Anda di halaman 1dari 8

A.

Latar Belakang

Setiap bahasa memiliki ciri khas masing-masing dan bahkan tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Seperti
halnya dengan bahasa Arab yang memiliki keunikan dari bahasa lain. Salah satu keunikannya yaitu
adanya i'rab dalam bahasa Arab. I'rab memiliki peran yang penting dalam memberikan makna suatu
kata maupun kalimat dan menggambarkan hubungan satu kata sengan kata lainnya dalam kalimat.
Sistem ini tidak ada didapatkan dalam bahasa manapun dan menjadi ciri khas dari bahasa Arab.

Namun terkadang timbul pertanyaan, apakah i'rab atau perubahan harakat di akhir suatu kata itu
memiliki pengaruh terhadap makna yang ingin disampaikan ataukah hanya sebagai penyambung satu
kata kepada kata selanjutnya tanpa memiliki makna atau bahkan hanya bagian dari kata itu saja tanpa
memiliki fungsi apa-apa?

Dalam hal ini ada dua pendapat mengenai fungsi i'rab. Pendapat pertama mengatakan bahwa i'rab tidak
memiliki hubungan substansial terhadap makna baik kata maupun kalimat. Mereka meyakini bahwa
i'rab hanya bagian dari seni kebahasaan yang berkaitan dengan keserasian musik dan sya'ir bahasa Arab.
Sedangkan menurut pendapat yang lainnya mengatakan bahwa i'rab memiliki peran yang penting dalam
menentukan makna suatu kata dalam kalimat. Hal itu tampak dari bagaimana perubahan harakat saja
bisa memberikan petunjuk bahwa makna inilah yang dimaksud dalam kalimat tersebut.

Untuk lebih jelaskan akan dipaparkan dalam makalah ini mengenai pengertian i'rab, sejarah
perkembangan i'rab, dan bagaimana fungsi i'rab dalam pandangan ahli bahasa.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian i'rab secara bahasa dan istilah?

2. Bagaimana sejarah perkembangan i'rab?

3. Bagaimana fungsi i'rab dalam pandangan ahli bahasa?


A. Definisi I’rab

Secara etimologi, kata I'rab berasal dari kata ‫ اعرابا‬- ‫ يعرب‬- ‫ اعرب‬yang bermakna menyatakan atau
mengucapkan. Sedangkan secara terminologi, para ahli bahasa memiliki pemahaman yang beragam.
Beberapa diantaranya sebagai berikut.

1. Abbas Hasan : perubahan sebuah tanda ataupun alamat yang dimiliki oleh kata dikarenakan adanya
faktor yang mengharuskannya untuk berubah.

2. Abdullah bin Ahmad Al-Fakihi : perubahan yang terjadi di akhir pada suatu kata yang disebabkan oleh
faktor yang disandang yang perubahannya nampak atau tidak nampak.

3. Ibnu Hisyam Al-Ansory : dampak pada akhir isim maupun yang terjadi pada akhir fi'il mudhori yang
dapat diindera ataupun yang dikira-kirakan.

4. Penjelasan mengenai fungsi kata atau frasa dalam sebuah kalimat sebagai struktur sintaksis.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, ada 4 konsep dalam menggambarkan i'rab yaitu tagayyur, taghyir,
atsar, dan bayan.

B. Sejarah Perkembangan I'rab

Awal mula munculnya irab dalam Bahasa Arab sebagai sebuah fenomena kebangsaan yang ada di
kalangan kabilah Arab. Kemudian fenomena tersebut berkembang menjadi suatu hal yang pokok dan
diwariskan kepada generasi berikutnya. Hal itu terus berlanjut hingga pada akhir tahun pertama hijriyah
para ahli Bahasa dari Iraq menyempurnakan pembahasan mengenai I’rab.

Beberapa ahli Bahasa Arab orientalis berpendapat bahwa al-Qur’an diturunkan menggunakan dialek
Mekah yang terlepas dari aturan I’rab dan I’rab itu hanya dapat ditemukan dalam bentuk karya sastra
saja. Argumentasi ini berdasarkan pada dua hal :

1) Semua dialek Arab yang berkembang dan bertahan hingga saat ini terlepas dari aturan I’rab. Jika
I’rab telah digunakan sejak dahulu, maka aturan I’rab akan sampai dan digunakan pada dialek
Arab saat ini.

2) Aturan I’rab yang kompleks dipandang sulit dalam pemakaian dan perkembangan Bahasa dan
hampir tidak bisa terjaga lagi pada masa sekarang ini, karena dialek percakapan saat ini lebih
mengutamakan kemudahan dalam pengucapan bahasanya.

Namun beberapa ahli Bahasa Arab lainnya tidak sependapat dengan hal di atas dan mendukung
keberadaan dan fungsi I’rab. Beberapa argumennya dijabarkan sebgai berikut.

1) Sebagian dialek bahasa Arab sekarang senantiasa memelihara I‟rab terutama I‟rab dengan
menggunakan huruf.

2) Perkembangan bahasa sesungguhnya yang dapat menghilangkan I‟rab, jadi tidak adanya I‟rab
bagi sebagian dialek bahasa Arab tidak berarti dulu bahasa itu tidak ber-I‟rab.
3) Tidak ditemukan dalam riwayat terkait dengan kebahasa Araban yang menunjukkan bahwa para
ahli nahwu serampangan dalam menetapkan qawâ‟id.

4) Sya‟ir Arab dengan wazan musiknya senanstiasa berpegang teguh kepada I‟rab, tanpa I‟rab
setiap wazan-wazan syi‟ir menjadi rancu.

5) Al-Qur‟an dan Hadits Nabi sampai kepada kita dengan kalimat yang berI‟rab.

6) Riwayat tentang Lahn dan orang-orang yang melakukannya tidak mungkin dibuat-buat atau
hanya riwayat bohong, padahala riwayat tentang lahnbanyak ditemukan dikalangan para
sahabat.

7) Orang Arab tidak dapat memahami bahasa kecuali kalimatnya ber-I‟rab.

8) Pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur‟an diturunkan tanpa I‟rab adalah pendapat yang
tidak disertai dengan argumentasi kuat. Justru para ulama mendapatkan al-Qur‟an dalam
keadaan ber-I‟rab lalu dari I‟rab itu para ulama dapat menetapkan qawâ‟idnya, karena al-
Qur‟an dipandang sebagai teks yang sangat terpercaya yang dapat dijadikan rujukan dalam
menetapkan benarnya suatu kaidah dari kaidah-kaidah I‟rab.

9) Apabila al-Qur‟an diturunkan tanpa I‟rab, maka dimana letak bentuk penentangan ketika Allah
menantan orang-orang musyrik untuk bisa mendatangkan satu surat yang semisal al-Qur‟an,
dan bentuk penentangan itu tidak ada kecuali apabila bahasa al-Qur‟an itu pada dasarnya
merupakan bahasa yang digunakan oleh orang-orang pada waktu itu yang terdiri dari lafadz,
susunan, dan harakat.

Dari uraian di atas jelas kiranya bahwa I‟rab itu digunakan dalam bahasa sastra maupun dalam
bahasa percakapan biasa dan I‟rab juga merupakan unsur mendasar dalam bahasa Arab yang
lahir sejak bahasa Arab itu ada. Tetapi kita juga tidak memungkiri adanya lahn sejak masa Islam
atau mungkin sebelum masa Islam dan lahn ini tidak terbatas pada masyarakat kebanyakan dari
bangsa Arabbahkan kadang terjadi dikalangan para khalifah, ahli hadits, dan juga ahli fiqh. Lahn
juga terkadang terjadi ketika membaca kitab Allah . dalam sebuah riwayat Nabi berkata:
ini menunjukkan bahwa Nabi mendengar sebagian orang di masanya membaca al-Qur‟an
dengan lahn.
Perkembangan bahasa Arab terus melaju seiring meluasnya penyebaran Islam sehingga mulai
muncul bahasa „âmiyah pada masa Abbasiyah. Pada masa itu orang-orang mengenal dua bahasa
yaitu bahasa „âmiyah yang cenderung mematikan akhir kata dan yang kedua bahasa fusha yaitu
bahasa dengan menggunakan I‟rab dan merupakan bahasa tingkat tinggi.2

C. Fungsi Irab

Upaya mempermudah pembelajaran ilmu nahwu dengan cara menghindari masalah i’rab, yaitu
dengan cara selalu mewaqafkan dalam tiap pembacaan kata-kata dalam suatu kalimat berkaitan
erat dengan angga pan bahwa ilmu nahwu itu sebagai alat untuk membaca kitab gundul. Akan
tetapi cara demikian ini pada gilirannya akan tetap menemui kesulitan karena kata-kata Arab
meskipun diwaqafkan tetap saja memiliki tanda i’rab dan tidak bisa dihilangkan, misalnya dalam
kalimat: Ja’a al-Muslimuna , tetap saja ada tanda i’rabnya meskipun dibaca waqaf, karena pada
dasarnya mewaqafkan itu bukan menghilangkan tanda i’rab.

Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut kelihatan bahwa ternyata i’rab itu hanyalah sebuah
istilah untuk mengklasifikasikan kata-kata Arab

sehingga berada dalam klasifikasi rafa’, nashab, jir dan jazm berdasarkan

pada keadaan akhir kata yang menjadi tanda i’rab.32 Dengan penjelasan

demikian maka setiap kata yang memiliki tanda i’rab berarti ia mu’rab dan

apabila kata itu tidak memiliki tanda i’rab, sehingga tidak ada bedanya

meskipun diklasifikasikan dalam klasifikasi rafa’, atau nashab, atau jir atau

jazm, maka kata itu disebut mabni. Jadi munculnya istilah mabni ini karena

adanya usaha mengklasifikasikan kata yang tidak memerlukan klasifikasi.

Selanjutnya definisi i’rab demikian menjadikan istilah alamat i’rab

muqaddar atau i’rab taqdiri tidak berlaku. Tanda i’rab itu tidak muqaddar. Bila

tanda i’rab itu muqaddar itu berarti berlawanan dengan namanya sendiri.

Sebuah tanda itu konkret, atau hissiy atau inderawi, bisa dilihat ketika ditulis

dan bisa diketahui melalui pendengaran ketika diucapkan.

Sangat jauh dari pemahaman logis ketika dinyatakan bahwa tanda


i’rab itu muqaddar atau diperkirakan. Kalau diperkirakan itu berarti tidak

ada tanda. Cukup saja dinyatakan kata itu tidak memiliki tanda i’rab yang

mem bedakan ketika dalam klasifikasi rafa’ atau nashab atau jir atau jazm.

Oleh karena itu kata-kata demikian ini, yang tidak memiliki tanda i’rab,

apabila dii’rabi atau diklasifikasikan maka cara mengi’rabinya terbalik.

Artinya, kegiatan menentukan i’rab atau klasifikasi kata itu berdasarkan

pada fungsinya dalam kalimat atau posisinya dalam struktur kalimat.

Proses mengi’rabi demikian ini berarti harus mengerti dulu maksud

kalimat atau fungsi kata itu dalam kalimat supaya tahu i’rabnya. Proses

demikian ini proses mubaddzir yang sia-sia, karena tidak ada gunanya kata

itu dii’rabi bila sudah diketahui maksudnya. Lagi pula setelah dii’rabi atau

diklasifikasi ternyata kata tersebut tetap saja tidak ada tanda yang perlu

dibenahi. Ini berbeda dengan kata-kata yang memiliki tanda i’rab dimana

cara mengi’rabinya berdasarkan pada tanda i’rab yang ada pada kata itu,

baru kemudian diketahui fungsi kata itu dalam kalimat. Setelah diketahui

fungsinya maka diketahui makna kalimat secara utuh. Dengan demikian


kelihatan jelas fungsi tanda i’rab itu, yaitu untuk menunjukkan i’rab atau

klasifikasi kata.33

Setelah tahu i’rab suatu kata atau klasifikasi kata maka diketahui fungsi

kata dalam kalimat dan dipahami maksud kalimat secara utuh. Kajian ini

sekaligus memberikan informasi tentang fungsi tanda i’rab. Adapun sebutan

mabni maka istilah tersebut muncul karena adanya kata yang tidak memiliki

tanda i’rab tetapi tetap saja dipaksakan untuk dii’rabi atau diklasifikasikan

menjadi rafa’, nashab, jir, atau jazm. Padahal kata-kata demikian tidak

memerlukan i’rab karena tidak punya tanda i’rab yang bisa membedakan.

Dari sini dapat dipahami bahwa i’rab taqdiri dan mahalli adalah i’rab mainmain, karena tidak ada
manfaatnya sama sekali kecuali justru mempersulit

dan menjadikan langkah mundur ketika sedang belajar bahasa Arab.

Bila sudah paham maksud kalimat maka tidak lagi diperlukan mencari

i’rab kata itu. Boleh jadi, ini yang menyebabkan orang berpendapat bahwa

i’rab itu sebetulnya tidak ada. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa i’rab itu

ada dan perlu. Hanya saja keberadaan dan keperluannya itu tidak harus

mempersulit atau menjadikan proses pemahaman bahasa Arab itu terhambat


atau mundur. Inilah gunanya konsep baru tentang i’rab yang dikemukakan

dalam tulisan ini.34

Dengan hadirnya konsep baru tentang i’rab ini diharapkan konsep

lama sudah tidak perlu dihadirkan lagi kecuali dalam tataran wacana dan

untuk tinjauan ulang. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran ilmu nahwu

sesuai dengan orientasi ilmu nahwu itu sendiri sebagai gramatika, bukan

sebagai alat untuk mencari-cari ketentuan i’rab suatu kata yang tidak

memiliki tanda i’rab.35 Kata-kata dalam sebuah kalimat itu sendiri yang

telah menunjukkan i’rabnya melalui tanda i’rabnya yang tidak muqaddar,

baru kemudian setelah diketahui i’rabnya maka dengan ilmu nahwu dapat

diketahui fungsi kata dalam kalimat tersebut, yang selanjutnya dapat

dipahami maksud kalimat.36

Dengan orientasi demikian maka pembahasan ’jelimet’ tentang i’rab

kata dalam sebuah kalimat tidak akan terjadi, karena penentuan i’rab kata

dan kegunaan ilmu nahwu itu sendiri sudah berada jauh di belakang kepala

bila suatu kalimat itu sudah dapat dipahami. Dari sini dapat diinsafi bahwa
pada dasarnya ilmu nahwu itu hanya diperlukan bagi orang yang berbahasa

Arab sebagai bahasa kedua, bukan bagi orang yang berbahasa Arab secara

otomatis seperti bangsa Arab yang memakainya sebagai bahasa ibu. Itulah

guna gramatika bahasa Arab atau ilmu nahwu bagi pembelajaran bahasa

Arab dalam konteknya sebagai alat komunikasi.37

Anda mungkin juga menyukai