Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HADITS TARBAWI ; HONOR DAN GAJI DALAM PENDIDIKAN


Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Tarbawi

Dosen Pengampu : Zulkifli, S. Pd. I., M. Pd

Disusun oleh : Kelompok IV

Lisa Apriani

NIRM : 1209. 18. 08388

Ronatisa

NIRM : 1209. 18. 08396

Yunda Helka

NIRM : 1209. 18. 08406

Prodi/ Semester/ Lokal : PAI / IV/ B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

AULIAURRASYIDIN

TEMBILAHAN

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan khadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayahnya makalah ini dapat di selesaikan dengan tepat waktu dan sesuai dengan
rencana. Makalah yang berjudul “Hadits Tarbawi Honor dan Gaji dalam Pendidikan”
ini sebagai pemenuhan tugas dari dosen Hadits.

Pembuatan makalah ini banyak kendala yang di hadapi, namun berkat


bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak semua kendala tersebut dapat teratasi.
Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih kepada pihak yang telah berkonstribusi.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan, tetapi


masih memerlukan kritik dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi panutan bagi para pembaca,
khususnya bagi para penulis sehingga tujuan yang di harapkan dapat tercapai, amin.

Tembilahan, 08 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................2
D. Manfaat..........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian honor dan gaji...............................................................................3
B. Hadits yang menjelaskan mengenai sistem
honor dan gaji dalam dunia pendidikan........................................................3
C. Larangan pengajar menerimah upah..............................................................10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan....................................................................................................19
B. Saran...............................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidik merupakan komponen terpenting dalam pendidikan. Tanpa adanya
pendidik, maka ilmu yang akan disampaikan tidak mungkin pernah sampai
kepada peserta didik. Islam membebani orang-orang yang berilmu untuk
menyampaikan ilmunya kepada orang banyak. Oleh karena itu seorang pendidik
harus mempunyai jiwa pemimpin terhadap peserta didinya dan harus
bertanggungjawab terhadap kepemimpinannya. Agar ilmu yang akan
disampaikan dapat diterima dengan baik oleh peserta didik.
Seorang pendidik harus memberikan nasehat yang disampaikan dengan
memperhatikan komunikasi dua arah dan bukan untuk kepentingan dari sang
pemberi nasehat. Akan tetapi juga yang mendengarkan nasehat itu juga karena
agama itu nasehat. Pengahargaan patut kita berikan kepada orang-orang yang
telah berjasa dalam mengerjakan ilmu agama maupun ilmu yang lainnya, baik
berupa material maupun nonmaterial. Islam juga menekankan bagi pendidik
untuk menjaga, memelihara dan mengarahkan kepada jalan yang lurus, jalan
yang dikehendaki oleh Allah dan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah,
karena pendidik laksana ayah terhadap anaknya.
Dalam makalah ini kami akan mencoba memberikan penjelasan mengenai
hadits-hadits tentang pendidik yang meliputi honor dan gaji bagi pendidik bagi
dunia pendidikan.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan honor dan gaji ?
2. Apa isi hadits yang menjelaskan mengenai sistem honor dan gaji dalam dunia
pendidikan ?
3. Apa isi hadits yang menjelaskan tentang larangan pengajar menerima upah ?

1
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembuatan makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dari honor dan gaji.
2. Untuk mengetahui hadits yang menjelaskan mengenai sistem honor dan gaji
dalam dunia pendidikan.
3. Untuk mengetahui hadits yang menjelaskan tentang larangan pengajar
menerimah upah.

D. Manfaat
Berdasarkan tujuan di atas, maka penulis dapat mengambil manfaat dari
penulisan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan serta pengetahuan bagi
para pembaca khususnya kami sebagai penulis mengenai Hadits Tarbawi tentang
honor dan gaji dalam pendidikan serta dapat mengimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari.

BAB II

PEMBAHASAN

2
HADITS TARBAWI HONOR DAN GAJI DALAM PENDIDIKAN

A. Pengertian honor dan gaji


Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap
serta mempunyai jaminan pasti (Hasbuan: 2002), sedangkan dalam versi lain gaji
diartikan sebagai bayaran pokok yang diterima oleh seseorang tidak termasuk
unsur-unsur variabel dan tunjangan lainnya (Amstrong dan Murlis: 1994). Tidak
jau berbeda dengan honor, merupakan arti yang sama dengan gaji sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Hanya saja penggunaan kata honor menjadi lebih populer
karena sering digunakan dan menjadi makna yang lebih komprehensif
dibandingkan dengan gaji.

B. Hadits yang menjelaskan mengenai sistem honor dan gaji dalam dunia
pendidikan
1. Pengajar boleh menerima upah

ُ ‫صلَّى هلّلا‬ َ ‫ب النَّبِ ِّي‬ ِ ‫س َأ َّن نَفَرًا ِم ْن َأصْ َحا‬ ٍ ‫َع ْن اب ِْن َعبَّا‬
‫ض لَهُ ْم‬ َ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َمرُّ وا بِ َما ٍء فِ ْي ِه ْم لَ ِد ْي ٌغ َأ ْو َسلِ ْي ٌم فَ َع َر‬
‫ق ِإ َّن فِ ْي‬ ٍ ‫َر ُج ٌل ِم ْن َأ ْه ِل ْال َما ِء فَقَا َل هَلْ فِ ْي ُك ْم ِم ْن َرا‬
‫ق َر ُج ٌل ِم ْنهُ ْم فَقَ َرَأ‬ َ َ‫أو َسلِ ْي ًما فَا ْنطَل‬ ْ ‫ْال َما ِء َر ُجاًل لَ ِد ْي ًغا‬
‫شا ِء ِإلَى‬ َّ ‫ب َعلَى َشا ٍء فَبَ َرَأ فَ َجا َء بِال‬ ِ ‫ِبفَاتِ َح ِة ْال ِكتَا‬
‫ب هللا‬ ِ َ‫ت َعلَى ِكت‬ َ ‫ك َوقَالُوا َأ َخ ْذ‬ َ ِ‫َأصْ َحابِ ِه فَ َك ِر هُوا َذل‬
‫أجْ رًا َحتَّى قَ ِد ُموا ْال َم ِد ْينَةَ فَقَالُوا يَا َرس ُْو َل هللاِ َأ َخ َذ‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ ِ‫ب هللا َأجْ رًا فَقَا َل َر ُسلُو ُل هللا‬ ِ ‫َعلَى ِكتَا‬

3
ِ‫ق َما َأ َخ ْذتُ ْم َعلَ ْي ِه َأجْ رًا ِكتَابُ هللا‬
َّ ‫َو َسلَّ َم ِإ َّن َأ َح‬
) ‫( أخرجه البخاري‬
2. Kosakata (Mufradat)

a. ‫ = بِ َما ِء‬Pada air, dimaksudkan pada suatu kaum atau desa tempat turun
air.

b. ‫ = لَ ِد ْي ٌغ‬Binatang yang menggigit berbisa seperti kalajengking.


Penggunaan kata ladigh pada kalajengking secara majaj (makna kiasan)

asalnya kata ladagh (‫ )لدغ‬digunakan pada binatang berbisa pada


mulutnya seperti ular, sedangkan binatang yang berbisa pada ekornya

disebut lasa’ (‫)لسع‬, yang berbisa pada giginya disebut nahis (


‫ )نحيس‬, yang berbisa pada hidungnya disebut nakaz (‫ )نكز‬dan yang
berbisa pada suing atau taring disebut nasyath (‫)نشط‬.
c. ‫ = ِمنْ َأه ِْل ا ْل َما ِء‬Penduduk tempat turun air.
d. ‫سلِ ْي ٌم‬
َ = Nama binatang berbisa di air, asal artinya yang selamat karena
ada harapan agar selamat dari padanya.

e. ‫اق‬
ٍ ‫ = َر‬Seseorang yang bisa ruqiyah, jampi-jampi pengobatan orang
sakit dengan membaca Al-Qur’an atau do’a-do’a dari Nabi.

f. ‫ = َعلَى شَا ٍء‬Dengan upah seekor kambung


g. َ‫ = فَ َك ِر ه َُوا َذلِك‬Mereka benci hal itu.
h. ‫ = َأ َخ ْذ تُ ْم‬Engkau ambil, engkau terima.

4
3. Terjemahan
Dari Abu Abbas bahwa ada sekelompok sahabat Nabi berjalan
melewati sebuah kaum tempat turun air di dalamnya ada seorang yang digigit
binatang berbisa atau disebut binatang salim. Seorang dari penghuni air itu
menawarkan kepada mereka: Apakah ada diantara kamu seorang yang bisa
mengobati ( rukiyah ) pada air itu ada seorang yang digigit binatang berbisa?
Datanglah seorang dari mereka membacakan Al-fatihah dengan diberi upah
seekor kambing. Seorang yang tergigit binatang berbisa itu sembuh kemudian
seekor kambing itu di bawa kepada teman-temannya, tetapi mereka tidak suka
hal itu. Mereka berkata: “Engkau ambil upah atas Kitab Allah”? sehingga
mereka datang ke Madinah lantas bertanya: “Hai Rasulullah dia mengambil
upah atas Kitab Allah”. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya sesuatu
yang paling berhak kamu ambil upah adalah Kitab Allah.” (HR. Al-Bukhari).1

4. Penjelasan (Syarah Hadits)


Hadits di atas menjadi alasan kebolehan mengobati penyakit dengan
membacakan al-Fatihah dan ayat atau surat lainnya. Karena al-Qur’an itu
adalah obat (syifa’) bagi manusia, bagi hati dan jasad mereka. Dan ini juga
menjadi dalil tentang kebolehan mengambil upah (honor) dari membaca al-
Qur’an dan mengajarkannya.2
Latar belakang atau asbab al-wurud Hadits di atas adalah ketika
sekelompok sahabat Nabi SAW melewati sebuah kaum yang tinggal tempat
turunnya air. Di situ terjadi peristiwa yang mengejutkan ketika ada seekor
binatang berbisa (mungkin ular dan mungkin kalajengking) di dalam air itu
menggigit salah seorang di antara mereka. Lantas mereka minta tolong kepada
sahabat Nabi untuk mengobatinya. Di antara mereka bertanya: Apakah ada di

1
Abdul Majid Khon. Hadits Tarbawi (Hadits-hadits Pendidikan). KENCANA PRENADAMEDIA
GROUP: Jakarta. 2012. Hlm 197-199.
2
Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi AD Damsyiqi. Asbabul Wurud. KALAM MULIA: Jakarta
Pusat. 2006. Hlm 45.

5
antara kalian yang bisa mengobati seorang sakit yang digigit binatang berbisa?
Salah seorang sahabat Nabi berangkat mengobatinya dengan dibacakan surat
al-Fatihah. Dengan izin Allah, orang yang tergigit binatang berbisa itu dapat
disembuhkan dan dikasih upah seekor domba.
Ketika menerima upah itu para sahabat menanggapinya negatif dan
hati mereka merasa tidak berkenan menerima upah tersebut karena seolah
menjual ayat Al-Qur’an dengan harta benda yakni seekor domba. Mereka
bertekad akan melaporkan peristiwa ini kepada Rasulullah di Madinah.
Setelah di Madinah, mereka bertanya kepada beliau. Lantas beliau menjawab:

ُ ‫ق َما َأ َخ ْذتُ ْم َعلَ ْي ِه َأ ْج ًرا ِكت‬


ِ‫َاب هللا‬ َّ ‫ِإنَّ َأ َح‬
“Sesengguhnya sesuatu yang paling berhak kamu ambil upah adalah Kitab
Allah”
Pada riwayat al-A’masy selain al-Turmudzi diperjelas sekelompok
sahabat tersebut sejumlah 30 orang yang diutus Nabi pada malam hari
melewati suatu kampung Arab, tidak dijelaskan kampung apa namanya dan
konteksnya utusan ini bukan dalam jihad. Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim
dalam Syarah Bulugh al-Maram menjelaskan: Ada sekelompok sahabat Nabi
yang melewati suatu kampung pada malam hari, mereka ingin bertamu dan itu
sudah menjadi kebiasaan orang Arab menerima dan menjamu tamu. Tetapi
penduduk kampung itu menolaknya, lantas berpindah ke kempung lain.
Kemudian di antara tokoh kampung yang menolak tamu itu tersengat
kalajengking pada malam itu juga, mereka mencari berbagai obat tetapi tidak
dapat menyembuhkan. Di antara mereka berpendapat coba kita bertanya
kepada rombongan tamu yang kita tolak itu barangkali ada diantara mereka
yang bisa mengobatinya. Mereka pun mendatanginya dan bertanya apakah ada
diantara kalian yang bisa mengobati pimpinan kami yang sedang kesakitan
tersengat kalajengking? Jawab mereka: Ya, bisa. Mereka mengundang datang
ke kampungnya untuk mengobati, tetapi sahabat Nabi itu merasa enggan hadir

6
di kampung halamannya karena telah di tolak bertamu kecuali dengan dibayar
dengan upah yang pasti. Kemudian terjadi kesepakatan sekitar 20 hingga 30
ekor kambing.
Sahabat Nabi itu mengunjunginya, dibacakannya Al-Qur’an Surat al-
Fatihah dengan izin Allah pimpinan penduduk itu bisa sembuh dan dapat
bangun seolah terlepas dari ikatan tali. Kambing itu dibawanya dan akan
dibagikan kepada sahabat-sahabat lain dalam rombongan tersebut, tetapi para
sahabat menolaknya sebelum upah ini diperbolehkan Nabi SAW. setelah
sampai di Madinah Nabi memperbolehkannya dan bersabda: “Ketahuilah
bahwa itu adalah ruqiyah”. Nabi senyum dan bersabda: Bagi mereka dan aku
satu bagian”. Setelah dibagi Beliau menyampaikan Hadits di atas.
Hadits di atas menjadi alasan kebolehan mengobati penyakit dengan
membacakan al-Fatihah dan ayat atau surat lainnya. Karena al-Qur’an itu
adalah obat (syifa’) bagi manusia, bagi hati dan jasad mereka. Dan ini juga
menjadi dalil tentang kebolehan mengambil upah (honor) dari membaca al-
Qur’an dan mengajarkannya.
Al-Asqalaniy menjelaskan bahwa ada dua kisah berkaitan dengan
rukiyah yang dilakukan sahabat Nabi, yang kedua terhadap seorang yang
terkena penyakit gila kemudian dibacakan surat al-Fatihah dan dapat
disembuhkan (HR. Abu Daud, al-Turmudzi, dan al-Nasa’i).
Berdasarkan hadits di atas:

ُ ‫ق َما َأ َخ ْذتُ ْم َعلَ ْي ِه َأ ْج ًرا ِكت‬


ِ‫َاب هللا‬ َّ ‫أح‬
َ َّ‫ِإن‬
“Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak kamu ambil upah adalah Kitab
Allah”
Al-Asqalaniy dalam Fath al-Bariy (4):453 menjelaskan adanya perbedaan
pendapat para ulama dalam sistem penggajian, honor, atau upah dalam
pendidikan dan pengajaran:

7
a. Jumhur ulama memperbolehkan menerima upah dalam pengajaran
berdasarkan Hadits di atas.
b. Ulama Hanafiyah melarang penerimaan upah dalam pengajaran dan
memperbolehkannya dalam pengobatan atau ruqiyah saja. Alasan mereka
mengajarkan Al-Qur’an adalah ibadah pahalanya dari Allah, kebolehan
menerima upah dalam ruqiyah karena adanya Hadits tersebut. Sebagian

ً ‫َأ ْج‬
mereka berpendapat bahwa makna kata ajran ( ‫را‬ ) pada Hadits di
atas diartikan pahala sama dengan tsawab, tetapi interpretasi ini ditolak
oleh sebagian ulama karena tidak sesuai dengan konteks Asbab wurud al-
hadits seperti di atas. Sebagian ulama lagi berpendapat bahwa Hadits di
atas dinasakh (dihapus) dengan Hadits ancaman menerima upah dalam
pengajaran sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud. Pendapat ini pun
tertolak karena permasalahan nasakh harus ada indikasi yang tegas,
sementara pada Hadits di atas tidak ada indikasi itu.

Syekh ‘Athiyah muhammad salim dalam syarah bulugh al-maram,


menjelaskan bahwa berdasarkan hadits di atas hukum menerima upah atau
gaji dalam pengajara al-qur’an atau membacakanya ada beberapa pendapat:

a. Jika pemberian upah atau gajih dari kehendak sendiri dari orang yang di
ajar atau yang dibacakanya boleh saja
b. Jika di upahkan mengajar atau diberi upah karena membaca al-qur’an
tidak di perbolehkan
Kesimpulanya, tidak ada larangan secara mutlak dan secara tegas dalam
sistem gaji, honor dan upah dalam pendidikan dan pengajaran, tetapi
bergantung pada kondisi yang dihadapi karena memungkinkan kompromi
pada hadits-hadits shahih yang lahirnya kontra. Al-bukhari sendiri
meriwayatkan hadits di atas dengan beberapa teks yang sama menunjukan

8
adanya kecendrungan bolehnya menerima gaji atau honor dalam pengajaran
al-qur’an.
Abd. Al-muhsin al-ibad dalam syarah abi daud (3):403 pada bab upah
azan menyatakan bahwa upah atau penggajian pada tukang azan,imam
masjid,dan guru pengajar al-qur’an atau ibadah untuk medekatkan diri kepada
allah para ulama berbeda pandangan ada tiga pendapat:
a. Boleh menerima upah dengan alasan hadits upah pada rukiyah
sebagaimana hadits diatas
b. Tidak boleh menerima upah secara mutlak. Boleh nya meneruma upah
apabila berbentuk barang yang diwakafkan bagi kaum muslimin atau
uang kas dan atau amal dari darmawan.
c. Perumpamaan pengajaran al-qur’an bagaikan wali anak yatim,jika dia
orang mmapu tidak mau mengambil upah dan bila dia miskin ambilah
dengan makruf.
Dari berbagai pendapat di atas tidak ada yang memperbolehkan honor
atau gaji secara mutlak. Bolehnya, selalu ada catatan yang intinya dalam
profesionalis guru agama atau al-qur’an jangan tawar menawar seperti tukang
kayu,tukang besi atau profesi lain yang semata mencari upah,bukan karena
kewajiban dan bukan mencari pahala dari allah swt.
5. Pelajaran yang dipetik dari hadits
a. Bolehnya menerima upah dalam pengobatan orang sakit dengan rukiyah
membaca ayat-ayat al-qur’an atau doa-doa dari nabi saw
b. Bolehnya penggajian,honor atau upah bagi para guru,pegawai dan
kariyawan dala sisitem pendidikan dan pengajaran
c. Sunah nya menerima,menghormati,dan menjamu tamu yang datang untuk
menginap.
d. Bolehnya berobat dengan menggunakan jampi-jampi atau bacaan doa dari
al-qur’an dan hadits
6. Biografi singkat parawi hadits sahabat

9
Abdullah bin abbas telah disebutkan pada bab satu/A.

C. Larangan pengajar menerimah upah

1. ُّ ‫سا ِمنْ َأه ِْل‬


‫الصفَّ ِة ا ْلقُ ْراَ َن‬ ً َ‫ت قَا َل َعلَّ ْمتُ ن‬ ِ ‫الصا ِم‬َ ‫عَنْ ُعبَا َدةَ ْب ِن‬
‫ستُ بِ َما ِل َوَأ ْر ِم ْي‬
َ ‫سا فَقُ ْلتُ لَ ْي‬ً ‫َوا ْل ِكتاَبَةُ فََأ ْه َدى ِإلَ َّي َر ُج ٌل ِم ْن ُه ْم قَ ْو‬
‫سلَّ َم َع ْن َها‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫سَأ ْلتُ َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ َ‫سبِ ْي ِل هللاِ ف‬َ ‫َع ْن َها فِى‬
‫ق ِمنْ نَا ٍر فَا ْقبَ ْل َها (أخرجه ابن‬ ً ‫ط ْو‬َ ‫ق ِب َها‬
َ ‫ط َّو‬َ ُ‫س َّركَ َأنْ ت‬ َ ْ‫فَقَا َل ِإن‬
)‫ماجة‬

2. Kosakata (mufradat)

ُّ ‫ = َأه ِْل‬Penghuni Shuffah yakni penghunian sahabat


‫الصفَّ ِة‬
Muhajirin yang meninggalkan harta bendanya di Mekkah ditampung di suatu
tempat (di emper) di Masjid al-Nabawi.

ً ‫ = قَ ْو‬Busur panah.
‫سا‬
‫ال‬ َ ‫ = لَ ْي‬Bukan harta, bukan harta yang berharga.
ِ ‫ستُ بِ َم‬
‫ال‬ َ ‫َع ِظ ْي ِم لَ ْي‬
ِ ‫ستُ ِب َم‬
‫ = َوَأ ْر ِم ْي‬Dan aku gunakan memanah.
‫ق‬َ ‫ = َأنْ تُطَ َّو‬Hendak engkau dikalungi.

10
3. Dari Ubadah bin Shamit berkata: aku telah mengajar orang-orang membaca
Al-Qur’an. Seseorang diantara mereka memberi ku hadiah sebuah busur
panah (bukan harta) jadi dapat aku gunakan memanah di jalan Allah. Aku
mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal ini. Aku datang dan bertanya:
Wahai Rasulullah SAW seorang telah menghadiahkan aku sebuah busur
panah dari orang-orang yang telah aku ajarkan membaca Al-Qur’an, ia
bukan harta (yang mahal) dan dapat aku gunakan memanah di jalan Allah.
Nabi bersabda: “Jika engkau senang dikalungi dengan kalung dari api neraka
maka terimalah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

4. Penjelasan (syarah hadits)


Hadits di atas menjelaskan larangan menerima hadiah atau gaji dalam
pengajaran lawan hadits sebelumnya. Ubadah bin shamit seorang sahabat
sebagai guru al-qur’an dan tulis menulis di al-shuffah (tempat penampungan
sahabat muhajirin yang miskin di masjid nabawi). Ketika salah seorang
muridnya memberi hadiah sebuah busur panah ia melaporkan kepada nabi
dan bertanya tentang hal tersebut. Pertanyaannya: aku mendapat hadiah
sebuah busur panah dari murid yang saya ajar di al-shuffah, hadiahnya
sederhana tidak mahal dan akan aku gunakan memanah di jalan allah. Nabi
melarang dan menjawab dengan ancamanya yakni di kalungi neraka,
maksudnya masuk ke neraka.
Beliau bersabda:

‫ق ِمنْ نَا ٍر فَا ْقبَ ْل َها‬ َ ‫س َّركَ َأنْ تُطَ َّو‬


ً ‫ق بِ َها طَ ْو‬ َ ْ‫ِإن‬
“Jika engkau senang menjadi kalung dari neraka maka terimalah”

Teks hadits ini nampaknya di awali dengan kata yang menyenangkan


tetapi sesungguhnya merupakan ancaman.”jika engkau senang dikalungi api
neraka,” tentu tidak ada yang senang kalung dari api, bahkan menyedihkan

11
dan membinasakan. Itulah ancaman orang yang meneriama hadiah dalam
pengajaran al-qur’an.
Kitab ‘awn al-ma’bud syarah sunan abi daud disebutkan bahwa al-
khathabiy berkata. Bahwa para ulama berbeda pendapat dalam memahami
hadits diatas:
a. Sebagian ulama mengambil makna hadits secara tekstual (lahirnya
teks) bahwa mengambil upah tau gaji mengajarkan al-qur’an terlarang
sebagaimana pendapat al-zuhriy, abu hanifah, dan ishak bin rahawayh.
b. Sebagian mereka berpendapat tidak apa menerima upah atau gaji
dalam pengajaran al-qur’an selagi tidak dipersyaratkan, artinya
kehendak santri atau murid yang diajar, pendapat al-hasan al-bashriy,
ibnu sirin, dan al-sya’biy.
c. Sebagian lain memperbolehkan upah atau gaji dalam pengajaran
sebagai mana pendapat malik, atha’, al-syafi’I, dan abi tsaw. Alasan
mereka: pertama, hadits sahal bin sa’at bahwa yang menjelaskan
bahwa rasulullah berasabda kepada seorang laki-laki ynag akan
menikah,tetapi tiadak ada kemampuan harta untuk mahar:

‫َز َّو ْجتُ َك َها بِ َما َم َعكَ ِمنْ ا ْلقُ ْراَ ِن‬ “aku
nikahkan engkau akan dia dengan maskawin apa yang engkau hafal
dari al-qur’an.” (HR.MUTTAFAQ ‘ALAYH)

Hadits abi shamit di atas dipahami mereka sebagai suka relawan dari
awal niatnya mencari pahala bukan mencari pekerjaan,maka dilarang oleh
rasulullah saw. Kedua,kondisi ahl al-shuffah orang miskin hidupnya makan
sedekah dari kaum muslimin,seharusnya memang dibantu bukan dipungut
biaya.

12
Sebagian lagi berpendapat jika seseorang yang mengajar al-qur’an itu
merupakan kewajiaban a’in tidak boleh memungut upah atau gajih tetapi jika
kewajiban kifayah boleh mengambilnya.

Hadits tentang mengambil upah dalam pengajaran ql-qur’an tau agama


memang terjadi kontradiktif ada hadits yang melarang dan ada pula yang
memperbolehkanya,dalam teori ilmu hadits disebut ilmu mukhatalif al-
hadits. Tetapi dalam hal ini kedua hadits tersebut dapat dikompromikan
yakni kemutlakan larangan dibatasi dengan beberapa catatan sebagaiman
diatas. Menurut pendapat yang masyhur jika terjadi kontaradiksi dua hadits
anatara larangan dan kebolehan hendaknya didahulukan yang larangan dan
kebolehan hendaknya didahulukan yang larangan namun dua hadits di
atas,bukan kontradiksi yang sesungguhnya karena kontaradiksi yang
berbeda. Hadits kebolehan menerimah upah dalam kontadiksi ruqiyah atau
pengobatan sedang hadits larangan dalam konteks menagajar al-qur’an.
Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa hukum menerima upah atau
gajih dalam pengajaran al-qur’an atau agama boleh saja dengan melihat
situasi kondisi murid yang diajar dan guru yang mengajar secara wajar.
Diantara kondisi murid bukan anak orang miskin,upah tidak dipersyaratkan
utama,tidak materialis,dan tidak fardu a’in.

Hasan Langulung dalam bukunya asa-asas pendidikan


islam(1992:174-175), menjelaskan bahwa Ibnu habib memberi komentar
interpretasi hadits ini adalah bahwa larangan itu pada permulaan islam dan
ketika itu al-qur’an masih sedikit dihafalkan,belum tersebar dan belum
banyyak dikenal orang. Jadi mendapatkan gajih dalam mengajarkan al-
qur’an pada waktu itu serupah dengan harga al-qur’an,pada hal al-qur’an
tidak diperjual belikan. Tetapti sesudah al-qur’an tersebar dan dikenal
masyarakat luas,ditulis dalam mushaf,kemudian mushaf-mushaf itu dibaca
orang jahil dan orang alim, dibaca qari’ dan bukan qari’ dan tidak

13
diwajibkan untuk suatu kaum tertentu. Penggajian dalam mengajarkan al-
qur’an adalah penggajian kepada orang yang mengajarkanya al-qur’an
adalah penggajian kepada orang yang mengajarkanya,bukan lah harga al-
qur’an itu.

Disini ibnu habib menggantikan masalah gaji mengajarkan al-qur’an


menjadi gaji profesi mengajar, jadi dia sudah bebas dari sangkaan,bahwa
gaji itu sebagai harga al-qur’an, disamping itu gaji yang dugunakan tidak
berarti harga al-qur’an.

Al-Qabisi mempunyai pendirian yang bertentangan dengan pendirian


Ibnu Habib mengenai Hadits Ibnu Samit diatas. Al-Qabisi meragukan
kesahihan hadits tersebut. orang yang memeperbolehkan gaji bagi pengajar
al-qur’an berpegang pada hadits rasul yang lain juaga. Perencanaan gaji
profesionalitas guru kalau al-qur’an dijadikan alat untuk mencari
rezeki,seperti terdapat dalam hadits:” bacalah al-qur’an, jangan kamu cari
makan dengan itu”.

Mayoritas umat islam tidak melihat bahaya menerima gaji dalam


mengajarkan al-qur’an sebagaimana dinyatakan Atha’ bin rabbah al-
Hasan,al-basri,dan tidak sedikit lagi pemimpin-pemimpin shaleh lain.
Pendek kata al-Qabisi telah menguraikan panjang lebar mengenai hubungan
guru dengan murid mengenai soal gaji. Dalam setiap kasus yang dibahasnya
ia menegeluarkan hukum berdasar pada kebenaran syara’ dan
maslahat,untuk menyelesaikan perselisihan antara guru dan oran tua anak
murid asal kembali kejalan yang wajar. Al-Qabasi memandang fakta tidak
ada masalah idial yang sukar dicapai. Dengan kata lain,mengiginkan seorang
guru yang wara’ dan bertaqwa, ikhlas dan bertinadak sebagai bapak terhadap
anak dalam cinta dan kasih sayang nya. Al-Qabisi tidak menghalangi

14
seorang guru menerima gaji agar dapat melanjutkan hidupnya dan memenuhi
tuntutan hidup sehari-hari.

Kita tidak bisa mengingkari realita profesi sebagai


guru,dosen,mubaliq,khatib,dan imam masjid yang dibayar oleh pemerintah
atau masyarakat. Taradisi ini sudah berjalan sejak madrasa awal, yaitu
madrasa al-Nidzamiyah sampai sekrang. Apalagi jaman sekarang yang
semkin kompleksitas permasalahnya, jikalau guru tidak diprofesikan
pertanyaanya lantas siapa yang mau menghabiskan waktu tenaga dan pikiran
yang hanya untuk mengajar fardhu kifayah,sementara ia harus meninggalkan
fardhu ‘ain yaitu masalah penghidupan keluaraga. Bukankah merupakan
suatu dosa besar jika seseorang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk
mengajar tanpa bayaran, gaji, upah dan hadiah, sementara keluarganya
kelaparan ?.3

Al-Ghazali yang mengharamkan gaji bagi guru sebagaimana beberapa


alasan di antaranya, bahwa hendaklah guru mengikuti pembawa syari’at
yaitu Nabi SAW yang tidak menuntut gaji karena mengajarkan ilmu. Juga ia
tidak mengharapkan balasan dan syukur. Tetapi ia mengajar karena Allah
dan ingin mendekatkan diri kepada-Nya. Ia tidak menuntut pemberian dari
mereka untuk dirinya. Alangkah hinanya seorang alim yang rela menerima
kedudukan dari sultan. Kemudian ia merasa gembira dan tidak malu
mengatakan, bahwa maksud mengajar untuk menyiarkan ilmu untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan menolong agama.4

Di antara alasan mereka yang melarang profesionalitas guru dalam


mengajarkan Al-Qur’an atau agama sebagai berikut:

3
Abdul Majid Khon. Op. Cit. Hlm 199-208.
4
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, juz 1, hlm 56.

15
a. Al-Qur’an di ajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang yang
mengajarkannya. Ini alasan agama yang menuntut guru-guru bekerja di
jalan Allah.
b. Pemimpin-pemimpin kaum muslimin pada permulaan kebangkitan
Islam, semuanya memerhatikan kepentingan kaum guru-guru untuk
mengajar anak-anak mereka di surau-surau (kuttab) dan menggaji guru-
guru tersebut. Inilah alasan yang berasal dari tradisi yang diwarisi dan
kebiasaan yang dikerjakan oleh ulama salaf. Adapun praktik kaum
Muslimin dapat dijadikan alasan kepada orang lain dan termasuk salah
satu dasar agama.
Barangkali alternatif yang perlu mendapat perhatian ialah apakah
maksud Al-Ghazali yang tercela mengambil bayaran itu hanya pengajaran
ilmu naqli bukan ilmu akli? Dan bukankah guru pada masa Al-Ghazali juga
menerima hadiah atau hibah seperti hasil dari wakaf?
Jika yang dimaksud Al-Ghazali ilmu naqli memang wajar, karena,
ilmu naqli sangat tinggi nilainya tidak bisa dirupiahkan di samping ada misi
dakwah. Akan tetapi, jika yang dimaksudkan ilmu akli yang merupakan hasil
dari pemikiran manusia yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan, di samping
dari hasil logis kegiatan otak manusia, apakah tetap dilarang? Atau mungkin
Al-Ghazali berpandangan hati sufi yang memandang rendah dan terhina
harta benda ketika dibandingkan dengan kenikmatan akhirat. Sementara
manusia diwajibkan mencari nafkah kehidupan dan diantara tekniknya
dengan mmenggunakan pemikiran bahkan juga dengan tenaga dan waktu.
Demikian juga Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa motivasi
belajar harus mengangkat derajat dan pengabdian, dalam kata lain harus
diniatkan demikian pada awal pekerjaan. Kalau begitu halnya motivasi awal
yang menetukan profesi guru atau pekerjaan-pekerjaan lain berarti bukan
larangan pada profesionalitas guru atau pengajar. Apalagi jika murid
dipungut bayaran SPP dengan harga yang mahal jika guru tidak dijadikan

16
profesi bukankah itu suatu penganiayaan. Sementara perbandingan harta
benda dengan kenikmatan akhirat oleh Al-Ghazali memang materi sangat
rendah tetapi bukan berarti harus meninggalkan materi sama sekali.

5. Pelajaran yang dipetik dari hadits


a. Larangan memungut bayaran dari murid yang miskin untuk penggajian
atau upah guru yang mengajar Al-Qur’an.
b. Larangan menerima gaji bagi guru yang sejak awal berdniat menjadi
sukarelawan atau pengajaran fardhu ‘ain.
c. Bolehnya pekerjaan guru menjadi profesi dan berhak menerima gaji
sekalipun dalam mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu agama asal tidak
materialis.

6. Biografi singkat perawi hadits sahabat


Ubadah bin Shamit bin Qays al-Anshariy al-Khazrajiy di panggil Abu
al-Walid. Ia salah seorang yang senior membai’at Rasulullah SAW di Mina
pada bai’at dua aqabah. Ia menghadiri Perang Badar dan semua peperangan.
Diantara sifat-sifatnya seorang yang gagah tampan, pemberani, banyak
melakukan amar makruf dan nahi munkar. Salah seorang yang menghimpun
Al-Qur’an pada masa Nabi SAW kemudian ditugasi menjadi qadhi dan guru
di Syam pada masa Umar. Haditsnya diriwayatkan oleh Mahmud al-Rabi’n
dan Abu Idris al-Khawlaniy. Ia tinggal di Himsha kemudian pindah ke
Palestina dan wafat di Ramalah Bayt al-Muqaddas pada tahun 34 H dalam
usia 77 tahun.5

5
Abdul Majid Khon. Op. Cit. Hlm 208-210.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bagi pengajar Al-Qur’an atau ilmu agama boleh saja menerima upah
dianalogikan dengan Hadits bolehnya menerima upah dalam rukiyah, yakni
mengobati orang sakit dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a dari
Hadits Nabi SAW. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas, suatu ketika ada
seorang sahabat diminta mengobati seorang yang sedang kesakitan digigit ular
atau kalajengking. Setelah dibacakan al-Fatihah dengan izin Allah orang tersebut
bisa disembuhkan. Sebagian sahabat menanggapi negatif tentang peristiwa itu.
Ketika ditanyakan kepada Rasulullah, beliau menjawabnya upah yang paling hak
adalah upah kitab Allah.
Berbeda dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit, bahwa
ketika ia mengajar penghuni Shuffah ada yang memberi hadiah sebuah busur
panah tidak berupa uang, busur itu akan digunakan untuk disumbangkan ke jalan
Allah. Mendengar peristiwa ini Nabi melarangnnya dan bersabda bahwa
ancaman penerima hadiah tersebut adalah kalung dari api neraka. Para ulama
berbeda pendapat tentang upah mengajar sebagian mereka berpendapat larangan
menerima upah berdasarkan lahirnya teks Hadits dan sebgian lagi
memperbolehkannya, asal kondisinya layak. Hadits Ibnu Shamit dipahami
kondisinya tidak layak, karena penghuni Shuffah orang miskin yang
kesehariannya makan dari harta sedekah.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, telah penulis usahakan dengan sebaik-
baiknya sesuai kemampuan penulis. Namun, jika dalam penulisan dan

18
penyusunan makalah ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, penulis
berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun,
agar penulis dapat menyusun makalah ini menjadi lebih baik lagi kedepannya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, juz 1

Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi AD Damsyiqi, Ibnu. Asbabul Wurud. KALAM


MULIA: Jakarta Pusat. 2006.

Majid Khon, Abdul. Hadits Tarbawi (Hadits-hadits Pendidikan). KENCANA


PRENADAMEDIA GROUP: Jakarta. 2012.

20

Anda mungkin juga menyukai