Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Di negara-negara yang multilingual, multirasial, dan multikultural, untuk

menjamin

kelangsungan

komunikasi

kebangsaan

perlu

dilakukan

suatu

perencanaan bahasa (Inggris: language planning) yang tentunya terlebih dahulu harus dimulai dengan kebijaksanaan bahasa (inggris: language policy). Yang dimaksud dengan multilingual disini adalah digunakannya banyak bahasa dengan berbagai ragamnya di dalam wilayah negara itu secara berdampingan, entah digunakan secara terpisah oleh masing-masing ras (suku bangsa) maupun digunakan secara bergantian, seperti yang sudah dibicarakan dalam Bab bilingualisme. Yang dimaksud dengan multi rasial adalah terdapatnya etnis yang berbeda, yang biasanya dapat dikenali dari ciri-ciri fisik tertentu atau dari bahasa dan budaya yang melekat pada etnis tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan multikultural adalah terdapatnya berbagai budaya, adat sitiadat, dan kebiasaan yang berbeda dari penduduk yang mendiami negara tersebut. Negara-negara seperti malaysia, Filipina Singapura, dan India merupakan contoh negara yang multingual, multirasial, dan multikultural yang memerlukan adanyanya kebijaksanaan bahasa, agar masalah pemilihan atau penentuan bahasa tertentu sebagai alat komunikasi didalam negara itu tidak menimbulkan gejolak politik yang gilirannya akan dapat mengoyahkan kehidupan bangsa di negara tersebut. Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab tergantung pada situasi kebahasaan yang ada di dalam negara itu. Negara-negara yang sudah memiliki sejarah kebahasaan yang cukup dan di dalam negara itu hanya ada satu bahasa saja ( meskipun dengan dialek dan ragamnya) cenderung tidak memiliki masalah kebahasaan yang serius. Negara demikian

misalnya, Saudi arabia, jJepang Belanda dan Inggris. Indonesia sebagai negara yang relatif baru dengan bahasa daerah yang tidak kurang dari 400 buah, agak beruntung sebab masalah-masalah kebahasaan yang terjadi di negara lain secara historis telah agak diselesaikan sejak lama.

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Kebijaksanaan Bahasa Secara politis Indonesia ada tiga buah bahasa yaitu: 1. Bahasa nasional Indonesia 2. Bahasa daerah 3. Bahasa asing

Jauh sebelum kebijaksanaan bahasa diambil untuk menetapkan fungsi ketiga bahasa itu, para pemimpin perjuangan Indonesia, berdasarkan kenyataan bahwa bahasa melayu telah sejak berabad-abad yang lalu telah digunakan secara luas sebagai lugua franca di seluruh nusantara dan sistemnya cukup sederhana, telah menetapkan dan mengangkat bahasa melayuitu menjadi bahasa persatuan untuk seluruh Indonesia, dan memberinya nama bahasa Indonesia. Peristiwa pengangkatan bahasa Indonesiayang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam satu ikrar yang disebut Soempah Pemoeda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi negatif dari suku-suku bangsa lain di Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebih banyak berlipat ganda. Kemudian, penetpan bahasa Indonesia menjadi bahasa Negara dalam Undang-undang Dasar 1945 pun tidak menimbulkan maalah. Oleh karena itulah, para pengambil keputusan dalam menentukan kebijaksanaan bahasa yang menetapkan fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing dapat melakukannya dengan mulus. Bahasa Indonesia ditetapkan sesuai dengan kedudukannya, sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, sebagai lambang kebanggaan nasional, dan sebagai alat komunikasi nasional kenegaraan atau intrabangsa. Bahasa daerah berfungsi sebagai lambang kedaerahan dan alat komunikasi intra suku, sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai alat komunikasi antar-bangsa dan alat penambah ilmu pengetahuan. Ketiga bahasa itu dengan fungsinya masing masing tidak menimbulkan masalah. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mengaktifkan

pembinaan dan peningkatan penggunaan bahasa Indonesia dari para warga bangsa Indonesia, sebab hingga kini penguasaan mereka akan bahasa Indonesia masih jauh dari yang diharapkan( Chaer 1993). Keperluan suatu bangsa atau negara untuk memiliki sebuah bahasa yang menjadi identitas nasionalnya dan satu bahasa, atau lebih, yang menjadi bahasa resmi kenegaraan (bisa bahasa yang sama dengan bahasa nasional). Tidak selalu bisa dipenuhi oleh bahasa atau bahasa-bahasa asli pribumi yang dimiliki. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan itu dari bahasa asli pribumi; Filipina dapat memenuhi sebagian, sedangkan Somalia tidak dapat sama sekali. Berkenaan dengan itu dalam perencanaan bahasa dikenal adanya negara tipe endglosik, seperti Indonesia; tipe eksoglosik-endoglosik, seperti Filipina;dan tipe eksoglosik, seperti Somalia. Lebih lanjut lihat bagan berikut yang diangkat dari Moelino 1983.

Negara tipe endoglosik No Negara Bahasa Nasional 1 2 3 4 Indonesia Malaysia Thailand Belgia Indonesia Malaysia Bahasa resmi Bahasa resmi kenegaraan Indonesia Malaysia Thai Belanda Prancis 5 R.R.Cina Putung hua Putung hua kedaerahan

Keterangan: 1. Antara tahun 1957, tahun proklamasi kemerdekaan persekutuan tanah melayu, sampai tahun 1967 bahasa Melayu dan bahasa inggris kesuanya merupakan bahasa resmi di malaysia, sejak tahun 1967 hanya bahasa malaysia yang menjadi bahasa resmi. 2. Putunghua (atau pu-tung-hua) bahasa bersama adalah bahasa nasianal cina sejak tahun 1955. Di taiwan disebut Guoyu `bahasa nasional`

Putunghua berdasar pada bahasa-bahasa Cina Utara dan bahasa Cina dialek kota Beijing.

Negara Tipe Eksolosik-Endoglosik Negara Bahasa Nasional Bahasa resmi kenegaraan 1 Filipina pilipino Pilipino Ingris Spanyol 2 India Hindi Hindi Inggris Sebelas bahasa berdasarkan konstituasi, a.l. Telugu, Tamil, dan Benggali 3 Singapura Melayu Melayu Mandarin Tamil Ingris 4 Tanzania Swahili Swahili Ingris 5 Ethiophia Amhar Amhar Ingris Bahasa resmi kedaerahan

Keterangan: 1. Antara tahun 1946-1972 nama bahasa nasional filipina adalah pilipino (dengan huruf P) yang berdasarkan pada bahasa Tagalog lalu setelah itu diubah menjadi filipino (dengan huruf F) yang akan diusahakan berdasarkan unsur semua bahasa daerah yang ada di filipina. 2. Bahasa Spanyol hanya menjadi bahasa resmi antara tahun 1946 sampai 1972, setelah itu tidak lagi.

Negara Tipe Eksoglosik Negara Bahasa Nasional Bahasa Resmi Kenegaraan 1. Somalia 2. Haiti 3. Senegal 4. Liberia 5. Mauritania 6. Sudan 7. PapuaNugini Somalia Arab Kreol Wlof Arab Arab Tok pisin Hiri Mott 8. Nigeria 9. Ghana 10. R.R.Kongo Prancis Inggris Italia Prancis Prancis Inggris Inggris(lalu diganti Arab) Inggris Inggris Inggris Prancis Hausa Kituba Luba Lingala Swahili Bahasa resmi Kedaerahan

Pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan bahasa oleh para pemimpin negara untuk menetapkan suatu bahasa yang akan digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan biasanya juga berkaitan dengan keinginan untuk memejukan suatu bangsa. Misalnya Mustafa Kemal Attaturk, presiden pertama Republik Turki (Proklamasi Turki menjadi sebuah negara republik adalah tanggal 19 Oktober 1923) demi moderenisasi dan kemajuan bangsa, menghapuskan penggunaan huruf Arab yang sudah berabad\abad lamanya digunakan, dan menggantinya dengan huruf latin. Tujuan kebijaksanaan bahasa adalah dapat berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan komunikasi antarbangsa dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak
6

sosial dan emosional yang dapat mengganggu stabilitas bangsa. Oleh karena itu, kebijaksanaan bahasa yang telah diambil di Indonesia, di Filipina, di Singapura, dan di India, meskipun dalam perwujudan yang berbeda sudah dianggap mencapai sasaran dan tujuan.

2.2 Perencanaan Bahasa Melihat urutan dalam penanganan dan masalah-masalah kebahasaan dalam negara yang multilingual, multirasial dan multi kultural, maka perancanaan bahasa merupakan kegiatan yang harus dilakukan sesudah melakukan

kebijaksanaan bahaa. Atau dengan kata lain, Perencanaan bahasa itu disusun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan bahasa. Istilah perencanaan bahasa ( Language planning) mula-mula digunakan oleh Haugen (1959) pengertian usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen selanjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan ini merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh usaha perencanaan itu disebutkan pembuatan tata ejaan yang normatif, penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi para penutur di dalam masyarakat yang heterogen. Dalam perkembangannya, setelah Haugen melancarkan istilah language planning itu, pengertian perencanaan bahasa itu yang banyak dikemukakan para pakar memang menjadi bervariasi, baik dari segi luasnya kegiatan, pelaku yang berperan didalamnya, maupun peristilahannya. Jernudd dan Ddas

Gupta(1971:211) mengatakan perencanaan bahasa adalah kegiatan politis dan administratif untuk menyelesaikan persoalan bahasa didalam masyarakat, Ray (1961, yang dikutip Moeliono 1983) berpendapat bahwa perencanaan

bahasaterbatas pada saran atau rekomendasi yang aktif untuk mengatasi masalah pemakaian bahasa itu sanagat bergantung pada jaringan komunikasi sosial yang ada dan pada mobilisasi kekuatan sosial. Tauli (1968, yang juga dikutip Moeliono

1983) yang melihat bahasa terutama sebagai alat komunikasi, merumuskan perencanaan bahasa dengan kata-kata, the methodical activity of regulation and improving existing languages or creating new common regional, national or international laguages. Bagi Tauli tugas perencanaan bahasa adalah mencari norma yang ideal yang didasarkan atas prinsip kejelasan, kehematan, dan keindahan. Sedangngkan Gorman (1973, yang dikutip Moeliono 1983) menyatakan bahwa perencanaan bahasa adalah tindakan koordinatif yang diambil untuk memilih, mengkodifikasikan, serta mengembangkan aspektata ejaan, tata bahasa, dan leksikon, dan menyebarkan bentuk bentuk yang disetujui itu didalam masyarakat. Gupta (dalam boey 1975.110) mengatakan, language planning refer to a set of deliberate activities systematically desainged to organise and develop the laguage resource of tehe community in an ordered shedule of time. Pakar lain, Neustupny (1970) dan Gorman (1973) serta Galvin(1973) membedakan adanya dua macam perencanaan bahasa, yaitu (1) pemilihan bahasa untuk maksud dan tujuan tertentu seperti untuk bahasa kebangsaan atau bahasa resmi yang tentunya melibatkan banyak faktor diluar bahasa, dan (2) pengembangan bahasa yang terutama bertujuan untuk meningkatkan taraf keberaksaraan, dan juga usaha pembakuan bahasa. Di Indonesia kegiatan yang serupa dengan language planning ini sebenarnya sudah sbelum nama itu diperkenalkan oleh Haugen (Moeleiono 1983), yakni sejak zaman pendudukan Jepang ketika ada Komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjahbana menertibkan majalah pembinaan Bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau mau dilihat lebih jauh, language planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa melayu (Indonesia) pada tahun 1901, disusul dengan berdirinya Commisie voor de Volkslecuur tahun 1908, yang pada tahun 1917 berubah namanya menjadi Balai pustaka; lalu disambung dengan Sumpah pemuda tahun 1928, dan kemudian Konges Bahasa I tahun 1983 di kota Solo. Istilah yang digunakan Alisjahbana adalah language engineering yang dianggapnya lebih tepat dari pada istilah language planning yang terlalu sempit maksudnya. Cita-cita Alisjahbana dalam language engineering

Anda mungkin juga menyukai