Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH AIK III

Akhlak Bernegara ; akhlak terhadap pemimpin , akhlak pemimpin, musyawarah,


adil.

Kelompok 1
1. ANNIDA BANDU YUNUS
2. DANDUNG SETYO WIBOWO
3. ANNISA DWI SEPTIANI
4. SALVIANTI
5. SERLINA LA HADI

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang
telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini sesuai waktu yang telah ditentukan. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Akhlak Tasawuf.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan serta dukungan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, dengan keterbatasan waktu, tenaga serta pengetahuan penulis
kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan kelapangan hati, kami menerima segala saran
dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................................1
DAFTAR ISI................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................3
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................5
1.3. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................7
2.1. Pengertian Akhlak ..................................................................................................8
2.2. Pengertian Negara .................................................................................................9
2.3. Pengertian Akhlak Bernegara.................................................................................10
2.4. Ruang Lingkup Akhlak Bernegara .........................................................................11
A. Musyawarah ..................................................................................................12
2.5. Akhlak terhadap pemimpin......................................................................................13
2.6. Akhlak pemimpin.....................................................................................................14
2.7. Adil..........................................................................................................................15
BAB III PENUTUP .......................................................................................................16
3.1. Kesimpulan...............................................................................................................17

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Modernisasi zaman yang semakin berkembang dari waktu ke waktu menuntut manusia
untuk memahami akhlak secara essensial, dalam arti bahwa manusia memahami akhlak bukan
hanya sebagai sikap atau perilaku saja. Melainkan akhlak tersebut diimplementasikan dalam
kehidupan sehari – hari.
Dalam bahasan kami kali ini yaitu akhlak bernegara. Akhlak ini perlu untuk disadari oleh
kita agar kita dapat menjadi semakin kritis terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan
negara kita. Bukan hanya itu, hal ini didorong dengan kekhawatiran akan bobroknya generasi
kita, apabila tidak dibekali dengan pengetahuan tentang akhlak yang cukup, untuk menjalani
kehidupan kedepannya.
Tetapi sebelum memasuki pembahasan, ada baiknya kita mengenal definisi dari akhlak
tersebut. Akhlak berasal dari kata “akhlaq”yang merupakan jamak dari “khulqu” dari bahasa
Arab yang artinya perangai, budi, tabi’at, dan adab.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa akhlak merupakan sikap atau
tabi’at dari seseorang. Dalam akhlak bernegara, tentunya menggambarkan sikap seseorang
terhadap bangsa dan negaranya, sikap tersebut menunjukkan jati diri dari orang tersebut.
Dengan demikian, dalam makalah kami ini akan membahas beberapa ruang lingkup dari
akhlak bernegara ini, adapun ruang lingkup tersebut antara lain :
 Musyawarah
 Menegakkan keadilan
 Hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin
Oleh karena itu, untuk mempelajari dan mengenal lebih dalam tentang akhlak bernegara
dan ruang lingkupnya, maka dalam makalah ini akan dibahas secara jelas mengenai akhlak
benegara tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian akhlak?
2. Apakah pengertian negara?
3. Apakah yang dimaksud akhlak bernegara?
4. Apa saja ruang lingkup dari akhlak bernegara?
5. Bagaimana pentingnya musyawarah dalam negara?
6. Bagaimana menegakkan keadilan dalam negara?
7. Bagaimana hubungan pemimpin dengan yang dipimpin?

1.3. Tujuan penyusunan makalah ini antara lain :


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud akhlak, negara, serta akhlak bernegara.
2. Untuk mengetahui apa saja ruang lingkup dari akhlak bernegara.
3. Untuk mengetahui pentingnya musyawarah dalam negara.
4. Untuk mengetahui cara menegakkan keadilan dalam negara.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Akhlak
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu
keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.

Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti
perangai, tingkah laku, atau tabiat. Cara membedakan akhlak, moral dan etika yaitu dalam etika,
untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran
atau rasio, sedangkan dalam moral dan susila menggunakan tolok ukur norma-norma yang
tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam masyarakat (adat istiadat), dan dalam akhlaq
menggunakan ukuran Al Qur’an dan Al Hadis untuk menentukan baik-buruknya.

2.2. Pengertian Negara


Negara merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku
bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent.

2.3. Pengertian Akhlak Bernegara


Akhlak Islam dalam kehidupan bernegara di landasi atas nilai ideologi, yaitu
menciptakan “baladtun tayyibatun wa rabbun ghafur”, atau negeri yang sejahtera dan sentosa.
Dengan membangun kemakmuran di muka bumi, maka cita – cita kebahagiaan dalam kehidupan
dunia dan akhirat akan terwujud sesuai dengan janji Allah SWT. Hal tersebut dapat dicapai
antara lain dengan akhlak yang baik, iman, dan amal. Ini bermakna bahwa manusia harus
mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

2.4. Ruang Lingkup Akhlak Bernegara


A. Musyawarah
Secara etimologis, musyawa rah (musyawarah) berasal dari kata syawara yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang,
sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk
pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata
musyawarah pada dasarnya hanya digunakan pada hal-hal yang baik, sejalan dengan makna
dasarnya.

Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara yang dari segi
jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang dilakukan timbal balik), maka
musyawarah harus bersifat dialogis, bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas
mengeluarkan pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui
kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi
mengandung kelemahan.

1. Arti Penting Musyawarah


Musyawarah atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan peraturan
didalam masyarakat manapun. Setiap negara maju yang menginginkan keamanan, ketentraman,
kebahagiaan dan kesuksesan bagi rakyatnya, tetap memegang prinsip musyawarah ini. Tidak
aneh jika islam sangat memperhatikan dasar musyawarah ini. Islam menanamkan salah satu surat
dalam Al-Qur’an dengan Asy-Syura, di dalamnya dibicarakan tentang sifat-sifat kaum
mukminin, antara lain, bahwa kehidupan mereka itu berdsarkan atas musyawarah, bahkan segala
urusan mereka diputuskan berdasarkan musyawarah diantara mereka. Sesuatu hal yang
menunjukan betapa pentingnya musyawarah adalah bahwa aat tentang musyawarah itu
dihubungkan dengan kewajiban sholat dan menjauhi perbuatan keji.
“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan
apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami
berikan kepada mereka.” (Q.S Asy-Syura 42:37-38)
Dalam ayat diatas, Syura’ atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam
dituturkan sesudah Iman dan sholat. Menurut Taufik Asy-Syawi, hal ini memberi pengertian
bahwa musyawarah mempunyai martabat sesudah ibadah terpenting, yaitu sholat, sekaligus
memberikan pengertian bahwa Musyawarah merupan salah satu ibadah yang tingkatannya sama
dengan sholat Dan Zakat. Maka masyarakat mengabaikannya dianggap suatau masyarakat yang
tidak menetapi salah satu ibadah.
2. Lapangan Musyawarah
Berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya, di mana segala sesuatu bisa dan harus
dimusyawarahkan supaya terwujud kehendak mayoritas dalam rangka menegakkan kedaulatan
rakyat, maka isalam memberi batasan hal-hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan.
Karena musyawarah adalah pendapat orang, maka apa-apa yang sudah ditetapkan oleh
nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan, sebab pendapat orang tidak
boleh mengungguli Wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) jadi musyawarah hanyalah terbatas pada
hal hal yang bersifat Ijtihadiyah. Para sahabat pun jika dimintakan pendapat tentang suatu hal,
terlebih dahulu mereka menanyakannya kepada Rasulullah SAW, apakah masalah yang
dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau meruakan ijtihad Nabi, maka mereka
mengemukakan pendapat.
3. Tata Cara Musyawarah
Tentang tatacara musyawarah serta keharusan mengikuti tatacara itu, tidak ada nash Al-
Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkannya, juga tidak ada nas yang mengharuskan
ditetapkannya jumlah anggota majlis permusyawaratan dan cara menghadirkan para anggota.
Tatacara musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah ternyata sangat bervariasi ; (1)
Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat pendapat
itu benar, maka beliau mengamalkannya. Seperti pendapat Al-Hubab ibn al-Mundzir tentang
pemilihan tempat yang strategis dalam perang Badar dan pendapat Salman al-Farisi tentang
penggalian parik pertahanan dalam perang Khandak; (2) Kadan-kadang beliau bermusyawarah
dengan dua atau tiga orang saja.

Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang sangat bervariasi ; (1) Kadang kala seseorang memberikan
pertimbangan kepada beliau , lalu beliau melihat pendapat itu benar , maka beliau mengamalkannya (2) Kadang –
kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga orang saja (3) Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan
seluruh massa melalui cara perwaklian .

Dari beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tatacara musyawarah ,
anggota musyawarah bias selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman , tetapi hakekat
musyawarah harus selalu tegak ditengah masyarakat dan Negara .

Adapun hal – hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh umat , baik langsung maupun lewat perwakilan ,
dan ada hal – hal yang cukup dimusyawarahkan dengan pemimpin (ulil amri) , ulama , cendekiawan , dan pihak -
pihak berkompeten lainnya , tetapi tetap dan tidak boleh tidak harus dengan semangat kebenaran dan kejujuran .
Yang dicari dalam musyawarah adalah kebenaran bukan kemenangan .

4. Sikap Bermusyawarah

Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan , firman Allah dalm surat Ali Imran ayat
159 :

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran : 159)
Dapat kita lihat Allah SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan dalam bermusyawarah , yaitu
sikap lemah lembut , pemaaf , dan memohon ampunan Allah SWT .

1. Lemah Lembut

Seseorang yang melakukan musyawarah , apalagi sebagai pimpinan harus menghindari tutur kata yang kasar serta
sikap keras kepala , karena jika tidak , mitra musyawarah akan tidak menghormati pemimpin musyawarah.
2. Pemaaf

Setiap orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia member maaf . Karena mungkin
saja ketika musyawarah terjadi perbedaan pendapat , atau keluar kalimat – kalimat yang menyinggung pihak lain .
Dan bila itu masuk kedalam hati , akan mengeruhkan pikiran , bahkan boleh jadi musyawarah berubah menjadi
pertengkaran .

3. Mohon Ampunan Allah SWT

Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah , hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis . Oleh sebab
itu , semua anggota musyawarah harus senantiasa membersihkan diri dengan cara memohon ampun kepada Allah
SWT baik untuk diri sendiri , maupun anggota musyawarah lainnya .

2.5. Akhlak terhadap pemimpin.

Akhlak Terhadap Pemimpin ;

1. Mendoakan pemimpin

Imam Al-Barahari berkata, “ Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan bagi penguasa maka ia
adalah pengikut hawa nafsu, dan bila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, maka
ketahuilah bahwa ia adalah pengikut sunnah.” (Syarhus Sunnah, hal. 328) 
Imam Ahmad mengatakan, “Saya selalu mendoakan penguasa siang dan malam agar diberikan kelurusan dan taufik,
karena saya menganggap itu suatu kewajiban.” (As-Sunna Al-Khallal, hal 82-83)

2. Menghormati dan memuliakannya


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penguasa adalah naungan Allah di bumi. Barangsiapa yang
memuliakannya maka Allah akan memuliakan orang itu, dan barangsiapa yang menghinakannya, maka Allah akan
menghinakan orang tersebut.” (HR. Ahmad 5/42, At-Tirmidzi: 2225, As-Shahihah 5/376)

Sahl bin Abdullah At-Tusturi berkata, “ Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka memuliakan penguasa
dan ulama, karena jika dua orang ini dimuliakan maka akan baik dunia dan akhirat mereka, dan jika keduanya
diremehkan maka akan rusak dunia dan akhirat mereka.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi 5/260)
Thawus mengatakan, “Termasuk sunnah, memuliakan empat orang: orang alim, orang yang sudah tua, penguasa dan
kedua orang tua.” (Syarhus sunnah, Al-Baghawi 13/41)

3. Mendengar dan taat


Perintah untuk menaati pemimpin sangat banyak, sekalipun pemimpin tersebut sewenang-wenang, Diantaranya
hadis Abdullah bin Ummar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Wajib bagi seorang muslim
untuk mendengar dan taat tatkala senang maupun benci. Jika disuruh kepada maksiat, maka tidak boleh mendengar
dan taat.” (Muttafaq ‘Alaih)

Umar bin Khattab mengatakan, “Tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan
pemimpin, dan tidak ada pemimpin kecuali harus ditaati.” (Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 1/62)

4. Menasehati dan meluruskan pemimpin dengan rahasia


Etika ini hendaknya diperhatikan bagi yang ingin menasihati pemimpin, sebagaimana Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin maka janganlah ia memulai dengan terang-terangan, namun
hendaknya ia ambil tangannya, kemudian bicara empat mata. Jika diterima maka itulah (yang diharapkan), jika tidak
maka ia telah melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/303. Ath-Thabrani 17/367, dishahihkan oleh Al-Albani)
Imam Malik mengatakan, “ Merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang telah diberikan Ilmu oleh Allah dan
pemahaman untuk menemui penguasa, menyuruh mereka dengan kebaikan, mencegahnya dari kemungkaran, dan
menasehatinya. Sebab, seorang alim menemui penguasa hany untuk menasehatinya, dan jika itu telah dilakukan
maka termasuk keutamaan di atas keutamaan.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah fi Bayani Haqqi ar-Ra’i war Ra’iyyah, hal.
66).

Tapi janganlah ia menceritakan kepada khalayak bahwa ia telah menasehati pemimpin, karena itu termasuk ciri-ciri
riya’ dan lemahnya iman. (A-Riyadhun Nadhirah 49-50)

5. Membantunya
Rakyat wajib membantu pemimpinnnya dalam kebaikan, sekalipun haknya dikurangi. Karena menolongnya
akan membuat agama dan kaum muslimin menjadi kuat, lebih-lebih kalau ada sebagian rakyat yang ingin meneror
dan memberontak kepadanya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi kalian, ingin mematahkan
kekuatan kalian atau memecah belah kalian, sedangkan kalian mempunyai pemimpin, maka bunuhlah.” (HR.
Muslim: 1852)

6. Banyak beristighfar tatkala diberikan pemimpin tidak baik


Ketahuilah, bahwa urusan kekuasaan, kedudukan, dan kerajaan adalah milik Allah. (QS. Ali Imran: 26) Allah
juga menyebutkan, bahwa keadaan rakyat itulah yang menentukan siapa pemimpin mereka. Dia Subhanahu wa
Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. An-Nur: 55).

Rahasia dari semua itu, bahwa baik atau tidaknya pemimpin, tergantung sejauh mana rakyatnya berpegang
kepada syariat Islam. Muhammad Haqqi menjelaskan dalam tafsirnya,  “Jika kalian adalah ahli ketaatan, maka
kalian akan dipimpin oleh orang yang penuh rahmat. Jika kalian adalah ahli maksiat, kalian akan dipimpin oleh
orang yang suka menindas.”
Kondisi rakyat yang rusak agama dan akhlaknya sangat berpengaruh kepada keadaan penguasanya. Ubadah bin
Shamit radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk memberitahukan orang-
orang tentang Lailatul Qadar, kemudian ada dua muslim bertengkar. Nabi bersabda, “’Saya keluar untuk
memberitahukan tentang Lailatul Qadar, kemudian si fulan dan fulan bertengkar. Dan ilmu tentang itu sudah
diangkat, dan bisa jadi itu baik bagi kalian.” (HR. Al-Bukhori: 1919).

Dari seseorang yang pernah ikut shalat Shubuh bersama Rasulullah, lalu beliau ragu-ragu pada suatu ayat.
Setelah salam beliau bersabda, “Sesunguhnya telah dirancukan kepadaku Al-Quran,  karena ada beberapa orang di
antara kalian yang ikut shalat bersama kita tidak menyempurnakan wudhunya.” (HR. Ahmad: 15914, dihasankan
oleh Al-Albani dalam shahih At-Targhib: 222)

Perhatikanlah, bagaimana Nabi dilupakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala suatu ilmu yang sangat agung, yaitu
tentang Lailatul Qadar gara-gara ada sahabat yang bertengkar, beliaupun kacau bacaannya sebab makmumnya ada
yang tidak menyempurnakan wudhu. Bagiamana lagi jika rakyat akidahnya rusak, ibadahnya jauh dari sunnah,
kemudian rakyat ingin pemimpin yang shalih?! Bukankah bani Israil diubah menjadi kera ketika dipimpin oleh
manusia terbaik (Nabi Musa) dan belum dikutuk tatkala dipimpin oleh Fir’aun? Di satu sisi, itulah hukuman bagi
mereka. Sedangkan bagi rakyat yang shalih itu termasuk dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.
Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25)

Jika mereka bersabar maka itu akan menghapus dosa yang telah lalu. Al-Baji (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa:
615) mengatakan, “Terkadang sekelompok orang melakukan perbuatan dosa yang hukumannya akan merembes di
dunia kepada orang lain yang tidak melakukan dosa tersebut. Adapun di akhirat, seseorang tidak akan menanggung
dosa orang lain.”

2.6. Akhlak seorang pemimpin


1. Tawadhu
Secara harfiyah tawadhu artinya rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong. Dalam pidatonya,
Khalifah Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap sebagai satu-satunya orang
yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena seorang
pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik. Kalau ia memiliki sifat sombong, jangankan kritik,
saran dan nasihatpun tidak mau diterimannya. Akibat selanjutnya adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya
sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya. Karena itu kesombongan menjadi kendala utama bagi manusia untuk bisa
masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah Swt sangat murka kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya,
apalagi para pemimpin. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata
rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan
Harun as.

2. Menjalin Kerjasama
Dalam pidato Khalifah Abu Bakar di atas, tercermin juga akhlak seorang pemimpin yang harus dimiliki yakni
siap, bahkan mengharapkan kerjasama dari semua pihak, beliau mengatakan: “maka bila aku berlaku baik dalam
melaksanakan tugasku, bantulah aku”. Ini berarti kerjasama yang harus dijalin antar pemimpin dengan rakyat adalah
kerjasama dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dalam firman-Nya: Tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS 5:2).

Seorang pemimpin tentu tidak mungkin bisa menjalankan tugasnya sendirian,sehebar apapun dirinya. Karenanya
Rasulullah Saw telah menunjukkan kepada kitabagaimana beliau menjalin kerjasama yang baik, mulai dari
membangun masjid diMadinah hingga peperangan melawan orang-orang kafir, bahkan dalam suatupeperangan yang
kemudian disebut dengan perang Khandak, Rasulullah menerima dan melaksanakan pendapat Salman Al Farisi
untuk mengatur strategi perang dengan cara menggali parit.

3. Mengharap Kritik dan Saran


Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, iapun mendapatkan
penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya
didengar orang sedangkan apapun yang dilakukannya mendapatkan liputan media massa yang luas. Dari sinilah
banyak pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran. Hal itu ternyata
tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau
memberikan kritik dan saran dengan membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan
kalimat: “Bila aku bertindak salah, betulkanlah”.

Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah sehingga saat Umar mengeluarkan
kebijakan yang meskipun baik maksudnya tapi menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar mendapat kritik yang
tajam dari seorang ibu yang sudah lanjut usia, ini membuat Umar harus mencabut kembali kebijakan tersebut.
Kebijakan itu adalah larangan memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak, karena bila tradisi itu
terus berkembang hal itu bisa memberatkan para pemuda yang kurang mampu untuk bisa menikah.

4. Berkata dan Berbuat Yang Benar


Khalifah Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan
hal ini merupakan amanah dari Allah Swt , hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin kadangkala bahkan
seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu dan dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam
pidato saat pelantikannya sebagai khalifah, Abu Bakar menyatakan: Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong
adalah khianat.

Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan tenang, karena kebohongan
akan membuat pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut bila kebohongan itu diketahui oleh orang lain yang
akan merusak citra dirinya. Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang pemimpin akan berusaha untuk terus
mencerdaskan rakyatnya, sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya cerdas, karena kecerdasan
membuat orang tidak bisa dibohongi.

5. Memenuhi Hak-Hak Rakyat


Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila hak-hak mereka
dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin itu akan berusaha untuk mengembalikan kepadanya. Karena itu
bagi Khalifah Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya meskipun mereka adalah
orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu adalah orang yang kuat, namun siapa saja yang memiliki
kekuatan atau pengaruh yang besar bila mereka suka merampas hak orang lain, maka mereka dipandang sebagai
orang yang lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain dari kekuasaannya. Akhlak pemimpin seperti
ini tercermin dalam pisato Khalifah Abu Bakar yang menyatakan: “Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat
bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah”.

Akhlak yang seharusnya ada pada pemimpin tidak hanya menjadi kalimat-kalimat yang indah dalam pidato Khalifah
Abu Bakar, tapi beliau buktikan hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai seorang pemimpin.
Satu diantara kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar zakat, karena dari harta
mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin.

6. Memberantas Kezaliman
Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan suatu bangsa
dan negara. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini berarti, seorang
pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justeru kezaliman yang dilakukan oleh
orang lain kepada rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya bagi Khalifah Abu Bakar,
sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan dianggap sebagai kecil dan lemah, dalam pidato
yang mencerminkan akhlak seorang pemimpin, beliau berkata: “Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah
berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah”.

7. Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah


Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mengarahkan rakyatnya untuk mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, iapun harus menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin tidak
menunjukkan ketaatannya kepada kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak memiliki kewajiban untuk
taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya: “Taatlah kepadaku selama
aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada
kewajibanmu untuk taat kepadaku”.

Dengan demikian, ketataan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak sebagaimana mutlaknya ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya, inilah diantara isyarat yang bisa kita tangkap dari firman Allah yang tidak menyebutkan kata taat
saat menyebut ketataan kepada pemimpin (ulil amri) dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu (QS 4:59).

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan betapa penting bagi kita untuk memiliki pemimpin dengan akhlak yang
mulia. Kerancuan dan kekacauan dengan berbagai krisis yang melanda negeri kita dan umat manusia di dunia ini
karena para pemimpin dalam tingkat nagara dan dunia tidak memiliki akhlak seorang pemimpin yang ideal.
Karenanya, saat kita memilih pemimpin dalam seluruh tingkatan di masyarakat jangan sampai memilih mereka yang
tidak berakhlak.

2.7. Adil
1. Menegangkan Keadilan

Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain sama dan seimbang. Dalam
pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama
kepada orang-orang atau kelompok. Dengan status yang sama. Misalnya semua pegawai dengan kompetensi
akademis dan pengalaman kerja yang sama berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang sama. Semua warga
negara – sekalipun dengan status sosial – ekonomi – politik yang berbeda-beda – mendapatkan perlakuan yang sama
dimata hukum.

Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan kewajiban, atau
memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya orang tua yang adil akan membiayai pendidikan anak-
anaknya sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing sekalipun secara nominal masing-masing anak tidak
mendapatkan jumlah yang sama. Dalam hukum waris misalnya, anak laki-laki ditetapkan oleh Al-Qur’an (QS. An-
Nisa’ 4:11) mendapatkan warisan dua kali bagian anak perempuan. Hal itu karena anak laki-laki setelah berkeluarga
menanggung kewajiban membiayai hidup isteri dan anak-anaknya, sementara anak perempuan setelah berkeluarga
dibiayai oleh suaminya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil diartikan (1) tidak berat sebelah; tidak memihak; (2) berpihak kepada
yang benar; berpegang pada kebenaran; dan (3) sepatunya; tidak sewenang-wenang. Beberapa pengertian ini tetap
berangkat dari dua makna kata adil diatas. Dengan prinsip persamaan seorang yang adil tidak akan memihak kecuali
kepada yang benar. Dan dengan azas keseimbangan seorang yang adil berbuat atau memutuskan sesuatu dengan
sepatunya dan tidak bertindak sewenang-wenang.

Disamping menggunakan kata ‘adl Al-Qur’an juga menggunakan kata qisbth dan mizan untuk pengertian yang
sama. Misalnya dalam dua ayat berikut ini :
“Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.”(QS. Al-A’raf 7: 29)
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksankan keadilan..”(QS. Al-
Hadid 57:25).

2. Perintah Berlaku Adil

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan menegakkan
keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat
umum misalnya :

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl 16:90)

Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ 4: 58); adil
dalam mendamaikan conflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah
tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).

3. Keadilan Hukum

Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum, tidak ada
diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Allah menegaskan :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. An-Nisa’4:58).

Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, atau terhadap keluarga dan orang-orang yang
dicintai. Tatkala seorang sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW meminta “keistimewaan” hubungan untuk
seorang wanita bangsawan yang mencuri, Rasulullah menolaknya dengan tegas:

“Apakah anda hendak meminta “keistimewaan” dalam pelaksanaan hukum Allah? Sesungguhnya kehancuran
ummat yang terdahulu karena mereka menghukum pencuri yang lemah, dan membiarkan pencuri yang elit. Demi
Allah yang memelihara jiwa saya, kaulah Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah Muhammad akan memotong
tangan puterinya itu.”(HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)

Mengingat pentingnya menengakkan keadilan itu menurut ajaran Islam, maka orang yang diangkat menjadi hakim
haruslah yang betul-betul memenuhi syarat keahlian dan kepribadian. Kecuali mempunyai ilmu yang luas, dia juga
haruslah seorang yang taat kepada Allah, mempunyai akhlaq yang mulia, terutama kejujuran atau amanah. Apabila
hakim itu seorang yang lemah, maka dia mudah dipengaruhi, ditekan dan disuap. Akibatnya orang-orang yang
bersalah dibebaskan dari hukumnya, sekalipun kesalahan atau kejahatannya sangat merugikan masyarakat dan
negara.

Rasulullah SAW bersabda dari tiga orang hakim dua akan masuk neraka dan hanya satu yang masuk sorga.
Hakim yang masuk neraka adalah 1). Hakim yang menjatuhkan hukuman dengan cara yang tidak adil, bertentangan
dengan hati nuraninya, bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sedang dia sendiri mengetahui dan menyadari
perbuatannya itu; 2). Hakim yang menjatuhkan hukuman yang tidak adil karena kebodohannya. Hakim yang masuk
sorga adalah hakim yang menjatuhkan hukuman berdasarkan keadilan dan kebenaran.
 
4. Keadilan dalam Segala Hal

Disamping keadilan hukum, islam memerintahkan kepada umat manusia, terutama orang-orang yang beriman
untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap diri dan keluarganya sendiri, apalagi kepada orang
lain. Bahkan kepada musuh sekalipun setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa nash
berikut ini :

1. Adil terhadap diri sendiri

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena
Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (terdakwa atau tergugat itu) kaya
atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti bawa nafsu kamu ingin
menyimpang dari kebenaran...”(QS. An-Nisa’4:135)

2. Adil terhadap isteri dan anak-anak

“....Kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. Tapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja...”(QS. An-Nisa’ 4:3).

3. Adil dalam mendamaikan perselisihan

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya
itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah)
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.”(QS. Al-Hujurat 49:9).
4. Adil dalam berkata

“...Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah
janji Allah. Yang demikian itu, diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am 6:152)

5. Adil terhadap musuh sekalipun

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Maidah 5:8)

Tentu masih banyak nash Al-Qur’an dan Sunnah tentang keadilan dalam seluruh aspek kehidupan yang belum
penulis sebutkan dalam fasal ini karena keterbatasan ruangan, tapi cukuplah kita menyimpulkan bahwa Islam
menginginkan keadilan yang komprehensif, yang mencakup keadilan politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya.

AMar Ma’ruf Nahi Munkar

Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-munkar) berarti menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal. Menurut
Muhammad ‘Abduh, ma’ruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani (ma ‘arafathu al-‘uqul
wa ath-thaba’ as-salimah), sedangkan munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani (ma ankarathu
al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah).

Berbeda dengan Abduh, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan “apa yang diperintahkan
syara’ (agama) dan dinilai baik oleh akal sehat” (ma amara bibi asy-syara’ wa ‘stabsanahu al-‘aqlu as-salim),
sedangkan munkar adalah “apa yang dilarang syara’ dan dinilai buruk oleh akal sehat” (ma naha ‘anhu asy-syara’
wa’staqbahahu al-‘aqlu as-salim).
 
Terlihat dari dua definisi diatas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf atau munkarnya sesuatu ada dua, yaitu
agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan
oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama adalah munkar.

Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf dan munkarnya ditentukan oleh akal sehat atau hati nurani. Jadi
waw dalam definisi Shabuni diatas berarti aw sebagaimana yang didefinisikan oleh al-Ishfahani: “Ma’ruf adalah
sebuah anma untuk semua perbuatan yang dikenal baiknya melalui akal atau syara’, dan munkar adalah apa yang
ditolak oleh keduanya” (Wa al-ma’ruf ismun likulli fi’lin yu’rafu bi al-‘aqli aw as-syari’ husnuhu, wa al-munkar ma
yunkaru bihima.

Dengan pengertian diatas tentu ruang lingkup yang ma’ruf dan munkar sangat luas sekali, baik dalam aspek
aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat (sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya,
dlsb). Tauhidullah, mendirikan shalat, membayar zakat, amanah, toleransi beragama, membantu kaum dhu’afa’ dan
mustadh’afin, disiplin, transparan dan lain sebagainya adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang ma’ruf.
Sebaliknya bahu-membahu dalam menjalankannya. Dalam hal ini Allah menjelaskan :

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah 9:71)

Dalam ayat diatas juga dapat kita lihat bahwa kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya dipikulkan kepada
kaum laki-laki tapi juga kepada kaum perempuan, walaupun dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kodrat dan
fungsi masing-masing.

Jika umat Islam ingin mendapatkan kedudukan yang kokoh di atas permukaan bumi, disamping mendirikan shalat
dan membayar zakat mereka harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Allah SWT berfirman :

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah
kembali segala urusan.”(QS. Al-Haji 22:41)

Muhammad Asad, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif, mengartikan ungkapan in makkannahum fi ‘l
ardhi dengan if We firmly establish them on earth” (manakala Kami kokohkan posisi mereka di muka bumi”.
Kedudukan yang kokoh artinya punya kekuasaan politik maupun ekonomi.

Jika umat Islam mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar, maka hal itu tidak hanya akan membuat mereka
kehilangan posisi yang kokoh diatas permukaan bumi, tapi juga akan mendapat kutukan dari Allah SWT
sebagaimana Allah dulu mengutuk Bani Israil. Allah berfirman :

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan “Isa putera Maryam. Yang demikian
itu, disebabkan mereka durhaka dan selalul melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah 5:
78-79)

Mereka dikutuk terutama karena mereka satu sama lain tidak melarang tindakan munkar yang mereka lakukan,
bukan karena mereka Bani Israil. Sebab Bani Israil (Ahlul Kitab) yang masuk Islam dan setelah itu melakukan amar
ma’ruf nahi munkar dipuji oleh Allah sebagai ornag-orang yang saleh. Allah berfirman :

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat
Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari
penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada pelbagai
kebajikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ali Imran : 113-114).

5. Nahi Munkar

Dibandingkan dengan amar ma’ruf, nahi munkar lebih berat karena berisiko tinggi, apalagi bila dilakukan terhadap
penguasa yang zalim. Oleh karena itu Rasulullah SAW sangat memuliakan orang-orang yang memiliki keberanian
menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. Beliau bersabda:
“Jihad yang paling utama ialah menyampaikan al-baq terhadap penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Trimizi dan
Ibn Majah)

Nahi munkar dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu melakukan dengan tangan
(kekuasaannya) dia harus menggunakan kekuasaannya itu, apalagi tidak bisa dengan kata-kata, dan bila dengan
kata-kata juga tidak mampu paling kurang menolak dengan hatinya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :

“Barangsiapa diantara kamu melihat kemunkaran, hendaklah dia merobahnya dengan tangannya. Kalau tidak
sanggup (dengan tangan, maka robahlah) dengan lisannya. Dan apabla tidak sanggup (dengan lisan), maka robahlah
dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).

BAB III
PENUTUP
3.1. kesimpulan

Akhlak merupakan komponen dasar islam yang berisi ajaran tentang perilaku atau sopan santun. Atau
dengan kata lain akhlak dapat disebut sebagai aspek ajaran islam yang mengatur perilaku manusia. Sedangkan
negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kolompok manusia yang bersama-sama
mendiami suatu wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan
keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan pengertian akhlak bernegara ini untuk membuat diri
kita ‘kebal’ terhadap kebatilan yang nantinya akan menggoda iman kita dalam bernegara khususnya. Akhlak
bernegara mencangkup dalam kegiatan musyawarah dan keadilan. Sedangkan nomokrasi Islam terdiri dari 8 prinsip
yang harus diciptakan dalam sebuah negara.

Anda mungkin juga menyukai