Anda di halaman 1dari 10

Epilog

MA’HAD ALY DAN MASA DEPAN ULAMA INDONESIA

Marzuki Wahid
Mudir Ma’had Aly Kebon Jambu,
Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islami, Babakan, Ciwaringin, Cirebon

Proses Menjadi Ulama dan Kiai


‘Ulamā --bentuk plural (jama’) dari ‘ālim-- adalah kata dalam bahasa Arab untuk
menyebut seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang menguasai ilmu
agama Islam (faqīhun fi ad-dīn), mengamalkan, dan menyebarkannya untuk
menciptakan kemaslahatan, keadilan, dan perdamaian bagi semesta alam (rahmatan
li al-‘ālamīn).

Terhadap predikat ulama, muslim Nusantara memiliki sebutan sendiri yang unik
sesuai dengan budaya setempat. Di antaranya adalah Kiai dan Nyai (Jawa), Ajengan
(Sunda), Tuan Guru (Kalimantan Selatan dan NTB), Anregurutta (Sulawesi Selatan),
Tengku (Aceh), Buya (Sumatera Barat), dan lain-lain. Sebutan-sebutan ini memiliki
filosofi masing-masing yang berakar kuat dari budaya setempat.

Dalam sejarahnya, ulama di Indonesia tumbuh dan kembang secara alami (natural
process). Dia terbentuk melalui proses pendidikan dan proses sosial yang secara
tidak sengaja didesain untuk menjadi ulama. Pesantren, lembaga pendidikan yang
banyak melahirkan ulama, tidak secara struktural dan sistematis didesain untuk
mencetak ulama. Pesantren1 lahir karena panggilan keagamaan untuk mendidik
para santri, melestarikan, menyebarkan, dan mengamalkan ajaran Islam yang
diyakini kebenarannya agar Islam hadir dan diamalkan dengan landasan ilmu yang
benar.

Bahwa banyak lulusan pesantren yang menjadi ulama adalah barokah, bonus dari
ketulusan dan keunggulan ilmu yang dimilikinya, bukan output pendidikan yang
didesain sedari awal. Bahkan, para kyai sering bilang dalam pengajiannya, “kamu
ngaji di Pesantren jangan pernah berpikir ingin menjadi sesuatu, sekalipun menjadi
kyai atau ulama. Sebab kyai atau ulama adalah predikat pemberian dari
masyarakat.” Kita selalu diajarkan bahwa mondok di pesantren itu tujuannya cuma
satu, yaitu menghilangkan kebodohan (izālat al-jahālah).

1
Istilah “pesantren” berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" (Jawa: cantrik)
berarti murid padepokan. Istilah “pondok” berasal dari bahasa Arab fundūq yang berarti
penginapan atau asrama. Di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama “dayah”, dan di
tanah Minang disebut “surau”. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kiai atau nama
lain seperti Tengku (Aceh), Tuan Guru (NTB atau Kalimantan Selatan), Buya (Sumatera
Barat), Ajengan (Sunda), Anregurutta (Sulawesi Selatan). Untuk mengatur kehidupan
pondok pesantren, Kiai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya,
mereka biasanya disebut “lurah pondok”.
Ada beberapa pendapat asal muasal kata “santri” yang sekarang ditetapkan menjadi Hari
Santri Nasional pada 22 Oktober 2015 melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2015. Pertama, kata
“santri” berasal dari kata “cantrik” (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti
orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman
Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Kedua, kata “santri” konon ada dalam
bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Ketiga, kata “santri” berasal dari istilah “shastri”,
yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau
seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Keempat, kata “santri” sebagai gabungan
kata “saint” (manusia baik) dengan suku kata “tra” (suka menolong), sehingga santri berarti
manusia baik-baik yang suka menolong.
Walhasil, menjadi ahli agama Islam (faqīhun fi ad-dīn) adalah prestasi yang bisa
dicapai dengan belajar sungguh-sungguh kepada banyak kiai dalam waktu yang
memadai (thūla az-zamān). Akan tetapi, menjadi kiai adalah barokah dari masyarakat
yang tidak bisa dipaksakan dan tidak bisa dicapai hanya dengan ke-‘ālim-an semata.
Masyarakat tampaknya memiliki kriteria tersendiri di luar kemampuan
intelektualisme semata, yakni kejujuran (ash-shidq), kepercayaan (al-amānah),
pelayanan (al-khidmah), dan panutan (al-uswah). Meskipun ‘allāmah (sangat ‘ālim),
tetapi jika tidak memiliki kriteria-kriteria sosial tersebut, masyarakat tidak akan
memberinya sebutan Kiai atau sejenisnya.

Nah, jika kita baca secara cermat di sini terdapat perbedaan yang kentara antara
ulama dan kiai. Tidak semua ulama adalah kiai, tetapi semua kiai pada umumnya
adalah ulama. Seseorang menjadi kiai atau tidak tergantung pada penerimaan
masyarakat setempat. Bisa jadi seseorang dipandang kiai oleh suatu masyarakat,
tetapi masyarakat yang lain tidak menganggapnya sebagai kiai. Ini berarti “kiai
lokal”. Tetapi ada, bahkan banyak, seseorang yang menjadi kiai untuk semua
masyarakat, karena keilmuan, kepribadian, komitmen sosial, kejujuran,
kepercayaan, dan kepatutannya menjadi teladan diakui oleh masyarakat secara
nasional.

Oleh karena itu, jelas sekali kiai tidak bisa distandarisasikan secara nasional.
Menciptakan kiai secara secara sengaja, terstuktur, dan sistematis pun (by design)
tampaknya sulit dilakukan. Ini wilayah kultural yang berpusat pada kesadaran
sosial masyarakat. Negara tidak bisa mengintervensi, sekalipun dengan perangkat
hukum yang mengikat.

Memikirkan Standarisasi Ulama


Kiai berbeda dengan ulama. Ulama, menurut saya, bisa dibentuk dan diciptakan
secara sengaja melalui proses pendidikan keagamaan yang sistematis dan
terstruktur. Siapa saja, tanpa mengenal asal usul keturunan, jenis kelamin, suku,
dan warna kulit, bisa menjadi ulama dan mencapai prestasi sebagai ulama. Ulama
adalah suatu capaian tertentu yang secara akademik (keilmuan) dan sosial bisa
diukur dan diuji kesahihannya.

Mencermati perkembangan sosial keagamaan hari ini, tampaknya membuat


standarisasi ulama dan keulamaan mendesak dilakukan. Seperti banyak dibicarakan
publik, dewasa ini banyak orang menjadi “ulama dadakan” atau dadakan menjadi
ulama. Hanya karena berjenggot panjang, menggunakan gamis, dan sorban tebal
yang bisa dibeli di pasar loakan, seseorang dengan mudah disebut ulama. Hanya
karena bisa ceramah keagamaan yang memukau di media elektronik dan media
sosial, meskipun hanya mengutip beberapa ayat tertentu saja, bahkan dengan
bacaan al-Qur’an yang salah, seseorang populer disebut ulama. Hanya karena
menjadi pengurus MUI yang diangkat secara politis, meskipun men-tashrif salah
kaffara-yukaffiru-kufran, seseorang dapat disebut ulama. Betapa permisif dan
diobralnya predikat ulama pada zaman post-truth ini. Media sosial tentu memainkan
peranan yang sangat dominan.
Dalam hal ini, kita mungkin perlu belajar dari Katolik atau Protestan. Mereka lama
telah memiliki standarisasi kependetaan dan kepastoran. Proses pendidikan yang
secara khusus dan terstandar untuk mencetak romo/pastor (Katolik) dan pendeta
(Protestan) telah lama dipraktikkan. Mereka memiliki lembaga pendidikan
keagamaan, seperti pesantren, yang memang dimaksudkan dan diorientasikan
untuk mencetak pastor dan pendeta. Lembaga ini bernama Seminari. 2

Di seminari, selama 8 tahun para seminaris (orang yang sedang menempuh


pendidikan di seminari) belajar filosofi, bahasa Latin, bahasa Yunani, nyanyian
Gregorian, teologi dogmatik dan moral, hukum Kanon, liturgi, dan sejarah gereja.
Tidak semuanya berupa pelajaran hapalan dari buku, ada juga materi “pembelajaran
spiritual” selama satu tahun.

Selain itu para seminaris juga mempelajari kesenian, seperti tari tradisional, drama,
melukis, atau menyanyi, dan mengembangkan olah raga sesuai dengan minatnya.
Untuk mereka yang sudah bergelar sarjana S1, masa belajar di Seminari dikurangi
menjadi 4 tahun.

Hampir tidak ada pastor atau pendeta yang diangkat bukan dari lulusan Seminari
atau Sekolah Tinggi Teologi atau Sekolah Alkitab yang memang dirancang untuk
itu. Sehingga pengetahuan keagamaan para pendeta dan pastor minimal memenuhi
standar yang telah ditetapkan, baik pemahaman terhadap Alkitab, ke-gereja-an,
filsafat, bahasa Latin, bahasa Yunani, nyanyian Gregorian, teologi dogmatik dan
moral, serta hukum Kanon.

Nah, bagaimana dengan standarisasi ulama dan keulamaan dalam Islam?

Ma’had Aly: Pendidikan Formal Keulamaan


Tak seorang pun memungkiri peranan strategis pesantren dalam melahirkan ulama
di Indonesia. Hampir semua ulama di Indonesia adalah lulusan pesantren atau
paling tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Kecuali, sejumlah “ulama
dadakan” yang dibesarkan oleh media elektronik dan media sosial karena
kepiawaiannya dalam memainkan teknologi digital. Artinya, pendidikan pesantren
untuk mencetak para ulama sudah cukup handal dan dapat dibuktikan dalam latar
peradaban sepanjang sejarah.

2
Seminari berasal dari kata Seminarium (bahasa Latin) yang terbentuk dari kata dasar
"semen", yang berarti benih. Dengan demikian, Seminari berarti tempat penyemaian benih.
Maksudnya, benih panggilan rohani yang ada pada seseorang, disemaikan dengan
pendidikan di Seminari. Di Gereja Katolik ada jenjang Seminari Menengah (setingkat SMP
dan SMA) dan Seminari Tinggi (setingkat perguruan tinggi). Seminari merupakan sekolah-
sekolah yang diselenggarakan oleh pihak Kristen (Katolik dan Protestan) untuk mendidik
calon pemimpin agama. Sekolah-sekolah ini kadang disebut pula Sekolah Teologi atau
Alkitab. Di Seminari Katolik memiliki tujuan pendidikan yang didasari 5 aspek, yaitu
scientia (pengetahuan), sanctitas (kekudusan), sanitas (kesehatan), societas (komunitas), dan
vocation (panggilan). Dari 5 aspek ini, para seminaris (orang yang sedang menempuh
pendidikan di seminari) diharapkan mampu menjadi pemimpin sekaligus pelayan bagi
masyarakat dan Gereja.
Kita tahu bahwa pesantren adalah paket lengkap seseorang untuk menjadi ulama.
Di pesantren, setiap santri diajarkan membaca al-Qur’an secara benar dan fasih
sesuai dengan tajwid, ilmu gramatika dan morfologi Arab (nahwu dan sharaf),
membaca dan memahami teks Arab, ulumul Qur’an, hadits dan ulumul hadits, tafsir
al-Qur’an dan ushulut tafsir, tarikh Islam, fiqh dan ushul fiqh, qawa’id fiqhiyyah,
tasawuf, ilmu kalam, dan sastra. Tentu saja semua santri juga diajarkan praktik
ibadah yang benar, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji, wiridan, tahlilan, marhaban,
ziarah qubur, hingga shalawatan. Lebih dari itu, beberapa pesantren mengajarkan
santrinya ilmu kanuragan (kesaktian yang digali dari tradisi Islam).

Namun, kita juga tahu bahwa belajar di pesantren tidak pernah dibatasi waktu.
Mulai usia berapa pun dan sampai usia kapan pun, pesantren selalu menerima
semua santri yang hendak belajar. Tidak mengenal istilah drop out, tidak lulus, dan
dikeluarkan dari pesantren. Belajar ya belajar, tidak mengenal gagal dan selesai.
Bahkan mengajar di pesantren juga adalah belajar. Inilah wujud pendidikan
pesantren sebelum terkontaminasi oleh sistem sekolah dan madrasah yang serba
formal, terukur, terstandarisasi, dan terstruktur.

Sudah terbukti, sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa praktik pendidikan


ini sangat handal untuk melaju menjadi sosok ulama. Masalahnya hanya satu, yakni
kurikulum pesantren ini tidak terstruktur, sistematis, dan terukur dalam batas
waktu tertentu, sehingga sulit untuk distandarisasikan dan menjadi parameter
kualifikasi ulama dan keulamaan.

Ma’had Aly hadir menjadi jawaban atas masalah ini. Sejak tahun 1990an, para
masyayikh, seperti KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. A. Wahid Zaini, KH. Tolkhah
Hasan, KH. MA Sahal Mahfudh, KH. Maimoen Zubair, dan KH. Zaenal Abidin
Munawwir merancang Ma’had Aly dengan suatu kesadaran untuk
mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang menjadi tradisi akademik pesantren
dan sekaligus sebagai kaderisasi ulama yang mutafaqqih fi ad-dīn, mutawarri’, dan
sekaligus muharrik bagi kemaslahatan semesta (rahmatan li al-‘ālamīn) pada masanya.

Gagasan dan rintisan para masyayikh bertahun-tahun ini seperti bola salju (snowball)
yang terus menggelinding dan membesar menjadi kekuatan yang diperhitungkan
dalam dunia akademik dan keulamaan. Alumni-alumni Ma’had Aly terus berkiprah
dan mengukir sejarah dalam karya intelektual dan pendidikan keagamaan.
Munculnya pemikiran Islam yang kritis inovatif dari rahim keilmuan pesantren
menjadi unik dan perhatian banyak kalangan. Tuduhan tradisionalisme konservatif
yang selama ini dialamatkan kepada pesantren mulai bergeser. Banyak pihak mulai
menyadari bahwa pesantren adalah lumbung ilmu-ilmu keislaman yang melimpah,
baik dari sisi referensi keilmuan, metodologi, maupun sumber daya manusia.

Tentu bukan suatu kebetulan dan datang tiba-tiba bila DPR pada Selasa, 23
September 2019, kemarin mengesahkan RUU Pesantren menjadi UU. Ini perjuangan
panjang para kiai untuk meyakinkan negara dan para pengambil kebijakan bahwa
sistem pendidikan pesantren yang digali dari kebudayaan asli Nusantara memiliki
keunggulan dibanding dengan sistem pendidikan yang dimpor dari Barat yang
pada masa awal kemerdekaan ditetapkan sebagai sistem pendidikan nasional.
Ma’had Aly adalah salah satu bukti keunggulan ini.

Empat tahun sebelumnya, atas desakan para kiai pesantren Menteri Agama,
Lukman Hakim Saefuddin, mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor
71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly yang menegaskan keformalan pendidikan tinggi
keagamaan Islam berbasis kitab kuning ini. Dalam PMA ini dinyatakan bahwa
Ma’had Aly adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang menyelenggarakan
pendidikan akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin)
berbasis kitab kuning yang diselenggarakan oleh dan berada di pesantren (Pasal 1,
Poin 1).

Keberadaan Ma’had Aly dan posisinya dalam sistem pendidikan nasional kini telah
kokoh dan tidak bisa digeser oleh siapa pun yang hendak meminggirkan pesantren
sebagai lembaga pendidikan keagamaan di negeri yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa ini. Sejumlah regulasi yang mengokohkan Ma’had Aly, selain UU
Pesantren yang baru disahkan DPR dan PMA Nomor 71 Tahun 2015 tentang Ma’had
Aly adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
terutama Pasal 30 ayat (4) yang secara eksplisit menyebutkan, “Pendidikan berbentuk
pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja, samanera, dan bentuk lain yang
sejenis”, serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 30 Ayat
(2) yang menyebutkan, “Pendidikan tinggi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan dapat berbentuk ma’had aly,
pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis.”

Selain itu tentu saja peraturan pelaksanaan di bawahnya, yakni Peraturan


Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Dalam penjelasan Pasal 20 Ayat (1), nomenklatur Ma’had Aly tercakup sebagai salah
satu bentuk pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi. Pernyataan ini
dipertegas kembali melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014
tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Baru-baru ini pada 3 Juli 2019, dua bulan
sebelum UU Pesantren disahkan DPR, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan.
Peraturan Pemerintah ini menegaskan keberadaan Ma’had Aly sebagai salah satu
bentuk pendidikan tinggi keagamaan, setingkat dengan UIN/IAIN/STAIN dan
perguruan tinggi lain.

Tawaran Pendidikan Keulamaan, Inspirasi dari Ma’had Aly


Secara epistemologis, Ma’had Aly adalah perpaduan antara nalar pendidikan tinggi
dan sistem pendidikan pesantren dengan seluruh jiwa dan raganya. Basis utama
keilmuan Ma’had Aly adalah kitab kuning. Tidak ada yang beda dari pesantren,
kecuali sistem pembelajaran yang sistematis, terstruktur, terukur, dan
mengutamakan nalar ilmiah untuk pengembangan keilmuan. Di sini, selain kitab
kuning Ma’had Aly juga mengajarkan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora
yang relevan untuk pengembangan keilmuan Islam dan menjawab problematika
sosial dan kemanusiaan. Meminjam istilah dari KH. Husein Muhammad, bagaimana
kita maju tanpa meninggalkan tradisi keilmuan lama pesantren (kayfa nataqaddamu
dūna ‘an natakhalla ‘an at-turāts). Artinya, kita perlu merancang kemajuan peradaban
ke depan bersama dengan tradisi keilmuan pesantren yang selama ini menyertai
kita. Dengan pola pendidikan seperti ini, proses dan hasil pendidikan Ma’had Aly
dapat dievaluasi, diukur, dan distandarisasi untuk kepentingan yang lebih luas.

Dalam bacaan lain, Ma’had Aly adalah pelembagaan sistemik tradisi akademik
pesantren tingkat tinggi. Tradisi akademik yang paling penting dari pesantren
adalah bahtsul māsa’il (kajian masalah-masalah kontemporer dalam pendekatan
ilmu-ilmu keislaman). Dari bahtsul masā’il ini lahir pemikiran-pemikiran inovatif
kontekstual dari problematika pelik yang dihadapi bangsa dan umat manusia.
Pesantren dengan pengetahuan keagamaannya memberikan jawaban dan jalan
keluar yang tepat (makhārij fiqhiyyah). Selain itu, di dalam dialektika pemikiran
pesantren kita juga mengenal tradisi ikhtishār (ringkasan), syarah (penjelasan),
hāsyiyah (komentar atas syarah), ta’līqāt (komentar, catatan), tahqīq (filologi), takhrīj
(verifikasi), naqd (kritik), dan istiqrā’ (riset) dari suatu karya intelektual atau
pemikiran keislaman.

Dari penjelasan ini tampak jelas bahwa Ma’had Aly tidak saja menawarkan
pelestarian ilmu-ilmu keislaman pesantren melalui hapalan (tahfīdh) dan
pemahaman yang mendalam (tafahhum), tetapi juga mendorong secara sistematis
upaya-upaya pengembangan ilmu-ilmu keislaman melalui riset (istiqrā’) dalam
bentuk syarah, hāsyiyah, ta’līqāt, tahqīq, takhrīj, dan naqd, serta melakukan inovasi
pemikiran keislaman melalui bahtsul masā’il yang rutin diselenggarakan.

Pengembangan keilmuan dan inovasi pemikiran inilah yang membedakan Ma’had


Aly dengan lembaga pendidikan lain dalam lingkup tradisi pesantren yang
cenderung pada pelestarian keilmuan melalui pemahaman, pengamalan, dan
penyebaran. Semangat pengembangan dan inovasi ini merupakan wujud dari fungsi
pendidikan tinggi dari Ma’had Aly. Sebagai pendidikan tinggi, keberadaan Ma’had
Aly melekat di dalamnya tri dharma perguruan tingggi, yakni pendidikan,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Tri fungsi yang menjadi pilar pendidikan tinggi Ma’had Aly ini harus dilakukan
secara serasi, seimbang, dan sinergis (berkait satu sama lain). Pendidikan yang
diselenggarakan harus mampu menginspirasi kegiatan penelitian untuk
pengembangan ilmu dan pengabdian kepada masyarakat untuk transformasi sosial.
Hasil penelitian yang dilakukan harus mampu mendinamisasi dan memperkaya
materi pendidikan dan dapat ditindaklanjuti kegiatan pengabdian kepada
masyarakat. Sedangkan pengabdian kepada masyarakat dilakukan sebagai
implementasi dari hasil penelitian dan harus mampu memperkaya materi
pendidikan dan menginspirasi topik penelitian.

Demikian sinergitas terjadi menjadi keutuhan yang berkesinambungan sehingga


mampu menghasilkan kader ulama yang dicita-citakan Ma’had Aly. Yakni, kader
ulama yang tidak hanya mutafaqqih fi ad-dīn yang mutawarri’, tetapi juga seorang
ilmuwan yang memproduksi ilmu pengetahuan, seorang mufti yang memberikan
tawaran-tawaran inovatif pemikiran, dan seorang muharrik yang selalu berusaha
untuk mengubah kehidupan sosial ke arah yang lebih adil, maslahat, rahmat, dan
bijak. Skema ini dapat digambarkan sebagaimana bagan berikut:
T R I$D H A R M A $P E R G U R U A N $T IN G G I

Pro dus e n ilm u pe ng e tahuan


PENELITIAN ke ag am a an
(dalam menjawab
problematika sosial
Kemanusiaan dan
Pro dus e n ka de r ula m a tantangan zaman)
(untuk menjawab
problematika sosial
Kemanusiaan dan MA’HAD& ALY& Me ng uba h ke hidupa n
tantangan zaman) =& m a s ya ra kat
PENDI DIKAN& (agarAtercipta kehidupan
TI NGGI yangAadil,Amaslahat,A
rahmat,Adan bijak)

PENGABD IAN
PEND ID IKAN
KEPAD A MASYARAKAT

10/17/19 marzukiwahid@yahoo.com

T R I$D H A R M A $P E R G U R U A N $T IN G G I

Pro dus e n ilm u pe ng e tahuan


ILMU = TEORI
ke ag am a a n
(dalam menjawab
problematika sosial
Kemanusiaan dan
Pro dus e n kade r ulam a tantangan zaman)
(untuk menjawab
problematika sosial
Kemanusiaan dan Me ng uba h ke hidupa n
tantangan zaman)
IMAN m as ya ra kat
(agarAtercipta kehidupan
yangAadil,Amaslahat,A
rahmat,Adan bijak)

TRANSFO RMASI
PRAKTIK = AMAL
SOSIAL
= KEMASLAHATAN
10/17/19 marzukiwahid@yahoo.com

Oleh karena itu, jenjang pendidikan Ma’had Aly tidak hanya marhalah sarjana (M1),
tetapi juga marhalah magister (M2), dan marhalah dukturah (M3). Setiap jenjang ini
tentu memiliki target capaian yang berbeda. Capaian-capaian ini dalam rangka
untuk mengokohkan posisi dan peran ulama dan keulamaan yang terus bergumul
dalam pusaran perubahan sosial yang dinamis. Ulama yang ideal tentu tidak hanya
mampu membaca teks-teks keagamaan (an-nushūsh asy-syar’iyyah), tetapi juga harus
mampu membaca teks-teks perkembangan zaman, sehingga mampu berbuat terbaik
untuk terciptanya keadilan (al-‘adālah), kemaslahatan (al-mashlahah), kerahmatan (ar-
rahmah), dan kebijaksanaan (al-hikmah).
Penjelasan di atas adalah distingsi Ma’had Aly dengan lembaga pendidikan lain
dalam lingkup tradisi pesantren. Adapun distingsi Ma’had Aly dengan lembaga
pendidikan tinggi lain di luar tradisi pesantren, saya mengidentifikasinya menjadi
17 poin, yakni:
1. Ma’had Aly diselenggarakan oleh Pondok Pesantren yang memiliki santri
minimal 300 orang setiap tahunnya dalam 10 tahun terakhir (PMA Nomor 71
Tahun 2015);
2. Kampus Ma’had Aly berada di dalam lingkungan Pondok Pesantren (PMA
Nomor 71 Tahun 2015);
3. Setiap Ma’had Aly hanya boleh mendirikan satu takhashush (PMA Nomor 71
Tahun 2015);
4. Mahasantri Ma’had Aly harus tinggal di asrama Pondok Pesantren;
5. Kostum resmi Ma’had Aly adalah kostum yang dipakai Pondok Pesantren,
yakni sarung, peci, dan baju panjang (bagi laki-laki), serta jilbab, baju dan rok
panjang, atau sarung (bagi perempuan);
6. Dosen utama Ma’had Aly adalah kyai;
7. Metode pembelajarannya adalah sorogan, bandongan, bahtsul masā’il, tahfīdh,
dan riyādlah,
8. Basis keilmuannya adalah kitab kuning yang diajarkan Pondok Pesantren
(PMA Nomor 71 Tahun 2015);
9. Paradigma keilmuanya adalah integrasi antara teori, paktik, dan transformasi
sosial (iman, ilmu, amal, dan kemaslahatan);
10. Takaran kurikulumnya berdasarkan kitab (kitāby);
11. Tahun pelajaran akademiknya mengikuti tahun pelajaran Pondok Pesantren,
yakni tahun hijriyah;
12. Hari liburnya adalah hari Jum’at dan mengikuti kalender Pesantren;
13. Lulusannya diharapkan menjadi kader ulama;
14. Dalam perkuliahan, ketika khatam baca kitab, diberi ijazah agar sanad
keilmuannya ittishāl;
15. Evaluasi pembelajarannya menggunakan syafawi, kitāby, dan tahfīdhiy;
16. Selama belajar dan/atau setelah lulus dari Ma’had Aly wajib berkhidmah di
pesantren atau masyarakat;
17. Risalah akhir ditulis dalam bahasa Arab atau Arab pegon.

Demikianlah pola pendidikan keulamaan yang sementara ini saya tangkap dari
praktik pendidikan di sejumlah Ma’had Aly. Tentu ada hal-hal yang nyata terjadi
dan sudah dipraktikkan, namun ada sebagian yang menjadi harapan agar dapat
diterapkan di kemudian hari demi pengembangan pola pendidikan keulamaan
Ma’had Aly.

Ma’had Aly sebagai Standar Pendidikan Kader Ulama


Menjadi menarik bila pola pendidikan keulamaan yang dirancang Ma’had Aly ini
dijadikan sebagai standar pendidikan kader ulama di Indonesia. Selama ini kita
kesulitan membuat standarisasi ulama dan keulamaan dan belum menemukan pola
yang tepat untuk mengkader seseorang agar kelak menjadi ulama yang mumpuni
pada zamannya. Ma’had Aly tidak saja telah berhasil merancang kurikulum
keulamaan yang sistematis, terukur, dan berkesinambungan, lebih dari itu Ma’had
Aly sudah mempraktikkan dan membuktikan keberhasilannya dalam mencetak
ulama-ulama yang sekarang berkiprah di dunia pendidikan, lembaga sosial
keagamaan, dan lembaga-lembaga lain yang membutuhkan kompetensi keagamaan.

Jika kita sudah memiliki standarisasi ulama, maka kualifikasi, kompetensi, dan
kapabilitas keulamaan terukur, baik dari sisi keilmuan, sikap, amalan, maupun
perbuatan. Ke depan, mungkin kita juga perlu merumuskan dan memiliki kode etik
ulama yang harus dipatuhi oleh setiap ulama dan organisasi keulamaan. Tentu kode
etik tidak dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak ulama, melainkan untuk
menjaga marwah dan martabat keulamaan sebagai pewaris para Nabi, yang tentu
sangat luhur dan mulia. Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Al-Washliyah, PERTI, Nahdlatul Wathan, PERSIS, DDII, LDII, Al-
Khairat, Dewan Syari’ah Nasional, dan sejenisnya dapat mengkader ulama dengan
standarisasi tersebut, atau memanfaatkan lulusan Ma’had Aly sebagai ulama di
organisasi keagamaan mereka.

Demikian percikan gagasan yang bisa tuliskan dan sedikit refleksi pemikiran saya
selama bergumul dengan sejumlah Ma’had Aly di Indonesia. Semoga bermanfaat
dan menginspirasi semangat pengembangan ilmu di Ma’had Aly.[]

Anda mungkin juga menyukai