Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:

 Apakah Pendidikan IPS itu?

 Bagaimana Prospek Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar?

 Mengapa pengembangan pendidikan nilai dalam pembelajaran pengetahuan


sosial di SD sangat diperlukan?

C. Tujuan

Adapun tujuan dalam makalah ini yaitu:

 Untuk mengetahui apakah pendidikan ips itu.

 Untuk mengetahui prospek pembelajaran ips di sekolah dasar.

 Untuk mengetahui pengembangan pendidikan nilai dalam pembelajaran


pengetahuan sosial di SD sangat diperlukan.

D. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang penyusun gunakan adalah metode studi


kepustakaan yakni melalui buku-buku yang ada di perpustakaa yang sesuai dengan
permasalahan yang diangkat dan sebagai bahan penunjang yang lain kami mengunduh
materi dan internet. Kemudian dipelajari olah penulis dan ditungkan dalam makalah
ini.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Apakah Pendidikan IPS Itu ?

1. Konsep dan Karakteristik Pendidikan IPS

Dalam konteks persekolahan di Indonesia, istilah yang resmi digunakan dalam


kurikulum ialah Pendidikan IPS, meskipun kedua karakteristik Pendidikan IPS seperti
tersebut di atas masih belum terimplementasikan secara nyata. Sebagai contoh, mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dalam kurikulum sekolah
dipisahkan dari bidang studi IPS. Padahal mata pelajaran tersebut antara lain mengajarkan
kecakapan hidup berdemokrasi bagi warga negara, seperti sikap toleran, menerima dan
menghargai berbagai perbedaan dalam kemajemukan yang ada pada masyarakat. Dengan
pemisahan ini tersirat suatu pemahaman bahwa hal-hal yang berkenaan dengan
kompetensi kewarganegaraan termasuk di dalamnya pendidikan tentang kesadaran multi
kultural semata-mata menjadi tanggung jawab bidang studi PPKn. Dengan demikian,
karakteristik pertama yang melekat pada program pendidikan IPS menjadi tidak tampak
dalam program pendidikan IPS secara keseluruhan.
Yang dimaksud dengan ilmiah ialah bahwa pendidikan IPS disajikan secara
sistematis dengan memperhatikan urutan isi yang logis. Sedangkan secara psikologis
dimaksudkan bahwa pendidikan IPS disusun berdasarkan kondisi siswa, guru, ruang
kelas, sekolah, yang berbeda dalam: kultur, harapan, aspirasi, perasaan, lingkungannya
dan faktor psikis lainnya. Hal ini berarti menuntut kemampuan guru dalam
membelajarkan IPS khususnya di SD. Guru seharusnya memahami karakteristik dan
tingkat perkembangan siswanya. Batasan ini juga diadaptasi dengan menampatkan
Pancasila sebagai landasan bagi Pendidikan IPS di Indonesia. Batasan Pendidikan IPS
yang dibuat secara khusus untuk Indonesia ini amat penting, terutama berkaitan dengan
nilai-nilai filosofis yang memang berbeda antara masyarakat bangsa Indonesia dengan
masyarakat barat.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang relegius yang memandang bahwa aspek
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan bagian tak
terpisahkan dalam pendidikan IPS. Berbeda dengan masyarakat barat yang pada
umumnya memisahkan aspek-aspek keimanan dan ketaqwaan dari pendidikan IPS.
Dalam konteks ini, implikasi yang timbul antara lain pemahaman akan demokrasi yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, sikap menghargai kemajemukan dalam masyarakat
merupakan titik sentral dalam memahami aspek-aspek demokrasi yang lainnya.
Batasan lain ditunjukkan oleh Hasan (1993), dalam salah satu tulisannya, yang
menyebutkan dua konsep yang berbeda tentang IPS, yaitu: (1) Pendidikan Pengetahuan
Sosial (PS), dan (2) Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial (di perguruan tinggi: penulis). IPS
dalam pengertian Pendidikan Pengetahuan Sosial (PS) merujuk kepada organisasi materi
kurikulum yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan anak melalui pengetahuan
sosial dan budaya. Sedangkan IPS dalam pengertian Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial adalah
program pendidikan yang dikembangkan di perguruan tinggi dengan pendekatan
monodisiplin, yaitu mengajarkan satu bidang ilmu sosial secara terpisah.
IPS pada tataran yang pertama (PS) bercirikan pada tujuannya yang difokuskan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik melalui pengetahuan sosial dan budaya,
dalam bentuk kemampuan berpikir, sikap dan nilai untuk dirinya sebagai makhluk
individu maupun sebagai makhluk sosial dan budaya. Kajian yang dilakukan untuk
mencapai tujuan ini ialah kajian terhadap materi yang berhubungan dengan kehidupan
sosial dan budaya di sekitarnya, tanpa perlu membatasi diri pada salah satu atau beberapa
disiplin ilmu-ilmu sosial.
Pada tataran konsep IPS sebagai Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial, IPS dikembangkan
dalam bentuk kurikulum akademik atau kurikulum disiplin yang memakai nama disiplin
ilmu sebagai label programnya, (misalnya sosiologi, sejarah, antropologi, geografi,
ekonomi dan lain sebagainya secara terpisah). Dari segi tujuan (pembelajaran dengan
pendekatan mono disiplin ini) sangat erat berhubungan dengan tujuan disiplin ilmu
tersebut (Hasan, 1993).
Marsh (1991:10) dalam konsep yang dikemukakannya cenderung lebih
menekankan pada pendidikan IPS sebagai Pendidikan Pengetahuan Sosial. Hal itu
tercermin pada definisi yang dikemukakannya, bahwa Pendidikan IPS adalah studi
tentang manusia sebagai makhluk sosial yang tersusun dalam masyarakat, dan interaksi
antara satu dengan yang lain, serta dengan lingkungan mereka pada suatu tempat dan
waktu tertentu. Konsepnya itu dipertegas dengan menambahkan bahwa pendidikan IPS
berkenaan dengan kehidupan manusia yang kompleks, yang tidak dapat dipandang dari
satu dimensi belaka. Karena itu, keterpaduan merupakan sifat alami dari pendidikan IPS.
Itulah pula yang menyebabkan studi ini menggunakan pendekatan antar disiplin dengan
memanfaatkan konsep-konsep psikologi, ilmu politik dan humaniora. Senada dengan apa
yang dikemukakan Marsh, Wright (1996) juga menyebutkan bahwa IPS merupakan area
studi tentang interaksi antar manusia, keruangan, dan waktu serta bagaimana mereka
menyikapi dan disikapi oleh alam fisik dan lingkungan budaya. Meskipun terkesan
sederhana, akan tetapi batasan ini cukup memberikan gambaran yang jelas kepada kita.
NCSS (National Council for the SosialStudies), sebuah organisasi profesi bidang
pendidikan IPS tingkat internasional yang berkedudukan di Amerika Serikat memberikan
batasan bahwa IPS merupakan studi terpadu ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk
meningkatkan kapabilitas dan kompetensi warga negara. Dalam program sekolah, upaya
itu dilakukan melalui koordinasi dan studi sistematik yang didasarkan pada berbagai
disiplin seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu
politik, psikologi, agama, dan sosiologi, dan sejauh yang dibutuhkan, juga dapat diambil
dari humaniora, matematika, dan ilmu pengetahuan alam (NCSS, 1994). Tujuan utama
IPS ialah membantu generasi muda mengembangkan kemampuannya untuk menjadi
orang yang berpengetahuan, cerdas dalam mengambil keputusan untuk kebaikan
masyarakat sebagai warga yang di dalamnya terdapat berbagai kultur, masyarakat
demokratis dalam suatu dunia yang saling memiliki ketergantungan.
Batasan yang menarik diberikan oleh Sumaatmadja (1986), yang mengungkapkan
bahwa IPS (Studi Sosial) merupakan usaha untuk mengadakan inter-relasi ilmuilmu sosial
dalam mengkaji gejala dan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
Dengan demikian, IPS bukanlah ilmu-ilmu sosial itu sendiri yang diartikannya
sebagai semua bidang ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam konteks sosialnya atau
sebagai anggota masyarakat. Sekali lagi batasan ini juga cenderung kepada konsep IPS
sebagai Pendidikan Pengetahuan Sosial. Dengan bentuk inter-relasi seperti itu, Risinger
(1996) menyebutkan bahwa IPS (sosial studies) bukan disiplin yang terpisah, tetapi
sebuah payung kajian masalah yang memayungi disiplin sejarah dan disiplin ilmu-ilmu
sosial lainnya.
Suatu kekhasan yang segera dapat kita pahami pada IPS ialah kekuatannya dalam
upaya melakukan inter-relasi yang menggabungkan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial dan
atau bahkan menurut Hasan (1993) tidak harus terikat kepada disiplin tertentu, untuk
menelaah gejala dan masalah sosial. Gejala dan masalah sosial memang tidak dapat
diungkapkan hanya dengan satu disiplin tertentu, mengingat gejala dan masalah sosial itu
merupakan ungkapan hasil hubungan beberapa aspek dari kehidupan sosial dalam
masyarakat.
Sebagai contoh, Sumaatmadja (1986) menjelaskan bahwa masalah yang berkaitan
dengan gejala kelaparan tidak dapat ditelaah hanya dengan ilmu ekonomi belaka. Gejala
kelaparan akan dapat dikaji secara lebih komprehensif dan bermakna, apabila dikaji
dengan melibatkan konsep dan teori geografi, sosiologi, psikologi dan seterusnya. Inilah
pada dasarnya pendekatan interdisipliner atau multi disipliner yang dianut Pendidikan
IPS.
Jelaslah sudah, bahwa dari berbagai batasan yang telah dikemukakan kedua
macam karakteristik pokok Pendidikan IPS, sebagaimana dikemukakan NCSS (1994)
masih tetap melekat. Keduanya adalah membantu meningkatkan kemampuan subjek didik
menjadi warga negara yang berdaya, dan karakteristik integratif.

2. Tujuan Pendidikan IPS

a. Tujuan Umum
Tujuan IPS dalam pengertian umum sebagai Pendidikan Pengetahuan Sosial (PS)
dikembangkan dari falsafah dan teori pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk tujuan
pendidikan.
Pendidikan IPS dalam pengertian Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial (IS) memiliki
tujuan yang berhubungan dengan pengembangan intelektual. Secara umum, tujuan
Pendidikan IPS pada tataran ini adalah melatih siswa berpikir, melihat masalah dan
menyelesaikan masalah. Dalam konteks pendidikan anak, unsur psikologis dan
paedagogis digunakan terutama untuk membantu anak menguasai materi yang diajarkan.
baik berupa fakta, konsep, generalisasi maupun keterampilan belajar tentang belajar.
Kegunaan praktis bagi kehidupan anak kurang mendapatkan tempat, karena yang
diperhatikan adalah kepentingan keilmuan (Hasan,1993).
Secara umum, Pendidikan IPS dalam pengertian Pendidikan Pengetahuan Sosial
bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir, sikap dan nilai untuk dirinya sebagai
individu, maupun sebagai makhluk sosial dan budaya (Hasan, 1993).
Pendidikan IPS dalam pengertian Pendidikan Pengetahuan Sosial juga bertujuan
mengembangkan kemampuan anak dalam berhubungan sosial dengan orang lain,
kemampuan berkomunikasi, bersimpati terhadap orang lain, sikap (terutama sikap
demokratis), moral dan
nilai, terutama ditekankan pada nilai dalam masyarakat yang majemuk berupa
keseimbangan antara hak individu dan sosial. Tujuan ini sangat ditekankan terutama
untuk masyarakat majemuk seperti masyarakat Indonesia yang menghendaki
pembangunan manusia yang berimbang antara kepentingan individu dengan kepentingan
masyarakatnya (Hasan, 1993).

b. Tujuan Khusus Pendidikan IPS


Dengan kompleksitas obyek kajian yang didekati secara terpadu, Marsh (1991)
menyebutkan lingkup tujuan Pendidikan IPS, yang sebenarnya mencakup dimensi hands-
on (keterampilan), heads-on (pengetahuan/kognitif), dan hearts-on (sikap dan perasaan).
Secara rinci dideskripsikan sejumlah rumusan tujuan memuat banyak aspek prilaku
demokratis. Rumusan tersebut antara lain:
1) Memahami hubungan antara masyarakat manusia dan alam sekitarnya.
2) Menerima integritas individu dan pentingnya mengapresiasi budaya maupun lintas
budaya.
3) Memahami saling ketergantungan komunitas masyarakat dan dunia.
4) Menyadari perubahan sebagai sifat alami yang harus dihadapi secara tepat.
5) Memahami dan mengapresiasi sistem hukum.
6) Menghargai diri dan menghormati setiap manusia.
7) Mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
8) Memperbaiki keterampilan komunikasi individual maupun kelompok.
9) Menunjukkan tanggung jawab sebagai warga negara melalui partisipasi aktif, selain
aspek lain yang berkaitan dengan ekonomi dan kesejarahan.
Senada dengan itu, Wright (1996), mengemukakan bahwa tujuan IPS ialah
mendorong anak untuk mengembangkan kualitas personal melalui proses mengetahui,
menggali, menghayati/merefleksi, dan menilai, serta yang tak kalah penting ialah
mendorong agar berkembang kemauan untuk berpartisipasi secara positif baik dalam
lingkup masyarakat lokal, nasional, maupun global. Untuk mendapatkan kemampuan ini,
menurutnya, salah satu aspek penting yang harus dipahami anak, yaitu keragaman budaya
seperti bahasa, seni, mitologi, sistem nilai dan kepercayaan dalam masyarakat, serta
pemahaman tentang pembauran budaya, kemunculan budaya secara siklus, an
perpindahan serta pergeserannya. Dari aspek politik dan hukum, anak harus memahami
sistem politik, sistem sosial dan sistem hukum, serta hubungan antara sistem sosial
dengan sistem hukum. Sedangkan pada aspek global yang lebih luas, anak harus
memahami dunia ini sebagai proses bertahap dari interrelasi antara sistem fisik, ekologi,
ekonomi, politik, sosial, dan informasional, serta kesadaran akan hubungan antar personal
dengan berlandaskan pada sifat yang saling membutuhkan.

Dimensi “Heads-on” (pengetahuan/kognitif) dalam Tujuan Pendidikan IPS


Tujuan yang menyangkut aspek pengetahuan dan informasi mencakup sembilan aspek yang
terurai sebagai berikut:
1. Pengetahuan tentang dunia, penduduk, dan budayanya
2. Wilayah, pertumbuhan, sejarah, dan perkembangan negara
3. Penduduk, komunitas, tempat tinggal, cara penduduk mencari nafkah, cara-cara penduduk
memenuhi kebutuhan hidup, interaksi, dan saling ketergantungan.
4. Sistem politik dan hukum suatu komunitas, wilayah dan negara
5. Dunia kerja dan orientasi karir
6. Lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti keluarga dsb.
7. Bagaimana masyarakat memanfaatkan bumi
8. Masalah dan tantangan yang menyebabkan konfrontasi dalam hubungan antar manusia
baik lokal, nasional, maupun internasional.
9. Fungsi-fungsi dasar masyarakat seperti produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi,
pelayanan masyarakat, penyediaan sarana pendidikan, rekreasi, perlindungan dan konservasi
sumber daya alam, kebebasan berekspresi baik keindahan maupun agama, dan komunikasi
sosial.

Dimensi “Hands-on” (keterampilan) dalam Tujuan Pendidikan IPS


Menurut Jarolimek, dimensi ini mencakup 3 aspek kecakapan sebagai berikut:
1. kecakapan hidup dan bekerja sama, mampu menghargai hak orang lain, dan memiliki
kepekaan sosial.
2. terdapat proses pembelajaran diri untuk mengontrol dan mengendalikan diri.
3. kecakapan membagi/memberikan gagasan dan pengalaman dengan orang lain.

Dimensi “Hearts-on” (sikap dan perasaan) dalam Tujuan Pendidikan IPS


Dimensi ketiga menurut Wright (1996:17). ialah dimensi sikap dan nilai
(dispositions), yang mencakup sikap toleran, empati, partisipasi sebagai warganegara, dan
sikap yang ingin melayani (stewardship). Meminjam istilah yang digunakan dalam taksonomi
Bloom, yang sudah sering kita gunakan, dimensi ini identik dengan ranah afektif.
Marsh (1991) menyebut dimensi ini dengan istilah “hearts-on”. Sedangkan Jarolimek
(1985) menyebutnya sebagai tujuan sikap dan nilai-nilai. Menurutnya tujuan ini mencakup 6
aspek kemampuan, yaitu:
1. memahami nilai-nilai umum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, dalam
hubungannya dengan dokumen sejarah bangsa, hukum di tanah air, keadilan, dan agama.
2. mampu mengambil keputusan yang melibatkan berbagai pilihan nilai
3. memahami jaminan atas hak-hak azasi manusia untuk semua warga negara
4. mengembangkan sikap loyal yang rasional terhadap negara.

B. Prospek Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar

1. Materi dalam Pembelajaran IPS


Untuk memudahkan dalam menguasai metodologi pembelajaran IPS, maka
haruslah lebih dulu dikuasai apa yang menjadi isi dasar dari pendidikan IPS tersebut.
Tanpa memahami apa isi dasar dari pendidikan IPS, maka sukar untuk dapat menguasai
pembelajaran dalam IPS. Hal itu disebabkan, seringkali metode mengajar disesuaikan
dengan isi yang hendak diajarkan. Isi dari materi pembelajaran IPS berjenjang dari mulai
fakta, konsep, generalisasi dan teori. Fakta ialah keadaan tertentu tentang kejadian atau
sesuatu yang nyata yang menjadi data atau sasaran observasi, seperti orang, tempat, arti
kejadian atau keadaan yang spesifik (zaini ....).
Adapun konsep adalah pernyataan dalam bentuk kata, atau frase yang abstrak
yang mengkatagorikan sekelompok benda, atau ide, atau konsep kejadian (zaini....),
sebagai contoh, konsep tentang rumah: “Rumah adaah bangunan fisik yang dibuat sebagai
tempat berlindung atau tempat tinggal sebuah keluarga”. Konsep tentang pulau:” Pulau
adaah daratan yang dikelilingi oleh perairan atau laut”. Salah satu ciri dari suatu konsep
ialah mempunyai karakteristik yang menjadi definisi, sebagai hasil abstraksi dari
sekumpulan fakta dalam satu atau beberapa cirinya. Pengetahuan yang dirangkai dari
konsep-konsep, maka disebut pengetahuan konseptual. Contoh pengetahuan konseptual
misalnya, pengetahuan tentang perubahan masyarakat, pengetahuan tentang produksi dan
distribusi, pengetahuan tentang lembaga politik, nasionalisme dan sebagainya.
Sedangkan generalisasi adalah pernyataan yang memuat rangkaian hubungan
antara dua konsep atau lebih. Generalisasi amat bervariasi dari yang sederhana sampai
dengan yang kompleks. Contoh generalisasi misalnya, “produktivitas suatu jenis tanaman
dipengaruhi oleh ketinggian suatu daerah dari permukaan air laut” atau contoh yang lain,
“kebudayaan yang berkembang di masyarakat, berbeda dari satu masyarakat ke
masyarakat yang lain”. Contoh yang pertama di atas, generalisasi tersebut dirangkai dari
konsep tentang produktivitas dan konsep tentang jenis tanaman, dan konsep tentang
ketinggian suhu di suatu daerah. Dari contoh berikutnya dapat diidentifikasi bahwa
generalisasi tersebut terdiri dari konsep tentang kebudayaan, dan konsep tentang
masyarakat. Ciri yang mudah dipahami dari generalisasi ialah bahwa generalisasi itu
mengandung 2 konsep atau lebih, dan biasanya menyangkut hubungan konsep-konsep
yang dimuat tersebut. Ciri lain adalah bahwa kesimpulan generalisasi itu berlaku untuk
keseluruhan kelompok, atau peristiwa di manapun. Generalisasi yang sudah teruji secara
empirik, dapat menjadi dalil, hokum, atau teori.

2. Metode Inkuiri Sosial dalam Pembelajaran IPS


Salah satu metode yang dipandang efektif dalam pembelajaran IPS ialah metode
inkuiri sosial (the method of social inquiry). Metode ini bertujuan utamanya adalah untuk
membangun teori. Suatu pekerjaan berat yang biasanya dikerjakan oleh para ilmuwan-
ilmuan sosial. Akan tetapi mereka yakin bahwa metode inkuiri ini perlu diajarkan kepada
anak sejak di tingkat pendidikan dasar, untuk membentuk kemampuan berpikir kritis
mereka. Kebiasaan berpikir kritis akan berguna dalam kehidupan sehari-hari dalam
menghadapi masalah dan memecahkannya. Teori ini biasanya diformulasi dari fakta
konsep dan generalisasi.
Inkuiri sosial didasarkan pada beberapa asumsi yang berhubungan dengan hakekat
kehidupan kemanusiaan dan lingkungannya di dunia ini. Secara ilmiah pengetahuan
sosial memandang bahwa alam semesta ini diciptakan Tuhan dalam keadaan yang teratur,
permanen (dalam pengertian tidak berubah dalam waktu tertentu), dan memiliki ciri-ciri
yang relatif tetap.
Model inkuiri sosial merupakan perwujudan dari pelaksanaan metode inkuiri
sosial dalam pembelajaran IPS. Menurut Banks (1990:75) model inkuiri sosial memiliki
prosedur dalam beberapa tahapan, yaitu: (1) perumusan masalah, (2) perumusan hipotesa,
(3) definisi (konseptualisasi) masalah, (4) pengumpulan data, (5) evaluasi dan analisis
data, (6) pengujian hipotesis, serta (7) kembali ke awal secara siklus melakukan inkuiri
sekali lagi.
Meskipun prosedur seperti ini kelihatan rumit karena di kelas rendah belum biasa
dilakukan, tetapi harus dicoba untuk membelajarkan model inkuiri ini pada pendidikan
tingkat dasar untuk membantu anak membiasakan diri berpikir kritis dan sistematis.

(1) Perumusan Masalah


Perumusan masalah dapat dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan
sederhana oleh guru kepada siswa.
Berdasarkan pertanyaan tersebut, siswa dibantu untuk memilih pertanyaan-
pertanyaan yang memenuhi syarat untuk dijadikan rumusah masalah. Kriteria yang
digunakan yaitu :
a. Pertanyaan itu jelas, dan menanyakan sesuatu yang dapat dimengerti oleh banyak
orang.
b. Pertanyaan itu kelak dapat dicari jawabannya berdasarkan bahan bacaan pada pokok
bahasan yang bersangkutan.
Berdasarkan kriteria tersebut, siswapun dapat mengajukan pertanyaan yang belum
ada, tetapi memenuhi syarat untuk dijadikan rumusan masalah.

(2) Perumusan Hipotesis


Setelah masalah berhasil dirumuskan, maka langkah selanjutnya merumuskan
hipotesis, yaitu dengan membuat pernyataan tentatif. Pernyataan tersebut berisi jawaban
sementara dari rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis haruslah berhubungan dengan
rumusan masalah yang diajukan sebelumnya. Untuk mendapatkan rumusan hipotesis
yang baik, siswa juga harus menguasai pengetahuan yang berhubungan dengan rumusan
masalah.
Pernyataan sementara yang disebut hipotesis itu berguna sebagai penunjuk arah
tentang inkuiri yang dilaksanakan, agar pelaksanaan inkuiri dapat terfokus. Karena itu,
kita perlu memberikan jawaban sementara untuk diuji kebenarannya. Jawaban-jawaban
yang telah teruji itulah yang merupakan jawaban hasil inkuiri yang secara empirik
diyakini kebenarannya. Maka inkuiri mendapatkan hasil melalui jawaban sementara yang
disebut hipotesis tersebut.
Pernyataan-pernyataan tersebut akan dibuktikan kebenarannya setelah dilakukan
pengumpulan dan analisis data. Maka pernyataan tersebut dapat saja benar, tetapi dapat
pula salah. Apabila setelah dilakukan pengujian ternyata benar, maka hal itu akan menjadi
pengetahuan baru bagi siswa.
(3) Definisi (konseptualisasi) Masalah
Pernyataan-pernyataan sementara yang disebut hipotesis di atas, mengandung
fakta dan konsep yang berasal dari berbagai bidang studi. Misalnya, konsep tentang
budaya yang berasal dari antropologi, peta yang berasal dari geografi, dsb. Konsep-
konsep yang berasal dari berbagai bidang studi tersebut dapat dipahami secara berbeda
oleh orang yang berbeda. Karena itu haruslah dibuat definisi yang jelas dan dapat
dimengerti orang banyak.

(4) Pengumpulan Data


Dalam inkuiri, rumusan masalah akan dijawab dengan pengumpulan data.
Demikian pula hipotesis juga akan diuji melalui data yang dikumpulkan. Karena itu,
tahap pengumpulan data amat menentukan dalam serangkaian langkah inkuiri.
Pengumpulan data bisa dilakukan dengan cara melakukan survey, eksperimen, atau kajian
sejarah. Survey dapat dilakukan dengan terlebih dulu menetapkan sampel, yaitu sebagian
dari sebuah populasi yang akan diselidiki, yang karenanya memiliki ciriciri yang sama
dengan populasinya. Penetapan sampel yang biasa dilakukan dan diakui akurasinya
adalah dengan cara acak (random).
Jangan lupa konsistensi dalam inkuiri. Karena itu, kepada siswa agar diingatkan
bahwa dalam rangkaian inkuiri ini ada beberapa hipotesis yang harus diuji, dan
pengumpulan data ini adalah dalam rangka untuk menguji hipotesis tersebut.

(5) Evaluasi dan Analisis Data


Evaluasi data dimaksudkan untuk menentukan apakah data yang dikumpulkan
sudah cukup dan lengkap untuk melakukan pengujian hipotesis, serta dapat dipercaya
atau belum. Data yang tidak berguna dapat disimpan untuk keperluan inkuiri yang lain
yang sesuai dengan data tersebut. Data yang didapat dari studi sejarah, laporan tertulis,
atau dokumen lain juga harus diteliti secara berhati-hati, misalnya sumber data tersebut
apakah akurat atau tidak. Evaluasi dapat dilakukan dengan membandingkannya terhadap
data serupa dari sumber yang berbeda.
Data yang sudah dievaluasi dan memenuhi syarat, maka digunakan untuk menguji
hipotesis dengan cara menganalisisnya. Analisis dilakukan sesuai kebutuhan pengujian
hipotesis. Jika hipotesis yang diajukan adalah hipotesis deskriptif, maka analisis yang
dilakukan juga secara deskriptif, yaitu memaparkan makna yang dijelaskan dalam data
yang sudah dikumpulkan. Tapi jika hipotesis yang diajukan adalah hipotesis tentang
hubungan, maka analisis yang dilakukan juga analisis data tentang hubungan, dst.

6) Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dimaksudkan untuk melakukan verifikasi setiap hipotesis
yang diajukan dengan data dan informasi yang telah dikumpulkan. Apabila hipotesis
sudah dapat diverifikasi dan cocok dengan data dan informasi yang dikumpulkan, maka
hasil verifikasi (pencocokan) itu dapat dijadikan generalisasi, sebagai salah satu bentuk isi
dari pembelajaran IPS sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa generalisasi adalah hipotesis yang sudah teruji melalui verifikasi terhadap data.
Siswa dibimbing untuk mendapatkan generalisasi sebagai hasil dari kegiatan inkuiri yang
mereka lakukan.

(7) Kembali ke langkah awal untuk melakukan inkuiri sekali lagi .


Untuk merangsang pelaksanaan inkuiri selanjutnya, guru dapat memancing
dengan beberapa pertanyaan, antara lain sebagai berikut:
• Apakah kita dapat memastikan bahwa kesimpulan yang kita dapat sebagai
hasil dari inkuiri ini akurat?
• Apakah terdapat informasi lain yang dapat melengkapi dan menyempurnakan
generalisasi yang kita hasilkan?
• Benarkah bahwa hanya daerah yang berhasil kita daftar saja yang memiliki
budaya pepatah yang bernilai itu?
• Apakah kita memiliki data dan informasi mengenai daerah lain secara lebih lengkap.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mendorong siswa untuk mencari informasi
lain dan melakukan inkuiri selanjutnya. Bisa saja dalam inkuiri selanjutnya didapat
kesimpulan berupa generalisasi bahwa “secara umum masyarakat Indonesia di seluruh
daerah memiliki kata-kata pepatah yang mengandung hikmah bagi kehidupan manusia”.

3. Pembelajaran Fakta Dan Konsep Dalam IPS


Dalam tingkatan materi pembelajaran, fakta adalah bagian pengetahuan dengan
tingkat yang paling rendah. Namun demikian, fakta menduduki jumlah paling banyak
dalam pengetahuan sosial. Fakta ialah keadaan tertentu tentang kejadian atau sesuatu
yang nyata yang menjadi data atau sasaran observasi, seperti orang, tempat, arti kejadian
atau keadaan yang spesifik. Pembelajaran fakta diperlukan untuk pembelajaran pada
tingkat pengetahuan di atasnya ialah pembelajaran konsep. Hal ini karena fakta dan
konsep memiliki hubungan hirarkhis, bahwa konsep dibentuk oleh beberapa fakta.

4. Pendidikan IPS dengan Model Pembelajaran Multi Etnik dan Pembelajaran


Kooperatif

a. Pembelajaran Multi Etnik


Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman
adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Masyarakat majemuk seperti
Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan
sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertical atau jenjang menurut
kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiknya (Suparlan, 1979).
Masyarakat majemuk, dalam literature sering kita jumpai juga atau identik dengan istilah
pluralisme. Pluralisme adalah suatu paham yang menerima koeksistensi keragaman yang
mencakup berbagai suku bangsa, golongan, agama, dsb dalam suatu masyarakat yang
majemuk tersebut yang merupakan pengejawantahan motto “Bhinneka Tunggal Ika”,
yaitu meski pun berbedabeda, kita tetap satu jua, yakni Indonesia. Salah satukekuatan
kesukubangsaan yang dapat dilihat dan diamati sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari
dari sebuah masyarakat sukubangsa adalah kemampuannya untuk menentukan macam
mata pencaharian yang dapat dikerjakan oleh pendatang dari sukubangsa lain.
Bila pelanggaran dilakukan maka konflik antar sukubangsa berpotensi untuk dapat
terwujud. Oleh karena itu, kerukunan dan kesatuan bangsa dalam masyarakat yang
majemuk seperti Indonesia amat perlu dikembangkan. Dari aspek pendidikan, khususnya
pendidikan IPS, yang bisa dilakukan ialah menanamkan pentingnya rasa kerukunan dan
persatuan bangsa itu melalui wahana pendidikan. Maka perlu dicari upaya metodologi
pembelajaran, khususnya dalam pendidikan IPS yang mampu membangun semangat
kebersamaan, kerukunan dalam berbangsa dan bermasyarakat. Keterampilan yang
dibutuhkan ialah keterampilan kooperatif yang antara lain mampu menjadi pendengar
yang baik, menghargai kontribusi pihak lain dalam kelompok, kemampuan berpartisipasi
dalam kelompok dan sebagainyauntuk mengembangkan keterampilan dan rasa kerukunan
dan persatuan bangsa tersebut ialah model pembelajaran multi etnik.
Model pembelajaran ini menurut Akhinuddin (2001) adalah
menumbuhkembangkan pengetahuan tentang kelompok etnik tertentu. Asumsi
operasionalnya adalah menambah pengetahuan tentang suatu kelompok etnik, dan
diharapkan dapat menumbuhkembangkan sikap positif. Struktur konsep model ini adalah
mempelajari suatu etnik dengan pandangan : (1) suatu suku itu adalah alami dan dalam
proses perubahan dan pertumbuhan, (2) suatu suku diatur oleh sistem nilai dan
kepercayaannya, (3) pada suatu suku terdapat keragaman internal, (4) pada suatu suku ada
kesamaan dan ada pula perbedaan dengan suku lainnya.
Pengajaran multi etnik (ethnic plural) merupakan strategi pengajaran yang
menyadari adanya keragaman etnik dan bahasa. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut,
maka pengajaran di kelas haruslah mempertimbangkan keragaman tersebut,umpamanya:
menerima siswa dari berbagai asal etnik, mengatur tempat duduk yang mencerminkan
pembauran etnik yang berbeda, dan upaya lainnyayang berkenaan dengan penanaman
rasa menghargai keragaman, serta menumbuhkan persatuan dalam kerukunan. Pendidikan
multi etnik (dan multi kultur), menurut Marsh (1991:294) adalah untuk :
• Memahami proses imigrasi dan memiliki perhatian yang relevan untuk mendorong
faktor-faktor efektif dalam proses tersebut.
• Memahami kebiasaan, nilai-nilai dan kepercayaan, yang ditunjukkan oleh masyarakat
pada umumnya
• Menumbuhkan kepercayaan diri terhadap etnis lain yang berbeda
• Mengembangkan kemampuan untuk menghindari stereotip
• Mampu mengevaluasi kultur lain secara objektif
• Mengembangkan kemampuan menerima perbedaan tanpa rasa terancam
• Menghargai masyarakat bangsa di sebuah negara yang multi kultur
• Menghargai perbedaan dan menghindari prasangka.
Pendekatan yang dapat dipilih antara lain:
a. Pengorganisasian Pelajaran berdasarkan Unit Pengorganisasian pembelajaran
berdasarkan unit dimaksudkan sebagai pembelajaran yang difokuskan pada suatu
topik tertentu yang dapat diambil dari kurikulum pendidikan IPS.
b. Pembelajaran secara Integrasi Pembelajaran secara integrasi dimaksudkan sebagai
proses pembelajaran yang dilaksanakan denganmengintegrasikan berbagai bidang
studi seperti musik, bahasa, kesenian dan lainlain dalam sebuah aktivitas
pembelajaran yang dirancang untuk tujuan pendidikan IPS.

b. Model Pembelajaran Kooperatif


1 ). Keterampilan-keterampilan yang dapat dilatih dengan Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi pelajaran, tetapi siswa
dilatih menguasai keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif.
Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas.
Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membagi tugas anggota
kelompok selama kegiatan. Keterampilan-keterampilan kooperatif tersebut antara lain
sebagai berikut (Lundgren dalam Karuru, 2005) “
• Keterampilan Tingkat Awal
1) Menggunakan Kesepakatan, yaitu kemampuan menyamakan pendapat yang berguna
untuk meningkatkan kerja dalam kelompok.
2) Menghargai kontribusi, yaitu menghargai pendapat orang lain
3) Mengambil giliran dan berbagai tugas, kemampuan kelompok, bahwa setiap
anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia mengemban tugas/
tanggung jawab tertentu dalam kelompok.
4) Berada dalam kelompok, yaitu kemampuan bertahan untuk bekerja selama kegiatan
berlangsung
5) Berada dalam tugas, kemampuan meneruskan tugas yang menjadi tanggung
jawabnya, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan.
6) Mendorong partisipasi, yaitu kemampuan mendorong semua anggota kelompok
untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok.
7) Mengundang orang lain untuk berpartisipasi
8) Menyelesaikan tugas pada waktunya
9) Menghormati perbedaan individu
• Keterampilan Tingkat Menengah
Keterampilan tingkah menengah meliputi kemampuan menunjukkan penghargaan
dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara dapat diterima, mendengarkan
dengan aktif, bertanya, membuat rangkuman, menafsirkan, mengatur dan mengorganisir,
serta mengurangi ketegangan.
• Keterampilan Tingkat Mahir
Berupa kemampuan mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menanyakan
kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi.

2) Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif


Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam melaksanakan Pembelajaran
Kooperatif menurut Karuru (2005) antara lain sebagaimana tergambar pada tabel

5. Model Inkuiri untuk Pembelajaran Nilai dalam IPS


Untuk membelajarkan system nilai hendaknya diciptakan suasana kelas yang
demokratis.. Karena itu kelas harus diciptakan sebagai laboratorium masyarakat, yang
melatih bagaimana menerapkan nila-inilai itu dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan
utama dari pembelajaran nilai ialah melatih siswa untuk mampu mengembangkan
kompetensi, baik kompetensi personal, sosial, kemampuan bertindak sebagai warga
negara.
Nilai dalam konteks ini menurut Banks (1990) ialah berupa keyakinan, yang
terletak di tengah-tengah/menjadi sentral dari keseluruhan total keyakinan yang dimiliki
seseorang. Nilai lebih umum dibandingkan dengan sikap dan mempengaruhi perilaku
manusia. Manusia biasanya mempelajari nilainilai itu melalui tingkah laku manusia lain
dalam lingkungannya. Sekolah harus memainkan peran penting dalam membantu siswa
untuk mampu mengidentifikasi, dan mengklarifikasi nilai-nilai yang hidup di tengah-
tengah masyarakat, serta pada akhirnya siswa mampu melakukan pilihan secara tepat
untuk pola perilaku dalam hidupnya. Menurut Banks (1990), yang sering dilakukan
sekolah dalam pendidikan nilai ialah melakukan indoktrinasi kepada siswa. Hal tersebut
tidak dapat berhasil, karena kita tidak bisa mendidik dengan indoktrinasi untuk
mengembangkan kemampuan merefleksi, dan membangun komitmen dalam masyarakat
yang demokratis.
1) Tujuan Pendidikan Nilai

Tujuan utama pendidikan nilai adalah membantu siswa untuk mengembangkan


keterampilan melakukan klarifikasi nilai secara konsisten, yang dapat mengarahkan
tingkah laku siswa secara reflektif. Tujuan ini hanya akan dapat dicapai apabila
pembelajaran di kelas dilaksanakan secara demokratis. Dalam kelas yang demokratis,
siswa akan dapat mengekspresikan nilai-nilai yang dimilikinya, menentukan sendiri
pilihannya untuk mendukung atau tidak mendukung sesuatu hal, dapat
mempertimbangkan akibat apa yang diterima dengan pilihannya itu. Dengan suasana
seperti ini siswa juga akan lebih memiliki kesempatan memikirkan dan menguji nilainilai
yang dimilikinya, untuk mengembangkan komitmennya terhadap harga diri manusia,
persamaan, dan nilai-nilai demokrasi yang lain.
2) Model Pembelajaran Inkuiri Nilai

Pembelajaran nilai dalam IPS memiliki metoda yang beragam. Itu semua adalah
dalam kerangka menyiasati untuk membantu siswa mendapatkan dan melakukan pilihan
nilai yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran umum,keadilan serta sistem nilai dan
moralyang dianut masyarakatnya. Beragamnya metoda pendidikan nilai, juga mengingat
nilai tidak efektif dibelajarkan dengan metode pembelajaran kognitif.
Karakteristiknya memang berbeda. Berikut ini adalah langkah-langkah
pembelajaran nilai yang dikemukakan Bank (1990), yang disebutnya sebagai “inkuiri
nilai”.
(1) Menetapkan Problem Nilai (Pengamatan dan Pembedaan)

Untuk dapat melakukan refleksi nilai dalam rangka memecahkan masalah


berhubungan dengan nilai-nilai, maka siswa harus lebih dulu menetapkan, menyadari,
dan mendefenisikan adanya nilai. Guru dapat membantu siswa antara lain dengan
menyajikan masalahmasalah yang ada dalam buku cerita, atau informasi faktual
sehari-hari. Siswa diajak untuk mengenali dan menguraikan komponen-komponen
nilai yang disajikan itu.

(2) Menjelaskan nilai yang relevan dengan tingkah laku (menjelaskan dan membedakan)
Pada tahap ini, siswa diajak untuk mengidentifikasi dan memberikan nama terhadap
perilaku yang terdapat dalam cerita tersebut. Perilaku yang diberi nama ialah perilaku
yang merupakan karakter individu. Untuk membantu siswa dapat diajukan pertanyaan
pertanyaan sebagai berikut:

• Apa saja yang dilakukan oleh para tokoh dalam cerita tersebut?

Ketika siswa menjelaskan perilaku para tokoh dalam cerita, mereka dituntut membuat
kesimpulan-kesimpulan kecil, dan pertimbangan serta pembenaran nilainilai.

Dengan demikian siswa sebenarnya telah melakukan aktifitas untuk mengembangkan


keterampilan mengamati, membedakan, membuat keputusan dan melakukan
penilaian.

(3) Melakukan Identifikasi-Deskripsi, dan Hipotesis

Guru dapat membantu siswa pada tahap ini dengan mendaftar perilaku yang
dilakukan oleh setiap tokoh dalam cerita dalam bentuk beberapa kolom. Berdasarkan
tokoh. Siswa kemudian diminta untuk mencocokkan perilaku yang penting pada suatu
kolom dengan perilaku penting lainnya yang terdapat pada kolom yang lain.
(4) Menentukan Konflik Nilai yang ada dalam Perilaku yang dijelaskan.

Langkah ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada siswa bahwa di masyarakat


terdapat banyak konflik nilai. Dalam cerita yang disajikan pada bagian awal
pembelajaran, guru dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan
siswa untuk menemukan nilai-nilai yang bertentangan di antara para tokoh. Pada
cerita factual yang disampaikan kepada siswa, maka siswa dapat menganalisis
masalah-masalah mungkin masalah nilai yang berhubungan dengan kehidupan
berpolitik, budaya, dan etika yang saling mempengaruhi.
(5) Menyusun hipotesis mengenai Nilai yang akan Dianalisis.

Pada tahap ini, siswa diminta untuk menyatakan hipotesis mengenai tujuan nilai yang
akan dianalisis, sebagaimana disebut pada langkah ketiga. Hipotesis dinyatakan
berdasarkan alasan-alasan yang mereka miliki dalam menanggapi nilai yang muncul.
Langkah ini dimaksudkan untuk membantu siswa untuk menemukan nilai-nilai yang
menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat. Melalui tahap ini juga siswa dapat
mengevaluasi, apakah nilai yang ada itu sesuai dengan berbagai situasi yang ada di
tengah-tengah masyarakat.
Bentuk hipotesis, misalnya berisi tentang “mengapa nilai yang dianut setiap tokoh
dalam cerita yang disajikan itu berbeda?” “Apa yang menyebabkan perbedaan
tersebut?” Hipotesis dapat juga dinyatakan mengenai akibat yang terjadi dari
perbedaan nilai yang mendasari kejadian tersebut.
(6) Identifikasi Nilai Alternatif melalui Pengamatan Perilaku Siswa pada akhirnya akan
menyadari kenyataan bahwa di tengah masyarakat terdapat berbagai nilai alternatif
yang dapat dipilih. Langkah ini dirancang untuk membantu siswa mendapatkan dan
memilih nilai alternatif. Guru dapat mengarahkan siswa dengan mengajukan
pertanyaan sebagai berikut: Ketika seorang tokoh yang ada dalam cerita merasa pas
memperagakan nilai yang dimilikinya (melalui perilaku) “apakah terdapat nilai
lain?” Siswa akan menyadari bahwa pandangan seseorang bukanlah satu-satunya
kebenaran. Terdapat pandangan lain (berdasarkan nilai alternatif tertentu) yang juga
memiliki nilai kebenaran.
(7) Menyatakan Hipotesis tentang konsekuensi yang mungkin muncul dengan
memperkirakan, embandingkan, atau embedakan.

(8) Menyatakan Nilai yang Dipilih.

(9) Menyatakan Alasan, Sumber, dan Berbagai Konsekuensi dari pilihan Nilai Langkah
ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan melakukan jastifikasi, menguji
hipotesis, dan memperkirakan akibat-akibat yang akan timbul dari pilihan
perilakunya. Hasil yang akan dicapai ialah kemampuan siswa dalam
mengekspresikan dan mempertahankan nilai pilihannya dalam kehidupan seharihari,
misalnya berkaitan dengan persamaan hak, keadilan, dan harga diri kemanusiaan.

Prinsipnya, dalam inkuiri nilai, siswa harus mampu mengekspresikan sikap, keyakinan-
keyakinan, nilai-niai yang mereka pilih secara bebas. Mereka akan menguji, memferivikasi
dan memilih nilai-nilai baru yang dianggap lebih sesuai.

C. Pengembangan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran pengetahuan Sosial di SD/


MI
1. Makna Dan Tujuan Pendidikan Nilai

Pendidikan nilai pada hakekatnya termuat dalam pembelajaran setiap mata


pelajaran. Namun pada karakteristik dasar disiplin keilmuan, masing-masing ilmu
berkembang menjadi objek kajian dan menuntut kemampuan teknis-metodelogis. Fase
seperti itu dapat menjadi seolah terlepas dari kedudukan dasar dan tujuan keilmuan
(efistemologi). Penembangan teknis keilmuan seperti itu bukan hanya berlangsung pada
universitas sebagai pengembangan ilmu, tetapi implikasinya nampak hingga dikatakan
sejak sekolah dasar. Berdasarkan itu, dalam penyelanggaraan pendidikan salah satu
tujuannya adalah mengantarkan peserta didik dalam penguasaan ilmu.
Pendidikan nilai berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia
yang utuh. Pembinaan nilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dapat
menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pemetaan baru atas komponen tujuan dalam artian riilnya. Tentunya dapat
dipahami sebagai langkah strategis yang diharapkan akan mendekati pencapaian tujuan
pendidikan pada keseluruhan proses aktivitas dan aktualisasi progres di dalam dan di luar
kelas. Karena itu, makna perolehan hasil belajar berkenaan khusus dengan pemahaman
nilai dan internalisasinya pada kemampuan integral guru dan sekolah.
Dalam Living Values Education (2004: 1) dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan
Nilai adalah:
“to help individual think about and reflect on different values and the practical
implications of expressing them in relation to them selves, other, the community, and the
world at large, to inspire individuals to choose their own personal, social, moral and
spiritual values and be aware of practical methods for developing anf deepening them”.
Sementara Winecoff ( 1988 : 1-3 ) mengungkapkan bahwa tujuan Pendidikan
Notes adalah sebagai berikut : Tujuan Nilai Pendidikan adalah proses membantu siswa
untuk mengeksplorasi nilai-nilai keluar melalui pemeriksaan kritis agar mereka bisa
meningkatkan dari meningkatkan kualitas pikiran dan perasaan mereka .

2. Pembelajaran Pengetahuan Sosial sebagai Pendidikan Nilai

Di atas telah cukup dijelaskan bahwa Pengetahuan Sosial di dalam kurikulum


2004 atau seperti disebut menurut keperluan teknisnya dilapangan, menunjukkan
keutuhan mata pelajaran ini sebagai satu kesatuan yang tak terlepas dari dua pilar
besarnya, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Mata pelajaran ini menyajikan bahan kajian yang terkoordinasi dan sistematis
yang mengambil dari disiplin ilmu social seperti; antropologi,arkeologi, ekonomi,
geografi,sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi, termasuk
bagian yang sesuai dari ilmu-ilmu kemanusiaan, matematika, hingga ilmu-ilmu
alam”.Merujuk perkembangan dan pengembangannya baik di tanah air maupun di negeri
asalnya, subtansi materi dan tujuan pembelajaran bidang studi ini cukup ajeg
memperlihatkan kedudukan dan karakteristik khususnya lebih sebagai media, alat dan
model program pendidikan nilai.
Meski Pendidikan nilai sendiri sebagai dimafhumi tidaklah sepenuhnya menjadi
hak tunggal sebuah bidang studi atau bidang studi ini sekalipun, akan tetapi
pengorganisasian materi sejauh mengenai pembentukan sikap dan perilaku peserta didik
sebagai anggota sebuah komunitas; mulai dalam lingkup keluarga, masyarakat hingga
pada aktualisasi legal-formalnya dikemudian hari, ketika mulai dewasa sebagai warga
negara ;adalah subtansi pembinaan nilai,yang model pencapaian sasaran hasil belajarnya
terletak secara teknis dan strategis pada butiran dan keseluruhan program yang disebut
oleh kurikulum 2004 sekarang sebagai pelajaran Pengetahuan Sosial. Dengan demikian,
fungsi peran mata pelajaran ini dapat tetap dikatakan sebagaimana disandang sendiri atau
bersama dengan sebutan berbeda sekalipun sebagai bukan lain dari pelajaran yang
bertujuan, antaralain ; a) menanamkan nilai-moral agar menjadi prinsip-dasar / keyakinan,
b) mengajarkan norma untuk diketahui, dipahami dan dihormati, c) membelajarkan
penguasaan konsep-konsep untuk dimengerti agar membekali pembentukan daya
abstraksi, hingga secara bertahap dan simultan pada saat dan sesuai perkembangannya,
setiap peserta didik sebagai subjek-ajar memperoleh pengayaan pengalaman belajar, dan
memperoleh bentukan penghayatan, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
dalam aktualisasi kehidupannya mulai sebagai diri sendiri / individu,anggota keluarga,
warga masyarakat dan negara.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan IPS adalah “program pendidikan yang memilih bahan pendidikan dari
disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniti, yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan”. Yang dimaksud dengan ilmiah ialah bahwa pendidikan
IPS disajikan secara sistematis dengan memperhatikan urutan isi yang logis. Sedangkan
psikologis dimaksudkan bahwa pendidikan IPS disusun berdasarkan kondisi siswa, guru,
ruang kelas, sekolah, yang berbeda dalam: kultur, harapan, aspirasi, perasaan, lingkungannya
dan faktor psikis lainnya. Karakteristik pokoknya ialah bahwa pendidikan IPS menggunakan
pendekatan multi dan trans-disiplin, bahannya bersumber dari berbagai pengetahuan sosial
dan humaniora. Tujuan pendidikan IPS antara lain adalah berupaya meningkatkan
kemampuan warga negara dalam memahami dan menghayati hak dan kewajibannya, dalam
kerangka membangun masyarakat demokratis ditengah-tengah masyarakat yang majemuk.
Secara khusus, tujuan Pendidikan IPS mencakup tujuan pada aspek pengetahuan/kognitif
(heads-on), aspek ketrampilan (hands-on), dan aspek sikap (hearts-on).

B. Saran
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan melalui makalah ini yaitu sebagai seorang
calon guru diharuskan mampu menguasai prospek pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Kapita Selekta


Pembelajaran, Jakarta: 2007.

http://suksespend.blogspot.com/2009/06/konsep-dasar-dan-filosofi-pendidikan.html (26
september 2014)

http://ismails3ip.staff.fkip.uns.ac.id/2012/01/26/pendidikan-nilai/ (26 september 2014)

Anda mungkin juga menyukai