Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Psikolinguistik
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah al-Ilm al-Lughah al-‘Am
Dosen Pengampu:
Umi Kulsum, M.A.

Disusun oleh:
Muhibbin Sulthoni (11180210000123)
Siti Nadini (11180210000037)
Nindy Febrya Lorenza (11170210000116)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019

1
1.1. Latar Belakang

Kajian bahasa merupakan salah satu cabang tertua dalam penelitian sistematik. Hal ini tertelusuri
dari zaman India dan Yunani Kuno, dengan catatan keberhasilan yang begitu produktif dan kaya. Namun
dari titik pandang berbeda, ia dapat dianggap masih baru. Upaya-upaya besar dalam penelitian dewasa
ini sebenarnya baru terbentuk 40 tahun silam, ketika beberapa gagasan utama dalam tradisi penelitian
bahasa tersebut dihidupkan kembali dan direkonstruksi, sehingga membuka jalan terhadap apa yang
belakangan unu terbukti sebagai suatu upaya penelitian yang sangat produktif.

Bahwa bahasa sedemikian rupa sangat mempesona bertahun-tahun tidaklah mengejutkan. Dan
bahasa manusia tampaknya merupakan “kekayaan serumpun” yang sesungguhnya: hanya sedikit
berbeda diantara sesama manusia tetapi tidak ditemukan kesamaab bermakna dengan makhluk laim.
Barangkali kesamaan terdekat ditemukan dalam serangga, pada suatu evolusi berjarak semilyar tahun.

Ilmu yang membahas tentang asal mula bahasa, sejarahnya, dan seluk beluknya adalah linguistik.
Dalam perkembangannya ilmu ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan dihubungkan
dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain salah satunya adalah psikolinguistik. Merupakan gabungan dari
psikologi dan linguistik. Ilmu yang membahas tentang bagaiman seseorang menghasilkan kalimat dan
memahami kalimat yang didengarnya waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu
diperoleh manusia.

1.2.Rumusan Masalah
A. Apa pengertian Psikolinguistik?
B. Apa saja subdisiplin ilmu dalam psikolinguistik?
C. Bagaimana cara dalam pemerolehan bahasa?
D. Bagaimana seseorang dapat berujar dan memahami ujaran orang lain?
E. Apa yang dimaksud konsep nature dan nurture?

1.3.Tujuan Penelitian

A. Untuk mengetahui pengertian dari psikolinguistik


B. Untuk mengetahui subdisiplin ilmu yang terdapat dalam psikolinguitik
C. Untuk mengetahui cara memperoleh bahasa
D. Untuk mengetahui cara seseorang berujar dan memahami ujaran orang lain
E. Untuk mengetahui konsep nature dan nurture

2
2.1. Pengertian Psikolinguistik

Psikolinguistik merupakan kajian bahasa yang melibatkan dua disiplin ilmu, yakni psikologi dan
linguistic. Istilah psikologi, yang disebut psychologia (bahasa latin) atau psychology (bahasa inggris),
berasal dari bahasa Yunani psycho = ‘jiwa’ dan logos = ‘kajian, ilmu’. Secara harfiah, psikologi itu
diartikan ilmu jiwa.1

Dalam pandangan tradisional, psikologi merupakan disiplin ilmu yang diorientasikan untuk
mengkaji seluk-beluk stimulus , respons, dan proses berpikir yang mendasari lahirnya stimulus atau
respons. Dalam pandangan modern, psikologi merupakan disiplin ilmu yang diorientasikan untuk
mengkaji proses berpikir manusia dan segala bentuk manifestasinya yang mengatur perilaku manusia
secara umum. Berbeda dengan psikologi, linguistik merupakan disiplin ilmu yang diorientasikan untuk
mengkaji seluk-beluk bahasa dari segi sejarah, struktur, kaidah, penerapan, dan perkembangannya.2

Psikolinguistik merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis yang terjadi apabila
seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya waktu berkomunikasi dan
bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia.3

Psikolinguistik adalah telaah tentang hubungan atara kebutuhan-kebutuhan kita untuk


berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita
pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu
dengan yang lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan.4

Psikolinguistik berarti importasi ilmu linguistik ke dalam psikologi, dan bukan sebaliknya
importasi ilmu psikologi ke dalam linguistik. Psikologi mengambil/menerima dari linguistik karena
linguistik merupakan bidang yang lebih “maju”, dalam arti “lebih dekat kepada kebenaran pokok
persoalannya” atau “dengan prestasi-prestasi yang lebih praktis bagi kreditnya”, atau lebih sederhana
“lebih bersifat teknis”. Luinguistik seakan-akan harus lebih dekat kebenarannya daripada psikologi,
karena para linguis sebagai suatu kelompok membuat suatu impresi atau kesan atau pengaruh monolitis
yang lebih kompak, lebih rapih; mereka lebih dekat daripada kita kepada persesuaian mengenai masalah,
metode, serta percakapan masalah mereka.5

Proses berpikir dan bahasa merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keduanya berkaitan. Dalam
berpikir, orang menggunakan sistem bahasa sebagai instumen untuk (1) mengidentifikasi apa yang

1 Eko Kuntaro, Memahami Konsepsi Psikolinguistik, (Jambi: Universitas Jambi, 2017), hlm. 2
2 Suhartono dan Syamsul Sodiq, Psikolinguistik, (Banten: Universitas Terbuka, 2016), hlm. 1.4.
3 Adam A. Harras dan Andika Dutha Bachari, Dasar-dasar Psikolinguistik, (Bandung: Upi press, 2009), hlm. 1
4 Muh. Busro. Kajian dalam Psikolinguistik; Perangkat Penelitian, Strategi, dan Penggunaan Metode Penelitian.
Jurnal Al-hikmah, hal. 2

5 Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik, (Bandung: Angkasa Bandung, 1986), hlm. 1.


3
dipikirkan, (2) mengurutkan butir-butir pokok pikiran, dan (3) mengembangkan pikiran. Tanpa adanya
sistem bahasa, proses berpikir tidak dapat direalisasikan. Kebalikannya, dalam berbahasa orang perlu
berpikir. Tanpa berpikir, bahasa yang dihasilkan akan kacau dan sulit dipahami. Hal yang demikian
pada umumnya dihindari karena menimbulkan banyak masalah sosial, misalnya salah paham dan
konflik interpersonal yang dapat menjurus pada pertikaian, perpecahan, dan sebagainya. 6

Dari gambaran di atas, orang memberikan definisi yang berbeda-beda meskipun pada esensinya
sama. Aitchison (1998: 1) mendefinisikannya sebagai suatu “studi tentang bahasa dan minda”. Harley
(2001: 1) menyebutnya sebagai suatu “studi tentang proses-proses mental dalam pemakaian bahasa”.
Sementara itu, Clark dan Clark (1997: 4) menyatakan bahwa psikologi bahasa berkaitan dengan tiga hal
utama: komprehensi, produksi, dan pemerolehan bahasa.7

Selanjutnya menurut Robert Lado, seorang ahli dalam bidang pengajaran bahasa mengatakan
bahwa “psikolinguistik adalah pendekatan gabungan melalui psikolongi dan linguistik bagi telaah atau
studi pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perobahan bahasa, dan hal-hal yang ada kaitannya
dengan itu yang tidak begitu mudah dicapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut
secara terpisah atau sendiri-sendiri” (Lado, 1976: 220). Emmon Bach dengan singkat dan tegas
mengutarakan bahwa “psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenernya para
pembicara/pemakai sesuatu bahasa membentuk/membangun atau mengerti kalimat-kalimat bahasa
tersebut” (Bach, 1964: 64). Menurut Ronald W. Langacker “psikolinguistik adalah studi atau telaah
mengenai behavior atau perilaku linguistik yaitu performansi atau perbuatan dan perlengkapan atau
aparan psikologis yang bertanggung jawab atasnya” (Langacker. 1968: 6). John Lions berpendapat
bahwa “psikolinguistik adalah telaah mengenai produksi (sintesis) dan rekognisi (analisis)” (Lyons,
1968: 160). Menurut Lila R. Gleitman mengemukakan bahwa “psikolinguistik adalan telaah mengenai
perkembangan bahasa pada anak-anak; suatu introduksi teori linguistik ke dalam masalah-masalah
psikologis” (Palmatier, 1972: 140).8

Di samping pendapat-pendapat tersebut, masih banyak pendapat yang lain. Chaer (2003),
misalnya menyatakan bahwa psikolinguistik merupakan disiplin ilmu yang diorientasikan untuk
menerapkan hakikat pemerolehan, dan penggunaan struktur bahasa dan menerapkan pengetahuan
linguistik, psikologi, dan masalah sosial yang lain yang berkaitan dengan bahasa. 9

6 Suhartono dan Syamsul Sodiq, Psikolinguistik, (Banten: Universitas Terbuka, 2016),, hlm. 1.5.
7 Soejono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2012), hlm. 7.
8 Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik, (Bandung: Angkasa Bandung, 1986), hlm. 3.
9 Suhartono dan Syamsul Sodiq, OP.cit, 2016, hlm. 1.7-1.8.
4
Demikianlah, kita telah mengemukakan beberapa penjelasan atau batasan psikolinguistik. Dari
sejumlah penjelasan tersebut terdapat persamaan dan juga perbedaan; tetapi yang jelas dan nyata ialah
bahwa dalam psikolinguistik terdapat kemajuan dan perkembangan yang menggembirakan hati.10

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik merupakan disiplin


ilmu kombinasi antara psikologi dan linguistik yang diorientasikan untuk mengkaji proses psikologis
yang terjadi pada orang yang berbahasa. Simpulan tersebut mengisyaratkan beberapa hal. Pertama,
psikolinguistik merupakan bidang studi yang tidak dapat eksis tanpa dukungan psikologi dan linguistik.
Kedua, fokus kajian psikolinguistik bukan aspek kebahasaan, melainkan peroses psikologis atau proses
mental yang berkaitan dengan kegiatan berbahasa. Ketiga, sekalipun tidak menjadi fokus kajian, posisi
kegiatan berbahasa dalam kajian psikolinguistik strategis karena menjadi prasyarat layak atau tidaknya
proses psikologi dikaji dalam psikolinguistik. Proses psikolologis seseorang memenuhi kelayakan untuk
dikaji dalam psikolinguistik jika terjadi dalam kegiatan berbahasa. Kebalikannya, proses psikologis
seseorang tidak memenuhi kelayakan untuk dikaji dalam psikolinguistik jika terjadi di luar kegiatan
berbahasa.

Istilah psikolinguistik sebenarnya bukanlah istilah yang kali pertama digunakan untuk menyebut
disiplin ilmu kombinasi ini. Pada awalnya, istilah yang digunakan adalah linguistic psychology
(psikologi linguistik) atau psychology of language (psikologi bahasa). Kedua istilah terakhir kemudian
diganti dengan psikolinguistik karena dinilai lebih tepat untuk menggambarkan kemandirian dan objek
kajian yang spesifik, yakni proses psikologi yang terjadi pada orang yang berbahasa. 11

Ada satu hal yang juga penting untuk ditegaskan, yakni bahwa psikolinguistik merupakan
disiplin ilmu yang usianya masih muda jika dibandingkan dengan disiplin-disiplin ilmu yang telah
mapan, seperti linguistik, psikolopgi, dan filsafat. Sekalipun sudah diakui sebagai disiplin ilmu yang
mandiri hingga sekarangpun masih saja menjadi bahan diskusi apakah keberadaanya menjadi bagian
psikologi atau psikolinguistik. Satu pihak berpandangan bahwa psikolinguistik merupakan cabang atau
subdisiplin psikologi karena nama psikolinguistik digunakan untuk menggantikan nama lama suatu
subdisiplin dalam psikologi, yaitu psikologi bahasa. Pihak yang lain berpandangan bahwa
psikolinguistik merupakan subdisiplin linguistik karena bahasa dan aspek-aspeknya menjadi objek
utama kajian pakar linguistik dan psikolinguistik.

Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pada mulanya psikolinguistik merupakan
subdisiplin psikologi sekaligus subdisiplin linguistik. Hal itu didasari pemikiran bahwa pada awalnya
sebagian hal yang dikaji dalam psikolinguistik diambilkan dari kajian psikologi dan sebagian yang lain

10 Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik, (Bandung: Angkasa Bandung, 1986),, hlm. 4.


11 Suhartono dan Syamsul Sodiq, Psikolinguistik, (Banten: Universitas Terbuka, 2016), hlm. 1.8

5
diambilkan dari linguistik. Namun, kini telah menjadi fakta bahwa psikolinguistik merupakan disiplin
ilmu yang mandiri, bukan subdisiplin psikologi dan juga bukan subdisiplin linguistik.12

Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama: (a) komprehensi, yakni, proses-
proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang
da memahami apa yang dimaksud, (b) produksi, yakni, proses-proses mental pada diri kita yang
membuat kita dapat berujar seperti yang kita ujarkan, (c) landasan biologis serta neurologis yang
membuat manusia bisa berbahasa, dan (d) pemerolehan bahasa.13

2.2 Subdisiplin Ilmu dalam Psikolinguistik

Disiplin psikolinguistik telah berkembang begitu pesat sehingga melahirkan beberapa


subdisiplin baru untuk memusatkan perhatian pada bidang-bidang khusus tertentu yang memerlukan
penelitian yang saksama. Subdisiplin psikolinguistik tampak seperti pada skema berikut ini.

Psikolinguistik

• Psikolinguistik Teoretis

• Psikolinguistik Perkembangan

• Psikolinguistik Sosial

• Psikolinguistik Pendidikan

• Neuropsikolinguistik

• Psikolinguistik Eksperimental

• Psikolinguistik Terapan

1. Psikolinguistik Teoretis (Theorethycal Psycholinguistic) Psikolinguistik teoretis mengkaji tentang


hal-hal yang berkaitan dengan teori bahasa, misalnya tentang hakikat bahasa, ciri bahasa manusia, teori
kompetensi dan performansi (Chomsky) atau teori langue dan parole (Saussure), dan sebagainya.

2. Psikolinguistik Perkembangan (Development Psycholinguistic) Psikolinguistik perkembangan


berbicara tentang pemerolehan bahasa, misalnya berbicara tentang teori pemerolehan bahasa, baik
pemerolehan bahasa pertama maupun bahasa kedua, peranti pemerolehan bahasa (language acquisition
device), periode kritis pernerolehan bahasa, dan sebagainya.

12 Suhartono dan Syamsul Sodiq, Psikolinguistik, (Banten: Universitas Terbuka, 2016, hlm. 1.10-1.11.
13 Soejono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2012), hlm. 7.
6
3. Psikolinguistik Sosial (Social Psycholinguistic) Psikolinguistik sosial sering juga disebut sebagai
psikososiolinguistik berbicara tentang aspek-aspek sosial bahasa, misalnya, sikap bahasa, akulturasi
budaya, kejut budaya, jarak sosial, periode kritis budaya, pajanan bahasa, pendidikan, lama pendidikan,
dan sebagainya.

4. Psikolinguistik Pendidikan (Educational Psycholinguistic)Psikolinguistik pendidikan berbicara


tentang aspek-aspek pendidikan secara umum di sekolah, terutama mengenai peranan bahasa dalam
pengajaran bahasa pada umumnya, khususnya dalam pengajaran membaca, kemampuan berkomunikasi,
kemampuan berpidato, dan pengetahuan mengenai peningkatan berbahasa dalam memperbaiki proses
penyampaian buah pikiran.

5. Neuropsikolinguistik (Neuropsycholinguistics) Neuropsikolinguistik berbicara tentang hubungan


bahasa dengan otak manusia. Misalnya, otak sebelah manakah yang berkaitan dengan kemampuan
berbahasa? Saraf-saraf apa yang rusak apabila seserorang terkena afasia broca dan saraf manakah yang
rusak apabila terkena afasia wernicke? Apakah bahasa itu memang dilateralisasikan? Kapan terjadi
lateralisasi? Apakah periode kritis itu memang berkaitan dengan kelenturan saraf-saraf otak?

6. Psikolinguistik Eksperimental (Experimental Psycholinguistic)Psikolinguistik eksperimental


berbicara tentang eksperimen-eksperimen dalam semua bidang yang melibatkan bahasa dan prilaku
berbahasa.

7. Psikolinguistik Terapan (Applied Psycholinguistic) Psikolinguistik terapan berbicara tentang


penerapan temuan-temuan keenam subdisiplin psikolinguistik di atas ke dalam bidang-bidang tertentu,
seperti psikologi, linguistik, berbicara dan menyimak, pendidikan, pengajaran dan pembelajaran bahasa,
pengajaran membaca, neurologi, psikiatri, komunikasi, kesusastraan, dan lain-lain.14

2.3 Konsep pemerolehan bahasa

Sebelum kita membahas bagaimana konsep pemerolehan bahasa alangkah baiknya kita
membahas tentang apa itu bahasa. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan
oleh para anggota kelompok social untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.15

Keunikan manusia bukan pada kemampuannya berpikir, melainkan pada kemampuannya


berbahasa. Manusia adalah makhluk yang mempergunakan simbol, termasuk dalam berpikir. Simbol
dalam berpikir adalah bahasa. Beragam ahli mempelajari apa bahasa dan bagaimana manusia berbahasa.
Sebagian dari jajaran ahli itu adalah ahli psikologi dan linguistik. Kesejajaran antara psikologi dan

14 Adam A. Harras dan Andika Dutha Bachari, Dasar-dasar Psikolinguistik, (Bandung: Upi press, 2009), hlm. 5-7
15 Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta (Jakarta: Pt Rineka Cipta, 2014), hal. 32
7
lingiuistik sesungguhnya tidak mengherankan benar karena keduanya memiliki objek ontologi yang
sama, yaitu perilaku manusia.16

Berbicara mengenai teori penggunaan bahasa, maka ada baiknya kita menyinggung dua jenis
strategi, yaitu strategi si pembicara dan strategi pendengar serta saling pengaruh antar keduanya. Apa
yang sebenarnya dilakukan oleh sang pembicara dalam merumuskan serta mengucapkan sebuah
kalimat, secara kasar dapar dilukiskan sebagai berikut: pikiran, pendapat, ide, umumnya bakal pesan,
disesuaikan dengan struktur-struktur semantik yang diizinkan oleh tata bahasa, bentuk-bentuk sintaksis
dan fonologi yang tepat atau sesuai dengan struktur semantik tadi disaring: akhirnya alat-alat bicara
diatur oleh syaraf sesuai dengan pola-pola fonologi kalimat, dan gelombang bunyi pun dihasilkan.
Strategi si pembicara dapat dianggap sebagai suatu mekanisme yang mempunyai bakal pikirin sebagai
inputnya dan tanda akustik sebagai outputnya.17

Proses yang terjadi ketika anak memperoleh bahasa ibunya itu meliputi dua aspek:
performansi dan kompetensi. Performansi merupakan pelaksanaan kemampuan bahasa secara nyata
(aktual) berupa ujaran yang dihasilkan bahasawan seperti berbicara, menyimak, membaca, dan menulis.
Kompetensi merupakan pengetahuan tentang bahasa yang bersifat abstak dan tidak sadar.18

Meskipun dengan landasan filosofis yang mungkin berbeda-beda, pada umumnya kebanyakan
ahli kini berpandangan bahwa anak di manapun juga memperoleh bahasa ibunya dengan memakai
strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama
tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal
kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak
secara mental mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak
sebagaientitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet,
itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti
apa ditentukan oleh input dari sekitarnya.19

Pemerolehan bahasa anak berarti proses anak mulai mengenal komuni-kasi dengan
ligkungannya secara verbal. Anak-anak (0-7 tahun) berbahasa sebagai pranata sosial dan sistem
lambang komunikasi. Halliday (1975) menyebutkan 7 fungsi bahasa yakni fungsi (1) instrumental, (2)
regulasi, (3) interaksional, (4) personal, (5) heiristik, (6) representasional, dan (7) imajinatif.Wood
(1981) menggambarkan fungsi bahasa dengan fase pemerolehan bahasa sebagai berikut.

16 Suhartono dan Syamsul Sodiq, Psikolinguistik, (Banten: Universitas Terbuka, 2016), hlm. 4.3.
17 Henry Guntur Tarigan, Psikolinguistik, (Bandung: Angkasa Bandung, 1986), hal. 13.
18 Eko Kurniawanto. Memahami Konsepsi Psikolinguistik, (Jambi: Universitas Jambi, 2017), hlm. 21
19 Soejono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2012), hlm. 243.
8
(1) Fase I (9-16 bulan): bunyi dan makna dengan fungsi bahasa regulasi, instrumental, interaksional,
heuristik, personal, dan imajinatif.

(2) Fase II (16-24 bulan): tata bahasa dan dialog dengan fungsi bahasa pragmatik dan matetik.

(3) Fase III (24 bulan - …): teks dengan fungsi bahasa interpersonal dan ideasional.

Penfield & Robets berpendapat bahwa secara neurologis anak usia 2-12 tahun memiliki
kemampuan terbatas untuk berbahasa. masa ini merupakan masa pemerolehan bahasa secara khusus
karena otak platis bahasa anak berkembang. Masa ini oleh Lenneberg (1969) disebut masa kritis karena
anak yang tidak mengalami proses sosial berbahasa sampai dengan usia lewat masa kritis akan
mengalami kesulitan dan keterlambatan berbahasa. Lenneberg membagi masa kritis berbahasa sebagai
berikut.20

Tabel

PERKEMBANGAN PROSES BERBAHASA

Usia Proses Berbahasa

0 - - 3 bulan Mendengkur

4 – 20 bulan Proses meraban sampai kata tunggal

21-36 bulan Proses pemerolehan bahasa

03-10 Pemurnian tata bahasa dan

11-14 tahun Pemunculan intonasi asing

Seseorang akan memiliki kemampuan seperti penutur asli suatu bahasa apabila pada masa
lateralisasi diekspos dengan input yang mendukung. Misalnya suasana dalam lingkungan keluarga yang
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris dalam kesehariannya.Lenneberg dalam Fauziati,
mengemukakan bahwa terdapat periode kritis (critical period/golden age period) dimana proses
pemerolehan bahasa terjadi secara alami, dan ini terjadi semenjak masih bayi sampai memasuki periode
pubertas. Lebih jauh lagi Taylor dalam Fauziatin, menguatkan bahwa bahasa diperoleh lebih cepat pada
masa kritis ini di mana:

a. Seorang anak normal memperoleh bahasa tidak melalui proses formal (pendidikan) tetapi melalui
kegitan atau aktivitas informal dan feedback (timbal balik.

20 Eko Kurniawanto, OP.cit., 2017, hlm. 23-24


9
b. Seorang anak yang hidup di suatu lingkungan dengan 2 atau 3 bahasa selama periode ini akan
menyerap semua bahasa tersebut sama baiknya dengan anak-anak lainnya yang seumuran yang
dihadapkan pada satu bahasa saja.Selain itu, pada masa Lateralisasi juga terdapat Silent Period, dimana
seorang anak yang masih berumur di bawah 5 tahun akan mengalami fase diam. Dalam fase diam ini,
dia akan menjadi diam, tetapi kediaman si anak ini bukan karena dia tidak mendapat input dari
lingkungan atau tidak mengerti akan bentuk pertanyaan dan ujaran dari orang-orang disekitarnya. Tetapi
si anak ini, terus menerima informasi-informasi hingga mencapai suatu masa dimana perkembangan
otaknya telah matang dan Silent Period ini berakhir dan si anak tersebut mampu menggunakan bahasa
untuk berkomunikasi layaknya orang dewasa. Orang tua yang memiliki anak dan sedang menjalani
periode ini disarankan untuk memberikan input yang sebaik-baiknya kepada si anak, karena setiap kata
yang di dengar oleh si anak akan langsung terserap olehnya.21

Ada cerita yang menarik sehubungan dengan hakikat bahasa itu. Anda tertarik untuk
mengetahuinya? Baiklah, ceriteranya sebagai berikut. Lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Raja Mesir,
Psammetichus, mempunyai teori bahwa apabila seorang anak dipisahkan dari lingkungan bahasa
manusia, kata pertama yang akan diucapkannya adalah kata yang berasal dari bahasa makhluk yang
tertua di dunia. la berharap makhluk yang tertua itu ialah orang Mesir. Psammetichus memerintahkan
untuk membawa dua orang anak Mesir yang baru saja dilahirkan ke tempat pengasingan. Ketika
kemudian anak itu mengucapkan kata bekos, kecemasan Psammetichus terwujud karena kata itu adalah
kata Phrygian yang berarti ‘roti’. la akhirnya menyimpulkan bahwa bahasa Phrygian lebih kuno daripada
bahasa Mesir.

Tak ada seorang pun yang mengakui teori Psammetichus itu. Sekarang, khususnya karena ada
kenyataan bahwa apabila anak itu dipisahkan secara total dari tuturan manusia maka anak itu sama sekali
tidak akan mampu berbahasa. Kisah termasyhur tentang si anak Perancis, Victor dari Aveyron, yang
ditemukan telanjang bulat sedang makan akar pohon di hutan Caune pada tahun 1797, tidak berbicara
bahasa Phrygian atau bahasa yang lain. la hanya mengeram seperti binatang. Ceritera lain tentang
makhluk semacam itu, misalnya, Mowgli di India yang dipelihara serigala, dan juga Lucan yang filmnya
cukup digemari, yang sejak kecil konon dipelihara juga oleh serigala.22

2.4 Konsep Ujaran

Sebelum kita memahami apa itu ujuran, mari kita bahas mekanisme ujuran itu sendiri. Sumber
dari bunyi adalah paru-paru. Paru-paru kita berkembang dan berkempis untuk menyedot dan
mengeluarkan udara. Melalui saluran di tenggorokan, udara ini keluar melalui mulut dan hidung. Dalam

21 Muh. Busro. Kajian dalam Psikolinguistik; Perangkat Penelitian, Strategi, dan Penggunaan Metode
Penelitian. Jurnal Al-hikmah, hal. 4
22 Adam A. Harras dan Andika Dutha Bachari, Dasar-dasar Psikolinguistik, (Bandung: Upi press, 2009), hlm. 35
10
perjalanan melewati mulut atau hidung ini ada kalanya udara itu dibendung oleh salah satu bagian dari
mulut kita sebelum kemudian dilepaskan hasil bendungan inilah yang menghasilakn bunyi. 23

Dalam hubungan ujaran terhadap psikolinguitik adalah bagaimana keadaan mental seseorang
dalam memahami ujaran tersebut. Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan
oleh manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang
jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Perhatikan tiga ujaran berikut: (a) Bukan angka, (b) Buka
nangka, dan (c) Bukan nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam
pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama [bukanaNka].24

2.5 Konsep Nature dan Nurture

1. Nature

Secara etimologi nature diartikan sebagai karakteristik yang melekat atau keadaan bawaan pada
seseorang atau sesuatu, diartikan juga sebagai kondisi alami atau sifat dasar manusia. Dalam kajian
gender, nature diartikan sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat antar
gender tidak lepas dan bahkan ditentukan oleh perbedaan biologis (seks). Disebut sebagai teori nature
karena menyatakan bahwa perbedaan lelaki dan wanita adalah natural dan dari perbedaan alami tersebut
timbul perbedaan bawaan berupa atribut maskulin dan feminim yang melekat padanya secara alami.
Jadi, seharusnya dalam menyikapi perbedaan yang ada bukan dengan menghilangkannya, melainkan
dengan menghapus diskriminasi dan mencipatakan hubungan yang serasi.

Teori nature akrab dengan ilmuwan klasik dan religius. Terkadang teori ini juga dikaitkan dengan
Rousseau, Kant, dan Hegel, namun yang dianggap sebagai peletak dasar teori ini secara ilmiah adalah
Charles Darwin dan didukung oleh Teori Hereditas Gregor Mendel. Dalam kajian gender, teori ini
dipopulerkan oleh Carol Gilligan dan Alice Rossi yang pada akhirnya membelokkan diskursus
feminisme ke arah biological essentialism pasca tahun 1980-an yang ditandai dengan penerimaan
kembali konsep perbedaan peran gender. Dibarengi dengan konsep ekofeminisme, argumentasi ini
mampu membawa konsep nature menjadi lebih dominan. Para penggagas teori ini bertujuan untuk
menciptakan keharmonisan sosial, kesetaraan yang adil dalam keragaman.25

2. Nurture

23 Soejono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2012), hlm. 32
24 Soejono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2012), hlm. 49.
25 Moh. Khuza’i, “Problem Definisi Gender: Kajian atas Konsep Nature dan Nurture”, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam, hlm. 6.
11
Secara etimologi nurture berarti kegiatan perawatan/pemeliharaan, pelatihan, serta akumulasi dari
faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kebiasaan dan ciri-ciri yang nampak. Terminologi kajian
gender memaknainya sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat maskulin dan
feminim bukan ditentukan oleh perbedaan biologis, melainkan konstruk sosial dan pengaruh faktor
budaya.

Dinamakan nurture karena faktor-faktor sosial dan budaya menciptakan atribut gender serta
membentuk stereotip dari jenis kelamin tertentu, hal tersebut terjadi selama masa pengasuhan orang tua
atau masyarakat dan terulang secara turun-temurun. Karena adanya faktor budaya di dalamnya, argumen
ini seringkali juga disebut sebagai konsep culture. Tradisi yang terus berulang kemudian membentuk
kesan di masyarakat bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang alami. Perbedaan konstruk sosial
dalam masyarakat mengakibatkan relatifitas tolok ukur atribut maskulin dan feminim antar budaya. Sifat
tertentu yang dilekatkan pada suatu gender di suatu komunitas belum tentu sama dengan yang lainnya.26

Dari sini feminis dan pegiat gender mulai membedakan gender dengan seks dan menyimpulkan
bahwa gender–dengan definisi barunya– adalah sesuatu yang bisa berubah dan dipertukarkan antar jenis
kelamin. Perubahan dan pertukaran tersebut menjadi mungkin karena perbedaan tempat, waktu, tingkat
pendidikan, kondisi fisik, orientasi seksual, dan lain sebagainya. Definisi baru tersebut juga menjurus
pada dekonstruksi norma dan tatanan yang ada. Peraturan, kebiasaan, penilaian, dan perlakuan yang di
dalamnya terdapat perbedaan dan pembedaan antara lelaki dan perempuan mulai dikaji ulang dengan
sudut pandang feminisme dan kesetaraan gender, dari sinilah muncul istilah-istilah semacam
ketimpangan gender, bias gender, hegemoni patriarki, sexisme, dan misogini.

Jadi, menurut mereka kesetaran secara kuantitatif dan menyeluruh tanpa memandang jenis kelamin
adalah satu-satunya solusi dari perbedaan yang terjadi. Perkembangan konsep ini tidak lepas dari peran
tokoh-tokoh pengusungnya. Di antaranya adalah Margaret Mead, Virginia Woolf, Simone de Beauvoir,
Sigmund Freud, Hilary M. Lips, Ann Oakley, Nancy Chodorow, Judith Butler, dan lain-lain. Berbeda
dengan teori nature yang kebanyakan tokohnya adalah ilmuwan yang agamis, teori nurture diusung
oleh pakar ilmu-ilmu humaniora yang cenderung humanis dan dekonstruktifis.

Perbedaan metodologi yang digunakan dan juga cara pandang antar tokoh dalam kedua konsep ini
menyebabkan perdebatan antara nature dan nurture belum menemukan titik temu dan belum dapat
diketahui yang mana pemenangnya. Perdebatan antara dua konsep ini memiliki pengaruh dominan
dalam mewarnai pergerakan feminisme, begitu pula perbedaan dalam memaknai term gender. Keduanya
sudah berlangsung kurang lebih selama 50 tahun. Penganut konsep nurture yang didominasi feminis
liberal dan sosialis mengklaim bahwa perkembangan teknologi kelak justru akan mampu membuktikan

26 Moh. Khuza’i, “Problem Definisi Gender: Kajian atas Konsep Nature dan Nurture”, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam, hlm. 7-8.
12
bahwa faktor biologis tidak memiliki peran dalam pembentukan karakteristik manusia serta
menghilangkan batas-batas gender dan jenis kelamin.

Klaim berbeda diungkapkan penganut konsep nature, menurut mereka feminis penganut nurture
justru merendahkan, merugikan, serta melenceng dari tujuan awal feminisme dan kelak akan
ditinggalkan oleh perempuan. Namun ada poin yang menarik dari tiga belas agenda manifesto [feminis]
gelombang ketiga, salah satunya mengakui bahwa meskipun ada kemungkinan feminis berseberangan
pendapat, namun kesemuanya berbagi tujuan yang sama yakni kesetaraan, dan saling mendukung
sesama dalam usaha memperoleh kekuatan untuk menciptakan pilihan. Jadi, seharusnya kedua konsep
ini tetap harus dikaji lebih mendalam, bukan secara serta-merta diterima.27

3. Kontroversi nature dan nurture

Manusia di manapun juga pasti akan dapat menguasai atau lebih tepatnya memperoleh bahasa,
asalkan dia tumbuh dalam suatu masyarakat. Proses pemerolehan ini merupakan ini merupakan suatu
hal yan kontroversial di antara para ahli bahasa. Mereka mempermasalkahkan apakah pemerolehan itu
besifat nurture atau nature. Mereka yang menganut aliran behaviorisme mengatakan bahwa
pemerolehan bahasa itu bersifat nurture, yakni pemerolehan itu ditentukan oleh alam lingkungan.
Menurut aliran ini, manusia dilahirkan dengan satu tabula rasa, yakni semacam piring kosong tanpa
apapun. Piring ini kemudian diisi oelh alam sekitar kita, termasuk bahasanya. Jadi, pengetahuan apapun
yang kemudian diperoleh oleh manusia itu semata-mata berasal dari lingkungannya.

Pelopor modern dalam pandangan ini adalah seorang psikolog dari universitas Harvard, Skinner.
Dalam Verbal Behavior, (1957) karya yang monumental dan sangat berpengaruh itu, dia meneliti
bagaimana seekor tikus akhirnya dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Proses yang dinamakan operant

27 Moh. Khuza’i, “Problem Definisi Gender: Kajian atas Konsep Nature dan Nurture”, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam, hlm. 11.
13
conditioning ini melatih tikus untuk memperoleh makanan dengan menekan suatu pedal. Berkali-
berkali hal ini dilakukan sehingga akhirnya tikus tadi tahu dari kebiasaan bahwa kalau dia ingin makan,
dia harus menekan pedal itu. Setelah tikus tadi menguasai cara ini, ditambahkanlah cara lain. Kali ini,
dinyalakanlah lampu. Tikus hanya akan memperoleh makanan bila pedal itu diinjak sementara
lampunya berkedip-kedip. Akhirnya tikus itu pun dapat memahaminya dan hanya menginjak pedal saat
lampu berkedip-kedip. Kemudian prosesnya dipersukar lagi: tikus hanya akan memperoleh makanan
bila dia menekan dua kali sementara lampu berkedip. Tikus pun dapat memenuhi persyaratan ini setelah
melalui proses coba-dan-keliru (trial and error).

Dari eksperimen ini Skinner menyimpulkan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk


pengetahuan pemakaian bahasa, didasarkan pada adanya stimulus, kemudian diikuti oleh respon. Bila
respon itu benar maka diberi hadiah; bila salah dihukum. Dari proses pengulangan seperti ini akan
muncullah kebiasaan. Bahsa, menurut Skinner, tidak lain hanyalah merupakan seperangkat kebiasaan.
Kebiasaan hanya bisa diperoleh melalui latihan yang bertubi-tubi. 28

Pada tahun 1959 Chomsky menulis resensi yang secara tajam menyerang teori Skinner. Pada
dasarnya Chomsky berpandangan bahwa pemerolehan bahasa itu bukan didasarkan pada nurture tetapi
pada natur. Anak memperoleh kemampuan untuk berbahasa seperti dia memperoleh kemmapuan untuk
berdiri dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai piring kosong, tabula rasa, tetapi dia telah dibekali
dengan sebuah alat yang dinamakan Piranti Pemerolehan Bahasa. Piranti ini bersifat universal, artinya
anak mana pun memiliki piranti ini. Ini terbukti dengan adanya kesamaan antara anak satu dengan anak
yang lain dalam proses pemerolehan bahasa mereka; di mana pun juga anak melewati seperangkat
proses yang sama dalam menguasai bahasa mereka masing-masing. Nurture, yakni masukan yang
berupa bahasa hanya akan menentukan bahasa mana yang akan diperoleh anak, tetapi prosesnya itu
sendiri bersifat kodrati (innate) dan inner-directed. Kata Chomsky (1999: 41): “language learning is
not something that the child does; its is something that happens to the child placed in the appropiate
environment, much as the child’s body grows and matures in a predetermined way when provided with
appropriate nutrition and enviromental stimuli.”

Chomsky menganggap Skinner keliru dalam kodrat bahasa. Bahasa bukan suatu kebiasaan akan
tetapi suatu sistem yang diatur oleh seperangkat peraturan (rule-governed). Bahasa juga kreatif dan
memiliki ketergantungan struktur. Kedua kodrat bahasa ini hanya dapat dimiliki oleh manusia. Karena
itu, menyamakan manusia dengan tikus dalam memperoleh pengetahuan (knowledge), khususnya dalam
pengetahuan bahasa (knowledge of language), adalah cara yang terlalu menyederhanakan fakta.

28 Soejono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2012), hlm. 234-236.
14
Kontroversi antara nature dan nurture ini masih berlanjut, meskipun sebagian besar linguis kini
percaya bahwa pandangan Chomskylah yang tampaknya mendekati kebenaran. Namun demikian, faktor
nurture juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Karya fiksi Edgar Rice Burough, Tarzan,
sebenarnya merupakan bukti khayalan akan adanya interaksi antara nurture dengan nature. Meskipun
anak manusia, Tarzan akhirnya menjadi makhluk yang tidak dapat berbahasa karena dia hidup di
lingkungan gorila dan binatang lain yang mengasuh dan membesarkannya.

Pada tahun 1800 di Desa Saint-Sermin, daerah Aveyron, Perancis, ditemukan anak lelaki berumur
11-12 tahun yang sering menyusup desa dari hutan di sekitarnya untuk mencari makan. Waktu
tertangkap dan kemudian dipelihara dan dididik oleh Direktur Institute Orang Tuli, Dr. Sicard, “Wild
Boy of Aveyron” ini ternyata gagal untuk berbicara seperti manusia pada umumnya. Pelimpahan
pendidikan ke ahli lain, Jean-Marc-Gaspard Itard, yang kemudian memberikan nama Victor kepada
anak ini, memang mengubah pola laku kehidupan dia tetapi tetap saja dia tidak dapat berbahasa.

Peristiwa yang menggambarkan nurture vs nature juga terdapat pada anak perempuan di Los
Angeles, California, yang sebagai objek penelitian kemudian dinamakan Ginie (Curtiss 1977). Ginie
yang ditemukan tahun 1970, disekap oleh orang tuanya dalam kamar yang kecil di gudang belakang
rumah selama 13 tahun. Dia diberi makan tetapi tidak pernah diajak bicara. Ayahnya yang benci anak
dan suara anak, sering menyiksanya sementara ibunya tidak berani berbuat apapun. Setekah ditemukan
dan kemudian dilatih, Ginie tetap saja tidak dapat berbahasa seperti manusia lainnya.

Sebaliknya, kasus Isabelle – seorang anak umur 6,5 tahun yang diasuh oleh ibunya yang bisu di
Ohio, Columbus, Amerika – menunjukkan hasil yang agak berbeda. Karena umurnya yang masih muda,
Isabelle, yang kemudian diasuh secara normal oleh Marie Mason di hospital yang dipimpinnya akhirnya
dapat memakai bahasa seperti kebanyakan anak lainnya. (Steinberg, dkk 2001: 127-135).29

Dari gambaran di atas tampak bahwa baik nature maupun nurture diperlukan untuk pemerolehan
bahasa. Nature diperlukan karena tanpa bekal kodrati makhluk tidak mungkin dapat berbahasa. Nurture
juga diperlukan karena tanpa adanya input dari alam sekitar bekal yang kodrati itu tidak akan terwujud.30

29 Soejono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2012), hlm. 236.
30 Soejono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2012), hlm. 237.
15
3.1. Kesimpulan

Psikolinguistik merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis yang terjadi


apabila seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya waktu
berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia. Hal-hal yang dikaji
dalam psikolinguistik meliputi: psikolinguistik teoretis (teori bahasa), psikolinguistik
perkembangan (teori pemerolehan bahasa), psikolinguistik sosial (aspek sosial), psikolinguistik
pendidikan (aspek pendidikan), neuro psikolinguistik (aspek syaraf pada otak), psikolinguistik
eksperimental (aspek eksperimen), dan psikolinguistik terapan (aspek penerapan keenam aspek
sebelumnya).

Seseorang memperoleh bahasa dari lingkungannya. seseorang akan memahami sebuah


ujaran dengan cara mereaksi stimulus dari orang lain secara memadai, misal seorang anak yang
lahir di Indonesia maka dia akan bias dan mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Ada istilah
bahasa ibu dan bahasa sang ibu, bahasa ibu adalah bahasa pertama yang ia pahami sedangkan
bahasa sang ibu adalah bahasa yang ia dapat dari ibunya.

Seseorang akan susah memahami ujaran seseorang ketika kata atau kalimat tersebut bunyi
pengucapannya sama dengan kata atau kalimat yang lain terkhusus untuk orang yang bukan
pengguna bahasa itu sendiri. Ada 2 konsep dalam psikolinguistik yang nature dan nurture. Nature
diartikan sebagai karakteristik yang melekat atau keadaan bawaan pada seseorang atau sesuatu,
diartikan juga sebagai kondisi alami atau sifat dasar manusia. Nurture berarti kegiatan
perawatan/pemeliharaan, pelatihan, serta akumulasi dari faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi kebiasaan dan ciri-ciri yang nampak.

4.1. DAFTAR PUSTAKA


A. Harras, Adam dan Andika. 2009. Dasar-dasar Psikolinguistik, Bandung: Upi press.
Chomsky, Noam. 2000. Cakrawala Baru Kajian Bahasa dan Pikiran. Tangerang: Logis Wacana
Ilmu.

Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta: Pt Rineka Cipta

Dardjowidjojo, Soejono. 2012. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia.

16
Kuntaro, Eko. 2017. Memahami Konsepsi Psikolinguistik, Jambi: Universitas Jambi.

Moh. Khuza’i. Problem Definisi Gender: Kajian atas Konsep Nature dan Nurture. Jurnal Kalimah.

Muh. Busro. 2016. Kajian dalam Psikolinguistik; Perangkat Penelitian, Strategi, dan Penggunaan
Metode Penelitian. Jurnal Al-hikmah

Suhartono dan Syamsul Sodiq. 2016. Psikolinguistik. Banten: Universitas Terbuka.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa Bandung.

17

Anda mungkin juga menyukai