Anda di halaman 1dari 12

METODE INSTINBATH HUKUM ISLAM

Dosen Pembimbing:

Cut Kaslinda, S.H.I., M.S.I

Di Susun Oleh:

Kelompok 2

Ayu Maharani (190603340)


Ona Suarnidar (190603174)
Silvya Azira (190603342)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
TAHUN 2019
DAFTAR ISI

BAB I.........................................................................................................................................2

PENDAHULUAN......................................................................................................................2

A. Latar Belakang................................................................................................................2

B. Rumusan masalah:..........................................................................................................3

BAB II........................................................................................................................................4

PEMBAHASAN........................................................................................................................4

A. Pengertian Metode Istinbath Hukum................................................................................4

B. Macam-Macam Metode Istinbath Hukum........................................................................4

1. Thariqatul Lughawiyah............................................................................................5

2. Thariqatul Maknawiyah...........................................................................................7

BAB III.....................................................................................................................................10

PENUTUP................................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber pokok ajaran islam adalah Al-qur,an dan Al-hadist pada masa rasul. Apabila
muncul suatu persoalan yang mengenai hukum baik itu berhubungan denganAllah maupun
dengan masyarakat, maka Allah menurunkan ayat untuk menjelaskannya. Rasulullah sebagai
pemberi penejelasan kepada umatnya tentang bagaimana ayat yang diturunkan tersebut.
Penjelasan tentang Al-qur,an tidak selamanya tegas dan terperinci(tafsili), melainkan banyak
juga yang bersifat garis besar(ijmali) dan terkadang rasulullah harus menggunakan akal yang
disebut dengan ijtihad.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakala sudah
ditemuakan dalam nashnya yang jelas dalam Al-qur’an dan Al-hadist, tetapi yang ditemukan
tersebut merupakan hanya prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan masalah yang baru
timbul yang belum ada nash secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum yaitu
mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat
dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada didalam Al-qur’an dan Al-hadist.
Dengan jalan istinbath itu maka hukum islam akan senantiasa berkembang seirama
dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan
kesejahteraan dan juga menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin
hak dan kewajiban masing-masing individu yang berkepintingan secara jelas.
Bagi seseorang yang ingin melakukan ijtihad sebuah hukum, maka ilmu ushul fiqh
mutlak diperlukan karena ia merupakan alat atau acuan dalam melakukan istinbanth hukum.
Dalam makalah ini akan kami bahas tentang istinbath hukum dan beberapa poin saja yang
menganai dengan istinbath hukum, sebab kalau kita bahas semua yang ada dalam metode
istinbath hukum maka akan cukup banyak yang perlu dibahas dan memerlukan waktu yang
lebih lama.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang timbul dari latar belakang diatas yang kami ambil antara lain:
1. Apa pengertian istinbath?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan thariqatul lughawiyah?
3. Bagaimana yang dimaksud dengan thariqatul maknawiyah?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode Istinbath Hukum

Metode ialah suatu cara teratur atau cara kerja yang bersistem yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, sedangkan
istinbath berarti perumusan masalah. Istinbath berasal dari bahasa Arab yang artinya
mengeluarkan atau menetapkan, secara terminologis istinbath adalah daya usaha yang harus
diupayakan untuk merumuskan hukum syara’ berdasarkan al-Quran dan Sunnah dengan jalan
ijtihad. Kemudian hukum dalam metode istinbath hukum dimaksudkan sebagai hukum syara’
atau hukum Islam, yakni hukum yang mengandung tuntutan untuk dipatuhi dan dilaksanakan
oleh seorang mukalaf. Jadi, metode istinbath hukum ialah aturan atau pedoman dalam
merumuskan hukum Islam (syara’).

Sumber hukum Islam pada dasarnya ada dua macam:

a. Sumber “tekstual” atau sumber tertulis (disebut juga Nushush) yaitu langsung
berdasarkan teks al-Quran dan Sunnah Nabi.

b. Sumber “nontekstual” atau sumber tak tertulis (disebut juga ghairu nushush) seperti
istishan dan qiyas. Meskipun sumber hukum keduanya tidak langsung mengambil dari
al-Quran dan Sunnah, tapi hakikatnya digali dari (berdasarkan atau menyandar) pada
al-Quran dan Sunnah.

B. Macam-macam Metode Istinbath Hukum

Dari mengenai sumber hukum di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya metode
pemahaman hukum Islam yang berangkat melalui pemahaman langsung dari teks disebut
lafdziah. Sedangkan pemahaman tidak langsung dari teks disebut maknawiyah. Jadi, metode
Istinbath hukum terbagi menjadi dua bagian, yaitu metode kebahasaan (thariqatul
lughawiyah) dan maknawi (thariqatul maknawiyah). Berikut rincian dari kedua metode
istibath hukum tersebut:

1. Thariqatul Lughawiyah
Thariqatul lughawiyah atau metode istinbath hukum secara kebahasaan adalah metode
perumusan kaidah-kaidah ushuliyah berdasarkan kepada dalil-dalil atau nash-nash yang
bersifat tekstual yang dirumuskan dengan pembahasan mengenai asal-usul bahasa (secara
kebahasaan). Namun metode ini tidak melirik atau menghubungkan hukum-hukum syara
yang dikaji dengan masalah-masalah furu’ atau masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

Berkaitan dengan metodenya yang lebih membahas unsur kebahasaan terhadap nash-
nash dalam al-Quran dan Sunnah, maka diperlukan kemampuan bahasa Arab yang memadai.
Oleh karenanya, ulama Ushul menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum
Islam harus berdasarkan kaidah bahasa Arab itu.

Teks Alquran yang berbicara tentang hukum Islam sangat terbatas. Dari 6000-an ayat-
ayat Alquran, yang berbicara mengenai hukum hanya 500-an ayat. Sementara itu, jumlah ayat
yang terbatas itu, pada umumnya berisi ketentuan-ketentuan hukum secara umum pula.
Sementara hadist, sebagai penjabar lebih lanjut tentang maksud ayat-ayat Alquran, dan tidak
menjelaskan secara langsung semua ketentuan hukum tentang peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Dalam Metode ini didasarkan pada pandangan bahwa sumber utama hukum Islam
adalah Alquran dan hadist. Kedua sumber ini berbentuk teks/nash berbahasa Arab. Dalam hal
itu, bahasa Arab terkenal sebagai salah satu bahasa yang sangat tinggi mutunya, baik dari segi
susunan kalimat-kalimatnya maupun segi kandungan maknanya. Oleh karena itu, untuk
keperluan memahami makna Alquran dan hadist secara benar, digunakanlah metode
kebahasaan (Lughawiyyah). Dan pada dasarnya, bahasa Arab menggunakan berbagai bentuk,
cara, cakupan dan tingkatan kejelasan redaksi dalam menyampaikan pesan.

Imam yang dikenal sebagai founder dari metode ini ialah Muhammad Ibnu Idris Asy-
Syafi’i, sedangkan tokoh yang masyhur dalam penggunaan metode ini ialah Abu Bakr Al-
Baqalani. Selain imam dan tokoh yang mencetuskan dan mengembangkan metode ini, ada
pula kitab-kitab yang telah dikarang berdasarkan dengan metode ini. Di antara kitab-kitab
tersebut adalah Al-Mu’tamad oleh Abu Hasan Muhammad Ibnu Ali Al-Bashri, seorang
ulama Mutazillah yang wafat pada tahun 413 H, Al-Burhan oleh imam Haramain seorang
ulama madzhab Syafi’i yang wafat tahun 487 H, dan Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali.

Contoh penetapan hukum yang dilakukan oleh imam Syafi’i dengan menerapkan
metode kebahasaan adalah persoalan mengenai masa ‘iddah. Dalam al-Quran surat al-
Baqarah ayat 228 tentang ‘iddah menyatakan bahwa “perempuan-perempuan yang bercerai
dari suami hendaklah ber-‘iddah selama tiga quru”. Imam Syafi’i mengartikan kata “Quru”
dengan arti “suci”. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh imam Syafi’i adalah mengenai
kata quru yang bersifat mudzakar sehingga untuk mudzakar tentu tidak berlaku haid, maka
kata quru dalam ayat tersebut berarti suci. Identifikasi quru sebagai kata mudzakar adalah
dengan kaidah bahasa Arab yang menyatakan bahwa ketika kata bilangan dituliskan dalam
bentuk muannast sebagaimana “stalastah” dalam ayat tersebut maka yang dibilang harus
ditulis dalam bentuk mudzakar. Oleh karenanya lafadz quru mesti dalam bentuk mudzakar.
Jadi menurut imam Syafii masa ‘iddahnya perempuan yang ditalak suami adalah selama tiga
kali masa suci. Penetapan hukum ini dirumuskan dengan menggunakan kaidah bahasa Arab
dalam memahami lafadz-lafadz al-Quran yang tidak jelas (ghairu sharih).

Contoh lain adalah penolakan madzhab Syafii terhadap penggunaan istihsan sebagai
salah satu metode istinbath hukum. Mengingat istihsan adalah salah satu metode istinbath
hukum yang tidak bersifat kebahasaan. Perumusan istihsan berdasarkan pada persoalan
praktis yang terjadi di masyarakat Islam dan tidak berdasarkan pada penggalian nash-nash.
Menurut madzhab Imam Syafii, penetapan istihsan adalah berdasarkan hawa nafsu. Imam
Syafii berkata “siapa yang berhujjah dengan istihsan maka ia telah menetapkan sendiri
hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedangkan yang berhak menetapkan
hukum syara’ hanyaah Allah SWT.”Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan Imam Syafii
juga dituliskan “perumpaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang
melaksanakan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu
adalah arah ka’bah, tanpa ada dalil yang ditetapkan oleh pembuat hukum syara’ untuk
menetukan arah ka’bah itu.”

Adapula penolakan lainnya dari golongan yang menerapkan metode kebahasaan ini
adalah penolakan terhadap metode istishab. Menurut mereka istishabtidak bisa dijadikan
sebagai salah satu metode dalam penetapan hukum karena hukum syara’ yang ditetapkan
mesti berdasarkan dalil. Sedangkan istishab yang berarti penggunaan atau penerapan terhadap
yang pernah ada, tidak berdasarkan dalil. Maka istishab tidak dapat dijadikan dalil hukum
syara’ atau metode istinbath hukum.

Contoh selanjutnya adalah penetapan hukum berdasarkan kaidah bahasa Arab


mengenai Amr dan Nahyi. Amar atau perintah mengandung tuntutan yang berupa beban
hukum untuk dikerjakan. Sedangkan Nahyi atau larangan mengandung mengandung tuntutan
berupa beban hukum untuk ditinggalkan. Contohnya adalah perintah Allah untuk
melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 43. Perintah
tersebut berbunyi “aqimu” dan “aatuu” keduanya merupakan fiil amr, maka didapatlah
hukum shalat dan zakat untuk dikerjakan atau wajib dilaksanakan. Contoh lain adalah hadis
nabi yang artinya “Tidak sah shalat, kecuali dengan bersuci” dan hadis yang artinya “Tidak
sah nikah, kecuali denan wali”. Dalam hadis itu terdapat “lam nahyi” yang berarti tidak
(larangan). Setiap larangan menghendaki ditinggalkannya perbuatan itu. Bila perbuatan itu
dilakukan maka orang yang bersangkutan melakukan pelanggarang terhadap yang melarang,
maka ia patut menerima dosa. Dengan kata lain, jika shalat tanpa bersuci haram hukumnya,
dan menikah tanpa wali pun demikian.

Macam-Macam Thariqul Lughawiyyah

Jika kita memahami konteks teks-teks Alquran dan hadist yang berkaitan dengan
hukum, redaksi/lafal bahasa Arab dapat dilihat dari lima segi utama, yaitu : segi bentuk-
bentuk perintah dan larangan, segi tingkat kejelasan maknanya, segi cakupan makna, segi
tunjukan makna, dan segi penggunaannya.

2. Thariqatul Maknawiyah

Metode istinbath hukum dengan cara ini mengacu pada permasalahan-permasalahan


yang terjadi di masyarakat (furu’).Metode ini menetapkan kaidah-kaidah bagi persoalan-
persoalan praktis yang terjadi, caranya dengan merinci masalah-masalah furu’ (cabang)
kemudian baru ditetapkan ketentuan hukum terhadap permasalahan yang ada pada saat itu
dan belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Karena adanya metode ini, maka ulama-
ulama yang ada di setiap zaman setelahnya dapat merumuskan hukum-hukum yang belum
ditetapkan di masa-masa sebelumnya. Dengan ini maka berkembanglah cakrawala hukum
Islam.

Berbeda dengan Alquran dan hadist yang bersifat terbatas terutama dalam hal yang
mengenai tentang hukum yang telah disebutkan sebelumnya. Sejalan dengan perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia, peristiwa-peristiwa hukum bersifat
dinamis dan berkembang terus secara “tidak terbatas” sampai hari kiamat. Peristiwa-peristiwa
baru itu memerlukan adanya ketentuan hukum.

Metode ini dicetuskan oleh imam Hanafi dan dikembangkan oleh beberapa ulama
masyhur, salah satunya Al-Bazdawi. Adapun kitab-kitab ushul fiqh yang telah dibuat
berdasarkan metode ini di antaranya kitab Al-Ushul oleh Abil Hasan al-Karkhi, Ushulil Fiqh
karya Abu Bakr Ar-Razi, dan at-Taisiun karya ad-Dabusi, serta masih banyak lagi.
Macam-macam Thariqatul Maknawy
a. Istihsan
b. Urf
c. Maslahah Mursalah
d. Saddu ad-Dzariah
e. Istishab
f. Syaru Man Qablana
Contoh penerapan metode ini adalah sebagai berikut:
Penggunaan istihsan di kalangan ulama Hanafiyah. Imam Hanafi berpendapat bahwa
Istihsan adalah penggunaan dalil khafi yang mendahului dalil jali, karena penggunaan dalil
khafi tersebut lebih berpengaruh terhadap tercapainya tujuan syara’. Adapun pengertian lain
mengenai istihsan ialah pencapaian kemaslahatan dengan menggunakan pendekatan lain yang
bukan Qiyas.

Secara substansial, pelaksanaan hukum syara’ tidak lain bertujuan untuk mencapai
kemaslahatandan menghindari kemadharatan atau sesuai dengan rumusan maqashid syariah.
Contoh penerapan istihsan: transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan.
Persoalannya ialah ketentuan umum tentang larangan menyakiti tubuh seseorang, termasuk
jenazah, namun dalil yang menyatakan seseorang untuk berobat dan menjaga tubuhnya dirasa
lebih penting untuk persoalan ini. Oleh karenanya, digunakanlah istihsan dalam menetapkan
hukumnya.

Penggunaan maslahah mursalah terhadap persoalan kodifikasi al-Quran pada masa


Khulafa ar-Rasyidin. Maslahah diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat
sehingga dapat mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan keburukan (kemadharatan),
hal ini tentu sejalan dengan tujuan syara. Meski dalam nash tidak terdapat dalil mengenai
kodifikasi al-Quran, namun dalam menghadapi persoalan tentang kekhawatiran tidak akan
terjaganya al-Quran karena banyak hafidz yang gugur dalam peperangan, maka
pengumpulan, penghimpunan, dan pengkodifikasian al-Quran menjadi perlu dilakukan.
Sehingga dengan terjaganya al-Quran yang di kodifikasi tersebut, ummat Islam akan
mendapatkan kemaslahatan.

Hukum yang ditetapkan berdasarkan urf (adat), kekuatannya menyamai hukum yang
ditetapkan berdasarkan nash. Nash-nash al-Quran atau Sunnah tidak menjelaskan secara
terperinci adat baik dan buruk yang ada pada masyarakat Islam yang hidup sejak zaman rasul
hingga kini dan yang ada di berbagai macam tempat. Namun berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti: masyarakat akan merasa kesulitan jika
meninggalkan urf atau adat istiadat yang telah ada, maka penggunaan urf untuk keperluan
istinbath hukum akan dibutuhkan. Kata urf itu sendiri mengandung konotasi baik
sebagaimana kata ma’ruf yang ada pada firman Allah. Contoh urf ialahbudaya tahlilan yang
dilakukan oleh masyarakat Islam Indonesia
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Metode ialah suatu cara teratur atau cara kerja yang bersistem yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, sedangkan
istinbath berarti perumusan masalah. Istinbath berasal dari bahasa Arab yang artinya
mengeluarkan atau menetapkan, secara terminologis istinbath adalah daya usaha yang harus
diupayakan untuk merumuskan hukum syara’ berdasarkan al-Quran dan Sunnah dengan jalan
ijtihad. Kemudian hukum dalam metode istinbath hukum dimaksudkan sebagai hukum syara’
atau hukum Islam, yakni hukum yang mengandung tuntutan untuk dipatuhi dan dilaksanakan
oleh seorang mukalaf. Jadi, metode istinbath hukum ialah aturan atau pedoman dalam
merumuskan hukum Islam (syara’).

Macam-macam metode istinbath hukum:


a. Thariqatul lughawiyah
b. Thariqatul maknawiyah
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria dan M. Zein. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Syarifudin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Dahlan, Abd Rahman. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.

Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr, jilid II Th. 1989

Nazar, Bakry Sidi. Fiqh dan Ushul Fiqh. 2003. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai