Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH BAHASA ARAB

ADAD DAN MA’DUD

Dosen pengampu:

Nirwan Hamid, M.Pd

Disusun Oleh:

M. Hafizh Asa Wiguna (2051010383)


Fakhri Dani Al Farizi (2051010357)
Sulasi Imaniah (2051010364)
Karina Ismalia (2051010322

JURUSAN EKONOMI SYARI’AH

PROGRAM STUDY BAHASA ARAB

T.A 2020 - 2021

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa Arab adalah bahasa Islam, bahasa al-Qur’an, bahasa sunnah dan bahasa ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu mempelajari Bahasa Arab tujuannya adalh untuk dapat memahami
Al-Qur’an dan as-Sunnah serta kitab-kitab pengetahuan yang berbahasa Arab secara baik dan
benar.

Mempelajari Bahasa Arab tidaklah sama-sama seperti mempelajari bahas-bahasa lain


seperti bahas Indonesia, bahasa Inggris dan sebagainya. Berbagai macam ilmu-ilmu yang
dipelajari dalam Bahasa Arab. Akan tetapi yang menjadi dasarnya adalah diperlukan memahami
tata bahasa Arabnya dahulu, yaitu mampu menguasai Ilmu Nahwu dan Sharaf sehingga
memudahkan dalam mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya.

Dalam makalah yang singkat ini penulis mencoba untuk menjabarkan ‘Adad sebagai
salah satu objek kajian dalam Ilmu Bayan yang menjadi salah satu dari ketiga Ilmu Balagah atau
lebih dikenal Semantik Arab.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud dengan ‘Adad dan Ma,dud?

1.2.2 Apa saja kaidah-kaidah ‘Adad Ma’dud?

1.2.3 Apa fungsi ‘Adad Ma’dud dalam pencegahan lahn?

1.3 Tujuan Masalah

1.3.1 Untuk mengetahui pengertian ‘Adad dan Ma’dud.

1.3.2 Untuk mengetahui kaidah-kaidah ‘Adad Ma’dud.

1.3.3 Untuk mengetahui fungsi ‘Adad Ma’dud dalam pencegahan lahn.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian ‘Adad dan Ma’dud

Contoh : ‫ اشترى حامد فى الدكان خمسة اقالم و ثالث مسطرات‬, artinya : Hamid belanja 5 polpen dan
3 penggaris di toko. Kalimat tersebut mengandung ‘Adad ma’dud, yaitu : kata ‫ خمسة‬dan ‫ثالث‬
namanya : ‘Adad, sedangkan kata ‫ اقالم‬dan ‫ مسطرات‬namanya ma’dud. Jadi 'Adad adalah sesuatu
yang menunjukkan bilangan, satu, dua, tiga dan seterusnya. Sedangkan Ma'dud adalah yang
menunjukkan “sesuatu” yang terhitung. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Syauqi
Dhaoyf , bahwa 'Adad adalah setiap kata benda atau kata sifat yang menunjukkan jumlah
sesuatu, atau yang menunjukkan sebuah urutan.

2.2 Kaidah-Kaidah ‘Adad dan Ma’dud

Dalam pelajaran kaidah-kaidah 'Adad dan Ma'dud, biasanya 'Adad dibedakan kedalam
beberapa bagian , yaitu 'Adad idhafah, 'Adad murokkab, 'Adad ‘Ataf ma’thuf, dan 'Adad ‘uqud.
Adapun kaidah-kaidahnya sebagai berikut:

2.2.1 'Adad Idhafah

Yang dimaksud 'Adad idhafah adalah bilangan yang dimulai dari angka 3 (tiga) - 10
(sepuluh). Jika 'adad –'adad tersebut disambungkan atau dimudhafkan dengan suatu isim, maka
akan memiliki kaidah-kaidah tertentu, sebagai contohnya adalah sebagai berikut:
‫ ثالثة أقالم‬, ‫ثالثة رجال‬

‫ ثالث أيد‬, ‫ثالث نساء‬

Dari contoh pertama dan kedua tersebut bisa kita lihat, bahwa kedua 'Adad tersebut,
yakni kata ‫ ثالثة‬dan ‫ ثالث‬dibentuk dengan jenis yang berbeda, contoh yang pertama menggunakan
ta’ marbuthah ( mu’annast ),dan ma’dudnya berasal dari isim mudzakkar ( ‫ أقالم‬, ‫) رجال‬,
sedangkan contoh yang kedua tidak menggunakan ta’ marbuthah ( mudzakkar ), dan ma’dudnya
berasal dari isim mu’annats ( ), ‫ أيد‬, ‫نساء‬.

selain itu ma'dud kedua contoh tersebut dalam bentuk jama’ , dan dibaca jer . Maka dapat kita
simpulkan paling tidak ada tiga kaidah yang bisa kita ketahui, yaitu :

a) Antara 'adad dan ma'dud dalam 'adad idahafah selalu berlawanan dalam hal mudzakkar
dan mu’annats
b) Ma'dud dalam 'adad idhafah harus selalu dibentuk menjadi isim jama’ dan selalu dibaca
jer
c) Ketika melihat ma'dud apakah mudzakkar atau mu'annast , hendaklah dilihat ketika
mufradnya, contoh kata ‫ جنيهات‬bukanlah mu'annast, tapi kita anggap mudzakkar, sebab
mufradnya adalah ‫ جنيه‬, jadi bukan ‫ ثالث جنيهات‬tapi yang benar adalah . ‫ثالثة جنيهات‬
d) Sedangkan untuk bilangan 1 ( satu ) dan 2 ( dua ), selamanya harus sesuai dengan ma’dud
dalam hal mudzakkar dan mu’annats, contoh : ‫ إمراتان‬, ‫ رجالن اثنان‬, ‫ إمرأة واحدة‬, ‫رجل واحد‬
‫اثنتان‬. Jadi, untuk bilangan 1 (satu ) yakni ‫ واحد‬, mu'annastnya adalah ‫ واحدة‬, sedangkan
bilangan 2 ( dua ), yakni ‫ اثنان‬untuk mudzakkar dan ‫ اثنتان‬untuk mu'annats, dan keduanya
jika harus dibaca rafa’ , sedangkan jika dibaca nasab dan jer , ‫ ( اثنين‬untuk mudzakkar )
dan n‫ ( اثنتين‬untuk mu'annast ).

2.2.2 ‘Adad Murokkab

‘Adad murokkab dimulai dari bilangan 11 (sebelas) – 19 ( sembilanbelas ). Tarkib inipun


memiliki aturan-aturannya sendiri, kita ikuti dulu contoh berikut ini :
‫مكثنا فى اإلسكندرية أربعة عشر يوما وخمس عشرة ليلة‬

Kata ‫ أربعة عشر‬dan kata ‫ خمس عشرة‬tersusun dengan pola yang berbeda dalam hal
mudzakkar dan mu’annastnya, padahal keduanya sama-sama masuk kategori ‘adad murokkab ,
hal ini karena masing-masing memilki ma’dud yg berbeda, yakni pola pertama ( ) ‫يوما‬
mudzakkar, sedangkan pola kedua ma’dudnya ( ) ‫ ليلة‬mu’annats . demikian juga terjadi pada
puluhannya, yaitu ‫ عشر‬dan ‫ عشرة‬. Maka aturan-aturan itu bisa kita simpulkan sebagaiberikut :
a) Satuan selalu berlawanan dengan ma’dud, yakni jika ma’dudnya mudzakkar maka
satuannya menggunakan ta’ marbuthah, sebaliknya jika, jika ma’dudnya mu’annasts,
maka satuannya tanpa ta’ marbuthah.
b) Berdeda dengan satuannya, puluhan selalu sesuai dengan ma’dudnya dalam hal
mudzakkar dan mu’annats .
c) Ma’dud selalu mufrod dan dibaca nasab , karena tamyiz .

2.2.3 ‘Adad ‘Athaf Ma’thuf

‘Adad ini dimulai dari 21 (duapuluh satu) - 99 (sembilanpuluh sembilan), selain 20, 30,
40 - 90. contoh :
‫جاء تسع وتسعون تلميذة‬

‫عالج الطبيب خمسة وعشرين مريضا‬

Tidak berbeda dengan ‘adad yang sebelumnya, bahwa satuannya selalu bertentangan
dengan ma’dud. Yang membedakan dengan ‘adad murokkab adalah terdapatnya ‫ واو العطف‬yang
berada diantara satuan dan puluhan. Untuk puluhannya kita lihat contoh yang pertama dibaca
rafa’, sedang contoh yang kedua dibaca nasab, ini karena puluhan tersebut i’rabnya mengikuti
i’rab satuan. Artinya jika satuannya dibaca rafa’ , maka puluhan juga dibaca rafa’ , demikian
juga jika satuannya di baca nasab / jer , maka puluhan juga dibaca nasab / jer . Jadi kaidahkaidah
yang bisa kita tarik adalah :

a) Sama seperti ‘adad sebelumnya, bahwa satuan selalu berlawanan dengan ma’dudnya
dalam hal mudzakkar dan mu'annats
b) ‘I’rabnya “puluhan” senantiasa mengikuti “satuan” ( hukum athaf dan ma’thuf ),
sedangkan ‘i’rabnya satuan tergantung kedudukannya dalam kalimat, artinya jika satuan
tersebut menjadi fa’il misalnya, maka harus dibaca rafa’, jika menjadi maf’ul bih, maka
harus dibaca nasab.
c) Ma’dud senantiasa dibaca mufrad nasab.

2.2.4 ‘Adad ‘Uqud


‘Adad ini berupa puluhan, mulai dari 20, 30, 40, 50 - 90. Sebelum kita lihat aturan-
aturannya kita lihat dahulu contohnya :
‫وواعدنا موسى ثالثين ليلة‬

‫فى القاعة عشرون طالب وثالثون طالبة‬

Puluhan-puluhan yang ada dalam kedua contoh tersebut , dibaca berbeda, contoh yang
pertama puluhan dibaca nasab , sedang contoh yang kedua puluhan dibaca rafa’, hal ini karena
masing-masing puluhan tersebut menempati kedudukan yang berbeda dalam kalimat. Pada
ma’dud kita lihat dalam bentuk mufrad dan dibaca nasab. Maka kaidahnya adalah :

a) Pada puluhan berlaku hukum jama’ mudzakkar salim dalam hal ‘I’rabnya, yakni jika
harus dibaca rafa’ , maka menggunakan tanda ) ‫ثالثون( ون‬, tapi jika harus dibaca nasab /
jer, maka tandanya adalah ) ‫ثالثين( ين‬. Sedangkan cara menentukan i’rabnya, tergantung
kedudukannya dalam kalimat.
b) Ma’dud selamanya berupa isim mufrad dan dibaca nasab.

Dari kaidah-kaidah tersebut, kalau kita cermati sebenarnya aturan yang ada pada tarkib
ini, pada dasarnya hanyalah seputar mudzakkar dan mu'annatsnya antara ‘adad dan ma’dudnya
saja, selebihnya adalah aturan-aturan lain yang memang telah ada, misalnya tentang tamyiz yang
ada pada ma’dud tarkib ‘adad murakkab dan athaf ma’thuf, tentang idhafah yang terdapat pada
‘adad idhafah, tentang waw athaf, yang terdapat pada tarkib ‘adad ‘athaf ma’thuf, dan tentang
hukum jama’mudzakkar salim, yang terdapat pada tarkib ‘adad ‘athaf ma’thuf dan ‘adad ‘uqud.

Walaupun hanya tentang mudzakkar dan mu'annast, masih sangat terasa betapa banyak
aturan yang ada yang terdapat dalam kaidah-kaidah tersebut . Kaidah-kaidah itu hanyalah
sebagian dari kaidah-kaidah yang ada, karena sebenarnya masih banyak hal-hal yang belum
disampaikan, misalnya tentang bagaimana mudzakkar dan mu'annastnya bilangan satu dan dua,
bagaimana kalau ma’dudnya dua, dan terdiri dari mudzakkar dan mu'annast, dan sebaliknya,
serta bilangan seratus, seribu dan seterusnya. Hal ini dari sisi pengajaran, tentu bisa
menyebabkan kesan bagi siswa, bahwa bahasa Arab itu susah, apalagi jika disampaikan oleh
guru yang kurang kompeten dibidangnya.
Kembali kepada fokus persoalan tulisan ini, yaitu sejauh mana aturan ‘adad dan ma’dud
telah menjaga dan mencegah terjadinya lahn dalam bahasa Arab? namun dalam hal ini analisis –
yang akan dilakukan pada pembahasan selanjutnya -hanya akan berfokus pada aturan tentang
seputar mudzakkar dan mu'annastnya ‘adad dan ma’dud, karena aturan inilah yang sebenarnya
disuguhkan dalam bab ‘adad dan ma’dud sebagaimana yang telah disampaikan diatas.

2.3 Tinjauan Terhadap Kaaidah ‘Adad Ma’dud, Peran dan Fungsinya dalam Mencegah
Terjadinya Lahn Berbahasa

Pada pembahasan ini akan penulis coba menganalisa terhadap bagian dari qa'idah bahasa
Arab yang ada , yaitu ‘adad ma’dud, yang dalam hal ini akan di fokuskan pada “aturan
mudzakkar dan mu'annastnya ‘adad dan ma’dud”, yakni : Satuan harus selalu berlawanan dengan
ma’dud, baik pada ‘adad idhafah, murakkab maupun ‘athaf ma’thuf, dan puluhan pada ‘adad
murakkab selalu sesuai dengan ma’dudnya dalam hal mudzakkar dan mu'annastnya. Apakah
aturan tersebut memiliki manfaat yang signifikan didalam mencegah terjadinya lahn dalam
berbahasa Arab? Sekali lagi, kaidah itu berbunyi : Bilangan satuan harus selalu berlawanan
dengan ma’dud, baik pada ‘adad mufrod, murakkab maupun ‘athaf ma’thuf, dan puluhan pada
‘adad murakkab selalu sesuai dengan ma’dudnya dalam hal mudzakkar dan mu'annastnya.
Kaidah tersebut kalau kita terapkan dalam kalimat, sebagai berikut:

a) ‘Adad Idhafah ‫ اليوم فى صلوات بخمس المسامون أقام‬Artinya : Orang-orang muslim dalam
sehari melakukan sholat lima kali. Kata ‫ صلوات‬adalah jama’ , dan mufradnya adalah ‫صالة‬
, berupa isim mufrad mu'annast, yang dalam hal ini sebagai ma’dud dari bilangan ‫ خمس‬.
Sesuai ketentuan, jika ada ma’dud yang mu'annast, maka ‘adadnya tanpa menggunkan ta’
marbuthah, yaitu . ‫ خمس‬b. ‘Adad Murakkab ‫ وعش خمسة المدرس يعلم طالبا رين‬Artinya : guru
itu sedang mengajar duapuluh lima siswa di kelas.

Kata - ‫ طالبا‬yang menjadi ma’dud dalam kalimat tersebut - menunjukkan mudzakkar,


maka sesuai dengan ketentuan, bilangan satuannya harus menggunakan ta’ marbuthah, yaitu .
‫خمسة‬

Kedua contoh diatas adalah contoh kalimat yang mengandung tarkib ‘adadi yang benar
menurut ketentuan. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah akan terjadi perubahan makna, baik
terjadi reduksi atau penambahan terhadap makna dan maksud kalimat tersebut, bilamana kalimat
tersebut –tarkib ‘adadinya- disusun dengan tidak mengikuti ketentuan / aturan ?

Sebelum sampai kesana, marilah kita ikuti dulu, bagaimana pendapat para ahli bahasa
Arab tentang kaidah-kaidah “adad ma’dud, khususnya yang berhubungan dengan aturan
mudzakkar dan mu'annast, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang
keberadaan dan fungsi aturan tersebut didalam setiap kalimat yang tersusun atas ‘adad ma’dud,
serta menjadikannya data dan fakta yang akan dijadikan pertimbangan didalam mengambil
kesimpulan, sehingga didapat kesimpulan yang komprehensif dan akurat.

1. Imam Abi Muhammad Jamaluddin Yusuf bin ahmad bin Abdullah bin Hisyam al Anshari

a) Kalimat yang mengandung tarkib ‘'adad ma’dud , terbagi kedalam dua


pembahasan, pertama, yang berhubungan dengan hukum mudzakkar mu'annast,
kedua, yang berhubungan dengan hukum penisbatan terhadap tamyiz. Tentang
mudzakkar dan mu'annast , beliau membagi kedalam tiga bagian. a) Keharusan
mudzakkar dengan mudzakkar , dan mu'annast dengan mu'annast, yaitu untuk
bilangan satu dan dua. Contoh : ‫ ( واحدة نفس من خلقكم الذى‬al Qur'an , surat al Nisa’ ,
ayat 1 ), dan ‫( واحد اله والهكم‬al Qur'an , surat al Baqarah, ayat 163).
b) Mu'annast senantiasa berlawanan dengan mudzakkar, dan sebaliknya, ini
dipuruntukkan untuk bilangan tiga sampai sembilan. Contoh : ‫اياتك أيام ثالثة الناس‬
‫ ( تكلم ال ان‬al Qur'an , surat Ali imran, ayat 41 ) dan . ‫امرأة عشرة ثالث‬
c) Tafshil, yaitu bilanagan untuk angka 10 (sepuluh), artinya, jika bukan
murakkabah, maka yang berlaku adalah mudzakkar dengan mu'annast, dan atau
sebaliknya mu'annast dengan mudzakkar , tapi jika murakkabah, yang berlaku
adalah yang berlaku sesuai qiyas, yakni mudzakkar dengan mudzakkar , dan
mu'annast dengan mu'annast. Contoh : ‫( كوكبا عشر أحد رأيت انى‬surat yusuf, ayat 4),
dan ‫ ( عينا عشرة اثنتا منه فانفجرت‬surat al Baqarah, ayat ).

Sedangkan yang berhubungan dengan tamyiz, beliau membaginya kedalam lima bagian,
yaitu :

a) ‘Adad yang sebenarnya memang tidak membutuhkan tamyiz, yaitu bilangan “satu”
dan “dua”.
b) ‘Adad , yang membutuhkan tamyiz, berbentuk mufrad, dan dibaca nashab. Contoh :
‫ ( نقيبا عشر اثنى منهم وبعثنا‬surat al Ma’idah ayat 12 ), dan ‫نعجة وتسعون تسع له أخى هذا إن‬
( surat Shaat, ayat 23 ).

c) ‘Adad yang membutuhkan tamyiz, yang berbentuk jama’ dibaca jer . contoh : . ‫عندى‬
‫نسوة عشر و رجال ثالثة‬

d) ‘Adad yang membutuhkan tamyiz, berbentuk mufrad dan dibaca jer , yaitu untuk
bilangan “seratus dan seribu” . ‫ ع رجل وألف رجل مائة ندى‬. dan e) ‘Adad yang
membutuhkan kepada tamyiz berbentuk mufrad, dan bisa dibaca jer dan nasab, yaitu
kam istifhamiyah yang dibaca jer. ‫ ؟ اشتريت درهم بكم‬, kata ‫ درهم‬aslinya dibaca nasab,
adapun dibaca jer, karena ada kata ‫ من‬sebelumnya yang tersembunyi.

2. Yusuf Muhammad al Baqo’i

Bilangan “tiga” sampai “sepuluh” tetap menggunakan ta’ marbuthah, jika ma’dudnya
mudzakkar , sebaliknya jika ma’dudnya mu'annast, maka ta’ marbuthah pada bilangan tersebut
dihilangkan. Sedangkan ‘adadnya dimudhafkan kepada isim jama’ . jika ma’dud tersebut
memilki jama’ qillah dan katsrah, maka yang utama menggunakan jama’ qillahnya. Jadi bilangan
‘tiga sampai sepuluh” hanya di mudhafkan kepada jama’, sedangkan bilangan “seratus, seribu”
hanya dimudhafkan kepada mufrad, ada yang dimudhafkan kepada jama’, namun hanya sedikit,
dan seterusnya.

Dalam kitab tersebut juga penulis temukan keterangan yang berhubungan tentang hukum
mudzakkar dan mu'annast pada ‘adad ma’dud, yakni bahwa penggunaan dan atau penghilangan
ta’ marbuthah pada 'adad-‘adad tersebut , hanya dimaksudkan untuk membedakan bahwa ma’dud
itu dalam realitanya ada yang mudzakkar dan juga ada yang mu'annast.

3. Ibnu Hamdun

Apa yang beliau sampaikan tentang 'adad ma'dud dalam kitabnya hasiyah, tidak jauh
berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ulama’-ulama’ lain. Hanya dalam kitabnya beliau
memberikan keterangan lebih rinci, diantara keterangan yang penting dalam kontek tulisan ini
adalah yang berhubungan dengan permasalahan, yaitu mengapa terdapat aturan bahwa bilangan
mufrad baik berada dalam 'adad idhafah, maupun yang lain selalu berlawanan dengan
ma’dudnya dalam hal mudzakkar dan mu'annast ?. Dalam hal ini beliau mengutip pendapat
Imam Suyuthi yang berkata : Para ahli nahwu memberi penjelasan, bahwa mengapa orang Arab
memberlakukan aturan tersebut ( keberlawanan dalam hal mudzakkar dan mu'annast anatara
'adad ma'dud ), karena mudzakkar itu ringan, sedangkan mu'annast itu sebaliknya, yaitu berat,
setiap kalimat yang terdapat padanya ta’ marbuthah adalah berat, dan kalimat yang tidak terdapat
padanya ta’ marbuthah adalah ringan. Untuk mendapatkan ta’adul ( keseimbangan ), maka yang
berat harus dengan yang ringan, artinya jika ma’dudnya sudah menunjukkan mu'annast, maka
‘adadnya jangan mu'annast lagi, nanti terlalu berat, maka sebaiknya adalah ‘adadnya
mudzakkar,. Demikian sebaliknya, jika ma’dudnya sudah menunjukkan mudzakkar , maka
‘adadnya jangan mudzakkar lagi, nanti terlalu ringan, maka sebaiknya ‘adadnya mu'annast. Jadi
mudzakkar dengan mu'annast, atau mu'annast dengan mudzakkar.

Dari keterangan ke-tiga ahli nahwu diatas , penulis tidak menjumpai informasi akan
pentingnya keberadaan aturan 'adad ma'dud tersebut yang menyebabkan seandainya tanpa ada
aturan itu, sebuah kalimat yang mengandung tarkib 'adad ma'dud akan mengalami perubahan
makna, baik terjadi pengurangan, penambahan, perluasan, penyempitan atau yang lain. Informasi
yang didapat hanya menjurus untuk kepentingan pengguna bahasa itu sendiri , yaitu bangsa
Arab. seperti keterangan dari Yusuf Muhammad al Baqo’I, beliau hanya mengatakan bahwa
aturan itu ada, dimaksudkan sebagai “pembeda” antara laki-laki dan perempuan. Demikian juga
Ibnu Hamdun, beliau hanya menjelaskan, bahwa keberadaan aturan itu hanyalah agar bahasa itu
mudah untuk diucapakan, sedangkan para ahli yang lain, di dalam bukubukunya pada bab 'adad
ma'dud, penulis juga tidak menemukan keterangan apapun tentang masalah tersebut.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian tersebut diatas, dengan menampilkan beberapa fakta sesuai dengan
kemampuan penulis, serta melihatnya dari beberapa aspek, atau dari aspek kegunaannya dalam
suatu kalimat, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kehadiran tata bahasa Arab, sangat diperlukan dalam rangka menjaga keutuhan suatu
makna dan maksud dari orang yang mengungkapkan bahasa, baik secara lisan, lebihlebih
dengan tulisan.
2. Namun diantara keberadaan tata bahasa Arab yang luas itu, terdapat beberapa tata bahasa
yang nampaknya perlu dipertimbangkan kembali kegunaan dan kemanfaatannya, jika
ditilik dari peran, fungsi dan tujuan diciptakannya tata bahasa itu sendiri. Hal ini karena
perannya yang kecil didalam memberi warna terhadap sebuah makna kalimat, kalau tidak
boleh dikatakan sia-sia keberadaannya. Terlihat manfaatnya hanya dalam hal-hal tertentu
saja, dan jarang digunakan. Termasuk tata bahasa yang dimaksud adalah keharusan
adanya keberlawanan antara 'adad dan ma'dud , dalam hal mudzakkar dan mu'annast.
3. Terbuka lebar wacana untuk melakukan kajian-kajian yang lebih mendalam tentang
keberadaan tata bahasa Arab yang lain, ditinjau dari aspek peran dan fungsinya dalam
suatu kalimat. Sehingga akan terpetakan materi-materi tata bahasa Arab, mana yang
memang betul-betul memiliki peran dan fungsi yang signifikan didalam menjaga agar
tidak terjadi lahn, dan mana yang keberadaannya hanya sebatas reka-reka orang-orang
Arab, sebagaimana yang disinyalir oleh beberapa kalangan. Dengan harapan bahasa Arab
akan tampil lebih efektif, efisien, dan praktis untuk disajikan kepada anak didik, namun
tetap bisa mengcover semua ungkapan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemakainya.
3.2 Saran

Dari awal pengkajian materi makalah ini yang saya utarakan hingga pada penyampaian
saran ini, saya berharap kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi
yang membaca sebagai acuan pengenalan ‘Adad Ma’dud.

Semua uraian materi Makalah ini banyak kekurangan yang ditemukan maupun banyak
penjelasan yang kurang tepat baik dari segi bahasanya maupun dari segi penyusunanya. Oleh
karena itu, masukan yang bersifat membangun dan berupa saran, kritik, sanggahan, maupun yang
lainnya saya terima dengan senang hati sebagai bahan penyempurnaan makalah ini selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai