Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH HUKUM ISLAM

SUMBER DAN METODE HUKUM ISLAM

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM ISLAM


OLEH :

1. VANDA AFFAN (1910010116)


2. VIGITA NABIRA RAMADHANI (1910010090)
3. ISTI ZULAEFAH ROMADHONI (1910010120)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’aalamiin segala puji hanya milik Allah SWT berkat


limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam dengan tepat waktu.

Dalam menyusun makalah ini tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan dan bimbingan dosen pengampu mata kuliah, sehingga
kendala-kendala yang kami hadapi dapat teratasi
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas tentang sumber dan
metode Hukum Islam. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari penyusun maupun dari luar. Namun dengan
penuh kesabaran dan terutama ertolongan Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu kepada pembaca kami
dengan senang hati menerima kritik dan saran demi perbaikan untuk tugas yang
akan datang.
Purwokerto, September 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1) Latar Belakang
2) Rumusan Masalah
3) Tujuan Penulisan
4) Manfaat Penulisan

BAB 2 PEMBAHASAN

a. Apa sajakah sumber Hukum Islam?


b. Bagaimanakah metode Hukum Islam?

BAB 3 PENUTUP

a. Kesimpulan
b. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Al-Quran dan Sunnah Rasul merupakan sumber hukum yang utama dalam
Islam. Akan tetapi sebagai sumber Al-Quran dan Sunnah Rasul merupakan sumber
hukum yang utama dalam Islam

Al-Quran dan Sunnah Rasul merupakan sumber hukum yang utama dalam
Islam. Akan tetapi sebagai sumber Hukum Islam yang utama tentu saja masih
bersifat umum dan global, sehingga harus di interpretasi lebih lanjut untuk merinci
dalil-dalil keduanya agar bisa digali hukumnya guna menjawab berbagai problem
kehidupan umat manusia.

Seiring berjalanya waktu dan berkembangnya zaman yang semakin cepat tentu
saja memunculkan fenomena baru dimana semua persoalan yang kontemporer
hukumnya di jelaskan secara gamblang dalam 2 sumber hukum utama. Disisi lain
Islam dituntut untuk mampu memenuhi hajat umat manusia.

Untuk menyikapi hal tersebut maka para ulama berusaha mencari jalan keluar
dengan usaha sungguh-sungguh yang sering disebut ijtihad. Apakah semua hukum
yang elum ada dapat dengan mudah di ijtihad kan? Tentu saja tidak, ada metode-
metode yang harus dipatuhi agar hukum itu tidak simpang siur dan menyesatkan.

2. RUMUSAN MASALAH
c. Apa sajakah sumber Hukum Islam?
d. Bagaimanakah metode Hukum Islam?

3. TUJUAN PENULISAN
a. Memenuhi tugas mata kuliah Hukum islam
b. Mampu menyebutkan sumber-sumber Hukum Islam beserta metodenya
4. MANFAAT PENULISAN
a. Mengenal dan memahami sumber-sumber Hukum Islam
b. Memahami yang termasuk dalil Syara’
c. Mengetahui bagaimana metode dalam Hukum Islam
d. Dapat meningkatkan hasil belajar
e. Dapat memfasilitasi prmbelajaran sebagai sumber bacaan
f. Motivasi untuk memperbanyak ibaddah dalam kehidupan sehari-hari
BAB 2
PEMBAHASAN
1. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Secara etimologi ( bahasa) sumber berarti asal dari segala sesuatu atau tempat
merujuk sesuatu. Adapun secara terminologi ( istilah ) dalam ilmu ushul, sumber
diartikan sebagai rujukan yang pokok atau utama dalam menetapkan hukum Islam,
yaitu berupa Alquran dan Al-Sunnah.1

Menurut para ahli ushul fiqh, hukum Islam merupakan instruksiwacana (khitab)
Allah kepada para hamba-Nya. Sebagai khitāb, manusia hanya bertugas mengenali
dan menemukannya melalui tanda-tanda yang diberikan Allah. Dengan kata lain,
hukum syari’ah merupakan mandiscovered law dan bukan man-made law. 2

Sumber hukum islam adalah Al-quran dan sunnah Rasulullah SAW. Dua
sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum islam karena keduanya
merupakan petunjuk ( dalil ) utama kepada hukum Allah SWT. Ada juga dalil-dalil
lain selain Al-quran dan sunah seperti qiyas, istihsan, istishlah, tetapi tiga dalil
disebut terakhir ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat
bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-quran dan
sunnsah Rasulullah (Effendi, 2008: 77). Karena sebagai alat bantu untuk
memahami Al-quran dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai metode
istinbat. Imam al-Ghazali, misalnya, menyebut qiyas sebagai metode istinbat.
Effendi ( 2008: 77 ) menyebut Al-quran dan sunnah sebagai sumber sekaligus dalil.
Selanjutnya, hukum islam, idealnya, menggambarkan islam sebagai cara hidup
yang berdasarkan syariat yang tercantum dalam dua sumber dasar, yaitu Al-quran
dan sunnah Rasulullah SAW, dan tak satu pun persoalan yang tidak ada hukum
dasarnya dalam hukum islam ( Qardhawi, 1993: 151 ). Al-quran dan as-sunnah
adalah dua pilar kekuatan islam dan umat islam yang telah benar-benar

1
Hukum, Sumber Dan Dalil. Direktori UPI.
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-
DEDENG_ROSIDIN/SUMBER_HUKUM.pdf
2
Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Metode Penemuan Hukum..143-159
Vol 17, Nomor 2 Desember 2017
mengintegrasikan dirinya dengan islam. Islam adalah agama dan cara hidup
berdasarkan syariat Allah yang terkandung dalam kitab Al-quran dan sunnah
rasulullah SAW. Cara hidup dan tata sosial memiliki hubungan simbiosis dan
fungsional sehingga mampu diwujudkan oleh setiap umat islam sebagai sebuah
sistem kehidupan. Oleh karena itu, pemahaman mendasar terhadap hukum islam,
seperti pemahaman tentang tujuan, hikmah, prinsip, bahkan hakikat, adalah sebuah
keniscayaan guna mendapatkan ajaran islam umumnya, dan hukum islam
khususnya yang mampu mencapai maksud pembuat hukum (as-Syari ) itu sendiri,
yakni Allah SWT.

Karena hukum islam bersumber dari perkataan Allah SWT ( kalamullah ), maka
hukum islam meencerminkan kehendak-kehendak Allah SWT sebagai norma yang
mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia
lainya dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam
lingkungan hidupnya. Norma yang dimaksud yang mengatur tata hubungan tersebut
adalah kaidah-kaidah dalam arti khusus atau kaidah ibadah murni, mengatur cara
dan upacara hubungan langsung antara manusia sesamanya dan makhluk lain
dilingkunganya. Iman selalu menjadi dasar hukum islam, sedangkan akhlak adalah
tujuanya, karena itu keyakinan dan kebaikan senantiasa menjadi barometer
penerapan hukum islam. Ciri khas hukum islam, yang berlaku abadi untuk umat
islam dimanapun mereka berada, tidak terbatas pada umat islam di suatu tempat
atau negara pada suatu masa, menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa
dan raga, rohanii dan jasmani, serta memuliakan manusia dan kemannusiaan.
Dengan satu ungkapan hukum islam adalah menjadi sumber-sumber kebenaran dan
kebaikan secara universal.

Universalitas hukum-hukum islam yang bersumber dari wahyu Allah atau


kalam nafiyaallah yang tertuang dialam Al-quran sebagai kalam lafzi, maka setiap
ajaran huku islam sesuai dengan setiap waktu, temmpat, situaasi, dan kondisi
sepanjang masa. Karena keuniversalan itulah, makaa Al-quran memuat teks pokok
ajaranya itu secara umum bersifat global dan mengatur secara prinsip-prinsip saja,
sehinngga memberikan peluang untuk diperinci dan dikembangkan dalam
pegalaman dimana dan kapan saja ( Illyas 1996:95 ). Menurut jumhur ulama,
sebagaimana dikutip Ajjaj Al Khatib, didalam nawir yuslem ( 2003:62 ) bahwa al-
quran adalah sumber ajaran islam yang pertama, umumnya hanya memberikan
penjelasan secara global dan secara prinsip-prinsip saja, disinilah fungsi Al-haddits
terhadap Al-quran sebagai; bayan taqrir bayan tafsir dan bayan tasyri yang akan
memberikan penjelasan lebih terperinci lagi. Meskipun Al-quran itu bersifat qath’i
segi wurud dan tsubut-nya, tetapi makna yang terkandung di dalamnya, terkadang
bersifat zhanni yang masih perlu penjelasan, penafsiran atau aturan tambahan dari
Nabi ( Al-haddits ) seperti perintah meendirikan sholat tata caranya diterangkan
atau dicontohkan oleh Nabi SAW. Demmikian juga halnya dengan sumber ajaran
islam kedua ( Al-hadits ), banyak juga terdapapat yang bersifat zhanni, disamping
itu juga terjadi perbedaan sudut pandang dikalangan ulama muhaditsin tentang
status dan kualitas hadis. Oleh karena itu, maka terdapat pintu ijtihaad bagi para
fukaha untuk menggali lagi makna-makna yang tersirat baik didalam Al-quran
maupun Al-hadits yang bersifat zhanni tersebut (Yulsem 2003: 62-74)

1.) Al-Qur’an
a. Pengertian

Secara etimologi Al-Quran berarti bacaan. Secara terminologi (Syara’) Al-


Quran itu dipahami sebagai kitab suci (wahyu) Allah SWT yang disampaikan
melalui malaikat Jibril kepada para Nabi mulai dari Nabi Adam AS sampai Nabi
Muhammad SAW. Al-Quran adalah mukjizat para Nabi, khususnya mukjizat Nabi
Muhammad SAW karena pada masa Nabi Muhammad SAW wahyu Allah telah
disempurnakan selama kurang lebih 22 tahun yang berisi petunjuk atau pedoman
hidup atau arah tatanan kehdupan yang islami. Berkat para sahabat Nabi SAW
diantaranya adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, Al-Quran berhasil di modifikasikan/dbukukan
menjadi sebuah kitab yang luar biasa susunanya tentunya berdasarkan bimbingan
Allah SWT. Dan merupakan kitab suci yang monumental berlaku sepanjang zaman.
Manusia yang mendustakan Al-Quran dddipastikan ia akan merugi.3

b. Kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam

Al-Quran memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan
utama serta petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Hal ini dijelaskan dalam firman
Allah SWT pada QS An-Nisa ayat 105

“Sungguh, kami telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad)


membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang
telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.”

Pada umumnya Hukum Islam yang tertera pada ayat Al-Quran masih bersifat global
/ umum. Dibutuhkan penjelasan atau penjabaran maksud hukum yang terkanduing
di dalam ayat tersebut.

c. Fungsi Al-Quran
- Sebagai pedoman hidup manusia
- Sebagai bahan / materi syi’ar / dakwah Nabi dan Rasul

Alasan Al-Quran dijadikan sebagai pedoman hidup adalah:

 Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam.


 Al-Quran merupakan petujuk dan rahmat bago yang mengimaninya
 Al-Quran membawa kebenaran yang ttidak diragukan lag untuk petunuk
hidup manusia agar tida sesat
 Al-Quran adalah penerang dan petunjuk bagi orang yang bertaqwa
 Al-Quran adalah sumber informasi untuk menjelaskan sesuatu
 Al-Quran menjadi peyunjuk dan rahmat bagi orang yang mengerjakan
kebaikan

3
Margiono dkk. Pend.Agama Islam untuk SMK kelas X. Jakarta. 2007. Hal 63
 Al-Quran sebagai penawar atau obat, yaitu penawar jiwa dari kegelisahan,
ujian /cobaan4

Garis Besar Hukum dalam Al Qu’an

1. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah disebut Ibadah.


Ibadah dibagi menjadi 3:

• Bersifat ibadah semata-mata, yaitu salat dan puasa.

• Bersifat harta benda dan berhubungan dengan masyarakat, yaitu zakat.

• Bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masyarakat, yaitu haji.

Ketiga macam ibadah tersebut dipandang sebagai pokok dasar Islam, sesudah Iman.
Hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan ibadah bersifat
tetap atau tidak berubah.

2. Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia (hubungan sesama


manusia), yaitu yang disebut mu’amalat. Hukum menyangkut muamalah ini dibagi
empat:

1. Berhubungan dengan jihad.

2. Berhubungan dengan penyusunan rumah tangga, seperti kawin, cerai,soal


keturunan, pembagian harta pusaka dan Iain-lain.

3. Berhubungan dengan jual-beli, sewa-menyewa, perburuhan dan Iain-lain.


Bagian ini disebut mu’amalat juga (dalam arti yang sempit).

4. Berhubungan dengan soal hukuman terhadap kejahatan, seperti


qisas,hudud dan lain-lain. Bagian ini disebut Jinayat.

Berbagai hukum dan peraturan yang berhubungan dengan masyarakat


(muamalah). Dapat dirumuskan melalui pemikiran. Dia didasarkan kemaslahatan
dan kemanfaatan yang merupakan jiwa agama. Atas dasar kemashlahatan dan

4
Ibid hal 66
kemanfaatan ini, hukum-hukum tersebut dpaat disesuaikan dengan kondisi tempat
dan waktu. 5

2.) Hadist
a. Pengertian

Hadist sering disebut As Sunah, dua istilah ini umumnya mempunyai maksud
yang sama dan digunakan dalam pembahsan agama sehari-hari. Secara etimologis
As Sunnah berarti:

1. Al- Thariqah : jalan,cara, metode, baik jalan terpuji maupun tercela


2. Al Sirah : prikehdupan atau perilaku
3. Al Thabi’ah : tabiat / watak
4. Al Syariah : syariat, peraturan, hukum
5. Hadist : perkataan, perbuatan, taqrir Nabi Muhammad SAW

Secara terminologi As-Sunnah artinya segala sesuatu yang datang dari Nabi
Muhammad SAW selain Al-Quran baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir
yang dijadikan sebagai dalil hukum syariat. Adapun kata Hadist berasal dari bahasa
Arab “Al Hadist” artinya baru / berita. Sedangkan menurut istilah adalah segala
tingkah laku Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan ,perbuatan dan ketetapan
(taqrir) . perbedaan hadist dan sunnah para ulama membedakannya dari segi
bahasanya. Sunnah itu lebih mengdepankan kepada perbuatan dan tindakan nabi
sedangkan hadist mengedepankan ucapan Nabi.

a. Kedudukan Hadist sebagai sumber Hukum Islam


 Sebagai sumber hukum yang kedua
 Hadist Nabi SAW yang shahih adalah terkait erat dan tidak berlawanan
dengan Al-Quran
 Hadst sebagai informasi yang dijelaskan melalu bahasa/ tafsiran Nabi SAW6

b. Fungsi Hadist

5
Kemenag RI. Buku Siswa Fikih kurikulum 2013 Madrasah Aliyah kelas XII. Jakarta. Hal.64
6
Margiono dkk. Pend.Agama Islam untuk SMK kelas X. Jakarta. 2007. Hal 68-70
 Memprkuat hukum yang telah ditetapkan Al-Quran
 Sebagai penjelas atau perincian ayat Al-Quran
 Menetapkan hukum-hukum yang tidak terdaoat dalam Al-Quran
 Penerapan akhlaq Nabi SAW
c. Pembagian Hadist
 Qauliyah adalah segala ucapan Nabi SAW yang didengar oleh sahabat
kemudian disampaikan kepada orang lain.
 Fi’liyah adalah hadist atas dasar perilaku Nabi SAW yang dilihat oleh
sahabat kmudian disampaikan kepada orang lain melalui ucapan sahabat
tersebut
 Taqririyah adalah hadist atas dasar persetujuan Nabi SAW terhadap apa
yang dilakukan oleh para sahabatnya7

3.) Ijma

Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad)
terhadap sesuatu. Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang
pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan
arti kedua lebih dari satu orang. Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan
semua para mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafat Rasul Saw
atas hukum syara yang tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al Quran dan Hadis.

Hal itu pernah dilakukan Abu Bakar. Apabila ditemukan suatu perselisihan,
pertama ia merujuk kepada kitab Allah, Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia
mengetahui masalah itu dari Rasulullah SAW ia pun berhukum dengan sunnah
Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul SAW ia kumpulkan para
shahabat dan ia lakukan musyawarah untuk menemukan solusi atas suatu masalah

dan menetapkan hukumnya.

7
Ibid ha l72-73
Jadi obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada
dasarnya dalam Al-Quran dan al-Hadis, peristiwa atau kejadian yang berhubungan
dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada
Allah SWT) bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang
berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al Quran dan
Hadis.8

Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para
mujtahid dalam suatu masa atas hukum syara’. Kesepakatan itu dapat
dikelompokan menjadi empat hal:

1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila


keberadaanya hanya seorang saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan
lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.

2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam


suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang
disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja,
Hijaz saja,
mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus
ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan
umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.

3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang


mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa
atau perbuatan.

4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid.


Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang
‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang
sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah
syar’i yang pasti dan mengikat. Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah

8
Kemenag RI. Buku Siswa Fikih kurikulum 2013 Madrasah Aliyah kelas XII. Jakarta. Hal 75
terpenuhi. Maksudnya seluruh mujtahid pada masa setelah wafat Nabi SAW.
Dengan masing-masing mereka mengetahui masalah yang diijmakan tersebut
mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun
perbuatan yang bersifat mensepakatinya, maka hukum yang diijmak tersebut
menjadi aturan syara’ yang wajib diikuti dan tidak boleh mengingkarinya.
Selanjutnya para mujtahid tidak boleh lagi menjadikan hukum yang sudah
disepakati itu menjadi garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara
ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus.9

Adapun macam-macam Ijma antara lain :

• Ditinjau dari segi terjadinya

ljma’ sharîh/qouli/bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya


dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan, seperti hukum masalah ini
halal dan tidak haram.

Ijmâ’ suquti/iqrari yaitu semua atau sebagian mujtahid tidak menyatakan


pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak
memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan
mujtahid lain yang hidup di masanya.

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan ijma’ sukûti ini: ada yang
menyatakan sebagai dalil qath’î dan ada yang berpendapat sebagai dalil dzhannî.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan adalah: keadaan diamnya sebagian mujtahid
tersebut mengandung kemungkinan adanya persetujuan atau tidak. Apabila
kemungkinan adanya persetujuan: maka hal ini adalah dalil qath’î, dan apabila ada
yang tidak menyetujui: maka hal itu bukanlah sebuah dalil, dan apabila ada
kemungkinan memberi persetujuan tetapi dia tidak menyatakan: maka hal ini
adalah dalil dzanni. Dalam hal ini ada perbedaan diantara ulama madzhab: ulama
malikiyah dan syafi’iyyah menyatakan ijmâ’ sukûti bukan sebagai ijmâ’ dan dalil.

9
Ibid hal 79
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan hanabilah menyatakan bahwa ijmâ’ ini
dapat dinyatakan sebagai ijmâ’ dan dalil qath’i.

• Ditinjau dari segi keyakinan

ljma’ qath’î, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah sebagai dalil
qath’i diyakini benar terjadinya. ljma’ zhani, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu
dzhannî, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’
yang dilakukan pada waktu yang lain.

• Ditinjau dari Pelaku Ijtihad

Selain ijma’ yang dilakukan seluruh umat, ada juga ijma’ yang dilakukan
oleh sekelompok umat saja. Misalnya adalah sebagai berikut :

1. Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah
SAW

2. Ijma’ khulafaurrasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu


Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat
dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu
Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijmâ’ tersebut tidak dapat dilakukan
lagi;

3. Ijma’ shaikhani, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar
bin Khattab;

4. Ijma’ ahli Madinah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-ulama


Madinah. Ijma’ ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut
Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi’i tidak mengakuinya sebagai salah satu
sumber hukum Islam;
5. Ijma’ ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah.
Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum
Islam.10

4.) Qiyas

Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan, manganalogikan,


membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena
kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang
sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan
meter atau alat pengukur yang lain.

Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari


persamaanpersamaannya. Para ulama ushul fiqh berpendapat, qiyas ialah
menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya
dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat
antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Wahbah Zuhaili mendefinisikan, qiyâs
adalah menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan
sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara
keduanya. Jadi suatu Qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa
benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus
dilakukan oleh seorang yang akan melakukan Qiyas, ialah mencari: apakah ada
nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau
kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan
Qiyas.

Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum


sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang
sama pula.11

10
Ibid hal 79-81
11
Ibid hal 81
Kedudukan Qiyas menurut para Ulama

Sikap ulama mengenai qiyas ini tidak tunggal. Ada pro dan kontra di
kalangan mereka. Setidaknya dalam hal ini terdapat tiga kelompok ulama sebagai
berikut: Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada
hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadis, pendapat sahabat
maupun ijma ulama.

Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak


menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak
berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-
alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat.
Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal
karena persamaan illat/sebab. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu,
kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an
dan hadis. 12

Rukun Qiyas

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat bagian:

1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya (al maqis alaihi).
Para fuqaha mendefinisikan al ashlu sebagai objek qiyâs, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs ‘alaihi), dan musyabbah bih
(tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Imam Al Amidi dalam Al Mathbu’
mengatakan bahwa al ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui
(hukumnya) sendiri. Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras
adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas
keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu

12
Ibid hal 84
dibutuhkan. Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.

2. Far’u (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya (al-maqîs),
karena tidak terdapat dalil nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya.

3. Hukm Al Asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum
asalnya. Atau hukum syar’i yang ada dalam nash atau ijma’, yang terdapat dalam
al ashlu.

4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang
dibangun atasnya. 13

Macam-macam Qiyas

Dilihat dari segi kekuatan illat dalam furu’ dibanding dengan yang ada
dalam ashal, qiyas dibagi menjadi 3 macam yaitu : qiyas aulawi, qiyas musawi, dan
qiyas adna. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut :

1. Qiyas Aulawi adalah qiyas yang illat pada furu’ lebih kuat daripada illat yang
terdapat pada ashal. Misalnya qiyas larangan memukul orang tua dengan larangan
menyakitinya atau berkata “uh” kepada mereka. Larangan memukul lebih kuat
atau perlu diberikan dibandingkan dengan larangan berkata “uh” yang terdapat
pada nash QS Al-Isra ayat 23
2. Qiyas Musawi adalah qiyas yang setara antara illat pada furu’ dengan illat
pada ashal dalam kepatutannya menerima ketetapan hukum. Misalnya
mengqiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki dalam menerima separuh
hukuman.

3. Qiyas Adna adalah qiyas yang illat pada furu’ lebih rendah daripada illat
yang terdapat pada ashal. Misalnya mengqiyaskan haramnya perak bagi laki-laki
dengan haramnya laki-laki memakai emas. Yang menjadi illatnya adalah untuk
berbanggabangga. Bila menggunakan perak merasa bangga apalagi menggunakan
emas akan lebih bangga lagi. Dilihat dari segi kejelasan yang terdapat pada hukum,

13
Ibid hal 84
qiyas dibagi menjadi 2 macam yaitu : qiyas jalli dan qiyas khafi. Adapun uraiannya
adalah sebagai berikut :

a. Qiyas Jalli adalah qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan
dengan hukum ashal. Nash tidak menetapkan illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak
ada pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furu’. Misalnya
mengqiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki dan mengqiyaskan setiap
minuman yang memabukkan dengan larangan meminum khamr yang sudah ada
nashnya.

b. Qiyas Khafi adalah qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash.
Misalnya mengqiyaskan pembunuhan menggunakan alat berat dengan
pembunuhan menggunakan benda tajam.

c. Qiyas Syabah adalah qiyas furu’nya dapat diqiyaskan dengan dua ashal
atau lebih. Tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan furu’.
Misalnya zakat profesi yang dapat diqiyaskan dengan zakat perdagangan dan
pertanian.

d. Qiyas Ma’na adalah qiyas yang furu’nya hanya disandarkan pada ashal
yang satu. Jadi korelasi antara keduanya sudah sangat jelas. Misalnya
mengqiyaskan memukul orang tua dengan perkataan “ah” seperti yang ada dalam
nash pada penjelasan sebelumnya.

Jadi secara keseluruhan macam-macam qiyas terebut ada tujuh yaitu : qiyas
aulawi,qiyas musawi, qiyas adna, qiyas jalli, qiyas khafi, qiyas syabah, dan qiyas
ma’na.

2. METODE HUKUM ISLAM

Dalam istilah ilmu Uahul Fikih teori atau metode penemuan hukum
dipakai dengan istilah “istinbath/ tburuq al-istinbath yaitu cara-cara yang
ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya. Dengan
demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum Islam
dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqih. Beristinbath
hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang
dipergunakan dalam dalil Al-Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan
dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang
menyangkut latar belakang yang menjadi landasanketentuan hokum ataupun yang
menjadi tujuan ketentuan hukum.

Kajian metode penemuan hokum islam ini ada yang menyebutnya dengan
istilah metode hokum islam biasanya berkenan dengan teori klasik tentang sumber
hukum islam, baik di kalangan ahli hokum islam maupun para pakar Hukum
Barat. Oleh karena itu fungsi dan sifat sumber hokum itu sendiri. Fakta historis
menunjukan bahwa pemahaman hukum islam yang jelas ditempuh para sahabat
Nabi telah mampu memberi peran penting dalam menampakan karakteristik
hukum Ialam yang dinamis dan elastis seiring dengan tuntutan zaman yang
dihadapi. Pembahasan metode dan sumber ini terasa semakin penting
dikemukakan karena selama ini masih terdapat diskursus sekitar penempatan ijma,
qiyas, istihsan dan lainnya sebagai dalil hukum islam pada satu sisi dan sebagai
metode hukum pada sisi lainnya.

Konsep penemuan hukum merupakan teori hukum terbuka yang pada


pokoknya bahwa suatu aturan yang telah dimuat dakam Al-Quran dan Al-hadist
serta hukum positif (baca ; undang-undang, qanun dan fiqih) dapat saja dirubah
maknanya, meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna direlevasikan dengan
fakta konkrit yang ada. Keterbukaan system hukum karena terjadi kekosongan
hukum, baik karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak
jelas.

Ahli Ushul Fiqih menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan


hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syari’ah dan kaidah
laughawaiyah.

Ali yasa Abu Bakar berpendapat bahwa harus dibedakan antara dalil dan
metode. Dalil menurutnya adaah hanya Al-Quran dan as sunnah (dalil al munsyi’)
sedagkan dalil selebihnya (dalil al muzhhir) dianggap sebagai metode, yang
dikelompokan menjadi :

1. Metode lughawiyyah (penalaran yang bertumpu pada kaidah-kaidah


kebahasaan)
2. Metode Ta’liliyyah (pertimbangan yang bertumpu pada ilat (raiso legis)
3. Metode istishlahiyyah (pertimbangan yang bertumpu pada kemashlatan
atau tujuan pensyariatan)

Senada dengan hal tersebut salam Mazkur menyebutkan bahwa bentuk


metode hukum islam bergantung pada landasan yang dipergunakan dalam
berijtihad atau beristinbah, menurutnya berdasarkan penelusuran terhadap tiga
model pemikiran hukum (ijtihad) yakni ijtihad bayani, ijtihad qiyasi dan ijtihad
istislahi.

Ketiga model istihad tersebut dalam telaah Juhaya S. Praja tampaknya di


kategorikan dalam dua metode, yaitu metode naqliyah (metode bayani) dan
metode aqliyah metode qiyasi dan istilahi). Pengelompokan ini didasarkan kepada
karakter sumber hukum Islam sendiri yang merupakan gabungan antara wahyu
Allah dan ijtihad manusia.

Macam-macam Ijtihad

1. Ijtihad Bayani Ijtihad ini berusaha menjelaskan makna makna nash yang
masih memerlukan kejelasan (mujmal).16 Ketika para fukaha berbicara
tentang sebuah dalil dari al Qur’an dan as Sunnah, sebenarnya yang mereka
maksudkan adalah keputusan hukum yang digali dari ungkapan khusus
suatu ayat atau hadis salah satu kategori ung Ungkapan atau istilah menurut
hubungan di kejelasan (wuduh), dan cakupan (syumul).
Pada dalil dalil linguistic (bayani) berbasis nas, yakni berdasarkan implikasi
(dilalat) yang termuat oleh terma terma tersebut. memunculkan empat
kategori penunjukan makna (aldalalah). Menurut Jaser Audah ada dua
klasifikasi yang sangat mirip yang disahkan oleh semua mazhab, sekalipun
dalam istilah istilah yang berbeda tipis, yakni klasifikasi versi Hanafi dan
versi Syafi’i18. Perbedaan dalam klasifikasi/urutan kias jali (kias
aula) dan isyarah menghasilkan sejumlah perbedaan dalam keputusan
hukum fiqh antara mazhab Hanafi dengan mazhab fikih lainnya (yang
secara umum mengikuti klasifikasi versi Syafi’i.)
2. Ijtihad qiyasi ini adalah ijtihad yang berusaha menyberangkan hukum yang
telah ada ketentuan nashnya pada masalah masalah baru yang belum ada
hukumnya karena adanya kesamaan illat hukum.28 Langkah yang ditempuh
untuk menemukan hukum ketika tidak ada atau tidak ditemukan teks
hukumnya adalah dengan memperluas cakupan teks hukum tersebut
sehingga mampu mencakup dan menjawab kasus-kasus yang tidak ada
nasnya. Untuk melakukan perluasan cakupan teks hukum yang ada,
dilakukan penyelidikan terhadap ketentuan hukum yang sudah ada di dalam
teks hukum guna mengkaji dan menemukan atribut atau ‘illat29 yang
melandasi atau menjadi dasar penetapannya. Setelah ditemukannya
‘illat, maka hukum tersebut diperluas hingga mencakup kasus lain sejenis
yang secara harfiah tidak tercakup dalam pernyataan tekstual hukum yang
ada.
3. Ijtihad istislahi adalah ijtihad terhadap masalah masalah yang tidak
ditunjukkan hukumnya dalam secara khusus atau tidak ada nash yang serupa
alasannya Penetapan hukum dilakukan berdasarkan pendekatan
kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum.41.Dengan demikian ijtihad
istilahi adalah beupa upaya perenungan hati melalui proses nalar. Corak
penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
prinsip-prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis.
Artinya kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang
secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum terssebut. Maksudnya
kemaslahatan itu tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis
secara langsung baik melalui penalaran bayani atau ta’lili melainkan
dikembalikan pada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh
nash.14

Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Metode Penemuan Hukum..143-159
14

Vol 17, Nomor 2 Desember 2017


BAB 3
PENUTUP

A.Kesimpulan

Islam mempunyai 2 hukum sumber yang utama yaitu al-qur'an dan Hadist
Sedangkan untuk meneruskan 2 hukum baru yang tidak terdapat pada keduanya
diperlukanlah Ijtihad yang tepat mendasarkan pada al-qur'an dan Hadist

Pembentukan hukum Islam memiliki proses yang cukup panjang.


Pembentukan tersebut berdasarkan kejadian yang terjadi pada zaman itu. Setiap
proses memiliki perkembangan masing-masing.

B. Saran

Dengan di Tuliskan sumber dan pembentukan hukum Islam dalam


makalah ini Diharapkan seluruh umat muslim menyadari bahwa kita harus selalu
berpedoman pada al-qur'an dan Hadist sebagai sumber hukum Islam yang utama.
Begitu banyaknya paham yang terdapat dalam Islam dalam arti terdapat banyak
perbedaan pendapat maka selayaknya kita menghormati pendapat pendapat
tersebut dan hindari perpecahan dalam Islam. Selama paham yang berbeda dalam
Islam bersumber pada Alquran dan hadis maka perbedaan tersebut merupakan
suatu keberagaman pemikiran asal pemikiran tersebut tidak menyimpang dari
Alquran dan hadis.
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Metode Penemuan Hukum..143-159
Vol 17, Nomor 2 Desember 2017

Kemenag RI. Buku Siswa Fikih kurikulum 2013 Madrasah Aliyah kelas XII. Jakarta. Hal 75
Margiono dkk. Pend.Agama Islam untuk SMK kelas X. Jakarta. 2007. Hal 63
Hukum, Sumber Dan Dalil. Direktori UPI.
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-
DEDENG_ROSIDIN/SUMBER_HUKUM.pdf

Anda mungkin juga menyukai