Anda di halaman 1dari 12

Faktor Usia dalam Pemerolehan Bahasa

Nama Anggota Kelompok :

1. Jiwangga Gumelar Prabowo / 190200740 / PB 2019


2. Adinda Laili Ramadani / 19020074077 / PB 2019
3. Cindy Afiffatus Syafi’ / 19020074116 / PB 2019

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerolehan bahasa atau biasa disebut dengan Language acquisition


merupakan proses seseorang mendapatkankemampuan untuk menangkap,
menghasilkan, dan menggunakan kata untuk berkomunikasi. Konsep pemerolehan
bahasan adalah proses – proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika
memperoleh atau menguasai bahasa ibunya(Chaer, 2009: 167). Bahasa yang
diperoleh bisa berupa vokal seperti pada bahasa lisan atau manual seperti bahasa
isyarat. Tahap pemerolehan bahsa pertama meliputi tahap pengocehan (bubbling),
tahap satu kata, tahap dua kata, dan tahap menyerupai telegram. Proses – proses
ketika seorang anak dalam pemerolehan bahasa meliputi dua aspek yaitu aspek
performance dan aspek kompetensi. Aspek performance dan kompetensi ini
merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi merupakan proses penguasaan
tata bahasa yang terjadi secara tidak disadari. Aspek performance yang terdiri dari
aspek – aspek pemahaman dan pelahiran. Aspek kompetensi menjadi syarat untuk
terjadinya proses performansi yang terjadi dari aspek – aspek pemahaman dan
pelahiran menghasilkan kalimat – kalimat. Kedua jenis kompetensi apabila telah
dikuasai seorang anak sejak dini akan menjadi kemampuan linguistik sejak dini.
Kemampuan linguistik terdiri dari tiga komponen, ysitu kemampuan fonologi,
kemampuan semantik, dan kemampuan kelimat.
Proses pemerolehan bahasa terjadi secara tidak sadar. Setiap pemerolehan
bahasa pertama seorang anak tidak sama tetapi bervariasi, ada yang lambat dan ada
pula yang cepat. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dikemukakan
Chomsky, Piaget, Lanneberg, dan Slobin yang meliputi faktor alamiah, faktor
perkembangan kognitif, faktor latar belakang sosial, dan faktor keturunan.
Sedangkan pembelajaran bahasa merupakan penguasaan bahasa kedua yang
dilakukan seseorang untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk pekerjaan,
akademis, ekonomi, dan lain sebagainya. Proses pembelajaran bahasa terjadi secara
sadar. Proses pembelajaran sesorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
motivasi, usia, penyajian formal, dan lingkungan.
Dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi proses tersebut, salah satunya yaitu faktor usia, hal itu
terjadi karena proses pemerolehan bahasa merupakan proses kompleks yang
panjang dan membutuhkan proses berpikir, merasakan, dan bertindak. Proses-proses
tersebut sangat dipengaruhi oleh matangnya keadaan emosional pebelajar bahasa.
Dalam hal kecepatan dan keberhasilan pemerolehan serta pembelajaran bahasa
dapat disimpulkan bahwa anak – anak lebih berhasil dalam pemerolehan dan
pembelajaran dalam sistem fonologi atau pelafalan dibandingkan dengan orang
dewasa, orang dewasa lebih maju dalam morfologi dan sintaksis, dan anak – anak
lebih berhasil dibandingkan orang dewasa meskipun tidak selalu cepat  (‘Oyama,
1976; Dulay, Burt, dan Krashen, 1982; Asher dan Gracia, 1969).

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja tahapan-tahapan dalam pemerolehan bahasa pertama?
2. Bagaimana pengaruh usia terhadap pemerolehan dan pembelajaran bahasa?
3. Bagaimana usia dapat mempengaruhi pemerolehan dan pembelajaran bahasa?

C. Tujuan
1. Menjelaskan tahapan-tahapan pemerolehan bahasa pertama
2. Menjelaskan pengaruh usia terhadap pemerolehan dan pembelajaran bahasa.
3. Menjelaskan usia dapat mempengaruhi dalam pemerolehan dan pembelajaran
bahasa.
BAB II

PEMBAHASAN

A. TAHAPAN USIA PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA


Beberapa ahli di antaranya, Tarigan (1988) dan Subyakto (1988), membagi
perkembangan pemerolehan bahasa anak dalam tiga tahap, yaitu; tahap Pertamanya
pralinguistik, tahap linguistik, dan tahap kompetensi lengkap.

Tahap pralinguistik dapat dirinci lagi menjadi:


(a). tahap pralinguistik pertama, dialami pada anak berusia 0-6 bulan yang
ditandai dengan gejala menangis, menjerit, mendekut, dan tertawa;
(b). tahap pralinguistik kedua, dialami oleh anak usia 6-12 bulan yang ditandai
dengan mengucapkan sejumlah ucapan yang tidak bermakna.
Tahap linguistik dapat pula dibagi atas:
(a). tahap linguistik pertama, dialami anak usia 1-18 bulan yang ditandai dengan
ucapan satu kata atau holofrase dengan pengertian bahwa satu kata merupakan
satu konsep yang lengkap.
(b). tahap linguistik kedua, dialami oleh anak usia 18 bulan sampai dengan usia
2 tahun yang ditandai oleh ucapan dua kata atau frasa dengan pengertian
menyatakan satu tema.
(c). tahap linguistik ketiga, dialami oleh anak pada usia 2-3 tahun yang ditandai
dengan kalimat lebih dua kata atau tahap telegraf.
(d) tahap linguistik keempat, dialami oleh anak usia 3-4 tahun yang ditandai
dengan menggunakan tata bahasa menjelang dewasa.

Ketiga tahap tata bahasa ini oleh Pateda (1990) disebut sebagai stadia
pengembangan awal ujaran, stadia holoprastik, stadia telegrafis dan stadia
transformasional dan marfomis.

B. HIPOTESIS PERIODE KRITIS


Pengaruh usia dalam pemerolehan pada umumnya sering diakitkan dengan
adanya periode kritis bagi pemerolehan bahasa. periode kritis ini pada umumnya
dapat diartikan sebagai periode kehidupan yang dipengaruhi faktor biologis ketika
bahasa bisa dikuasi secara lebih mudah dan selepas periode ini bahasa menjadi lebih
sulit dikuasai. Hipotesis periode kritis atau CPH (The Critical Period Hypothesis)
menyatakan adanya semacam jadwal biologis. Menurut penelitian Leneberg dan
Bickerton (Chaer, 2009:63)menyatakan bahwa periode kritis itu ada, dan meyakini
bahwa kemampuan-kemampuan tertentu tidak mungkin berkembang sebelum
maupun sesudah rentang waktu tersebut
Periode kritis atau gagasan CPH untuk konteks bahasa kedua juga banyak
diteliti oleh beberapa peneliti seperti (loup 2005; Singleton & Ryan, 2004; Moyer
2004). Penelitian tersebut mengahasilkan argumen bahwa usia kritis untuk
pemerolehan bahasa kedua terjadi sekitar usia akil balik, setelah jangka waktu
tersebut pemerolehan bahasa kedua relatif susah untuk dikuasai. Dari pendapat
tersebut maka dapat disimpulkan jika usia sangat berpengaruh pada pembelajaran
bahasa, untuk memeriksa perbedaan-perbedaan antara usia muda dan dewasa maka
dilakukan pembandingkan menggunakan beberapa pertimbangan antara lain secara
neurobilogis, fonologis, kognitif, afektif, dan linguitik.

C. PERTIMBANGAN NEUROBIOLOGIS
perimbangan neurobiologis ini didasari oleh pengaruh fungsi otak pada
inteligensi. Berdasarkan letak dan fungsinya otak dapat dipisah menjadi dua yaitu
otak kiri dan otak kanan menurut Gradner dkk (Chaer, 2009:62). Otak kiri lebih
dominan untuk sinyal bahasa, terutama pada area Broca dan Wernicke, sedangkan
otak kanan lebih dominan untuk musik dan suara lain yang bersifat non verbal.
Neurobiologis memiliki kaitan dengan pemerolehan bahasa kedua, hal tersebut
dapat dilihat dari lateralisasi otak atau lateralisasi hemisferik.

Lateralisasi Hemisferik
Lateralisasi merupakan proses pelan yang dimulai pada usia 2 tahun dan
menjadi lengkapsekitar akil balik. Dalam rentang waktu ini seorang anak dianggap
secara neurolgis membagi fungsi sedikit demi sedikit ke salah satu sisi otak Erik
Lanberg (Chaer, 2009:63). Jadi dapat disimpulkan bahwa lateralisasi adalah sebuah
proses pelan otak untuk memproses pengetahuan dan membaginya dalam dua
wilayah otak, yaitu kanan dan kiri. Belahan kiri mengolah kemampuan analisis
termasuk bahasa, sedangkan belahan kanan mengolah kemampuan emosional.
Seperti penjelasan di atas, maka dapat diartikan bahwa menurut
perimbangan neurobiologis usia anak- anak sampai akil balik memiliki kemampuan
untuk memperoleh bahasa kedua bahkan dalam usia itu sangat memungkinkan
untuk dapat menguasai bahasa kedua hampir atau bahkan seperti penutur asli
dibanding usia dewasa atau setelah akil balik yang sulit menguasai bahasa kedua
seperti penutur asli.

D. PERTIMBANGAN KOGNITIF
Dalam teori kognisi Piaget, kognisi manusia berkembang pesat selama 16
tahun pertama dalam hidupnya dan tidak secepat itu lagi setelahnya. Piaget juga
membuat rangkuman jalannya perkembangan kemampuan intelektuan seorang anak
melalui beberapa tahap, diantaranya. Jean Piaget (Chaer, 2009:70)
1. Tahap sensorimotor (kelahiran sampai usia 2 tahun)
2. Tahap praoperasional (usia 2 sampai 7 tahun)
3. Tahap operasional (usia 7 sampai 16 tahun)
i. Tahap operasional konkret (usia 7 sampai 11 tahun)
ii. Tahap operasional formal (usia 7 sampai 16 tahun)
Dalam tahapan piaget di atas menunjukkan bahwa periode kritis dalam pemerolehan
bahasa kedua terdapat pada tahap operasional formal, dimana anak sudah mampu
berpikir abstrak melampaui pengalaman konkretnya, tapi hal tersebut disanggah
oleh Ausubel.
Ausubel(1964) berpendapat jika pemikiran-pemikiran abstrak pada anak
usia 11 tahun sampai 16 tahun justru akan menjadi hambatan dalam pemerolehan
bahasa kedua, tak seperti anak-anak yang dapat belajar bahasa kedua tanpa sadar
dan tanpa terkendala pemikiran-pemikiran formal.
Pemikiran lain yang perlu dipertimbangkan dalam wilayah kognitif adalah
gagasan ekuilibrasi Piagetian. Ekuilibrasi didefinisikan sebagai “pengorganisasian
pengetahuan internal secara bertahap”(Sullivan 1967:12) dan terkait dengan konsep
ekuilibrium, yakni kognisi berkembang sebagai sebuah proses yang bergerak dari
keadaan ragu dan tak pasti (disekuilibrium) menuju keadaan mantap dan pasti
(ekuilibrium) Jean Piaget (Chaer, 2009:70)
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pemerolehan bahasa jika
dihubungkan dengan kognisi dapat diartikan pemerolehan bahasa merupakan proses
dari disekuilibrium menuju ke ekuilibrium. Anak-anak dalam prosesnya menuju
ekuilibrium cenderung tidak memperdulikan pemikiran-pemikiran apapun tentang
unsur-unsur bahasa yang ada, hal itu disebut sebagai toleransi ambiguitas kognisi,
sedangkan pada usia diatas anak-anak muncul ketidaktoleransian, ketidaktoleransian
itulah yang mendorong anggapan-anggapan bahwa bahasa itu rumit dan susah,
sehingga membuat pembelajaran bahasa seakan-akan sangat sulit.

E. PERTIMBANGAN AFEKTIF
Persepsi afektif adalah perspektif yang meneliti sesuatu dari segi perasaan
manusia atau keadaan emosional, oleh karena itu perlu dilakukan pertimbangan
secara afektif dalam pembelajaran bahasa kedua kaitannya dengan faktor usia.
Pertimbangan afektif ini dilakukan dengan cara memandingkan kondisi emosiaonal
anak-anak dengan usia setelah anak-anak dalam kaitannya dengan pembelajaran
bahasa.
Wilayah afektif ini meliputi beberapa faktor, seperti : empati, kepercayaan
diri, ekstrovemsi, hambatan, peniruan, kecemasan, dan sikap. Afektif antara anak-
anak dengan usia setelah akil balik yaitu remaja sampai dewasa terdapat beberapa
perbedaan dalam egonya.
Ego anak bersifat dinamis, tumbuh dan luwes, sedangkan ego remaja ke atas
cenderung bersifat mempertahankan ego atau jati dirinya (tidak luwes). Berdasar
penjelasaan di atas maka dapat diartikan bahwa anak-anak dapat mempelajari
bahasa tanpa adanya “ancaman” besar atau keengganan kepada ego, dan proses
adaptasinya berlangsung relatif mudah, hal itu berbeda bagi remaja, Perubahan
fisik, emosional, dan kognitif yang terjadi bersamaan pada usia akil balik
memunculkan mekanisme pertahanan yang di dalamnya ego bahasa menjadi
protektif dan defensive. Ego bahasa melekatkan diri ke rasa aman bahasa asli guna
melindungi ego anak mudah yang mudah koyak. Hal tersebut terjadi dikarenakan
adanya perasaan untuk takut terlihat bodoh, hal itu lah yang membuat usia remaja
dan dewasa merasa “terancam” kenyamanannya akan datangnya bahasa baru.
Dalam pemerolehan bahasa kedua pada anak-anakusia pra remaja berumur 9
atau 10 tahun, mulai berkembang rasa keengganan dan dalam usia ini juga banyak
konflik afektif yang harus diatasi dalam pembelajaran bahasa.

F. PERTIMBANGAN LINGUISTIK
Setelah menimbang permasalahan-permasalahan pembelajaran bahasa dari
faktor usia dan persepsi-persepsi di atas. Maka sudah sepantasnya pertimbangan
linguistik atau bahasa juga perlu dilakukan. Pertimbangan ini dapat dilihat melaui
beberapa sudut.

BILINGUALISME
Bilingualisme adalah istilah dari pemerolehan 2 bahasa sekaligus dengan
menggunakan strategi yang sama. Pada dasarnya, mereka belajar dua bahasa
pertama, dan kunci keberhasilan terletak pada kemampuan membedakan konteks
masing-masing bahasa. Bilingualisme terbagi menjadi dua, yaitu bilingual setara
(coordinate bilingual) yang memiliki dua sistem makna, dan bilingual kompleks
(compound bilingual) yang memiliki satu sistem makna untuk mengoperasikan dua
bahasa.
Anak-anak pada umunnya tidak memiliki masalah dengan
“mencampuradukkan bahasa” , tak mempedulikan penggunakan konteeks dalam
penggunaan bahasa itu. Menurut (cook, 1995:58) “bilingual bukanlah dua
monolingual dalam satu kepala”, namun bilingual melakukan alih kode (tindakan
memasukkan kata, frase, atau yang lebih panjang dari sebuah bahasa ke bahasa
lain). Menurut pendapat Lambert (Chaer, 2009:77) bahwa anak-anak bilingual
lebih mudah menangkap pembentukan konsep dan memiliki keluwesan mental yang
lebih besar.

INTERFERENSI ANTARA BAHASA PERTAMA TERHADAP KEDUA

Terdapat beberapa hubungan antara bahasa pertama dengan bahasa kedua


yang tengah seseorang pelajari, baik meliputi persamaan dan perbedaan unsur
kebahasaan, maupun struktur bahasa. Chaer (2009:246-247) mengemukakan
“kesamaan itu terletak pada urutan pemerolehan struktuk bahasa, seperti modus
interogasi, negasi, dan morfem-morfem gramatikal. Unsur kebahasaan tertentu akan
diperoleh terlebih dahulu, sementara unsur kebahasaan lain baru diperoleh
kemudian”.  Sofa (2008) menyebutkan salah satu perbedaan antara pemerolehan
bahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama
merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial seorang
anak, sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi setelah perkembangan kognitif
dan sosial seorang anak sudah selesai. Dalam hal penguasaan lafal, anak-anak lebih
dapat menguasai pelafalan bahasa pertama, sedangkan untuk pelafalan bahasa kedua
mereka cenderung lebih kesulitan dan kurang sempurna.

Charles Fries dan Robert Lado (Chaer, 2009:247) mengembangkan hipotesis


yang disebut Hipotesis Kontraktif yang membahas perbedaan antara bahasa pertama
dan bahasa kedua. Perbedaan itu dapat memberikan kemudahan maupun kesulitan
dalam pemerolehan bahasa kedua. Adanya kemudahan dalam belajar bahasa kedua
karena terdapat beberapa kesamaan antara bahasa pertama dan bahasa kedua.
Sebaliknya, timbulnya kesulitan dalam pembelajaran bahasa kedua karena adanya
perbedaan antara kedua bahasa, yang bahkan dapat menimbulkan kesalahan.

Dalam hipotesis konstaktif menyatakan bahwa seorang pembelajar bahasa


kedua seringkali melakukan transfer bahasa pertama kedalam bahasa keduanya
dalam menyampaikan suatu gagasan. chaer (2009:247) mengemukakan “transfer ini
dapat terjadi pada semua tingkat kebahasaan: tata bunyi, tata bentuk kata, maupun
tata kalimat”. Ketika pembelajaran bahasa kedua berlangsung, terjadi tansfer positif
dan negatif antara bahasa pertama dan bahasa kedua. Chaer (2009:247) mengartikan
transfer positif adalah adanya kesamaan struktur yang menimbulkan kemudahan,
sedangkan transfer negatif berkaitan dengan ketidaksamaan struktur kedua bahasa
yang menimbulkan kesulitan dalam proses pembelajaran bahasa tersebut.
G. PENELITIAN
Berikut penelitian tentang pengaruh usia terhadap pemerolehan bahasa
PENGARUH USIA TERHADAP PELAJAR KURSUS BAHASA TIONGHOA
SHHS DI SURABAYA DALAM BELAJAR BAHASA TIONGHOA

JEANNY JULIA
& BUDI KURNIAWAN, S. KOM, B. A & ZHU SHUI QING, B. A
Program Studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra,
Siwalankerto 121-131, Surabaya 60236
E-mail : jeannyjulia@gmail.com

Hasil Tes Siswa Kelas Anak-Anak Pemula dan Kelas Dewasa Pemula
Penulis memberikan tes kepada siswa yang terdiri dari tes tertulis dan tes lisan,
untuk menguji kemampuan mendengar, menulis dan membaca mereka. Kelas anak-
anak adalah siswa rentang usia 6-9 tahun sedangkan kelas dewasa STUDENT
JOURNAL – PROGRAM STUDI SASTRA TIONGHOA UNIVERSITAS
KRISTEN PETRA adalah siswa rentang usia 13-27 tahun. Materi tes merupakan
materi yang telah dipelajari oleh para siswa.
Dalam penelitian tersebut

Nama Siswa Usia Dikte Menulis Membaca Rata - Rata


A 9 th 90 85 70 82
B 9 th 100 100 100 100
C 8 th 100 95 60 85
D 8 th 80 95 70 82
E 8 th 100 95 80 92
F 8 th 100 85 70 85
G 8 th 80 95 70 82
H 6 th 90 95 80 88
Rata – Rata 93 93 75 87
Tabel Hasil Tes Kelas Anak – Anak
Nama Siswa
Kelas Usia Dikte Menulis Membaca Rata - Rata
Dewasa
I 27 th 100 95 70 88
J 20 th 100 95 60 85
K 21 th 100 90 80 90
L 13 th 100 85 60 82
M 35 th 100 90 60 83
N 28 th 100 80 80 87
O 16 th 70 95 60 75
P 21 th 60 50 60 57
Rata – Rata 91 85 66 81
Hasil Tes Kelas Dewasa

Std.
N Minimum Maximum Mean
Deviation
Nilai_Rata_Rata_Anak 8 82 100 87.00 6.302
Nilai_Rata_Rata_Dewasa 8 57 90 80.00 10.683
Valid N (listwise) 8
Standar Deviasi Nilai Rata – Rata Siswa Anak – Anak dan Dewasa

Kesimpulan dari penelitian ini adalah. Selain pada periode kritis, seseorang
juga dapat mengalami keunggulan dalam belajar bahasa Tionghoa. Dari hasil t-test,
usia tidak memiliki pengaruh pada kemampuan dan hasil belajar siswa. Siswa yang
usianya lebih muda belum tentu kemampuannya lebih unggul dari siswa yang
usianya lebih tua, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan wawancara dengan seluruh
narasumber, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa bukan dipengaruhi oleh
usia tetapi dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan lingkungan, yaitu bagaimana
cara pengajaran dan pembelajaran, serta bagaimana pengaruh lingkungan keluarga
dan lingkungan masyarakat.
BAB III

KESIMPULAN

Di dalam pemerolehan bahasa kedua ada dua tahap usia, yakni tahap usia
pralinguistik dan linguistik. Pengaruh usia dalam pemerolehan pada umumnya
sering diakitkan dengan adanya periode kritis bagi pemerolehan bahasa. periode
kritis ini pada umumnya dapat diartikan sebagai periode kehidupan yang
dipengaruhi faktor biologis ketika bahasa bisa dikuasi secara lebih mudah dan
selepas periode ini bahasa menjadi lebih sulit dikuasai. Anak-anak belajar dua
bahasa pertama, dan kunci keberhasilan terletak pada kemampuan membedakan
konteks masing-masing bahasa. salah satu perbedaan antara pemerolehan bahasa
pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama merupakan
komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial seorang anak,
sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi setelah perkembangan kognitif dan
sosial seorang anak sudah selesai. Dalam hal penguasaan lafal, anak-anak lebih
dapat menguasai pelafalan bahasa pertama, sedangkan untuk pelafalan bahasa kedua
mereka cenderung lebih kesulitan dan kurang sempurna.
Daftar rujukan

Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta:


Pearson Education, inc
https://media.neliti.com/media/publications/184625-ID-pengaruh-usia-terhadap-
pelajar-kursus-ba.pdf

Anda mungkin juga menyukai