Kata Pengantar
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya
sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam
makalah ini kami akan membahas mengenai “Aqidah, Tauhid, Iman, Hakikat dan kedudukannya”.
Makalah ini telah dibuat agar kita semua mengetahui dan memahami apa kedudukan dan hakikat dari
Aqidah, Tauhid, dan Iman.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu
kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah mengutus hambaNya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
dengan membawa kebenaran, menyampaikan amanat kepada ummat dan berjihad dijalanNya hingga
akhir hayat. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau, berikut para keluarga,
shahabat dan pengikutnya yang setia.
Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi yaitu keyakinan atau akidah dan sesuatu yang di
amalkan atau amaliah. Amal perbuatan tersebut merupakan perpanjangan dan implentasi dari akidah
tersebut. Islam adalah agama samawi yang bersumber dari Allah SWT yang berintikan keimanan dan
perbuatan.
Kedudukan tauhid dalam Islam sangatlah fundamental, karena dari pemahaman tentang tauhid itulah
keimanan seorang muslim mulai tumbuh. Konsep tauhid dalam Islam merupakan salah satu pokok
ajaran yang tidak dapat diganggu gugat dan sangat berpengaruh terhadap keislaman seseorang. Apabila
pemahaman tentang tauhid seseorang tidak kuat, maka akan goyah pula pilar-pilar keislamannya secara
menyeluruh.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pengertian agama pengertian akidah adalah kandungan rukun iman, yaitu:
Sehingga akidah ini juga bisa diartikan dengan keimanan yang mantap tanpa disertai keraguan di dalam
hati seseorang.
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah
adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang
dibangun di atasnya. Akidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya
amalan. Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya:
Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila tercampuri dengan
kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat memperhatikan perbaikan akidah sebagai prioritas
pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh para Rasul kepada kaum mereka;
menyembah kepada Allah saja dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya.
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan
pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah dan
mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan,
dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang
waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan
yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat,
sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya.
Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang
waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita
mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
2. 3 Hakikat Aqidah
Dalam menjelaskan definisi akidah ada disebut perkataan kepercayaan atau keimanan. Ini disebabkan
Iman merupakan unsur utama kepada akidah. Iman ialah perkataan Arab yang berarti percaya yang
merangkumi ikrar (pengakuan) dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mempraktikkan dengan
perbuatan.
Walaupun iman itu merupakan peranan hati yang tidak diketahui oleh orang lain selain dari dirinya
sendiri dan Allah SWT, namun dapat diketahui oleh orang melalui bukti-bukti amalan. Iman tidak pernah
berkompromi atau bersekongkol dengan kejahatan dan maksiat. Sebaliknya, iman yang mantap di dada
merupakan pendorong ke arah kerja-kerja yang sesuai dan secucuk dengan kehendak dan tuntutan iman
itu sendiri.
Tauhid (Arab :)توحيد, adalah konsep dalam aqidah islam yang menyatakan keesaan Allah. Tauhid diambil
kata : Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang
berarti satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu berarti keyakinan akan
keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah kalimat La Illaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan
Allah.
Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga oleh karenanya Islam
dikenal sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan. Bahkan gerakan-gerakan
pemurnian Islam terkenal dengan nama gerakan muwahhidin ( yang memperjuangkan tauhid ). Dalam
perkembangan sejarah kaum muslimin, tauhid itu telah berkembang menjadi nama salah satu cabang
ilmu Islam, yaitu ilmu Tauhid yakni ilmu yang mempelajari dan membahas masalah-masalah yang
berhubungan dengan keimanan terutama yang menyangkut masalah ke-Maha Esa-an Allah.
Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah adalah keyakinan tentang keesaan Allah taala di dalam perbuatan-perbuatan-
Nya.
Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam tujuan perbuatan-perbuatan hamba yang
dilakukan dalam rangka taqorub dan ibadah seperti berdoa, bernadzar, menyembelih kurban,
bertawakal, bertaubat, dan lain-lain.
2. 5 Kedudukan Tauhid
Seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam
yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat diterimanya amal perbuatan disamping harus sesuai
dengan tuntunan Rasulullah.
Pada dasarnya manusia telah mengenal Allah meski secara global, maka para Rasul utusan Allah diutus
bukan untuk memperkenalkan tentang Allah semata. Namun hakikat dakwah para Rasul adalah untuk
menuntut mereka agar beribadah hanya kepada-Nya. Dengan demikian materi dakwah para rasul
adalah Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu istilah tauhid tatkala disebutkan secara bebas (tanpa diberi
keterangan lain) maka ia lebih mengacu kepada Tauhid Uluhiyah.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” (Adz-
Dzariyat: 56)
maksud dari kata menyembah di ayat ini adalah mentauhidkan Allah dalam segala macam bentuk
ibadah sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat dan ahli
tafsir. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya
untuk beribadah kepada Allah saja. Tidaklah mereka diciptakan untuk menghabiskan waktu kalian untuk
bermain-main dan bersenang-senang belaka. Sebagaimana firman Allah,
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-
main. Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami.
Jika Kami menghendaki berbuat demikian.” (Al Anbiya: 16-17).
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan
bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun: 115)
Selain itu, tauhid juga adalah tujuan diutusnya beberapa rasul ke muka bumi, dalam hal ini Allah
berfirman, “Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
‘Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36). Makna dari ayat ini adalah bahwa para
Rasul mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi terakhir Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wa sallam diutus
oleh Allah untuk mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak
memepersekutukanNya dengan sesuatu apapun. Maka pertanyaan bagi kita sekarang adalah “Sudahkah
kita memenuhi seruan Rasul kita Muhammad shollallahu alaihi wa sallam untuk beribadah hanya
kepada Allah semata? ataukah kita bersikap acuh tak acuh terhadap seruan Rasulullah ini?”
Selain itu tauhid merupakan perintah Allah yang paling utama dan pertama, Allah
berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-
Nisa: 36). Dalam ayat ini Allah menyebutkan hal-hal yang Dia perintahkan. Dan hal pertama yang Dia
perintahkan adalah untuk menyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Perintah ini didahulukan
daripada berbuat baik kepada orang tua serta manusia-manusia pada umumnya. Maka sangatlah aneh
jika seseorang bersikap sangat baik terhadap sesama manusia, namun dia banyak menyepelekan hak-
hak Tuhannya terutama hak beribadah hanya kepada Allah semata.
Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan Allah kepada setiap hamba-Nya.
Namun, sangat disayangkan kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti
hakekat dan kedudukan tauhid. Padahal tauhid inilah yang merupakan dasar agama kita yang mulia ini.
Oleh karena itu sangatlah urgen bagi kita kaum muslimin untuk mengerti hakekat dan kedudukan
tauhid. Hakekat tauhid adalah mengesakan Allah. Bentuk pengesaan ini terbagi menjadi tiga, berikut
penjelasannya.
Maksudnya adalah kita meyakini keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan
oleh Allah, seperti mencipta dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi rezeki,
memberikan manfaat, menolak mudharat dan lainnya yang merupakan kekhususan bagi Allah. Hal yang
seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang
mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya
hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui
bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah
membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allah “Apakah mereka diciptakan
tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan
bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).“ (Ath-Thur: 35-36)
Maksudnya adalah kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti shalat,
doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya.
Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Allah semata. Tauhid
inilah yang merupakan inti dakwah para Rasul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum
musyrikin Quraisy. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka
itu “Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya
ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5). Dalam ayat ini kaum musyrikin
Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh
karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka
mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta alam semesta.
Maksudnya adalah kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dan kita juga meyakini bahwa hanya Allah-lah yang pantas untuk
memiliki nama-nama terindah yang disebutkan di Al-Qur’an dan Hadits tersebut (yang dikenal
dengan Asmaul Husna). Sebagaimana firman-Nya “Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan,
Yang Membentuk Rupa, hanya bagi Dialah Asmaaul Husna.” (Al-Hasyr: 24)
Seseorang baru dapat dikatakan seorang muslim yang tulen jika telah mengesakan Allah dan tidak
berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut di atas. Barangsiapa yang menyekutukan Allah (berbuat syirik)
dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan muslim tulen tetapi dia adalah seorang
musyrik.
Iman menurut pengertian sesungguhnya ialah kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan
penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup,
tingkah laku dan perbuatan sehari- hari. Jadi iman itu bukanlah semata-mata ucapan lidah, buakn
sekedar perbuatan, dan bukan pula hanya merupakan pengetahuan tentang rukun iman
Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada
cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali
jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari
segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku
keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim
adalah mukmin
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi yang
terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan
dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka
yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-
ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu)
orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan
kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang
keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah
dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan
sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka
seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara
keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya
Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:
Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun
Iman yang enam, yaitu:
Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang
mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang
sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.
Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka
yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat Iman
kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita
karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.
Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya
Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman:
Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang
yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran
sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aqidah, Tauhid, Iman dalam kehidupan umat muslim perlu kita pelajari dan amalkan. Akidah adalah
beberapa perkara yang wajib di yakini kebenarannya oleh hati, dapat mendatangkan ketentraman jiwa
dan menjadi keyakinan yang tidak tercampur dengan keraguan-keraguan. Tauhid adalah konsep dalam
aqidah islam yang menyatakan keesaan Allah.Sedangkan iman menurut pengertian sesungguhnya ialah
kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu
serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup. Akidah yang benar merupakan landasan tegaknya
agama dan kunci diterimanya amalan.Dan seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam
yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat diterimanya
amal perbuatan disamping harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Kedudukan Iman lebih tinggi dari
pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup
Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mampu
mewujudkan nnkeislamannya.
3.2 Saran
Sebagai umat muslimnya hendaknya kita mengetahui hakikat dan kedudukanya akidah,tauhid dan iman
dalam kehidupan sehari hari agar perbuatan kita tidak melenceng dari semestinya, sesuai dengan Al-
Qur’an dan sunnah rosullullah.Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Daftar Pustaka
http://yunusmakalah.blogspot.com/2010/05/akidah-dan-tauhid.html
http://ceritakuaja.wordpress.com/2013/05/25/makalah-hakikat-iman-islam-dan-ihsan/
http://iskud.wordpress.com/2010/12/06/hakikat-dan-kedudukan-tauhid/
http://ade-budayaminang.blogspot.com/2011/11/iman-dan-kufur.html
Fachrudin (1977). Iman dan Kehidupan. Jakarta: N.V Bulan Bintang.