Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

BUYA HAMKA

DOSEN PEMBIMBING
SANTI HENDAYANI, M. Pd
Mata Kuliah : Konsep Dasar IPS SD

DI SUSUN OLEH

NAMA : ADIS SEFHIRA


NPM : 2022406405119
KELAS :1C

FAKULTAS: KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PRODI: PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamuàlaikum. Wr. Wb.


Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rezeki dan kesehatan kepada penulis, sehingga penulis mempunyai
kesempatan untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang dibuat untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Buya Hamka
Kami menyadari dan meyakini bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang kami sadari atau pun
yang tidak kami sadari. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
makalah ini, agar di masa yang akan datang kami bisa membuat makalah yang
lebih baik lagi.
Namun begitu, meskipun makalah ini jauh dari kata sempurna kami
berharap agar makalah ini sedikit banyaknya dapat bermanfaat bagi yang
membacanya. Demikian sedikit kata pengantar dari penulis atas perhatian para
pembaca sekalian kami mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr Wb

Pringsewu, Mei 2023


Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1


A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2


A. Biografi Buya Hamka................................................................................ 2
B. Keistimewaan dan keteladanan Buya Hamka............................................ 3
C. Peran Buya Hamka saat menjadi Pengurus Muhammadiyah di Makasar. 4
D. Peran Buya Hamka dalam perjuangan kemerdekaan indonesia................ 10
E. Hasil Karya Buya Hamka ketika sebagai sastrawan dan penulis.............. 14
F. Kumpulan Pesan-Pesan Buya Hamka....................................................... 16

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 20


A. Kesimpulan ............................................................................................... 20

B. Saran ......................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pandangan Hamka tentang pendidikan adalah bahwa pendidikan


sebagai sarana yang dapat menunjang dan menimbulkan serta menjadi dasar
bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam berbagai ilmu
pengetahuan. Pendidikan tersebut tergabung dalam dua prinsip yang saling
mendukung, yaitu prinsip keberanian dan kemerdekaan berfikir. Bagi Hamka,
ilmu yang tidak diikuti dengan amal dan perbuatan tidak berguna bagi
kehidupan. Ilmu pengetahuan mesti diamalkan, bukan hanya untuk dipelajari
saja.
Sejak kecil, Hamka menerima dasar – dasar agama dan membaca
Al – Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada
tahun 1914, ia dibawa ayahnya ke Padang panjang. Pada usia 7 tahun, ia
kemudian dimasukkan ke sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3
tahun, karena kenakalannya ia dikeluarkan dari sekolah. Pengetahuan
agama, banyak ia peroleh dengan belajar sendiri (otodidak). Tidak hanya
ilmu agama, Hamka juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik
Islam maupun Barat.
Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan
mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ditempat itulah
Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa Arab.
Sumatera Thawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang
mengusahakan dan memajukan macam – macam pengetahuan berkaitan
dengan Islam yang membawa kebaikan dan kemajuan di dunia dan akhirat.
Awalnya, Sumatera Thawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan
murid – murid atau pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang
Panjang dan Surau Parabek Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun dalam
perkembangannya, Sumatera Thawalib langsung bergerak dalam bidang

1
pendidikan dengan mendirikan sekolah dan perguruan yang mengubah
pengajian surau menjadi sekolah berkelas.1
Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi.
Pada usia 8-15 tahun, ia mulai belajar agama di sekolah Diniyyah School
dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan Parabek. Diantara gurunya
adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, Sutan
Marajo dan Zainuddin Labay el-Yunusy. Keadaan Padang Panjang pada
saat itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan
ayahnya sendiri. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat
tradisional dengan menggunakan sistem halaqah. Pada tahun 1916, sistem
klasikal baru diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Hanya
saja, pada saat itu sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki
bangku, meja, kapur dan papan tulis. Materi pendidikan masih berorientasi
pada pengajian kitab-kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan,
fiqh dan yang sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan
menekankan pada aspek hafalan. Pada waktu itu, sistem hafalan
merupakan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan pendidikan.
Buya Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki
pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Keterlibatan Hamka di berbagai
aspek keilmuan menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang cerdas, penuh
inspiratif dan masih banyak hal lain yang dapat kita adopsi untuk mencetak
generasi-generasi masa depan seperti Hamka.

B. Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan :
1. Biografi Buya Hamka
2. Keistimewaan dan keteladanan Buya Hamka
3. Peran Buya Hamka saat menjadi Pengurus Muhammadiyah di Makasar
4. Peran Buya Hamka dalam perjuangan kemerdekaan indonesia
5. Hasil Karya Buya Hamka ketika sebagai sastrawan dan penulis
6. Kumpulan Pesan-Pesan Buya Hamka
1 Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hlm 53.

2
C. Tujuan
Mengetahui tentang :
1. Biografi Buya Hamka
2. Keistimewaan dan keteladanan Buya Hamka
3. Peran Buya Hamka saat menjadi Pengurus Muhammadiyah di Makasar
4. Peran Buya Hamka dalam perjuangan kemerdekaan indonesia
5. Hasil Karya Buya Hamka ketika sebagai sastrawan dan penulis
6. Kumpulan Pesan-Pesan Buya Hamka

BAB II

3
PEMBAHASAN

A. Biografi Buya Hamka


Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa dikenal dengan
sebutan buya Hamka, lahir di Sungai Batang, Maninjau Sumatera Barat
pada hari Ahad, tanggal 17 Februari 1908 M./13 Muharam 1326 H. dari
kalangan keluarga yang taat agama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim
Amrullah atau sering disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amarullah
bin Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama
yang pernah mendalami agama di Mekkah, serta menjadi pelopor
kebangkitan kaum muda dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau,
sedangkan ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w.
1934). Dari geneologis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal dari
keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi
pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad
XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut
sistem matrilineal. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal
dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.
Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan menulis huruf Arab
dan latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah mempelajari dengan
membaca kitab – kitab Arab klasik dengan standar buku – buku pelajaran
sekolah agama rendah di Mesir. Pendekatan pelaksanaan pendidikan
tersebut tidak diiringi dengan belajar menulis secara maksimal. Akibatnya
banyak diantara teman – teman Hamka yang fasih membaca kitab, akan
tetapi tidak bisa menulis dengan baik. Meskipun tidak puas dengan sistem
pendidikan waktu itu, namun ia tetap mengikutinya dengan seksama. Di
antara metode yang digunakan guru – gurunya, hanya metode pendidikan
yang digunakan Engku Zainuddin Labay el-Yunusy yang menarik hatinya.
Pendekatan yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar
(transfer of knowledge), akan tetapi juga melakukan proses mendidik
(transformation of value). Melalui Diniyyah School Padang Panjang yang
didirikannya, ia telah memperkenalkan bentuk lembaga pendidikan Islam

4
modern dengan menyusun kurikulum pendidikan yang lebih sistematis,
memperkenalkan sistem pendidikan klasikal dengan menyediakan kursi
dan bangku tempat duduk siswa, menggunakan buku – buku di luar kitab
standar, serta memberikan ilmu – ilmu umum seperti, bahasa, matematika,
sejarah dan ilmu bumi.
Rajin membaca membuat Hamka semakin kurang puas dengan
pelaksanaan pendidikan yang ada. Kegelisahan intelektual yang
dialaminya itu telah menyebabkan ia berhasrat untuk merantau guna
menambah wawasannya. Oleh karenanya, di usia yang sangat muda
Hamka sudah mengembara. Tatkala usianya masih 16 tahun, tepatnya pada
tahun 1924, ia sudah meninggalkan Minangkabau menuju Jawa, yaitu
Yogyakarta. Ia tinggal bersama pamannya, Ja’far Amrullah. Di sini
Hamka belajar dengan Ki Bagus Hadikusumo, R.M. Suryopranoto, H.
Fachruddin, HOS. Tjokroaminoto, Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan
Bandung, Muhammad Natsir, dan AR. St. Mansur. Di Yogyakarta,
Hamka mulai mengenal Serikat Islam (SI). Ide – ide pergerakan ini banyak
memengaruhi pembentukan pemikiran Hamka tentang Islam sebagai
sesuatu yang hidup dan dinamis. Hamka mulai melihat perbedaan yang
demikian nyata antara Islam yang hidup di Minangkabau, yang terkesan
statis, dengan Islam yang hidup di Yogyakarta, yang bersifat dinamis. Di
sinilah mulai berkembang dinamika pemikiran keislaman Hamka.
Perjalanan ilmiahnya dilanjutkan ke Pekalongan, dan belajar dengan
iparnya, AR. St. Mansur, seorang tokoh Muhammadiyah. Hamka banyak
belajar tentang Islam dan juga politik. Di sini pula Hamka mulai mengenal
ide pembaruan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
yang berupaya mendobrak kebekuan umat. Rihlah Ilmiah yang dilakukan
Hamka ke pulau Pulau Jawa selama kurang lebih setahun ini sudah cukup
mewarnai wawasannya tentang dinamika dan universalitas Islam. Dengan
bekal tersebut, Hamka kembali pulang ke Maninjau (pada tahun 1925)
dengan membawa semangat baru tentang Islam. Ia kembali ke Sumatera
Barat bersama AR. St. Mansur. Di tempat tersebut, AR. St. Mansur

5
menjadi mubaligh dan penyebar Muhammadiyah, sejak saat itu Hamka
menjadi pengiringnya dalam setiap kegiatan kemuhammadiyahan.2
Berbekal pengetahuan yang telah diperolehnya, dan dengan
maksud ingin memperkenalkan semangat modernis tentang wawasan
Islam, ia pun membuka kursus pidato di Padang Panjang. Hasil kumpulan
pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib Al-
Ummah. Selain itu, Hamka banyak menulis pada majalah Seruan Islam,
dan menjadi koresponden di harian Pelita Andalas. Hamka juga diminta
untuk membantu pada harian Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah di
Yogyakarta. Berkat kepiawaian Hamka dalam menulis, akhirnya ia
diangkat sebagai pemimpin majalah Kemajuan Zaman.
Dua tahun setelah kembalinya dari Jawa (1927), Hamka pergi ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan ibadah haji itu ia
manfaatkan untuk memperluas pergaulan dan bekerja. Selama enam bulan
ia bekerja di bidang percetakan di Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah, ia
tidak langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan
untuk beberapa waktu lamanya. Di Medan inilah peran Hamka sebagai
intelektual mulai terbentuk. Menurut putranya, Rusydi Hamka Medan
adalah sebuah kota yang penuh kenangan. Dari kota ini ayahnya mulai
melangkahkan kakinya menjadi seorang pengarang yang melahirkan
sejumlah novel dan buku – buku agama, falsafah, tasawuf, dan lain – lain.
Di sini pula ia memperoleh kesuksesan sebagai wartawan dengan
Pedoman Masyarakat. Tapi di sini pula, ia mengalami kejatuhan yang
amat menyakitkan, hingga bekas – bekas luka yang membuat ia
meninggalkan kota ini menjadi salah satu pupuk yang menumbuhkan
pribadinya. Di Medan ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub dan
Muhammad Rasami, bekas sekretaris Muhammdiyah Bengkalis untuk
memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Meskipun
mendapatkan banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran
majalah ini berkembang cukup pesat, bahkan oplahnya mencapai 4000
eksemplar setiap penerbitannya. Namun ketika Jepang datang, kondisinya
2 Rusydi Hamka, Pribadi Dan Martabat Buya Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm 2.

6
menjadi berbeda. Pedoman Masyarakat dibredel, aktifitas masyarakat
diawasi, dan bendera merah putih dilarang dikibarkan. Kebijakan Jepang
yang merugikan tersebut tidak membuat perhatiannya untuk mencerdaskan
bangsa luntur, terutama melalui dunia jurnalistik. Pada masa pendudukan
Jepang, ia masih sempat menerbitkan majalah Semangat Islam. Namun
kehadiran majalah ini tidak bisa menggantikan kedudukan majalah
Pedoman Masyarakat yang telah melekat di hati rakyat. Di tengah – tengah
kekecewaan massa terhadap kebijakan Jepang, ia memperoleh kedudukan
istimewa dari pemerintah Jepang sebagai anggota Syu Sangi Kai atau
Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1944. Sikap kompromistis dan
kedudukannya sebagai “anak emas” Jepang telah menyebabkan Hamka
terkucil, dibenci dan dipandang sinis oleh masyarakat. Kondisi yang tidak
menguntungkan ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke
Padang Panjang pada tahun 1945.
Seolah tidak puas dengan berbagai upaya pembaharuan pendidikan
yang telah dilakukannya di Minangkabau, ia mendirikan sekolah dengan
nama Tabligh School. Sekolah ini didirikan untuk mencetak mubaligh
Islam dengan lama pendidikan dua tahun. Akan tetapi, sekolah ini tidak
bertahan lama karena masalah operasional, Hamka ditugaskan oleh
Muhammadiyyah ke Sulawesi Selatan. Dan baru pada kongres
Muhammadiyah ke-11 yang digelar di Maninjau, maka diputuskan untuk
melanjutkan sekolah Tabligh School ini dengan mengganti nama menjadi
Kulliyyatul Muballighin dengan lama belajar tiga tahun. Tujuan lembaga
ini pun tidak jauh berbeda dengan Tabligh School, yaitu menyiapkan
mubaligh yang sanggup melaksanakan dakwah dan menjadi khatib,
mempersiapkan guru sekolah menengah tingkat Tsanawiyyah, serta
membentuk kader – kader pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan
masyarakat pada umumnya.
Hamka merupakan koresponden di banyak majalah dan seorang
yang amat produktif dalam berkarya. Hal ini sesuai dengan penilaian
Andries Teew, seorang guru besar Universitas Leiden dalam bukunya
yang berjudul Modern Indonesian Literature I. Menurutnya, sebagai

7
pengarang, Hamka adalah penulis yang paling banyak tulisannya, yaitu
tulisan yang bernafaskan Islam berbentuk sastra. Untuk menghargai jasa –
jasanya dalam penyiaran Islam dengan bahasa Indonesia yang indah itu,
maka pada permulaan tahun 1959 Majelis Tinggi University al – Azhar
Kairo memberikan gelar Ustaziyah Fakhiriyah (Doctor Honoris Causa)
kepada Hamka. Sejak saat itu ia menyandang gelar Doktor di pangkal
namanya. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar
kehormatan tersebut dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada bidang
kesusastraan, serta gelar Profesor dari universitas Prof. Dr. Moestopo.
Kesemuanya ini diperoleh berkat ketekunannya yang tanpa mengenal
putus asa untuk senantiasa memperdalam ilmu pengetahuan.3
Secara kronologis, karir Hamka yang tersirat dalam perjalanan
hidupnya adalah sebagai berikut:
1. Pada tahun 1927 Hamka memulai karirnya sebagai guru Agama di Medan
dan guru Agama di Padang Panjang.
2. Pendiri sekolah Tabligh School, yang kemudian diganti namanya menjadi
Kulliyyatul Muballighin (1934-1935). Tujuan lembaga ini adalah
menyiapkan mubaligh yang sanggup melaksanakan dakwah dan menjadi
khatib, mempersiapkan guru sekolah menengah tingkat Tsanawiyyah,
serta membentuk kader – kader pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan
masyarakat pada umumnya.
3. Ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia (1947), Konstituante
melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya
Umum (1955).
4. Koresponden beragam majalah, seperti Pelita Andalas (Medan), Seruan
Islam (Tanjung Pura), Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah
(Yogyakarta), Pemandangan dan Harian Merdeka (Jakarta).

B. Keistimewaan dan keteladanan Buya Hamka

3 Herry Mohammad, Tokoh – tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Islami,
2006), hlm 62.

8
Beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan yang cukup terkemuka di
zamannya. Pada masa itu tidak banyak ulama yang sekaligus berprofesi
sebagai sastrawan.
Akibat kesastrawanannya banyak ulama pada masa itu—terutama kalangan
tradisional—mengkritiknya karena apa yang dikerjakannya di luar kelaziman.
Beliau tidak pernah mengikuti pendidikan secara formal. Pendidikannya yang
dijalaninya adalah pendidikan di Surau di kampung halamannya, Sumatera
Barat.

Beliau mempunyai minat dan bakat yang di bidang agama dan sastra—
dibuktikan dengan melahirkan sejumlah kitab/buku di bidang agama dan
sastra—menarik perhatian beberapa lembaga pendidikan seperti Universitas
Al Azhar, Mesir, dan Universitas Kebangsaan Malaysia untuk memberikan
gelar Dr. Kehormatan (Dr. Honoris Causa). Gelar itu dilengkapi dengan
penganugerahan Prof. (guru besar) dari universitas dalam negeri.
Beliau adalah seorang ulama moderat. Pemikirannya banyak dipengaruhi
Sayid Jamaluddin al Afghani (Pakistan), Sayid Muhammad Abduh dan Sayid
Rasyid Ridha (Mesir)—yang dipengaruhi juga oleh Ibnu Taymiah, yang
beraliran rasional, mengaju kepada ajaran Salafi.
Karena itu pikirannya yang rasional itu tidak heran banyak ulama tradisional
yang kurang sejalan dengan pemikiran beliau ketika itu. Bahkan beliau
dituduh telah termakan alam pikiran Barat, tidak murni lagi keislamannya.
Sebagai seorang ilmuwan beliau menggunakan pena untuk menjawab
keraguan orang terhadap pemikiran dan pendirian beliau—sesuatu yang sulit
dilakukan ulama tradisional ketika itu. Seiring perjalanan waktu pemikiran
beliau mendapat tempat di kalangan kaum muda yang sudah mendapat
pendidikan modern.
Sebagai seorang ulama beliau teguh pendirian, apalagi bila terkait dengan
Aqidah (pokok-pokok ajaran Islam). Tetapi sangat luwes bila menyangkut
Muamalah (hubungan kemasyarakatan).

9
Beliau sangat menjaga jarak dengan penguasa. Tidak dekat, tidak pula
beroposisi. Semua itu dilakukan agar beliau tetap independen dalam bersikap
dan berfatwa.
Suatu ketika Pemerintah Orde Baru meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang beliau pimpin membuat fatwa tentang Natal Bersama. Beliau tegas
mengatakan haram hukumnya orang Islam ikut merayakan Natal Bersama itu.
Alasannya, merayakan Natal bagi orang Kristiani sama dengan merayakan
kelahiran Yesus yang dianggap Tuhan Ini bertentangan dengan aqidah Islam
yang tidak mengakui Yesus itu sebagai Tuhan, melainkan sebagai Nabi dan
Rasul Allah Swt.
Akibat fatwa tersebut hubungan beliau sebagai Ketua MUI memburuk dengan
Soeharto selaku penguasa Orde Baru. Soeharto ingin beliau mencabut fatwa
tersebut, paling tidak memperlunaknya, karena dikhawatirkan dapat memecah
belah bangsa yang sedang membangun di segala bidang kehidupan. Tentu
saja Buya Hamka tidak mau. Akhirnya beliau mengundurkan diri sebagai
Ketua MUI. Begitulah konsistennya beliau dalam mempertahankan prinsip
yang dianggapnya sebagai kebenaran yang berasal dari Allah Swt.
Sebaliknya dalam bidang Muamalah (hubungan kemasyarakatan) beliau
sangat familiar. Beliau berhubungan baik dengan tokoh-tokoh agama lain,
Katholik, Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya. Beliau sangat menghargai
perbedaan agama, menghormati kepercayaan pemeluk agama lain.
Selain itu beliau terbuka untuk berdiskusi tentang keagamaan. Itu antara lain
beliau lakukan dengan salah seorang tokoh Katholik, Pendeta Dr. Viktor I
Tandja. Hubungan keduanya sangat baik. Bahkan ketika Pendeta Dr. Viktor I
Tandja menulis disertasi tentang HMI, Buya Hamka-lah salah satu
narasumbernya.
Karena ahklaknya yang baik banyak orang yang berdatangan ke rumahnya,
dengan berbagai keperluan, mulai urusan agama, rumah tangga, ekonomi.
Tamu yang datang itu dari berbagai suku-bangsa dan agama.
Ceramah subuhnya di RRI atau di televisi sangat ditunggu-tunggu
penggemarnya. Kasetnya laris.

10
Begitu juga dengan Majalah Pandji Masyarakat, selalu ditunggu-tunggu
pembacanya.
Penggemar beliau selain menyebar di seantero Tanah Air, juga sampai ke
Semenanjung Tanah Melayu, Singapura dan Thailand Selatan.
Akibat ceramahnya yang sejuk, jauh dari hasutan, tidak sedikit kalangan non
muslim yang masuk Islam, dan beliau sendiri yang mengislamkannya. Ada
pula diantara muallaf itu yang dijadikan sebagai anak angkat. Karena merasa
nyaman berada di rumah beliau.
Ketika seseorang ingin masuk Islam beliau menyampaikan, apakah mereka
masuk Islam dipaksa atau tidak, apakah mereka tahu konsewensi setelah
masuk Islam? Bila mereka sudah mantap pendiriannya, barulah mereka di
Islamkan.
***

Dalam bidang politik beliau ikut dalam Partai Masyumi. Tetapi beliau kurang
berbakat—tepatnya tidak mau terlalu menggeluti—dunia politik. Tetapi tidak
buta politik. Tulisannya di bidang politik dapat kita baca di Majalah Pandji
Masyarakat dalam rubrik Dari Hati ke Hati yang diasuhnya. Analisanya
tulisan tajam dan mendalam.
Setelah keluar dari partai, beliau diangkat menjadi Pegawai Tinggi
Kementerian Agama, juga dosen diberbagai perguruan Tinggi Islam. Tetapi
itu pun tak lama dilakoninya. Beliau ingin bebas dalam mengekspesikan
pemikirannya. Karena beliau lebih suka menekuni dunia tulis-menulis dan
berceramah baik di dalam maupun luar negeri.
Dalam perang kemerdekaan beliau sangat aktif berjuang. Mengingat jasa-jasa
dan pengetahuannya yang mendalam di bidang agama Islam, Pemerintah
Orde Baru melalui Jendral Besar Dr. Abdul Haris Nasution, pernah
menawarkan Mayor Jendral Tituler, tetapi beliau tolak secara halus.
Demi melihat pemerintahan Orde Lama sudah mulai keluar sedikit demi
sedikit dari jalur yang seharusnya, dan meningkatnya peran Komunis, beliau
mulai mengkritik Presiden Soekarno beserta jajarannya. Akibatnya, semua itu
harus beliau bayar dengan harga mahal: beliau difitnah dan akhirnya

11
mendekam di penjara. Semua tulisan dibeslah. Akibatnya beliau menderita
secara ekonomi. Karena salah satu sumber kehidupannya adalah melalui
royalti tulisan, ataupun melalui ceramah.
Walaupun beliau terpenjara secara fisik, tetapi pikirannya justru merdeka.
Selama masa tahanan itulah beliau bisa merampungkan sebuah karya agung
yang terkenal hingga sekarang yaitu Tafsir Al Azhar, 30 Juz!
Beliau baru dibebaskan dari tahanan setelah rezim Orde Lam tumbang, dan
digantikan rezim Orde Baru.
Dari tulisannya di tafsir Al Azhar tersebut kita dapat melihat kedalaman ilmu
beliau, bukan hanya terkait ilmu agama, tetapi juga sejarah, sosiologi, filsafat,
hukum—dan tak kalah pentingnya adalah kepiawaiannya dalam menulis.
Sehingga tulisan tidak membosankan, dan terasa enak dibaca. Tulisannya
menggunakan gaya bertutur.
Salah satu kunci tulisannya itu terasa enak adalah karena kesastrawannya itu.
Beliau pernah menjelaskan pentingnya seseorang membaca karya sastra:
gunanya untuk memperhalus perasaan dan budi pekerti, katanya).

C. Peran Buya Hamka saat menjadi Pengurus Muhammadiyah di Makasar

Sosok Abdul Malik Karim Amrullah atau yang karib disapa Buya Hamka,
adalah sosok sepesial di Muhammadiyah. Buya Hamka telah menghadirkan
pemikiran dan sikap yang damai, bersamaan dengan sikap kritis dan
pemikiran maju.

Dalam pengakuan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, Buya


Hamka juga sosok yang berwibawa dan memikat. Haedar muda, kalah itu
begitu mengagumi Buya Hamka, dirinya takjub dan ingin sesering mungkin
ketemu dengan sosok ulama karismatik ini.

“Kita beruntung karena Buya Hamka mewarisi khazanah, mozaik dan karya-
karya yang begitu banyak. Termasuk karya terbesar yakni Tafsir Al Azhar,”
tutur Haedar pada Sabtu (13/3) dalam Seminar Antar Bangsa Pemikiran Buya

12
Hamka di Alam Melayu yang diadakan Institute Darul Ehsan (IDE),
Malaysia, seperti dilansir muhammadiyah.or.id.

Di Muhammadiyah, kata Haedar, pemikiran Buya Hamka selain multidimensi


juga utuh. Pemikiran Buya Hamka tentang keislaman, beliau memiliki
pemikiran yang modernis, reformis, dan maju atau dalam diksi di
Muhammadiyah disebut dengan Islam Berkemajuan.

Dalam buku Tasawuf Modern, Haedar menjelaskan, Buya Hamka bukan


hanya membahas masalah jiwa dan ruhani, tapi juga terkait dengan
kemerdekaan berpikir. Pemikiran berkemajuan yang ditampilkan Buya
Hamka dalam buku tersebut terlihat ketika dirinya mengkritik para pemuka
agama yang berpikiran jumud.

D. Peran Buya Hamka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia


Saat perang revolusi, Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Lewat
pidato, ia mengobarkan semangat para pejuang untuk merebut kedaulatan
negara. Dalam kisah perjuangannya, Hamka juga pernah ikut serta menentang
kembalinya Belanda ke Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di
Medan. Selain didorong rasa cinta pada Tanah Air yang demikian besar,
semangat perjuangan Hamka juga senantiasa berkobar tiap kali mengingat
pesan ayahnya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930
di Bukittinggi, “Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya
menuju kebenaran.”
Pasca kemerdekaan, Konferensi Muhammadiyah memilih Hamka untuk
menduduki posisi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto di tahun 1946. Lalu pada 1947, ia
menjabat sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional yang beranggotakan
Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Anggota DPA 1959-1965
Rasuna Said dan Karim Halim. Hamka juga mendapat amanat dari Wakil
Presiden Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-
1956)

13
Mohammad Hatta untuk menjabat sebagai sekretaris Front Pertahanan
Nasional.
Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
Muhammadiah. Pada tahun 1951-1960, Hamka mendapat mandat dari Lihat
Daftar Menteri
Menteri Agama Indonesia untuk duduk sebagai Pejabat Tinggi Agama.
Namun belakangan, ia lebih memilih untuk mengundurkan diri sebab pada
waktu itu Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno memintanya memilih antara menjadi pegawai negeri atau
berkiprah di dunia politik.

Pada tahun 1955, Hamka memang tercatat sebagai anggota konstituante


Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan berpidato dalam Pemilu
Raya di tahun yang sama. Meskipun pada akhirnya, partai yang didirikan di
Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta pada 7 November 1945 itu dibubarkan Proklamator, Presiden
Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Presiden Soekarno di awal tahun 1960. Pada dekade 1950-an, politik seakan
menjadi “panglima”, menyikapi kenyataan tersebut, Hamka pernah
menyampaikan pernyataannya yang melukiskan martabat sebagai pemimpin
umat, “Kursi-kursi banyak, dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi kursiku
adalah buatanku sendiri,”

E. Hasil Karya Buya Hamka ketika sebagai sastrawan dan penulis


Seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu, Hamka tercatat sebagai
penulis Islam paling prolifik dalam sejarah modern Indonesia. Karya-
karyanya mengalami cetak ulang berkali-kali dan banyak dikaji oleh peneliti
Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Tulisannya telah menghiasi berbagai
macam majalah dan surat kabar. Yunan Nasution mencatat, dalam jarak
waktu kurang lebih 57 tahun, Hamka melahirkan 84 judul buku. Minatnya
akan bahasa banyak tertuang dalam karya-karyanya. Di Bawah Lindungan
Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Merantau ke Deli yang

14
terbit di Medan melambungkan nama Hamka sebagai sastrawan. Ketiganya
bermula dari cerita bersambung yang diterbitkan oleh majalah Pedoman
Masyarakat. Selain itu, Hamka meninggalkan karya tulis yang menyangkut
tentang sejarah, budaya, dan bidang-bidang kajian Islam.
Meskipun tidak menyelesaikan pendidikan formal, Hamka mempunyai
banyak akses keilmuwan karena kemampuan membacanya yang luas. Filolog
Prancis Gérard Moussay menulis, Hamka dengan hanya bermodalkan
pendidikan paling dasar telah berhasil dengan caranya sendiri memperoleh
pengetahuan yang maju dan unggul dalam bidang yang berbeda-beda, seperti
jurnalistik, sejarah, antropologi, politik, dan Islamolog. Namun,
Abdurrahman Wahid melihat Hamka tidak menguasai teori-teori dari satu
atau lebih bidang keilmuan. "Ia cenderung mengambil kesimpulan yang
sudah ada dari para pemikir besar dengan cara menyederhanakannya, dan
kadang-kadang salah."

Sastra
Karya-karya Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat Minangkabau,
terutama kawin paksa dan hubungan kekerabatan yang menurut
pandangannya tak bersesuaian dengan cita-cita masyarakat Indonesia modern.
Melalui Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka menggugat penggolongan
orang berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh masyarakat
Minangkabau. Menurutnya, adat bertentangan dengan agama Islam yang
memandang kedudukan manusia sama di hadapan Allah. Dalam Tuan
Direktur, Hamka menyindir tokoh Jazuli sebagai kebanyakan orang Melayu
yang kerap terburu nafsu sehingga mengabaikan nilai-nilai fundamental.
Dalam Merantau ke Deli, Hamka menginginkan perubahan penilaian
masyarakat Minangkabau tentang keberhasilan merantau dan mengkritik
penilaian adat tentang pernikahan yang baik dari satu daerah saja. Pada
kenyataannya, harta bukan jaminan kehidupan akan menjadi bahagia,
begitupula asal daerah bukan jaminan pernikahan akan bertahan lama.
Pada akhir 1930-an, buku-buku Hamka telah dapat ditemukan di
perpustakaan sekolah umum. Para pelajar sering dianjurkan untuk

15
membacanya. Novel-novel Hamka menuai kesuksesan komersial dan berkali-
kali cetak ulang. Di Bawah Lindungan Ka'bah diangkat ke layar lebar pada
1981 dan 2011. Pada 2013, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck untuk kali
pertama difilmkan.
Ketika pertama kali menulis roman, Hamka sempat dikecam dan dianggap
tidak pantas menulis kisah percintaan. HB Jassin melihat kritikan terhadap
Hamka, antara lain, disebabkan hukum yang menetapkan menulis karya sastra
adalah satu dosa dan haram. Hamka dalam tulisannya di Pedoman
Masyarakat menegaskan menulis karya sastra bukan satu dosa, selain
menjelaskan kegiatan menulis boleh menjadi satu dakwah. HB Jassin
mengutip pernyataan Hamka. "Seni atau sastra Islam mestilah merangkumi
keindahan dan kebenaran." Keindahan, kebenaran dan kebaikan itu, menurut
Hamka, jelas kembali semula kepada Tuhan. Dari sudut pandang sastra,
beberapa kritikus menganggap karya-karya Hamka tidak istimewa. Kritikus
sastra Indonesia berpendidikan Belanda A. Teeuw menilai, Hamka tidak
dapat dianggap sebagai pengarang besar karena karyanya mempunyai
psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.

Sejarah
Dalam Sejarah Umat Islam, Hamka menulis tentang sejarah Islam dengan
sistematika periode berkuasa kerajaan. Ia menekankan peranan raja dan
kerajaannya yang pernah menguasai Nusantara. Menurutnya, Islam di
Indonesia berhubungan dengan Arab lebih dulu daripada India. Bukti sejarah
yang paling nyata adalah ditemukannya perkampungan Arab pada 674 di
pantai Barat Sumatra dan Kerajaan Kalingga pada masa Ratu Shima, yang
keduanya bersumber dari berita Tiongkok. Sejarawan Gusti Asnan mencatat,
Hamka telah menemukan sumber-sumber lama yang sebelumnya tidak
pernah digunakan penulis pada zamannya. Ia memberikan informasi yang
sangat bernilai mengenai sumber-sumber yang dipergunakannya seperti
Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya
Nuruddin al-Raniri, Tuhfat Al-Nafis karya Ali Haji, Sejarah Cirebon dan
Babad Giyanti.

16
Lewat Perbendaharaan Lama, Hamka meunjukkan penguasannya tentang
warisan, atsar, jejak, dan petuah yang diwariskan tokoh-tokoh Nusantara. Ia
menguraikan tentang sejarah kebangkitan Islam di Minangkabau secara
khusus dalam Ayahku, biografi Abdul Karim Amrullah yang ditulisnya.
Hamka memiliki metode tersendiri dalam memaparkan penelitiannya di
bidang sejarah. Ia mengedepankan sikap kritis dalam menelaah tulisan-tulisan
sejarawan Belanda tentang Indonesia. Menurutnya, para sejarawan Belanda
telah memberikan andil yang besar dalam banyak data, tetapi tetap perlu kritis
menerimanya. Dengan daya kritis dan analisisnya, Hamka berani
merekonstruksi sejarah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Ia tak
sekadar mengulang-ulang catatan sejarah yang terpapar dalam literatur-
literatur baku ketika berbicara maupun menulis tentang sejarah. Dalam
memandang sosok Gajah Mada, Hamka melihat Gajah Mada tak ubahnya
seperti "penjajah" yang "...menjarah, menjajah sampai ke mana-mana".
Bersama daya bacanya yang kuat, Hamka berjuang keras mengkritisi dan
berusaha menyingkirkan teks-teks beraroma dongeng yang kerap dijumpai
dalam teks-teks klasik. Dalam karyanya berjudul Antara Fakta dan Khayal
Tuanku Rao tentang riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Padri,
Hamka memberi komentar tentang penulisan sejarah. Ia berpendapat perlu
membedakan antara khayal dan fakta.

Tafsir Al-Azhar
Tafsir al-Azhar dianggap sebagai karya monumental Hamka, sebagaimana
ditulis oleh Abdurrahman Wahid. Lewat Tafsir Al-Azhar, Hamka
mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya di hampir semua disiplin yang
tercakup oleh bidang ilmu-ilmu agama Islam serta pengetahuan non-
keagamaan yang kaya dengan informasi.[45] Menurut peneliti Malaysia
Norbani Ismail, Tafsir Al-Azhar adalah tafsir pertama yang ditulis secara
komprehensif dalam bahasa Indonesia.
Usep Taufik Hidayat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta menyebut keunikan Tafsir Al-Azhar adalah kemampuannya berelasi
terhadap isu-isu kontemporer, terutama kepada budaya masyarakat khususnya

17
budaya Melayu-Minangkabau. Hamka melakukan pendekatan yang sesuai
dengan kondisi kontemporer yang dihubungkan dengan berbagai lapisan
masyarakat modern. Hamka mengutip berpuluh-puluh kitab karangan sarjana-
sarjana Barat dan akomodatif terhadap pendekatan berbagai ilmu yang ada
korelasinya dengan penafsiran, terutama sains. Menurut Hamka, ilmu dan
akal diperuntukkan manusia untuk mengenal Tuhannya "Penemuan-
penemuan sains yang baru telah menolong kita untuk memahami kebenaran
ayat Al-Qur'an dan melihat keagungan-Nya."

F. Kumpulan Pesan-Pesan Buya Hamka


1. Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja
sekadar bekerja, kera juga bekerja.
2. Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, di sana telah
tertulis rol yang akan kita jalani. Meskipun bagaimana kita mengelak dari
ketentuan yang tersebut dalam nasib itu, tiadalah dapat, tetapi harus
patuh kepada perintahnya.
3. Janji Tuhan sudah tajalli, mulialah umat yang teguh iman. Allah tak
pernah mungkir janji tarikh riwayat jadi pedoman.
4. Kegunaan harta tidak dimungkiri. Tetapi ingatlah yang lebih tinggi ialah
cita-cita yang mulia.
5. Tahan menderita kepahitan hidup sehingga penderitaan menjadi
kekayaan adalah bahagia.
6. Riwayat lama tutuplah sudah sekarang buka lembaran baru. Baik
hentikan termenung gundah, apalah guna lama terharu.
7. Kalau nyata harta benda tak dapat menangkis sakit, tidak dapat menolak
demam, tidak dapat menghindarkan maut, nyatalah bahwa kesusahan
yang menimpa orang kaya serupa dengan kesusahan yang menimpa
orang miskin.
8. Bangunlah kekasih ku umat Melayu. Belahan asal satu turunan
bercampur darah dari dahulu persamaan nasib jadi kenangan.

18
9. Oleh sebab itu maka bertambah tinggi perjalanan akal, bertambah banyak
alat pengetahuan yang dipakai, pada akhirnya bertambah tinggi pulalah
martabat Iman dan Islam seseorang.
10. Sebesar-besar atau seberat-berat urusan, jangan dihadapi dengan muka
berkerut, kerut muka itu dengan sendirinya menambahkan lagi kerut
pekerjaan itu.
11. Jelas sekali bahwasanya rumah tangga yang aman damai ialah gabungan
di antara tegapnya laki-laki dan halusnya perempuan.
12. Tali yang paling kuat untuk tempat bergantung adalah tali pertolongan
Allah.
13. Al-Quran yang dibaca baik-baik adalah tanda jiwa yang kenyang akan
makanan bergizi.
14. Kata Bijak untuk Orang Sombong dan Angkuh, Ngena Banget Bikin
Instrospeksi Diri
15. Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui mengapa didirikan.
Jangan pernah mengabaikan tuntunan kebaikan tanpa mengetahui
keburukan yang kemudian anda dapat.
16. Undang-undang adab dan budi pekerti membentuk kemerdekaan bekerja.
Undang-undang akal membentuk kemerdekaan berfikir. Dengan jalan
menambah kecerdasan akal, bertambah murnilah kemerdekaan berfikir.
17. Satu-satunya alasan kita untuk hadir di dunia ini adalah untuk menjadi
saksi atas keesaan Allah.
18. Supaya engkau mendapat sahabat, hendaklah diri engkau sendiri sanggup
menyempurnakan menjadi sahabat orang.
19. Tuhan menilai apa yang kita beri dengan melihat apa yang kita simpan.
20. Saya merasa ingat kepadanya adalah kemestian hidup saya, rindu
kepadanya membukakan pintu angan-angan saya menghadapi zaman
yang akan datang.
21. Waktu bagi orang Islam adalah sesuatu yang harus
dipertanggungjawabkan.
22. Kemerdekaan sauatu negara dapat dijamin teguh berdiri apabila
berpangkal pada kemerdekaan jiwa.

19
23. Saya akan pikul rahsia itu jika engkau percayakan kepada saya dan saya
akan masukkan ke dalam perbendaharaan hati saya dan kemudian saya
kunci pintunya erat-erat. Kunci itu akan saya lemparkan jauh-jauh
sehingga seorang pun tak dapat mengambilnya kedalam lagi.
24. Bertobat tidak hanya berarti menyesali dosa tetapi juga membenci dosa.
25. Tuan boleh kata muslim itu fanatik, tapi tuan juga harus denga kata hati
tuan bahwa itu adalah modal besar bagi kemerdekaan Indonesia. Untuk
tuan tahu, itu bukanlah ranatik, itu adalah gairah.
26. Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu
seseorang. Bukan terletak pada wajah dan pakaiannya.
27. Bahwasanya cinta yang bersih dan suci (murni) itu, tidaklah tumbuh
dengan sendirinya.
28. Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang,
kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang,
meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan
layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang.
29. Lebih banyak orang menghadapi kematian di atas tempat tidur daripada
orang yang mati di atas pesawat.
30. Ikhlas dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak kecil, senyum
yang sebenarnya senyum, senyum yang tidak disertai apa-apa.
31. Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi. Namun ilmu tanpa
iman, bagaikan lentera di tangan pencuri.
32. Jika kita dapat menyelamatkan diri kita sendiri, para Nabi tidak perlu ada
untuk keselamatan kita.
33. Adil ialah menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan
membenarkan yang benar, mengembalikan hak yang empunya dan
jangan berlaku zalim di atasnya. Berani menegakkan keadilan, walaupun
mengenai diri sendiri, adalah puncak segala keberanian.
34. Satu hati lebih mahal dari pada senyuman. Satu jiwa lebih berharga dari
pada sebentuk cincin.
35. Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, di sana telah
tertulis rol yang akan kita jalani.

20
36. Jangan takut jatuh, kerana yang tidak pernah memanjatlah yang tidak
pernah jatuh. Yang takut gagal, kerana yang tidak pernah gagal hanyalah
orang-orang yang tidak pernah melangkah. Jangan takut salah, kerana
dengan kesalahan yang pertama kita dapat menambah pengetahuan untuk
mencari jalan yang benar pada langkah yang kedua.
37. Kadang-kadang cinta bersifat tamak dan loba, kadang-kadang was-was
dan kadang-kadang putus asa.
38. Takut akan kena cinta, itulah dua sifat dari cinta, cinta itulah yang telah
merupakan dirinya menjadi suatu ketakutan, cinta itu kerap kali berupa
putus harapan, takut cemburu, hiba hati dan kadang-kadang berani.
39. Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta
bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan
kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan
semangat.
40. Kehidupan itu laksana lautan. Orang yang tiada berhati-hati dalam
mengayuh perahu, memegang kemudi dan menjaga layar, maka karamlah
ia digulung oleh ombak dan gelombang. Hilang di tengah samudera yang
luas. Tiada akan tercapai olehnya tanah tepi.
41. Air mata berasa asin itu karenanya air mata adalah garam kehidupan.
42. Riwayat lama tutuplah sudah sekarang buka lembaran baru. Baik
hentikan termenung gundah, apalah guna lama terharu.
43. Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan
pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang
mendahulukan istirahat sebelum lelah.
44. Kemunduran negara tidak akan terjadi kalau tidak kemunduran budi dan
kekusutan jiwa.
45. Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukan buat dirinya sendiri.
46. Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia
laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci.
47. Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan
menimbulkan tangis sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan

21
pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan
duri penghidupan.
48. Bahwasanya air mata tiadalah ia memilih tempat untuk jatuh, tidak pula
memilih waktu untuk turun.
49. Agama tidak melarang sesuatu perbuatan kalau perbuatan itu tidak
merusak jiwa.Agama tidak menyuruh, kalau suruhan tidak membawa
selamat dan bahagia jiwa.
50. Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari.
51. Hanya menumpahkan air mata itulah kepandaian yang paling
penghabisan bagi seorang wanita.

22
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Hamka adalah singkatan nama dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Datuk Indomo. Ia lahir di Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat, pada
tanggal 16 Februari 1908 M. Ia meninggal pada tanggal 22 Juli 1981 di
Rumah Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 72 tahun.
Secara formal, pendidikan yang ditempuh HAMKA tidaklah tinggi.
Hanya sampai kelas 3 di sekolah desa. Di usia yang sangat muda HAMKA
sudah melalangbuana. Hingga sampai di usia tua ia sukses dalam segala
bidang yang ia tekuni. Ia seorang mubaligh, ahli agama, sastrawan, sekaligus
wartawan.
Pemikiran HAMKA dalam bidang pendidikan lebih menekankan pada
ilmu pegetahuan yang menuju kebahagiaan dunia dan akhirat di mana di
dalamnya ia mempunyai pemikiran tentang urgensi pendidikan, pengertian
dan tujuan, materi dan metode pendidikan, tugas dan tanggung jawab
pendidik, serta tugas dan tanggung jawab peserta didik.

B. Saran
Penulis mengharapkan agar apa yang sudah dijelaskan di atas dapat
dipahami oleh pembaca. Selanjutnya kritik dan saran dari pembaca sebagai
pembangun sangat diharapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalh
selanjutnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, Samsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Mohammad, Herry. 2006. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20.
Jakarta: Gema Insani
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta:
PT. Ciputat Press Group.
Susanto, A. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
A.Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 100
Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), hlm. 60-62
A.Susanto, Op. Cit., hlm. 103
A. Susanto, Op. Cit, hlm. 105-106
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT.
Ciputat Press Group, 2002), hlm. 265
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 230-231
A. Sutanto, Op. Cit, hlm. 107- 109
Ramayulis dan Mamsul Nizar, Op.Cit. hlm. 278-282
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit, hlm 246
Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit. hlm. 268-274
Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit. hlm. 274-277

24

Anda mungkin juga menyukai