Anda di halaman 1dari 31

i

AKHLAK BERNEGARA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata
Kuliah Akhlak Tasawuf

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5 :

1. CHINDY ALRISTIANI / 1851030223

2. LUTFIA APRILIAN / 1851030242


3. RITA DIANA MEI SARI / 1851030363

KELAS F

AKUNTANSI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2018
ii

KATA PENGANTAR

‫بسم هلال الرحمن الرحىم‬


Segala puji bagi Allah kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang

telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan

makalah ini sesuai waktu yang telah ditentukan. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas

kelompok mata kuliah Akhlak Tasawuf.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan serta dukungan

dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam

pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, dengan keterbatasan waktu, tenaga serta pengetahuan penulis

kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat

maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan kelapangan hati, kami menerima segala saran

dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, Oktober 2018

Penulis
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4

1.1. Latar Belakang....................................................................................................4

1.2. Rumusan Masalah................................................................................................5

1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................6

2.1. Pengertian Akhlak...............................................................................................6

2.2. Pengertian Negara...............................................................................................6

2.3. Pengertian Akhlak Bernegara.............................................................................6

2.4. Ruang Lingkup Akhlak Bernegara......................................................................7

A. Musyawarah...................................................................................7

B. Menegakkan Keadilan..................................................................12

C. Hubungan antara Pemimpin dengan yang Dipimpin....................................17

BAB III PENUTUP........................................................................................................22

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................22

3.1 Saran..................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................23
iv
4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Modernisasi zaman yang semakin berkembang dari waktu ke waktu menuntut manusia

untuk memahami akhlak secara essensial, dalam arti bahwa manusia memahami akhlak bukan

hanya sebagai sikap atau perilaku saja. Melainkan akhlak tersebut diimplementasikan dalam

kehidupan sehari – hari.

Dalam bahasan kami kali ini yaitu akhlak bernegara. Akhlak ini perlu untuk disadari oleh

kita agar kita dapat menjadi semakin kritis terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan

negara kita. Bukan hanya itu, hal ini didorong dengan kekhawatiran akan bobroknya generasi

kita, apabila tidak dibekali dengan pengetahuan tentang akhlak yang cukup, untuk menjalani

kehidupan kedepannya.

Tetapi sebelum memasuki pembahasan, ada baiknya kita mengenal definisi dari akhlak

tersebut. Akhlak berasal dari kata “akhlaq”yang merupakan jamak dari “khulqu” dari bahasa

Arab yang artinya perangai, budi, tabi’at, dan adab.

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa akhlak merupakan sikap atau

tabi’at dari seseorang. Dalam akhlak bernegara, tentunya menggambarkan sikap seseorang

terhadap bangsa dan negaranya, sikap tersebut menunjukkan jati diri dari orang tersebut.

Dengan demikian, dalam makalah kami ini akan membahas beberapa ruang lingkup dari

akhlak bernegara ini, adapun ruang lingkup tersebut antara lain :

 Musyawarah

 Menegakkan keadilan
5

 Hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin

Oleh karena itu, untuk mempelajari dan mengenal lebih dalam tentang akhlak bernegara

dan ruang lingkupnya, maka dalam makalah ini akan dibahas secara jelas mengenai akhlak

benegara tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian akhlak?

2. Apakah pengertian negara?

3. Apakah yang dimaksud akhlak bernegara?

4. Apa saja ruang lingkup dari akhlak bernegara?

5. Bagaimana pentingnya musyawarah dalam negara?

6. Bagaimana menegakkan keadilan dalam negara?

7. Bagaimana hubungan pemimpin dengan yang dipimpin?

1.3. Tujuan Penyusunan

Tujuan penyusunan makalah ini antara lain :

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud akhlak, negara, serta akhlak bernegara.

2. Untuk mengetahui apa saja ruang lingkup dari akhlak bernegara.

3. Untuk mengetahui pentingnya musyawarah dalam negara.

4. Untuk mengetahui cara menegakkan keadilan dalam negara.

5. Untuk mengetahui bagaimana seharusnya hubungan antara pemimpin dengan yang

dipimpin.
6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Akhlak

Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu

keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.1

Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti

perangai, tingkah laku, atau tabiat. Cara membedakan akhlak, moral dan etika yaitu dalam etika,

untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran

atau rasio, sedangkan dalam moral dan susila menggunakan tolok ukur norma-norma yang

tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam masyarakat (adat istiadat), dan dalam akhlaq

menggunakan ukuran Al Qur’an dan Al Hadis untuk menentukan baik-buruknya.2

2.2. Pengertian Negara

Negara merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku

bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent.

2.3. Pengertian Akhlak Bernegara

Akhlak Islam dalam kehidupan bernegara di landasi atas nilai ideologi, yaitu

menciptakan “baladtun tayyibatun wa rabbun ghafur”, atau negeri yang sejahtera dan sentosa.

Dengan membangun kemakmuran di muka bumi, maka cita – cita kebahagiaan dalam kehidupan

dunia dan akhirat akan terwujud sesuai dengan janji Allah SWT. Hal tersebut dapat dicapai

antara lain dengan akhlak yang baik, iman, dan amal. Ini bermakna bahwa manusia harus

mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

1
Ahmad A.K. Muda. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Reality Publisher. Hal 45-50
2
Mubarak, Zakky, dkk. 2008. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi, Buku Ajar II, Manusia, Akhlak, Budi
Pekerti dan Masyarakat. Depok: Lembaga Penerbit FE UI.Hlm. 20-39
7

2.4. Ruang Lingkup Akhlak Bernegara

A. Musyawarah

Secara etimologis, musyawa rah (musyawarah) berasal dari kata syawara yang pada

mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang,

sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk

pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata

musyawarah pada dasarnya hanya digunakan pada hal-hal yang baik, sejalan dengan makna

dasarnya.3

Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara yang dari segi

jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan timbal balik), maka

musyawarah harus bersifat dialogis, bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas

mengeluarkan pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui

kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi

mengandung kelemahan.

1. Arti Penting Musyawarah

Musyawarah atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan peraturan

didalam masyarakat manapun. Setiap negara maju yang menginginkan keamanan, ketentraman,

kebahagiaan dan kesuksesan bagi rakyatnya, tetap memegang prinsip musyawarah ini. Tidak

aneh jika islam sangat memperhatikan dasar musyawarah ini. Islam menanamkan salah satu surat

dalam Al-Qur’an dengan Asy-Syura, di dalamnya dibicarakan tentang sifat-sifat kaum

mukminin, antara lain, bahwa kehidupan mereka itu berdsarkan atas musyawarah, bahkan segala

urusan mereka diputuskan berdasarkan musyawarah diantara mereka. Sesuatu hal yang

3
M.Quraish Shihab, Wawasan Al - Qur’an, Tafsir Mau’dhui atas Berbagai Persoalan Ummat (bandung, Mizan, 1996) hal. 469.
8

menunjukan betapa pentingnya musyawarah adalah bahwa aat tentang musyawarah itu

dihubungkan dengan kewajiban sholat dan menjauhi perbuatan keji.4 Allah SWT berfirman :

‫ رون‬H‫ف‬Hْ‫غ‬H‫ما ض ُبوا ي‬ ‫ن ر ا ِْل والْفَ وا ش و‬ ‫ج‬ ‫وال ن‬


َ
‫هُم‬ َ
‫غ‬ ‫ِإذَا‬ ‫ح‬ H‫م‬Hْ‫ث‬ H‫ئ‬H‫ا‬Hَ‫ب‬Hَ‫ك‬ H‫و‬Hُ‫ب‬Hِ‫ن‬Hَ‫ت‬ ‫ّذي ي‬

(QS. Asy-Syura 42: Ayat 37)

‫م‬
H‫ا‬H‫م‬H‫وم‬ ‫ ى‬H‫ر‬H‫و‬Hُ‫َ وأَ رهُ ش‬ ‫وال ذين ا ستَ جابُوا ل رب'ِه وأَقَا موا ال‬
H‫ن‬HْH‫ي‬Hَ‫ب‬ ‫ل َة م م‬ ‫م‬ ّ
‫ّص‬

H‫ن‬H‫و‬Hُ‫ق‬HِH‫ف‬Hْ‫ن‬Hُ‫ ي‬H‫م‬HُH‫ه‬H‫ا‬Hَ‫ن‬HْH‫ر زق‬

(QS. Asy-Syura 42: Ayat 38)

“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan

apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima

(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)

dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami

berikan kepada mereka.” (Q.S Asy-Syura 42:37-38)

Dalam ayat diatas, Syura’ atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam

dituturkan sesudah Iman dan sholat. Menurut Taufik Asy-Syawi, hal ini memberi pengertian

bahwa musyawarah mempunyai martabat sesudah ibadah terpenting, yaitu sholat, sekaligus

memberikan pengertian bahwa Musyawarah merupan salah satu ibadah yang tingkatannya sama

dengan sholat Dan Zakat. Maka masyarakat mengabaikannya dianggap suatau masyarakat yang

tidak menetapi salah satu ibadah.5


9
4
Muhammad Abdul Kadir, Hakekat Sistem Politik Islam (Yogyakarta, 1987). hlm 98-99.
5
Taufik Asy-Syawi, syura bukan demokrasi, terjemahan Djamaluddin Z.S (jakarta, gema insani press, 1997). hlm. 68.
1

2. Lapangan Musyawarah

Berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya, di mana segala sesuatu bisa dan harus

dimusyawarahkan supaya terwujud kehendak mayoritas dalam rangka menegakkan kedaulatan

rakyat, maka isalam memberi batasan hal-hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan.

Karena musyawarah adalah pendapat orang, maka apa-apa yang sudah ditetapkan oleh

nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan, sebab pendapat orang tidak

boleh mengungguli Wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) jadi musyawarah hanyalah terbatas pada

hal hal yang bersifat Ijtihadiyah. Para sahabat pun jika dimintakan pendapat tentang suatu hal,

terlebih dahulu mereka menanyakannya kepada Rasulullah SAW, apakah masalah yang

dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau meruakan ijtihad Nabi, maka mereka

mengemukakan pendapat.

3. Tata Cara Musyawarah

Tentang tatacara musyawarah serta keharusan mengikuti tatacara itu, tidak ada nash Al-

Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkannya, juga tidak ada nas yang mengharuskan

ditetapkannya jumlah anggota majlis permusyawaratan dan cara menghadirkan para anggota.

Tatacara musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah ternyata sangat bervariasi ; (1)

Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat pendapat

itu benar, maka beliau mengamalkannya. Seperti pendapat Al-Hubab ibn al-Mundzir tentang

pemilihan tempat yang strategis dalam perang Badar dan pendapat Salman al-Farisi tentang

penggalian parik pertahanan dalam perang Khandak; (2) Kadan-kadang beliau bermusyawarah

dengan dua atau tiga orang saja. Kebanyakan dengan Abubakar dan Umar; (3)kadang kala beliau
1

bermusyawarag denga seluruh massa dan melalui cara perwakilan, seperti yang terjadi setelah

perang Hunain tentang rampasan perang dan permohonan bantuan melalui utusan Hawazin.6

Dari beberapa peristiwa bervariasi diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tatacara

musyawarah, anggota Musyawarah, bisa selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan

perkembangan zaman, tetapi hakekat musyawarah harus selalu tegak ditengah masyarakat dan

negara.

Ada hal-hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh ummat, baik langsung maupun

lewat perwakilan, dan ada hal-hal yang cukup dimusyawarahkan dengan pemimpin (ulil amri),

ulama, cendikiawan dan pihak-pihak yang berkompeten lainnya, tetapi tetap dan tidak boleh

tidak harus dengan semangat dan kejujuran , buka dengan semangat kepentingan dan

ketidakjujuran. Yang dicari dalam musyawarah adalah kebenaran, bukan kemenangan.

4. Sikap Bermusyawarah

Supaya musyawarah berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan, Allah SWT

berfirman :

ۖ‫ك‬ ‫ضوا ح‬ ‫اظ غ ظ ا ب‬ ‫ك‬ َ‫رحمة َ ل ه ول‬ ‫فَ ِبما‬


‫َفاعف‬ ‫من ْو‬ ‫ِلي ْلقَ ْل َل ْنف‬ ‫ْنت‬ ‫من لّ ْنت ْم ْو‬
‫ِل‬ ‫ل‬
‫ِا‬

‫حب‬H‫ن لالََّ ُي‬ ‫لَّا‬ ‫ت َفت لَعى‬ ‫ر ۖ عز‬ ‫ع ْن ه واستَ غ ر ه وشاور ه ي ا َْْل‬
‫َوكل‬ ‫ا م‬Hَ‫ذ‬H‫َف ِإ‬ ‫ْم‬ ‫ل‬
‫ْم‬ ‫ِ ف ْم‬ ‫ْم‬

‫ا ْل متَ 'ك ِلين‬


‫َو‬
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka.
1

sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari

sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

6
Muhammad Abdul kadir, Hakekat Sistem Politik Islam, Hlm.110.
1

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah

membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S Ali-Imran 3:159)

Allah SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan dalam

bermusyawarah, yaitu sikap lemah lembut, pemaaf dan memohon ampunan Allah SWT.

1. Lemah lembut

Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari

tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan

bertebaran pergi.

2. Pemaaf

Setiap orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia

memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat,

atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal itu masuk

kedalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah

menjadi pertengkaran.

3. Memohon ampunan Allah SWT

Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah, hubungan dengan tuhanpun harus

harmonis. Oleh sebab itu, semua anggota musyawarah harus senantiasa selalu

membersihkan diri dengan cara memohon ampun kepada Allah SWT baik untuk diri

sendiri maupun untuk anggota musyawarah yang lainnya.7

7
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Hlm.473-475.
1

B. Menegakkan Keadilan

Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (bahasa arab),yang mempunyai arti antara lain sama

dan seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama

banyak, atau meberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok dengan status yang

sama. Misalnya semua pegawai dengan kompetensi akademis dan pengalama kerja yang sama

berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang sama. Semua warga negara sekalipun dengan

status sosial-ekonomi-politik- yang berbeda –beda harus tetap mendapatkan perlakuan yang

sama dimata hukum.

Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang

dengan kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya orang tua

yang adil akan membiayai pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-

masing sekalipun secara normal masing-masing anak tidak mendapatkan jumlah yang sama.

Dalam hukum waris misalnya, anak laki-laki ditetapkan oleh Al-Qur’an (Q.S An-Nisa’ 4:11)

mendapatkan warisan dua kali bagian anak perempuan. Hal itu karena laki-laki setelah

berkeluarga menanggung keluarga karena kewajiban menghidupi isteri dan anak-anaknya,

sementara anak perempuan setelah berkeluarga dibiayai oleh suaminya.

1. Perintah Berperilaku Adil

Di dalam Al – Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia

berlaku adil dalam menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum ada yang bersifat

khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya :

‫غي‬
ِ ‫عن ا ْلفَح َ وا م وا‬ ‫و َي‬ ‫ا ْل وا ْ ِْلح سان و ِإيتَاء ذي ا ْلقُ ر‬ ‫ِإ َ أْم‬
‫شاء ْل ْنكر ْل َب‬ ‫ْنهى‬ ‫َبى‬ ‫َعدل‬ ‫ن لّ ر‬
H‫ل‬
‫َا‬
1

‫عظك م ل ل ك ْم كرون‬
ْ
‫ذ‬Hَ‫ّ ت‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada

kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia

memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” ( Q.S An-Nahl 16:90)

Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (Q.S

An-Nisa’ 58); adil terhadap musuh (Q.S Al-Ma’idah : 8) ; adil dalam rumah tangga (Q.S An-

Nisa’: 3 dan 129); dan adil dalam berkata (Q.S Al-An’am : 152).

2. Keadilan Hukum

Islam mengajarkan bahwa semua semua orang mendapat perlakuan yang sama dan

derajat yang sama dalam hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan hukum, status

sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman :

‫س‬
َ ‫حكمتُ ْين النَّا‬ ‫ْمانا ت ى ه و‬ َ ‫ن ََّلال ْأم كم ن دوا‬
‫أن‬ ‫ْم‬ ‫ِإل أ ِله ِإذا‬ ‫ر أ ُتؤ ا ل‬
‫ا‬ َ

‫صيرا‬ ‫سميعًا‬ ‫كان‬ ‫ن‬ ‫عما َيع ظكم ه‬ ‫ن‬ ‫ا ْل‬ ‫َتحكموا‬
‫ََّلال‬ ‫ََّلال‬ ‫دل‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya

kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya

kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S An-Nissa :

58).

Keadilan hukum harus ditegakkan walau terhadap diri sendiri, atau terhadap keluarga
1

dan orang-orang yang dicintai. Tatkala seorang sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW
1

meminta “keistimewaan” hukum untuk seorang wanita bangsawan yang mencuri, Rasulullah

SAW menolaknya dengan tegas :

“Apakah anda hendak meminta keistimewaan dalam pelaksanaan hukum allah? Sesungguhnya

kehancuran ummat yang terdahulu karena mereka menghukum pencuri yang lemah, dan

membiarkan pencuri yang elit. Demi allah yang memelihara jiwa saya, kalaulah Fatimah binti

Muhammad mencuri, pastilah aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (H.R. Ahmad,

Muslim dan Nasa’i)

3. Keadilan Dalam Segala Hal

Disamping keadilan hukum, islam memerintahkan kepada ummat manusia, terutama

orang-orang yang beriman untuk bersifat adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap

diri, dan keluarganya sendiri, apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun

seorang musuh harus tetap berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa nash berikut ini:

a) Adil terhadap diri sendiri

H‫ى‬Hَ‫ل‬Hَ‫ن ط هدَا َ َولو ع‬ ‫ وامي‬H‫ا‬H‫و‬Hُ‫ن‬H‫و‬Hُ‫ ك‬H‫ا‬H‫و‬Hُ‫ن‬H‫ ن آم‬H‫ي‬H‫َّذ‬H‫ل‬H‫َيا أَ ُّي ها ا‬


ّ ‫ ش ء ِ ل‬H‫س‬Hِ‫ق‬HْH‫ل‬H‫ا‬H‫ِب‬ ‫ق‬
‫ل‬

ُ ‫ را َفا ِّلل‬H‫ي‬Hِ‫ق‬Hَ‫ف‬ H‫ّا‬Hً‫ ي‬Hِ ‫ن‬Hَ‫ن غ‬ ‫والَديْن ْوال َقْ ربِي ن ن‬


ِ ‫ س م و‬H‫ف‬Hْ‫ن‬HَH‫أ‬
‫و‬Hَ‫أ‬ H‫ك‬H‫إ َي‬ H‫كُ أ ال‬

‫تَت ى ن دلُوا و ن ووا أَو‬ ‫ ى ما ۖ َفَل‬H‫ل‬H‫و‬HَH‫أ‬


H‫ل‬Hَ‫ِإ ت‬ ‫ع‬Hَ‫ أ ت‬H‫و‬H‫ه‬HْH‫ل‬H‫ّبُِعوا ا‬ ‫ِبه‬

H‫ا‬H‫ر‬H‫ي‬H‫لَّال َ ن ما َتع ملُون خ خ ِب‬ ‫وا َفِإن‬ ‫ُتعْر‬


‫ ب‬H‫ا‬Hَ‫ك‬
1

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak

keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan

kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
1

Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran.”

(Q.S An-Nisa’ 4:135)

b) Adil terhadap isteri dan anak - anak

‫ ََّل ط ي ا ْل َيتَام ى َفا حوا َ َ ك من ساء ْمثْ َنى‬Hَ‫ ْم أ‬Hُ‫و ِإن خ ْفت‬
'‫ِالن‬ ‫ْنك ما ط ب‬ ‫ ْقس وا‬H‫ُت‬
‫ا ل ْم‬

‫حدةً أَ و م َلك ت ما ك ذ ك د نَ ى‬
ْ َ َ ‫ ْم أ ع‬H‫وثُ ث ع ۖ خ ْف ُت‬
‫ ْي نُ ْم َ أ‬Hَ‫أ‬ ‫ما‬ ‫ََّل ت ِد ُلوا وا‬ ‫ن‬H‫ََل ور َبا ِإ‬
‫ِل‬

َ‫أ‬
َ
‫َّل تَُعولُوا‬
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian

jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja.” (Q.S An-

Nisa’ 4:3)

“Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah diantara anak-anakmu.” (H.R. Muslim)

c) Adil dalam mendamaikan perselisihan

‫وا َفأ ص احو َب ْي هما ۖ َفِإن َغت ح ه علَى‬Hُ‫تَ ل‬Hَ‫ ْقت‬H‫من ا مؤم ن ا‬ ‫َطا‬ ‫و ِإن‬
‫َدا ما‬ ‫َن‬ ‫ِني‬ ‫ْل‬ ‫ِئ َفَتان‬
‫ِل‬

‫لَّال ۚ َفإ ن ْ صحوا‬


ِ ‫وا الَّ ِتي ت ح ى ت ء ى أ‬Hُ‫ى َفَقا ِتل‬ ‫ا ْْلُخر‬
‫فَاء ت‬ ‫ْبغي ت ِفي ِإل ْمر‬
‫فَأَ ِل‬ ّ

‫ ْل ْقس م طين‬H‫ب ا‬ ‫ن‬ ‫ح‬H‫ل ّالََ ُي‬ ‫و ط‬ ‫ا‬


2

‫دل وأَ ْقس‬ ‫ا‬ ‫هما ْل‬ ‫ْ ي َن‬


“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu

damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,

hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah

Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan

hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku

adil.” (Q.S Al-Hujurat 49:9)


2

d) Adil dalam berkata

‫َل ال هي حسن ح ى ي غ شد وأَ ْوفُوا‬ ‫َول تَ ربُوا مال ا َْلي ي‬


‫ت ْبل أ ُّه‬ ‫أ‬ ‫ِتي‬ ‫ِم‬ ‫ْق‬
ّ

‫ا ق‬Hَ‫َل ه و ِإذ‬ ‫ا ْل ك وا ْلمي زا ا قسط َ ك ف نَفسا‬


‫ ْم‬H‫ْل ُت‬ ‫وسع ا‬ '‫ل ِل‬ ‫ن ْل‬ ‫ْيل‬
‫ن‬

‫صاكم ه‬ ‫وا ذ كم‬H‫ ْو ُف‬Hَ‫فَا عدلُوا ولَو كان ذَا ق ربَى و َِبعهد ِأ‬
‫َ و‬ َّ ‫ل‬
‫ِل‬ ‫ل‬
‫ا‬

‫لَعل كم َتذ كرون‬


َ
ّ
“Dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah

kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah

kepadamu agar kamu ingat.” (Q.S Al-An’am 6:152)

e) Adil terhadap musuh sekalipun

H‫م‬Hُ‫َّك‬H‫ن‬H‫م‬H‫َول ي ر‬ H‫ط‬H‫س‬HِH‫ق‬HْH‫ل‬H‫ا‬Hِ‫َّ ه ء ب‬ ‫ مين‬H‫ا‬H‫و‬Hَ‫ ق‬H‫ا‬H‫و‬Hُ‫ن‬H‫و‬Hُ‫ ك‬H‫ا‬H‫و‬Hُ‫ن‬H‫ ن آم‬H‫ي‬H‫َّذ‬H‫ل‬H‫َيا أَ ُّي ها ا‬


‫ج‬ ‫ل ِ ش َدا‬

ۚ ‫ال‬Hََّ ‫وات ل‬ ‫َب‬ ‫ أَْقر‬H‫ا‬H‫و‬HُH‫ع دل‬ ‫ ى َتْع دلُوا ۚ ا‬H‫ل‬Hَ‫ن ع‬ H‫آ‬Hَ‫ن‬H‫َش‬


‫ّقُوا‬ H‫ى‬H‫و‬Hْ‫ق‬Hّ َ ‫ت‬H‫ل‬Hِ H‫و‬Hُ‫ه‬ ‫أََل‬ H‫م‬H‫و‬Hَ‫ق‬
2

‫ما َتتع ملُون‬ ‫ِإن لَّ َال خ ِبي ر‬


‫ب‬
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu

menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah

sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak

adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada

Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-

Ma’idah 5:8)
2

Tentu masih banyak nash Al-Qur’an dan Sunnah tentang keadilan dalam seluruh

aspek kehidupan, dan dari ayat-ayat diatas cukuplah kita dapat menyimpulkan bahwa

Islam mengingatkan keadilan yang komprehensif, yang mencakup keadilan politik,

ekonomi, sosial dan lain-lainnya.

C. Hubungan antara Pemimpin dengan yang Dipimpin

Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin bagi orang-orang yang

beriman :

‫ماتِإلَىالن‬
ِ ‫جهممنَالظ‬ ‫وايخر‬
ُ ‫من‬ُ ‫َّ هولِيُّال ذي َنآ‬H‫ل‬H‫ل‬H‫ا‬
‫ّور‬ ُ‫ّل‬ ّ

‫رإلَىالظ مات‬ ‫ه‬ ‫جون‬


َ ‫مالط‬ ‫وال ذينَكَفَ روا ولَِيا ؤ‬
ِ
ُ‫ّل‬ H‫ّو‬Hُ‫ن‬H‫ل‬H‫ا‬Hَ‫ن‬H‫مم‬ ‫وتُيخر‬ ُ ّ
ُ ‫اغ‬ ‫ُه‬ َ‫أ‬ ّ

‫خالِ ُدون‬
‫ِمفيها‬ ‫صحابُالن ر‬ ‫أُو َٰلَِئكَأ‬
‫ّا ه‬
“Allah SWT pemimpin orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan

(kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah

syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu

adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al-Baqarah 2:257)

Azh-Zhulumat (kegelapan) dalam ayat diatas adalah simbol segala kekufuran, kemusyrikan,

kefasikan dan kemaksiyatan. Atau dalam bahasa sekarang Azh-zhulumat adalah bermacam-

macam ideologi atau isme-isme yang bertentangan dengan ajaran islam seperti komunisme,

sosialisme, kapitalisme, liberalisme, materialisme, hedonisme dan lain sebagainya. Sedangkan

An-nur adalah simbol dari kehidupan, keimanan, ketaatan dan segala kebaikan lainnya.

At-thaghut adalah sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah swt dan dia suka
2

dipertuhan tersebut. Menurut Sayyid kutub, adalah sesuatu yang menentang da melanggar batas
2

yang telah digariskan oleh Allah swt kepada hamba-hambanya. Dan dia berbentuk pandangan

hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah SWT.

Secara operasional kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, dan

sepeninggalan beliau kepemimpinan itu diteruskan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu

dinyatakan didalam Al-Qur’an :

‫صلة و ؤتُو َنال ز‬


ََ ‫ِإن ماو ِليُّكُمالل ورسُولُ هو ذي َنآ منُواالَّ ذي َنيُ ي مو َنال‬
‫َك‬ ‫ُي‬ ‫ال‬ ّ
H‫ن‬H‫و‬Hُ‫ع‬H‫ك‬H‫ا‬H‫ر‬H‫م‬Hُ‫ه‬H‫و‬Hَ‫ة‬H‫ا‬
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman,

yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Q.S Al-

Ma’idah 5:55)

a) Kriteria Pemimpin

Pemimpin ummat atau dalam ayat diatas diistilahkan dengan waliy dan dalam ayat lain (Q.S

An-Nisa’ 4:59) disebut dengan ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW setelah

beliau meninggal dunia. Sebagai Nabi dan Rasul, nabi Muhammad Saw tidak bisa digantikan,

tapi sebagai kepala negara, pemimpin ummat, ulil amri tugas beliau dapat digantikan.

Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus

memenuhi empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Ma’idah ayat 55 diatas.

1. Beriman kepada Allah SWT

Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah Saw, sedangkan Rasul sendiri

adalah pelaksana kepemimpinan Allah Swt, maka tentu saja yang pertama sekali harus

dimiliki adalah keimanan (iman kepada Allah Swt,kepada Rasulullah dan rukun iman

yang lainnya). Tanpa keimanan kepada Allah Swt dan Rasulnya bagaimana mungkin dia
2

dapat diharapkan memimpin ummat menempuh jalan Allah Swt diatas permukaan bumi

ini.

2. Mendirikan Sholat

Sholat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah Swt. Seorang pemimpin yang

mendirikan sholat diharapkan memiliki hubungan yang baik dengan Allah Swt.

Diharapkan nilai-nilai kemulian dan kebaikan yang terdapat dalam sholat dapat tercermin

dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai Kejujuran.

3. Membayarkan Zakat

Zakat adalah ibadah Mahdhah yang merupakan simbol kesuciaan dan kepedulian sosial.

Seorang pemimpin yang bezakat diharapkan selalu mensucikan hati dan hartanya. Dia

tidak akan mencari dan menikmati harta dari jalan yang tidak halal( misalnya dengan

korupsi, kolusi dan nepotisme).dan lebih dari apada itu dia mempunyai kepedulian sosial

yang tinggi terhadap kaum dhu’afa’ dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-

orang yang lemah.

4. Selalu Tunduk dan Patuh Kepada Allah SWT

Dalam ayat diatas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu Ruku’.

Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasulnya, yang secara

kongkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kafah(total), baik dalam

aspek akidah, ibadah, akhlak maupun mu’amalat.

b) Kepatuhan Kepada Pemimpin

Kepemimpinan Allah SWT dan Rasul-Nya adalah kepemimpinan yang mutlak diikuti

dan dipatuhi. Sedangkan kepemimpinan orang-orang yang beriman adalah kepemimpinan yang

nisbi (relatif). Kepatuhan kepadanya tergantungan dengan paling kurang dua faktor : (1) faktor
2

kualitas dan integritas pemimpin tersebut; (2) faktor arah dan corak kepemimpinannya. Kemana

ummat yang dipimpinnya akan dibawah, apakah untuk menegakkan Dinullah atau tidak.

Perbedaan kepatuhan itu telah diisyaratkan di dalam firman-Nya :

‫ها َيا‬
ُ H‫ي‬H‫َّذ‬H‫ل‬H‫رس َول و طيعُوا ل ََّه طيعُوا آ ا‬
‫منوا ن‬ ِ ُ‫ وأ‬H‫ر‬H‫م‬Hَ ‫منْ ُْكم َْأال‬
ُ ‫ولي ال‬
Hُ‫ي‬Hَ‫أ‬ ‫ أ‬H‫َا‬ َ‫أ‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara

kamu....” (Q.S An-Nisa’ 4:59)

Perintah taat kepada Rasul disebutkan secara eksplisit seperti perintah taat kepada Allah,

sementara perintah taat kepada ulil amri hanya diikutkan kepada perintah sebelumnya. Artinya

kepatuhan kepada ulil amri itu sendiri tergantung kepatuhan Ulil amri itu kepada Allah dan

rasulnya.

Untuk hal-hal yang sudah diatur dan diterapkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis, sikap

pemimpin dan yang dipimpin sudah jelas, harus sama-sama tunduk pada hukum Allah. Tetapi

dalam hal-hal yang bersifat ijtihadi, ditetapkan secara musyawarah dengan mekanisme yang

telah disepakati bersama. Akan tetapi, apabila terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat

disepakati antara pemimpin dan yang dipimpin, maka yang diikuti adalah pemimpin. Yang

dipimpin kemudian tidak boleh menolaknya dnegan alasan pendapatnya tidak dapat diterima.

c) Persaudaraan Pemimpin Dengan Yang Dipimpin

Sekalipun dalam struktur bernegara (dan juga pada level dibawahnya) ada hirarki

kepemimpinan yang mengharuskan ummat atau rakyat patuh pada pemimpinnya, tetapi dala

hubungan sehari-hari hubungan pemimpin dan yang dipimpintetaplah dilandaskan pada prinsip

ukhuwah-ukhuwah islamiyah, buka prinsip atasan dengan bawahan, atau majikan dengan buruh,,

tetapi prinsip sahabat dengan sahabat.demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
2

Kaum muslimin yang ada disekitar beliau waktu itu dipanggil dengan sebutan sahabat-

sahabat, suatu panggilan yang menunjukkan hubungan yang horisontal, sekalipun ada kewajiban

untuk patuh sepenunya kepada beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul. Hubungan persaudaraan

seperi itu dalam praktiknya tidaklah melemahkan kepemimpinan Rasulullah saw, tetapi malah

semakin kokoh karena tidak hanya didasari hubungan formal, tetapi juga didasari dengan

hubungan hati yang penuh dengan kasih sayang.8

BAB III

PENUTUP
8
Prof. Dr. H. Rachmat Jatnika : Etika Berkuasa, Hlm. 73.
2

3.1. Kesimpulan

Dalam bernegara kita seharusnya bisa menjalankan aturan-aturan sebagaimana yang

dianjurkan oleh Rasulullah SAW, yaitu akhlak bernegara, seperti yang dicontohkan oleh

Rasulullah SAW dalam kepemimpinannya. Dan salah satu yang diajarkan Rasul dalam

bernegara, yaitu menyelesaikan persoalan negara dengan musyawarah guna untuk mencapai

sebuah mufakat, karena persoalan negara tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu,

makanya dibutuhkan musyawarah. Tapi perlu kita pahami dalam musyawarahpun ada aturan-

aturan main yang harus dijalankan. Yang kedua, dalam kepemimpinan disebuah negara

dibutuhkan sebuah sifat adil, keadilan sangat diperlukan karena dalam Al-Qur’an sendiri

keadilan harus dijalankan dalam kepemimpinan negara bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bukan hanya itu, bahkan terhadap musuhpun kita dianjurkan untuk adil. Yang ketiga, sebagai

orang yang dipimpin, kita mau menjalankan apa saja yang diperintahkan oleh pemimpin,

selama apa yang diperintahkan tidak melanggar hukum syariat.

3.2. Saran

Mari kita menyiapkan diri untuk segera meneladani Rasulullah SAW secara total,

dengan menerapkan syariah Islam di seluruh aspek kehidupan bangsa ini secara total. Pilih

pemimpin yang memiliki tekad kuat untuk meneladani Rasulullah SAW dalam setiap aspek

kehidupan. Pilih pemimpin yang hanya akan menerapkan aturan Islam secara total dalam

bernegara.

DAFTAR PUSTAKA
3

Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A. 1999. Kuliah Akhlak. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

M. Quraish Shihab. 1996. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan

Ummat. Bandung : Mizan.

Muhammad Abdul Kadir. 1987. Hakekat Sistem Politik Islam. Yogyakarta : Pustaka Setia.

Taufik Asy-Syawi. 1997. Syura Bukan Demokrasi, terjemahan Djamaluddin Z.S. Jakarta : Gema

Insani Press.

Prof. Dr. H. Rachmat Djatnika. 1996. Etika Berkuasa. Jakarta : Pustaka Panjimas.

Anda mungkin juga menyukai