Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH AL-QUR’AN DAN

HADIS
MATAN HADIS

Dosen pengampu:

Mulyadi, M.Pd

Disusun Oleh:

M. Hafizh Asa Wiguna (2051010383)


Edwar Fadhoil Al Ahyani (2051010336)
Putri Meilisa (2051010335)

JURUSAN EKONOMI SYARI’AH


PROGRAM STUDI AL-QUR’AN DAN HADIS

T.A 2020 - 2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dewasa ini banyak bermunculan aliran-aliran yang notabene malah
memperolok tiang-tiang agama islam, mereka merusak jalinan persaudaraan
antara umat islam. Dengan berbagai maker (perbuatan licik) yang mereka
praktekkan sangat berpengaruh hebat dalam merusak ukhuwah umat Islam.
Rasullah SAW pernah mewanti-wanti akan tiba suatu masa dimana umat Islam
berpecah belah menjadi beberapa golongan. Selain itu beliau juga
memperingatkan kepada kita bahwa akan ditinggalkan oleh beliau dua hal yang
apabila umat Islam masih memegang teguh keduanya maka akan selamat dunia
akhirat, dua hal tersebut adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sejak ditinggal Rasulullah banyak penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi perihal kesahihan hadis. Sebelum itu, ketika Rasulullah masih adapun
sudah terjadi percobaan pemalsuan hadis-hadis tersebut. Akan tetapi puncaknya
ketika wilayah Islam semakin luas dan penyebaran hadis pun mengalami
kemajuan cukup pesat.
Sebab masalah inilah banyak ulama’-ulama’ hadis yang bermunculan yang
memfokuskan diri pada bidang kritik hadis. Tujuan mereka adalah memilih dan
memilah hadis-hadis yang dapat diterima dan ditolak. Kemunculan kritik hadis
juga sudah ada sejak zaman sahabat Nabi yang kebanyakan para kritikusnya
adalah sahabat-sahabat Nabi. Dalam hal memilih hadis-hadis yang ditolak dan
diterima, mereka juga sudah menggunakan beberapa teknik kritik hadis.
Kritik hadis sendiri dibagi dalam dua hal, yang pertama kritik dilakukan
pada sanadnya dan kritik yang dilakukan pada matannya. Dalam makalah kali ini
kami akan membahas perihal kritik hadis pada matannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian matan dan kritik matan hadis?
2. Bagaimana sejarah kritik matan hadis?
3. Bagaimana metode kritik matan hadis?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian matan dan kritik matan hadis.
2. Mengetahui sejarah kritik matan hadis.
3. Mengetahui metode kritik matan hadis.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Matan dan Kritik Matan


Melihat asal katanya, kata “matan” berasal dari bahasa Arab yang berarti
1
punggung jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras . Sedangkan menurut
ilmu hadis matan adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad. Yakni
2
sabda Nabi Muhammad SAW yang disebut setelah disebutkannya sanad .

‫سنَ ُد ِمنَ ا ْلكَاَل ِم‬


َّ ‫َما يَ ْنتَ ِهي إِلَ ْي ِه ال‬
3
“Matan (isi hadis) adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad”
Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya “seorang
hakim, krinein berarti “menghakimi”, criterion berarti “dasar penghakiman””.
Dalma konteks tulisan ini kata “kritik” dipakai untuk menunjuk kepada kata an-
Naqd dalam studi hadis. Dalam literatur Arab kata “an-Naqd” dipakai untuk arti
“kritik”, atau “memisahkan yang baik dari yang buruk”. Sebagian ulama’
menambahkan istilah an-Naqd dalam studi hadis dengan sebutan al-Jarh wa at-
Ta’dil sehingga dikenallah cabang ilmu hadis, al-Jarh wa at-Ta’dil yaitu ilmu
untuk menunjukkan ketidaksahihan dan keandalan. Jadi, hadits tersebut memiliki
criteria hadits shohih dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sedangkan istilah “kritik” dalam bahasa Arab diartikan “naqd”. Sementara
itu, di dalam al-Qur’an dan hadis kata “naqd” tidak ditemukan dalam makna
kritik. Meskipun demikian, dalam tradisi Islam awal telah dikenal konsep
mengenai kritik. Hal ini berdasarkan realita dalam al-Qur’an yang mengenal
istilah “yamiz”, sebuah istilah yang bentuk mudlori’ nya dari kata “maza” yang
4
sejalan dengan konsep kritik yakni memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain .

1
Ibnu Mamnzur, Lisan al-Arab (Mesir: Dar al-Misriyyah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1868), III:
434-435.
2
Muhammad Tahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Mata al-Hadis al-Nabawi al-Syarif
(Tunis: Muassasah Abd al-Karim ibn Abdullah, t.t.) hlm. 88-89.
3
Dr. nuruddin ‘ltr, ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012. Hlm. 333.
4
Jamal al-Din Muhammad bin Mukarrom bin Manzur, Lisan al-Arab. (Bairut: Dar al Sadir, 1990)
hlm. 425.
Naqd dalam bahasa Arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan dan
5
pembedaan . Kritik dalam bahasa Indonesia berarti menghakimi, membanding,
menimbang dan dalam pemakaian orang Indonesia sering dikonotasikan kepada
makna tidak lekas percaya, tajam dalam analisa atau uraian pertimbangan baik
6
dan buruk terhadap suatu karya .
Kemudian yang dimaksud dengan kritik matan adalah seleksi matan hadis
sehingga dapat dibedakan antara matan yang bisa diterima atau ditolak dengan
menggunakan kaedah-kaedah kritik yang disepakati ulama’ hadis yang
diformulasikan dari berbagai metode kritik sahabat, metode kritik ulama’ klasik
hingga kontemporer.

B. Sejarah Kritik Matan Hadis


Perihal sejarah lahirnya studi kritik hadis sebenarnya telah ada sejak
zaman Rasulullah SAW, baik itu dilakukan oleh beliau sendiri tau dilakukan oleh
sebagian sahabat. Pada masa Rasulullah, ilmu kritik hadis belum terbentuk secara
konseptual. Tidak diperlukan teori-teori khusus yang mengatur periwayatan hadis
sebagaimana pada masa-masa berikutnya.
Sepeninggal Rasulullah SAW tahun 11 H/623 M, terjadi perubahan
signifikan karena hadis tidak lagi diriwayatkan dari sumber pertama tapi dari
sumber kedua dan seterusnya yang mempunyai posisi yang berbeda dari sumber
pertama. Secara intens para sahabat melakukan kritik terhadap perawi hadis.
Tercatat Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, A’isyah, ibn Abbas, Anas ibn Malik, dan
‘Ubadah ibn Samit dikenal sebagai tokoh yang selalu meneliti dan mengkritik
7
periwayat lain.
Era sahabat yang ditetapkan sebagai “khoirul qurun”, menjadi tiitk tolak
kebangkitan kritik hadis. Terutama disaat meluasnya wilayah Islam, menjadikan
hadis begitu cepat menyebar kepenjuru semenanjung Arab dan sekitarnya.

5
Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, London: George Allen & Unwa Ltd, 1970,
hlm. 990.
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai
Pustaka, 1988, hlm. 466.
7
Dr. Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasbri’ al-Islami , Beirut: Dar al-Warraq,
1998, hlm. 129.
Keadaan ini menginspirasi para khalifah untuk memperingatkan semua sahabat
supaya berhati-hati dan tidak sembarangan dalam menyebarkan hadis, begitu juga
dalam menerima hadis sebab dalam proses transmisi (penyampaian) hadis, tidak
menutup kemungkinan terjadi distorsi (penyelewengan) dan kesalahan. Dari
8
sisnilah kebutuhan akan kritik hadis semakin besar .
Setelah terbunuhnya Ustman ibn Affan dan munculnya perang saudara
antara kubu Ali dan Mu’awiyah kondisi hadis semakin mengkhawatirkan. Pada
masa-masa ini, hadis menjadi sebuah alat dan komoditi (barang dagangan)
kelompok pemalsu hadis yang terdiri dari kaum munafiq, ahli bid’ah, zindiq,
syi’ah, khawarij, mu’tazilah dan lain sebagainya. Masing-masing kubu
menciptakan dalil yang memperkuat ideologi dan visi misi mereka, sehingga
tercampurlah antara hadis asli dan maudlu’. Bahkan upaya pemalsuan hadis masih
terus berlanjut hingga masa khalifah bani Abbasiyah dimana fanatisme madzhab
sedang mewabah kala itu. Tidak heran jika seorang tabi’in dan tokoh ilmu sanad
terkemuka, Muhammad bin Sirin berkata: “mereka pada zaman sahabat tidak
pernah meminta sanad hadis, dan ketika terjadi fitnah mereka berkata:
sebutkanlah nama setiap perawi kalian. Maka jika perawinya ahlussunnah,
mereka menerima hadisnya, dan apabila perawinya ahli bid’ah maka mereka
9
menolaknya” .
Pada masa tabi’in muncul sejumlah kritikus hadis angkatan abad pertama
dan awal abad kedua seperti Sa’id bin al-Musayyab, al-Qasim bin Muhammad ibn
Abu Bakar, Abu Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf, Ali bin Husain bin Ali,
Salim bin Abdillah bin Umar, Abdullah bin Abdullah bin ‘Utbah, Khawarij bin
Zaid bin Tsabit, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harith,
Sulaiman bin Yasar, al-Zuhri, Yahya bin Sa’id al-‘Anshori, Hisyam bin Urwah,
Sa’id bin Ibrahim, Sa’id bin Zubair, al-Sya’bi, Tawus, Hasan al-Basri, Ibrahim al-
10
Nakha’i,, Muhammad bin Sirin, Syu’bah bin al-Hajjaj, dan lainnya .

8
Prof. Dr. Zainul Arifin, Kritik Hadist, Studi Historis Kritik Hadist Pada Zaman Sahabat,
dalam jurnal al-Afkar edisi VIII TH 7/Juli-Desember 2003, hlm 74.
9
Dr. Mustafa al-Siba’I, al-sunnah wa Makanatuha fi al-Tasbri’ al-Islami, Bairut : Dar al-Warraq,
1998, hlm 108.
10
Prof. Dr. Zainul Arifin, Kritik Hadist, Studi Historis Kritik Hadist Pada Zaman Sahabat,
dalam jurnal al-Afkar edisi VIII TH 7/Juli-Desember 2003, hlm 75-76.

6
Sedangkan pada abad ketiga dan seterusnya muncul kritikus hadis penerus
seperti Yazid bin Harun, Abu Dawud at-Tatslisi, Abd al-Razzaq bin Hammam,
Abu ‘Ashim al-Nabil. Pada masa ini disusun teori-teori tentang kritik hadis, lebih
khusus dalam bidang ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil yang dipelopori oleh ahmad ibn
Hambal, Muhammad ibn Sa’ad al-Waqidi, Yahya ibnu Ma’in, Ali ibn al-Madini,
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud al-Sijistani, Abu Zar’ah al-Razi, Abu Hatim al-
11
Razi .kemudian tongkat estafet kritik perawi hadis ini dilanjutkan oleh generasi
12
setelahnya hingga akhir abad 9 hijriyah .

C. Metode Kritik Matan Hadis


Studi kritik hadis pada umumnya terbagi menjadi dua sisi hadis, yaitu sisi
sanad dan sisi matan. Terkait dengan istilah kritik sanad dan kritik matan, terdapat
perbedaan yang sangat signifikan antara dua kaidah ulama’ klasik dan iulama’
modern. Ulama’ klasik mengatakan bahwa “kulluma sabba sanaduhu sabba
matnubu wa bi al-aksi” artinya setiap yang sanadnya sahih, matannya juga sahih
begitu juga sebaliknya. Sementara ulama’ ahli hadis modern memiliki kaidah
berbunyi “la talazuma baina sibhati al-sanadi wa sibhati al-matni, wa bi al-aksi
aidan fainnabu la talazuma baina du’fi al-sanadi wa du’fi al-matni” yakni
kesahihan atau kedloifan sanad tidak mempengaruhi kesahihan / kedalifan matan.
Begitu pula tidak sebaliknya.
Kaidah kritik versi ulama’ modern ini bukanlah plagiat atau membenarkan
apa yang sering dikatakan oleh para orientalis belakangan ini. Sebab kaidah ini
telah dicetuskan oleh ulama’ kholaf (setelah masa fitnah) yang dipelopori oleh
kaum syi’ah, mu’tazilah, zindiq, ahli bid’ah dan kaum sufi yang sengaja membuat
matan palsu lalu mencuri sebuah sanad dari beberapa hadis sahih bahkan
mutawattir untuk membenarkan ideology dan aliran mereka. Bahkan diantara
mereka ada yang terang-terangan mengakui aksi pemalsuannya “kami membuat
hadis palsu ini untuk membantu Nabi (nakdhibu lahu), adapun yang dilarang

11
Dr. Mustafa al-Siba’I. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasbri’ al-Islami , Beirut: Dar
al- Warraq, 1998, hlm. 129.
12
Ibid, hlm. 130.
dalam Islam adalah berbuat kebohongan yang mencelakakan Nabi sebagaimana
13
hadis (man khadaba alayya)” .
Kritik matan adalah seleksi matan hadis sehingga dapat dibedakan antara
matan yang diterima dan matan yang ditolak dengan menggunakan kaidah-kaidah
kritik yang disepakati ulama’ hadis mulai dari metode kritik sahabat, metode
kritik ulama’ klasik hingga ulama’ kontemporer.
Banyak di antara ulama’ hadis klasik memusatkan perhatian pada kritik
sanad, sebab menurut mereka bahwa otentitas suatu hadis terletak pada sanad.
Jika sanad sahih, maka dapat dipastikan matannya juga sahih. Namun setelah
diteliti bahwa banyak juga hadis matannya kelihatannya sahih (kanya karena
melihat sanadnya sahih) ternyata matannya da’if bahkan maudu’.
Sebab itulah beberapa ulama’ hadis khususnya yang bergelut dengan
dunia kritik hadis merumuskan beberapa kaedah untuk mengkritik matan hadis
sesuai proposi (perbandingan) hadis itu sendiri. Di antara ulama’ hadis tersebut
ialah Ibnu Abi Hatim dan ayahnya, Syu’bah Ibn al-Hajjaj, al-‘Iraqi, al-
Dhahabi, al-Tirmidzi dan lainnya. Adapun kaedah-kaedah yang telah disepakati
tersebut adalah sebagai berikut:
14
1. Mengkomparasi riwayat hadis yang akan dikritik dengan riwayat-
riwayat lain. Dengan begitu akan diketahui apakah dalam matan hadis
itu terdapat Idraj (tambahan kata / kalimat dari salah satu perawinya),
Qalb (pembalikan kata) idtirab (taqdim dan ta’khir / penduluan dan
pengakhiran), al-Ziyadah wa al-Nuqsan (penambahan dan
pengurangan), tashif (perubahan tiitk), tahrif (perubahan harokat), dan
bentuk hadis janggal lain yang mengisyaratkan adanya kesalah-
fahaman (al-wahm) dari seorang perawi terhadap hadis yang ia
riwayatkan.
2. Komparasi beberapa hadis yang kelihatannya saling bertentangan.
Terhadap hadis yang saling ta’arudl, adalah beberapa kemungkinan
yang bisa dilakukan, yaitu invalidasi (naskh), kompromi (al-jam’u)

13
Nuruddin ‘ltr, ‘Ulumul Hadis, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012, hlm.469-470.
14
Mengkomparasi : membandingkan
atau tarjih. Pembahasan tentang kontradiksi hadis sudah banyak
disinggung dalam kitab-kitab mustolah dan telah menjadi satu disiplin
15
ilmu tersendiri yang dinamakan ilmu Mukhtalif al-Hadis .
3. Komparasi matan hadis dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang
validitasnya diakui oleh mayoritas ulama’ dan diikuti oleh mayoritas
sahabat, seperti peristiwa perang badar, perang uhud, perang khandaq,
hijrah, pengalihan kiblat, dan sebagainya.
4. Kemungkinan adanya kontradiksi matan hadis dengan dalil-dalil
hukum yang qat’iy. Jika terbukti maka ia tergolong da’if.
5. Penilaian atas kuat atau lemahnya uslub yang dipakai dalam matan
hadis. Mayoritas ulama’ hadis menolak matan hadis yang amburadul
dan tidak memiliki karena bertentangan dengan tabi’at hadis Nabawi
16
dengan keindahan uslubnya dan kejelasan maknanya .

Sedangkan untuk mengetahui kesahihan matan hadis, ulama’ hadis


menetapkan dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu:

1. Matan hadis tidak Shadh. Shadh adalah apabila ada hadis A yang
sanadnya sahih, namun hadis lain (B) yang bertentangan denggan
hadis A dan mempunyai sanad yang lebih sahih dari hadis A (perawi
hadis B lebih thiqah dari perawi hadis A), maka hadis A matannya
menjadi shadh (da’if) sedangkan sanadnya tetap sahih. Adapun hadis
B, sanad dan matannya sahih (dinamakan hadis Mahfudz)
17
2. Matan tidak mengandung Illat . Banyak kita dapatkan hadis yang
matannya kelihatan sahih, namun setelah dikritik oleh para pengkritik
hadis ternyata ada illat pada matan yang dapat mencacat hadis
tersebut. Illat pada matan bisa berupa kesalah-fahaman (wahm) dari
perawi dan yang lainnya yang menyebabkan pencampuradukan antara
ucapan Rasulullah dengan ucapan orangg lain, atau bisa juga

15
Menurut al-Ma’aribi, hadith mukhtalif tergolong faktor pencatat yang tidak sampai
mencatat hadith, al-Jawahir al-Sulaimaniyah. 46.
16
Prof. Dr. Izzat Ali Athiyyah, Mausuah ulum al-Hadith al-Syarif, hlm. 799.
17
Illat pada matan ada dua macam, pertama tidak sampai mencacat matan, kedua illat yang
dapat mencacat matan.
menyebabkan penggantian matan seluruhnya secara tidak sengaja
seperti dalam kasus yang terjadi antara Thabit bin Musa, salah seorang
ulama’ ahli zuhud, dan gurunya al-Qadi Sharik bin Abdillah. Suatu
hari dalam sebuah majlis belajar, sang guru memulai pelajarannya
dengan menyebut sebuah hadis. Lalu di tengah Sharik menyebut
rentetan sanad dari hadis yang akan beliau riwayatkan, datanglah
muridnya yang terlambat, Thabit. Melihat wajah Tsabit, Sharik
spontan berkata: “Barangsiapa yang sering shalat di malam hari, maka
wajahnya bercahaya pada siang hari”. Perkataan itu keluar dari lisan
18
Sharik akibat luapan keterkaguman atas kezuhudan dan kewara’an
Thabit. Tapi Thabit mengira perkataan itu adalah hadis Nabi SAW.
Thabit pun meriwayatkannya secara marfu’ ke Rasulullah SAW
19
dengan sanad yang tersebut di atas .

Menurut Dr. Mustafa as-Siba’i bahwa dalam sebuah kritik matan ada
beberapa kaedah yang harus kita perhatikan terkait syarat dapat diterimanya
matan, diantaranya adalah,

1. uslub yang dipakai tidak lemah


2. tidak terkesan keluar dari lisan yang tidak fasih,
3. substansi matan harus memungkinkan untuk dita’wil,
4. tidak bertentangan dengan mantiq / logika dasar manusia,
5. tidak bertentangan dengan norma-norma hukum, akhlaq, panca
indra, ilmu dasar medis, dasar-dasar kaidah yang qhot’i,
sunnatullah dan
6. tidak bertentangan pula dengan peristiwa sejarah yang mashur di
20
kalangan sahabat .

18
Kewaraan : menjaga diri dari hal-hal maksiat
19
Al-Idlibi, 32-33.
20
Prof. Dr. Izzat Ali Athiyyah, Mausuah ulum al-Hadith al-Syarif
Berkaitan dengan studi atau penelitian matan hadis, secara garis besar
meliputi tiga kegiatan atau tahapan yaitu:

1. Melakukan kritik atau seleksi matan hadis (naqd al-matan),


2. Melakukan interpretasi atau pemaknaan matan hadis (syarh al-matan),
3. Melakukan tipologi atau klasifikasi matan hadis (qism al-matan).

Dilihat dari objek kritiknya, model kritik teks/matan hadis Nabi dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Metode kritik matan hadis pra kodifikasi.


Metode ini memakai metode perbandingan (comparative)
dan/atau rujuk silang (cross reference). Diantara teknik-teknik
perbandingan tersebut adalah:
a. Membandingkan matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang
berkaitan.
Teknik ini sering dilakukan oleh para sahabat Nabi, Umar
bin Khattab misalnya ia pernah menanyakan dan menolak hadis
yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa
wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah dari
mantan suaminya. Menurutnya hadis tersebut tidak sejalan dengan
bunyi al-Qur’an apabila dibandingkan.
b. Membandingkan matan-matan hadis dalam dokumen tertulis
dengan hadis-hadis yang disampaikan dari hafalan.
Dalam teknik ini apabila ada perbedaan antara versi tulisan
dengan versi lisan, para ulama’ biasanya lebih memilih versi
tulisan daripada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz).
Imam Bukhari misalnya, beliau pernah melakukan teknik ini pada
saat mengahdapi matan hadis tentang mengangkat tangan ketika
akan ruku’ dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui
Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkan, Bukhori memutuskan
untuk memilih hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam
yang telah mengeceknya dari kitab ‘Abdullah bin Idris (dalam
versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang
mengundang perselisihan.
c. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang
disampaikan pada waktu yang berlainan.
Teknik perbandingan ini pernah dipraktekkan oleh ‘Aisyah
salah seorang istri Nabi. ‘Aisyah pernah meminta keponakannya
untuk menanyakan sebuah hadis, yaitu tentang ilmu dan
dihilangkannya ilmu dari dunia kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-
‘Ash yang tengah menunaikan ibadah haji. Kemudian setahun
kemudian, dikarenakan ‘Aisyah tidak puas dengan hadis tersebut,
pada kesempatan haji berikutnya ‘Aisyah menyuruh keponakannya
kembali menanyakan kepada ‘Abdullah.
d. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka
terima dari satu guru.
Teknik ini pernah di praktekkan oleh Yahya Ibnu Ma’in,
salah seorang ulama’ kritikus hadis terkemuka. Ia pernah
membandingkan karya Hammad bin Salamah dengan menemui
dan mencermati tulisan delapan belas orang muridnya. Hasilnya
ditemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan baik oleh Hammad
sendiri maaupun murid-muridnya.
e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat
lainnya.
Teknik ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam.
Peristiwanya bermula ketika ia menerima hadis yang disampaikan
oleh ‘Adb ar-Rahman bin al-Mughiroh bin hisyam al-Mughiroh
yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah.
2. Metode kritik matan hadis pasca kodifikasi.
Pada masa pasca kodifikasi untuk metode kritik hadis pun
masih dominan dan relevan, hanya saja teknik-tekniknya perlu
disesuaikan. Diantara teknik-teknik tersebut adalah:
a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang
terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik ini tidak lagi sekedar kritik perbandingan
teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan
teks.
b. Membandingkan antara matan-matan hadis.
Supaya dapat melakukan kritik matan hadis dengan teknik
ini, hendaknya didahului dengan langkah pertama yaitu
menghimpun matan-matan hadis.

21
Para ulama’ meninjau matan hadits dari beberapa segi pembicaranya :

a. Hadits Qudsi
Hadits Qudsi adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw,
dan disandarkan kepada Allah Swt.
Seperti:

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِ ْي َما يَرْ ِو ْي ِه ع َْن َربِّ ِه‬ َ َ‫ق‬
َ ِ‫ل هللا‬bُ ْ‫ال َرسُو‬

Rasulullah Saw, bersabda tentang hadis yang diriwayatkannya dari


Tuhannya: …..
Atau

`ِ‫هللا‬ ‫ال هللاُ تَ َعالَى فِ ْي َما َر َواهُ ع َْن َرسُوْ ِل‬


َ َ‫ق‬
Allah Swt, berfirman dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Rasulullah Saw: ….

b. Hadis Marfuk
Hadis marfuq adalah ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw secara khusus.

21
Dr. nuruddin ‘ltr, ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012. Hlm: 334-
338
Ibnu al-shalah berkata, “Ada ahli hadis yang menjadikan hadis
marfuk sebagai kebalikan hadis mursal.” Yang ia maksudkan dengan
hadis itu adalah hadis marfuk muttasil.

c. Hadis Mauquf
Hadis mauquf adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat
r.a dan tidak sampai kepada Rasulullah Saw
Hadis yang demikian disebut mauquf karena ia hanya terhenti pada
sahabat dan tidak naik kepada Rasulullah Saw. Sebagian ulama
menyebut hadis mauquf secara mutlak sebagai atsar.

d. Hadis Maqthu’
22
Hadis maqthu’ adalah hadis yang disandarkan kepada tabiin .

22
Dr. nuruddin ‘ltr, ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012. Hlm: 338
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Menurut ilmu hadis matan adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad.
23
Yakni sabda Nabi Muhammad SAW yang disebut setelah disebutkannya sanad .

‫سنَ ُد ِمنَ ا ْلكَاَل ِم‬


َّ ‫َما يَ ْنتَ ِهي إِلَ ْي ِه ال‬

24
“Matan (isi hadis) adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad”

Sedangkan istilah “kritik” dalam bahasa Arab diartikan “naqd”. Sementara itu, di
dalam al-Qur’an dan hadis kata “naqd” tidak ditemukan dalam makna kritik. Meskipun
demikian, dalam tradisi Islam awal telah dikenal konsep mengenai kritik. Hal ini
berdasarkan realita dalam al-Qru’an yang mengenal istilah “yamiz”, sebuah istilah yang
bentuk mudlori’ nya dari kata “maza” yang sejalan dengan konsep kritik yakni
25
memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain . Naqd dalam bahasa Arab popular berarti
26
penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan . Kemudian yang dimaksud dengan
kritik matan adalah seleksi matan hadis sehingga dapat dibedakan antara matan yang bisa
diterima atau ditolak dengan menggunakan kaedah-kaedah kritik yang disepakati ulama’
hadis yang diformulasikan dari berbagai metode kritik sahabat, metode kritik ulama’
klasik hingga kontemporer.

Sejarah lahirnya studi kritik hadis sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah
SAW, baik itu dilakukan oleh beliau sendiri atau dilakukan oleh sebagian sahabat.
Sepeninggal Rasulullah SAW tahun 11 H/623 M, terjadi perubahan signifikan karena
hadis tidak lagi diriwayatkan dari sumber pertama tapi dari sumber kedua dan seterusnya

23
Muhammad Tahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Mata al-Hadis al-Nabawi al-Syarif
(Tunis: Muassasah Abd al-Karim ibn Abdullah, t.t.) hlm. 88-89.
24
Dr. nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis. (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012). Hlm. 333.
25
Jamal al-Din Muhammad bin Mukarrom bin Manzur, Lisan al-Arab. (Bairut: Dar al Sadir,
1990) hlm. 425.
26
Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: George Allen & Unwa Ltd,
1970), hlm. 990.
yang mempunyai posisi yang berbeda dari sumber pertama. Secara intens para sahabat
melakukan kritik terhadap perawi hadis. Tercatat Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali,
A’isyah, ibn Abbas, Anas ibn Malik, dan ‘Ubadah ibn Samit dikenal sebagai tokoh yang
27
selalu meneliti dan mengkritik periwayat lain.

Berkaitan dengan studi atau penelitian matan hadis, secara garis besar meliputi
tiga kegiatan atau tahapan yaitu:

1. Melakukan kritik atau seleksi matan hadis (naqd al-matan),


2. Melakukan interpretasi atau pemaknaan matan hadis (syarh al-matan),
3. Melakukan tipologi atau klasifikasi matan hadis (qism al-matan).

Dilihat dari objek kritiknya, model kritik teks/matan hadis Nabi dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu:

1. Metode kritik matan hadis pra kodifikasi.


a. Membandingkan matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
b. Membandingkan matan-matan hadis dalam dokumen tertulis dengan hadis-
hadis yang disampaikan dari hafalan.
c. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan
pada waktu yang berlainan.
d. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka terima dari
satu guru.
e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.
2. Metode kritik matan hadis pasca kodifikasi.
a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau
memiliki kedekatan susunan redaksi.
b. Membandingkan antara matan-matan hadis.

27
Dr. Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasbri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Warraq,
1998) hlm. 129.
Daftar Pustaka

Ibnu Mamnzur, Lisan al-Arab (Mesir: Dar al-Misriyyah li at-Ta’lif wa at-


Tarjamah, 1868).
Muhammad Tahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Mata al-Hadis al-
Nabawi al-Syarif (Tunis: Muassasah Abd al-Karim ibn Abdullah, t.t.).
Dr. nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis. (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA,
2012).
Jamal al-Din Muhammad bin Mukarrom bin Manzur, Lisan al-Arab. (Bairut: Dar
al Sadir, 1990).
Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: George Allen &
Unwa Ltd, 1970).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988).
Dr. Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasbri’ al-Islami (Beirut:
Dar al-Warraq, 1998).
Prof. Dr. Zainul Arifin, Kritik Hadist, Studi Historis Kritik Hadist Pada Zaman
Sahabat, dalam jurnal al-Afkar edisi VIII TH 7/Juli-Desember 2003.
Prof. Dr. Izzat Ali Athiyyah, Mausuah ulum al-Hadith al-Syarif.

Anda mungkin juga menyukai