Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

METODE ISTINBATH HUKUM TAKLIFI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih


Dosen pengampu: Drs. Azhari, M.A.

Disusun oleh Kelompok 5:


Kaspul Anwar
Lisa Apriani

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya sehingga terselesaikannya
tugas makalah Ushul Fiqih ini.
Shalawat beserta salam semoga tetap kepangkuan junjungan Rasulullah
Muhammad SAW, manusia yang mulia akhlaknya dan berkat Beliau juga yang
membawa kita dari alam terang benderang menuju alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan bagi seluruh umat manusia di jagat raya ini.
Alhamdulillah pada kesempatan ini juga Kami telah menyelesaikan makalah
yang berjudu “Metode Istinbath Hukum taklifi”. Penulis harapkan semoga
makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa dalam mempelajari, menelaah dan
memahaminya. Harapan kami, semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk
pembelajaran kita semua sesuai dengan yang diharapan. Amiin.
Pada akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis berlindung dan memohon
tumpahan rahmat-Nya. Amiin.

Tembilahan, 15 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................
A. Latar belakang...........................................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................
C. Tujuan........................................................................................................
D. Manfaat......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................
A. Pengertian Hukum Taklif
B. Pengertian Metode Istinbath Hukum....................................................
1. Wajib...................................................................................................
2. Mandub................................................................................................
3. haram...................................................................................................
4. Makruh................................................................................................
5. Mubah..................................................................................................
BAB III PENUTUP.............................................................................................
A. Kesimpulan................................................................................................
B. Kritik dan Saran.........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BIOGRAFI PEMAKALAH ..............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sumber pokok ajaran islam adalah Al-qur,an dan Al-hadist pada masa
rasul. Apabila muncul suatu persoalan yang mengenai hukum baik itu
berhubungan denganAllah maupun dengan masyarakat, maka Allah
menurunkan ayat untuk menjelaskannya. Rasulullah sebagai pemberi
penejelasan kepada umatnya tentang bagaimana ayat yang diturunkan
tersebut. Penjelasan tentang Al-qur,an tidak selamanya tegas dan
terperinci(tafsili), melainkan banyak juga yang bersifat garis besar(ijmali)
dan terkadang rasulullah harus menggunakan akal yang disebut dengan
ijtihad.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakala
sudah ditemuakan dalam nashnya yang jelas dalam Al-qur’an dan Al-hadist,
tetapi yang ditemukan tersebut merupakan hanya prinsip-prinsip umum.
Untuk pemecahan masalah yang baru timbul yang belum ada nash secara
jelas, perlu dilakukan istinbath hukum yaitu mengeluarkan hukum-hukum
baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan
melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada didalam Al-qur’an dan
Al-hadist.
Dengan jalan istinbath itu maka hukum islam akan senantiasa
berkembang seirama dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat
guna mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan dan juga menegakkan
ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Istinbath Hukum?
2. Apa pengertian dari Hukum taklifi?
3. Apa saja bagian dari Hukum taklifi seperti wajib, mandub, haram,
makruh, dan mubah?

C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pembuatan
makalah ini adalah:
1. Mengetahui mengenai Istinbath.
2. Dapat memahamai maksud Hukum Taklifi,
3. Dapat mengetahui dan mengidentifikasi apa saja bagian-bagian hukum
(wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah) yang terkandung dalam
setiap hukum taklif tersebut
:

D. MANFAAT PENULISAN MAKALAH


Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Agar pembaca mengetahui dan memahami makna dari metode istinbath
hukum
2. Agar pembaca memahami dari hukum taklifi yang didalamnya terdapat
lima pembagian seperti mubah, haram, mandub, wajib, dan makruh serta
pembagiannya di dalam setiap pembagian hukum yang ada di dalam
hukum Taklifi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode Istinbath Hukum


Metodologi secara umum didefinisikan sebagai "a good of body of
methods and rules followed in science or discipline". Kata metode berasal
dari istilah Yunani methodos (meta+bodos) yang artinya cara.1 Istinbath
berasal dari bahasa Arab yang artinya mengeluarkan atau menetapkan,
secara terminologis istinbath adalah daya usaha yang harus diupayakan
untuk merumuskan hukum syara’ berdasarkan al-Quran dan Sunnah dengan
jalan ijtihad. Kemudian hukum dalam metode istinbath hukum dimaksudkan
sebagai hukum syara’ atau hukum Islam, yakni hukum yang mengandung
tuntutan untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh seorang mukalaf. Jadi,
metode istinbath hukum ialah aturan atau pedoman dalam merumuskan
hukum Islam (syara’).
Sumber hukum Islam pada dasarnya ada dua macam:
1. Sumber “tekstual” atau sumber tertulis (disebut juga Nushush) yaitu
langsung berdasarkan teks al-Quran dan Sunnah Nabi.
2. Sumber “nontekstual” atau sumber tak tertulis (disebut juga ghairu
nushush) seperti istishan dan qiyas. Meskipun sumber hukum
keduanya tidak langsung mengambil dari al-Quran dan Sunnah, tapi
hakikatnya digali dari (berdasarkan atau menyandar) pada al-Quran
dan Sunnah.2
B. Pengertian Hukum Taklif
Hukum taklifi merupakan kitab Allah swt atau sabda Nabi saw, yang
didalamnya mengandung tuntutan berupa perintah dan larangannya.3 Seperti
1
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani. Metode Penelitian Ekonomi Islam
Mualamalah. (Bandung: Pustaka Setia. 2014). Hlm. 19-20.
2
Jajang Chevy Sentana. Metode Istinbath Hukum.
https:.//www.google.com/s/Jajangchevy.wordpress.com.2016/01/18/metode-istinbath-hukum/
amp. Diakses tanggal 21 september 2019 Pukul 19.45 WIB.
3
Luthfiyani Islami Solihah. Hukum Taklifi, pengertian Hukum taklifi, Macam-Macam
Hukum Taklifi, Hikmah Ibadah dan Penerapan Hukum Taklifi. https://www.ayoksinau.com/hukum-
taklifi-pengertian-hukum-taklifi-macam-macam-macam-hukum-taklifi-hikmah-ibadah-dan-
dikemukakan di atas, istilah hukum dalam kaiian Ushul Fiqh pada asalnya
adalah teks ayat atau hadis hukum. Teks ayat hukum dan hadis hukum yang
berhubungan dengan hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk.
1. ljab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang
mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang
memerintahkan untuk melakukan shalat.
2. Nadb (anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang
menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
3. Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang pasti untuk
melakukan suatu perbuatan.
4. Karahah, yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk
meninggalkan suatu perbuatan.
5. Ibahah, yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan orang untuk
melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Masing-masing dari beberapa istilah hukum di atas akan dijelaskan
secara ringkas di bawah ini.4
1. Wajib
1) Pengertian Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara
terminologi, seperti dikemukakan Abd. al-Karim Zaidan, ahli hukum
Islam berkebangsaan Irak, wajib berarti:
Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-
Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila
dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya
apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu yang
diwajibkan mesti dilakukan dalam arti mengikat setiap mukalaf. Jika
dikerjakan akan diberi balasan pahala dan jika tidak dilaksanakan
diancam dengan dosa. Kemestian sesuatu untuk dilakukan (wajib) bisa

penerapan-hukum-taklifi/. Diakses tanggal 22 September 2019 Pukul 18.45.


4
Satria Effeendi. Ushul fiqih. (Jakarta: Kencana PrenadaMedia group. 2014). Hlm. 42-43.
diketahui langsung dari bentuk perintah, atau dengan adaya qarinah
(indikasi) yang ada dalam suatu redaksi, misalnya adanya ancaman
atas diri orang yang tidak melaksanakannya. Misalnya, shalat fardu
lima waktu dalam satu hari satu malam hukumnya wajib dalam arti
mesti dilaksanakan, berdosa siapa yang meninggalkannya. Hukum
wajib shalat itu diketahui dari adanya perintah dalam Al-Qur'an 5,
antara lain dalam Surat al-'Ankabut ayat 45:
         
       
      
Bacalah apa-apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-
Kitab (Al-Qur'an), dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS al-'Ankabut/29: 45).
2) Pembagian Wajib
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi kepada
beberapa macam pembagian. Bila dilihat dari segi orang yang
dibebani kewajiban Hukum. Wajib dapat dibagi kepada dua
macam, yaitu wajib ainy dan wajib kifa'i.
a) Wajib 'Aini
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap
orang yang sudah balig berakal (mukalaf), tanpa kecuali.
Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali
dilakukannya sendiri. Misalnya, kewajiban melaksanakan
shalat linma waktu sehari semalam, melaksanakan puasa6

5
Dari segi bahasa al-quran merupakan bentuk masdar dari kata qaraa, yang terambil dari
wajan fu'lan, yang berarti "bacaan" atau apa yang tertulis padanya, maqru', seperti yang terungkap
dalam surat al-Qiyamah (75) ayat 17-18. Lihat buku Hasbiyallah. Fiqih dan Ushul Fiqih: Metode
Istinbath dan Istidlal. (Bandung: Remaja Rodakaya. 2013). Hlm. 9.
6
Arti shaum (puasa) dalam bahasa Arab adalah menahan diri dari sesuatu. Shama anil
kalam artinya menahan diri dari berbicara. Lihat buku karangan Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam
di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji bagi siapa
yang mampu.
Berkaitan dengan kewajiban seperti ini, muncul
sebuah pertanyaan, di waktu tidak mampu melakukan
sendiri atau telah meninggal dunia, apakah bisa gugur
kewajiban itu dengan dilaksanakan oleh orang lain?.
Ulama Ushul Fiqh7 membagi hal tersebut kepada tiga
kategori. (1) kewajiban yang berhubungan dengan harta,
seperti kewajiban membayar zakat8, atau kewajiban
mengembalikan titipan orang lain kepada pemiliknya.
Kewajiban seperti ini disepakati pelaksanaannya bisa
digantikan oleh orang lain; (2) Kewajiban dalam bentuk
ibadah mahdhah, seperti shalat dan puasa. Kewajiban
seperti ini di-sepakati tidak bisa digantikan oleh orang
lain; dan (3) kewajiban yang mempunyai dua dimensi,
yaitu dimensi ibadah fisik dan dimensi harta. Misalnya,
kewajiban melaksanakan haji9.
b) Wajib Kifa'i (wajib kifayah)
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh
mukalaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian
umat Islam maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhí
sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi
diwajibkan mengerjakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat
jenazah adalah kewajiban seluruh umat Islam, tetapi sudah

Wa aillatuhu. (Jakarta: Gema Insani. 2011). Hlm. 19.


7
Ushul fiqih terdiri dari dua kata, yaitu Ushul, artinya pokok, pondasi atau dasar. Dan kata
Fiqih, artinya Paham. Dengan demikian makna ushul fiqih adalah pemahaman terhadap dasar-
dasar atau dalil-daliil yang menjadi pondasi hukum syar'. Lihat buku karangan Beni Ahmad
Saebani. Ilmu Ushul Fiqih. (bandung: Pustaka Setia. 2009). Hlm. 11.
8
Zakat berasal dari bahasa Arab Zakah, yang secara harfiah berarti kesucian (purity). Zakat
juga diartikan sebagai pemberian secara sukarela (charity, alms). Lihat buku karangan Ismatu
Ropi dan Fuad jabali dkk. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kencana. 2012). Hlm. 200.
9
Rukun Islam yang kelima adalah Haji, yaitu berkunjung atau ziarah ke Ka'bah atau
sekitarnya untuk menunaikan ibadah yang telah ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah swt,
dengan amalan, cara, dan waktu tertentu. Lihat buku karangan Moh. Amin dkk. Quran Hadis 1.
(Jakarta: Direkotorat jenderal pembinaan kelmebagaan agama islam. 1992). Hlm. 741.
dianggap cukupi bilamana dilaksanakan oleh sebagian
anggota masyarakat. Namun bilamana tidak seorang pun
ada yang mengerjakannya maka seluruh umat Islam
diancam dengan dosa. Demikian pula dengan kewajiban
melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, menjawab salam,
belajar ilmu kedokteran, dan belajar ilmu bangunan.
Wajib kifayah merupakan kewajiban seluruh umat.
Namun seperti dikemukakan di atas, bilamana dilaksanakan
oleh sebagiannya, gugurlah kewajiban itu dari anggota
masyarakat yang lain. Itu tidak berarti pihak yang tidak
melaksanakannya dibolehkan bersikap pasif. Orang yang
mampu melakukannya langsung, hendaklah melakukannya.
Dan yang tidak mampu, hendaklah ia mendukung
pelaksanaannya baik dengan mendukung pelaksanaannya
baik secara dengan menciptakan materi atau suasana yang
kondusif untuk lancarnya pelaksanaan kewajiban tersebut.
Dari adanya kerjasama seperti ini, maka bilamana
sebagiannya telah melaksanakannya secara langsung, maka
anggota masyarakat yang lain dianggap lepas dari
kewajiban tersebut.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah, Hukum
Wajib dapat dibagi kepada dua macam:
a) Wajib Mu'ayyan
Yaitu suatu kewajiban di mana yang menjadi
objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya,
kewajiban melakukan sholat lima waktu sehari semalam,
kewajiban melakukan puasa di bulan Ramadhan, membayar
zakat, dan menegakkan keadilan. Kemjiban seperti ini tidak
dianggap terIaksana, kecuali dengan melaksanakan
kewajiban yang telah ditentukan itu.
b) Wajib Mukhayyar
Yaitu suatu kewajiban di mana yang menjadi
objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya,
kewajiban membayar kafarat (denda melanggar) sumpah.
Dalam Surat al-Maidah ayat 89 Allah berfirman:
     
     
    
     
       
      
     
     

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi
Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan
seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kafaratnya berpuasa
selama tiga hari. (QS. al-Maidah/S: 89)
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa orang yang
dikenakan kaffarat karena melanggar sumpahnya itu boleh
memilih antara beberapa macam kaffamt tersebut.
Bila dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, Hukum
Wajib terbagi kepada dua macam:
a) Wajib Mutlaq
Yajtu kewajiban yang pelaksanaannya tidak
dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya,
kewajiban untuk membayar puasa Ramadhan yang
tertinggal. Menurut Abu Hanifah, puasa yang
tertinggal itu boleh dibayar kapan saja, tanpa
dibatasi dengan waktu tertentu. Berbeda dengan itu,
menurut Imam Syafi’i kewajiban membayar puasa
yang tertinggal itu harus dibayar sebelum datang
bulan Ramadhan berikutnya. Contoh lain,
kewajiban membayar kaffamt sumpah, boleh
dibayar kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu
tertentu.
b) Wajib Muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya
dibatasi dengan waktu tertentu. Wajib semacam ini,
seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah,
terbagi kepada, wajib muwassa' (lapang waktunya),
dan wajib mudhayyaq (sempit waktunya). Wajib
muwassa' adalah kewajiban dimana waktu yang
tersedia lebih lapang daripada waktu pelaksanaan
kewajiban itu sendiri sehingga memungkinkan
untuk melaksanakan ibadah lain yang sejenis pada
waktu itu, seperti shalat lima waktu. Waktu shalat
zuhur, misalnya, di samping melaksanakan shalat
zuhur, mungkin pula dilakukan padanya beberapa
shalat sunat. Sedangkan wajib mudhayyaq adalah
kewajiban di mana waktu yang tersedia hanya
(mencukupi untuk melaksanakan kewajiban itu).
Misalnya puasa di bulan Ramadhan. Waktu puasa
yang tersedia yaitu bulan Ramadhan, tidak mungkin
dilakukan padanya selain puasa wajib Ramadhan.
Adapun pada wajib mudhayyaq, Kalangan
Hanafiyah tidak mesti adanya kategasan tersebut
diatas. Seseorang yang akan melaksanakan puasa
Ramadhan, untuk syarat sahnya cukup dengan
meniatkan puasa saja, tanpa menegaskan bahwa
yang dipusakannya itu adalah kewajiban puasa
Ramadhan. Sebab, tidak mungkin bagi seseorang
melakukan puasa selain puasa Ramadhan. Oleh
sebab itu, jika seseorang meniatkan puasa sunah
pada bulan Bamadhan, maka puasa itu tetap saja
terhitung sebagai puasa fardhu Ramadhan.
Adapun wajib dzu al-syubhain, Pada akhir
pembahasan tentang hukum wajib ada baiknya
dikemukakan perbedaan pendapat ulama tentang
pemakaian istilah wajib dan istilah fardhu.
Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah,
Syafi'iyah, dan Hanabilah berpendapat, istilah wajib
sama dengan pengertian istilah fardhu. Misalnya,
melaksanakan shalat lima waktu boleh dikatakan
wajib hukumnya dan boleh juga dikatakan fardhu.
Kedua istilah tersebut menunjukkan
kemestian suatu perbuatan untuk dilaksanakan,
tanpa melihat kepada kuat atau tidak kuatnya dalil
yang menjadi dasarnya. Berbeda dengan itu
kalangan Hanafiyah berpendapat, bahwa istilah
wajib barbeda dengan istilah fardhu. Istilah wajib
digunakan untuk hukum yang ditetapkan dengan
dalil yang zhanni. Misalnya, menyembelih hewan
kurban adalah wajib hukumnya karena ditetapkan
dengan dalil yang zhanni bukan qath'i, yaitu hadis
yang bukan hadis mutawatir10. Sedangkan istilah
fardhu digunakan untuk hukum yang ditetapkan
dengan dalil yang qath'i (pasti), misalnya
melaksanakan shalat lima waktu hukumnya fardhu
karena ditetapkan dengan dalil yang qath'i yaitu
ayatayat Al-Qur'an yang tidak lagi diragukan
kebenaran menunjukkan bukum shalat.
Menurut Muhammad Najib al-Muthi’, dalam
kitabnya Sullamul-Wushul, perbedaan pendapat
tersebut hanyalah perbedaan yang tidak prinsipil
(khalaf lafzy). Namun, bila kita perhatikan hasil-
hasil ijtihad11 mereka, di antaranya ada perbedaan
kesimpulan yang disebabkan oleh perbedaan dalam
pemakaian istilah tersebut, Antara lain, seperti
dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili,
meninggalkan membaca ayat Al-Qur'an dalam
shalat membuat shalat itu tidak sah karena dalil
yang menunjukkan kemestian membaca ayat Al-
Qur’an dalam shalat adalah dalil qath'i, dalam
bentuk ayat Al-Qur'an. Sedangkan meninggalkan
membaca alFatihah dalam Shalat tidak
membatalkan shalat karena kemestian membaca
alfatihah hukumnya wajib yang ditetapkan dengan
dam zhanm‘, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh
perorangan (Tidaklah [sempurna] shalat, orang yang
tidak membaca al-Fatihah.).
2) Mandub
10
Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta dari sejumlah Rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir
sanad dan semuanya bersandar pada panca indra. Lihat buku Nuruddin 'Itr. Ulumu hadis.
(Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012). Hlm. 428.
11
Menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (meremas pikiran) untuk
menemukan hukum agama (syara') melalui salah satu dalil syara', dan tanpa cara-cara tertetentu.
Lihat buku karangan burhanuddin. Fiqih ibadah. (Bandung: Pustaka Setia. 2001). Hlm. 131.
(a) Pengertian Mandub
Kata mandub dari segi bahasa berarti “sesuatu yang
dianjurkan. Sedangkan menurut istilah, seperti dikemukakan Abdul
Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah
dan Rasul-Nya, di mana akan diberi pahala orang yang
melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak
melaksanakannya. Mandub disebut juga Sunnah, nafilah,
mustahab, tathawwu', ihsan, dan fadilah. Istilah-Istilah tersebut
menunjukkan pengertian yang sama.
b) Pembagian Mandub
Seperti dikemukakan Abu-Karim Zaidan; mandub terbagi
kepada beberapa tingkatan:
(1) Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), yaitu
perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang
ditinggalkannya. Misalnya, shalat sunah dua raka'at
sebelum fajar.
(2) Sunnah ghair aI-Muakkadah (sunnah biasa), yaitu sesuatu
yang dilakukan Rasulullah, namun bukan menjadi
kebiasaannya. Misalnya, melakukan shalat sunah dua kali
dua raka’at sebelum shalat zuhur, dan seperti memberikan
sedekah sunah kepada orang yang tidak dalam keadaan
terdesak. Jika dalam keadaan terdesak, maka hukum
membantunya adalah wajib.
(3) Sunnah al-Zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari
Rasulullah sebagai manusia. Misalnya, sopan santunnya
dalam makan, minum, dan tidur. Mengikuti Rasulullah
dalam masalah-masalah tersebut hukumnya sunnah, namun
tingkatannya di bawah dua macam sunnah di atas dan yang
lebih kuat adalah macam sunnah yang disebut pertama
tadi.
3) Haram
(1) Pengertian Haram
Kata haram secara etimologi berarti 'sesuatu yang dilarang
mengerjakannya'. Secara terminologi Ushul Fiqh kata haram
berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana
orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan
dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah,
diberi pahala. Misalnya, larangan berzina dalam firman Allah.
         
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk.(QS. As-Isra'/17:32)
Dalam kajian Ushul Fiqh dijelaskan hahwa, sesuatu tidak
akan dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu
mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram; disebut juga
muhamm (sesuatu yang diharamkan).
(2) Pembagian Haram
Para ulama Ushul Fiqh, antara lain Abdul-Karim Zaidan,
membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
(1) al-Muharmm Ii Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan
oleh syariat karena esensinya mengandung kemudaratan
bagi kehidupan manusia, dan kemudaratan itu tidak bisa
terpisah dari zatnya. Misalnya, larangan berzina seperti
dalam ayat:
         
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji dun suatu jalan yang
buruk. (QS. al-Isra’l17: 23)
(2) al-Muharram li Ghairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan
karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung
kemudaratan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang
karena ada pertimbangan eksternal yan g akan membawa kepada
sesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya, larangan
melakukan jual beli12 pada waktu azan shalat jum’at sebagaimana
firman Allah:
      
      
        
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui. (QS. Al-jumuah/62:9)
4 Makruh
a) Pengertian Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti "sesuatu yang dibenci”.
Dalam istilah Ushul Fiqh kata makruh, menurut mayoritas ulama
Ushul Fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk
meninggalkannya, dimana bilamana ditinggalkan akan mendapat
pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Misalnya, seperti
dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dalam Mazhab Hambali ditegaskan
makruh hukumnya berkumur dan memasukkan air ke hidung secara
berlebihan ketika akan berwudhu di siang hari Ramadhan karena
dikhawatirkan air akan masuk ke rongga kerokongan dan tertelan.
(1) Pembagian Makruh
Menurut kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua
macam:
 Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat,
tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhanni’ al-wurud
(kebenaran datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke
dugaan keras), tidak bersifat pasti. Misalnya, larangan
12
Jual beli (al-ba'i) secara etimologi atau bahasa adalah pertukaran barang dengan barang
(barter) jula beli merupakan istilah yang dapat digunakan untuk menyebut dari dua sisi transaksi
sekaligus, yaitu menjual dan membeli. Lihat buku karangan Imam Mustafa. Fiqih Muamalah
Kontemporer. (Jakarta: RajaGrafindo persada. 2016). Hlm. 21.
meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain
dan larangan membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran
orang lain sebagaimana dalam sabda Nabi:
Dari Ibnu Umar m. Dia berkata bahwa Nabi SAW.
Melarang untuk membeli suatu barang yang masih
dalam tawaran orang lain dan melarang seseorang
untuk meminang seorang wanita yang ada dalam
pinangan orang lain sampai mendapatkan izin atau
telah ditinggalkannya. (HR. al-Bukhari)
Hadis tersebut, adalah hadis ahad (hadis yang diriwayatkan
perorangan atau beberapa orang yang tidak sampai ke batas
mutawattir) di mana dalam kajian Ushul Fiqh dianggap hanya
sampai pada tingkat dugaan keras (zhanni‘) kebenaran
datangnya dari Rasulullah, tidak sampai meyakinkan. Makruh
tahrim ini, menurut kalangan Hanafiyah, sama dengan hukum
haram dalam istilah mayoritas ulama dari segi sama-sama
diancam dengan siksaan atas pelanggamya, meskipun tidak kafir
orang yang mengingkarinya karena dalilnya bersifat zhanni‘.
 Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk
meninggalkannya. Misalnya, memakan daging kuda dan
meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu perang.
Menurut Sebagian kalangan Hanafiyah, pada dasarnya memakan
daging kuda hukumnya haram karena ada larangan memakannya
berdasarkan hadis riwayat Daraquthni. Namun ketika sangat
butuh waktu perang dibenarkan memakannya meskipun
dianggap makruh.
5) Mubah
a) Pengertian Mubah
Secara bahasa kata Mubah berarti "sesuatu yang dibolehkan
atau diizinkan." Menurut istilah ushul fiqih, seperti dikemukan
oleh Abdul-Karim Zaidan, berarti:
yaitu sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakahseorang
mukalaf akan melakukannya atau tidak melakukannya, dan
tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Misalnya, ketika ada cekcok yang berkepanjangan dalam rumah
tangga dan dikhawatirkan tidak lagi akan dapat hidup bersama, maka
boleh (mubah) bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada
suami agar suaminya itu menceraikannya, sesuai dengan petunjuk
Allah dalam firman-Nya:

      


       
        
         
          
      

Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat


menialankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya. ltulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukumhukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q5.
Al-Baqarah/S: 229)
b) pembagian Mubah
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi
mubah kepada tiga macam:
(1) Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada
sesuatu hal yang wajib dilakukan. M isalnya makan dan minum
adalah Sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk
mengantarkan seseorang sampai ia mampu mangerjakan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti shalat
dan berusaha mencari rezeki. Mubah seperti ini, demikian Abu
Ishaq al-Syathibi menjelaskan, hanya dianggap mubah dalam
ha] memilih makanan halal mana yang akan dimakan dan
minuman halal mana yang akan diminum. Akan tetapi,
seseorang tidak diberi kebebasan memilih untuk makan atau
tidak makan, karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal
ini akan membahayakan dirinya.
(2) Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan
sekalisekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap
waktu. Misalnya, bermain dan mendengar nyanyian hukumnya
adalah mubah bila dilakukan sekali-sekali, tetapi haram
hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan
mendengar nyanyian.
(3) Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk
mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya, membeli perabot
rumah untuk kepentingan kesenangan. Hidup senang hukumnya
adalah mubah, dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan
seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat
mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak
layak dengan menggunakan sesuatu yang dilarang.13

13
Op.cit. hlm. 42-60.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Metode istinbath hukum ialah aturan atau pedoman dalam


merumuskan hukum Islam (syara’), yang didalamnya ada dua sumber
hukum yaitu Al-Qu'an dan Hadits. Hukum taklifi merupakan kitab Allah swt
atau sabda Nabi saw, yang didalamnya mengandung tuntutan berupa
perintah dan larangannya dan didalam hukum Hukum taklifi ada lima
(wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah) pembagian hukum dan di
dalam hukum tersebut juga terdapat pembagiannya menurut beberapa ahli
ushul fiqh.

B. Saran

Akhirnya sampai kita dipenghujung pembahasan mengenai "Metode


Istinbath Hukum taklif, Penulis berharap makalah yang disajikan ini bisa
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dalam berbagai hal khusus
mengenai pembagian harta warisan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal
ini juga penulis mengharapkan kritik mapun saran yang membangun demi
kebaikan makalah ini untuk selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Satria Effeendi. 2014. Ushul fiqih. Jakarta: Kencana PrenadaMedia group

Hasbiyallah. 2013. Fiqih dan Ushul Fiqih Metode Istinbath dan Istidlal. Bandung:
Remaja Rodakaya

Wahbah Az-Zuhaili. 2011. Fiqih Islam Wa aillatuhu. Jakarta: Gema Insani.

Wahbah Az-Zuhaili. 2011. Fiqih Islam Wa aillatuhu. Jakarta: Gema Insani.

Beni Ahmad Saebani. 2009. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Ismatu Ropi dan Fuad jabali dkk. 2012. Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Kencana.

Moh. Amin dkk. Quran Hadis 1. 1992. Jakarta: Direkotorat jenderal pembinaan
kelmebagaan agama islam.

Nuruddin 'Itr. 2012. Ulumu hadis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Burhanuddin. Fiqih ibadah. 2001. Bandung: Pustaka Setia.

Imam Mustafa. 2016. Fiqih Muamalah Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo


persada.

Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani. 2014. Metode Penelitian Ekonomi
Islam Mualamalah. Bandung: Pustaka Setia.

Ajang Chevy Sentana. 2016. Metode Istinbath Hukum. (Internet).


(https:.//www.google.com/s/Jajangchevy.wordpress.com.2016/01/18/metod
e-istinbath-hukum/amp). Diakses tanggal 21 september 2019

Luthfiyani Islami Solihah. 2019. Hukum Taklifi, pengertian Hukum taklifi,


Macam-Macam Hukum Taklifi, Hikmah Ibadah dan Penerapan Hukum
Taklifi. (Internet) (https://www.ayoksinau.com/hukum-taklifi-pengertian-
hukum-taklifi-macam-macam-macam-hukum-taklifi-hikmah-ibadah-dan-
penerapan-hukum-taklifi/). Diakses tanggal 22 September 2019.
BIOGRAFI PEMAKALAH

A. Pemakalah 1

Nama Lengkap : Kaspul Anwar

Tempat/Tanggal Lahir : Kuala Patah Parang, 21 September 1998

Agama : Islam

Alamat : Jalan Telaga Biru

Riwayat Pendidikan : SDN 004 Kuala Patah Parang

SMPN Satu Atap Patah Parang

SMKN 1Kuala Tungkal

B. Pemakalah 2

Nama Lengkap : Lisa Apriani

Tempat/Tanggal Lahir : Sanglar, 18 April 2000

Agama : Islam

Alamat : Jalan Gerilya gang Salak

Riwayat Pendidikan : SDN 007 Sanglar

SMPN 3 Sanglar

SMAN 1 Pulau Kijang

Anda mungkin juga menyukai