Anda di halaman 1dari 142

PSIKOLOGI MANAJEMEN

Psikologi Manajemen | i
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 1
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prin-
sip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi
pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaim-
ana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipi-
dana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I

PSIKOLOGI MANAJEMEN

Editor:
Samsu, S.Ag., M.Pd.I., Ph.D.

PUSAKA JAMBI
2017

Psikologi Manajemen | iii


PSIKOLOGI MANAJEMEN

Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


@Desember 2017

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


All right reserved

Editor:
Samsu, S.Ag., M.Pd.I., Ph.D.

Layout & Desain Cover:


Murjoko, S.Kom

Diterbitkan oleh:
Pusat Studi Agama dan Kemasyarakatan (PUSAKA)
email: pusakajambi@gmail.com

Cetakan I, Desember 2017


x + 132 halaman; 15,5 x 23 cm.
ISBN: 978-979-24-0470-8

iv | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


KATA PENGANTAR
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Dengan mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, buku
dengan judul ”Psikologi Manajemen” ini dapat diterbitkan tepat
pada waktunya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah
kepada Nabi Muhammad saw, yang telah mencerahkan kehidupan
manusia dengan ilmu, iman, dan amal shaleh.
Selaku pimpinan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi, kami menyatakan penghargaan yang
setinggi-tingginya dan menyampaikan ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada penulis yang telah menuangkan gagasan
dan pemikirannya dalam buku ini, sehingga dapat menambah
produktivitas, karya, serta buku referensi yang dapat digunakan
oleh semua pihak, terutama mahasiswa di perguruan tinggi dalam
melakukan tradisi keilmuan dengan kajian-kajian yang relevan
dengan apa yang dituangkan dalam buku ini.
Buku ini hadir untuk melengkapi kurangnya referensi yang ada
dan terkait dengan masalah yang diangkat dalam buku ini. Sudah
barang tentu disadari mungkin masih jauh dari harapan karena
kekhilafan dan kekurangan yang ada. Karena itu, selaku Dekan
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi, saya mendorong kepada penulis untuk tetap menulis demi

Psikologi Manajemen | v
kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada masa-masa
yang akan datang.

Jambi, September 2017


Dekan,

Dr. H. Kasful Anwar Us, M.Pd


NIP. 19681204 199403 1 004

vi | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


PENGANTAR PENULIS

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena
dengan taufik dan hidayah-Nya, penulis telah diberi kesempatan
dan kekuatan sehingga dapat menyelesaikan penulisan buku
”Psikologi Manajemen” ini. Kemudian, shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada Junjungan kita, Nabi Muhammad saw,
yang telah berjasa besar dalam mereformasi kehidupan manusia di
muka bumi ini menuju alam yang terang benderang yang diwarnai
dengan ketauhidan, ilmu pengetahuan, dan akhlak mulia.
Buku ini penulis susun dengan tujuan untuk membantu me­
mu­dahkan mahasiswa untuk mencapai materi perkuliahan yang
sangat banyak, sedangkan waktu yang diberikan hanya satu
semester. Psikologi manajemen merupakan ilmu terapan yang
menggabungkan aspek psikologi dan manajemen, sehingga dapat
memahami perilaku manusia dalam penerapan manajemen sebagai
ilmu maupun sebagai seni, sehingga pada akhirnya mampu mewu­
judkan efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian kinerja organisasi
secara keseluruhan.
Terwujudnya buku ini adalah berkat bantuan dari semua
pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah ikut berpartisipasi dalam rangka mewujudkan buku ini, serta
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para civitas akademika
di lingkungan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, khususnya kepada Dr.

Psikologi Manajemen | vii


H. Kasful Anwar US, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi,
yang telah memberikan motivasi sehingga penulisan buku ini dapat
tercapai.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa terdapat banyak keku­
rangan dalam penulisan buku ini, yang semata-mata merupakan
kelemahan dan kealfaan dari penulis sendiri. Untuk itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan buku ini. Hanya kepada Allah SWT, sumber segala
kebenaran dan kesempurnaan, penulis serahkan semuanya. Semoga
buku ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin yaa rabbal ‘aalamiin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jambi, 1 September 2017


Penulis,

Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I

viii | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


DAFTAR ISI

Pengantar Dekan FTK UIN STS Jambi . ......................................... v


Pengantar Penulis ............................................................................. vii
Daftar Isi ............................................................................................. ix

Bagian I : Pendahuluan ............................................................. 1
Bagian II : Pengantar Psikologi Manajemen . .......................... 3
Bagian III : Pengetahuan Manajemen ........................................ 11
Bagian IV : Landasan Psikologi Manajemen ............................ 19
Bagian V : Planning Organisasi Pendidikan . .......................... 27
Bagian VI : Organizing Organisasi Pendidikan ....................... 37
Bagian VII : Actuating Organisasi Pendidikan .......................... 43
Bagian VIII : Controlling Organisasi Pendidikan ....................... 47
Bagian IX : Efektivitas Kepemimpinan ..................................... 53
Bagian X : Budaya Organisasi ................................................... 59
Bagian XI : Motivasi (Teori, Konsep, dan Aplikasi) . ............... 65
Bagian XII : Pengambilan Keputusan ......................................... 71
Bagian XIII : Penerapan Psikologi Manajemen ........................... 83
Bagian XIV : Inovasi Organisasi .................................................... 99
Bagian XV : Kinerja Organisasi yang Unggul ............................ 107

Daftar Pustaka.................................................................................... 125


Curriculum Vitae............................................................................... 131

Psikologi Manajemen | ix
x | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I
BAGIAN I
PENDAHULUAN

Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi


kebutuhan kelangsungan hidupnya. Manusia juga berusaha
memikirkan dan menjelajah hal-hal yang baru demi kelangsungan
hidup di masa yang akan datang. Lebih lanjut, manusia adalah
makhluk yang berpikir, merasa, dan mengindera; dan totalitas
pengetahuan berasal dari ketiga sumber ini, di samping wahyu,
yang merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan makhluk-
Nya. Kemampuan yang dimiliki oleh manusia ini pada akhirnya
menemukan berbagai pengetahuan baru berlandaskan secara
ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu itu sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
pesat pada gilirannya turut memperkaya dan memperluas wahana
ilmu manajemen Penemuan-penemuan baru dalam bentuk konsep-
konsep, prinsip-prinsip, dan macam-macam prosedur ternyata
sangat diperlukan untuk melaksanakan proses manajemen secara
efektif.
Kemajuan ilmu dan teknologi tersebut terutama terpusat pada
ilmu-ilmu perilaku (behavioural sciences) yang memandang manusia
sebagai suatu yang memiliki serba kemungkinan. Ilmu ini bertitik
tolak pada hukum probabilitas. Manusia bukan suatu mesin yang
bersifat mekanistik, melainkan memiliki motivasi, ambisi, aspirasi,
kreativitas, dan berbagai potensi psikologis lainnya. Karena itu,
manusia bertingkah laku berdasarkan situasi yang menuntut

Psikologi Manajemen | 1
keluwesan dan adaptif. Konsep dan teori psikologi ini banyak,
bahkan besar pengaruhnya terhadap ilmu manajemen dan praktek
manajemen dalam setiap organisasi dan kelembagaan yang ada
dewasa ini.

2 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


BAGIAN II
PENGANTAR PSIKOLOGI MANAJEMEN

A. Pengertian Psikologi Manajemen


Psikologi adalah studi tentang tingkah laku manusia, yakni
tingkah laku individu yang berinteraksi dengan lingkungannya.
Individu merupakan suatu kesatuan organisme yang hidup,
potensial berkembang. Lingkungan mengandung makna yang luas
meliputi lingkungan sosial dan lingkungan alami.1
Psikologi sebagai suatu ilmu memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1. Obyek psikologi adalah tingkah laku organisme yang dapat
diamati. Fungsi psikologi adalah untuk menentukan dan
menjelaskan tingkah laku tersebut, misalnya mengapa manusia
melakukan perbuatan tertentu, dan kondisi-kondisi apa yang
menyebabkan atau mempengaruhinya, sehingga berlaku/
berbuat tertentu.
2. Psikologi berupaya menjelaskan tingkah laku serta hubungan­
nya dengan kondisi-kondisi lingkungan, atau pengamalan, dan
keadaan orang yang melakukan tingkah laku tersebut, secara
sistematis dan komprehensif.
3. Psikologi menggunakan metode ilmiah untuk menjelaskan
tingkah laku, berdasarkan data yang diperoleh melalui obser­
vasi yang sistematik, misalnya dengan tes yang handal.
4. Penerapan psikologi dalam situasi praktis berdasarkan pada


1
Hamalik, Oemar, (1993). Psikologi Manajemen (Penuntun Bagi Pemimpin).
Bandung: Trigenda Karya, h. 17.

Psikologi Manajemen | 3
pengetahuan ilmiah tentang tingkah laku. Jadi bukan dengan
cara common sense, melainkan menggunakan prinsip-prinsip
psikologi secara sistematis.

Proses Interaksi
Tingkah laku individu (organisme) pada hakekatnya meru­
pakan reaksi terhadap suatu/seperangkat stimulus, yang berasal
dari lingkungan dan bersumber dari dunia, reaksi mana ditujukan
kepada lingkungan dan dunia sekitarnya.

Tingkah Laku Manusia


Semua jenis tingkah laku pada umumnya ditandai oleh unsur-
unsur sebagai berikut:
1. Suatu tingkah laku dilandasi oleh motivasi tertentu. Perubahan
tingkah laku mulai dari keadaan organisme memiliki motivasi
dan keadaan ini timbul bersumber atau dari luar kebutuhan
organisme.
2. Tingkah laku yang bermotivasi adalah tingkah laku yang
sedang dalam keadaan mencapai tujuan. Fungsi pencapaian
tujuan adalah ”pengurangan” dalam ketegangan dalam keada­
an memerlukan.
3. Seseorang melakukan suatu tingkah laku dipengaruhi oleh
tujuan yang dapat memuaskan kebutuhannya, sehingga
bersifat selektif dan regulatif.
4. Lingkungan menyediakan kesempatan dan sekaligus memba­
tasi tingkah laku organisme.
5. Tingkah laku dipengaruhi oleh proses-proses dalam organisme.
6. Tingkah laku ditentukan oleh kapasitas pada organisme manu­
sia itu sendiri.

Hakekat Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi pola-pola tingkah laku yang diper­
oleh dalam lingkungan tersebut. Lingkungan ini dibagi menjadi

4 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


dua bagian, yaitu lingkukngan kultural dan lingkungan manusia
(interpersonal).
1. Lingkungan Kultural
Lingkungan kultural adalah sesuatu yang ada yang bebas
dari orang (person), yang bersifat non personal. Lingkungan
kultural meliputi objek fisik dan nilai-nilai masyarakat. Hal-
hal tersebut dianggap bebas dalam arti di luar orang tertentu
dan diperoleh oleh para warga masyarakat. Lingkungan
kultural merupakan sumber dan sekaligus pembatas bagi
perkembangan kepribadian. Lingkungan ini menentukan jenis-
jenis pengalaman yang pada gilirannya dapat memahami dan
mengapresiasi jenis-jenis tingkah laku.
Dalam skala yang lebih luas, lingkungan kultural dapat
dibagi menjadi beberapa dimensi, yaitu struktur dan fungsi
keluarga, pendidikan, politik, ekonomi, keagamaan, rekreasi,
dan pelayanan sosial. Dalam dimensi-dimensi ini sudah tentu
mencakup segi organisasi dan manajemen. Ini berarti juga
merupakan suatu lingkungan yang dapat memberikan pe­
ngaruh terhadap tingkah laku manusia dan kepribadian orang.
2. Lingkungan Interpersonal
Manusia, individu, dan person juga merupakan lingkung­
an. Banyak kegiatan manusia dapat dilaksanakan dalam
hubungan dengan orang lain. Manusia memberikan stimulus
sehingga menimbulkan respon kepada orang lainnya. Antara
manusia yang satu dengan yang lainnya terjadi proses interaksi
dan saling mempengaruhi.
Dalam kenyataannya, kedua jenis lingkungan ini merupakan
suatu lingkungan yang kompleks, terkandung di dalamnya kedua
kategori tersebut. Kenyataan ini dapat dilihat dalam lingkungan
organisasi dan manajemen, di mana unsur manusia, alat, waktu,
alam, dan objek fisik lainnya berpadu menjadi satuan stimulus
terhadap personil, yang menuntut jenis dan pola tingkah laku
tertentu.

Psikologi Manajemen | 5
Manajemen adalah suatu proses sosial yang berkenaan dengan
keseluruhan usaha manusia dengan bantuan manusia serta sumber-
sumber lainnya menggunakan metode yang efisien dan efektif
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.2
Bertitik tolak dari rumusan tersebut, maka ada beberapa hal
yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu sebagai berikut:
1. Manajemen merupakan suatu proses sosial yang merupakan
proses kerja sama antar dua orang atau lebih secara formal.
2. Manajemen dilaksanakan dengan bantuan sumber-sumber,
yakni sumber manusia, sumber material, sumber biaya, dan
sumber informasi.
3. Manajemen dilaksanakan dengan metode kerja tertentu yang
efisien dan efektif, dari segi tenaga, dana, waktu, dan seba­
gainya.
4. Manajemen mengacu ke pencapaian tujuan tertentu, yang telah
ditentukan sebelumnya.
Dalam teori proses manajemen, ada tiga unsur pokok yang
berkenaan dengan pekerjaan seorang manajer, yaitu gagasan (ideas),
hal atau benda (thing), dan orang (people). Unsur-unsur tersebut
direfleksikan dalam tugas-tugas sebagai berikut:
1. Berpikir konseptual, yakni seseorang merumuskan gagasan-
gagasan dan kesempatan-kesempatan baru dalam organisasi.
2. Administrasi, yakni merinci proses manajemen.
3. Kepemimpinan, yakni memotivasi orang-orang supaya melak­
sanakan kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan organi­sasi.
Menurut Ricky W. Griffin, manajemen adalah sebagai sebuah
proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan
pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif
dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai
dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang
ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan
jadwal.

2 Ibid., h. 19.

6 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Terdapat beberapa fungsi-fungsi manajemen yang dikemukakan
para pakar. Fungsi-fungsi manajemen menurut para pakar adalah
serangkaian kegiatan yang dijalankan mengikuti suatu tahapan-
tahapan tertentu dalam pelaksanaannya.
Beberapa pakar yang menjelaskan fungsi-fungsi manajemen
adalah sebagai berikut:
1. Luther Gullick: Perencanaan; Pengorganisasian; Staf (Penyu­
sunan pegawai); Pembinaan kerja; Pengkoordinasian; Pelapor­
an; Pengawasan.
2. George Terry: Perencanaan; Pengorganisasian; Penggerak (Ac-
tuating); Pengawasan.
3. James Stone: Perencanaan; Pengorganisasian; Pimpinan; Penga­
wasan.
4. Kootz dan Donnel: Perencanaan; Pengorganisasian; Staf
(Penyusunan pegawai); Pengarahan (Direksi); Pengawasan.
5. Nickels, McHugh, dan Mc Hugh: Perencanaan; Pengorganisasi­
an; Pengarahan (Direksi); Pengawasan.
6. Richard Griffin: Perencanaan; Pengorganisasian; Pimpinan;
Pengawasan.
7. Earnest Dale: Perencanaan; Pengorganisasian; Staf (penyusunan
pegawai); Pembinaan kerja (Direksi); Penginovasian; Presentasi;
Pengawasan.
Dengan demikian, fungsi-fungsi dalam proses manajemen
terdiri dari merencanakan, mengorganisasikan, menyusun staf,
mengarahkan, dan mengontrol. Merencanakan berarti memilih
serangkaian tindakan. Mengorganisasikan berarti menata pekerjaan
untuk melaksanakan rencana. Menyusun staf berarti memiliki
dan mengalokasikan pekerjaan kepada orang-orang yang akan
melaksanakannya. Mengarahkan berarti menuntut tindakan ber­
tujuan pada pekerjaan. Mengontrol berarti rencana dilaksanakan
dan dilengkapi.
Psikologi manajemen pada hakikatnya merupakan bagian
integral dalam ilmu manajemen. Manajemen sebagai suatu sistem

Psikologi Manajemen | 7
yang mengandung komponen input (masukan), proses, dan output
(keluaran), yang masing-masingnya tidak dapat dipisahkan dari
keterlibatan faktor manusia, bahkan keberhasilan manajemen itu
sendiri sangat tergantung pada pendayagunaan unsur tingkah laku
manusia yang berdaya guna dan berhasil guna.
Psikologi manajemen berkenaan dengan manusia sebagai kunci
manajemen, maka karena itu erat kaitannya dengan upaya pengem­
bangan sumber daya manusia sebagai tenaga pembangunan.
Kualitas manusia perlu ditingkatkan, dan kualitas itu sangat ter­
gantung pada pembinaan potensi manusia itu sendiri menurut
keperluan.
Pola pikir ini sudah tentu mewarnai studi manajemen, karena
kualitas manajer dan bawahan serta orang-orang yang terlibat dalam
proses manajemen itu sudah tentu harus ditingkatkan pula mutunya,
sehingga secara keseluruhan mutu semua unsur ketenagaan sebagai
bagian dari sistem kemanusiaan perlu dikembangkan sebagai
sumber vital.
Psikologi Manajemen adalah suatu studi tentang tingkah laku
manusia yang terlibat dalam proses manajemen dalam rangka
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya.3
Pada dasarnya fokus studi Psikologi Manajemen adalah ting­
kah laku manusia yang berperan serta pada semua jenjang sistem
manajemen, dan yang terlibat dalam pelaksanaan proses manajemen.

B. Urgensi Psikologi Manajemen dalam Pendidikan


Adapun manfaat Psikologi Manajemen adalah sebagai berikut:
1. Manajer sebagai pembuat keputusan.
Secara esensial, seorang manajer adalah seorang pembuat
keputusan, berdasarkan penilaian terhadap kesiapan kerja atau
kedudukan kerja sekarang, mengorganisasi lingkungan kerja yang

3 Ibid., h. 17.

8 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


mengarahkan bawahannya (staf) ke deferensiasi baru dan integrasi
baru tingkah lakunya. Dalam pembuatan keputsuan itu, manajer
melakukan manipulasi dan pengawasan terhadap tingkah laku
bawahannya, mengadakan prediksi, memberikan lingkungan kerja
tertentu, sehingga menghasilkan tingkah laku yang diharapkan.
Keputusan manajer dipengaruhi oleh tujuan, minat, dan tingkah
laku yang ada pada bawahannya. Proses pembuatan keputusan
pada hakekatnya dibatasi oleh tingkah laku manusianya. Keputusan
tersebut mempengaruhi lingkungan kerja dengan cirinya masing-
masing.
2. Psikologi membantu pengembangan manajer.
Ada tiga bentuk kontribusi (sumbangan) psikologi bagi mana­
jer, yaitu:
a. Memberikan seperangkat konsep dan prinsip yang mem­
bantu manajer untuk melihat tingkah laku manusia lebih
kritis dan menambah pemahamannya tentang tingkah
laku itu.
b. Memberikan keterampilan kepada manajer yang langsung
bertalian dengan proses manajemen.
c. Memperkenalkan manajer kepada unsur-unsur logik dan
metode riset mengenai tingkah laku manusia.
Konsep-konsep dan teori akan memperbaiki kemampuan
manajer untuk menjelaskan dan memprediksi, karena memberikan
cara-cara baru untuk melihat dan menganalisis tingkah laku manusia
lainnya. Studi psikologis tentang proses manajemen mengakrabkan
manajer dengan konsep-konsep dan teori-teori yang membentuk
landasan bagi pembuatan hipotesis mengenai kelemahan dan
keberhasilan manajemen.
Manajer yang mempelajari psikologi juga mempelajari prinsip-
prinsip dan prosedur-prosedur yang relevan dengan beberapa
pelaksanaan manajemen, misalnya proses menilai perilaku bawah­
an/staf, penilaian pasaran, seleksi tenaga pegawai baru, dan seba­
gainya.

Psikologi Manajemen | 9
Studi psikologi juga memberikan sumbangan kepada mana­
jemen yakni dalam rangka penelitian ilmiah dalam bidang mana­
jemen, tentang tingkah laku manajerial dan lain-lain. Studi mengenai
psikologi manajemen juga mengakrabkan tenaga manajemen
dengan metode dan prosedur penelitian, serta berbagai teori hasil
penelitian di bidang manajemen.
Dengan demikian, Psikologi Manajemen perlu dipelajari oleh
calon dan manajer serta tenaga pelaksana, penyuluh, pelatih, dan
sebagainya berdasarkan pertimbangan dari segi-segi peningkatan
mutu sumber daya manusia, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, perkembangan ilmu perilaku, dan profesionalisasi tenaga
manajemen.

10 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


BAGIAN III
PENGETAHUAN MANAJEMEN

Pengetahuan manajemen telah semakin penting dan populer


sebagai topik penelitian sejak pertengahan 1990-an. Ini adalah waktu
yang cukup bagi banyak organisasi untuk mengimplementasikan
inisiatif pengetahuan manajemen dan sistem pengetahuan mana­
jemen.4
Menurut Bhojaraju G, pengetahuan manajemen adalah proses
pengumpulan, pengelolaan dan berbagi modal pengetahuan kepad­a
pegawai di seluruh organisasi. Berbagi pengetahuan seluruh orga­
nisasi meningkatkan proses bisnis organisasi yang ada, mem­per­
kenalkan proses bisnis yang lebih efisien dan efektif dan meng­
hilangkan proses yang berlebihan.5
Proses pengumpulan, pengelolaan dan berbagi modal penge­
tahuan kepada pegawai di seluruh organisasi dalam pandangan
Edward Sallis dimaksudkan untuk melakukan manajemen pen­
didikan terpadu. Edward Sallis6 menyatakan bahwa manajemen
pen­didikan mutu terpadu berlandaskan kepada kepuasan pelang­
gan sebagai sasaran utama. Pelanggan dapat dibedakan kepada
pelanggan dalam (internal customer seperti institusi itu sendiri,
manager, dosen, karyawan dan penyelenggaran institusi dan

4 Murray E. Jennex, Case Studies in Knowledge Management, USA: Idea Group


Publishing (an imprint of Idea Group Inc.), 2005.
5 Bhojaraju G,”Knowledge Management:Why do We Need It for Corporates”,
Malaysian Journal of Library & Information Science, Vol. 10, No.2 (Dec 2005):
hal.37-50.
6 Edward Sallis, Total Quality Management in Education: Manajemen Mutu
Pendidikan,Jogjakarta: IRCiSoD, CET. XVI, Juli 2012,hal. 6.

Psikologi Manajemen | 11
pelanggan luar (external customer) seperti masyarakat, pemerintah
dan industri.
Menurut Edward Sallis7, ada beberapa hal pokok yang harus
diperhatikan dalam menjalankan Total Quality Management, yaitu,
pertama, perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement),
kedua, menentukan standar mutu (quality assurance), ketiga, peru­
bahan kultur (change of culture), keempat, perubahan organisasi
(upside-down organization), dan kelima, mempertahankan hubungan
dengan pelanggan (keeping close to the customer).
Dengan menyesuaikan istilah sekolah dengan lembaga/orga­
nisasi, pendapat senada juga dikemukakan oleh Sri Minarti bahwa
dalam pelaksanaannya, manajemen peningkatan mutu harus
memiliki prinsip-prinsip, pertama, peningkatan mutu harus dilak­
sanakan di lembaga pendidikan. kedua, peningkatan mutu hanya
dapat dilaksanakan dengan adanya kepemimpinan yang baik. ketiga,
peningkatan mutu harus didasarkan kepada data dan fakta, baik
yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Keempat, peningkatan
mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada
di lembaga/organisasi itu dan kelima, peningkatan mutu memiliki
tujuan bahwa lembaga/organisasi dapat memberikan kepuasan
kepada civitas akademika, wali mahasiswa dan masyarakat.8
Ini adalah disiplin yang mempromosikan suatu pendekatan
kolaboratif dan penciptaan terpadu, menangkap, akses organisasi
dan penggunaan pengetahuan pada suatu organisasi. Proses yang
sistematis untuk menemukan, memilih, mengorganisir, dan menya­
jikan informasi, serta meningkatkan pemahaman sumber daya
manusia, membantu organisasi untuk mendapatkan wawasan dan
pemahaman dari pengalaman sendiri. Pengetahuan manajemen
membantu organisasi untuk memfokuskan diri pada proses

7 Ibid., hal.7.
8 Sri Minarti, Manajemen Sekolah; Mengelola Pendidikan Secara Mandiri, Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011, Cet ke-1, hal.350. pendapat ini juga dikutip Jamal Ma’mur
Asmani dalam bukunya, Tips Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Jogjakarta: Diva
Press, 2012, hal. 117.

12 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


memperoleh, menyimpan, dan memanfaatkan pengetahuan untuk
pemecahan masalah, berdasarkan dinamika organisasi, perencanaan
strategis dan pengambilan keputusan.
The Gartner Group mendefinisikan pengetahuan manajemen
sebagai suatu disiplin yang membicarakan pendekatan terpadu
untuk mengidentifikasi, mengelola dan membagi semua informasi
pada sebuah organisasi. Aset informasi ini termasuk dokumen
berbasis data, kebijakan, dan prosedur yang sebelumnya tidak
mengartikulasikan keahlian dan pengalaman masing-masing
sumber daya manusia. Isu-isu pengetahuan manajemen mencakup
pengembangan, penerapan dan pemeliharaan sesuai teknis dan
organisasi infrastruktur untuk mengaktifkan berbagi pengetahuan.
Sedangkan pengetahuan manajemen adalah sikap dan cara
bekerja dengan manajemen. Ini adalah pendekatan yang menyeluruh
yang melampaui selain sebagai taktik fungsional, bahkan bisa
dikatakan bahwa itu adalah jenis filsafat manajemen, bukan
ilmu. Proses ini mendefinisikan target organisasi dari membuat
keuntungan atau share value9.
Adapun yang menjadi komponen pengetahuan manajemen
adalah orang, proses, dan teknologi.Ketiga hal ini sangat penting
untuk membangun efektivitas organisasi dan mendapatkan hasil
dari pengetahuan manajemen. Mayoritas organisasi yang telah
menerapkan pengetahuan manajemen menemukan bahwa hal itu
relatif lebih mudah untuk menempatkan teknologi dan proses,
sedangkan “orang” merupakan komponen yang menimbulkan
tantangan lebih besar.
Tantangan terbesar pada proses pengetahuan manajemen
adalah untuk memastikan partisipasi sumber daya manusia dalam
berbagi pengetahuan, kolaborasi dan penggunaan kembali untuk
mencapai tujuan organisasi. Hal ini membutuhkan perubahan
pola pikir tradisional dan budaya organisasi dari “penimbunan
9 Walter Baets, Knowledge Management dan Management Learning: Extending the
Horizons of Knowledge Based Management, New York: Springer Science+Business
Media, Inc., 2005, p. 12.

Psikologi Manajemen | 13
pengetahuan” kepada “berbagi pengetahuan” (berbagi di antara
anggota tim) dan menciptakan suasana kepercayaan.
Dari konsep pengetahuan manajemen yang dimiliki oleh
seorang pemimpin, seperti dikemukakan oleh Tanri Abeng, bahwa
“Management leadership combines leadership skills and managerial com­
petence to achieve sustainable growth”.10
Dikemukakan lebih lanjut bahwa tujuan para pemimpin-
manajemen, melalui penerapan praktek manajemen yang sistematis
adalah untuk membangun satu organisasi yang kuat dari sekelompok
orang yang berkualifikasi, yang mempunyai tekad dan kemampuan
untuk mencapai suatu keinginan bersama.11
Dalam pelaksanaannya, pengetahuan manajemen dengan cara
membagi modal pengetahuan diarahkan untuk mencapai tujuan
organisasi, yaitu dalam rangka peningkatan mutu.
Organisasi merupakan kumpulan orang yang memiliki keu­
nikan dalam banyak hal. Keunikan ini biasanya direfleksikan dalam
organisasi tersebut. Organisasi tentunya mempunyai budaya yang
unik. Dalam hal ini, perbedaan antara organisasi yang sukses dan
tidak sukses berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam
organisasi tersebut.12
Berikut ini dapat digambarkan mengenai kerangka proses
pengetahuan manajemen menurut Peter H. Gray13 sebagai berikut:

10 Tanri Abeng, Profesi Manajemen (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007),


hal.45.
11 Ibid.
12 Dr. Naceur Jabnoun, Islam and Management (Saudi Arabia: International Islamic
Publishing House, 2008), 33-34.
13 Peter H. Gray, A Problem Solving Perspective on Knowledge Management Practices,
Kanada: Queen’s University at Kingston, 2000.

14 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Beberapa karakteristik pengetahuan manajemen yang perlu ditrans­
fer dalam sebuah organisasi terinspirasi dari ayat Al-Qur’an pada
Surat Al-Alaq ayat 1-5, sebagai berikut:

Artinya: ”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang


menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran

Psikologi Manajemen | 15
kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.”
Dalam hal ini, Islam adalah satu-satunya agama samawi yang
memberikan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Ayat-ayat
ini sebagai proklamasi dan motivasi terhadap ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, kita harus memberikan skala prioritas yang tinggi
terhadap ilmu pengetahuan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan
kita dapat mensejahterakan kehidupan umat manusia, dan
mengelola alam dengan baik.
Dalam surat ini terdapat ajakan untuk membaca dan belajar,
dan bahwa Tuhan yang mampu menciptakan manusia dari asal
yang lemah akan mampu pula untuk mengajarkannya menulis yang
merupakan sarana penting untuk mengembangkan ilmu penge­
tahuan dan mengajarkannya sesuatu yang belum pernah dike­
tahuinya. Allahlah yang mengajarkan ilmu kepada manusia.
Manusia sebagai bagian organisasi, harus mampu mentransfer
ilmu pengetahuan yang dimilikinya sehubungan aspek-aspek
mana­jemen yang ada, termasuk perencanaan, pengorganisasian,
pelak­sanaan, dan pengawasan dalam organisasi.
Dengan demikian, knowldege management menjadi bidang yang
penting dalam proses pembelajaran sebuah organisasi. Pengetahuan
yang dimiliki oleh organisasi harus mampu memberikan kemajuan
bagi organisasi itu sendiri. Agar organisasi dapat bertahan hidup,
maka diwajibkan agar setiap orang yang ada di dalam organisasi
sharing pengetahuan. Untuk itu dibutuhkan manajemen yang kuat agar
pengetahuan tersebut mengakar di setiap individu dalam organisasi
dan tidak hilang begitu saja dengan didukung infrastruktur untuk
penyebaran informasi di lingkungan organisasi.
Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan di atas, me­
nunjukkan bahwa pengetahuan manajemen harus dikembangkan
dalam sebuah organisasi, yaitu bagaimana semua sumber daya
manusia yang ada dapat menghimpun, mengelola dan berbagi
pengetahuan sebanyak-banyaknya untuk kemajuan organisasi.

16 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan manajemen yang
meliputi pelatihan dosen, peningkatan jenjang pendidikan, penge­
lolaan sumber daya manusia, job distribution, pertemuan/rapat
dalam suatu organisasi.

Psikologi Manajemen | 17
18 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I
BAGIAN IV
LANDASAN PSIKOLOGI MANAJEMEN

Jujun S. Suriasumantri berpendapat bahwa semua pengetahuan


apakah itu ilmu, seni atau pengetahuan apa saja pada dasarnya
memilIki tiga landasan yaitu ontologi (apa-hakikat apa yang dikaji),
epistemologi (bagaimana-cara mendapatkan pengetahuan yang
benar), dan aksiologi (untuk apa-nilai kegunaan ilmu).14

A. Landasan Ontologi
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani on = being, dan
logos = logic, jadi ontologi adalah the teory of being qua being (teori
tentang keberadaan sebagai keberadaan). Dalam pengertian lain,
ontologi itu terdiri dari dua suku kata, yaitu ontos dan logos. Ontos
berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi
dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang
ada. Menyoal tentang wujud hakiki objek ilmu dan keilmuan (setiap
bidang ilmu dalam jurusan dan program studi) itu apa? Objek ilmu
atau keilmuan itu dalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau
panca indera. Jadi soal objek ilmu adalah pengalaman inderawi.
Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
hakikat suatu yang berwujud (yang ada) berdasarkan pada logika
semata.15

14 Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 2003, hal.105.
15 Muhammad Adib. Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal.69.

Psikologi Manajemen | 19
Metafisika atau kajian ontologi merupakan masalah yang paling
mendasar dan menjadi inti dalam filsafat. Orang yang berfilsafat
berarti ia juga mesti bermetafisika. Objek-objek ilmu pengetahuan
harus dipikirkan secara mendalam sampai pada hakikatnya.
Pada abad ke-17, Christian Wolff menunjukkan suatu istilah
baru, yakni Ontologi. Menurutnya, ontologi atau metafisika adalah
ilmu mengenai ada secara keseluruhan.16 Metafisika merupakan
sebuah usaha sistematis dalam mencari hal yang ada di belakang
hal-hal fisik. Yang ada ini merupakan prinsip dasar yang dapat
ditemukan pada semua hal. Dengan kata lain, metafisika atau
ontologi adalah studi mengenai makna dan hakikat dari yang ada.
Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui; meru­
pakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi
dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek
penelaahan ilmu. Berdasarkan objek yang telah ditelaahnya, ilmu
dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, karena objeknya adalah
sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia, yang
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca
indera manusia. Berlainan dengan agama atau bentuk-bentuk pe­
nge­tahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-
keja­dian yang empiris, selalu berorientasi terhadap dunia empiris.
Beberapa pertanyaan tentang persoalan-persoalan ontologis
sebagaimana dikemukakan oleh Ali Mudhoffir yang dikutip Aceng
Rahmat, di antaranya adalah:
• Apa yang dimaksud dengan yang ada, keberadaan atau
eksistensi itu?
• Bagaimana penggolongan dari ada, keberadaan, dan
eksistensi?
• Apa sifat dasar (nature) atau keberadaan?
a. Persoalan-persoalan kosmologis (alam). Persoalan kosmologis
bertalian dengan asal mula, perkembangan dan struktur atau
susunan alam.
16 Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991),
hal.19.

20 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


• Jenis keteraturan apa yang ada dalam alam?
• Keteraturan dalam alam seperti halnya sebuah mesin
(mekanisme) ataukah keteraturan yang bertujuan (teologi)?
• Apa hakikat hubungan sebab akibat?
• Apa ruang dan waktu itu?
b. Persoalan-persoalan antropologi (manusia)
• Bagaimana terjadi hubungan antara fisik ragawi dan jiwa?
• Apa yang dimaksud dengan kesadaran?
c. Manusia sebagai makhluk bebas atau tak bebas?17
Dilihat dari landasan ontologi, maka ilmu akan berlainan
dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Ilmu yang mengkaji
problem-problem yang telah diketahui atau yang ingin diketahui
yang tidak terselesaikan dalam pengetahuan sehari-hari. Masalah
yang dihadapi adalah masalah nyata. Ilmu menjelaskan berbagai
fenomena yang memungkinkan manusia melakukan tindakan
untuk menguasai fenomena tersebut berdasarkan penjelasan yang
ada.
Ilmu dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan, bukan dimu­
lai dari kepastian, sehingga berbeda dengan agama yang dimulai
kepastian. Ilmu memulai dari keragu-raguan akan objek yang
berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek pengenalan
ilmu mencakup kejadian-kejadian atau seluruh aspek kehidupan
yang dapat diuji oleh pengalaman manusia.
Jadi ontologi ilmu adalah ciri-ciri yang esensial dari objek ilmu
yang berlaku umum, artinya dapat berlaku juga bagi cabang-cabang
ilmu yang lain. Ilmu berdasarkan atas beberapa asumsi dasar untuk
mendapatkan pengetahuan tentang fenomena yang tampak. Asumsi
dasar ialah anggapan yang merupakan dasar dan titik tolak bagi
kegiatan setiap cabang ilmu pengetahuan.
Berbicara tentang ontologi ilmu pengetahuan, dijelaskan
bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang rasional

17 Aceng Rahmat, Filsafat Ilmu Lanjutan ( Jakarta; Kencana, 2011), hal. 142-143

Psikologi Manajemen | 21
empiris.18 Pertama, masalah rasional; hipotesis harus berdasarkan
rasio (hipotesis harus rasional), walaupun hipotesis tersebut belum
diuji kebenarannya, namun hipotesis itu telah mencukupi segi
kerasionalannya, yang menunjukkan adanya hubungan pengaruh
atau sebab akibat. Kedua, masalah empiris; hipotesis ini harus diuji
kebenarannya mengikuti prosedur metode ilmiah. Dengan megikuti
rumus baku metode ilmiah: logico-hypothetico-verificatif (buktikan
bahwa itu logis-tarik hipotesis-ajukan bukti empiris).19

B. Landasan Epistemologi
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahu­
an dan logos yang berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu
yang membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya.
Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yaitu cabang filsafat
yang membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan,
hakikat pengetahuan dan sumber pengaetahuan. Dengan kata lain,
epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau
membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan
ilmu dan keilmuan. Tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan
ilmu dan keilmuan adalah dengan metode non ilmiah, metode ilmiah
dan metode problem solving. Pengetahuan yang diperoleh melalui
pendekataan/metode non ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh
dengan cara penemuan secara kebetulan, untung-untungan (trial and
error), akal sehat (common sense), prasangka, otoritas (kewibawaan)
dan pengalaman biasa.20
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagai­
mana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi membahas
secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha
untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi
adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan

18 Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, hal.22.
19 Ibid., hal.24.
20 Muhammad Adib. Op.Cit., hal.74.

22 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode
keilmuan.
Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama
hal itu terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut
diperoleh dengan menggunakan metode keilmuan, sah disebut
keilmuan. Kata-kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakikat
ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda. Hakikat keilmuan
ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut syarat
keilmuan yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran di atas
segala-segalanya.
Secara lebih luas, cara memperoleh ilmu pengetahuan ini menga­
lami perkembangan mulai dari 1) humanisme, 2) rasionalisme, 3)
empirisme, 4) positivisme, 5) metode ilmiah, 6) metode riset, dan 7)
model-model penelitian.21
a. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa
manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme ini
telah muncul pada zaman Yunani Kuno. Jadi, manusia itulah
yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam
agar manusia itu hidup teratur dan alam tidak menyulitkan
kehidupan manusia. Mitos semata tidak mencukupi untuk
dijadikan sumber untuk membuat aturan untuk manusia dan
alam. Aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber
pada sesuatu yang ada pada manusia, yaitu akal, yang bekerja
berdasarkan aturan yang sama, yaitu logika alami yang ada
pada akal manusia. Maka humanisme melahirkan rasionalisme.
b. Rasionalisme ialah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal
itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Dicari dengan
akal maksudnya dicari dengan berpikir logis; diukur dengan
akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak; bila logis,
benar; bila tidak, salah. Artinya, kebenaran bersumber pada
akal. Namun sesuatu yang logis, terkadang berbeda persepsi
berdasarkan kenyataan yang dialami. Artinya, berpikir logis

21 Ahmad Tafsir, Op.Cit., hal.34.

Psikologi Manajemen | 23
tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati.
Dengan demikian, diperlukan alat lain, yaitu empirisme.
c. Empirisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa
yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris. Dengan
empirisme inilah aturan untuk mengatur manusia dan alam
dibuat. Namun, ternyata empirisme belum terukur, karena
hanya sampai pada konsep-konsep yang umum dan belum
ope­ra­sional. Jadi, masih diperlukan alat lain, yaitu positivisme.
d. Positivisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa
kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisnya, dan yang
terukur. Jadi, kontribusi positivisme adalah ”terukur”, yang
secara operasional dan kuantitatif tidak memungkinkan adanya
perbedaan pendapat. Dengan demikian, kata positivisme, kebe­
naran dapat dilihat dengan mengajukan logikanya, kemudian
ajukan bukti empirisnya yang terukur. Namun kita masih
memerlukan alat lain, yaitu metode ilmiah.
e. Metode Ilmiah mengatakan bahwa untuk memperoleh kebe­
naran/pengetahuan yang benar dengan melakukan langkah-
langkah logico-hypothetico-verificatif, maksudnya, mula-mula
buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (ber­
dasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis
itu secara empiris. Dengan rumus metode ilmiah inilah kita
membuat aturan yang mengatur manusia dan alam. Metode
ilmiah ini secara teknis dan rinci dijelaskan dalam satu bidang
ilmu yang disebut metode riset.
f. Metode Riset menghasilkan model-model penelitian.
g. Model-model Penelitian inilah yang menjadi proses terakhir
dalam membuat aturan untuk mengatur alam dan manusia.
Dengan menggunakan model penelitian tertentu, kita menga­
dakan penelitian, dan hasil-hasil penelitian itulah yang menjadi
warisan berupa ilmu pengetahuan.

24 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


C. Landasan Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios (Yunani) yang berarti nilai atau
logos yang berarti logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori
tentang nilai.22 Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dasar aksiologi
ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia
dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam.
Dengan mempelajari atom kita dapat memanfaatkannya untuk
sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi hal ini juga dapat
menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom akan
meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, namun apabila
disalahgunakan, akan mengancam keselamatan umat manusia.
Secara umum dipahami bahwa epistemologi menjadi landasan
nalar filsafat untuk memberikan keteguhan dan kekukuhannya
bahwa manusia dapat memperoleh kebenaran dan pengetahuan.
Dengan landasan aksiologi ilmu pengetahuan ini, sekurang-
kurangnya ada tiga kegunaan teori ilmu pengetahuan, yaitu sebagai
alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat
pengontrol.23
a. Teori sebagai alat eksplanasi
Berbagai ilmu pengetahuan yang ada sampai saat ini
secara umum berfungsi sebagai alat untuk membuat eksplanasi
kenyataan. Menurut T. Jacob, ilmu pengetahuan merupakan
suatu sistem eksplanasi yang paling dapat diandalkan di­
bandingkan dengan sistem lainnya dalam memahami masa
lampau, sekarang, dan masa depan.24

22 Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta; Rineka


Cipta, 2001), hal.168.
23 Ahmad Tafsir, Op.Cit., hal.37.
24 T. Jacob, Manusia, Ilmu, dan Teknologi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hal.7-8.

Psikologi Manajemen | 25
b. Teori sebagai alat peramal
Ketika membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah
me­ngetahui juga faktor penyebab terjadnya gejala tersebut;
sehingga ia dapat membuat ramalan (prediksi). Tepat dan
banyaknya ramalan yang dapat dibuat oleh ilmuwan diten­
tukan oleh kekuatan teori yang ia gunakan, kepandaian dan
kecerdasan, dan ketersediaan data di sekitar gejala itu.
c. Teori sebagai alat pengontrol
Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat ramalan
dan kontrol, yaitu berupa tindakan-tindakan yang diduga
dapat mencegah terjadinya gejala yang tidak diharapkan atau
menimbulkan gejala yang memang diharapkan. Bila ramalan
(prediksi) bersifat pasif, namun kontrol bersifat aktif.
Dihadapkan pada masalah moral dalam pemanfaatan ilmu
dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke
dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat
bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara
ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya; apakah akan dipergunakan untuk tujuan
yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin
melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu
era Galileo. Golongan kedua berpendapat, bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan,
sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai
moral, yaitu:
a. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh
manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia
yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
b. Ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga kaum ilmuwan
lebih mengetahui tentang hal-hal yang mungkin terjadi apabila
terjadi penyalahgunaan.25

25 Amsal Bakhtiar, Op.Cit., hal.170.

26 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


BAGIAN V
PLANNING ORGANISASI PENDIDIKAN

A. Pengertian Perencanaan Pendidikan


Salah satu fungsi pokok manajemen adalah perencanaan; pe­
ren­canaan merupakan salah satu fungsi pokok manajemen yang
per­tama harus dijalankan. Sebab tahap awal dalam melakukan
aktivitas organisasi sehubungan dengan pencapaian tujuan organi­
sasi perusahaan adalah dengan membuat perencanaan. Dalam
ma­najemen, perencanaan adalah proses mendefinisikan tujuan
or­ganisasi, membuat strategi untuk mencapai tujuan itu, dan
mengembangkan rencana aktivitas kerja organisasi. Perencanaan
merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen, karena
tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lain (pengorganisasian, penga­
rahan, dan pengontrolan) tidak akan dapat berjalan.
Perencanaan dapat berupa perencanaan informal dan peren­
ca­naan formal. Perencanaan informal adalah rencana yang tidak
tertulis dan bukan merupakan tujuan bersama anggota suatu orga­
nisasi. Sedangkan perencanaan formal adalah rencana tertulis yang
harus dilaksanakan suatu organisasi dalam jangka waktu tertentu.
Perencanaan formal merupakan rencana bersama anggota organisasi,
artinya, setiap anggota harus mengetahui dan menjalankan rencana
itu. Perencanaan formal dibuat untuk mengurangi ambiguitas dan
menciptakan kesepahaman tentang apa yang harus dilakukan.
Perencanaan merupakan suatu proses yang tidak berakhir.
Artinya, apabila rencana  tersebut telah ditetapkan, rencana harus
diimplementasikan, setiap saat selama proses implementasi dan

Psikologi Manajemen | 27
pengawasan, rencana-rencana memerlukan modifikasi agar tetap
berguna.
Perencanaan menjadi faktor kunci pencapaian sukses akhir
dalam organisasi. Karena itu, dalam menyusun perencanaan, kita
harus mempertimbangkan kebutuhan fleksibilitas, agar mampu
menyeseuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang baru secepat
mungkin. Perencanaan juga merupakan pemikiran kegiatan-
kegiatan apa saja sebelum dilaksanakan.
Perencanaan pendidikan adalah proses penentuan tujuan atau
sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan serta sumber
yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefektif dan seefisien
mungkin. Dalam setiap perencanaan selalu terdapat tiga kegiatan
yang mekipun dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya dalam proses perencanaan.26
Ketiga kegiatan yang dimaksud adalah (1) perumusan tujuan
yang ingin dicapai, (2) pemilihan program untuk mencapai tujuan
itu, dan (3) identifikasi dan pengerahan sumber yang jumlahnya
selalu terbatas.
Perencanaan merupakan tindakan menetapkan terlebih dahulu
apa yang akan dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, apa yang
harus dikerjakan, dan siapa yang mengerjakannya. Perencanaan
sering juga disebut jembatan yang menghubungkan kesenjangan
atau jurang antara keadaan masa kini dan keadaan yang diharapkan
terjadi pada masa yang akan datang.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan perencanaan pendi­
dikan adalah keputusan yang diambil untuk melakukan tindakan
selama waktu tertentu sesuai dengan jangka waktu perencanaan
agar penyelenggaraan sistem pendidikan menjadi lebih efektif dan
efisien sehingga menghasilkan lulusan yang lebih bermutu, relevan
dengan kebutuhan pembangunan. Dalam hal ini, cara-cara penye­
lenggaraan pendidikan, baik yang bersifat formal dan nonformal

26 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya,


2013.

28 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


maupun informal merupakan kegiatan komplementer dalam suatu
sistem pendidikan yang tunggal.
Untuk mengembangkan suatu rencana, seseorang harus
mengacu ke masa depan atau menentukan pengaruh atas penjualan
biaya atau keuntungan menetapkan perangkat tujuan atau hasil
akhir, mengembangkan strategi untuk mencapai hasil akhir,
menyusun program yakni menetapkan prioritas dan urutan pada
strategi, anggaran biaya atau alokasi sumber-sumber, menetapkan
prosedur kerja dengan metode yang baru, dan mengembangkan
kebijakan-kebijakan berupa aturan dan ketentuan.
Perencanaan adalah penentuan tujuan dan bagaimana cara
pencapaian yang terbaik. T. Hani Handoko mengemukakan
bahwa: “Perencanaan (planning) adalah pemilihan sekumpulan
kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang harus dilakukan,
kapan, bagaimana, dan oleh siapa. Salah satu aspek penting
perencanaan adalah pembuatan keputusan (decision making), proses
pengembangan dan penyeleksian sekumpulan kegiatan untuk
memecahkan suatu masalah tertentu.”27

B. Model dan Metode Perencanaan Pendidikan


Ada empat model perencanaan pendidikan, yaitu:
1. Model komprehensif; model ini terutama akan digunakan untuk
menganalisis perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan
secara keseluruhan.
2. Model target setting; model ini diperlukan dalam upaya melak­
sanakan proyeksi ataupun memperkirakan tingat per­kem­
bangan dalam kurun waktu tertentu.
3. Model costing (pembiayaan) dan keefektifan biaya; model ini
sering digunakan untuk menganalisis proyek-proyek dalam
kriteria efisiensi, efektivitas, dan ekonomis.
4. Model PPBS (Planning, Programming, Budgeting System); yaitu
Sistem Perencanaan, Penyusunan Program, dan Penganggaran
27 T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 2009), hal. 78-79.

Psikologi Manajemen | 29
(SP4); model ini berarti bahwa perencanaan, penyusunan
program, dan penganggaran dipandang sebagai suatu sistem
yang tidak terpisahkan satu sama lainnya.28
Ada tujuh metode perencanaan pendidikan, yaitu:
1. Metode mean - ways - ends analysis (analisis mengenai alat– cara
– tujuan)
Metode ini digunakan untuk meneliti sumber-sumber dan
alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. Tiga hal yang perlu
dianalisis dalam metode ini yaitu mean, yang berkaitan dengan
sumber-sumber yang diperlukan, ways, yang berhubungan
dengan cara dan alternatif tindakan yang dirumuskan dan
bakal dipilih, dan ends, yang berhubungan dengan tujuan yang
hendak dicapai.
2. Metode input – output analysis (analisis masukan dan keluaran)
Metode ini dilakukan dengan mengadakan pengkajian terhadap
interrelasi dan interdependensi berbagai komponen masukan
dan keluaran dari suatu sistem. Metode ini dapat digunakan
untuk menilai alternatif dalam proses transformasi.
3. Metode econometric analysis (analisis ekonometrik)
Metode ini menggunakan data empiris, teori ekonomi, dan
statistik dalam mengukur perubahan dalam kaitan dengan
ekonomi. Metode ini mengembangkan persamaan-persamaan
yang menggambarkan hubungan ketergantungan di antara
variabel-variabel yang ada dalam suatu sistem.
4. Metode cause – effect diagram (diagram sebab akibat)
Metode ini bertujuan untuk menentukan sejumlah alternatif
program, mengeksplorasi asumsi-asumsi atau fakta yang
melandasi keputusan tertentu dengan mencari informasi yang
dibutuhkan untuk mencapai suatu kesepakatan.
5. Metode heuristic
Metode ini dirancang untuk mengeksplorasi isu-isu dan untuk
mengakomodasi pandangan-pandangan atau ketidakpastian.

28 Fattah, Op.Cit., hal.50-51.

30 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Metode ini didasarkan atas seperangkat prinsip dan prosedur
yang mensistematiskan langkah-langkah dalam usaha peme­
cahan masalah.
6. Metode life – cycle analysis (analisis siklus kehidupan)
Metode ini digunakan terutama untuk mengalokasikan sumber-
sumber dengan memperhatikan siklus kehidupan mengenai
program atau aktivitas.
7. Metode value added analysis (analisis nilai tambah)
Metode ini digunakan untuk mengukur keberhasilan pening­
katan nilai pembelajaran.29

C. Jenis-jenis Perencanaan Pendidikan


1. Menurut Besarannya
a. Perencanaan Makro; yaitu perencanaan yang menetapkan
kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh, tujuan yang
ingin dicapai, dan cara-cara mencapai tujuan itu pada
tingkat nasional.
b. Perencanaan Messo; yaitu kebijakan yang ditetapkan pada
tingkat makro, kemudian dijabarkan ke dalam program-
program yang berskala kecil.
c. Perencanaan Mikro; yaitu perencanaan pada tingkat
institusional dan merupakan penjabaran dari perencanaan
tingkat messo.30
2. Menurut Tingkatannya
a. Perencanaan Strategik (Renstra); disebut juga perencanaan
jangka panjang. Strategi yang dimaksud diartikan sebagai
konfigurasi tentang hasil yang diharapkan tercapai pada
masa depan. Bentuk konfigurasi itu terungkap berdasarkan
ruang lingkup, hasil persaingan, target, dan penataan
sumber-sumber.
b. Perencanaan Koordinatif (Manajerial); yang ditujukan
untuk mengarahkan jalannya pelaksanaan, sehingga
29 Ibid., hal.52-53.
30 Ibid., hal.54-55.

Psikologi Manajemen | 31
tujuan yang telah ditetapkan itu dapat dicapai secara efektif
dan efisien. Perencanaan ini biasanya sudah terperinci dan
menggunakan data statistik, namun demikian, kadang-
kadang juga menggunakan pertimbangan akal sehat
(common sense). Perencanaan ini mencakup semua aspek
dalam suatu sistem yang meminta ditaatinya kebijakan-
kebijakan yang telah ditetapkan pada tingkat perencanaan
strategik.
c. Perencanaan Operasional; yang memusatkan perhatian
pada apa yang akan dikerjakan pada tingkat pelaksanaan
di lapangan dari suatu rencana strategis.31
3. Menurut Jangka Waktunya
a. Perencanaan Jangka Pendek; yaitu perencanaan tahunan
atau perencanaan yang dibuat untuk dilaksanakan dalam
waktu kurang dari 5 tahun, sering disebut sebagai rencana
operasional.
b. Perencanaan Jangka Menengah; mencakup kurun waktu
pelaksanaan 5 – 10 tahun, yang merupakan penjabaran
dari rencana jangka panjang, tetapi sudah lebih bersifat
operasional.
c. Perencanaan Jangka Panjang; meliputi cakupan waktu
di atas 10 tahun sampai dengan 25 tahun, dan semakin
panjang rencana, maka semakin banyak pula variabel yang
tentunya akan sulit dikontrol.32
Proses perencanaan strategik merupakan penetapan serang­
kaian keputusan dan kegiatan dalam perumusan dan implementasi
strategi-strategi yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan
organisasi.33 Ada sembilan langkah yang harus dilakukan dalam
proses perencanaan strategik, yaitu sebagai berikut:
1. Penentuan misi dan tujuan
2. Pengembangan profil perusahaan

31 Ibid., hal.55-59.
32 Ibid., hal.59-60.
33 Handoko, Op.Cit., hal.94.

32 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


3. Analisa lingkungan eksternal
4. Analisa internal perusahaan
5. Identifikasi kesempatan dan ancaman strategik
6. Pembuatan keputusan strategik
7. Pengembangan strategi perusahaan
8. Implementasi strategi
9. Peninjauan kembali dan evaluasi.34
Perencanaan merupakan penetapan jawaban kepada enam
pertanyaan (asdibimega) sebagai berikut :
1) Tindakan apa yang harus dikerjakan ?
2) Siapakah yang akan mengerjakan tindakan itu ?
3) Di manakah tindakan itu harus dikerjakan ?
4) Bilamanakah tindakan itu harus dikerjakan ?
5) Mengapa tindakan itu harus dikerjakan ?
6) Bagaimana cara melaksanakan tindakan itu ?
Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan
kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat
diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin.
T. Hani Handoko mengemukakan manfaat perencanaan sebagai
berikut:
1) Membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan peru­
bahan-perubahan lingkungan;
2) Membantu dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-ma­
salah utama;
3) Memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran;
4) Membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat;
5) Memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi;
6) Memudahkan dalam melakukan koordinasi di antara berbagai
bagian organisasi
7) Membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah
dipahami;
8) Meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti; dan

34 Ibid., hal.94-98.

Psikologi Manajemen | 33
9) Menghemat waktu, usaha dan dana.35
T. Hani Handoko menjelaskan bahwa terdapat empat tahap
dalam perencanaan, yaitu :
1) Menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan;
2) Merumuskan keadaan saat ini;
3) Mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan;
4) Mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk
pencapaian tujuan.36
Perencanaan dimulai dengan keputusan-keputusan tentang
keinginan atau kebutuhan organisasi atau kelompok kerja. Pene­
tapan tujuan awal organisasi merupakan bagian awal dari proses
penyusunan perencanaan. Tujuan organisasi ibarat kompas ayang
dijadikan arah bagi keputusan dan aktivitas organisasi. Tanpa
perumusan tujuan organisasi yang tegas dan jelas maka organisasi
akan menghamburkan sumber daya secara berlebihan. Mengenal
prioritas akan kekhasan tujuan organisasi akan membuat manajemen
dapat menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien.
Seberapa jauh suatu organisasi gagal mencapai tujuan jangka
pendeknya atau berhasil mencapainya dan berbagai faktor apa yang
berpengaruh? Pertanyaan ini tentunya sangat terkait dengan situasi
sekarang atau situasi sedang berjalan. Pemimpin/manajer harus
menyadari bahwa situasi dan keadaan sekarang sangat dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi sebelumnya dan posisi sekarang sangan
dipengaruhi akan mempengaruhi situasi dan kondisi yang akan
datang. Oleh karena itu mengenal situasi dan kondisi sekarang
sangat penting artinya bagi seorang pemimpin/manajer dan dari
data masa lalu sampai pada posisi sekarang merupakan petunjuk
atau sinyal seberapa jauh perencanaan yang telah dilakukan telah
berjalan efektif dan efisien. Berdasarkan pengalaman di dalam
menyususn perencanaan untuk masa yang akan datang.
Pemahaman akan sisi organisasi sekarang dari tujuan yang
hendak dicapai atau sumber daya yang tersedia untuk pencapaian
35 Handoko, Op.Cit., hal.81.
36 Ibid., hal.79.

34 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


tujuan adalah sangat penting, karena tujuan dan rencana menyangkut
waktu yang akan datang. Hanya setelah keadaan organisasi saat
ini dianalisis, rencana dapat dirumuskan untuk menggambarkan
rencana kegiatan lebih lanjut.
Yang dimaksud premis disini adalah asumsi tentang lingkungan
dimana organisasi itu berada. Lingkungan organisasi yang sedang
berubah akan sangat mempengaruhi aktivitas organisasi, memaksa
adaptasi operasi berjalan dan perlu peninjauan tentang segala
tatanan yang ada dalam organisasi. Pemimpin/manajer yang ahli
akan senantiasa berusaha memanfaatkan sumber informasi yang
tersedia guna mengantisipasi dan merencanakan metode yang tepat
untuk disesuaikan dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Oleh karena itu, sebelum pemimpin/manajer menyusun rencana
sebaiknya pemimpin/manajer telah membuat peramalan yang
terkait dengan rencana yang akan disusun. Peramalan akan sangat
membantu pemimpin/manajer di dalam menyusun rencana sebab
peramalan akan memberikan sinyal dini bagi manajer.
Segala kekuatan dan kelemahan serta kemudahan dan ham­
batan perlu diindentifikasi untuk mengukur kemampuan organisasi
dalam mencapai tujuan (melakukan apa). Karena itu perlu
diketahui faktor-faktor lingkungan  intern dan ekstern yang dapat
membantu organisasi mencapai tujuannya atau yang menimbulkan
masalah. Walaupun sulit dilakukan, antisipasi keadaan, masalah
dan kesempatan serta ancaman yang mungkin terjadi di waktu
mendatang adalah bagian esensi dari proses perencanaan.
Tahap terakhir dalam proses perencanaan meliputi pengem­
bangan berbagai alternatif dalam proses pencapaian tujuan, peni­
laian dan pemilihan alternatif terbaik di antar berbagai alternatif
yang ada. Meskipun perencanaan belum dilaksanakan, akan
tetapi sebaiknya metode pengawasan yang akan dilakukan telah
ditetapkan terlebih dahulu. Dalam metode pengawasan telah
diperhitungkan berbagai permasalahan dan kendala di lapangan
serta berbagai cara menanggulanginya. Pengawasan melibatkan

Psikologi Manajemen | 35
analisis berkelanjutan dan pengukuran operasi aktual terhadap
standar yang dikembangkan dan dirumuskan di dalam proses
perencanaan.
Menyusun rencana berarti memikirkan apa yang akan dikerja­
kan dengan sumber yang dimiliki. Agar dapat membuat rencana
secara teratur dan logis, sebelumnya harus ada keputusan terlebih
dahulu sebagai petunjuk langkah-langkah selanjutnya. Perencanaan
adalah penentuan serangkaian tindakan untuk mencapai suatu hasil
yang diinginkan.

36 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


BAGIAN VI
ORGANIZING ORGANISASI
PENDIDIKAN

A. Pengertian Organisasi
Organisasi mempunyai dua pengertian umum. Pertama, orga­
nisasi diartikan sebagai suatu lembaga atau kelompok fungsional,
misalnya, sebuah perusahaan, sebuah sekolah, sebuah perkumpulan,
dan badan-badan pemerintahan. Kedua, merujuk pada proses
pengorganisasian, yaitu bagaimana pekerja diatur dan dialokasikan
di antara para anggota agar dapat mencapai tujuan secara efektif,
artinya organisasi merupakan susunan dan aturan dari berbagai
bagian organ sehingga menjadi kesatuan yang teratur.
Organisasi diartikan sebagai kumpulan orang dengan sistem
kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan pengor­
ganisasian diartikan sebagai proses membagi kerja ke dalam tugas-
tugas yang lebih kecil, membebankan tugas-tugas itu kepada
orang yang sesuai dengan kemampuannya, dan mengalokasikan
sumber-sumber daya serta mengkoordi-nasikannya dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi secara efektif.
Fungsi organisasi meliputi kegiatan-kegiatan membentuk atau
mengadakan struktur organisasi baru untuk menghasilkan produk
baru, menetapkan garis hubungan kerja antara struktur yang ada
dengan struktur baru dan merumuskan komunikasi dan titik-
titik hubungan menciptakan deskripsi kedudukan dan menyusun
kualifikasi tiap kedudukan (posisi) yang menunjukkan apakah
rencana dapat dilaksanakan oleh organisasi yang ada atau diper­
lukan orang lainnya yang memiliki keterampilan khusus.

Psikologi Manajemen | 37
Pengorganisasian (organizing) merupakan proses penyusunan
struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber
daya-sumber daya yang dimilikinya, dan lingkungan yang meling­
kupinya.37 adalah penentuan bagaimana penyusunan organi­sasi
dan bagaimana aktivitas dapat dilakukan. George R. Terry (1986)
mengemukakan bahwa: “Pengorganisasian adalah tindakan meng­
usahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-
orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien, dan
memperoleh kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas-tugas
tertentu, dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan
atau sasaran tertentu”.
Organisasi (Organizing) adalah dua orang atau lebih yang be­
ker­ja sama dalam cara yang terstruktur untuk mencapai sasaran
spesifik atau sejumlah sasaran. Bila ditinjau dari proses, maka proses
itu adalah proses menyangkut bagaimana strategi dan taktik yang
telah diru­muskan dalam perencanaan diatur dalam sebuah struktur
organisasi yang tepat dan dapat bekerja secara efektif.
Pengorganisasian atau Organizing berarti menciptakan suatu
struktur dengan bagian-bagian yang terintegrasi sedemikian rupa
sehingga hubungan antar bagian-bagian satu sama lain dipengaruhi
oleh hubungan mereka dengan keseluruhan struktur tersebut.
Pengorganisasian bertujuan membagi satu kegiatan besar men­
jadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Selain itu, mempermudah
manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang
yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah
dibagi-bagi tersebut.

B. Proses Pengorganisasian
Berkenaan dengan pengorganisasian ini, Hadari Nawawi
(1992) mengemukakan beberapa asas dalam organisasi, di antaranya
adalah: (a) organisasi harus profesional, yaitu dengan pembagian
satuan kerja yang sesuai dengan kebutuhan; (b) pengelompokan
37 Ibid., hal.167.

38 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


satuan kerja harus menggambarkan pembagian kerja; (c) organisasi
harus mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab; (d)
organisasi harus mencerminkan rentangan kontrol; (e) organisasi
harus mengandung kesatuan perintah; dan (f) organisasi harus
fleksibel dan seimbang.
Ernest Dale seperti dikutip oleh T. Hani Handoko mengemu­
kakan tiga langkah dalam proses pengorganisasian, yaitu: (a) peme­
rincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai
tujuan organisasi; (b) pembagian beban pekerjaan total menjadi
kegiatan-kegiatan yang logik dapat dilaksanakan oleh satu orang;
dan (c) pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk
mengkoordinasikan pekerjaan para anggota menjadi kesatuan yang
terpadu dan harmonis.38
Ernest Dale (1986) menggambarkan proses pengorganisasian
sebagai berikut:
1. Yang harus dilakukan dalam merinci pekerja adalah menentukan
tugas-tugas apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan
organisasi.
2. Membagi beban kerja menjadi kegiatan yang dapat dilaksanakan
oleh perorangan/kelompok.
3. Penggabungan pekerja/para anggota dengan cara rasional dan
efisien.
4. Menetapkan mekanisme.
5. Melakukan monitoring.
Organisasi Pendidikan merupakan proses mempersiapkan
kepu­tusan-keputusan untuk masa depan dalam pembangunan
pen­didikan, yang merupakan fungsi dari perencanaan pendidikan
seba­gaimana yang diharapkan.
Tujuan dari organisasi pendidikan adalah menyusun kebijakan
dan menggariskan strategi pendidikan yang sesuai dengan kebi­
jakan pemerintah (menyusun alternatif dan prioritas kegiatan) yang
menjadi dasar pelaksanaan pendidikan pada masa yang akan datang

38 Ibid., hal.168-169.

Psikologi Manajemen | 39
dalam upaya pencapaian sasaran pembangunan pendidikan.
Prinsip-prinsip organisasi pendidikan ádalah sebagai berikut:
a. Pengorganisasian pendidikan harus bersifat komprehensif.
b. Pengorganisasian pendidikan harus bersifat integral.
c. Pengorganisasian pendidikan harus memperhatikan aspek-
aspek kualitatif dan kuantitatif.
d. Pengorganisasian pendidikan harus merupakan rencana jangka
panjang dan kontinue.
e. Pengorganisasian pendidikan harus didasarkan efisiensi.
f. Pengorganisasian pendidikan harus dibantu oleh organisasi
administrasi yang efisien dan data yang dapat diandalkan.
g. Pengorganisasian pendidikan harus memperhitungkan semua
sumber yang ada atau yang dapat diadakan.

C. Struktur Organisasi
Pengorganisasian menyangkut penentuan pekerja, pembagian
verja, penetapan mekanisme untuk mengorganisasikan kegiatan.
Salah satu hasil dari proses ini adalah struktur organisasi yang
merupakan prosedur formal manajemen organisasi.
Pada struktur organisasi ini tergambar posisi kerja, pembagian
kerja, jenis kerja yang harus dilakukan, hubungan atasan dan bawah­
an, spesifikasi aktivitas mengacu pada spesifikasi tugas per­orang­an
dan kelompok di seluruh organisasi.
Dalam struktur organisasi juga tergambar hubungan dalam
orga­nisasi yang menunjukkan kaitan antara tanggung jawab,
wewenang, dan pelaporan akuntabilitas, yaitu keharusan memper­
tang­gungjawabkan pelaksanaan tugas yang mengacu kepada
sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi.
Bentuk-bentuk hubungan dalam organisasi pada umumnya
dan organisasi pendidikan pada khususnya Sangat banyak dan ber­
variasi. Dalam organisasi sekolah yang benar, hubungan-hu­bung­an
itu secara garis besar mencakup aspek sarana, fungsí atau perangkat
tugas, tanggung jawab, wewenang dan akuntabilitas. Semua hal

40 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


tersebut dinyatakan dalam konteks oraganisasi sekolah dalam
hubungan konsultatif maupun koordinatif.
Hubungan konsultatif ádalah hubungan antara unsur yang
berada dalam organisasi dengan keadaan setara, sedangkan hu­
bungan koordinatif ádalah pola hubungan yang menunjukkan
hubungan antara unit dalam organisasi yang bertujuan saling men­
dukung.
Ada empat aspek dalam pengorganisasian pendidikan, yaitu
aspek sosiologis, pedagogis, demografis, dan ekonomis.
a. Aspek Sosiologis
Jika kita melihat pendidikan sebagai salah satu sistem,
maka masyarakat ádalah sebuah supra sistem pendidikan,
dan sub sistem lanilla saling mempengaruhi dan saling
ketergantungan antara sesamanya. Karena itu, setiap perubahan
yang diinginkan masyarakat dalam bidang pendidikan akan
mempengaruhi sistem sosial.
Karena itu, para perencana dan pengambil kebijakan serta
pelaksanaannya perlu memperhatikan aspek sosiologis, utama­
nya aspek sosiologis keagamaan yang berkaitan erat dengan
gagasan-gagasan di bidang pendidikan, antara lain:
1) Aspirasi masyarakat terhadap pendidikan.
2) Pengaruh perencanaan pendidikan terhadap masyarakat.
3) Hal-hal dan sanksi sosial yang berhubungan dengan pen­
didikan.
4) Pengaruh budaya dan tekanan-tekanan dari luar terhadap
perencanaan pendidikan.
b. Aspek Pedagogis
Aspek ini sangat penting karena meliputi sejumlah penge­
tahuan dan pengalaman untuk membantu terlaksananya
kegiatan belajar yang merupakan hakikat dari pendidikan.
Seorang perencana pendidikan mungkin tidak perlu menge­
tahui begitu banyak mengenai hal belajar dan mengajar, akan
tetapi ia harus mengetahui apa yang terjadi di dalam sistem

Psikologi Manajemen | 41
pendidikan karena rencana yang disusunnya selalu mengenai
sistem pendidikan tersebut.
Aspek ini meliputi dasar dan tujuan pendidikan, struktur
sistem pendidikan, isi pendidikan, metode belajar dan mengajar,
serta inovasi pendidikan.
c. Aspek Demografis
Aspek ini mempunyai pengaruh yang jelas dalam pendi­
dikan dan bidang ekonomi. Pengaruhnya nyata sekali untuk
perkembangan dan meningkatkan kemakmuran. Di satu
pihak, pendidikan adalah suatu beban yang berat, sementara
tanpa pendidikan, pembangunan tidak akan berjalan dengan
baik dan lancar.
d. Aspek Ekonomis
Ekonomi biasanya membicarakan alokasi sumber-sumber
yang terbatas lepada alternatif-alternatif pemakai, sehingga
memenuhi kebutuhan, antara lain menjelaskan tingkah laku
individu, perusahaan, dan pemerintahan dalam hubungannya
dengan kebijakan ekonomi.

42 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


BAGIAN VII
ACTUATING ORGANISASI PENDIDIKAN

Actuating adalah proses penyatupaduan kepentingan dan


keinginan orang-orang dengan organisasinya, sehingga tujuan
bersama dapat tercapai dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain,
sebagai salah satu aktivitas manajemen yang berupa pekerjaan
memberi arah, menuntut bawahan dan menugaskan untuk
melaksanakan pekerjaan dalam mencapai tujuan yang telah
ditentukan dalam statu usa kerja sama. 39
Fungsi actuating atau pengarahan ádalah untuk membuat atau
mendapatkan para karyawan melakukan apa yang diinginkan dan
harus mereka lakukan. Fungsi ini melibatkan kualitas, gaya, dan
kekuasaan pemimpin, serta kegiatan-kegiatan kepemimpinan,
seperti komunikasi, motivasi, dan disiplin.
Fungsi mengarahkan meliputi langkah-langkah pendelegasian
atau penugasan tanggung jawab dan akuntabilitas, memotivasi dan
mengkoordinasikan agar usaha-usaha kelompok serasi dengan
usaha-usaha lainnya, merangsang perubahan bila terjadi perbedaan
pertentangan untuk mencari pemecahan atau penyelesaian sebelum
mengerjakan tugas-tugas berikutnya.
Ada tiga alternatif pendekatan yang dapat dipergunakan untuk
menentukan kebutuhan pendidikan, yaitu:
1. Pendekatan sosial (social demand approaches) yaitu pendekatan
tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyedia­
kan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan-
39 Indar, H.M. Djumberansyah, (1990). Perencanaan Pendidikan. Malang.

Psikologi Manajemen | 43
tekanan untuk memasukkan serta memungkinkan pemberian
kesempatan pada pemenuhan keinginan siswa dan orang
tuanya secara bebas.
2. Pendekatan ketenagakerjaan (man power approaches) yaitu pen­
dekatan yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan
pendidikan pada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional
mengenai tenaga kerja.
3. Pendekatan efisiensi investasi yaitu penentuan besarnya inves­
tasi dalam dunia pendidikan sesuai dengan hasil, keuntungan,
dan efectivitas yang akan diperoleh.
Menggerakkan adalah proses memotivasi anggota organisasi
agar perencanaan dapat dijalankan. Dalam hal ini, George R. Terry
(1986) mengemukakan bahwa actuating merupakan usaha meng­
gerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga
mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusa­
haan dan sasaran anggota-anggota perusahaan tersebut oleh karena
para anggota itu juga ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut.
Mengerakkan atau actuating adalah suatu tindakan untuk me­
ngu­sahakan agar semua anggota kelompok berusaha untuk men­
capai sasaran sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha-
usaha organisasi. Jadi actuating artinya adalah menggerakkan
orang-orang agar mau bekerja dengan sendiri atau penuh kesadaran
secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki
secara efektif.
Dari seluruh rangkaian proses manajemen, pelaksanaan (actua­
ting) merupakan fungsi manajemen yang paling utama. Dalam fungsi
perencanaan dan pengorganisasian lebih banyak berhubungan
dengan aspek-aspek abstrak proses manajemen, sedangkan fungsi
actuating justru lebih menekankan pada kegiatan yang berhubungan
langsung dengan orang-orang dalam organisasi.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanan
(actua­ting) ini adalah bahwa seorang karyawan akan termotivasi
untuk mengerjakan sesuatu jika: (1) merasa yakin akan mampu

44 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


mengerjakan, (2) yakin bahwa pekerjaan tersebut memberikan
manfaat bagi dirinya, (3) tidak sedang dibebani oleh problem pribadi
atau tugas lain yang lebih penting, atau mendesak, (4) tugas tersebut
merupakan kepercayaan bagi yang bersangkutan dan (5) hubungan
antar teman dalam organisasi tersebut harmonis.

Kepemimpinan (Leading)
Pekerjaan leading meliputi empat kegiatan yaitu: 1) mengambil
keputusan, 2) mengadakan komunikasi agar terjadi saling penger­
tian antara manajer dan bawahan, 3) memberi semangat, inspirasi,
dan dorongan kepada bawahan supaya mereka bertindak, dan 4)
mengkoordinasi kegiatan

Pengarahan (Directing)
Directing adalah fungsi manajemen yang berhubungan dengan
usaha memberi bimbingan, saran, perintah-perintah atau instruksi
kepada bawahan dalam melaksanakan tugas masing-masing, agar
tugas dapat dilaksanakan dengan baik dan benar-benar tertuju pada
tujuan yang telah ditetapkan semula. Bila ditinjau dari proses, maka
proses itu adalah proses pelaksanaan program agar dapat dijalankan
oleh seluruh pihak dalam organisasi serta proses memotivasinya.

Staf (Staffing)
Staf merupakan suatu fungsi manajemen berupa penyusunan
personalia pada suatu organisasi sejak dari merekrut tenaga
kerja, pengembangannya sampai dengan usaha agar setiap tenaga
memberi daya guna maksimal kepada organisasi.

Koordinasi (Coordinating)
Pengkoordinasian merupakan satu dari beberapa fungsi mana­
jemen untuk melakukan berbagai kegiatan agar tidak terjadi keka­
cauan, percekcokan, kekosongan kegiatan dengan jalan menghu­

Psikologi Manajemen | 45
bungkan, menyatukan dan menyelaraskan pekerjaan bawahan
sehingga terdapat kerja sama yang terarah dalam upaya mencapai
tujuan organisasi.
Koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim de­
ngan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan
masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan
keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri.

Inovasi (Inovation)
Inovasi adalah proses atau hasil pengembangan atau peman­
faatan/mobi-lesasi pengetahuan, keterampilan (termasuk keteram­
pilan teknologis) dan pengalaman untuk menciptakan atau mem­
perbaiki produk (barang dan/atau jasa), proses, dan/atau sistem
yang baru, yang memberikan nilai yang berarti atau secara signifikan
(terutama ekonomi dan sosial).

Laporan (Reporting)
Adalah suatu fungsi manajemen berupa penyampaian perkem­
bangan atau hasil kegiatan atau pemberian keterangan mengenai
segala hal yang bertalian dengan tugas dan fungsi-fungsi kepada
pimpinan yang lebih tinggi, baik secara lisan maupun tertulis.

46 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


BAGIAN VIII
CONTROLLING ORGANISASI
PENDIDIKAN

Dalam suatu organisasi, kita memerlukan suatu pengawasan,


supaya tercipta hasil yang efektif dan efisien. Tanpa adanya
pengawasan dalam statu organisasi, suatu kegiatan tidak akan
mencapai hasil yang memuaskan. Setiap organisasi memerlukan
kegiatan pengawasan atau controlling. Kegiatan ini dilakukan
dengan maksud agar perilaku personalia organisasi mengarah ke
tujuan organisasi, bukan semata-mata tujuan individual mereka
masing-masing dan tidak terjadi penyimpangan yang berarti antara
rencana dan pelaksanaan. 40
Setiap organisasi memiliki aktivitas tertentu dalam rangka
mencapai tujuan organisasi. Organisasi yang dimaksud adalah
sekumpulan orang dengan ikatan tertentu yang merupakan wadah
untuk mencapai cita-cita yang telah ditentukan.
Penyimpangan antara rencana dengan pelaksanaan Sangat
mungkin terjadi apabila tidak dilakukan kontrol atau pengawasan.
Karena itu, Sangay dibutuhkan adanya pengawasan agar pelak­
sanaan tidak menyimpang dengan rencana sebelumnya.
Fungsi pengawasan tidak terlepas dari fungsi manajemen
lainnya seperti perencanaan, pengorganisasian, dan penggerakan.
Kalau fungsi-fungsi manajemen tersebut berjalan baik, maka penga­
wasan kurang diperlukan. Karena jarang terjadi bahwa fungsi-
fungsi tersebut berjalan sempurna maka mutlak diperlukan fungsi
40 Pidarta, Made, (1988). Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Psikologi Manajemen | 47
pengawasan. Jadi, pengawasan tersebut berhubungan dengan dan
menjadi bagian dari akibat ketiga fungsi manajemen lainnya. Makin
erat jalinan hubungan, makin efektif pengawasan dilakukan.
Dalam konteks pendefinisian fungsi-fungsi manajemen yang
terjalin satu sama lain dalam satu sistem, yang memiliki input,
proses, dan output, subsistem controlling (pengawasan) merupakan
pengawasan terhadap proses, yaitu terhadap tugas dan pekerjaan
ataupun aktivitas yang sedang berjalan maupun yang sudah selesai,
dan bukan melakukan pengawasan terhadap orang atau manusia.
Hal ini berarti bahwa controlling tidak identik dengan manajer yang
diktator/otoriter. Manajer tidak memandori orang, akan tetapi
memandori pekerjaan. Yang diperlukan adalah mengukur kemajuan
pekerjaan yang sedang berjalan dan hasilnya, bukan memandori
orang yang sedang bekerja. Karena itu, diperlukan adanya sistem
dan mekanisme yang mengatur proses pengawasan (controlling) ini.
Sub sistem controlling ini juga mempunyai komponen input–proses–
output.
Pengawasan atau sering juga disebut pengendalian adalah
moni­toring dan perbaikan aktivitas yang sedang berjalan agar
tujuan dapat tercapai, merupakan satu di antara beberapa fungsi
manajemen berupa mengadakan penilaian, bila perlu mengadakan
koreksi sehingga apa yang dilakukan bawahan dapat diarahkan ke
jalan yang benar dengan tujuan yang telah digariskan semula.
Robert J. Mocker sebagaimana disampaikan oleh T. Hani Handoko
(1995) mengemukakan definisi pengawasan yang di dalamnya
memuat unsur esensial proses pengawasan, bahwa : “Pengawasan
manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan
standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang
sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata
dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan
dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil
tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua
sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif

48 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.”
Bila ditinjau dari proses, maka proses itu adalah proses yang
dilakukan untuk memastikan seluruh rangkaian kegiatan yang
telah direncanakan dan dilaksanakan bisa berjalan sesuai target
yang diharapkan. Pengawasan merupakan tindakan seorang
manajer untuk menilai dan mengendalikan jalan suatu kegiatan
yang mengarah demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Proses controlling dimulai dengan menentukan standar yang
mencakup kriteria-kriteria untuk mengukur pelaksanaan pekerjaan,
yaitu suatu pernyataan mengenai kondisi-kondisi yang terjadi
apabila suatu pekerjaan dilaksanakan secara memuaskan. Setelah
itu, dilaksanakan pengukuran hasil/pelaksanaan pekerjaan dengan
menggunakan metode pada fungsi-fungsi manajemen, yaitu:
1. Perencanaan: garis umpan balik proses manajemen dapat
berwujud meninjau kembali rencana, mengubah tujuan, atau
mengubah standar.
2. Pengorganisasian: memeriksa apakah struktur organisasi yang
ada itu cukup sesuai dengan standar, apakah tugas dan kewa­
jiban telah dimengerti dengan baik, dan apakah diper­lukan
kembali penataan orang-orang.
3. Penataan staf: memperbaiki sistem seleksi, sistem latihan, dan
menata kembali tugas-tugas.
4. Pengarahan: mengembangkan kepemimpinan yang lebih baik,
meningkatkan motivasi, menjelaskan pekerjaan yang sukses,
penyadaran akan tujuan yang secara keseluruhan apakah kerja
sama antara pimpinan dan bawahan berada dalam standar.
Dengan demikian, ada dua sasaran pengawasan yaitu perilaku
individu sebagai orang-orang yang memproses input menjadi output
(yang diarahkan agar berperilaku organisasi), dan output organisasi
itu sendiri (yang diusahakan agar tidak menyimpang dari rencana
semula).
Robbins menjelaskan definisi kontrol sebagai proses memonitor
aktivitas-aktivitas untuk mengetahui apakah individu-individu dan

Psikologi Manajemen | 49
organisasi itu sendiri memperoleh dan memanfaatkan sumber-
sumber pendidikan secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai
tujuan dan memberi koreksi apabila tidak tercapai. Definisi ini
memberikan rincian tentang perilaku organisasi yaitu sebagai orang-
orang yang bertugas mengusahakan dan memakai sumber-sumber
pendidikan secara efektif dan efisien, ditambah dengan kewajiban
mengoreksi/membuat revisi apabila tujuan tidak tercapai.
Johnson mengemukakan definisi kontrol yang lebih sederhana
yaitu sebagai fungsi sistem yang melakukan penyesuaian terhadap
rencana mengusahakan agar penyimpangan-penyimpangan tujuan
sistem hanya dalam batas-batas yang dapat ditolerir.
Dengan demikian, kontrol atau pengawasan dapat diartikan
sebagai salah satu kegiatan untuk mengetahui realisasi perilaku
organisasi personalia pendidikan dan tingkat pencapaian tujuan
pendidikan. Fungsi kontrol meliputi kegaitan pengadaan sistem
pelaporan yang serasi dengan struktur pelaporan keseluruhan,
mengembangkan standar perilaku, mengukur hasil berdasarkan
kualitas yang diinginkan dalam kaitannya dengan tujuan, melakukan
tindakan koreksi dan memberikan ganjaran.
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melakukan
kon­trol atau pengawasan yaitu sebagai berikut:
1. tertuju kepada strategis sebagai kunci sasaran yang menentukan
keberhasilan,
2. harus menggunakan umpan balik sebagai bahan revisi dalam
mencapai tujuan,
3. harus fleksibel dan responsif terhadap perubahan kondisi dan
lingkungan,
4. cocok dengan organisasi,
5. merupakan kontrol diri sendiri,
6. bersifat langsung, yaitu pelaksanaan kontrol di tempat kerja,
dan
7. memperhatikan hakikat manusia dalam mengontrol para tena­
ga kependidikan.

50 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Humble mengemukakan adanya tiga macam pemeriksaan,
yaitu pemeriksaan terhadap karya, kemampuan, dan gaji. Kontrol
mencakup segala bagian organisasi, mulai dari perencanaan seleksi
personalia, pembinaan personalia, anggaran belanja, penilaian
perilaku, cara bekerja, sampai dengan efektivitas pemakaian dana.
Kontrol dalam organisasi pada umumnya, khususnya dalam
lembaga-lembaga pendidikan tidak boleh dilakukan secara eksakta,
sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar. Bila hal ini dilakukan
berarti organisasi itu menerapkan kontrol mesin kepada manusia.
Kontrol yang baik ialah kontrol yang dapat memanfaatkan
profesi karir personalia secara optimal, yaitu dengan cara:
1. mengikutsertakan mereka dalam menentukan sasaran,
2. menciptakan iklim organisasi yang mendorong pengembangan
diri dan komunikasi yang lancar,
3. membuat mereka responsif dan bersemangat dalam melakukan
pekerjaan.
Dengan demikian, pengawasan (controlling) diartikan sebagai
usaha menentukan apa yang sedang dilaksanakan dengan cara
menilai hasil/prestasi yang dicapai dan kalau terdapat penyim­
pangan dari standar yang telah ditentukan, maka segera diadakan
usaha perbaikan, sehingga semua hasil/prestasi yang dicapai sesuai
dengan rencana.
Proses pengawasan ini saling berkaitan, apabila belum selesai,
maka kembali ke proses awal, dan apabila telah selesai, maka akan
menghasilkan keluaran (output) berupa laporan hasil kinerja. Dalam
penerapannya di bidang manajemen pendidikan, kepala sekolah
sebagai pimpinan tentunya harus mampu melakukan pengawasan
agar kualitas output yang dihasilkan menjadi lebih baik dan sesuai
dengan keinginan banyak pihak, khususnya stakeholders pendidikan.

Psikologi Manajemen | 51
52 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I
BAGIAN IX
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan dalam pandangan Veithzal Rivai dan Deddy


Mulyadi41 secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menen­
tukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk men­
capai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan
budayanya. Selain itu juga mempengaruhi interpretasi mengenai
peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan akti­
vitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memlihara hubungan kerja
sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerjasama dari
orang-orang di luar kelompok atau organisasi.
Sehubungan dengan efektivitas kepemimpinan, Barnard men­
jelaskan tentang fungsi kepemimpinan, serta mengembangkan
konsep efektivitas dan efisiensi, yang dikutip dalam bukunya The
Function of the Executive, yang menyatakan: ”Effectiveness relates to the
achievement of organizational goals, and efficiency relates to the satisfaction
of individual motives”.42
Achua dan Lussier dalam Effective Leadership menyatakan bah­
wa para pemimpin yang efektif (effective leaders) memiliki sifat (traits)
dan personalitas (personality profile), serta adanya the big five model of
personality sebagai berikut43:

41 Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi,


Jakarta: Rajawali Pers, hal. 2.
42 Chester I, Barnard, The Functions of the Executive (Cambridge, Mass: Harvard
University Press, 1968), hal.55-61.
43 Achua, Christopher F. dan Lussier, Robert N., Effective Leadership (USA:
Cengage, 2010), hal.43.

Psikologi Manajemen | 53
Achievement Motivation
The Big Five Model Nine Traits of
Theory and Leader Motive
of Personality Effective Leaders
Profile Theory
1. Surgency 1. Dominance 1. Need for power
2. Agreeableness 2. Sensitivity to 2. Need for affiliation
3. Adjustment others 3. Socialized power
4. Conscientiousness 3. Stability 4. Need for achievement
5. Openness to 4. High energy
experience 5. Self-confidence
6. Integrity
7. Internal locus
of control
8. Intelligence
9. Flexibility

Dalam pandangan Abdul Ghani Abdullah, dkk44, sepanjang


abad ke-20-an, ‘pendekatan trait’ adalah salah satu teknik kepemim­
pinan yang dikatakan sistematik. Sedangkan terkait dengan
kepribadian, Vishalache Balakrishnan45, menyatakan bahwa jika
teori moral sosial menunjukkan kepada standar moralitas, maka
teori kepribadian menunjukkan kepada karakteristik kepribadian.
Dalam konteks kepribadian ini, Brent Davies (ed)46 juga menyatakan
bahwa interaksi pemimpin dengan yang lainnya mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh identitas pengalaman emosi-mereka sendiri
dan orang lain.
Nanus dan Dobss dalam Syafaruddin menjelaskan bahwa:
“Leadership effectiveness-it means producing a greater social good usually
by increasing organizational capital or creating harnessing social energy”.47
Dalam pandangan Locke, bahwa kepemimpinan efektif memi­
liki ciri-ciri, yaitu 1) penuh inisiatif, energi dan ambisi, 2) tekun dan
44 Abdul Ghani Abdullah, dkk, Gaya-Gaya Kepemimpinan Dalam Pendidikan,
Selangor: PTS Professional, Publishing, Sdn,Bhd.2010, hal.8.
45 Vishalache Balakrishnan, Moral Education for Universities and Colleges, Selangor
Darul Ehsan: Arah Pendidikan Sdn, Bhd., 2009, p. 50.
46 Brent Davies (ed), The Essentials of School Leadership, London: Sage Publications,
Ltd, 2005, P. 123.
47 Syafaruddin, Kepemimpinan Pendidikan: Akuntabilitas Pimpinan Pendidikan dalam
Konteks Otonomi Daerah(Ciputat: Quantum Teaching-Ciputat Press Group,
2010), hal.109.

54 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


proaktif dalam mengejar sasaran-sasaran yang telah ditentukan, 3)
mempunyai keinginan memimpin; mereka tidak mengharapkan
kekuasaan untuk maksud mendominasi orang-orang lain melainkan
demi meraih sasaran tertinggi, 4) jujur dan punya integritas; mereka
tidak hanya bisa dipercayai, tetapi juga bisa mempercayai orang
lain, 5) mempunyai rasa percaya diri yang tebal, yang tidak hanya
memberi kesanggupan pada mereka untuk memikul tanggung
jawab dan membangkitkan rasa percaya diri orang lain tapi juga
mengatasi segala situasi yang menekan dengan hati tenang.48
Ada banyak model formal dan teori yang berusaha untuk
meng­identifikasi ciri-ciri kunci dan perilaku yang membantu para
pemimpin untuk berhasil. Dengan demikian, penting untuk mema­
hami bagaimana sifat dan keterampilan berhubungan satu sama
lain.
Keterampilan tertentu sangat penting bagi para pemimpin,
namun tanpa kualitas pribadi tertentu, tidak mungkin bagi
pemimpin untuk membuat keterampilan menempel. Sebagai contoh,
beberapa orang akan berpendapat bahwa keterampilan komunikasi
sangat penting bagi para manajer, tetapi jika seorang pemimpin
tidak memiliki kontrol diri, maka tidak peduli apa keterampilan
komunikasi yang mereka pelajari, mereka tidak akan mampu untuk
menerapkannya karena segera setelah mereka kehilangan kesabaran
mereka, semua praktek terbaik akan keluar jendela.
Menurut James Fenimore Cooper, efektivitas kepemimpinan
pada dasarnya mempraktekkan prinsip-prinsip berikut :
1) Membangun visi, misi, dan menentukan nilai-nilai secara
ber­sama-sama yang membantu orang fokus pada kontribusi
mereka dan membawa keluaran (output) yang terbaik.
2) Membentuk lingkungan komunikasi yang mendorong umpan
balik yang akurat dan jujur dan
​​ keterbukaan diri .
3) Membuat informasi tersedia.
4) Membangun kepercayaan, rasa hormat, dan perilaku berda­

48 Edwin A. Locke, terj., Esensi Kepemimpinan (Jakarta: Spektrum, 1997), hal.9.

Psikologi Manajemen | 55
sarkan kelompok sebagai norma.
5) Bersifat inklusif dan menunjukkan kepedulian untuk setiap
orang.
6) Menunjukkan sumber daya dan kemauan untuk belajar.
7) Menciptakan lingkungan yang merangsang kinerja yang luar
biasa.49
Seorang pemimpin perlu memperhatikan tiga dimensi lain,
yaitu dimensi 1) mempertahankan penekanan tujuan manajerial dan
kejelasan, 2) memiliki kemampuan untuk memberikan dukungan
yang diperlukan bagi individu untuk melakukan pekerjaan mereka
dan mencapai tujuan mereka, dan 3) memfasilitasi bawahan
untuk berinteraksi satu sama lainnya untuk menciptakan efisiensi,
perasaan yang baik, dan kerja sama tim.50
Menurut H. Jodeph Reitz dalam Nanang Fattah, dikemukakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan
meliputi 1) kepribadian, pengalaman masa lalu, dan harapan
pemimpin, 2)pengharapan dan perilaku atasan, 3) karakteristik,
harapan, dan perilaku bawahan, 4) kebutuhan tugas, 5) iklim dan
kebijakan organisasi, dan 6) harapan dan perilaku rekanan.51
Dalam hal ini, ada beberapa kriteria manajerial yang terdiri
dari ciri efektivitas manajerial (tingkat energi dan toleransi
terhadap stres, rasa percaya diri, integritas, motivasi kekuasaan,
orientasi pada keberhasilan, kebutuhan akan afiliasi yang rendah)
dan keterampilan efektivitas manajerial (keterampilan teknis,
keterampilan antar pribadi, dan keterampilan konseptual).52
Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan di atas,
menunjukkan bahwa pemimpin efektif sangat berhubungan erat
dengan sifat pribadi seorang pemimpin, berkaitan dengan tugas,
dan wawasan dalam memimpin, karena itu pemimpin yang efektif
49 Cooper, James Fenimore., and John Nirenberg, “Leadership Effectiveness”
Encyclopedia of Leadership. Ed.. Thousand Oaks, (CA: SAGE, 2004), hal.845-854
dalam SAGEReference Online. Web. 30 Jan. 2012.
50 Ibid.
51 Nanang Fattah, Op.Cit., hal.98-99.
52 Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi, Op.Cit., hal.21-23.

56 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


akan memimpin dengan efektif manakala pemimpin menerapkan
efektivitas dalam kepemimpinan. Dalam penelitian ini efektifitas
kepemimpinan yang dapat dijadikan konstruk adalah pencapaian
tujuan organisasi, sedangkan yang dapat dijadikan indikator adalah
sebagai berikut 1) inisiatif, energi dan ambisi, 2) tekun dan proaktif
mengejar sasaran, 3) keinginan memimpin untuk meraih sasaran
tertinggi, 4) jujur dan punya integritas serta percaya pada orang
lain, dan 5) memiliki rasa percaya diri yang tinggi.

Psikologi Manajemen | 57
58 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I
BAGIAN X
BUDAYA ORGANISASI

Dalam pandangan Tony Bush dan David Middlewood53 konsep


budaya telah berkembang secara signifikan dalam pendidikan selama
tahun 1990-an hingga abad ke-21. Luasnya minat kajian ini mungkin
dipahami sebagai akibat ketidakpuasan terhadap keterbatasan
model kepemimpinan dan manajemen yang menekankan kepada
aspek struktural dan teknis sebuah lembaga pendidikan.
Menurut Marc Schabracq54 konsep budaya organisasi, yang
untuk alasan singkatnya sekarang hanya disebut ‘budaya’, sulit
untuk ditentukan. Kesulitan ini sebagian berasal dari penggunaan
istilah yang luas dan beragam budaya, sebagian juga dari fakta bahwa
sebagian besar budaya tersembunyi dari mata yang melihatnya,
seperti pepatah gunung es yang hanya sepersepuluh tongkat keluar
dari air.
Budaya organisasi sering dipahami sebagai falsafah yang menun­
tun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan55.
Dalam konteks budaya organisasi, Al-Qur’an misalnya sebagai
pedoman kehidupan, nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya
senantiasa hidup mengikuti arus perubahan dan kemajuan. Al-
Qur’an memberikan petunjuk dengan segala penjelasannya sesuai
dengan kultur, suasana, dan kehendaknya sendiri. Namun demikian,
53 Tony Bush & David Middlewood, Leading and Managing People in Education,
California: Sagu Publication Limited, 2005, p. 47.
54 Marc Schabracq , Changing Organizational Culture, England: John Wiley & Sons
Ltd. The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ, 2007, p.7.
55 Kasful Anwar, Kepemimpinan Pesantren: Menawarkan Model Kepemimpinan
Kolektif dan Responsif, Jambi: STS Press, 2011, hal. 71.

Psikologi Manajemen | 59
kita sering menyaksikan, oleh karena berbagai hambatan dan
keterbatasan umat manusia dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an,
terutama pada tataran impelementasi, makna ayat-ayat al-Qur’an
hanya dipandang secara doktrinal-transendental, tidak dipahami
secara kultural-profan. Pesan-pesan al-Qur’an tidak diperkenalkan
secara dialogisdengan kenyataan sosial yang mengikat kehidupan56,
Dalam prakteknya, al-Qur’an memberikan spirit bagi setiap
manusia termasuk organisasi untuk tumbuh kembangnya budaya
organisasi kearah yang lebih baik. Inspirasi al-Qur’an telah men­
dorong berbagai pranata sosial termasuk pendidikan untuk terus
mengembangkan budaya organisasi yang baik seperti budaya kerja
yang maksimal, membayar upah sebelum kering keringatnya, hidup
harus bekerjasama, dan sebagainya. Karena itulah penting untuk
membicarakan organisasi dan budayanya. Membicarakan budaya
organisasi, setidak ada dua kata yang harus dipahami secara utuh,
yaitu organisasi dan budaya.
Dalam pandangan Ashkanasy57 pada tingkat praktis, budaya
dan iklim deskriptor organisasi sedang meningkat. Semakin banyak
manajer dalam organisasi berbicara tentang mengubah budaya
mereka, menciptakan budaya baru, mencari tahu dampak budaya
mereka, atau melestarikan budaya mereka. Ketika seseorang
menguji tentang apa yang mereka sebenarnya bicarakan, banyak
yang harus dilakukan dengan apa yang kita akan dan harus sebut
iklim.
Budaya, dalam bahasa manajerial populer, biasanya mengacu
pada bagaimana orang merasa tentangorganisasi,sistem kekuasaan,
dan tingkatan keterlibatan dan hal-hal yang menjadi komentar
karyawan, yang semuanya mengacu pada iklim yang lebih dari
budaya. manajer perlu untuk belajar bahwa di mana budaya
mungkin paling penting adalah dampaknya pada barang yang

56 Suryadharma Ali, Mengawal Tradisi Meraih Prestasi: Inovasi dan Aksi Pendidikan
Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2013, hal. 147.
57 Neal M. Ashkanasy, et al, (Eds), Handbook of Organizational Culture and Climate,
USA: Sage Publication, Inc., 2000.

60 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


“sulit” , seperti strategi dan struktur. Kebanyakan manager adalah
cukup buta terhadap fakta bahwa strategi dan struktur mereka
didominasi oleh asumsi budayadan sejarah keberhasilan atau
kegagalan dalam mengasumsikan budaya yang menjadi pemikiran
mereka.
Pemahaman mengenai organisasi sangat penting karena semua
urusan manajemen dan pengelolaan berlaku dalam organisasi. Jika
seseorang ingin menjadi pemimpin yang baik, maka perlu dibekali
dengan pengetahuan yang luas mengenai konsep organisasi.
Menurut Robiah Sidin58 dari segi definisi secara abstrak, organisasi
itu berarti segala elemen yang diselaraskan dan dihubungkan secara
sistematik menjadi satu kesatuan yang bersama-sama bertindak kea
rah memenuhi tujuan dan sasaran bersama.
Menurut Edgar H. Scherin, budaya adalah sebuah abstraksi,
namun kekuatan yang diciptakan dalam situasi sosial dan
organisasi berasal dari budaya yang kuat. Jika kita tidak memahami
pengoperasian kekuatan ini, kita menjadi korban dari kekuatan
budaya tersebut.59
Menurut Beare dalam Tony Bush60, konsep budaya organisasi
menekankan aspek informal organisasi lebih dari elemen-elemen
pegawainya. Konsep budaya organisasi ini memfokuskan pada
nilai, keyakinan dan norma orang dalam organisasi dan bagaimana
persepsi individu ini menyatu dan dibagi ke dalam pengertian
organisasi.
Tony Bush menyatakan bahwa model budaya mengasumsikan
bahwa kepercayaan, nilai dan ideologi adalah jantungnya
organisasi.61 Hal senada juga dikemukakan oleh Lunenburg
dan Ornstein, yang menyatakan bahwa budaya suatu organisasi
58 Robiah Sidin, Teori Pentadbiran Pendidikan, Selangor Darul Ehsan: Percetakan
Asni SDN, Bhd.,2003, hal. 19-20.
59 Edgar H. Scherin, Organizational Culture and Leadership (San Francisco,
California: Jossey Bass, Third Edition, 2004).
60 Tony Bush, Theories Educational Leadership and Management 3rd edition, London:
Sage Publication, 2003, p.43.
61 Ibid., hal.156.

Psikologi Manajemen | 61
merupakan keseluruhan kepercayaan, perasaan, perilaku, dan
simbol yang merupakan karakteristik suatu organisasi.62
Ada beberapa variasi yang dipertimbangkan dalam definisi
budaya organisasi. Variasi tersebut muncul dalam beberapa karak­
teristik, yaitu, keteraturan perilaku yang diamati, norma, nilai-nilai
dominan, filosofi, aturan-aturan dan perasaan.
George Litwin dan Robert Stringer mendefinisikan iklim seba­
gai suatu akibat subjektif yang diterima dari sistem yang formal,
”gaya” informal pemimpin, dan faktor-faktor lingkungan yang
penting terhadap sikap, keyakinan, nilai, dan motivasi setiap orang
yang bekerja dalam organisasi tertentu”.63
Iklim menyediakan referensi tentang bagaimana pemikiran
yang dimilliki perguruan tinggi sebagai dasar untuk memprediksi
konsekuensi dan hasil perguruan tinggi. Sebagai suatu barometer
yang merepresentasikan pentingnya peralatan untuk mengevaluasi
kondisi saat ini, merencanakan arah baru, dan memonitor kemajuan
ke arah baru. Dengan demikian, iklim perguruan tinggi merupakan
dimensi kunci untuk melakukan supervisi terhadap sumber daya
manusia.
Menurut Lunenburg dan Ornstein, proses menciptakan bu­da­ya
organisasi merupakan proses yang kompleks.Salah satu buda­ya or­
ga­nisasi adalah diciptakannya sejumlah mekanisme yang membantu
memperkuat penerimaan nilai dan memastikan bahwa budaya
adalah dipertahankan atau diperkuat (sosialisasi organisasi).64
Dalam pandangan Lunenburg dan Ornstein, budaya organisasi
mempengaruhi banyak proses administratif, antara lain, motivasi,
kepemimpinan, pengambilan keputusan, komunikasi dan perubah­
an. Budaya juga mempengaruhi proses struktur organisasi, proses
pemilihan, sistem evaluasi, sistem pengawasan dan sistem reward

62 Fred C. Lunenburg dan Allan C. Ornstein, Educational Administration: Concepts


and Practices(USA: Wadsworth/Thomson Learning, 2000), hal.60.
63 George H. Litwin dan Robert A. Stringer, Jr., Motivation and Organization
Climate. Boston: Harvard University, 1968, h. 5.
64 Ibid., hal.62.

62 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


yang harus sesuai dengan budaya organisasi. Dengan kata lain
budaya memiliki pengaruh terhadap kinerja pekerja dan efektivitas
organisasi.65
Budaya organisasi adalah suatu kebiasaan yang telah berlang­
sung lama dan dipakai serta diterapkan dalam kehidupan aktivitas
kerja sebagai salah satu pendorong untuk meningkatkan kualitas
kerja para karyawan dan manajer perusahaan.66
Suatu organisasi jika ingin mempertahankan budaya kuat
maka organisasi tersebut harus konsisten dan berusaha semaksimal
mungkin menerapkannya secara terus-menerus kepada para
karyawannya. Karena jika suatu organisasi tidak konsisten menerap­
kan suatu budaya kuat kepada para karyawannya maka budaya
itu lambat laun akan hilang dan akhirnya perusahaan itu menjadi
lemah.67
Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan di atas, menun­
jukkan bahwa budaya organisasi merupakan tradisi atau praktek-
praktek birokratis yang harus ditumbuhkan dalam organisasi.
Budaya organisasi dapat diidentikan dengan komitmen yang kuat
untuk menegakkan sebuah prosedur, sistem, atau kinerja yang
dibangun oleh organisasi. Tanpa komitmen atau budaya yang kuat,
maka dapat dipastikan bahwa organisasi (perguruan tinggi) akan
kehilangan kendali dari sebuah sistem pengawasan (controlling)
manajemen.
Budaya organisasi ini tentunya juga dipengaruhi oleh sifat
(tabiat) dan pengaruh alam sekitarnya, sebagaimana dikatakan
bahwa seseorang harus bekerja dengan penuh ketekunan dengan
mencurahkan seluruh keahlianya. Jika seseorang bekerja sesuai
dengan kemampuanya, maka akan melahirkan hal-hal yang
optimal. Organisasi yang baik tentunya akan dapat dibangun jika
tercipta budaya organisasi yang kondusif.

65 Ibid., hal.67-68.
66 Irham Fahmi, Manajemen: Teori, Kasus, dan Solusi (Bandung: Alfabeta, 2011),
hal.95.
67 Ibid., hal.97.

Psikologi Manajemen | 63
64 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I
BAGIAN XI
MOTIVASI (TEORI, KONSEP,
DAN APLIKASI)

A. Konsep Motivasi
Motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang
yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk
mencapai tujuan. Ada dua prinsip yang dapat digunakan untuk
memandang motivasi, yaitu motivasi dipandang sebagai suatu
proses dan kita menentukan karakter dari proses dengan petunjuk
yang ada.68
Manajemen tradisional menitikberatkan pada metode instruk­
si, yakni manajemen dengan cara menentukan hal-hal yang diang­
gap penting oleh manajer. Cara ini tidak mempertimbangkan
apakah penugasan atau pekerjaan itu sesuai atau tidak dengan
kesanggupan, kebutuhan, minat, dan tingkat kemampuan, serta
pemahaman bawahan. Instruksi atau pekerjaan tersebut juga tidak
berdasarkan pada motif-motif dan tujuan manajemen.
Penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi tentang
kepribadian dan tingkah laku manusia, serta perkembangan dalam
bidang ilmu manajemen menimbulkan perubahan mengenai unsur
ketenagaan dalam organisasi. Unsur ketenagaan menentukan
berhasil atau tidaknya proses manajemen.
Sementara manajemen modern berpendapat bahwa tingkah la­
ku manusia didorong oleh motif-motif tertentu, dan suatu pekerjaan

68 Ibid., h. 72.

Psikologi Manajemen | 65
atau perbuatan akan berhasil apabila didasarkan pada motivasi
yang ada. Bawahan atau staf dapat dipaksa untuk melakukan
suatu perbuatan, tetapi ia tidak dapat dipaksa untuk menghayati
perbuatan itu sebagaimana mestinya. Manajer dapat memaksa
bawahannya untuk melaksanakan pekerjaan/tugas, tetapi tidak
mungkin memaksanya untuk bekerja dalam arti sesungguhnya. Hal
ini menjadi tugas manajemen yang paling berat yakni bagaimana
cara dan upaya agar bawahan mau bekerja berdasarkan keinginan
dan motif berprestasi yang tinggi.

B. Penggerakan Motivasi dalam Proses Manajemen


Penggerakan motivasi penting maknanya dalam proses mana­
jemen, karena fungsinya mendorong, mengerakkan, dan menga­
rahkan tindakan individu atau kelompok. Prinsip-prinsip motivasi
erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan manajemen itu sendiri.
Prinsip-prinsip tersebut perlu digunakan sebagai acuan dalam
proses manajemen di lapangan.
1. Kebermaknaan
Tiap individu (tenaga pegawai) akan bermotivasi kerja
jika hal-hal yang dikerjakan mengandung makna tertentu bagi
dirinya. Kebermaknaan itu sebenarnya bersifat pribadi, karena
dirasakan sebagai sesuatu yang penting bagi dirinya. Ada
kemungkinan suatu tugas/pekerjaan dirasakan tidak bermakna
bagi pegawai bersangkutan. Dalam keadaan ini perlu dorongan
dengan cara mengaitkanpenugasan dengan pengalaman,
tujuan-tujuan yang akan datang, minat dan nilai-nilai yang
berlaku. Hal-hal yang telah dimiliki sebagai pengalaman akan
merangsang motivasinya untuk memecahkan masalah, sesuatu
yang menarik minat dan mendapat nilai tertinggi bagi individu
menunjukkan makna tertentu baginya.
2. Modelling
Umumnya tiap orang menyukai tingkah laku baru bila
ditafsirkan dalam bentuk perilaku yang dapat disaksikan dan

66 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


ditiru. Tingkah laku mudah dihayati dan diterapkan oleh yang
bersangkutan bila disajikan dalam bentuk model, bukan hanya
dengan ceramah atau cerita. Model tingkah laku itu dapat
diamati dan ditiru sesuai dengan harapan pimpinan. Karena
itu, tunjukkan aspek-aspek penting tingkah laku model, berikan
ganjaran, gambaran model pribadi yang lebih baik, dan jangan
sampai berbenturan dengan nilai-nilai atau keyakinan. Cara ini
mendorong motivasi kerja pegawai.
3. Komunikasi terbuka
Motivasi kerja akan lebih kuat bila pimpinan menyajikan
pesan-pesan melalui komunikasi terbuka dan terarah. Dengan
struktur penyajia terbuka, maka tujuan-tujuan yang diinginkan,
tugas yang perlu dikerjakan, kegiatan-kegiatan yang hendak
dilakukan dapat dipahami dengan baik, merangsang minat
serta membangkitkan kesadaran untuk bekerja lebih efektif
dan baik.
4. Penugasan mengacu ke masa depan
Penugasan akan terasa bermakna bagi pegawai jika dapat
dilaksanakan dan hasilnya dapat digunakan bagi individu dan
pekerjaannya pada masa mendatang. Pimpinan hendaknya
mengemukakan gagasan-gagasan tentang berbagai situasi dan
tantangan yang bakal terjadi dan perlu dihadapi. Untuk itu, tiap
pegawai harus bekerja keras dan belajar lebih giat. Kesadaran
tentang kemungkinan penugasan tersebut dapat menggugah
motivasinya dan merangsang kegiatan untuk bekerja lebih
produktif.
5. Kemampuan prasyarat
Hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya merupakan
faktor penting yang turut menentukan berhasil atau gagalnya
kegiatan dalam pekerjaan. Pegawai yang telah memiliki
pengetahuan dan keterampilan menjadi landasan bagi
tingkah laku untuk mengerjakan tugas-tugas baru. Pimpinan
hendaknya berupaya mengenal dan memahami kemampuan

Psikologi Manajemen | 67
prasyarat yang telah dimiliki oleh bawahan/stafnya. Pegawai
yang telah menguasai prasyarat yang diperlukan akan lebih
mudah mengamati keterkaitan antara kemampuannya dengan
penugasan yang lebih kompleks untuk dikerjakan. Kondisi
ini akan menjamin kelancaran kerja dan mencagah terjadinya
gagasan dan frustasi.
6. Novelty
Pada umumnya tenaga kerja lebih senang bekerja berdasar­
kan prosedur-prosedur yang baru, yang mungkin masih asing
baginya. Suatu gaya dan alat yang baru serta metode baru
akan lebih mendorong pegawai bekerja secara lebih baik dari
sebelumnya, misalnya menggunakan metode kerja secara
bervariasi dan serasi dan sebagai alat/perlengkapan yang tergo­
long canggih dan tepat guna.
7. Praktek yang aktif dan bermanfaat
Tenaga pegawai merasa senang berperan aktif dalam
latihan/praktek untuk mencapai tujuan organisasi/manajemen.
Praktek secara aktif berarti mengerjakan sendiri dan langsung
suatu tugas pekerjaan tertentu, bukan hanya mendengarkan atau
mencatat informasi. Karena itu, pimpinan perlu menyediakan
kesempatan bagi bawahan/staf untuk melatih dan melakukan
langsung tugas-tugas dalam bidangnya di bawah supervisi/
bimbingan secara berkala dan berkesinambungan.
8. Latihan terbagi
Pelatih merupakan salah satu upaya untuk membangkitkan
motivasi kerja. Pimpinan perlu melakukan upaya secara beren­
cana agar kegiatan pelatihan dibagi menjadi serangkaian
kurun waktu yang cukup singkat. Latihan seperti ini akan
meningkatkan motivasi belajar ketimbang latihan yang dilak­
sanakan sekaligus dalam jangka waktu lama. Cara yang terakhir
ini akan melelahkan dan akan menimbulkan rasa jenuh bagi
peserta sehingga dapat menurunkan motivasi kerja.

68 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


9. Kurangi secara sistematik tindakan bersifat paksaan.
Tindakan yang mengandung unsur paksaan dapat menu­
runkan kreativitas dan motivasi kerja. Mungkin pada tahap/
waktu permulaan seorang pegawai mulai kerja, unsur paksaan
masih diperlukan, karena mengacu pada keharusan tertentu.
Namun lambat laun secara bertahap unsur paksaan dikurangi
dan ditiadakan, sedangkan unsur kreativitas dan kemandirian
semakin dikembangkan. Kondisi ini perlu dise­diakan oleh
pihak pimpinan. Antara motivasi ekstrinsik dan intrinsik paling
tidak berimbang.
10. Kondisi kerja yang menyenangkan
Pimpinan perlu menciptakan kondisi kerja yang menye­
nangkan, yang dapat meningkatkan motivasi kerja yang lebih
kuat. Sebaliknya pimpinan hendaknya berupaya mengurangi
sampai pada batas minimal kondisi-kondisi yang tidak
menyenangkan, yang dapat menimbulkan kejenuhan, konflik,
dan frustasi. Sistem insentif dan kompensasi yang lebih baik,
pemberian tugas-tugas yang menantang, informasi tentang
penilaian kepegawaian, dan pemberian ganjaran yang setimpal.

C. Implementasi Dimensi Motivasi


Motivasi melakukan tindakan dan motif berprestasi sangat
diperlukan oleh tenaga manajemen, baik tenaga pengelola, pelak­
sana, penyuluh, dan tenaga teknis dalam rangka memacu kegiatan
dalam suatu organisasi pada semua lini.
Untuk meningkatkan motivasi kerja dalam proses manajemen
hendaknya diperhatikan acuan-acuan mengenai pemberian pujian,
pemuasan kebutuhan psikologis, penggunaan motivasi intrinsik,
penguatan tindakan-tindakan yang berhasil, upaya penjalaran
motivasi kepada individu lainnya, pemahaman terhadap tujuan
organisasi, penetapan tugas berdasarkan diri sendiri, dorongan
dan pujian dari pihak luar, teknik dan prosedur manajerial yang
bervariasi, minat-minat khusus staf, pengurangan kegiatan yang

Psikologi Manajemen | 69
tidak diminati, hindari situasi kecemasan, pemanfaatan kecemasan,
dan gejala frustasi untuk meningkatkan pekerjaan, hindari timbulnya
demoralisasi dalam pekerjaan, stabilisasi emosional bawahan,
pendayagunaan tekanan kelompok secara efektif, pengembangan
kreativitas.
Banyak cara yang dapat dilakukan oleh pimpinan untuk men­
dorong dan menggerakkan motivasi bekerja demi suksesnya pro­
gram organisasi pada semua lini, antara lain:
1. Kaitan sistem penugasan dengan tujuan, pengalaman pribadi,
minat, dan nilai-nilai yang berlaku agar tugas tersebut mengan­
dung makna tertentu bagi pegawai yang bersangkutan.
2. Pengelola berupaya mempertunjukkan model-model tingkah
laku dan kepribadian yang baik, yang patut diamati dan ditiru
oleh rekan kerja, bawahan, dan atasan, serta orang-orang yang
mendapat pelayanan.
3. Kembangkan sistem dan prosedur komunikasi terbuka dua
arah antara unsur-unsur ketenagaan dalam organisasi dan
dengan pihak luar serta instansi terkait.
4. Upaya-upaya lainnya yang perlu dipertimbangkan pelaksana­
annya untuk memperkuat motivasi kerja dalam rangka pen­
dayagunaan sumber daya manusia bagi kegiatan organisasi
pada semua jenjang adalah penugasan yang mengacu ke masa
depan, penugasan berdasarkan kemampuan prasyarat tenaga
bersangkutan, pendayagunaan prosedur-prosedur kerja yang
relatif baru, penyediaan kesempatan bagi setiap orang untuk
berperan aktif.

70 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


BAGIAN XII
PENGAMBILAN KEPUTUSAN

A. Definisi Keputusan dan Pengambilan Keputusan


Terdapat beberapa pengertian keputusan yang telah disam­
paikan oleh para ahli69, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.  Menurut Ralp C. Davis
Keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapi­
nya dengan tegas. Suatu keputusan merupakan jawab­an yang
pasti terhadap suatu pertanyaan. Keputusan harus menjawab
pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam hubungannya
dengan perencanaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan
terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana
semula.
2. Menurut Mary Follet
Keputusan adalah suatu hukum atau sebagai hukum
situasi. Apabila semua fakta dari situasi itu dapat diperolehnya
dan semua yang terlibat, baik pengawas maupun pelaksana
mau mentaati hukumnya atau ketentuannya, maka tidak sama
dengan mentaati perintah. Wewenang tinggal dijalankan, tetapi
itu merupakan wewengan dari hukum situasi.
3. Menurut James A.F. Stoner
Keputusan adalah pemilihan di antara alternatif-alternatif.
Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu a) ada pilihan
dasar logika atau pertimbangan, b) ada beberapa alternatif yang

69 Juliadi, Keputusan dan Pengambilan Keputusan, dalam http://juliadi. wikispaces.


com/, diakses pada Sabtu, 11 Januari 2017.

Psikologi Manajemen | 71
harus dan dipilih salah satu yang terbaik, dan c) ada tujuan
yang ingin dicapai, dan keputusan itu makin mendekatkan
pada tujuan tersebut.
Dari pengertian keputusan di atas, dapat penulis tarik kesim­
pulan bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan masalah
sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu
alternatif dari beberapa alternatif.
Sementara itu, pengambilan keputusan sangat penting dalam
manajemen dan merupakan tugas utama dari seorang pemimpin
(manajer). Beberapa definisi mengenai Pengambilan Keputusan
menurut beberapa ahli70 adalah sebagai berikut:
1.  George. R. Terry
Pengambilan keputusan dapat didefinisikan sebagai
“pe­mi­lihan alternatif kelakuan tertentu dari dua atau lebih
alternatif yang ada”.
2. Harold Koontz dan Cyril O’Donnel
Pengambilan keputusan adalah pemilihan di antara
alternatif-alternatif mengenai sesuatu cara bertindak adalah
inti dari perencanaan. Suatu rencana dapat dikatakan tidak ada,
jika tidak ada keputusan suatu sumber yang dapat dipercaya,
petunjuk atau reputasi yang telah dibuat.
3.  Theo Haiman
Inti dari semua perencanaan adalah pengambilan kepu­
tusan, suatu pemilihan cara bertindak. Dalam hubungan ini
kita melihat keputusan sebagai suatu cara bertindak yang
dipilih oleh manajer sebagai suatu yang paling efektif, berarti
penempatan untuk mencapai sasaran dan pemecahan masalah.

70 Vienna Yunistia, Definisi Pengambilan Keputusan Menurut Para Ahli, dalam


http://www.scribd.com/doc/52282565/definisi-keputusan-menurut-ahli#
download, diakses pada Sabtu, 11 Januari 2017.

72 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


4.  Chester I. Barnard
Keputusan adalah perilaku organisasi, berintisari perilaku
perorangan dan dalam gambaran proses keputusan ini secara
relatif dan dapat dikatakan bahwa pengertian tingkah laku
organisasi lebih penting dari pada kepentingan perorangan.
Pengambilan keputusan adalah kegiatan yang paling sering
dilakukan oleh orang-orang pada semua tingkatan dan bidang
organisasi. Karena makna dari keputusan sendiri diartikan bahwa
pilihan di antara dua atau lebih alternatif.71
Pengambilan keputusan adalah proses memilih dari sejumlah
alternatif. Pengambilan keputusan penting bagi setiap ang­gota
organisasi, terutama pimpinan organisasi. Karena proses pengam­
bilan keputusan mempunyai peranan penting dalam memotivasi,
kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, dan perubahan organisasi.72
Dengan demikian, pengambilan keputusan adalah pemilihan
alternatif perilaku dari dua alternatif atau lebih tindakan pimpinan
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam organisasi yang
dipimpinnya dengan melalui pemilihan satu di antara alternatif-
alternatif yang dimungkinkan.

B. Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan


Dalam prakteknya terdapat beberapa faktor yang mempenga­
ruhi proses pengambilan keputusan, yaitu 1) informasi yang dike­
tahui perihal permasalahan yang dihadapi, 2) tingkat pendidikan,
3)personality, 4) copying, dalam hal ini dapat berupa pengalaman
hidup yang terkait dengan permasalahan (proses adaptasi), dan 5)
culture.73

71 Stephen P. Robbins dan Mary Coulter, Manajemen (Jakarta: PT. Indeks, 2009),
hal.162.
72 Husaini Usman, Manajemen; Teori Praktik dan Riset Pendidikan (Jakarta: Bumi
Aksara,2008), hal.361.
73 Satria Baja Hikam, Pengambilan Keputusan dalam Manajemen, dalam http://
satriabajahikam.blogspot.com/2012/02/pengambilan-keputusan-dalam-
manajemen.html, diakses pada Sabtu, 11 Januari 2017.

Psikologi Manajemen | 73
Terdapat aspek-aspek tertentu bersifat internal dan eksternal
yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Adapun
aspek internal tersebut antara lain :
1. Pengetahuan; pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang secara
langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan. Biasanya semakin luas pengetahuan
seseorang semakin mempermudah pengambilan keputusan.
2. Aspek kepribadian; aspek kepribadian ini tidak nampak oleh
mata tetapi besar peranannya bagi pengambilan keputusan.
Sementara aspek eksternal dalam pengambilan keputusan,
antara lain:
1. Kultur; kultur yang dianut oleh individu bagaikan kerangka
bagi perbuatan individu. Hal ini berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan.
2. Orang lain; orang lain dalam hal ini menunjuk pada bagaimana
individu melihat contoh atau cara orang lain (terutama orang
dekat) dalam melakukan pengambilan keputusan. Sedikit
banyak perilaku orang lain dalam mengambil keputusan pada
gilirannya juga berpengaruh pada perilaku individu dalam
mengambil keputusan.74
Dengan demikian, seseorang yang telah mengambil keputusan,
pada dasarnya telah melakukan pemilihan terhadap alternatif-
alternatif yang ditawarkan kepadanya. Namun demikian, hal yang
tidak dapat dipungkiri adalah kemungkinan atau pilihan yang
tersedia bagi tindakan itu akan dibatasi oleh kondisi dan kemampuan
individu yang bersangkutan, lingkungan sosial, ekonomi, budaya,
serta lingkungan fisik dan aspek psikologis.

C. Proses Pengambilan Keputusan


Seorang pemimpin harus mampu menjadi pemecah masalah
bagi dirinya dan orang lain. Ini merupakan konsekuensi logis sebagai

74 Ryan Fujiwara, Pengambilan Keputusan, dalam http://www.scribd.com/ doc/


47251522/ KWU, diakses pada Sabtu, 11 Januari 2017.

74 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


seorang pemimpin, karena mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus
berani mengambil keputusan. Karena posisinya sebagai problem
solver, ia harus benar-benar memiliki daya analisis yang tinggi,
sehingga keputusan yang diambilnya sudah dipertimbangkan secara
matang, yang dapat dilakukan melalui studi kasus, pengamatan,
maupun wawancara terfokus.
Pemimpin sebagai problem solver dituntut untuk memiliki
kreativitas dalam memecahkan masalah dan mengembangkan
alternatif penyelesaiannya. Berpikir kreatif untiuk memecahkan
masalah dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Tahap orientasi masalah; yaitu merumuskan masalah dan
meng­in­dentifikasi aspek aspek masalah tersebut. Dalam pros­
peknya, si pemikir mengajukan beberapa pertanyaan yang
berkaitan dengan masalah yang dipikirkan.
2. Tahap preparasi; pikiran harus mendapat sebanyak mungkin
informasi yang relevan dengan masalah tersebut. Kemudian
informasi itu diproses untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan pada tahap orientasi.
3. Tahap inkubasi; ketika pemecahan masalah mengalami kebun­
tuan maka biarkan pikiran beristirahat sebentar. Sementara itu
pikiran bawah sadar kita akan bekerja secara otomatis untuk
mencari pemecahan masalah.
4. Tahap iluminasi; proses inkubasi berakhir, karena si pemikir
mulai mendapatkan ilham serta serangkaian pengertian (in­
sight) yang dianggap dapat memecahkan masalah.
5. Tahap verifikasi; yaitu melakukan pengujian atas pemecahan
masalah tersebut, apabila gagal maka tahapan sebelummnya
harus di ulangi lagi. Dalam hal mengambil keputusan, antar
individu yang satu dengan individu yang lain melakukan
pendekatan dengan cara yang tidak sama. Setiap orang
mempunyai cara unik dalam mengambil keputusan. Jadi ada
gaya yang berbeda-beda antar individu yang satu dengan yang
lain dalam melakukan pengambilan keputusan.

Psikologi Manajemen | 75
Keputusan harus dianggap sebagai “sarana” bukan hasil.
Keputusan adalah merupakan “mekanisme organisasional” dengan
bentuk usaha untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan kata
lain, merupakan respon organisasional terhadap suatu masalah.
Setiap keputusan merupakan hasil dari proses dinamik yang
dipengaruhi oleh berbagai kekuatan.
Dalam proses pengambilan keputusan, perlu ditempuh lang­
kah-langkah sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins dan
Coulter75 sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi suatu masalah
Situasi yang dibutuhkan oleh suatu keputusan adalah ma­
sa­lah. Jika tidak ada masalah, berarti tidak akan pernah ada
suatu keputusan. Identifikasi terhadap masalah secara tepat
bersifat mutlak, dan harus mencermati faktor-faktor yang
merupakan kendala yang meliputi : masalah persepsi, masalah
diidentifikasikan sebagai solusi, identifikasi gejala sebagai
masalah.
Mengidentifikasi atau mengenali masalah secara efektif
bukan merupakan hal yang mudah. Seorang pimpinan selaku
orang yang mengambil keputusan dapat mengidentifikasi
masalah dengan baik apabila mereka memahami tiga sifat
masalah, yaitu: a) harus sadar terhadap masalah, b) berada
dalam tekanan untuk bertindak, dan c) mempunyai sumber
daya yang diperlukan untuk bertindak.
2. Mengidentifikasi kriteria
Setelah mengidentifikasi masalah yang membutuhkan
perhatian, kriteria keputusan yang penting untuk memecahkan
masalah tersebut haruslah teridentifikasi. Artinya, para pe­
ngam­bil keputusan harus menentukan apa yang relevan da­lam
mengambil keputusan.
3. Mengalokasikan bobot pada kriteria
Kriteria yang diidentifikasi tidak semuanya penting, ka­
75 Robbins dan Mary Coulter. Loc.Cit.

76 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


rena­nya para pengambil keputusan harus memberi bobot pada
masing-masing kriteria untuk memberinya prioritas yang tepat
dalam keputusan yang diambil.
4. Mengembangkan alternatif
Sebelum suatu keputusan dibuat, alternatif yang masuk
akal (solusi potensial untuk masalah tersebut) mesti ditelaah
serta akibat dari masing-masing alternatif juga mesti dikaji.
Mengembangkan alternatif adalah merupakan suatu proses
pencarian untuk meneliti lingkungan internal dan eksternal
organisasi guna memperoleh informasi sehingga dapat dikem­
bangkan menjadi alternatif yang memungkinkan. Kendalanya
adalah faktor waktu dan biaya.
Para pengambil keputusan harus membuat sejumlah
alternatif yang dapat menyelesaikan masalah organisasi,
sehingga ia memiliki alternatif guna mempertimbangkan mana
keputusan yang menurutnya terbaik di antara alternatif yang
ada.
5. Menganalisis alternatif
Setelah alternatif-alternatif teridentifikasi, pengambil kepu­
tusan secara kritis harus menganalisis masing-masing alternatif
tersebut, dengan mengevaluasi kelemahan dan kelebihan ma­
sing-masing alternatif dengan cara membandingkannya de­
ngan kriteria yang telah ditetapkan pada langkah pertama dan
kedua. Dari perbandingan ini, akan memperlihatkan kekuatan/
kelebihan dan kelemahan masing-masing alternatif menjadi
jelas.
Sekali alternatif telah dilaksanakan, secara temporal harus­
lah diikuti dengan evaluasi dan perbandingan. Hubungan
antara “alternatif dengan hasil” didasarkan atas tiga kondisi
yaitu : kepastian, ketidakpastian dan resiko.
6. Memilih sebuah alternatif
Langkah ini merupakan tindakan penting, yaitu memilih
alternatif terbaik dari alternatif yang dipertimbangkan. Kita

Psikologi Manajemen | 77
telah menentukan semua faktor yang terkait dalam keputusan,
memberi bobot, dan mengidentifikasi serta menganalisis
alternatif-alternatif yang bisa berhasil, dan kita harus memilih
alternatif yang menghasilkan angka paling tinggi dalam
langkah kelima.
Diperlukan kecermatan berpikir dan bertindak dalam
pemilihan alternatif, apalagi pada tingkat keputusan mana­
jerial. Solusi yang optimal sangat muskil untuk diperoleh
karena pengambil keputusan tidak mungkin mengetahui se­
mua alternatif yang ada, akibat dari setiap alternatif dan pro­
ba­bi­litasnya.
7. Mengimplementasikan alternatif
Implementasi mencakup penyampaian keputusan itu ke­
pada orang-orang yang terpengaruh dan mendapatkan ko­
mitmen mereka atas keputusan tersebut. Suatu alternatif kepu­
tusan yang tidak diimplementasikan tidak lebih dari sebuah
abstraksi belaka. Dengan kata lain, suatu keputusan mesti
secara efektif diimplementasikan agar mencapai tujuan yang
dikehendaki.
8. Mengevaluasi efektivitas keputusan
Langkah terakhir dalam proses pengambilan keputusan
mencakup menilai hasil keputusan tersebut untuk melihat
apakah masalahnya dapat diatasi; apakah alternatif dalam
langkah keenam dan diimplementasikan dalam langkah
ketujuh mencapai hasil yang dikehendaki dan sebagainya.
Manajemen yang efektif melibatkan pengukuran periodik
terhadap hasil. Hasil aktual dibandingkan dengan rencana dan
perubahan harus dibuat jika terjadi deviasi. Hal ini menunjukan
pentingnya pengukuran hasil, atau dengan kata lain tanpa adanya
pengukuran berarti tidak ada penilaian terhadap prestasi kerja.

78 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


D. Peran Kepemimpinan dalam Pengambilan Keputusan
Berbicara masalah pengambilan keputusan, tidak bisa lepas
dari peran kepemimpinan, manajer atau si pembuat keputusan
tersebut, dalam hal ini adalah seorang pemimpin. Kepemimpinan
seseorang dalam sebuah organisasi atau sebuah lembaga, sangat
besar perannya dalam setiap pengambilan keputusan, sehingga
membuat keputusan dan mengambil tanggung jawab terhadap
hasilnya adalah salah satu tugas pemimpin, jika seorang pemimpin
tidak mampu membuat keputusan, seharusnya dia tidak dapat
menjadi pemimpin.
Di lain hal, pengambilan keputusan dalam tinjauan perilaku
mencerminkan karakter bagi seorang pemimpin. Oleh sebab itu,
untuk mengetahui baik tidaknya keputusan yang diambil bukan
hanya dinilai dari konsekwensi yang ditimbulkannya. Melainkan
melalui berbagai pertimbangan dalam prosesnya. Kegiatan pengam­
bilan keputusan merupakan salah satu bentuk kepemim­pinan,
sehingga:
− Teori keputusan merupakan metodologi untuk menstrukturkan
dan menganalisis situasi yang tidak pasti atau beresiko, dalam
konteks ini keputusan lebih bersifat perspektif dari pada
deskriptif.
− Pengambilan keputusan adalah proses mental di mana
seorang manajer memperoleh dan menggunakan data dengan
menanyakan hal lainnya, menggeser jawaban untuk mene­
mukan informasi yang relevan dan menganalisis data; manajer,
secara individual dan dalam tim, mengatur dan mengawasi
informasi terutama informasi bisnisnya.
− Pengambilan keputusan adalah proses memilih di antara
alternatif-alternatif tindakan untuk mengatasi masalah.76
Pengambilan keputusan melalui pelimpahan wewenang dan
tanggung jawab dapat diperoleh beberapa manfaat, yaitu sebagai
berikut:

76 Rivai, Veithzal dan Deddy Mulyadi, Op.Cit., hal.157.

Psikologi Manajemen | 79
1. Pimpinan tertinggi mendapat kesempatan yang cukup untuk
memikirkan keputusan-keputusan dan melaksanakan tugas-
tugas yang penting saja dalam melaksanakan tugas pokok
organisasinya.
2. Setiap keputusan dan perintah sesuai dengan sifat penting atau
tidak, dapat ditetapkan pada jenjang kepemimpinan yang tepat
sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja
sehingga dapat mengurangi atau meniadakan birokrasi yang
tidak perlu.
3. Keputusan-keputusan dan perintah-perintah dapat diberikan
secara cepat, tanpa kekhawatiran terjadi penyalahgunaan
wewe­nang, karena setiap pemimpin berkewajiban menyam­
paikan pertanggungjawabannya.
4. Memperbesar partisipasi dan meningkatkan dedikasi serta
loya­litas pada kebersamaan dan bahkan pada pemimpin, kare­
na setiap anggota kelompok merasa ikut berperan serta sesuai
dengan posisinya masing-masing.
5. Mendorong dan mengembangkan inisiatif, kreativitas, dan ke­
mauan untuk berprestasi di bidang masing-masing.
6. Menghilangkan sifat dan sikap menunggu perintah atau kepu­
tusan pucuk pimpinan atau pimpinan lainnya sehingga kehi­
dupan organisasi menjadi dinamis.
7. Pelaksanaan pekerjaan tidak terhambat, meskipun pucuk pim­
pinan berhalangan, karena sesuai wewenang yang dilimpahkan
tetap dapat diambil keputusan-keputusan oleh para pembantu
pimpinan di bidangnya masing-masing.
8. Pucuk pimpinan berkesempatan memberikan latihan kepemim­
pinan, sehingga selalu tersedia kader-kader pengganti yang
berkualitas, yang meneruskan kepemimpinan organisasi pada
masa-masa mendatang.77
Para pengambil keputusan selalu dihadapkan pada masalah,
dalam pencapaian tujuan. Karena begitu seseorang memiliki tujuan,
maka ia akan dihadapkan pada pertanyaan: what, how, why, who
77 Ibid., hal.32.

80 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


dan when. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, pertanyaan tentang
bagaimana tujuan, visi dan misi, yang diinginkan dapat dicapai,
menandakan bahwa pencapaian tujuan dihadapkan pada sejumlah
rintangan atau batasan.
Dengan demikian, pengambilan keputusan merupakan sepe­
rangkat langkah yang diambil individu atau kelompok dalam
memecahkan masalah. Pengambilan keputusan terjadi sebagai
reaksi terhadap suatu masalah. Situasi pengambilan keputusan
yang dihadapi seseorang akan mempengaruhi keberhasilan suatu
keputusan yang akan dilakukan. Setelah seseorang berada dalam
situasi pengambilan keputusan maka selanjutnya dia akan mela­
kukan tindakan untuk mempertimbangkan, menganalisis, melaku­
kan prediksi, dan menjatuhkan pilihan terhadap alternatif yang ada.

Psikologi Manajemen | 81
82 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I
BAGIAN XIII
PENERAPAN PSIKOLOGI MANAJEMEN

A. Hubungan Psikologi Manajemen dengan Pendidikan


Psikologi Manajemen adalah latar belakang ilmiah yang lahir
untuk membentuk psikologi praktis yang biasanya diperlukan
untuk meningkatkan produktivitas manajemen dan sebagai alat
untuk memperbaiki semangat dan efisiensi manajemen, khususnya
dalam bidang pendidikan.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami
sesama manusia, dengan tujuan untuk dapat memperlakukannya
dengan lebih tepat. Karena itu, pengetahuan psikologi mengenai
anak didik dalam proses pendidikan merupakan hal yang perlu
dan penting bagi setiap pendidik sehingga seharusnya menjadi
kebutuhan setiap pendidik untuk memiliki pengetahuan mengenai
psikologi pendidikan. 78
Sekolah merupakan suatu lembaga yang mempunyai struktur
organisasi yang diketuai oleh seorang kepala sekolah. Seorang
kepala sekolah dapat memajukan sekolah apabila ia bisa memimpin
organisasi sekolah, dan bisa mengatur proses dan tugas administrasi
pendidikan. Proses administrasi pendidikan ini terdiri dari 1)
mengambil keputusan, 2) perencanaan, 3)organisasi, 4) komunikasi,
5) pengawasan, dan 6) penilaian/evaluasi.
Sedangkan tugas administrasi pendidikan terdiri dari 1)
membentuk program pendidikan, 2) membentuk tempat pelayanan
peserta didik, 3)membuat kantor sekolah, 4) mengatur keuangan
78 Suryabrata, Sumadi, (1998). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Psikologi Manajemen | 83
sekolah, 5) menyediakan pelayanan bantuan, dan 6) mengadakan
hubungan sekolah dengan masyarakat.

B. Peningkatan Kinerja dan Produktivitas Sekolah


Manajemen sekolah yang baik tergantung dari berbagai faktor.
Di antara faktor yang tidak dapat diabaikan adalah efektivitas dan
efisiensi, yang merupakan keputusan, pendekatan manajemen, atau
keseluruhan upaya yang merupakan keterampilan manusia yang
bekerja secara tepat guna, dipimpin oleh seorang pemimpin yang
berpengalaman dan menghasilkan keputusan yang singkat dan
padat.
Kunci efektivitas ini meliputi:
1. pakar fungsional yang memiliki berbagai disiplin manajemen,
2. pemahaman pengertian organisasi,
3. apresiasi lingkungan eksternal, dan
4. kesadaran diri.
Manajemen yang dikelola secara efektif adalah manajemen yang
sesuia dengan prosedur pelaksanaan, baik dalam pemanfaatan dana
maupun pelaksanaan program kerja. Produktivitas sekolah menjadi
salah satu hal yang dapat diukur melalui efektivitas sekolah, yaitu:
1. Sekolah harus mempunyai keinginan untuk meningkatkan ma­
na­jemen sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
2. Secara keseluruhan perlu adanya kerja sama antar sekolah
untuk dapat saling tukar informasi.
3. Adanya data dan informasi mengenai sekolah.
4. Adanya supervisi.
Dalam upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi sekolah,
diperlukan adanya pakar (konsultan) sekolah yang dapat men­du­
kung dan merancang analisis tujuan organisasi dan biaya-biaya lain
yang memungkinkan terjadinya perubahan.
Entrepreneurship dilakukan untuk mencapai manfaat yang
maksimal bagi organisasi. Untuk menjadikan sekolah unggulan,

84 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


dipangaruhi oleh beberapa faktor yaitu profesionalitas pengelola­
nya, kepribadian pengelolanya, perjalanan kehidupan sekolah
tersebut, dan faktor lingkungan. Karakteristik sekolah dengan visi
kewirausahaan yang sukses antara lain berpacu untuk berprestasi
dan menang, menyelesaikan masalah dengan teguh, memiliki
energi dan ambisi untuk kemajuan sekolah, memberikan manfaat,
fleksibel, dan adaptif terhadap lingkungan sekolah.
Sekolah yang produktif adalah sekolah yang menerapkan
manajemen secara efektif dan efisien, mampu mengelola manajemen
secara mandiri, penuh rasa percaya diri, dan berjiwa wirausaha.
Sekolah tersebut berupaya mengikuti suatu proses pertualangan
bisnis yang melibatkan perencanaan, pengorganisasian, pelaksana­
an, serta pemikiran resiko, dapat terlibat langsung dalam masya­
ra­kat, dan dapat memanfaatkan lingkungan secara tepat guna.
Karak­teristik utama sekolah tersebut antara lain memiliki motivasi
berprestasi tinggi, mampu mengambil resiko yang penuh perhi­
tungan, percaya diri, inovatif, optimis, memiliki motivasi tinggi, dan
berpikir bebas.

C. Mutu Proses dan Mutu Hasil Sekolah


Siswa sebagai bahan dasar (raw material) yang akan diproses
tentu harus diprogram secara hati-hati agar menghasilkan output
dan outcome yang memadai. Mutu atau kualitas banyak dirumuskan
dalam pemahaman yang berbeda, misalnya mengerjakan sesuatu
pada saat yang tepat, selalu berusaha untuk mencapai peningkatan
dan selalu berusaha memuaskan pelangga. Mutu atau kualitas di
lingkungan sekolah juga ditentukan oleh pihak di luar organisasi,
yang disebut masyarakat, yang selain berbeda-beda, juga selalu
berubah dan berkembang secara dinamis.
1. Mutu (Kualitas) Proses
Guru dalam posisinya sebagai agen perubahan dapat
menentukan kualitas kecerdasan siswa. Berkembangnya kecer­
dasan siswa terbentuk pada saat ia mendapatkan pelajaran,

Psikologi Manajemen | 85
di bawah asuhan guru yang andal, kreativitas akan muncul
di dalam kelas. Siswa dalam hal ini merupakan pelanggan
yang menggunakan fasilitas sekolah. Bila dikaitkan dengan
manajemen pendidikan, maka sistem manajemen mutu yang
tepat perlu dikembangkan dalam tiga sistem yang meliputi
pengawasan mutu siswa, jaminan mutu siswa, dan manajemen
mutu terpadu.
2. Mutu (Kualitas) Hasil
Edward Sallis menjelaskan bahwa kualitas adalah keaslian
untuk suatu kebaikan, kecantikan, dan kepercayaan; ideal
dengan suatu yang tidak dapat dikompromikan. Selain itu,
ia memiliki hubungan antara proses dan hasil. Ada sepuluh
langkah untuk mencapai mutu atau kualitas hasil ini, yaitu:
a. Membangun kesadaran tentang peningkatan kesempatan.
b. Menentukan tujuan untuk suatu peningkatan.
c. Mengorganisir penelitian terhadap tujuan.
d. Menyediakan latihan.
e. Mencari jalan keluar untuk pemecahan masalah.
f. Membuat laporan kemajuan.
g. Memberi pengakuan atau pengenalan.
h. Mengkomunikasikan keputusan.
i. Mencari skor.
j. Menjaga daya gerak dengan membuat peningkatan-pe­
ning­katan tahunan, yang merupakan bagian dari sistem
reguler.

D. Iklim, Budaya, dan Perubahan Sekolah


Perbaikan atau peningkatan mutu sekolah sering menuntut
adanya perubahan. Perubahan tersebut terdiri dari dua tingkatan,
pertama, perubahan struktural, menghasilkan pengaturan yang
diubah; kedua, perubahan normatif, menghasilkan kepercayaan
yang diubah. Apabila hanya perubahan pada tingkatan pertama
yang dilakukan di sekolah, akan tampak bahwa berbagai hal itu

86 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


dilaksanakan dengan cara yang berbeda, tetapi menghasilkan
sesuatu yang tidak dipengaruhi, setidaknya bukan untuk waktu
yang lama.
Sebagai contoh, seorang supervisor, ingin mendorong para guru
untuk lebih bersungguh-sungguh dalam pengajaran mereka, dan
berusaha secara lebih baik untuk mengajar berdasarkan kerangka
kurikulum. Bekerja sama dengan komite guru, supervisor itu akan
memperkenalkan serangkaian pelayanan workshop pada materi
kurikulum, bagaimana memilih tujuan, dan bagaimana menulis
rencana pembelajaran yang efektif. Ia kemudian juga menetapkan
suatu kebijakan yang menuntut para guru untuk menyampaikan
rencana pengajarannya secara mingguan untuk dapat ia teliti.
Meskipun seorang supervisor menemukan bahwa rencana
penga­jaran tersebut sesuai dengan kerangka kurikulum, para
guru tetap harus membuat kemajuan kecil ke arah peningkatan
yang sesuai antara apa yang mereka ajarkan dan apa yang mereka
harapkan untuk diajarkan.
Dalam contoh ini, supervisor telah sukses dalam mengimple­
mentasikan perubahan kepada para guru untuk menyusun pem­
belajaran mereka (perubahan struktural), tetapi ia tidak berhasil
dalam mengubah apa yang seharusnya diajarkan, yang meru­
pakan tujuan dari perubahan normatif yang memberikan alternatif
bagaimana para guru memperhatikan berbagai hal, apa yang mereka
yakini, inginkan, ketahui, dan bagaimana mereka melakukannya.
Perubahan normatif lebih banyak mempengaruhi hasil yang diper­
oleh.
Meskipun perubahan struktural itu penting, namun kelihatan­
nya tidak terlalu menjadi persoalan. Terlalu sering, justru menjadi
”bukan peristiwa”. Sekolah Menengah Pertama, yang mengubah
na­manya menjadi sekolah menengah dan kebebasan akademis
untuk kelompok yang mengajar dengan spesialisasi pokok
bahasan. Pengenalan sistem supervisi dan evaluasi yang mendasari
perubahan bagaimana seorang guru mengajar ketika diamati. Hal

Psikologi Manajemen | 87
ini akan menjadi peristiwa ketika perubahan tidak hanya struktural,
akan tetapi juga normatif.
Banyak pelatihan supervisi yang telah dilakukan penulis,
yang meliputi perubahan struktural, bukan perubahan normatif.
Perubahan normatif, tujuan dari supervisi telah masuk dalam
hitungan aspek sifat manusia. Hal ini sangat membantu untuk
memikirkan tentang sifat manusia yang memiliki dua sisi, yaitu
psikologis dan simbolis. Secara psikologis dikatakan bahwa manusia
mempunyai kebutuhan dan mencari kesempatan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Secara simbolis dikatakan bahwa manusia
mencari untuk bisa mempertimbangkan hidup mereka dengan
mencari maknanya. Sisi psikologis dari sifat manusia lebih siap
dipengaruhi oleh iklim sekolah dan sisi simbolis lebih siap dipengarui
oleh budaya sekolah.
Iklim sekolah dapat menolong para guru untuk mengupayakan
kepuasan terhadap kebutuhan mereka dalam bekerja. Salah satu
cara untuk memahami iklim sekolah adalah dengan menguji
pengalaman dengan kelompok di sekolah. Misalnya, kelompok
yang dimiliki atau diketahui tentang bagaimana memaksa para
anggotanya untuk belajar, menyelesaikan masalah, dan menyiapkan
pilihan yang beralasan.
Dengan mendeskripsikan kelompok yang ada tentunya dapat
membantu proses pembelajaran dan kemudian mengevaluasi serta
mengukur dimensi iklim sekolah. Ada tujuh kategori yang menjadi
komposisi dimensi sosial untuk mendapatkan urgensi pentingnya
membedakan apakah iklim itu akan mendukung atau menghambat
pembelajaran. Ketujuh dimensi tersebut adalah:
1. Kesesuaian
2. Pertanggungjawaban
3. Standar
4. Hadiah
5. Kejelasan organisasi
6. Keramahan dan dukungan

88 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


7. Kepemimpinan79
Iklim sekolah merupakan masalah impressi yang sering sulit
didefinisikan. Iklim dapat dipandang sebagai karakteristik yang
meng­gambarkan aspek psikologi yang menjadi ciri khas sekolah,
mem­bedakannya dari sekolah yang lain, dan mempengaruhi
perilaku para guru dan siswa, sebagaimana ”perasaan” yang dimi­
liki oleh para guru dan siswa terhadap sekolah.
George Litwin dan Robert Stringer mendefinisikan iklim seba­
gai suatu akibat subjektif yang diterima dari sistem yang formal,
”gaya” informal pemimpin, dan faktor-faktor lingkungan yang
penting terhadap sikap, keyakinan, nilai, dan motivasi setiap orang
yang bekerja dalam organisasi tertentu”.80
Iklim menyediakan referensi tentang bagaimana pemikiran
yang dimilliki sekolah sebagai dasar untuk memprediksi konse­
kuensi dan hasil sekolah. Sebagai suatu barometer yang merepre­
sentasikan pentingnya peralatan untuk mengevaluasi kondisi saat
ini, merencanakan arah baru, dan memonitor kemajuan ke arah
baru. Dengan demikian, iklim sekolah merupakan dimensi kunci
untuk melakukan supervisi terhadap sumber daya manusia.
Iklim dapat juga dipahami dengan menerapkan metafora
ter­hadap kesehatan sekolah. Matthew Miles mendeskripsikan
”sehatnya” sekolah sebagai salah satu alasan yang menunjukkan
jelasnya tujuan yang akan d (fokus tujuan); komunikasi yang
mengalir secara relatif (keseimbangan komunikasi), kesesuaian
distribusi pengaruh pada semua tingkatan organisasi (kesamaan
kekuatan secara optimal), dan efektivitas serta efisiensi penggunaan
sumber daya, baik sumber daya manusia maupun material
(kegunaan sumber daya). Sekolah yang sehat merefleksikan perasaan
kebersamaan yang mengikat para anggota (kesesuaian), perasaan
baik di antara anggota (moral), inovasi, otronomi, dan adaptasi.

79 Thomas J. Sergiovanni dan Robert J. Starratt, Supervision: A Redefinition, Boston


College.
80 George H. Litwin dan Robert A. Stringer, Jr., Op.Cit., h. 5.

Psikologi Manajemen | 89
Pertanyaan penting dalam hal ini adalah apakah iklim sekolah
akan membuat sesuatu yang berbeda dalam perbaikan peluang
pembelajaran? Susan Rosenholtz telah membuktikan hal ini. Dia
menemukan bahwa hubungan kualitas kerja yang ada di sekolah
merupakan tingkat keterbukaan, kejujuran, komunikasi, dan
dukungan yang diberikan oleh para guru. Faktor-faktor ini tidak
hanya mempengaruhi pembelajaran, akan tetapi juga kepuasan
dan perbaikan kinerja sebagaimana yang ditunjukkan sekolah
yang memiliki kualitas sebagai ”pengayaan pembelajaran” untuk
membedakannya dari sekolah ”perbaikan pembelajaran”.
Iklim difokuskan pada perhatian terhadap kinerja pribadi di
sekolah yang tentunya berpengaruh pada guru, administrator, dan
supervisor. Tetapi iklim juga mempengaruhi para siswa. Misalnya,
ada asumsi penting bahwa para guru dan administrator membantu
siswa dalam dimensi iklim. Dan ada satu temuan penting bahwa
antara iklim dan faktor-faktor yang secara langsung berpengaruh
terhadap kualitas pengajaran dan pengetahuan.
Disimpulkan bahwa usaha perubahan sekolah tidak dapat
diprediksi, dan tidak dapat berhasil tanpa adanya hubungan antara
perubahan ke arah yang lebih baik. Perbaikan iklim sekolah dan
membangun masyarakat sekolah tentunya dapat membantu.
Konsep iklim sekolah adalah kolektivitas, yang lahir dari
gabungan persepsi guru terhadap kehidupan pribadi yang ada di
sekolah sebagaimana kehidupan fakultas dan kerja bersama-sama.
Keanggotaan dalam kelompok itu penting, baik para guru, dan
norma-norma yang dibangun sebagai hasil yang mempengaruhi
apa yang diyakini dan dilakukan.
Dari aspek psikologis, sudut pandang anggota kelompok
akan memberikan makna untuk mendukung para guru dalam
membangun realitas dan menemukan makna serta kesesuaian. Hal
ini merupakan kondisi yang penting yang mendukung para guru
untuk memperoleh kepuasan dalambekerja dan bekerja secara
maksimal dengan segenap potensi yang dimiliki.

90 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Para peneliti Claremont menyimpulkan bahwa lemahnya kiner­
ja siswa, tingginya tingkat dropout, masalah dalam profesi keguruan,
dan kesulitan lain yang dihadapi sekolah merupakan konsekuensi
dari masalah-masalah yang lebih dalam dan fundamental, yang
ditunjukkan oleh tujuh masalah utama, yaitu:
1. Hubungan; para partisipan merasa bahwa krisis sekolah secara
langsung berhubungan dengan hubungan manusia, antara lain
hubungan antara guru dan siswa, baik dalam hal yang positif
maupun negatif.
2. Ras, budaya, dan kelas; hal ini juga banyak diperdebatkan dan
sangat sedikit mencapai kesepakatan.
3. Nilai-nilai; ada percakapan yang sering terjadi di Amerika
Serikat yang mendorong masyarakat kulit berwarna dan/
atau masyarakat yang hidup dalam kondisi ekonomi tertekan
mempunyai nilai-nilai yang berbeda dibandingkan dengan
yang lain, dan perbedaan ini akan menciptakan konflik dalam
sekolah dan masyarakat.
4. Pengajaran dan pembelajaran; para siswa biasanya merasa
bosan di sekolah dan melihat hanya sedikit relevansi dari apa
yang diajarkan dengan kehidupan dan masa depan mereka.
Sementara para guru merasakan tekanan dalam mengajar dan
seringkali meragukan pendekatannya kepada siswa, dan sering
merasa bosan dengan kurikulum yang harus diajarkan. Oleh
karena itu, mereka akan mengekspresikan semangat mereka
dalam proses pembelajaran yang penuh makna, dan diskusi
mengenai nilai, tuntutan kerja, dan pilihan yang lain.
5. Keamanan; berkaitan dengan hubungan yang tidak harmonis
dan ketidaktahuan tentang perbedaan antara yang satu dengan
yang lainnya merupakan masalah keamanan. Sangat sedikit
partisipan yang mengatakan bahwa sekolah merupakan tempat
yang aman. Guru, siswa, dan pegawai merasakan kekerasan
fisik. Pengaruh obat-obatan, gang, dan kekerasan sering
dirasakan siswa. Seharusnya siswa merasakan keamanan di

Psikologi Manajemen | 91
ruang kelas, dan juga dalam perjalanan menuju atau dari
sekolah.
6. Lingkungan fisik; para siswa menginginkan agar sekolah
merefleksikan keindahan dan kebebasan yang berisi bahan dan
media yang banyak. Minat kebersihan, estetika, dan kesesuaian
fisik hendaknya diekspresikan oleh semua.
7. Keputusasaan, harapan, dan proses perubahan; banyak
partisipan yang merasa keputusasaan terhadap sekolah yang
direfleksikan dalam masyarakat yang lebih besar. Paradoksnya,
harapan sering muncul mengikuti kejujuran dalam kelompok.
Dan melalui proses ini, kita memahami bahwa ada nilai-nilai
umum yang dimulai dari ide-ide sekolah.
Budaya sekolah terdiri dari dua kata, yaitu kata budaya dan
kata sekolah. Budaya berasal dari kata Sanskerta, yaitu budhayah yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal.
Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai”hal-hal yang
bersangkutan dengan akal”81. Sedangkan sekolah, dapat dipahami
sebagai lembaga pendidikan, dimana guru mengajar, dan peserta
didik belajar. Dari pengertian dapat diperoleh suatu kesimpulan
bahwa budaya sekolah merupakan suatu iklim yang dibangun
disekolah demi terciptanya situasi belajar secara baik.
Kata budaya mengacu pada warisan sosial seseorang, yang
didalamnya menyangkut suatu pola pikir, merasa, dan berbuat yang
dibawa dari satu generasi ke generasi sesudahnya, termasuk pula
perwujudan hal-hal ini dalam bentuk materi maupun non materi,
yang meliputi hasil ciptaan yang bersifat abstrak seperti nilai-nilai,
kepercayaan, simbol, norma-norma, adat istiadat, dan peraturan
institusional82.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat suatu hubungan
yang interaktif, karena proses pendidikan pada hakekatnya
merupakan proses membudaya. Dalam proses yang dimaksud,
pendidikan bukan sekedar mentransfer nilai-nilai (transfer of
81 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1982, h.80.
82 James W. Vander Zanden, Sociology the Core, USA, McGraw Hill, Inc.1990, h.31

92 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


values) yang ada dalam tradisi, tetapi juga berpartisipasi aktif
dalam kegiatan budaya yang ada dan mengantisipasi nilai-nilai
yang mungkin muncul di masa yang akan datang. Dalam hal ini,
pendidikan berfungsi untuk mengembangkan tiga jenis pelaku
budaya, yaitu manusia yang sadar budaya, manusia yang membudaya,
dan manusia sebagai budayawan dalam arti yang luas 83.
Setiap tingkah laku manusia yang disadari merupakan suatu
olahan akal budinya, yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Kesadaran
akan hal ini tentunya akan sangat membantu dalam melaksanakan
tingkah laku yang diinginkan. Dan manusia yang sadar budaya ini
merupakan awal dari tindakan budaya yang terarah dan kreatif,
sehingga ia menjadi manusia yang membudaya, dan mampu
mewujudkan dirinya sebagai budayawan dalam arti yang luas, yaitu
seseorang yang telah menyadari eksistensi nilai-nilai budayanya,
bertindak dan mewujudkan nilai-nilai budaya tersebut dalam
kehidupannya, serta mengembangkan nilai-nilai budaya tersebut
secara aktif ke arah yang lebih berkualitas.
Dalam dunia pendidikan, semula budaya suatu bangsa diang­
gap sebagai faktor yang paling menentukan kualitas suatu seko­
lah. Namun akhir-akhir ini, mulai berkembang bahwa ternyata
budaya bangsa bukan merupakan faktor yang paling menentukan,
sebaliknya, justru budaya sekolah menjadi faktor penentu kualitas
dalam sekolah.
Iklim dari aspek psikologi kehidupan sekolah merupakan
aspek simbolis. Para guru memberikan respon terhadap peker­
jaan tidak hanya hasil dari kebutuhan psikologis, tetapi juga
memberikan kebermaknaan. Mempelajari budaya sekolah berarti
mempelajari bagaimana kejadian dan interaksi yang menyebabkan
kebermaknaan.
Budaya dapat didefinisikan sebagai seperangkat pemahaman
atau makna yang bersama-sama dalam suatu kelompok. Secara

83 Ace suryadi dan H.A.R. Tildar, Analisis Kebijakan Pendidikan: Statu Pengantar,
Bandung: Rosdakarya, 1993, h. 195.

Psikologi Manajemen | 93
khusus, makna ini mendefinisikan kelompok yang dibedakan dari
kelompok yang lain. 84
Masyarakat merupakan satu jenis kebudayaan. Nilai dan
makna dari kebudayaan masyarakat ini secara mendalam dirasakan
sebagai loyalitas dan afeksi. Budaya sekolah merupakan pemahaman
masyarakat yang didefinisikan sebagai pusat nilai-nilai yang diakui.
Pemahaman aspek psikologis dan simbolis terhadap sifat
alamiah manusia akan mendefinisikan ulang terhadap bagaimana
mem­per­kenalkan perubahan masalah tentang bagaimana hasil
individu guru terhadap masalah bagaimana memilih budaya
sekolah.
W.J. Reddin memandang individu guru yang dikonsentrasikan
pada tiga kategori berikut:
1. bagaimana mengajukan perubahan yang mempengaruhi indi­
vidu?
2. bagaimana mengajukan perubahan yang mempengaruhi hu­
bung­an dengan yang lainnya?
3. bagaimana mengajukan perubahan yang mempengaruhi kerja
individu?85
Ketiga konsentrasi ini adalah hal yang real, namun sering tidak
dipertimbangkan menjadi alasan yang menjadi legitimasi bagi suatu
perubahan. Dalam hal ini, guru lebih memberi perhatian pada hal
yang tidak dinyatakan.
Berkaitan dengan hal ini ada suatu angket yang dikembangkan
oleh Jerry Patterson, Stuart C. Purkey, dan Jackson Parker, yang
mencoba mengevaluasi suatu sekolah melalui pemahaman ter­
hadap tujuan sekolah, pemberdayaan, pembuatan keputusan,
masya­rakat, kebenaran, kualitas, pengakuan, kepedulian, integritas,
dan keanekaragaman.

84 M.R. Louis, Organizations as Culture Bearing Milieux dalam Louis Pondy et.al
(eds.), Organizational Syimbolism, Greenwich, Conn : JAI, 1980, hh. 76 – 92.
85 W.J. Reddin, Managerial Effectiveness. New York: McGraw-Hill, 1970, h. 163.

94 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Sementara itu, tes Reddin menerapkan kategorinya berdasar­
kan pengalaman pribadi, yaitu sejauh mana keterpusatan pada
diri sendiri, kerja, maupun hubungan keduanya. Seorang super­
visor harus mengidentifikasi hal tersebut, dan ia mungkin saja
mendorong timbulnya hal tersebut dan mengubahnya. Lebih jauh
ia harus menghimpun hal tersebut ke arah peningkatan kerja
melalui pemimpin kelompok. Hal ini tentunya terkait dengan
tingkat konsentrasi, dan guru juga harus fokus pada masalah yang
dihadapi. Model yang diajukan ini mengandung tujuh tingkatan,
yaitu: 1) kesadaran, 2) informasi, 3) pribadi, 4) manajemen, 5) kerja
sama, 6) kolaborasi, dan 7) fokus.
Pola ini dapat digambarkan sebagai berikut: pada tahapan awal,
para guru berkonsentrasi pada dirinya sendiri dengan memusatkan
pembelajaran pada inovasi dan bagaimana mempengaruhi para
siswa secara individu. Kemudian perhatian itu akan berdampak
terhadap perubahan yang dialami para siswa. Pada kesempatan
yang lain, guru tersebut akan berkolaborasi dengan guru yang lain
dalam upaya mengimplementasikan perubahan dan perbaikan
akibatnya. Akhirnya, ketika para guru tersebut berbeda, mereka akan
mengadaptasikan inovasi dalam upaya perbaikan pembelajaran.
Meskipun ada perbedaan di antara guru, namun pada dasarnya
mereka sepakat dalam empat hal, yaitu 1) kebutuhan terhadap
harapan yang jelas, 2) kebutuhan terhadap kepastian masa depan,
3) kebutuhan terhadap interaksi sosial, dan 4) kebutuhan terhadap
pengawasan lingkungan dan kejadian kerja.

E. Kolegalitas
Kolegalitas merupakan konsep iklim dan budaya sekolah, yang
tidak hanya berbicara pada tingkat kebenaran, keterbukaan, dan
perasaan baik yang ada di sekolah, tetapi juga jenis sistem norma
yang mengikat para guru sebagai unit yang kolektif. Aspek ikatan
ini merupakan kunci dan sering kali hilang dalam kebijakan dan
praktek supervisi.

Psikologi Manajemen | 95
Salah satu masalah yang sering dihadapi kecocokan atau
keserasian.86 Kecocokan atau keserasian ini menunjukkan hubungan
kemanusiaan yang muncul di antara para guru dan karakteristiknya
berupa loyalitas, kebenaran, dan mudahnya percakapan yang
menghasilkan perkembangan kelompok sosial. Keserasian ini juga
menjadi ukuran dari suatu iklim sekolah.
Kolegalitas, dengan kata lain, menunjukkan eksistensi ting­
ginya tingkat kolaborasi dan prinsip antara para guru, dan karak­
teristiknya berupa saling menghormati, nilai-nilai kerja sama, dan
percakapan yang spesifik anatra pengajaran dan pembelajaran.
Apabila keserasian ini mencapai tingkat tinggi, artinya budaya
informal muncul di sekolah; dan apabila kolegalitas yang mencapai
tingkat tinggi, artinya budaya profesional dan norma-norma kerja
yang muncul di sekolah.
Norma-norma ini tentunya digariskan sesuai dengan tujuan
sekolah dan memberikan kontribusi untuk meningkatkan komitmen
dan memperbaiki kinerja. Namun demikian, keseraian juga dapat
memberikan kontribusi terhadap kolegalits.
Dan pada intinya, seorang supervisor merupakan tokoh kunci
untuk memperbaiki sekolah dengan meningkatkan dan mereflek­
sikan kinerja para guru, yang bertujuan untuk mengarahkan para
guru untuk mengembangkan pendekatan, sehingga mereka dapat
bersikap terbuka dan mendapatkan keuntungan, yang tentunya
sangat ditentukan oleh iklim dan budaya sekolah.
Perbaikan atau peningkatan mutu sekolah menuntut adanya
perubahan. Yaitu perubahan struktural, dan normatif. meskipun
perubahan struktural itu penting, namun kelihatannya tidak terlalu
menjadi persoalan. Terlalu sering, justru menjadi ”bukan peristiwa”.
Banyak pelatihan supervisi yang telah dilakukan penulis,
yang meliputi perubahan struktural, bukan perubahan normatif.
Perubahan normatif, tujuan dari supervisi telah masuk dalam
hitungan aspek sifat manusia. Hal ini sangat membantu untuk
86 Roland Barth, Improving School from Within. San Fransisco-Jossey Bass, 1990.

96 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


memikirkan tentang sifat manusia yang memiliki dua sisi, yaitu
psikologis dan simbolis. Secara psikologis dikatakan bahwa manusia
mempunyai kebutuhan dan mencari kesempatan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Secara simbolis dikatakan bahwa manusia
mencari untuk bisa mempertimbangkan hidup mereka dengan
mencari maknanya. Sisi psikologis dari sifat manusia lebih siap
dipengaruhi oleh iklim sekolah dan sisi simbolis lebih siap dipengarui
oleh budaya sekolah.
Iklim sekolah dapat menolong para guru untuk mengupayakan
kepuasan terhadap kebutuhan mereka dalam bekerja. Dengan
mendeskripsikan kelompok yang ada tentunya dapat membantu
proses pembelajaran dan kemudian mengevaluasi serta mengukur
dimensi iklim sekolah.
Ada tujuh kategori yang menjadi komposisi dimensi sosial
untuk mendapatkan urgensi pentingnya membedakan apakah iklim
itu akan mendukung atau menghambat pembelajaran. Ketujuh
dimensi tersebut adalah 1) kesesuaian, 2) pertanggungjawaban,
3) standar, 4) hadiah, 5) kejelasan organisasi, 6) keramahan dan
dukungan, serta 7) kepemimpinan.
Matthew Miles mendeskripsikan ”sehatnya” sekolah sebagai
salah satu alasan yang menunjukkan jelasnya tujuan yang akan
dicapai (fokus tujuan); komunikasi yang mengalir secara relatif
(keseimbangan komunikasi), kesesuaian distribusi pengaruh pada
semua tingkatan organisasi (kesamaan kekuatan secara optimal),
dan efektivitas serta efisiensi penggunaan sumber daya, baik sumber
daya manusia maupun material (kegunaan sumber daya). Sekolah
yang sehat merefleksikan perasaan kebersamaan yang mengikat
para anggota (kesesuaian), perasaan baik di antara anggota (moral),
inovasi, otronomi, dan adaptasi.
Konsep iklim sekolah adalah kolektivitas, yang lahir dari
gabungan persepsi guru terhadap kehidupan pribadi yang ada di
sekolah sebagaimana kehidupan fakultas dan kerja bersama-sama.
Keanggotaan dalam kelompok itu penting, baik para guru, dan

Psikologi Manajemen | 97
norma-norma yang dibangun sebagai hasil yang mempengaruhi apa
yang diyakini dan dilakukan. Dari aspek psikologis, sudut pandang
anggota kelompok akan memberikan makna untuk mendukung
para guru dalam membangun realitas dan menemukan makna
serta kesesuaian. Hal ini merupakan kondisi yang penting yang
mendukung para guru untuk memperoleh kepuasan dalam bekerja
dan bekerja secara maksimal dengan segenap potensi yang dimiliki.

98 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


BAGIAN XIV
INOVASI ORGANISASI

Penerapan Psikologi Manajemen akan melahirkan inovasi


dalam sebuah organisasi. Inovasi atau innovation berasal dari
kata to innovate yang mempunyai arti membuat perubahan atau
memperkenalkan sesuatu yang baru. Inovasi kadang pula diartikan
sebagai penemuan, namun berbeda maknanya dengan penemuan
dalam arti discovery atau invention (invensi). Discovery mempunyai
makna penemuan sesuatu yang sebenarnya sesuatu itu telah ada
sebelumnya, tetapi belum diketahui. Sedangkan invensi adalah
penemuan yang benar-benar baru sebagai hasil kegiatan manusia.
Inovasi diartikan penemuan dimaknai sebagai sesuatu yang baru
bagi seseorang atau sekelompok orang baik berupa discovery
maupun invensi untuk mencapai tujuan atau untuk memecahkan
masalah tertentu. Dalam inovasi tercakup discovery dan invensi.
Inovasi dapat menjadi positif atau negatif. Inovasi positif dide­
finisikan sebagai proses membuat perubahan terhadap sesuatu
yang telah mapan dengan memperkenalkan sesuatu yang baru
yang memberikan nilai tambah bagi pelanggan. Inovasi negatif
menyebabkan pelanggan enggan untuk memakai produk tersebut
karena tidak memiliki nilai tambah, merusak cita rasa dan keper­
cayaan pelanggan hilang.
Dalam teori Diffusion of Innovations yang dikembangkan Rogers
adalah suatu teori yang berusaha menjelaskan bagaimana, mengapa,
dan seberapa cepat ide-ide baru dan teknologi menyebar melalui
berbagai budaya. Difusi inovasi adalah proses dimana suatu inovasi

Psikologi Manajemen | 99
dikomunikasikan melalui saluran tertentu dari waktu ke waktu
di antara para anggota suatu sistem sosial. Artinya difusi inovasi
bisa berbeda prosesnya serta berbeda juga hasilnya pada berbagai
bentuk ide atau teknologi baru. Ada empat elemen difusi yang
mem­pengaruhi proses yaitu:
1. Inovasinya, yaitu ide, praktek atau objek yang dianggap baru
oleh masayarakat.
2. Saluran komunikasi dimana pesan diteruskan dari individu ke
individu.
3. Waktu, yaitu rentang waktu yang diperlukan dalam penciptaan
ide baru serta waktu adopsi dalam suatu sistem sosial.
4. Sistem sosial, suatu kesatuan yang saling terkait yang terlibat
dalam pemecahan masalah secara bersama untuk mencapai
tujuan bersama.
Dewasa ini istilah inovasi dalam kehidupan organisasi semakin
menjadi penting, karena setiap orang pada dasarnya tidak dapat
melepaskan diri dari kehidupan organisasi.87 Prescott W, & Hoyle
E sebagaimana dikutip oleh Hasibuan88 menyatakan bahwa inovasi
dapat dipahami dalam arti ganda. Pertama, maknanya dilihat dalam
bentuk kata benda umum (common noun) yaitu: “a new object, idea or
practice”. Kedua, sebagai kata benda abstrak (abstract noun) yaitu suatu
proses di mana suatu ide, obyek atau praktek baru dimunculkan ke
permukaan dan diadopsi oleh individu atau kelompok.
Proses ini berawal dari adanya temuan (invention) diikuti oleh
proses pengembangan (development), dan proses adopsi (adoption)”.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh S. Wojowasito dan
Santoso S. Hamijoyo dalam Sa’ud89 bahwa kata innovation sering
diterjemahkan segala hal yang baru atau pembaharuan.
Persoalan-persoalan inovasi dalam kehidupan organisasi tidak
87 Lias Hasibuan, Melejitkan Mutu Pendidikan: Refleksi, Relevansi, dan Rekonstruksi
Kurikulum, Jambi: Sapa Project, 2004, hal. 69.
88 Prescott W, & Hoyle E dalam Lias Hasibuan, Melejitkan Mutu Pendidikan:
Refleksi, Relevansi, dan Rekonstruksi Kurikulum, Jambi: Sapa Project, 2004, hal. 71.
89 S. Wojowasito dan Santoso S. Hamijoyo dalam Udin Saefudin Sa’ud, Inovasi
Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2013, hal. 2.

100 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


terlepas dari empat macam faktor, yaitu 1) inovator yang disebut
sebagai agen pembawa perubahan, 2) inovasi itu sendiri, 3) orang
atau lembaga yang mengadopsi inovasi, dan 4) proses inovasi itu
sendiri yang membutuhkan waktu banyak90. Masing-masing faktor
tersebut dijelaskan oleh Hasibuan sebagai berikut.
1) Faktor inovator (agent of change)
Inovator dapat diartikan sebagai orang atau pihak-pihak
tertentu yang melahirkan/membawa inovasi, yaitu berupa ide
atau praktek baru. Berdasarkan studi Rogers disebutkan bahwa
kelompok inovator seperti diperlihatkan pada tabel distribusi
frekuensinya hanya berkisar 2,5 % saja91. Hal ini menunjukkan
bahwa yang disebut sebagai kelompok inovator tidak banyak
jumlahnya. Lebih lanjut Hasibuan menjelaskan bahwa kita
dapat memahami keterbatasan jumlah atau kelompok inovator,
sehingga berakibat pada ide dan praktek-praktek baru hanya
sedikit saja yang memahaminya. Adanya keterbatasan ini
menuntut inovator untuk dapat mensosialisasikan ide dan
praktek-praktek baru ke dalam sistem nilai sosialnya. Sosialisasi
ini menuntut kearifan pihak inovator, jika tidak, ide dan praktek
baru sering menemukan kegagalan dalam proses adopsinya.
2) Inovasi
Rogers dalam Hasibuan92 mengungkapkan terdapat lima ka­
rak­teristik inovasi yang menentukan keberhasilan inovasi itu
sendiri. Kelima karakteristik tersebut adalah:
(a) Keuntungan relatif yang diperoleh dari suatu inovasi
(b) Kesesuaian inovasi dengan nilai-nilai dan norma sosial
yang ada pada pihak adopter
(c) Inovasi harus dapat diujicobakan
(d) Kompleksitas inovasi

90 Harris, Lown, & Presscott w, (Ed) dalam Lias Hasibuan, Melejitkan Mutu
Pendidikan: Refleksi, Relevansi, dan Rekonstruksi Kurikulum, Jambi: Sapa Project,
2004, hal. 79.
91 Rogers dalam Lias Hasibuan, Melejitkan Mutu Pendidikan: Refleksi, Relevansi, dan
Rekonstruksi Kurikulum, Jambi: Sapa Project, 2004, hal.80.
92 Ibid., hal.81.

Psikologi Manajemen | 101


(e) Inovasi dapat disaksikan oleh calon-calon adopter inovasi.
3) Orang atau lembaga yang menerima inovasi (Adopter Inovasi)
Suatu inovasi dapat diadopsi oleh individu atau lembaga
(kelompok). Proses adopsi pada akhirnya harus membawa
pelembagaan unsur-unsur baru ke dalam sistem kehidupan
individu atau kelompok (institutionalized).
4) Proses Inovasi
Proses inovasi berlangsung dalam empat tahap, yaitu invensi,
pengembangan, difusi dan adopsi. Pada tahap invensi, proses
inovasi membutuhkan inovator yaitu penemu (inventor) untuk
melahirkan ide atau ptraktek-praktek baru. Pada tataran ini
inovator (inventor) dimaknai sebagai pribadi dinamis yang
kreatif, bahkan juga kontroversial untuk memunculkan
ide atau praktek-praktek baru tersebut. Inovator dengan
temuan barunya biasa tampil dengan berbeda dari lainnya,
apakah itu dalam arti pengetahuan atau keterampilan. Pada
tahap pengembangan, mengacu pada perencanaan untuk
bisa mengembangkan ide atau praktek-praktek baru. Proses
pengembangan akan menjadi sangat baik jika dihubungkan
dengan program riset, terutama untuk mengkaji manfaat lebih
lanjut dari ide atau praktek baru bagi kehidupan. Adapun pada
tahap difusi merupakan tahap proses penyebaran ide-ide atau
praktek-praktek baru kepada adopter. Sedangkan pada tahap
adopsi merupakan tahap penerimaan oleh pihak adopter.
Dalam pandangan Damian Hine, inovasi adalah konsep yang
rumit karena ada beberapa bentuk inovasi. Inovasi dalam arti luas
dianggap sebagai sesuatu yang baru untuk organisasi. Inovasi
memainkan peran penting dalam pengembangan organisasi dan
ekonomi, yang dibuktikan dengan lingkup besar dan jumlah
literatur khusus.93
Robert G. Owens sendiri melihat bahwa ada beberapa sumber
tekanan untuk berubah, sehingga memerlukan inovasi untuk
93 Damian Hine, Innovation and Entrepreneurship in Biotechnology, An International
Perspective, (UK: Edward Elgar Publishing Limited, 2006), hal 3.

102 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


memecahkan masalah yang ada, yaitu:
a. awareness (seseorang pertama-tama harus merealisasikan bah­
wa ada kebutuhan untuk berubah dan beberapa inovasi ini
memfasilitasi perubahan untuk keluar dari masalah),
b. interest (pada tahapan ini, banyak informasi dicari dan im­
plikasinya diungkap),
c. evaluation (pada tahap ini, masih pada tahap proses perencanaan;
ide yang dikemukakan adalah pemikiran melalui bagaimana
pekerjaan itu boleh dilakukan dalam situasi khusus),
d. Trial (bukan merupakan eksperimen, lebih dari itu, tahap trial
adalah aplikasi skala kecil dari sebuah ide),
e. Adoption (jika trial menjanjikan, inovasi umumnya akan diadop­
si).94
Di lingkungan kehidupan organisasi, keinovasian dapat dilihat
dari tiga sisi, yaitu (a) pimpinan dan individu-individu tertentu
sebagai inovator, (b) karakteristik internal dari struktur organisasi,
dan (c) karakteristik eksternal organisasi.95 Rogers menggambarkan
sisi tersebut seperti terlihat dalam gambar berikut:

Berdasarkan gambar di atas, ditunjukkan bahwa dari sudut


individu, jika yang menjadi inovator adalah unsur pimpinan, maka
organisasi akan menjadi diuntungkan. Demikian pula dari sudut

94 Robert G. Owens, Organizational Behavior in Schools (United States of America:


Prentice-Hall, Inc., 1970), hal.148.
95 Ibid. Hal.80.

Psikologi Manajemen | 103


karakteristik internal (struktur organisasi) dan eksternal organisasi
memberikan pengaruh yang cukup positif terhadap munculnya
inovasi di tubuh organisasi. Apabila ketiga faktor ini tidak
mendukung proses inovasi pada sebuah lembaga pendidikan, maka
hal-hal ini justru akan menjadi faktor penyebab gagalnya inovasi
pada lembaga tersebut.
Ada beberapa faktor yang memfasilitasi atau bahkan meng­
hambat inovasi, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mengatur
hasil positif dan negatif inovasi bagi individu dan kelompok ketika
mereka mengambil resiko untuk terlibat dalam kegiatan yang
inovatif.96
Pertama, perilaku kerja yang menuntut terjadinya inovasi. Hal
ini membutuhkan berbagai upaya kognitif dan sosio politik serta
investasi yang mungkin menyebabkan keberhasilan atau kegagalan,
tinggi atau rendahnya kinerja dalam pelaksanaan tugas, konflik yang
terjadi, sikap kerja positif atau negatif dan tinggi atau rendahnya
tingkat kesejahteraan.
Kedua, keterampilan dan sikap dari pegawai yang inovatif.
Keterampilan kognitif dan interpersonal, kemauan untuk mendis­
kusikan dan menyelesaikan perselisihan akan memfasilitasi inovasi
dan menurunkan terjadinya konflik.
Ketiga, proses kelompok dalam tim rekan kerja. Inovasi sangat
jarang merupakan hasil dari aktivitas satu individu saja, kerjasama
sangat penting. Pengetahuan tim yang tepat, keterampilan dan
kemam­puan akan mempengaruhi proses kelompok, termasuk
juga keterampilan mengelola konflik, pemecahan masalah kolabo­
ratif keterampilan, kemampuan komunikasi, penetapan tujuan dan
keterampilan penilaian kinerja. Efektivitas kelompok akan diting­
kat­kan dengan kejelasan dan komitmen terhadap tujuan bersama
dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Keaneka­ragaman
kelompok dan kepemilikan tim adalah dua karakteristik tim yang

96 Anonim, Innovative Workplaces,: Making Better Use of Skills Within Organizations


(Paris: OECD Publishing, 2010), hal.127-129.

104 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


harus mendukung hasil inovasi yang positif .
Keempat, gaya kepemimpinan. Inovator memerlukan adanya
otonomi dari aturan dan prosedur organisasi. Partisipasi dan
dukungan langsung ini akan merangsang perilaku kerja yang
inovatif, yaitu kepemimpinan partisipatif yang akan menyiratkan
adanya konsultasi dan delegasi, serta dukungan yang berkaitan
dengan pengakuan dan penyediaan sumber daya untuk melakukan
inovasi.
Kelima, konteks organisasi juga mempengaruhi hasil perilaku
kerja yang inovatif. Hal ini dapat dianggap negatif apabila meng­
hambat terjadinya inovasi, atau positif apabila dapat mempro­mosi­
kan budaya inovasi.
Dukungan untuk melakukan perubahan, fokus pada pelanggan
(stakeholders) dan pembelajaran organisasi adalah tiga karakteristik
konteks organisasi yang memberikan kontribusi terhadap budaya
inovasi. Dukungan untuk melakukan perubahan sangat menentukan
dalam menghadapi potensi konflik yang muncul dari inovasi.
Fokus pada pelanggan ini menarik bila dipandang dari dua
sudut pandang, di satu sisi, pelanggan merupakan sumber penting
dari masukan (input), dan kegiatan organisasi, di sisi lain, perubahan
dimulai dengan umpan balik (feedback) pelanggan yang memiliki
legitimasi dan potensi konflik yang lebih rendah. Hal ini terutama
berlaku pada sektor publik dan layanan, karena sebagian besar
dari sumber daya manusia bekerja dalam kontak langsung dengan
pelanggan (stakeholders).
Dalam hal ini, kegagalan merupakan sebuah hal yang tidak
dapat dihindari dalam sebuah inovasi. Inovasi yang gagal seringkali
merupakan ide-ide yang bagus, hanya saja di tahap berikutnya ide-
ide tersebut menghadapi kendala biaya, kurangnya skill atau kadang
ketidaksesuaiannya dengan tujuan organisasi saat itu.
Penyebab kegagalan inovasi ini sudah banyak diteliti dan me­
nun­jukkan hasil yang  bervariasi. Beberapa penyebabnya berasal
dari luar organisasi (eksternal) sehingga sulit untuk mengen­da­

Psikologi Manajemen | 105


likannya, dan beberapa lainnya berasal dari dalam organisasi
(internal). Penyebab internal bisa dibagi menjadi penyebab yang
berhubungan dengan struktur budaya organisasi dan penyebab
yang berhubungan dengan proses inovasi itu sendiri.
Proses penentuan tujuan agar berjalan efektif harus  dengan
bahasa yang jelas serta disampaikannya dengan cara yang mudah
dipahami oleh setiap orang yang terlibat dalam proses inovasi.
Kesesuaian antara inovasi yang akan dilaksanakan dengan tujuan
organisasi harus tergambarkan secara eksplisit. Tiap inovasi harus
bisa mewakili tiap tujuan. Partisipasi anggota tim mengacu pada
sikap mental tiap individu dalam tim tersebut, dan masing-masing
individu seharusnya mampu untuk bertanggung jawab pada tugas
dan perannya. Selain itu untuk lebih memacunya perlu diterapkan
sistem penghargaan/imbalan (reward), yang akan memberikan
penghargaan apabila berhasil mencapai target dari tiap tujuan.
Pemantauan terhadap hasil yang dicapai membutuhkan juga
pemantauan terhadap tujuan/sasaran, pelaksanaan dan tim yang
terlibat dalam proses inovasi.

106 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


BAGIAN XV
KINERJA ORGANISASI YANG UNGGUL

A. Berfikir Kesisteman Sebagai Implementasi Psikologi


Manajemen
Sistem (manhaj) dilihat sebagai suatu istilah telah cukup lama
digunakan manusia. Secara umum istilah sistem dapat mempunyai
makna seperti benda, peristiwa, kejadian atau cara yang terorganisir
yang terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil dan seluruh bagian
secara bersama-sama melakukan fungsinya untuk mencapai tujuan
tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa suatu benda atau peristiwa
akan disebut sistem jika memenuhi empat macam kriteria, yaitu:
1. Dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.
2. Seluruh bagian melakukan fungsi secara bersama-sama.
3. Seluruh bagian melakukan fungsi secara bersama-sama.
4. Fungsi bersama yang dilakukan mempunyai suatu tujuan.
Karena itu, suatu sistem berarti memiliki arti lebih dari sekedar
gabungan bagian-bagiannya. Tujuan sistem tidak bisa dicapai hanya
oleh satu atau dua fungsi dalam sistem, tetapi akan bisa dicapai
melalui seluruh bagian-bagiannya yang sama-sama menjalankan
fungsinya di dalam sistem.97
Dalam pengertian yang lebih luas dikenal adanya istilah “su­
pra­sistem”. Istilah ini menunjukkan adanya pengertian sistem yang
lebih umum atau luas, misalnya sistem sosial masyarakat tertentu,
yaitu sebagai bagian dari suprasistem masyarakat dalam suatu
wilayah yang lebih luas.

97 Suparman dalam Lias Hasibuan, Ibid., hal.165.

Psikologi Manajemen | 107


Sistem pembelajaran disebut sebagai bagian dari sistem pen­
didikan yang ada di suatu sekolah. Maka setiap sistem selalu
menerima masukan dari suprasistem yaitu berupa bahan mentah,
tenaga, atau sumber daya. Masukan itu diolah dalam sistem sekolah,
kemudian dihasilkan luaran pendidikan yang kembali lagi kepada
suprasistemnya, yaitu berupa produk atau layanan pendidikan.
Apabila suatu sistem pembelajaran tidak berfungsi – misal­
nya karena disebabkan tidak mendapatkan masukan dari suprasi­
stemnya atau tidak mengolah masukan tersebut sehingga tidak
menghasilkan luaran pendidikan seperti yang diinginkan, maka
sistem itu harus diganti atau diperbaiki. Uraian suprasistem dan
subsistem ini terlihat pada diagram berikut:98

Berdasarkan berbagai pendekatan manajemen, lima prinsip


yang digunakan untuk melakukan perbaikan yang luar biasa
dalam kinerja organisasi, yaitu pengukuran / pembandingan, kepe­
mimpinan, keterlibatan karyawan, perbaikan proses, dan fokus
pelanggan. Namun, tidak setiap organisasi yang mencoba mene­
rapkan prinsip-prinsip ini berhasil. Dalam hal ini yang diperlukan
untuk sukses adalah bahwa prinsip-prinsip ini dipahami dan
diterapkan sebagai sistem manajemen terpadu (integrated system of

98 Ibid., hal.166.

108 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


management).99
1. Pengukuran/pembandingan
Komponen pengukuran/pembandingan memungkinkan
organisasi untuk secara objektif mengevaluasi apakah perubahan
yang diperlukan dan apakah kegiatan yang menyebabkan hasil
kinerja yang lebih baik. Ketika digunakan untuk menilai umpan
balik (feedback), pengukuran/pembandingan dapat membantu
untuk mengidentifikasi kesenjangan antara sistem saat ini dan
sistem yang diinginkan. Hasil penilaian dapat menjadi masukan
untuk perubahan sistem perencanaan atau perbaikan proses.
Selain itu, pengukuran/pembandingan dapat diguna­
kan sebagai mekanisme untuk memprediksi masa depandan
mengantisipasi perbaikan yang diperlukan. Hal ini memung­
kinkan organisasi untuk mengubah arah dan mengan­tisipasi
kebutuhan pelanggan untuk produk baru atau layanan baru.
2. Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses sistem yang bersifat strate­
gis. Hal ini menjadi konsepsi sebuah organisasi, yang terdiri
dari visi, misi dan tujuan organisasi. Kepemim­pinan juga ber­
fungsi untuk membuat dan meme­lihara lingkungan, berbagi
informasi, komunikasi yang terbuka, integritas, dan keper­
cayaan. Unsur-unsur ini merupa­kan dasar untuk bereaksi
terhadap input pelanggan dan memberdayakan karyawan.
3. Keterlibatan karyawan
Keterlibatan karyawan adalah proses sistem yang mencip­
takan semangat kerja sama dalam organisasi dan memberikan
kontribusi kreatif terhadap masing-masing anggota .
Kesuksesan organisasi dalam meningkatkan kinerja sangat
tergantung pada keterampilan dan motivasi tenaga kerjanya.
Hal ini berfokus pada pemberdayaan tenaga kerja dan
membentuk adanya kemitraan untuk membangun komitmen
99 Kenneth A. Potocki dan Richard C. Brocato, A System of Management for
Organizational Improvement dalam techdigest.jhuapl.edu/td/td1604/Potocki. pdf
(diakses pada Senin, 13 Januari 2017).

Psikologi Manajemen | 109


dalam mencapai tujuan yang sama.
4. Perbaikan proses
Perbaikan proses merupakan proses sistem yang meli­
batkan penghapusan tambahan dari semua hambatan untuk
kinerja yang baik. komponen ini berkaitan dengan efisiensi
dan efektivitas organisasi, proses kerja administrasi dan tenaga
teknis, serta pengaruh persepsi pelanggan terhadap kualitas
dari produk atau jasa. Dalam hal ini, setiap orang memiliki
kesempatan untuk terus menerus meningkatkan kinerja orga­
nisasi.
5. Fokus pelanggan
Komponen kelima dalam sistem manajemen untuk per­
baikan organisasi adalah fokus pelanggan. Pelanggan terpusat
pada fokus untuk memperoleh pemahaman yang men­dalam
terhadap kebutuhan pelanggan, dan harapan untuk meng­
gunakan pemahaman bahwa untuk menyediakan produk atau
layanan jauh melebihi kepuasan, bila dilihat sebagai umpan
balik (feedback), fokus pelanggan memungkinkan organisasi
untuk merespon reaksi pelanggan ke output dari sistem dari
produk atau jasa dan untuk mengidentifikasi perbaikan dalam
rangka menciptakan kinerja organisasi yang unggul.
Kelima komponen yang menjadi prinsip perbaikan kinerja
organisasi ini merupakan sistem manajemen untuk menciptakan
tujuan pendidikan unggul, yang dapat diterapkan melalui sistem
berpikir.
1. Semua komponen sistem harus ada untuk menciptakan tujuan
pendidikan unggul.
2. Keterkaitan yang tepat antara komponen-komponen sistem.
Dalam sistem, komponen-komponen ini saling terkait dalam
rangka mencapai tujuan yang sama.
3. Kepemimpinan mengoptimalkan sistem; komponen yang
menetapkan arah, menciptakan tujuan dan sistem, dan panduan
mengejar nilai tambah pelanggan dan organisasi peningkatan
kinerja.

110 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Berfikir kesisteman dapat dikatakan sebagai pendekatan sistem
sebagai metode ilmiah baru, yang merupakan paradigma berpikir
yang mempuyai landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis
dalam proses kegiatan mempergunakan logika deduktif dan
induktif. Berfikir kesisteman merupakan cara untuk memecakan
masalah yang bersifat holistik, analistis, sistematik dan sistemik,
serta berorientasi pada kebijakan dan keluaran. Penerapannya
ditujukan kepada hal-hal yang lebih bersifat kompleks dan rumit.
Dalam organisasi, berfikir kesisteman sering digunakan untuk
mengambil keputusan bagi para pengambil keputusan, melalui
proses perumusan masalah, penelitian, penilaian, penelaahan, pe­
me­riksaan, dan pelaksanaan hasil keputusan.
Berfikir kesisteman berfokus pada bagaimana hal yang sedang
dipelajari berinteraksi dengan sub sistem lain dari sistem (sekum­
pulan elemen yang berinteraksi untuk menghasilkan perilaku -
yang itu adalah bagian). Ini berarti bahwa daripada mengisolasi
bagian-bagian yang lebih kecil dari sistem yang sedang dipelajari.
Berfikir kesisteman bekerja dengan memperluas pandangan untuk
memperhitungkan jumlah yang lebih besar interaksinya sebagai
sebuah isu yang sedang dipelajari.
Sebuah contoh berfikir kesisteman yang paling umum dalam
organisasi-organisasi saat ini adalah TQM (Total Quality Management).
Beberapa prinsip-prinsip dasar TQM ini adalah:
1. Memandang sebuah organisasi sebagai sutu keseluruhan dari­
pada bagian-bagiannya.
2. Menggunakan sebuah pendekatan tim untuk pembuat-kepu­
tusan
3. Mendorong proses peningkatan yang mengambil tempat
menuju garis organisasi standar
Berpikir kesisteman merupakan suatu disiplin ilmu untuk
melihat struktur yang mendasari situasi kompleks, dan untuk
membedakan perubahan tingkat tinggi terhadap perubahan tingkat
rendah. Tentu saja, berpikir kesisteman mempermudah hidup

Psikologi Manajemen | 111


dengan membantu kita untuk melihat pola yang lebih dalam yang
mendasari beberapa peristiwa dan detailnya.
Pendekatan sistem dapat memberikan pengertian yang men­
dalam bagi para pimpinan dalam berbagai keadaan. Pendekatan
ini manawarkan kemungkinan keberhasilan ketika berhadapan
dengan kompleksitas sistem daripada sistem-sistem berpikir yang
kaku. Berfikir kesisteman memiliki sebuah bagian, kemampuan
khusus yang dengan sangat baik dapat (berfungsi) menggabungkan
dan memperkuat bagian-bagian dimaksud.
Berfikir kesisteman ditujukan untuk menghindari berbagai
kesalahan yang berskala besar dalam memberikan atau menyam­
paikan suatu daftar pilihan kepada pengambilan keputusan yang
menggambarkan berbagai efektivitas dan efisiensi yang akan
dijadikan pertimbangan dalam menentukan pilihan.

B. Berfikir Strategis dalam Pengembangan Lembaga


Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan sebuah program yang terencana dan
tersistem dengan baik. Program yang melibatkan sejumlah kom­
ponen yang bekerja sama dalam sebuah proses untuk mencapai
tujuan yang diprogramkan. Sebagai sebuah program, pendidikan
merupakan aktivitas sadar dan sengaja yang diarahkan untuk
mencapai suatu tujuan.100
Sebagai sebuah upaya bersama dari beberapa komponen yang
ada, pengelolaan sistem kelembagaan tidak dapat lepas dari konsep-
konsep manajemen maupun administrasi yang baik. Dalam konsep
manajerial, program-program pendidikan yang ada tidak dapat
lepas dari upaya pengembangan. Tanpa ada upaya pengembangan
lembaga pendidikan kita akan tertinggal dari lembaga-lembaga
pendidikan yang ada di negara barat. Oleh karena itu, untuk
dapat melakukan pengembangan dengan baik. Seorang pemimpin
lembaga pendidikan sebagai leading sector, perlu mencermati isu-
100 Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal.1.

112 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


isu strategis yang ada dengan selalu berfikir strategis. Dalam hal
ini, berpikir strategis mencakup bagaimana membuat perencanaan
strategis dan implementasinya dalam pengembangan kelembagaan.
Persoalan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia tidak
dapat lagi dipungkiri telah mengalami stagnansi yang cukup lama.
Persoalan-persoalan manajerial yang tidak sistematis dan strategis
dalam membawa lembaga Pendidikan Islam merupakan persoalan
utama. Upaya menjawab persoalan tersebut tidak serta merta
dapat dilakukan dengan seketika, butuh perencanaan yang terukur
dan strategis. Kunci utama keberhasilan pengembangan lembaga
pendidikan Islam tidak dapat lepas dari pemimpin atau otak pelaku
kebijakan yang ada di lembaga tersebut. Seorang pemimpin perlu
dan wajib berpikir strategis dalam melakukan pengembangan
kelembagaan pendidikan Islam.
Manajemen strategis merupakan gambaran dari upaya men­
ciptakan capaian-capaian masa depan yang lebih baik. Dengan
melakukan analisis mendalam terkait kekuatan, kelemahan,
peluang dan tantangan,maka strategi untuk melangkah kedepan
menjadi lebih pasti. Formulasi strategi dibangun dari analisis yang
mendalam, logis, sistematis, dan ilmiah. Sehingga, konsep berpikir
strategis dengan wujud perencanaan strategis dalam pengembangan
kelembagaan Islam menjadi solusi terbaik menghadapi problematika
pengembangan lembaga pendidikan Islam saat ini.
Perencanaan dan implementasi strategi pada lembaga pendi­
dikan, merupakan kerangka kerja pengembangan dalam kurun
waktu yang cukup panjang, berkisar antara 3 – 10 tahun.101 Berpikir
untuk sebuah perencanaan jangka panjang (strategis) seperti
ini, merupakan hal yang tidak gampang, seringkali kita akan
dihadapkan pada persoalan yang rumit dalam menangkap isu-isu
strategis yang ada, terlebih lagi dalam memprediksi masa depan.
Sejalan dengan itu, James Lewis (1983) berpendapat bahwa dalam

101 James Lewis Jr, Long-range and Short Range Planning for Education. (USA: Allyn
and Bacon, Inc, 1983), hal. 9.

Psikologi Manajemen | 113


memprediksi masa depan, terdapat tiga asumsi dasar yang harus
dijadikan landasan, diantaranya; masa depan akan berbeda dengan
masa lalu, masa depan akan lebih sulit untuk diprediksi, dan tingkat
perubahannya akan lebih cepat dibanding sebelumnya.102
Sehingga, untuk dapat melakukan prediksi dan analisa terkait
masa depan, seorang pemimpin lembaga pendidikan perlu berpikir
strategis dan berencana strategis. Perencanaan dan berpikir strategis
pada dasarnya tidak sama, namun, keduanya sangat dibutuhkan
dalam keseluruhan proses menuju kesusksesan.103
Fenomena yang terjadi di lapangan, Lembaga Pendidikan
Islam di Indonesia saat ini, baik yang berbentuk pesantren, madra­
sah, sekolah maupun perguruan tinggi masih jauh dari apa yang
diharapkan umatnya (umat muslim). Bahkan secara kualitatif,
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sekarang ini muncul serta
dinilai terkemuka (outstanding), masih jauh dari penilaian ideal.104
Pendapat di atas diperkuat dengan pandangan Paul Suparno SJ
dalam Sukarjo, bahwa perumpamaan kondisi pendidikan Indonesia
pada saat ini tak ubahnya seperti sebuah mobil tua, dengan kondisi
mesin bermasalah, sedang berada di tengah arus lalu lintas pada
jalur bebas hambatan. Hal itu disebabkan kondisi pendidikan saat
ini menghadapi tiga masalah besar, yaitu: (1) mutu pendidikan yang
masih rendah, (2) sistem pembelajaran yang masih belum memadai,
dan (3) krisis moral yang melanda masyarakat.105
Dari beberapa persoalan di atas, sudah selayaknya lembaga
pendidikan Islam terutama pemimpin (leader) yang ada senantiasa
berpikir strategis terutama dalam mengembangkan lembaganya.
Tanpa ada upaya menjawab persoalan secara strategis dan sistematis
sulit kiranya meminimalisir tantangan zaman yang semakin hari
102 Ibid. hal. 3-4.
103 Andrea Luxton, Strategic Planning in Higher Education. USA: GCDE, 2005), hal.
9.
104 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam. (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 43-44.
105 Sukarjo, M, Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya.
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 79.

114 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


semakin besar.
Globalisasi, pasar bebas, dan liberalisasi di berbagai sektor
menuntut kemampuan lulusan Lembaga Pendidikan Islam guna
memiliki kompetensi dan kekuatan untuk bersaing. Untuk itu, hal-
hal yang perlu dilakukan dalam pengembangan lembaga pendidikan
Islam; Pertama, bagaimana berpikir strategis dan bagaimana
penerapannya dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam.
Kedua, langkah-langkah Strategis terkait pengembangan lembaga
pendidikan Islam.
Dalam dunia modern, pelaksanaan pendidikan Islam tidak
hanya sebatas kegiatan informal akan tetapi merupakan kegiatan
formal yang dikelola sebuah lembaga yang disebut lembaga
pendidikan Islam. Dalam perkembangannya di Indonesia lembaga
pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis,
yaitu: (1) pendidikan pondok pesantren; (2)pendidikan madrasah;
(3) pendidikan umum yang bernafaskan Islam; dan (4) pelajaran
agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan
umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.106.
Lembaga pendidikan Islam juga dapat dikategorikan sebagai
lembaga industri mulia (noble industry) kerena mengemban misi
ganda profit sekaligus sosial. Misi profit, yaitu untuk mencapai
keuntungan, ini dapat dicapai ketika efisiensi dan efektivitas dana
bisa tercapai, sehingga pemasukan (income) labih besar dari biaya
operasional. Sedangkan misi sosial bertujuan untuk mewariskan
dan menginternalisasikan nilai luhur. Hal ini dapat dicapai secara
maksimal apabila lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki
modal human capital dan social-capital yang memadai dan juga
memiliki tingkat keefektifan dan efisiensi yang tinggi.107.
Dua misi lembaga pendidikan di atas, harus berjalan beriringan

106 Muntaha Azhari dan Abd. Mun’im Saleh (Ed.), Islam Indonesia Menatap Masa
Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hal.184.
107 Muhaimin, Suti’ah, dan Sugeng L.P, “Manajemen Pendidikan”Aplikasinya dalam
Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, (Jakart: Prenada Media
Group, 2009), hal. 5.

Psikologi Manajemen | 115


guna tercapainya pengembangan kualitas lembaga. Imam Suprayogo
(1999) menambahkan, dalam mengembangkan kualitas lembaga
pendidikan setidaknya ada dua sisi yang harus dipenuhi sekaligus:
pertama, perhatian terhadap daya dukung, meliputi ketenagaan,
kurikulum,sarana dan prasarana, pendanaan dan manajemen yang
tangguh; kedua, harus ada cita-cita,etos, dan semangat yang tinggi
dari semua pihak yang terlibat di dalamnya.108.
Dalam upaya pengembangan kualitas pendidikan Islam di
Indonesia senantiasa dihadapkan pada berbagai problematika.
Sebagaimana diungkapkan Muhaimin (dalam Asrori) bahwa pen­
didikan di Indonesia dihadapkan pada tiga problematika antara lain;
1) masih rendahnya pemerataan pendidikan; 2) masih rendahnya
mutu dan relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya managemen
pendidikan.109
Lebih lanjut, Hujair A. H. Sanaky menyebutkan bahwa Faktor-
faktor yang menjadi penyebab lembaga pendidikan Islam terping­
girkan adalah faktor internal dan eksternal lembaganya. Faktor
internal lembaga pendidikan Islam diantaranya; manajemen
pendidikan Islam yang belum efektif dan berkualitas, kompensasi
guru yang masih rendah, dan kepemimpinan yang belum pro­
fesional. Sedangkan faktor eksternalnya adalah adanya perlakuan
diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam, paradigma
birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh
pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional, dan adanya
diskriminasi masyarakat terhadap pendidikan Islam.110
Sejalan dengan pandangan di atas, Mahmud Arif mengatakan
bahwa salah satu persolan klasik yang dihadapi lembaga pendidikan

108 Imam Suprayogo, Reformasi Visi Pendidikan Islam, (Malang: STAIN Press,1999),
hal. 73.
109 Mohammad Asrori, 2008. Dinamika Pendidikan Islam Indonesia (Kajian Historis
dari Tradisional Menuju Kontemporer). (JurnaI “eI-Harakah” Vol. to, No.1 Januari-
April 2008 UIN Malang), hal.42.
110 Hujair A. H. Sanaky, Permasalahan dan Penataan Pendidikan Islam Menuju
Pendidikan yang Bermutu, (El-Tarbawy Jurnal Pendidikan Islam, No.1 Vol.1.
2008), hal. 87-88.

116 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Islam, yaitu kelemahan manajemen. Kelemahan manajemen
pendidikan Islam ditunjukkan oleh sifatnya yang tertutup dan tidak
berorientasi ke luar, sehingga perkembangannya menjadi lamban,
bahkan statis.111
Misalnya saja, praktek manajemen di madrasah sering meng­
gunakan manajemen tradisional, yaitu manajemen paternalistik
atau feodal. Kentalnya dominasi senioritas jelas mengganggu
perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Sehingga,
munculnya kreativitas daninovasi dari kalangan muda terkadang
dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi ini
mengarah pada penilaian negatif, sehingga muncul kesan bahwa
meluruskan atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap
sebagai sikap su’ al-adab (tabiat jelek).112
Melihat kondisi lembaga maupun praktek kelembagaan serta
harapan masyarakat diatas, maka reformasi birokasi lembaga
pendidikan Islam merupakan salah satu agenda wajib terkait upaya
mengejar bebagai ketertinggalan yang ada. Sudah saatnya lembaga
pendidikan Islam melakukan perubahan-perubahan strategis dalam
bidang manajemen dan bidang-bidang lainnya. Pemimpin lembaga
pendidikan Islam diharuskan memiliki visi, tanggungjawab, wa­
wasan, dan keterampilan menajerial yang tangguh. Lebih lanjut,
seorang pemimpin harus dapat berperan sebagai lokomotif peru­
bahan menuju terciptanya lembaga pendidikan Islam berkualitas.113
Dari beberapa kajian problematika dan konsep-konsep pemba­
haruan para pakar,dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan
Islam di Indonesia mengalami problema yang kompleks dan belum
terselesaikan secara tuntas. Hal penting yang menjadi sorotan para
pakar adalah manajemen kelembagaan pendidikan yang tidak
efektif menghantarkan visi dan misinya. Penggunaan pendekatan-
pendekatan lama yang cenderung paternalistik atau feodal dalam

111 Nizar Ali, Sumedi Ontologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN Suka dan Ide
Press, 2010), hal. 148.
112 Mujamil Qomar, Op.Cit., hal. 82.
113 Ibid., hal. 86.

Psikologi Manajemen | 117


kepemimpinan, menjadikan lembaga pendidikan Islam jauh terting­
gal dari lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Bicara urgensi kepemimpinan, dalam Islam keharusan adanya
pemimpin/Khalifah dalam suatu komunitas masyarakat merupakan
hal wajib. Kepemimpinan merupakan sebuah proses mengarahkan
dan mempengaruhi aktivitas anggota kelompok yang berkaitan
dengan tugasnya.114
Dengan demikian, kata pengaruh menjadikan seorang pemim­
pin tidak dapat dilepaskan dari power dan upaya menggunakan
power-nya untuk memberikan pengaruh pada orang lain. Hal ini
sejalan dengan pandangan Sharplin (1985) bahwa kekuasaan (power)
dan pengaruh (influence) merupakan kebutuhan primer manusia.115
Menurut pendapat Yukl terdapat empat pendekatan dalam
mempelajari kepemimpinan, yaitu; (1) pendekatan power-pengaruh,
(2) pendekatan sifat, (3) pendekatan perilaku, dan (4) pendekatan
situasional.116
Keempat pendekatan tersebut, dapat menggambarkan bagai­
mana cara seorang pemimpin menggunakan legitimasinya untuk
mempengaruhi orang lain. Kecenderungan pemilihan pendekatan
akan sangat menentukan tingkat keefektifan power dan pengaruh
yang dimiliki seorang pemimpin dalam menggerakkan anggotanya.
Setiap pendekatan memiliki efektifitasnya masing-masing, namun
dalam kajian ini dititikberatkan pada konsep kepemimpinan efektif
yang dapat dipelajari oleh setiap manajer maupun setiap orang yang
dihadapkan pada tugas kepemimpinan.
Efektivitas kepemimpinan dalam pengembangan kelembagaan
Pendidikan Islam perlu mengedepankan konsep berfikir strategis
serta langkah-langkah strategis dalam melakukan perencanaan
pengembangan. Setiap pemimpin lembaga pendidikan perlu

114 A.R Effendi, Dasar-dasar Manajemen Pendidikan, (Malang: PPS UM, 2002), hal.
12.
115 Arthur Sharplin, Strategic Management. (USA: McGraw-Hill, Inc, 1985), hal. 41
116 Sonhadji, Bahan-bahan Kuliah Manajemen Strategik, (Malang: PPS UM, 2003), hal.
5.

118 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


me­ma­hami bagaimana melakukan perencanaan strategis guna
pengembangan lembaga serta menjawab tantangan yang ada.
Menurut Peter Senge, berpikir secara strategis berangkat
dari refleksi atas inti utama yang terdapat dalam suatu persoalan
yang ditangani dan tantangan-tantangan utama yang dihadapi.
Dengan demikian, berpikir secara strategis lebih berupa proses
untuk memahami dua hal pokok yang saling terkait: yaitu fokus
dan kesadaran atas waktu (timing). Dalam hal ini, Fokus lebih
mengacu pada kemampuan kita dalam menempatkan perhatian
kita. Sedangkan, Kesadaran waktu (timing) mengacu pada
pemahaman akan dinamika perubahan yang sangat erat kaitannya
dengan panjang-pendeknya waktu yang dibutuhkan untuk suatu
perubahan.117
Berpikir strategis sangat erat kaitannya dengan kesediaan
untuk melatih diri membiasakan melihat persoalan dari berbagai
sudut pandang. Kemampuan berpikir strategis pun tercermin
dalam mengangkat beragam dilema yang mendasar, baik dalam
kehidupan individual maupun organisasional. Dilema ini selalu
menunjukkan adanya konflik atas pilihan mana yang mesti
diambil antara dua alternatif yang tampaknya sama-sama menarik.
Kemampuan berpikir strategis mengangkat beragam dilema seperti
ini kepermukaan, dan memakainya sebagai katalisasi atas imaginasi
dan inovasi yang bisa ditawarkan untuk mengusung perubahan.
Perubahan dalam makna pengembangan pada dunia pen­
didikan, merupakan bagian dari konsep perencanaan. Dimana, peren­
canaan pendidikan merupakan proses perkiraan dan penentuan
secara matang hal-hal yang akan dikerjakan dalam pendidikan
untuk masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan.
Secara substansial perencanaan pendidikan mengandung tiga hal,
yaitu; (1) tujuan pendidikan, (2) perhitungan atau pengembangan
kebijakan, dan (3) pelaksanaan rencana pendidikan.118
117 Markus Budiharjo, Berpikir Strategis? Apa itu?. http://edukasi. kompasiana.com,
diakses pada tanggal 19 Mei 2017.
118 Hikmat, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal. 102.

Psikologi Manajemen | 119


Berfikir strategis tidak dapat lepas dari berencana strategis,
dalam artian memformulasikan strategi pengembangan. Menurut
Imam Suprayogo (1999) dalam mengembangkan kualitas lembaga
pendidikan setidaknya ada dua sisi yang harus dipenuhi sekaligus:
pertama, perhatian terhadap daya dukung, meliputi ketenagaan,
kurikulum, sarana dan prasarana, pendanaan dan manajemen yang
tangguh; kedua, harus ada cita-cita, etos, dan semangat yang tinggi
dari semua pihak yang terlibat di dalamnya.119
Untuk dapat mengimplementasikan manajemen strategis di
lembaga pendidikan Islam, seorang leader perlu berpikir strategis
dalam menciptakan formula strategi merepresentasi dua sisi penting
lembaga tersebut.
Pada dasarnya, formulasi strategi dan implementasi strategi
merupakan dua unsur pokok dalam manajemen strategik. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Sharplin bahwa manajemen
strategik merupakan proses formulasi dan implementasi rencana
dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hal-hal vital,
persuasif, dan berkesinambungan bagi suatu organisasi. Maka,
faktor-faktor lingkungan eksternal maupun internal organisasi
sangat diperhitungkan dalam memformulasi strategi organisasi.
Formulasi strategi merupakan perencanaan (planning) yang
sering disebut dengan istilah perencanaan stratejik (strategic
planning). Strategi adalah rencana yang menyangkut hal-hal vital,
dan/ atau secara terus-menerus penting dalam organisasi. Bisanya,
perencanaan ini bersifat luas dan jangka panjang. Formulasi strategi,
dalam hal ini yang merupakan kerangka berfikir strategis dalam
pengembangan pendidikan, memiliki lima langkah pokok, yaitu;
(1) perumusan misi (mission determination), (2) asessmen lingkungan
(environmental assesment), (3) asesmen organisasi (organizational
assesment), (4) perumusan tujuan (objective setting), dan (5) penentuan
strategi (strategy setting).120

119 Imam Suprayogo, Op.Cit., hal. 73.


120 Arthur Sharplin, Op.Cit., hal. 49.

120 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


Pertama, perumusan misi, yaitu deskripsi tentang apa yang
hendak dicapai dan untuk siapa. Misi berkaitan erat dengan tujuan,
jenis produk (service), teknologi dan customer (pasar). Formulasi
misi didasarkan atas beberapa unsur, antara lain; customer (pasar),
produk (jasa), wilayah geografis, teknologi, kepedulian terhadap
kelangsungan hidup (survival), filsafat, konsep diri, dan kepedulian
image publik.
Kedua, asesmen lingkungan, terdiri dari dua unsur yaitu asesmen
lingkungan eksternal dan asesmen lingkungan internal (asesmen
organisasi). Asesmen lingkungan eksternal meliputi identifikasi dan
evaluasi aspek-aspek sosial (soscial faced), budaya, politis, ekonomi
dan teknologi, serta kecenderungan yang mungkin berpengaruh
pada organisasi dan misinya. Hasil dari asesmen lingkungan
eksternal adalah sejumlah peluang yang harus dimanfaatkan oleh
organisasi (opportunities) dan ancaman besar yang harus dicegah
(threats).
Sedangkan asesmen lingkungan internal (organisasi), terdiri
dari penentuan persepsi yang realistis atas segala kekuatan (strengths)
dan kelemahan (weaknesses) organisasi. Analisis lingkungan internal
dan eksternal sering disebut dengan istilah analisis SWOT.121
Ketiga, perumusan tujuan, dalam merumuskan terdapat dua
karakteristik pokok untuk tujuan yang efektif, yaitu; (1) tujuan
harus menantang (challenging) tetapi dapat dicapai(attainable), (2)
tujuan harus spesifik, lebih bersifat kuantitatif dan dapat diukur.122
Keempat, penentuan strategi, ketika tujuan telah dirumuskan
atau arah telah ditentukan, strategi atau rencana untuk mencapai
tujuan harus dibuat. Banyak organisasi yang merumuskan strategi
atau rencana terbatas pada pembiayaan. Padahal strategi harus
mencakup semua aspek penting organisasi. Langkah dalam meru­
muskan strategi dapat didasarkan pada hasil analisis lingkungan
(SWOT), yaitu dengan membentuk empat strategi, yaitu; (1) strategi
121 Glenn Boseman and Arvind Phatak, Strategic Management: Text and Cases, (New
York: John Wiley & Sons, Inc. 1989), hal. 23.
122 Arthur Sharplin,Op.Cit.

Psikologi Manajemen | 121


SO (menggunakan kekuatan dan memanfaatkan peluang), (2)
strategi WO (memperbaiki kelemahan dan mengambil manfaat dari
peluang), (3) strategi ST (menggunakan kekuatan dan menghindari
ancaman), dan (4) Strategi WT (mengatasi kelemahan dan meng­
hindari ancaman).123
Dengan demikian, berpikir strategis dan berencana strategis
merupakan langkah awal menuju pengembangan lembaga pendi­
dikan yang labih baik dan terukur. Karena tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam menerapkan konsep perencanaan strategik tentu ada
berbagai faktor penghambat, yaitu sebagai berikut:
1. kurangnya pemahaman tentang konsep perencanaan strategik;
pemahaman perencanaan strategik dirancukan dengan peren­
canaan jangka panjang;
2. rendahnya komitmen pimpinan untuk meraih keberhasilan di
masa yang akan datang; manajemen cenderung dijalankan atas
dasar rutinitas dalam prosedur dan teknik yang telah menjadi
kebiasaan;
3. rendahnya kesadaran untuk melihat kelemahan internal orga­
nisasi dan ancaman yang berasal dari luar organisasi;
4. rendahnya partisipasi para pendidik dan tenaga pendidikan
dalam proses pengambilan keputusan;
5. terbatasnya sumber daya material dan finansial untuk mendu­
kung beroperasinya perencanaan strategik.
Dengan demikian, berfikir strategis dalam pengembangan
lembaga pendidikan Islam, adalah sebuah proses formulasi rencana
dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hal-hal vital,
persuasif, dan berkesinambungan. Langkah-langkah yang harus
ditempuh diantaranya; merumuskan misi lembaga, melakukan
asessmen lingkungan internal maupun eksternal lembaga, meru­
muskan tujuan lembaga, dan menentukan/memilih strategi yang
sesuai dengan kondisi.
Pengembangan lembaga pendidikan Islam melalui langkah-
langkah berfikir serta berencana secara strategis menjadikan arah
123 Sonhadji, Op.Cit., hal. 4.

122 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


dan tujuan (visi dan misi) dapat tercapai secara sistematis. Selain itu
upaya pencapaian target kelembagaan dapat dikontrol sedemikian
rupa sehingga persoalan-persoalan atau problem-problem peng­
hambat perkembangan dapat disikapi serta diselesaikan dengan
cepat dan tepat sasaran.

Psikologi Manajemen | 123


124 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghani Abdullah, dkk, (2010). Gaya-Gaya Kepemimpinan Dalam


Pendidikan, Selangor: PTS Professional, Publishing, Sdn,Bhd.
Aceng Rahmat, (2011). Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta; Kencana.
Ace Suryadi dan H.A.R. Tildar, (1993). Analisis Kebijakan Pendidikan:
Statu Pengantar, Bandung: Rosdakarya.
Ahmad Tafsir, (2009). Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Amsal Bakhtiar, (2004). Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Andrea Luxton, (2005). Strategic Planning in Higher Education. USA:
GCDE.
Anonim, (2010). Innovative Workplaces,: Making Better Use of Skills
Within Organizations. Paris: OECD Publishing.
A.R Effendi, (2002). Dasar-dasar Manajemen Pendidikan. Malang: PPS
UM.
Arthur Sharplin, (1985). Strategic Management. USA: McGraw-Hill,
Inc.
Bhojaraju G, (2005). ”Knowledge Management:Why do We Need It for
Corporates”, Malaysian Journal of Library & Information Science,
Vol. 10, No.2.
Brent Davies (ed), (2005). The Essentials of School Leadership. London:
Sage Publications, Ltd.
Burhanuddin Salam, (2001). Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta; Rineka Cipta.
Chester I, Barnard, (1968). The Functions of the Executive Cambridge,

Psikologi Manajemen | 125


Mass: Harvard University Press.
Christopher F. Achua dan Robert N. Lussier, (2010). Effective
Leadership. USA: Cengage.
Damian Hine, (2006). Innovation and Entrepreneurship in Biotechnology,
An International Perspective. UK: Edward Elgar Publishing
Limited.
Edgar H. Scherin, (2004). Organizational Culture and Leadership. San
Francisco, California: Jossey Bass, Third Edition.
Edward SalliS, (2012). Total Quality Management in Education:
Manajemen Mutu Pendidikan. Jogjakarta: IRCiSoD, CET. XVI.
Edwin A. Locke, terj., (1997). Esensi Kepemimpinan. Jakarta: Spektrum.
Fred C. Lunenburg dan Allan C. Ornstein, (2000). Educational
Administration: Concepts and Practices. USA: Wadsworth/
Thomson Learning.
George H. Litwin dan Robert A. Stringer, Jr., (1968). Motivation and
Organization Climate. Boston: Harvard University.
Glenn Boseman and Arvind Phatak, (1989). Strategic Management:
Text and Cases. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Hikmat, (2009). Manajemen Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Hujair A. H. Sanaky, (2008). Permasalahan dan Penataan Pendidikan
Islam Menuju Pendidikan yang Bermutu. El-Tarbawy Jurnal
Pendidikan Islam, No.1 Vol.1.
Husaini Usman, (2008). Manajemen; Teori Praktik dan Riset Pendidikan
. Jakarta: Bumi Aksara.
Imam Suprayogo, (1999). Reformasi Visi Pendidikan Islam. Malang:
STAIN Press.
Indar, H.M. Djumberansyah, (1990). Perencanaan Pendidikan. Malang.
Irham Fahmi, (2011). Manajemen: Teori, Kasus, dan Solusi. Bandung:
Alfabeta.
James Fenimore Cooper and John Nirenberg, (2012). “Leadership
Effectiveness” Encyclopedia of Leadership. Ed.. Thousand Oaks,

126 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


(CA: SAGE, 2004), hal.845-854 dalam SAGEReference Online.
James Lewis Jr, (1983). Long-range and Short Range Planning for
Education. USA: Allyn and Bacon, Inc.
James W. Vander Zanden, (1990). Sociology the Core. USA, McGraw
Hill, Inc.
Jujun S. Suriasumantri. (2003). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Juliadi, Keputusan dan Pengambilan Keputusan dalam http://juliadi.
wikispaces. com/
Kasful Anwar, (2011). Kepemimpinan Pesantren: Menawarkan
Model Kepemimpinan Kolektif dan Responsif. Jambi: STS
Press.
Kenneth A. Potocki dan Richard C. Brocato, A System of Management
for Organizational Improvement dalam techdigest.jhuapl.edu/td/
td1604/ Potocki. pdf
Koentjaraningrat, (1982). Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara
Baru.
Lias Hasibuan, (2004). Melejitkan Mutu Pendidikan: Refleksi, Relevansi,
dan Rekonstruksi Kurikulum. Jambi: Sapa Project.
Lorens Bagus, (1991). Metafisika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Made Pidarta, (1988). Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bina
Aksara.
Marc Schabracq, (2007). Changing Organizational Culture, England:
John Wiley & Sons Ltd. The Atrium, Southern Gate, Chichester,
West Sussex PO19 8SQ.
Markus Budiharjo, Berpikir Strategis? Apa itu?. http://edukasi.
kompasiana.com,
Minarti, Sri, (2012). Manajemen Sekolah; Mengelola Pendidikan Secara
Mandiri, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011, Cet ke-1, hal.350.
pendapat ini juga dikutip Jamal Ma’mur Asmani dalam
bukunya, Tips Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Jogjakarta:

Psikologi Manajemen | 127


Diva Press.
Mohammad Asrori, (2008). Dinamika Pendidikan Islam Indonesia
(Kajian Historis dari Tradisional Menuju Kontemporer). JurnaI
“eI-Harakah” Vol. to, No.1 Januari-April 2008 UIN Malang.
M.R. Louis, (1980). Organizations as Culture Bearing Milieux dalam
Louis Pondy et.al (eds.), Organizational Syimbolism, Greenwich,
Conn : JAI.
Muhaimin, Suti’ah, dan Sugeng L.P, (2009). “Manajemen Pendidikan”
Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/
Madrasah. Jakarta: Prenada Media Group.
Muhammad Adib, (2010). Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mujamil Qomar, (2007). Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru
Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
Muntaha Azhari dan Abd. Mun’im Saleh (Ed.), (1989). Islam Indonesia
Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M.
Murray E. Jennex, (2005). Case Studies in Knowledge Management,
USA: Idea Group Publishing (an imprint of Idea Group Inc.).
Naceur Jabnoun, Islam and Management, (2008). Saudi Arabia:
International Islamic Publishing House.
Nanang Fattah, (1996). Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Neal M. Ashkanasy, et al, (Eds), (2000). Handbook of Organizational
Culture and Climate, USA: Sage Publication, Inc.
Oemar Hamalik, (1993). Psikologi Manajemen (Penuntun Bagi
Pemimpin). Bandung: Trigenda Karya.
Peter H. Gray, (2000). A Problem Solving Perspective on Knowledge
Management Practices. Kanada: Queen’s University at Kingston.
Purwanto, (2009). Evaluasi Hasil Belajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robert G. Owens, (1970). Organizational Behavior in Schools United

128 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


States of America: Prentice-Hall, Inc.
Robiah Sidin, (2003). Teori Pentadbiran Pendidikan, Selangor Darul
Ehsan: Percetakan Asni SDN, Bhd.
Roland Barth, (1990). Improving School from Within. San Fransisco-
Jossey Bass.
Ryan Fujiwara, Pengambilan Keputusan, dalam http://www.scribd.
com/ doc/47251522/ KWU
Satria Baja Hikam, Pengambilan Keputusan dalam Manajemen, dalam
http://satriabajahikam.blogspot.com/2012/02/ pengambilan-
keputusan-dalam-manajemen.html
Sonhadji, (2003). Bahan-bahan Kuliah Manajemen Strategik. Malang:
PPS UM.
Stephen P. Robbins dan Mary Coulter, (2009). Manajemen. Jakarta:
PT. Indeks.
Sukarjo, M, Ukim Komarudin, (2009), Landasan Pendidikan Konsep
dan Aplikasinya.. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sumadi Suryabrata, (1998). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sumedi Nizar Ali, (2010). Ontologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: UIN
Suka dan Ide Press.
Suryadharma Ali, (2013). Mengawal Tradisi Meraih Prestasi: Inovasi
dan Aksi Pendidikan Islam. Malang: UIN Maliki Press.
Syafaruddin, (2010). Kepemimpinan Pendidikan: Akuntabilitas Pimpinan
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Ciputat: Quantum
Teaching-Ciputat Press Group.
T. Hani Handoko, (2009). Manajemen. Yogyakarta: BPFE.
T. Jacob, (1993). Manusia, Ilmu, dan Teknologi. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Tanri Abeng, (2007). Profesi Manajemen. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Thomas J. Sergiovanni dan Robert J. Starratt, Supervision: A

Psikologi Manajemen | 129


Redefinition, Boston College
Tony Bush, (2003). Theories Educational Leadership and Management 3rd
edition. London: Sage Publication.
_______ dan David Middlewood, (2005). Leading and Managing People
in Education, California: Sagu Publication Limited.
Udin Saefudin Sa’ud, (2013). Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Veithzal Rivai, dan Deddy Mulyadi, (2012). Kepemimpinan dan
Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Vienna Yunistia, Definisi Pengambilan Keputusan Menurut Para Ahli
dalam http://www.scribd.com/doc/52282565/
Vishalache Balakrishnan, (2009). Moral Education for Universities and
Colleges. Selangor Darul Ehsan: Arah Pendidikan Sdn, Bhd.
Walter Baets, (2005). Knowledge Management dan Management Learning:
Extending the Horizons of Knowledge Based Management. New
York: Springer Science Business Media, Inc.
W.J. Reddin, (1970). Managerial Effectiveness. New York: McGraw-
Hill.

130 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I


CURRICULUM VITAE

Dr. Rusmini, S.Ag, M.Pd.I dilahirkan pada tanggal 6 Juni 1978 di


Jambi dari pasangan Ahmad Syafe’i (alm) dan Sumartini (almh).
Istri dari Samsu, S.Ag, M.Pd.I., Ph.D., dan saat ini dikaruniai empat
orang anak, yaitu Nisa Munawwarah, Ahmad Sani Munawwir
(alm), Aisyah Mahmudah, dan Rahmah Mubarokah.

Riwayat Pendidikan
Memperoleh gelar Doktor (Dr.) dari Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, dengan predikat
Cumlaude. Gelar Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I) dari Program
Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Konsentrasi
Manajemen Pendidikan Islam pada tahun 2003, dengan predikat
Cumlaude. Gelar Sarjana Agama (S.Ag) dari Fakultas Tarbiyah IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi pada tahun 1999 dengan predikat
Cumlaude. Menamatkan Madrasah Aliyah Mahdaliyah pada tahun
1995 di Jambi, Madrasah Tsanawiyah Mahdaliyah pada tahun 1992
di Jambi, dan Sekolah Dasar Negeri No.63/IV Jambi pada tahun
1989.

Karya Ilmiah
Buku yang telah diterbitkan yaitu: 1) Pengajaran Remedial:
Teori dan Peranannya dalam Pembelajaran (2001), 2) Sekolah Berprestasi
(2001), 3) Pendidikan Anak Bangsa: Pendidikan Untuk Semua (2002),
4) Penghapusan KDRT untuk Mencapai Keluarga Sakinah (2007),
dan 5) Kepuasan Kerja Guru (2017). Menjadi editor buku: 1) Desain

Psikologi Manajemen | 131


Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (2003), dan 2) Manajemen dan
Kepemimpinan Pendidikan (2014).
Pada tahun 2017, telah memperoleh Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI) dengan karya tulis berjudul: 1) The Influence of
Principal’s Leadership Styles on School Innovation in Jambi (Case Study in
Several Senior High Schools in Jambi), dan 2) Rekonstruksi Kurikulum
Manajemen Pendidikan Islam : Merancang Keunggulan Berbasis
Stakeholder.

Pengalaman Kerja
Karir akademisnya dimulai dengan mengajar pada Madrasah
Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Mahdaliyah (1995-1999), Madra­
sah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Nurul Falah Jambi (1999-
2003), Dosen Luar Biasa pada IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi (2001-2005), dan Guru Kontrak pada SMP Negeri 16 Kota
Jambi (2003-2005). Pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris pada
Kopertais Wilayah XIII IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi (2008-
2015).
Saat ini penulis merupakan dosen tetap (Lektor Kepala) pada
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi pada jurusan Manajemen Pen­
didikan Islam, dan saat ini diberi amanah sebagai Ketua Jurusan
Manajemen Pendidikan Islam (periode tahun 2016-2019). Saat ini
juga aktif sebagai Pengurus Asosiasi Program Studi Manajemen
Pendidikan Islam se-Indonesia periode tahun 2017-2019.

132 | Dr. Rusmini, S.Ag., M.Pd.I

Anda mungkin juga menyukai