Anda di halaman 1dari 3

Enam Pilar Pendidikan

Dengan learning to know, kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah
diharapkan bisa berkembang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga
secara transcendental, yaitu kemampuan mengkaitkannya dengan nilai-nilai spiritual.

Learning to Do, merupakan konsekwensi dari learning to know. Kelemahan model pendidikan
dan pengajaran yang selama ini berlangsung adalah mengajarkan "omong" (baca: teori), dan
kurang menuntut peserta didik untuk "berbuat" (praktik). Semangat retrotika lebih besar dari
action. Ynag dimaksud learning to Do, bukanlah kemampuan berbuat mekanis dan pertukangan
tanpa pemikiran. Dengan demikian peserta didik akan terus belajar bagaimana memperbaiki dan
menumbuh kembangkan kerja, juga bagaimana mengembangkan teori atau konsep
intelektualnya.

Learning to Be. Melengkapi Learning to know dan Learning to Do, Robinson Crussoe (Suwarno,
2008:77) berpendapat bahwa manusia itu hidup sendiri tanpa kerjasama atau saling tergantung
dengan manusia lain. Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditela masa jika tidak berpegang
teguh pada jati dirinya. Learning to Be akan menuntut peserta didik menjadi ilmuwan sehingga
mampu menggali dan menentukan nilai kehidupanya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai
hasil belajarnya.

Learning to Live together ini merupakan kelanjutan yang tidak dapt dielakkan dari ketiga point
di atas. Oleh karena itu, premis ini menuntut seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi
educated person yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya maupun bagi seluruh umat
manusia. Sebaik-baik manusia,adalah mereka yang lebih bermanfaat untuk manusia, "Khairun
nas, anfa'uhum linnas", kata Nabi Muhammad Saw.

Learning How to Learn. Institusi pendidikan bisa saj ditutup, tetapi belajar tidak boleh berhenti.
"Satu masalah terjawab, seribu masalah menunggu untuk dijawab," seakan sudah menjadi hal
yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan yang serba modern ini. Oleh karena itu, learning
how to learn akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan
strategi dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, efesien, dan penuh
percaya diri karena masyarakat baru adalah learning society atau knowledge society. Orang-
orang lampui sekat-sekat dinding persekolahan.
Dalam konteks pembelajaran, learning how to learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu
pergeseran dari model belajar "memiliki"(menghafal) menjadi midel belajar
"menjadi" (mencari/meneliti). Asumsi yang diganakan dalam model belajar "memiliki" adalah
"pendidik tahu, perserta didik tidak tahu". Oleh karena itu, pendidik pemberi pelajaran, perserta
didik menerima. Yang dipentingkan dalam model belajar "memiliki" ini adalah penerima
pelajaran, yang akan menerima sebanyak-banyaknya, menyimpan selama-lamanya, dan
menggunakan sesuai dengan aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya,
pada proses belajar "menjadi", peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedangkan pendidik dituntut membimbing,
memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi, dan memersuasi.

Learning Throughout Life. Perubahan dan perkembangan kehidupan terus berlangsung dengan
permasalahan yang semakin kompleks. Oleh karena itu tidak ada jalan lain kecuali terus belajar
sepanjang hayat. Learning throughout life ini menuntun dan memberi pencerahan pada peserta
didik bahwa ilmu bukanlah hasil buatan manusia. Karena ilmu adalah ilmu Allah yang tidak
terbatas dan harus dicari , maka upaya mencarinya juga haruslah tidak mengenal henti, harus
selalu berusaha dan berdoa.

Bertolak dari pilar dan butir-butir pendidikan tersebut, maka gagasan paradigma baru pendidikan
Indonesia pada masa-masa mendatang harus terus digelorakan dengan cara mengembangkan
paradigma lama menjadi paradigma baru. Tinggalkan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan
kondisi terkini. Kembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan
ciptaka ppandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman.

Konsekwensinya, paradigma pendidikan yang eksklusif, dikhotomik dan parsial perlu dievaluasi,
kita ahrus berani menggagas pendidikan yang inklusif, integralistik dan bahkan holistik. Kenapa
?, karena akal dan nalar manusia dalam Islam ditempatkan pada posisi strategis dan sangant
terhormat. Selain itu, kebebasan berpikir dan bereksperimen harus pula diletakkan pada konteks
yang lebih transenden dalam wujud verifikasi (men-tahqiq) perintah agama. Dengan perspektif
seperti ini diharapkan dapat dicapai suatu titik keseimbangan dimensi fikir dan dzikir pada setiap
pribadi manusia. Penyeimbangan seperti ini sangat dibutuhkan karena apa yang menjadi target
pencapaian pada setiap manusia bukan hanya "kehangatan" yang bersumber dari nalar tetapi
sekaligus. "Ketentraman" yang mengalir dari hati nurani (qalbu) dalam suasana pendidikan dan
kehidupan beragama. Wallahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai