, serta bentuk tugas, soal
dan pertanyaannya. Semua itu harus harus ditentukan atas dasar ciri komunikatif,
yakni hubungan dan kesesuaiannya dengan penggunaan bahasa dalam komunikasi
senyatanya. Apabila dikonkretkan maka indikator-indikator tes bahasa yang
komunikatif itu dapat dirumuskan secara rinci seperti yang terdapat dalam Tabel 4
berikut ini.
Tabel 4 Indikator Tes Komunikatif
No. Indikator Tes Komunikatif
1. Berdasarkan performansi testi
2. Berdasarkan pada interaksi
3. Bersifat langsung (Direct test)
4. Dilakukan analisis kebutuhan komunikatif (partisipan, tujuan, latar atau
konteks situasi, pola interaksi)
5. Berdasarkan pada Keotentikan
6. Berdasarkan pada Ketakteramalan data
Keenam indikator ini merupakan satu kesatuan yang melekat dalam tes bahasa
komunikatif. Artinya adalah satu indikator mengisyaratkan terpenuhinya indikator
lainnya sebagai prasyarat terlaksananya tes bahasa yang komunikatif. Berikut ini
keenam indikator itu akan dibahas satu persatu.

12
a. Berdasarkan Performansi Testi
Dalam tes bahasa komunikatif yang diukur adalah kemampuan testi yang
konkret terlihat, terbaca, terdengar, dan terucapkan dalam interaksi berbahasa. Itu
semua terungkap dalam penampilan testi ketika melakukan tugas-tugas berbahasa
yang diisyaratkan. Apabila yang diukur itu adalah kemampuan produksi lisan, maka
yang diobservasi oleh guru atau penilai adalah tuturan yang diucapkan dalam
interaksi berbahasa itu dengan mempertimbangkan kompetensi gramatikal,
kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategik yang tersirat di dalamnya.
b. Berdasarkan pada interaksi dengan bahasa
Tes bahasa komunikatif harus bertitik tolak dari adanya interaksi.
Rasionalnya adalah bahasa yang sedang digunakan terlihat di dalam interaksi antara
dua partisipan atau lebih, baik partisipan itu berperan sebagai pembicara dan
pendengar ataupun penulis dan pembaca. Bahkan dalam kasus seperti menulis
surat, misalnya, penulis surat itu ketika mengungkapkan ide dan gagasan selalu
mempertimbangkan faktor pembaca yang ditujunya. Semua ungkapan, gaya bahasa,
pilihan kata, dan struktur kalimat yang dibuatnya tidak terlepas dari pemahaman
penulis tentang status sosial, keadaan diri, karakteristik, sifat-sifat maupun kebiasaan
dari pembacanya. Interaksi dalam hal ini menjadi penting dalam tes bahasa
komunikatif karena interaksi memfasilitasi keberadaan konteks dalam berbahasa.
c. Bersifat langsung (Direct test)
Tes yang bersifat langsung adalah tes yang paling mendekati tugas-tugas
komunikasi autentik seperti dalam pemakaian senyatanya. Apabila tujuan dari tes
bahasa ini adalah untuk mengukur kemampuan berbicara maka tes yang diberikan
haruslah berupa tugas-tugas produktif berbicara dalam berbagai konteks seperti
diskusi, mencari atau menggali informasi dalam interview, melaporkan, dan
mendeskripsikan. Apabila tujuan dari tes bahasa ini adalah untuk mengukur
kemampuan menulis maka tes yang diberikan haruslah berupa tugas-tugas produktif
tulis dan bukannya tes struktur wacana dan struktur kalimat.

d. Analisis kebutuhan komunikatif


Tes bahasa dikatakan memenuhi sifat komunikatif apabila dalam
penyelenggaraannya secara jelas dipersiapkan siapa dan sebagai apa partisipan
yang terlibat di dalam komunikasi itu dan bagaimana status sosialnya. Kejelasan
mengenai komponen partisipan ini akan menentukan pola interaksi yang terjadi.
Selain komponen partisipan, komponen tujuan pembicaraan juga merupakan faktor
kunci dalam tes komunikatif. Tujuan pembicaraan yang jelas antara dua partisipan
akan menentukan apa saja yang mesti diungkapkan dan apa saja yang tidak boleh

13
diungkapkan dalam interaksi itu, termasuk juga nada dan gaya komunikasinya.
Berikutnya adalah latar atau konteks yang memfasilitasi terjadinya komunikasi
tersebut. Morrow (dalam Alderson dan Hughes, 1981) menunjukkan bahwa konteks
dapat dibagi menjadi dua, yakni (1) konteks situasi seperti lingkungan fisik, sikap
dan tingkat keformalan; dan (2) konteks linguistik seperti kohesi tekstual.
e. Keotentikan dan Kealamiahan
Ukuran keotentikan dan kealamiahan memang selalu dikembalikan ke dalam
penggunaan bahasa senyatanya dalam kehidupan sehari-hari. Ukuran-ukuran itu
antara lain topik yang dibicarakan aktual, bahan yang digunakan, situasi yang
melingkupi pembicaraan, ragam bahasa yang dipakai, partisipannya yang terlibat di
dalamnya, dan media penyampainya. Dalam tes bahasa di kelas, menciptakan
pemakaian bahasa yang seratus persen otentik atau alamiah tidaklah mungkin
karena pembelajaran di sekolah itu sendiri adalah suatu bentuk manipulasi. Bahasa
yang sedang dipelajari di kelas adalah bahasa antara, yang penuh dengan
penyederhanaan dalam kosa kata ataupun strukturnya. Demikian juga dengan
bahasa yang digunakan oleh guru, atau teacher talk, selalu penuh dengan
penyederhanaan di sana-sini.
Yang dapat dilakukan dalam tes bahasa komunikatif adalah mengusahakan agar
semakin banyak ukuran keotentikan itu muncul dalam bahan tes, tugas-tugas yang
dilakukan testi, situasi pengetesan, partisipan yang terlibat dalam interaksi, ragam
bahasa yang digunakan dalam tes, dan sebagainya. Apabila ukuran-ukuran ini
dipenuhi, paling tidak dapat dikatakan bahwa kadar keotentikan dalam tes bahasa
sangat tinggi, walaupun tidak mungkin mencapai keotentikan obsolut atau 100%.
Banyak tes bahasa yang dapat memiliki keotentikan tinggi asalkan tes-tes
tersebut memanfaatkan prinsip-prinsip dalam pemakaian bahasa sehari-hari.
Misalnya, bahan-bahan tes yang digunakan adalah alami dan tidak dimanipulasi,
seperti teks bacaan dari majalah dan surat kabar, rekaman tape atau video dari
acara-acara yang ada di televisi dan radio. Tugas-tugas dalam tes yang diberikan
mendekati pemakaian bahasa yang sesungguhnya, seperti tugas menulis surat atau
tugas berbicara dengan interview dan pidato dengan mempertimbangkan komponen-
komponen sosiolinguistik seperti apa, siapa, mengapa, kapan, bagaimana, dan di
mana.
f. Ketakteramalan data
Dalam tes bahasa komunikatif, satu indikator yang terkait dengan masalah
keotentikan dan kealamiahan adalah ketakteramalan data. Data dalam pengertian ini
adalah tuturan yang merupakan respon atau jawaban atas tuturan yang dihasilkan
oleh salah satu partisipan dalam interaksi. Dalam tes bahasa yang komunikatif,

14
respon atau jawaban dalam interaksi bersifat unpredictable atau tidak dapat
diramalkan atau ditebak terlebih dahulu. Respon atau jawaban dapat A atau B atau C
tergantung pada siapa yang mengatakan, dalam situasi apa, dan dengan cara
bagaimana.

C. PENUTUP
Pendekatan tes bahasa sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang
sangat dinamis. Kedinamisan itu tidak terlepas dari banyaknya dan cepatnya
pengaruh bidang-bidang keilmuan terkait seperti linguistik, psikologi dan psikometrik,
psikolinguistik, sosiolinguistik, dan pengajaran bahasa yang merambah ke dalam
dunia tes bahasa. Ironisnya, di Indonesia, gaung perkembangan mutakhir dari
pendekatan tes bahasa ini belum sepenuhnya sampai ke sekolah-sekolah umum
kita. Masih banyak guru-guru bahasa (Indonesia) tidak atau belum sepenuhnya
mengerti pendekatan tes bahasa mutakhir, yang diisyaratkan dalam kurikulum
bahasa Indonesia kita, yakni tes komunikatif. Hal yang lebih parah lagi adalah
bentuk-bentuk tes bahasa yang dipajankan dalam berbagai buku teks bahasa
(Indonesia) kebanyakan juga tidak mencerminkan pemakaian pendekatan tes
bahasa yang komunikatif.

LATIHAN
Diskusikan beberapa pertanyaan berikut dan buatlah laporan hasil
diskusi dalam bentuk paparan!
1. Jelaskan perkembangan pendekatan tes bahasa serta tokoh-tokoh yang
berperan!
2. Jelaskan (a) karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan tradisional,
(b) landasan filosofis pendekatan tradisional, (c) bentuk-bentuk tes yang
dikembangkan berdasarkan pendekatan tradisional, dan (d) kelemahan dan
keunggulan bentuk tes yang dikembangkan berdasarkan pendekatan
tradisional!
3. Jelaskan (a) karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan diskret, (b)
landasan filosofis pendekatan diskret, (c) bentuk-bentuk tes yang
dikembangkan berdasarkan pendekatan diskret, dan (d) kelemahan dan
keunggulan bentuk tes yang dikembangkan berdasarkan pendekatan
diskret!
4. Jelaskan (a) karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan integratif, (b)
landasan filosofis pendekatan integratif, (c) bentuk-bentuk tes yang

15
dikembangkan berdasarkan pendekatan integratif, dan (d) kelemahan dan
keunggulan bentuk tes yang dikembangkan berdasarkan pendekatan
integratif!
5. Jelaskan (a) karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan pragmatik,
(b) landasan filosofis pendekatan pragmatik, (c) bentuk-bentuk tes yang
dikembangkan berdasarkan pendekatan pragmatik, dan (d) kelemahan dan
keunggulan bentuk tes yang dikembangkan berdasarkan pendekatan
pragmatik!
6. Jelaskan (a) karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif,
(b) landasan filosofis pendekatan komunikatif, (c) bentuk-bentuk tes yang
dikembangkan berdasarkan pendekatan komunikatif, dan (d) kelemahan
dan keunggulan bentuk tes yang dikembangkan berdasarkan pendekatan
komunikatif!

RANGKUMAN

Terdapat tiga sudut pandang yang digunakan sebagai dasar perkembangan tes
bahasa, yakni (1) segi keilmiahan yang mendasari tes bahasa, (2) segi dominasi
keilmuan yang mempengaruhi tes bahasa, dan (3) segi orientasi pandangan tentang
hakikat bahasa. Tes bahasa dengan Pendekatan Tradisional mendasarkan diri pada
intuisi, kesan dan subjektivitas guru, dan tidak mendasarkan diri pada bidang
keilmuan lain seperti psikologi dan linguistik. Pendekatan Diskret dan Pendekatan
Integratif dalam tes bahasa mulai mendasarkan diri pada bidang-bidang keilmuan
terkait seperti strukturalisme dalam linguistik, audiolingualisme dalam pengajaran
bahasa, behaviorisme dan atau kognitivisme, serta psikometrik, dalam bidang
psikologi. Tes bahasa dengan Pendekatan pragmatik dan Pendekatan komunikatif
didasarkan pada berkembangnya pemikiran dalam bidang psikolinguistik dan
sosiolinguistik,

EVALUASI
1. Jelaskan perkembangan pendekatan tes bahasa!
2. Jelaskan karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan tradisional!
3. Jelaskan karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan diskret!
4. Jelaskan karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan integratif!
5. Jelaskan karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan pragmatik.
6. Jelaskan karakteristik tes bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif.

16

Anda mungkin juga menyukai