Anda di halaman 1dari 22

HONOR MENGAJAR DALAM

PERSPEKTIF HADIS
DAN CARA MENUMBUHKAN
NILAI-NILAI KEIKHLASAN DALAM
MENGAJAR
Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas


Terstruktur Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen:

H.Umar Rosadi, M.Pd.I

KELOMPOK 12 :

ICKSAN ABIYASA 21030802221024


RISKA APRIANI 21030802221017
NADILA SALSABILA 21030802221004

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur, kami ingin mengucapkan Alhamdulillah atas limpahan
Rahmat dan Hidayah dari Allah SWT yang telah menyertai kami sepanjang perjalanan
penulisan makalah ini. Kami percaya bahwa ilmu dan amal yang diberikan-Nya merupakan
karunia luar biasa yang telah membimbing dan mendorong kami untuk menyelesaikan makalah
ini, yang berjudul " Honor Mengajar Dalam Perspektif Hadis dan Cara Menumbuhkan Nilai-
Nilai Keikhlasan dalam Mengajar "
Sebagai penulis, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan potensi perbaikan yang dapat kami
eksplorasi lebih lanjut. Oleh karena itu, kami dengan tangan terbuka menerima setiap kritik,
saran, dan masukan yang konstruktif dari para pembaca dan pembimbing kami. Kami yakin
bahwa umpan balik tersebut akan menjadi pilar utama dalam perjalanan kami menuju penulisan
yang lebih baik dan lebih berkualitas di masa mendatang.
Kami berharap dengan tulus bahwa makalah ini dapat memberikan manfaat dan
wawasan yang bermanfaat bagi semua yang membacanya. Semoga pengetahuan yang kami
bagikan dalam makalah ini dapat menjadi sumbangan kecil dalam pemahaman lebih dalam
tentang Filsafat Islam. Kami mohon doa restu dari Allah SWT agar makalah ini dapat
memberikan manfaat yang nyata dan menjadi sarana pembelajaran yang berharga bagi kita
semua. Amiin.
Terima kasih atas perhatian dan waktu yang Anda luangkan untuk membaca makalah
ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan rahmat-Nya kepada kita semua
dalam mengejar ilmu dan amal yang bermanfaat.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. 1


BAB I ............................................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................. 4
BAB II ........................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 5
A. Pengajar Boleh Menerima Upah ..................................................................................... 5
1. Hadist Tentang Pengajar Boleh Menerima Upah ............................................................... 5
2. Asbabu al-wurud dan Penjelasan (Syarah Hadis)............................................................... 6
3. Pelajaran Yang Bisa Dipetik Dari Hadist Tersebut .......................................................... 10
B. Larangan Pengajar Menerima Upah ............................................................................. 11
1. Hadis Tentang Larangan Pengajar Menerima Upah ......................................................... 11
2. Asbab al-Wurud dan Penjelasan (Syarah Hadis) .............................................................. 11
3. Pelajaran Yang Dipetik Dari Hadis .................................................................................. 14
C. Menumbuhkan Nilai-nilai Keikhlasan Dalam Mengajar .............................................. 15
BAB III ........................................................................................................................................ 19
PENUTUP ................................................................................................................................... 19
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 20

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan berperan krusial dalam membentuk karakter dan kepribadian
seseorang, dengan guru sebagai elemen kunci. Guru tidak hanya menyampaikan
materi pembelajaran, tetapi juga berdampak signifikan dalam membentuk moral
dan nilai-nilai siswa. Fokus seringkali tertuju pada masalah honor mengajar, di
mana guru menerima kompensasi finansial sebagai imbalan atas dedikasinya dalam
mendidik.
Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi perspektif agama,
khususnya Islam, terkait honor mengajar melalui hadis. Hadis sebagai sumber
ajaran Islam selain Al-Quran, memberikan panduan tentang pengakuan dan
penghargaan terhadap guru dalam konteks keagamaan. Meski demikian, terdapat
ketidakseimbangan antara tanggung jawab dan honor yang diterima oleh guru,
merugikan mereka dan berdampak negatif pada kualitas pendidikan.
Pentingnya pemahaman mendalam terhadap pandangan agama, khususnya
melalui hadis, terhadap honor mengajar menjadi fokus untuk mengatasi
permasalahan ini. Selain itu, keikhlasan dalam mengajar menjadi aspek penting,
karena nilai spiritual ini dihargai dalam Islam. Menanamkan keikhlasan dalam
pendidikan dapat membentuk guru yang mengajar bukan hanya karena tuntutan
pekerjaan, melainkan juga karena tanggung jawab moral dan cinta terhadap ilmu
serta peserta didik. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan solusi konkret untuk meningkatkan pengakuan dan honor mengajar
sesuai perspektif hadis, serta strategi untuk menumbuhkan nilai-nilai keikhlasan
dalam pengajaran, berpotensi memberikan kontribusi positif pada kualitas
pendidikan dan kesejahteraan guru dalam konteks nilai-nilai keagamaan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perspektif hadis terhadap honor mengajar?
2. Bolehkan pendidik menerima honor?

3
3. Bagaimana keikhlasan pendidik dalam mengajar?
4. Bagaimana cara menumbuhkan nilai-nilai keikhlasan pendidik?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perpektif hadist terkait honor mengajar
2. Mengetahui hukum pendidik menerima honor
3. Mengetahui keikhlasan pendidik dalam mengajar
4. Mengetahui cara menumbuhkan nilai-nilai keikhlasan pendidik

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengajar Boleh Menerima Upah


1. Hadist Tentang Pengajar Boleh Menerima Upah
ٌ ‫صد‬
‫ُوق‬ َ ‫ي ه َُو‬ ْ ‫ي َحدَّثَنَا أَبُو َم ْعش ٍَر الْ َب‬
ُّ ‫ص ِر‬ ُّ ِ‫ب أَبُو ُم َح َّم ٍد الْ َبا ِهل‬
ٍ ‫ار‬
ِ ‫ض‬َ ‫َحدَّثَنِي سِي َدانُ بْنُ ُم‬
ِ َّ ُ‫ف بْنُ يَ ِزيدَ الْبَ َراءُ قَا َل َحدَّثَنِي عُبَيْد‬
َ‫َّللا بْنُ ْاْل َ ْخن َِس أَبُو َمالِكٍ عَ ْن اب ِْن أَبِي ُملَيْ َكة‬ ُ ُ‫يُوس‬
ِ ‫َّللا عَلَيْ ِه َوسَلَّمَ َم ُّروا بِ َماءٍ ف‬
‫ِيه ْم لَدِي ٌغ‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ِ ‫ص َحابِ النَّبِي‬ ْ َ‫َّاس أَ َّن نَف ًَرا مِ ْن أ‬
ٍ ‫عَ ْن اب ِْن عَب‬
‫ق إِ َّن فِي الْ َماءِ َر ُج ًًل‬ٍ ‫ض لَ ُه ْم َر ُج ٌل مِ ْن أَهْ ِل الْ َماءِ فَقَا َل هَلْ فِي ُك ْم مِ ْن َرا‬
َ ‫أَ ْو سَلِيمٌ فَ َع َر‬
‫ِيما فَانْطَلَقَ َر ُج ٌل مِ نْ ُه ْم فَقَ َرأَ بِفَاتِ َح ِة الْكِ تَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَ َرأَ فَ َجا َء بِالشَّاءِ إِلَى‬
ً ‫لَدِي ًعا أَ ْو سَل‬
‫جْرا َحتَّى قَد ُِموا الْ َمدِينَةَ فَقَالُوا يَا‬
ً َ‫َّللا أ‬
ِ َّ ِ‫ص َحابِ ِه فَك َِرهُوا ذَلِكَ َوقَالُوا أَ َخذْتَ عَلَى كِ تَاب‬ ْ َ‫أ‬
‫َّللا عَلَيْ ِه َوسَلَّ َم إِ َّن أَ َح َّق َما‬
ُ َّ ‫صلَّى‬ ً َ‫َّللا أ‬
ِ َّ ‫جْرا فَقَا َل َرسُو ُل‬
َ ‫َّللا‬ ِ َّ ِ‫َّللا أَ َخذَ عَلَى كِ تَاب‬
ِ َّ ‫َرسُو َل‬
1 )‫البخاري‬ ً َ‫أَ َخذْتُ ْم عَلَيْ ِه أ‬
‫جْرا كِ تَابُ للاِ (أخرجه‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Sidan bin Muddzarib Abu
Muhammad Al Bahili] telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar Al Bashri
dia adalah seorang yang jujur yaitu [Yusuf bin Yazid Al Barra`] dia berkata; telah
menceritakan kepadaku ['Ubaidullah bin Al Ahnas Abu Malik] dari [Ibnu Abu
Mulaikah] dari [Ibnu Abbas] bahwa beberapa sahabat Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat
binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air
tersebut datang dan berkata; "Adakah di antara kalian seseorang yang pandai
menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang
tersengat binatang berbisa." Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat
tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang
yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada
teman-temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka
berkata; "Kamu mengambil upah atas kitabullah?" setelah mereka tiba di

1 Al Bukhari Muhammad bin Ismail Abu Abdullah, Shahih Bukhori, (t.tp Daarut Thuqinnajah,
1422 H), h. 274. Lihat Juga Shahih Bukhari hadis nomor 5296.

5
Madinah, mereka berkata; "Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas
kitabullah." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena
(mengajarkan) kitabullah." (HR. Bukhari).
2. Asbabu al-wurud dan Penjelasan (Syarah Hadis)
Hadis tersebut memberikan dorongan untuk menerima bayaran sebagai
pengajar, guru, atau pendidik, serta untuk pengobatan dengan membaca Al-Quran.
Kejadian dalam hadis terjadi ketika sekelompok sahabat Nabi SAW melewati
sebuah komunitas yang berada di daerah dengan sumber air. Saat itu, terjadi
insiden mengejutkan ketika salah satu dari mereka digigit oleh binatang berbisa,
mungkin ular atau kalajengking, di dalam air tersebut. Para sahabat Nabi
kemudian meminta bantuan untuk mengobatinya, dan salah satu dari mereka
bertanya apakah ada yang mampu menyembuhkan gigitan binatang berbisa.
Seorang sahabat Nabi pergi untuk mengobatinya dengan cara membacakan surat
Al-Fatihah. Dengan izin Allah, orang yang digigit binatang berbisa tersebut
sembuh, dan sebagai imbalannya, mereka diberikan bayaran berupa seekor
domba.
Ketika diberi upah, sahabat-sahabat tersebut meresponsnya dengan sikap
negatif dan merasa tidak nyaman menerima upah tersebut. Mereka merasa seperti
menjual ayat Al-Quran dengan harta, yakni seekor domba. Dengan tekad yang
kuat, mereka berniat melaporkan peristiwa ini kepada Rasulullah di Madinah.
Setelah tiba di Madinah, mereka mengajukan pertanyaan kepada beliau, dan
beliau memberikan jawaban sebagai berikut:
‫َّللا‬ ً َ‫إِ َّن أَ َح َّق َما أَ َخذْتُ ْم عَلَيْ ِه أ‬
ِ َّ ُ‫جْرا كِ تَاب‬
Artinya: “sesungguhnya sesuatu yang paling berhak kamu ambil upah
adalah kitab Allah.”
Dalam riwayat al-A’masy selain al-Turmidzi, dijelaskan bahwa sekelompok
30 orang sahabat Nabi diutus pada malam hari melewati suatu kampung Arab.
Tidak dijelaskan nama kampung atau konteks utusan ini diluar jihad. Dalam
syarah al-Maram oleh Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim dijelaskan bahwa
kelompok sahabat Nabi tersebut, saat melewati suatu kaum pada malam hari,

6
berniat untuk bertamu, mengingat kebiasaan orang Arab yang menerima dan
menjamu tamu. Namun, penduduk kampung menolaknya, sehingga mereka
beralih ke kampung lain. Suatu malam, salah satu tokoh kampung yang menolak
tamu tersengat kalajengking, mencoba berbagai obat tetapi tak berhasil
menyembuhkan.
Beberapa dari mereka berpendapat untuk bertanya kepada rombongan tamu
yang pernah mereka tolak, mungkin ada yang bisa menyembuhkan. Mereka
mendatangi rombongan tamu dan bertanya apakah ada di antara mereka yang bisa
mengobati pimpinan mereka yang tersengat kalajengking. Jawab rombongan
tamu: ya, bisa. Meskipun mereka diundang ke kampung untuk menyembuhkan,
sahabat Nabi merasa enggan hadir karena sebelumnya telah ditolak sebagai tamu,
kecuali dengan pembayaran upah yang pasti. Akhirnya, terjadi kesepakatan untuk
membayar upah sekitar 20 hingga 30 ekor kambing.
Sahabat Nabi itu mengunjunginya, lalu membacakan Al-Quran surah al-
Fatihah dengan izin Allah. Sebagai hasilnya, pimpinan penduduk tersebut sembuh
dan dapat bangun seakan-akan terlepas dari ikatan tali. Kambing yang dibawa oleh
sahabat tersebut seharusnya dibagikan kepada sahabat-sahabat lain dalam
rombongan, namun mereka menolaknya sebelum mendapatkan izin dari Nabi
SAW. Setelah tiba di Madinah, Nabi memberikan izin dan menyatakan:
"Ketahuilah bahwa itu adalah ruqyah." Nabi tersenyum dan menambahkan: "Bagi
mereka dan aku, sama-sama mendapat bagian." Setelah pembagian dilakukan,
beliau menyampaikan Hadis seperti yang dijelaskan di atas.
Al-Asqalany menjelaskan bahwa ada dua kisah terkait ruqyah yang
dilakukan oleh sahabat Nabi. Yang kedua melibatkan seorang yang menderita
penyakit gila, kemudian sahabat membacakan surah al-Fatihah, dan orang
tersebut sembuh (diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Turmudzi, dan al-Nasai).
Berdasarkan Hadis di atas:
ً َ‫ق َما أَ خَ ذْتُ ْم عَلَيْهِ أ‬
ِ َّ‫جْرا ِكتَابُ َّللا‬ َّ ‫إِ َّن أَ َح‬
Artinya: “Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak kamu ambil upah
adalah kitab Allah”.

7
Bagaimana keterkaitan antara menyembuhkan orang sakit dan kegiatan
ta’lim? Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa seorang laki-laki datang dan
membacakan al-Fatihah dari kitab (al-Fatihah). Ini mengisyaratkan adanya unsur
pengajaran di dalamnya. Dengan cara tidak langsung, tindakan ini mengajarkan
kepada penduduk bahwa dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat ruqyah yang memiliki
kemampuan menyembuhkan penyakit, memberikan pemahaman kepada mereka.
Rajulun (orang tersebut) berperan sebagai pengajar, sedangkan orang yang sakit
dan orang lain di sekitarnya berperan sebagai pelajar yang mengambil ilmu dan
pengalaman dari peruqyah tersebut. Orang yang tersengat kalajengking sembuh
setelah ayat tersebut dibacakan, memungkinkan mereka untuk melakukan hal
yang serupa ketika menghadapi kejadian serupa di masa mendatang.
Al-Asqalani dalam Fath al-Bari menguraikan perbedaan pandangan ulama
terkait sistem penggajian, honor, atau upah dalam bidang pendidikan dan
pengajaran sebagai berikut:
1) Mayoritas ulama memperbolehkan menerima upah dalam pengajaran,
berdasarkan hadis di atas.
2) Ulama dari mazhab Hanafi melarang penerimaan upah dalam
pengajaran, namun memperbolehkannya dalam konteks pengobatan
atau ruqiyah saja. Mereka berpendapat bahwa mengajarkan Al-Quran
adalah ibadah dan pahalanya berasal dari Allah. Kehalalan menerima
upah dalam ruqiyyah diakui karena adanya hadis tertentu. Sebagian dari
mereka berpendapat bahwa kata "ajran" (‫ )اجرا‬dalam hadis di atas dapat
diartikan sebagai pahala yang sama dengan tsawab, tetapi pendapat ini
ditolak oleh sebagian ulama karena dianggap tidak sesuai dengan
konteks Asbab Wurud al-Hadits seperti yang dijelaskan di atas. Ada juga
pandangan yang menyatakan bahwa hadis tersebut dinyatakan dinasakh
(dihapus) oleh hadis yang mengancam menerima upah dalam
pengajaran, sebagaimana riwayat Abu Daud. Namun, pandangan ini

8
juga ditolak karena perlu adanya indikasi yang jelas untuk nasakh, yang
tidak terlihat dalam hadis di atas2 .
Syekh ‘Atiyah Muhammad Salim dalam Syarah Bulugh al-Maram
memberikan penjelasan bahwa terdapat beberapa pendapat mengenai hukum
menerima upah atau gaji dalam pengajaran Al-Quran atau membacanya,
berdasarkan hadis di atas:
1) Memperbolehkan pemberian upah atau gaji jika itu berasal dari inisiatif
sendiri dari orang yang diajar atau yang mendengarkan bacaannya.
2) Tidak diperbolehkan jika dia diupah untuk mengajar atau diberi upah
karena membaca Al-Quran3 .
Ibnu Hamzah Al Husain Al Hanafi Ad Damsyiqi menyatakan bahwa hadis
yang telah dijelaskan di atas merupakan dasar keabsahan mengobati penyakit
dengan membacakan Ayat Al-Qur'an. Al-Qur'an dianggap sebagai obat (syifa')
bagi manusia, baik bagi hati maupun jasad mereka. Hal ini juga dijadikan argumen
untuk mendukung kebolehan menerima upah dari kegiatan membaca dan
mengajar Al-Qur'an4 .
5 ‫القران‬ ‫وتصح الجرة لتجهيز ميتو دفنو وتعليم‬
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan yang
bersifat mutlak dan tegas terkait sistem gaji, honor, dan upah dalam konteks
pendidikan dan pengajaran. Hal ini bergantung pada kondisi-kondisi yang
dihadapi, karena terdapat potensi untuk mencapai kesepakatan kompromi
berdasarkan hadis-hadis shahih yang menghasilkan pandangan yang saling
bertentangan. Al-Bukhari sendiri meriwayatkan hadis di atas dengan beberapa
teks yang sama, menunjukkan adanya kecenderungan bahwa menerima gaji atau
honor dalam pengajaran Al-Quran adalah diperbolehkan.

2 Ibnu Hajar Al-Asqalany, Fath al-Bariy, Juz. 4, (Kairo: Mushthafa al Baby al Haby, 1378 H/1959
M), h. 453.
3 Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi…, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 202
4 Ibnu Hamzah Al Husain Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud; Latar Belakang Historis

Timbulnya Hadis-hadis Rasul, terj: Suwarto Wijaya dan Zafrullah Salim, Jilid 2, (Jakarta:
Kalam Mulia, 1994), h. 44.
5 Qalyubi, Hasyiata Qalyubi wa ‘Umairah, Juz III, (Indonesia : Karya Insan, t.th), h.76.

9
Abd. Al-Muhsin al-Ibad dalam syarah Abi Daud, pada bab upah azan,
menyatakan bahwa terdapat tiga pendapat dari para ulama terkait upah atau
pengajian pada tukang azan, imam mesjid, dan guru pengajar Al-Quran atau dalam
konteks ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah:
1) Menerima upah diperbolehkan dengan alasan hadis mengenai upah pada
ruqiyah, sebagaimana hadis di atas.
2) Tidak diperbolehkan menerima upah secara mutlak. Kebolehan
menerima upah hanya terjadi jika berbentuk barang yang diwakafkan
untuk kaum muslimin atau berupa uang kas dan amal dari dermawan.
3) Perumpamaan pengajaran Al-Quran diibaratkan sebagai wali anak
yatim. Jika pengajar tersebut mampu, seharusnya dia tidak mengambil
upah. Namun, jika ia dalam keadaan miskin, boleh untuk menerima upah
dengan cara yang baik dan sesuai norma6 .
Dari beragam pandangan yang telah diuraikan, tidak ada yang memberikan
izin mutlak terkait penggunaan honor atau gaji. Dalam setiap kebolehan, selalu
ada catatan yang menekankan pada prinsip bahwa dalam konteks profesionalitas
guru agama atau pengajar Al-Quran, sebaiknya tidak melakukan tawar-menawar
seperti halnya dalam profesi tukang kayu, tukang besi, atau profesi lainnya. Fokus
utama seharusnya adalah semata-mata mencari pahala dari Allah SWT.
3. Pelajaran Yang Bisa Dipetik Dari Hadist Tersebut
a. Keabsahan menerima imbalan dalam mengobati orang sakit melalui
ruqiyah, baik itu dengan membaca ayat Al-Quran atau doa-doa yang
diajarkan oleh Nabi SAW.
b. kebolehan memberikan gaji, honorarium, atau upah kepada guru-guru,
pegawai, dan karyawan dalam kerangka sistem pendidikan dan
pengajaran.

6 Abd. Al-Muhsin al-Ibad, Syarah sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr. al-'Aini, 2005), h. 403.

10
B. Larangan Pengajar Menerima Upah
1. Hadis Tentang Larangan Pengajar Menerima Upah
‫ي‬ َ ُ‫ع ْن عُ َبادَةَ بْ ِن ن‬
ِ ‫س‬ َ ‫ي‬ ِ ‫ِيرةُ بْ ُن ِز َيا ٍد الْ َم ْو‬
ُّ ِ‫صل‬ َ ‫ي بْ ُن ُم َح َّم ٍد َو ُم َح َّمدُ بْ ُن ِإسْ َمعِي َل قَ َاال َحدَّ َثنَا َوكِي ٌع َحدَّثَنَا ُمغ‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
ُّ ِ‫عل‬
َ‫ت قَا َل عَلَّ ْمتُ نَاسًا مِ ْن أَهْ ِل الصُّفَ ِة الْقُ ْرآن‬
ِ ِ‫عَ ْن ْاْلَس َْو ِد ب ِْن ثَ ْعلَبَةَ عَ ْن عُبَادَةَ ب ِْن الصَّام‬
ُ‫َّللا فَسَأَلْت‬
ِ َّ ‫ي َر ُج ٌل مِ نْ ُه ْم قَ ْوسًا فَقُلْتُ لَيْسَتْ بِ َما ٍل َوأَ ْرمِي عَنْ َها فِي سَبِي ِل‬ َّ َ‫َوالْكِ تَابَةَ فَأَهْدَى إِل‬
‫َار فَاقْبَلْ َها‬ ٍ ‫َّللا عَلَيْ ِه َوسَلَّ َم عَنْ َها فَقَا َل إِ ْن سَ َّركَ أَ ْن تُطَ َّوقَ بِ َها طَ ْوقًا مِ ْن ن‬
ُ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫َرسُو َل‬
7 )‫ماجة‬ ‫(أجرجه ابن‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Muhammad] dan
[Muhammad bin Isma'il] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami
[Waki'] berkata, telah menceritakan kepada kami [Mughirah bin Ziyad Al
Maushili] dari [Ubadah bin Nusai] dari [Al Aswad bin Tsa'labah] dari [Ubadah
bin Ash Shamit] ia berkata, "Aku mengajari Al Quran dan menulis kepada
beberapa orang dari penghuni Ash Shuffah, lalu seorang dari mereka memberiku
hadiah sebuah tombak. Maka aku pun berkata, "Ini bukanlah termasuk harta, dan
aku gunakan di jalan Allah. Lalu aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau menjawab: "Jika engkau suka untuk dihimpit
api neraka, maka terimalah." (HR Ibnu Majah).
2. Asbab al-Wurud dan Penjelasan (Syarah Hadis)
Hadis di atas menguraikan tentang larangan menerima hadiah atau bayaran
dalam konteks pengajaran, yang bertentangan dengan hadis sebelumnya. Ubadah
bin Shamit, seorang sahabat yang menjabat sebagai guru Al-Qur'an dan bertugas
menulis di Al-Shuffah, menghadapi situasi di mana salah satu muridnya
memberikan hadiah berupa busur panah. Ubadah melaporkan kejadian ini kepada
Nabi dan menanyakan pandangan beliau mengenai masalah tersebut. Nabi
menjawab dengan larangan dan ancaman, yaitu dengan mengatakan bahwa
tindakan tersebut dapat mengakibatkan seseorang masuk neraka. Meskipun teks
hadis ini dimulai dengan kata-kata yang terkesan menyenangkan, sebenarnya
tujuannya adalah untuk menegaskan larangan, dengan Nabi mengancam bahwa
tindakan tersebut dapat berujung pada masuknya seseorang ke dalam neraka.

7 Sunan Ibn Majjah hadis nomor 2148

11
Ungkapan "Jika engkau senang dikalungi api neraka" digunakan untuk
menekankan bahwa tidak ada yang seharusnya merasa senang atau menyenangkan
dengan konsekuensi masuk neraka.
Dalam Syarah Sunan Abi Daud yang terdapat dalam Kitab 'Awn al-Ma'bud,
disebutkan bahwa al-Khatabiy menyatakan bahwa para ulama memiliki perbedaan
pendapat dalam menafsirkan hadis tersebut:8
1) Sebagian ulama mengambil makna hadis secara harfiah, yaitu bahwa
menerima gaji saat mengajar Al-Qur'an dianggap terlarang, sejalan
dengan pendapat Al-Zuhriy, Abu Hanifah, dan Ishak bin Rahawayh.
2) Sebagian lain berpendapat bahwa menerima upah atau gaji dalam
mengajarkan Al-Qur'an diperbolehkan selama tidak diwajibkan, artinya
tergantung pada kehendak santri atau murid yang diajar. Ini sesuai
dengan pendapat al-Hasan al-Bashriy, Ibnu Sirin, dan al-Sya’biy.
3) Pendapat sebagian ulama yang lain adalah memperbolehkan menerima
upah atau gaji dalam pengajaran Al-Qur'an, sejalan dengan pandangan
Malik, Atha’, al-Syafi’i, dan Abi Tsawr. Alasan mereka adalah
berdasarkan hadis Sahal bin Sa’ad, di mana Rasulullah saw menjelaskan
kepada seorang laki-laki yang akan menikah namun tidak mampu
memberikan mahar.

ِ ‫زَوجْ تُ َك َها بِ َما َم َعكَ مِ نَ الْقُ ْر‬


‫آن‬ َّ
Artinya: “Aku nikahkan engkau akan dia dengan maskawin apa yang
engkau hafal dari al-qur’an”. (HR Muttafaq ‘Alayh).
Hadis Abi Shamit di atas diartikan sebagai larangan untuk mengajar Al-
Qur'an secara sukarela dengan tujuan mencari pahala, bukan untuk mencari
pekerjaan, dan Rasulullah SAW melarangnya. Selain itu, situasi Ahl al-Shuffah,
di mana orang-orang miskin hidup dari sedekah kaum Muslimin, seharusnya
mendapatkan bantuan tanpa dikenai biaya. Pendapat lain menyatakan bahwa jika
seseorang yang mengajar Al-Qur'an memiliki kewajiban pribadi (kewajiban 'ain),

87Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), 174-
175.

12
ia tidak diizinkan untuk memungut upah atau gaji. Namun, jika kewajiban tersebut
bersifat kolektif (kewajiban kifayah), maka memungut upah diperbolehkan.
Dalam bukunya yang berjudul "Asas-asas Pendidikan Islam," Hasan
Langulung menjelaskan bahwa Ibnu Habib memberikan komentar terkait
interpretasi hadis ini. Menurutnya, larangan ini berlaku pada awal Islam, ketika
Al-Qur'an masih kurang dihafal, belum tersebar secara luas, dan belum dikenal
oleh banyak orang. Pada saat itu, mendapatkan gaji untuk mengajar Al-Qur'an
dianggap setara dengan harga Al-Qur'an itu sendiri. Namun, seiring dengan
penyebaran dan pemahaman yang lebih luas terhadap Al-Qur'an, pengajaran Al-
Qur'an dianggap sebagai pekerjaan yang seharusnya digaji, bukan lagi dianggap
sebagai harga dari Al-Qur'an itu sendiri.
Dalam konteks ini, Ibnu Habib mengubah isu tentang pembayaran mengajar
Al-Qur'an menjadi bayaran profesi pengajaran, sehingga ia terbebas dari dugaan
bahwa bayaran tersebut dianggap sebagai nilai dari Al-Qur'an. Selain itu, bayaran
yang diterima oleh guru hanya sebagai imbalan atas waktu dan usaha yang
diinvestasikan, dan tidak bermakna sebagai nilai dari Al-Qur'an9 .
Al-Ghazali melarang pemberian gaji kepada guru dengan beberapa alasan,
antara lain bahwa seharusnya guru mengikuti teladan syari’at yang dianut oleh
Nabi Muhammad saw, yang tidak pernah menuntut gaji saat mengajarkan ilmu.
Nabi tidak pernah berharap untuk mendapatkan balasan atau syukur, melainkan
mengajarkan ilmu semata-mata karena Allah dan sebagai bentuk mendekatkan
diri kepada-Nya. Salah satu alasan yang menentang profesionalitas guru adalah:
1) Al-Qur'an diajarkan karena Allah, sehingga tidak semestinya
memberikan gaji kepada orang yang mengajarkannya. Alasan ini
bersumber dari tuntutan agama yang mewajibkan para guru untuk
bekerja demi Allah.
2) Pemimpin-pemimpin pada awal kebangkitan Islam, semuanya
memperhatikan kepentingan kaum Muslimin. Tidak ada di antara
mereka yang mengizinkan guru-guru untuk mengajar di surau-surau

9 Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi…, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 207.

13
(kuttab) dan menerima bayaran. Alasan ini didasarkan pada tradisi yang
diwariskan dan kebijakan yang diterapkan oleh para ulama salaf. Praktik
ini dianggap sebagai dasar agama yang dapat dijadikan contoh bagi
orang lain10 .
Plato dan Aristoteles juga berpendapat bahwa motivasi belajar seharusnya
mengutamakan peningkatan derajat dan pengabdian. Dengan kata lain, niat ini
seharusnya sudah ada sejak awal memasuki pekerjaan. Dengan demikian,
motivasi awal yang membentuk profesi guru atau pekerjaan lainnya sebenarnya
bukanlah suatu larangan terhadap profesionalitas guru atau pengajar11 .
Tidak semua individu memiliki kemampuan untuk bekerja secara mandiri
dalam kehidupan mereka karena mungkin tidak memiliki modal kerja yang
memadai, sehingga mereka terpaksa bekerja untuk orang lain. Bekerja untuk
orang lain bukanlah suatu kelemahan, karena Rasulullah sendiri sebelum diangkat
menjadi Rasul pernah bekerja sebagai penggembala dan mendapatkan upah dari
pekerjaannya tersebut. Sebagaimana tercantum dalam hadis berikut: "Dari Abu
Hurairah, Rasulullah bersabda: Allah tidak mengutus seorang Rasul kecuali
sebelumnya ia bekerja sebagai pengembala." Saat ditanya oleh seorang sahabat,
Rasulullah menjelaskan bahwa dia mengembala kambing penduduk Mekah dan
menerima upah dalam bentuk beberapa qirath. Dari hadis ini dapat disimpulkan
bahwa bekerja untuk orang lain bukanlah suatu pekerjaan yang kurang terhormat.
3. Pelajaran Yang Dipetik Dari Hadis
Pelajaran atau hikmah yang bisa diambil:
1) Dilarang membebankan biaya kepada murid yang kurang mampu sebagai
pembayaran untuk pengajaran atau gaji guru yang mengajarkan Al-
Qur'an.
2) Tidak diperbolehkan menerima upah sebagai guru bagi yang awalnya
berniat menjadi sukarelawan atau mengajar Al-Qur'an sebagai kewajiban
pribadi (fardu’ain).

10 Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi…, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 208


11 Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi…, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 209.

14
3) Profesi guru bisa diakui sebagai pekerjaan yang berhak mendapatkan
gaji, termasuk dalam pengajaran Al-Qur'an atau ilmu agama, selama
pendekatan yang diambil tidak bersifat materialistis.

C. Menumbuhkan Nilai-nilai Keikhlasan Dalam Mengajar


Dari segi asal katanya, istilah ikhlas berasal dari bahasa Arab, yang memiliki
arti sebagai kata yang mencerminkan sifat jujur, tulus, bersih, dan tidak bercampur.
Dalam konteks makna yang serupa, kata ikhlas merupakan turunan dari akar kata
‫ َخلُ ص‬yang memiliki arti:
‫تنقية الشئ و تهذيبه‬
Artinya: Mensucikan dan membersihkan sesuatu12
Dasar kenapa seseorang harus ikhlas ini mengacu pada hadis Rasulullah Saw,
beliau bersabda:
)‫ان للا تعالى ال يقبل للا من العمل اال ماكان له خالصا (رواه النسائي عن ابي امامه‬
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali dikerjakan
dengan ikhlas untuk memperoleh ridhanya (Riwayat Nasai dari Abi Amamah)
Dengan demikian, dapat dimaklumi bahwa ikhlas dalam pengertian bahasa
merujuk pada tindakan memurnikan suatu hal dengan fokus pada satu tujuan dan
arah tertentu. Jadi, ketika seseorang melakukan suatu perbuatan semata-mata
karena Allah, tanpa adanya unsur lain seperti harapan akan materi, maka perbuatan
tersebut dianggap ikhlas.
Secara terminologi, ulama memberikan berbagai definisi yang meskipun
berbeda dalam penulisan tetapi memiliki makna yang serupa. Pada dasarnya, ikhlas
diartikan sebagai mengarahkan setiap perbuatan hanya kepada Allah dan tidak
kepada yang lain. Misalnya, Abu al-Qasim Al-Qusyairiy menyatakan bahwa
seseorang dianggap ikhlas ketika ia memiliki keinginan untuk menegaskan hak-hak
Allah dalam setiap tindakan ketaatannya. Dengan ketaatannya itu, individu tersebut
bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada yang lain.

12 Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Muqayis al Lugah, Cet. II, Jilid II,
(alIskandariyah: Dar al Fikr, 1970), h. 208.

15
Tujuannya bukanlah untuk makhluk, tidak untuk mendapatkan pujian dari manusia,
atau penghargaan dari siapapun. Satu-satunya yang diharapkan adalah
mendekatkan diri kepada Allah SWT13 . Ulama lainnya, seperti Haris al-Muhasibiy,
menjelaskan bahwa ikhlas adalah usaha untuk memisahkan hubungan antara
seseorang dengan Tuhan dari keterlibatan dengan makhluk 14 .
Ustaz Abul Qasim al-Qusyairi dalam bukunya, Ar-Risalah, menjelaskan
bahwa ikhlas adalah tindakan menyempurnakan ketaatan dengan mengesakan hak
Allah SWT. Artinya, dengan melakukan ketaatan, seseorang bermaksud untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT semata, bukan kepada hal lain seperti berpura-
pura di depan makhluk, mencari pujian dari manusia, merasa senang dengan
sanjungan, atau untuk tujuan lain selain mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh
karena itu, benar jika dikatakan bahwa ikhlas adalah upaya membersihkan
perbuatan dari penilaian makhluk. Dan benar pula jika dikatakan bahwa ikhlas
adalah menjaga diri dari perhatian orang.
Seorang tokoh salaf, ketika ditanya tentang ikhlas, menyarankan agar
seseorang tidak menunjukkan amalannya kepada selain Allah. Dzun Nun
menambahkan bahwa terdapat tiga tanda yang menunjukkan indikasi ikhlas:
memiliki sikap hati yang sama dalam menerima pujian dan celaan dari orang awam;
melupakan keinginan untuk terlihat saat beramal; dan melupakan harapan pahala
amal di akhirat 15 .
Ikhlas, pada substansinya, adalah kemurnian jiwa. Secara hakiki, tidak ada
faktor luar yang dapat merusak nilai-nilai ibadah seseorang karena tidak ada elemen
seperti air, api, angin, dan tanah yang terlibat. Jiwa memiliki berbagai nama
berdasarkan banyaknya perannya. Pertama, disebut sebagai ruh, karena saat
meninggalkan tubuh, ia dilepaskan, dan saat kembali, ia diperiksa. Kedua, disebut
Muhammad, karena jiwa ini terus memuji Allah di setiap waktu. Ketiga, disebut
an-nafs al-mutmainnah, karena jiwa ini mendalam dalam tunduk pada Allah.

13 Abu Qasyim al-Qusyairiy, Risalah al-Qusyairiyah, (Damsyiq: Dar al-Khair, 1991), h. 95.
14 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz IV, Cet. III, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1991), h. 402.
15 7Yusuf al-Qaradhawi, Ikhlas dan Tawakal: Ilmu Suluk menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Solo:

Aqwam, 2015), h. 85.

16
Keempat, disebut qadiun karena jiwa berasal dari nur Muhammad, yang sendiri
berasal dari sifat Allah seperti al-Jalal, al-Jamal, al-Qahhar, dan al-Kamal. Oleh
karena itu, jiwa memiliki jarak yang tidak terukur dari Allah, dan dekatnya tidak
tersentuh oleh-Nya. Jiwa membawa bekas sifat al-Jamal Allah. Tidak ada alam
yang melampaui jiwa dalam zat, sifat, nama, dan perbuatan. Kelima, disebut
mustafa, karena dipilih menjadi jiwa yang hanya ditujukan kepada Allah. Jiwa ini
senantiasa menyeru dan bersyukur kepada Allah. Jiwa ini diperintahkan oleh Allah
pada langkah pertama membawa rahasia Allah, memberikan pengajaran rahasia
iman, rahasia Islam, rahasia tauhid, dan rahasia makrifat 16 .
Ikhlas, menurut para ulama, dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu: Ikhlas
dalam amal dan ikhlas dalam memperoleh pahala. Ikhlas dalam amal berarti
melakukan suatu tindakan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT, memuliakan perintah-Nya, dan menjawab panggilan-Nya. Orang yang
menggugah keikhlasan semacam ini memiliki keyakinan yang kuat. Kebalikannya
dari keikhlasan ini adalah nifaq, suatu bentuk mendekatkan diri yang tidak
ditujukan kepada Allah SWT. Sementara ikhlas dalam memperoleh pahala berarti
mengharapkan manfaat di akhirat melalui amal kebajikan. Kebalikannya adalah
riya', yaitu mengharapkan manfaat dunia setelah amal kebajikan, apakah
harapannya berasal dari Allah SWT atau manusia.
Amal, menurut sebagian ulama, dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama,
amal yang memiliki dimensi dualitas keikhlasan, yaitu dalam ibadah lahiriah yang
murni. Kedua, amal yang tidak memiliki motivasi keikhlasan dalam memperoleh
pahala, namun juga tidak terletak pada keikhlasan amalnya, melainkan pada
persiapan ibadah. Ikhlas dalam amal untuk mencari pahala, misalnya melalui ibadah
batiniah dengan motivasi mendapatkan keuntungan duniawi, seperti honor,
dianggap tidak ikhlas. Sementara hal-hal yang diizinkan sebagai persiapan
tergolong ikhlas dalam mencari pahala, bukan ikhlas dalam amal. Oleh karena itu,
kategori ini tidak dapat dianggap sebagai amal untuk mendekatkan diri kepada
Allah, melainkan hanya sebagai instrumen untuk mendekatkan diri.

16 Rizal Ibrahim, Menghadirkan Hati: Panduan Menggapai Cinta Illahi (Yogyakarta: Pustaka Sufi,
2003), h.249.

17
Mengembangkan nilai-nilai keikhlasan dalam proses mengajar bisa
diwujudkan dengan cara berikut:
1) Menyadari bahwa amal hanya akan diterima bila dilakukan dengan tulus,
tanpa motif-motif lain.
2) Menyadari nilai sejati dari amal ketika kita menjauhi dunia dan kembali
kepada Allah Swt. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan diri dalam
banyak amalan kebaikan, termasuk kegiatan mengajar.
3) Memahami bahwa Rasulullah Saw sangat mencintai pekerjaan belajar dan
mengajar. Jika kita mengklaim cinta kepada Allah, maka kita harus
menjaga agar kegiatan mengajar tetap tulus, sehingga amal kebaikan
tersebut akan terus tercatat dalam catatan malaikat, dan suatu saat akan
berkumpul bersama dengan Nabi dan para sahabat yang lain.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, dari perspektif hukum syariah, diizinkan untuk menerima honor
atau upah dalam mengajar pelajaran Agama. Hal ini juga berlaku untuk menerima
upah dalam menyembuhkan orang sakit melalui ruqiyah atau membaca ayat-ayat
Al-Qur'an atau doa-do'a dari Nabi SAW. Sistem penggajian, honor, atau upah bagi
guru, pegawai, dan karyawan dalam konteks pendidikan dan pengajaran
diperbolehkan. Namun, dilarang untuk memungut bayaran dari murid yang miskin
sebagai penggajian atau upah guru yang mengajar Al-Qur'an. Bagi guru yang
awalnya bermaksud menjadi sukarelawan atau mengajar sebagai fardu'ain, hal ini
tidak disarankan. Islam memperbolehkan profesi guru dan hak untuk menerima
gaji, selama itu tidak bersifat materialistis. Bahkan, mengajarkan Al-Qur'an atau
ilmu agama sekalipun dianggap sebagai pekerjaan yang boleh dihargai dengan gaji.
Kedua, tujuan mengajar dalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam hadis,
adalah untuk mencari ridha Allah. Oleh karena itu, mengajar seharusnya dilakukan
dengan ikhlas. Menerima upah tidak akan mengurangi pahala, bahkan Islam
menganjurkan memberikan gaji atau honor kepada pengajar.
Ketiga, untuk menanamkan nilai-nilai keikhlasan dalam mengajar, dapat
dilakukan dengan langkah-langkah berikut: Pertama, memahami bahwa amal hanya
akan diterima jika dilakukan dengan ikhlas tanpa motivasi lain. Kedua, menyadari
bahwa nilai sejati dari amal terletak pada saat kita menjauhi dunia dan kembali
kepada Allah Swt. Oleh karena itu, diperlukan banyak amalan kebaikan di dunia,
termasuk kegiatan mengajar. Ketiga, memahami bahwa Rasulullah SAW sangat
menghargai pekerjaan belajar dan mengajar.

19
DAFTAR PUSTAKA

A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok


Pesantren alMunawwir, 1984.
Abd. Al-Muhsin al-Ibad, Syarah sunan Abu Dawud, Beirut: Dar al-Fikr. al-'Aini,
2005.
Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, Hadis-hadis Pendidikan, Jakarta: Kencana,
2012.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz IV,
Cet. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Muqayis al Lugah, Cet. II,
Jilid II, alIskandariyah: Dar al Fikr, 1970.
Abu Qasyim al-Qusyairiy, Risalah al-Qusyairiyah, Damsyiq: Dar al-Khair, 1991.
Al Bukhari Muhammad bin Ismail Abu Abdullah, Shahih Bukhori, t.tp
DaarutThuqinnajah, 1422 H.
Harmy Sulaiman al-Dar’i, Muhadarat fi Ulumil Hadis, t.t. Dar al-Nafais, 2000
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2003.
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tuhfat al-Asyraf li Ma‘rifat al-Atraf, Juz V , Cet ke-II;
(Beirut: alMaktab al-Islamiy, 1403 H/1983 M.
Ibnu Hajar Al-Asqalany, Fath al-Bariy, Juz. 4, Kairo: Mushthafa al Baby al Haby,
1378
H/1959 M.
Ibnu Hamzah Al Husain Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud; Latar
Belakang Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul, terj: Suwarto Wijaya dan
Zafrullah Salim, Jilid 2, Jakarta: Kalam Mulia, 1994.
Ibnu Manzur Muhammad Ibnu Mukarrram Ibnu ‘Aly, Lisan al-‘Arab, Juz.II, Cet.
I, Beirut: Dar Sadr, 1414 H.
Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasit, Juz.1, Teheran: Maktabah al-Islamiyah,
t.th.M.

20
Shuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1; Jakarta: Bulan-Bintang,
1992.
Mahmud Tahhan, Ushulu al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, (Bairut : Dar al-
Qur‘an alKarim, t.th.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.
Qalyubi, Hasyiata Qalyubi wa ‘Umairah, Juz III, Indonesia : Karya Insan, t.th.
Rizal Ibrahim, Menghadirkan Hati: Panduan Menggapai Cinta Illahi Yogyakarta:
Pustaka Sufi, 2003.
Yusuf al-Qaradhawi, Ikhlas dan Tawakal: Ilmu Suluk menurut Al-Qur’an dan As-
Sunnah, Solo: Aqwam, 2015.
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, terj.
Setiawan Budiutomo dan Ainur Rofiq Shaleh Tamhid, Jakarta:
Robbani Press, 1997

21

Anda mungkin juga menyukai