FAKULTAS HUKUM
2019
KATA PENGANTAR
Dalam menyusun makalah ini tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan dan bimbingan dosen pengampu mata kuliah, sehingga
kendala-kendala yang kami hadapi dapat teratasi
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas tentang sumber dan
metode Hukum Islam. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari penyusun maupun dari luar. Namun dengan
penuh kesabaran dan terutama ertolongan Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu kepada pembaca kami
dengan senang hati menerima kritik dan saran demi perbaikan untuk tugas yang
akan datang.
Purwokerto, September 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1) Latar Belakang
2) Rumusan Masalah
3) Tujuan Penulisan
4) Manfaat Penulisan
BAB 2 PEMBAHASAN
BAB 3 PENUTUP
a. Kesimpulan
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Al-Quran dan Sunnah Rasul merupakan sumber hukum yang utama dalam
Islam. Akan tetapi sebagai sumber Al-Quran dan Sunnah Rasul merupakan sumber
hukum yang utama dalam Islam
Al-Quran dan Sunnah Rasul merupakan sumber hukum yang utama dalam
Islam. Akan tetapi sebagai sumber Hukum Islam yang utama tentu saja masih
bersifat umum dan global, sehingga harus di interpretasi lebih lanjut untuk merinci
dalil-dalil keduanya agar bisa digali hukumnya guna menjawab berbagai problem
kehidupan umat manusia.
Seiring berjalanya waktu dan berkembangnya zaman yang semakin cepat tentu
saja memunculkan fenomena baru dimana semua persoalan yang kontemporer
hukumnya di jelaskan secara gamblang dalam 2 sumber hukum utama. Disisi lain
Islam dituntut untuk mampu memenuhi hajat umat manusia.
Untuk menyikapi hal tersebut maka para ulama berusaha mencari jalan keluar
dengan usaha sungguh-sungguh yang sering disebut ijtihad. Apakah semua hukum
yang elum ada dapat dengan mudah di ijtihad kan? Tentu saja tidak, ada metode-
metode yang harus dipatuhi agar hukum itu tidak simpang siur dan menyesatkan.
2. RUMUSAN MASALAH
c. Apa sajakah sumber Hukum Islam?
d. Bagaimanakah metode Hukum Islam?
3. TUJUAN PENULISAN
a. Memenuhi tugas mata kuliah Hukum islam
b. Mampu menyebutkan sumber-sumber Hukum Islam beserta metodenya
4. MANFAAT PENULISAN
a. Mengenal dan memahami sumber-sumber Hukum Islam
b. Memahami yang termasuk dalil Syara’
c. Mengetahui bagaimana metode dalam Hukum Islam
d. Dapat meningkatkan hasil belajar
e. Dapat memfasilitasi prmbelajaran sebagai sumber bacaan
f. Motivasi untuk memperbanyak ibaddah dalam kehidupan sehari-hari
BAB 2
PEMBAHASAN
1. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Secara etimologi ( bahasa) sumber berarti asal dari segala sesuatu atau tempat
merujuk sesuatu. Adapun secara terminologi ( istilah ) dalam ilmu ushul, sumber
diartikan sebagai rujukan yang pokok atau utama dalam menetapkan hukum Islam,
yaitu berupa Alquran dan Al-Sunnah.1
Menurut para ahli ushul fiqh, hukum Islam merupakan instruksiwacana (khitab)
Allah kepada para hamba-Nya. Sebagai khitāb, manusia hanya bertugas mengenali
dan menemukannya melalui tanda-tanda yang diberikan Allah. Dengan kata lain,
hukum syari’ah merupakan mandiscovered law dan bukan man-made law. 2
Sumber hukum islam adalah Al-quran dan sunnah Rasulullah SAW. Dua
sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum islam karena keduanya
merupakan petunjuk ( dalil ) utama kepada hukum Allah SWT. Ada juga dalil-dalil
lain selain Al-quran dan sunah seperti qiyas, istihsan, istishlah, tetapi tiga dalil
disebut terakhir ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat
bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-quran dan
sunnsah Rasulullah (Effendi, 2008: 77). Karena sebagai alat bantu untuk
memahami Al-quran dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai metode
istinbat. Imam al-Ghazali, misalnya, menyebut qiyas sebagai metode istinbat.
Effendi ( 2008: 77 ) menyebut Al-quran dan sunnah sebagai sumber sekaligus dalil.
Selanjutnya, hukum islam, idealnya, menggambarkan islam sebagai cara hidup
yang berdasarkan syariat yang tercantum dalam dua sumber dasar, yaitu Al-quran
dan sunnah Rasulullah SAW, dan tak satu pun persoalan yang tidak ada hukum
dasarnya dalam hukum islam ( Qardhawi, 1993: 151 ). Al-quran dan as-sunnah
adalah dua pilar kekuatan islam dan umat islam yang telah benar-benar
1
Hukum, Sumber Dan Dalil. Direktori UPI.
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-
DEDENG_ROSIDIN/SUMBER_HUKUM.pdf
2
Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Metode Penemuan Hukum..143-159
Vol 17, Nomor 2 Desember 2017
mengintegrasikan dirinya dengan islam. Islam adalah agama dan cara hidup
berdasarkan syariat Allah yang terkandung dalam kitab Al-quran dan sunnah
rasulullah SAW. Cara hidup dan tata sosial memiliki hubungan simbiosis dan
fungsional sehingga mampu diwujudkan oleh setiap umat islam sebagai sebuah
sistem kehidupan. Oleh karena itu, pemahaman mendasar terhadap hukum islam,
seperti pemahaman tentang tujuan, hikmah, prinsip, bahkan hakikat, adalah sebuah
keniscayaan guna mendapatkan ajaran islam umumnya, dan hukum islam
khususnya yang mampu mencapai maksud pembuat hukum (as-Syari ) itu sendiri,
yakni Allah SWT.
Karena hukum islam bersumber dari perkataan Allah SWT ( kalamullah ), maka
hukum islam meencerminkan kehendak-kehendak Allah SWT sebagai norma yang
mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia
lainya dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam
lingkungan hidupnya. Norma yang dimaksud yang mengatur tata hubungan tersebut
adalah kaidah-kaidah dalam arti khusus atau kaidah ibadah murni, mengatur cara
dan upacara hubungan langsung antara manusia sesamanya dan makhluk lain
dilingkunganya. Iman selalu menjadi dasar hukum islam, sedangkan akhlak adalah
tujuanya, karena itu keyakinan dan kebaikan senantiasa menjadi barometer
penerapan hukum islam. Ciri khas hukum islam, yang berlaku abadi untuk umat
islam dimanapun mereka berada, tidak terbatas pada umat islam di suatu tempat
atau negara pada suatu masa, menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa
dan raga, rohanii dan jasmani, serta memuliakan manusia dan kemannusiaan.
Dengan satu ungkapan hukum islam adalah menjadi sumber-sumber kebenaran dan
kebaikan secara universal.
1.) Al-Qur’an
a. Pengertian
Al-Quran memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan
utama serta petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Hal ini dijelaskan dalam firman
Allah SWT pada QS An-Nisa ayat 105
Pada umumnya Hukum Islam yang tertera pada ayat Al-Quran masih bersifat global
/ umum. Dibutuhkan penjelasan atau penjabaran maksud hukum yang terkanduing
di dalam ayat tersebut.
c. Fungsi Al-Quran
- Sebagai pedoman hidup manusia
- Sebagai bahan / materi syi’ar / dakwah Nabi dan Rasul
3
Margiono dkk. Pend.Agama Islam untuk SMK kelas X. Jakarta. 2007. Hal 63
Al-Quran sebagai penawar atau obat, yaitu penawar jiwa dari kegelisahan,
ujian /cobaan4
Ketiga macam ibadah tersebut dipandang sebagai pokok dasar Islam, sesudah Iman.
Hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan ibadah bersifat
tetap atau tidak berubah.
4
Ibid hal 66
kemanfaatan ini, hukum-hukum tersebut dpaat disesuaikan dengan kondisi tempat
dan waktu. 5
2.) Hadist
a. Pengertian
Hadist sering disebut As Sunah, dua istilah ini umumnya mempunyai maksud
yang sama dan digunakan dalam pembahsan agama sehari-hari. Secara etimologis
As Sunnah berarti:
Secara terminologi As-Sunnah artinya segala sesuatu yang datang dari Nabi
Muhammad SAW selain Al-Quran baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir
yang dijadikan sebagai dalil hukum syariat. Adapun kata Hadist berasal dari bahasa
Arab “Al Hadist” artinya baru / berita. Sedangkan menurut istilah adalah segala
tingkah laku Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan ,perbuatan dan ketetapan
(taqrir) . perbedaan hadist dan sunnah para ulama membedakannya dari segi
bahasanya. Sunnah itu lebih mengdepankan kepada perbuatan dan tindakan nabi
sedangkan hadist mengedepankan ucapan Nabi.
b. Fungsi Hadist
5
Kemenag RI. Buku Siswa Fikih kurikulum 2013 Madrasah Aliyah kelas XII. Jakarta. Hal.64
6
Margiono dkk. Pend.Agama Islam untuk SMK kelas X. Jakarta. 2007. Hal 68-70
Memprkuat hukum yang telah ditetapkan Al-Quran
Sebagai penjelas atau perincian ayat Al-Quran
Menetapkan hukum-hukum yang tidak terdaoat dalam Al-Quran
Penerapan akhlaq Nabi SAW
c. Pembagian Hadist
Qauliyah adalah segala ucapan Nabi SAW yang didengar oleh sahabat
kemudian disampaikan kepada orang lain.
Fi’liyah adalah hadist atas dasar perilaku Nabi SAW yang dilihat oleh
sahabat kmudian disampaikan kepada orang lain melalui ucapan sahabat
tersebut
Taqririyah adalah hadist atas dasar persetujuan Nabi SAW terhadap apa
yang dilakukan oleh para sahabatnya7
3.) Ijma
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad)
terhadap sesuatu. Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang
pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan
arti kedua lebih dari satu orang. Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan
semua para mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafat Rasul Saw
atas hukum syara yang tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al Quran dan Hadis.
Hal itu pernah dilakukan Abu Bakar. Apabila ditemukan suatu perselisihan,
pertama ia merujuk kepada kitab Allah, Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia
mengetahui masalah itu dari Rasulullah SAW ia pun berhukum dengan sunnah
Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul SAW ia kumpulkan para
shahabat dan ia lakukan musyawarah untuk menemukan solusi atas suatu masalah
7
Ibid ha l72-73
Jadi obyek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada
dasarnya dalam Al-Quran dan al-Hadis, peristiwa atau kejadian yang berhubungan
dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada
Allah SWT) bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang
berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al Quran dan
Hadis.8
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para
mujtahid dalam suatu masa atas hukum syara’. Kesepakatan itu dapat
dikelompokan menjadi empat hal:
8
Kemenag RI. Buku Siswa Fikih kurikulum 2013 Madrasah Aliyah kelas XII. Jakarta. Hal 75
terpenuhi. Maksudnya seluruh mujtahid pada masa setelah wafat Nabi SAW.
Dengan masing-masing mereka mengetahui masalah yang diijmakan tersebut
mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun
perbuatan yang bersifat mensepakatinya, maka hukum yang diijmak tersebut
menjadi aturan syara’ yang wajib diikuti dan tidak boleh mengingkarinya.
Selanjutnya para mujtahid tidak boleh lagi menjadikan hukum yang sudah
disepakati itu menjadi garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara
ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus.9
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan ijma’ sukûti ini: ada yang
menyatakan sebagai dalil qath’î dan ada yang berpendapat sebagai dalil dzhannî.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan adalah: keadaan diamnya sebagian mujtahid
tersebut mengandung kemungkinan adanya persetujuan atau tidak. Apabila
kemungkinan adanya persetujuan: maka hal ini adalah dalil qath’î, dan apabila ada
yang tidak menyetujui: maka hal itu bukanlah sebuah dalil, dan apabila ada
kemungkinan memberi persetujuan tetapi dia tidak menyatakan: maka hal ini
adalah dalil dzanni. Dalam hal ini ada perbedaan diantara ulama madzhab: ulama
malikiyah dan syafi’iyyah menyatakan ijmâ’ sukûti bukan sebagai ijmâ’ dan dalil.
9
Ibid hal 79
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan hanabilah menyatakan bahwa ijmâ’ ini
dapat dinyatakan sebagai ijmâ’ dan dalil qath’i.
ljma’ qath’î, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah sebagai dalil
qath’i diyakini benar terjadinya. ljma’ zhani, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu
dzhannî, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’
yang dilakukan pada waktu yang lain.
Selain ijma’ yang dilakukan seluruh umat, ada juga ijma’ yang dilakukan
oleh sekelompok umat saja. Misalnya adalah sebagai berikut :
1. Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah
SAW
3. Ijma’ shaikhani, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar
bin Khattab;
4.) Qiyas
10
Ibid hal 79-81
11
Ibid hal 81
Kedudukan Qiyas menurut para Ulama
Sikap ulama mengenai qiyas ini tidak tunggal. Ada pro dan kontra di
kalangan mereka. Setidaknya dalam hal ini terdapat tiga kelompok ulama sebagai
berikut: Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada
hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadis, pendapat sahabat
maupun ijma ulama.
Rukun Qiyas
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya (al maqis alaihi).
Para fuqaha mendefinisikan al ashlu sebagai objek qiyâs, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs ‘alaihi), dan musyabbah bih
(tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Imam Al Amidi dalam Al Mathbu’
mengatakan bahwa al ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui
(hukumnya) sendiri. Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras
adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas
keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu
12
Ibid hal 84
dibutuhkan. Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
2. Far’u (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya (al-maqîs),
karena tidak terdapat dalil nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya.
3. Hukm Al Asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum
asalnya. Atau hukum syar’i yang ada dalam nash atau ijma’, yang terdapat dalam
al ashlu.
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang
dibangun atasnya. 13
Macam-macam Qiyas
Dilihat dari segi kekuatan illat dalam furu’ dibanding dengan yang ada
dalam ashal, qiyas dibagi menjadi 3 macam yaitu : qiyas aulawi, qiyas musawi, dan
qiyas adna. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut :
1. Qiyas Aulawi adalah qiyas yang illat pada furu’ lebih kuat daripada illat yang
terdapat pada ashal. Misalnya qiyas larangan memukul orang tua dengan larangan
menyakitinya atau berkata “uh” kepada mereka. Larangan memukul lebih kuat
atau perlu diberikan dibandingkan dengan larangan berkata “uh” yang terdapat
pada nash QS Al-Isra ayat 23
2. Qiyas Musawi adalah qiyas yang setara antara illat pada furu’ dengan illat
pada ashal dalam kepatutannya menerima ketetapan hukum. Misalnya
mengqiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki dalam menerima separuh
hukuman.
3. Qiyas Adna adalah qiyas yang illat pada furu’ lebih rendah daripada illat
yang terdapat pada ashal. Misalnya mengqiyaskan haramnya perak bagi laki-laki
dengan haramnya laki-laki memakai emas. Yang menjadi illatnya adalah untuk
berbanggabangga. Bila menggunakan perak merasa bangga apalagi menggunakan
emas akan lebih bangga lagi. Dilihat dari segi kejelasan yang terdapat pada hukum,
13
Ibid hal 84
qiyas dibagi menjadi 2 macam yaitu : qiyas jalli dan qiyas khafi. Adapun uraiannya
adalah sebagai berikut :
a. Qiyas Jalli adalah qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan
dengan hukum ashal. Nash tidak menetapkan illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak
ada pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furu’. Misalnya
mengqiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki dan mengqiyaskan setiap
minuman yang memabukkan dengan larangan meminum khamr yang sudah ada
nashnya.
b. Qiyas Khafi adalah qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash.
Misalnya mengqiyaskan pembunuhan menggunakan alat berat dengan
pembunuhan menggunakan benda tajam.
c. Qiyas Syabah adalah qiyas furu’nya dapat diqiyaskan dengan dua ashal
atau lebih. Tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan furu’.
Misalnya zakat profesi yang dapat diqiyaskan dengan zakat perdagangan dan
pertanian.
d. Qiyas Ma’na adalah qiyas yang furu’nya hanya disandarkan pada ashal
yang satu. Jadi korelasi antara keduanya sudah sangat jelas. Misalnya
mengqiyaskan memukul orang tua dengan perkataan “ah” seperti yang ada dalam
nash pada penjelasan sebelumnya.
Jadi secara keseluruhan macam-macam qiyas terebut ada tujuh yaitu : qiyas
aulawi,qiyas musawi, qiyas adna, qiyas jalli, qiyas khafi, qiyas syabah, dan qiyas
ma’na.
Dalam istilah ilmu Uahul Fikih teori atau metode penemuan hukum
dipakai dengan istilah “istinbath/ tburuq al-istinbath yaitu cara-cara yang
ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya. Dengan
demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum Islam
dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqih. Beristinbath
hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang
dipergunakan dalam dalil Al-Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan
dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang
menyangkut latar belakang yang menjadi landasanketentuan hokum ataupun yang
menjadi tujuan ketentuan hukum.
Kajian metode penemuan hokum islam ini ada yang menyebutnya dengan
istilah metode hokum islam biasanya berkenan dengan teori klasik tentang sumber
hukum islam, baik di kalangan ahli hokum islam maupun para pakar Hukum
Barat. Oleh karena itu fungsi dan sifat sumber hokum itu sendiri. Fakta historis
menunjukan bahwa pemahaman hukum islam yang jelas ditempuh para sahabat
Nabi telah mampu memberi peran penting dalam menampakan karakteristik
hukum Ialam yang dinamis dan elastis seiring dengan tuntutan zaman yang
dihadapi. Pembahasan metode dan sumber ini terasa semakin penting
dikemukakan karena selama ini masih terdapat diskursus sekitar penempatan ijma,
qiyas, istihsan dan lainnya sebagai dalil hukum islam pada satu sisi dan sebagai
metode hukum pada sisi lainnya.
Ali yasa Abu Bakar berpendapat bahwa harus dibedakan antara dalil dan
metode. Dalil menurutnya adaah hanya Al-Quran dan as sunnah (dalil al munsyi’)
sedagkan dalil selebihnya (dalil al muzhhir) dianggap sebagai metode, yang
dikelompokan menjadi :
Macam-macam Ijtihad
1. Ijtihad Bayani Ijtihad ini berusaha menjelaskan makna makna nash yang
masih memerlukan kejelasan (mujmal).16 Ketika para fukaha berbicara
tentang sebuah dalil dari al Qur’an dan as Sunnah, sebenarnya yang mereka
maksudkan adalah keputusan hukum yang digali dari ungkapan khusus
suatu ayat atau hadis salah satu kategori ung Ungkapan atau istilah menurut
hubungan di kejelasan (wuduh), dan cakupan (syumul).
Pada dalil dalil linguistic (bayani) berbasis nas, yakni berdasarkan implikasi
(dilalat) yang termuat oleh terma terma tersebut. memunculkan empat
kategori penunjukan makna (aldalalah). Menurut Jaser Audah ada dua
klasifikasi yang sangat mirip yang disahkan oleh semua mazhab, sekalipun
dalam istilah istilah yang berbeda tipis, yakni klasifikasi versi Hanafi dan
versi Syafi’i18. Perbedaan dalam klasifikasi/urutan kias jali (kias
aula) dan isyarah menghasilkan sejumlah perbedaan dalam keputusan
hukum fiqh antara mazhab Hanafi dengan mazhab fikih lainnya (yang
secara umum mengikuti klasifikasi versi Syafi’i.)
2. Ijtihad qiyasi ini adalah ijtihad yang berusaha menyberangkan hukum yang
telah ada ketentuan nashnya pada masalah masalah baru yang belum ada
hukumnya karena adanya kesamaan illat hukum.28 Langkah yang ditempuh
untuk menemukan hukum ketika tidak ada atau tidak ditemukan teks
hukumnya adalah dengan memperluas cakupan teks hukum tersebut
sehingga mampu mencakup dan menjawab kasus-kasus yang tidak ada
nasnya. Untuk melakukan perluasan cakupan teks hukum yang ada,
dilakukan penyelidikan terhadap ketentuan hukum yang sudah ada di dalam
teks hukum guna mengkaji dan menemukan atribut atau ‘illat29 yang
melandasi atau menjadi dasar penetapannya. Setelah ditemukannya
‘illat, maka hukum tersebut diperluas hingga mencakup kasus lain sejenis
yang secara harfiah tidak tercakup dalam pernyataan tekstual hukum yang
ada.
3. Ijtihad istislahi adalah ijtihad terhadap masalah masalah yang tidak
ditunjukkan hukumnya dalam secara khusus atau tidak ada nash yang serupa
alasannya Penetapan hukum dilakukan berdasarkan pendekatan
kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum.41.Dengan demikian ijtihad
istilahi adalah beupa upaya perenungan hati melalui proses nalar. Corak
penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada
prinsip-prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis.
Artinya kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang
secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum terssebut. Maksudnya
kemaslahatan itu tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis
secara langsung baik melalui penalaran bayani atau ta’lili melainkan
dikembalikan pada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh
nash.14
Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Metode Penemuan Hukum..143-159
14
A.Kesimpulan
Islam mempunyai 2 hukum sumber yang utama yaitu al-qur'an dan Hadist
Sedangkan untuk meneruskan 2 hukum baru yang tidak terdapat pada keduanya
diperlukanlah Ijtihad yang tepat mendasarkan pada al-qur'an dan Hadist
B. Saran
Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Metode Penemuan Hukum..143-159
Vol 17, Nomor 2 Desember 2017
Kemenag RI. Buku Siswa Fikih kurikulum 2013 Madrasah Aliyah kelas XII. Jakarta. Hal 75
Margiono dkk. Pend.Agama Islam untuk SMK kelas X. Jakarta. 2007. Hal 63
Hukum, Sumber Dan Dalil. Direktori UPI.
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195510071990011-
DEDENG_ROSIDIN/SUMBER_HUKUM.pdf